Anda di halaman 1dari 5

Penyusun: Muhammad Fariz Khaerul Fazri

Hadits ke-9
Melaksanakan Perintah Sesuai Kemampuan

‫ َما‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَْي يه َو َسلَّ َم يَ ُق ْو ُل‬ ‫ي‬ ‫الر ْْح ين ب ين صخ ٍر ر يضي هللا عْنه قَ َ ي‬ ‫ي‬
َ ‫ت َر ُس ْوَل هللا‬ ُ ‫ ََس ْع‬: ‫ال‬ ُ َ ُ َ َ ْ َ ْ َ َّ ‫َع ْن أيَِب ُهَريْ َرةَ َعْبد‬
‫ك الَّ يذيْ َن َم ْن قَ ْب لَ ُك ْم َكثْ َرةُ َم َسائيلي يه ْم‬َ َ‫ فَيإََّّنَا أ َْهل‬،‫استَطَ ْعتُ ْم‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫ََنَي تُ ُكم عْنه فَ ي‬
ْ ‫ َوَما أ ََم ْرتُ ُك ْم بيه فَأْتُوا مْنهُ َما‬،ُ‫اجتَنبُ ْوه‬
ْ َُ ْ ْ
‫ي َوُم ْسليم‬ُّ ‫ َرَواهُ البُ َخا ير‬. ‫اختيالَفُ ُه ْم َعلَى أَنْبييَائييه ْم‬
ْ ‫َو‬
Dari Abu Hurairah ‘Abdurrahman bin Shakr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku
telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Apa saja yang
aku larang, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah
semampu kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum
kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi perintah nabi-nabi mereka.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

Penjelasan:
Ini merupakan potongan dari hadits Nabi, dengan redaksi lengkap sebagai berikut:

‫ «اي أيها الناس إن هللا قد فرض‬:‫ فقال‬،‫ خطبنا رسول هللا ﷺ‬:‫ رضي هللا عنه – قال‬- ‫وعن أِب هريرة‬
:‫ فقال رسول هللا ﷺ‬.‫ حىت قاهلا ثالاث‬،‫ أكل عام اي رسول هللا؟ فسكت‬:‫عليكم احلج فحجوا» فقال رجل‬
‫ فإمنا هلك من كان قبلكم بكثرة‬،‫ «ذروين ما تركتكم‬:‫«لو قلت نعم لوجبت وملا استطعتم» مث قال‬
‫ وإذا هنيتكم عن شيء‬،‫ فإذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم‬،‫ واختالفهم على أنبيائهم‬،‫سؤاهلم‬
.‫فدعوه» رواه مسلم‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami, lantas beliau mengatakan,
“Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka
berhajilah.” Ada seseorang yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah,
apakah haji tersebut setiap tahun?” Beliau pun terdiam, sampai orang tadi bertanya
sebanyak tiga kali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,
“Seandainya aku mengatakan iya (tiap tahun), tentu jadi wajiblah (tiap tahun untuk
berangkat haji) dan sungguh seperti itu kalian tentu tidak sanggup. Tinggalkanlah
aku pada apa yang aku tinggalkan bagi kalian. Ingatlah, sungguh binasanya
orang-orang sebelum kalian. Mereka binasa karena banyak bertanya dan karena
menyelisihi perintah para nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu, maka
kerjakanlah semampu kalian dan jika aku melarang pada sesuatu, maka
tinggalkanlah.” (HR. Muslim)
Sebab turunnya hadits ini adalah ketika Nabi SAW mengabarkan perintah
diwajibkannya haji kepada umat islam. Kemudian ada laki-laki bertanya kepada
SAW, ia adalah Al-Aqra’ bin Habis. Ia bertanya terkait kewajiban haji apakah harus
dilaksanakan setiap tahun. Rasulullah SAW hanya diam tidak menanggapi, akan
tetapi laki-laki tersebut terus bertanya sebanyak tiga kali, sampai-sampai Rasulullah
menegurnya untuk tidak banyak bertanya kepada perkara yang beliau diamkan atau
tidak beliau jawab secara langsung. Selain daripada kewajiban berhaji cukup sekali
seumur hidup yang dijelaskan dalam hadits ini, ada beberapa faidah yang bisa kita
ambil, antara lain:

Faidah Hadits:
1. Kaidah dari ulama ushul, jika ada suatu perintah tidaklah menunjukkan bahwa
perintah tersebut mesti diulang kecuali ada dalil yang menunjukkan harus
dirutinkan atau diulang. Ibadah haji adalah salah satu amalan yang kewajibannya
cukup sekali dilaksanakan seumur hidup tanpa adanya pengulangan.
2. Ada kaidah ushul fiqih dari hadits ini yang dipakai oleh para ulama “tidak ada
kewajiban ketika tidak mampu”. Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam
bait syair kaidah fiqih yang beliau susun,

‫س َو ياجب بيالَ اقْتي َدا ٍر‬


َ ‫َو لَْي‬
“Tidak ada kewajiban ketika tidak mampu.”
Artinya, kewajiban bisa gugur jika tidak punya kemampuan saat sebelum ataupun
ketika kewajiban tersebut berlangsung. Beberapa dalil yang mendukung hal ini,
di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:

‫استَطَ ْعتُ ْم‬ َّ ‫فَاتَّ ُقوا‬


ْ ‫اَّللَ َما‬
“Bertakwalah pada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)

Ayat di atas sebagai tafsiran dari ayat

‫اَّللَ َح َّق تُ َقاتييه‬


َّ ‫ين َآمنُوا اتَّ ُقوا‬ ‫َّ ي‬
َ ‫َاي أَيُّ َها الذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-
benarnya takwa kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 102).
Inilah pendapat Imam Nawawi rahimahullah. Beliau menyatakan bahwa perintah
bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa ditafsirkan dengan ayat
“Bertakwalah pada Allah semampu kalian”. Allah tidaklah memerintahkan
kecuali sesuai kemampuan kita. Begitu juga ayat yang mendukung kaidah di atas:

‫اَّللُ نَ ْف ًسا إيََّل ُو ْس َع َها‬


َّ ‫ف‬ ‫ي‬
ُ ِّ‫ََل يُ َكل‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(QS. Al-Baqarah: 286)
‫وما جعل علَي ُكم يِف ِّي‬
‫الدي ين يم ْن َحَرٍج‬ ْ ْ َ َ َ َ ََ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)
3. Wajib menahan diri dari setiap apa yang dilarang oleh syari’at. Menahan diri dari
yang terlarang ini mencakup larangan yang sedikit maupun yang banyak harus
dijauhi secara keseluruhan. Contoh: riba yang sedikit dan banyak sama-sama
harus dijauhi. Meminum khamr seteguk maupun segelas atau lebih sama-sama
harus dijauhi. Tidak ada tawar menawar dalam hal ini.
4. Mengerjakan suatu perintah sesuai kemampuan yang dimiliki. Karena
mengerjakan sesuatu itu lebih sulit daripada Menahan diri dari melakukan
sesuatu. Memulai langkah awal untuk melakukan kebaikan lebih sulit dari
menahan diri untuk tidak melakukan maksiat. Maka, jangan pernah mencaci
seseorang yang melakukan ibadah tatkala belum terlihat sempurna.
5. Manusia itu memiliki kemampuan. Hal ini berbeda dengan keyakinan Jabariyyah
yang menyatakan manusia itu dipaksa oleh takdir untuk berbuat dan tidak punya
pilihan.
6. Segala yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang
beliau larang, maka tetaplah jadi syariat baik hal tersebut terdapat dalam Al-
Qur’an ataukah tidak. Dan bisa jadi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadi hukum tambahan dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an.
7. Banyak bertanya adalah sebab kebinasaan. Contohnya adalah banyak bertanya
dalam perkara yang tidak mungkin kemampuan berpikir kita sampai ke situ
seperti permasalahan ghaib tentang nama dan sifat Allah atau tentang keadaan
hari kiamat. Di antara makna banyak bertanya pula adalah bertanya suatu
masalah yang belum terjadi. Dulu para ulama tidak menyukai hal ini dan mereka
menganggap hal itu termasuk menyusah-nyusahkan diri.
Umar bin Khattab pernah keluar di tengah-tengah manusia kemudian berkata,

ً‫ فَيإ َّن لَنَا فيْي َما َكا َن ُش ْغال‬، ‫ُحِّير ُج َعلَْي ُك ْم أَ ْن تَ ْسأَلُْو ََن َع ْن َما ََلْ يَ ُك ْن‬
َ‫أ‬
“Aku melarang kalian dari bertanya pada sesuatu yang belum terjadi karena
sebenarnya kita punya kesibukan yang begitu banyak.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-
Hikam, 1:245)
Wallahu A’lam.

Asrama Madinah, Darunnajah 2 Cipining


Senin, 27 Desember 2021 Pukul 17:45
Muhammad Fariz Khaerul Fazri
Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan kaidah ushuliyah berikut ini?
‫األمر َل يقتضي التكرار إَل ابلدليل‬
Jelaskan maksud dari kaidah tersebut dan berikan contoh yang tepat!

2. Perhatikan terjemahan hadits berikut!

“… Apa saja yang aku larang, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku
perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian…”

Jika kita perhatikan redaksi hadits di atas, setiap perintah agar dilakukan
semampunya, berbeda dengan larangan yang harus dijauhi secara mutlak (tanpa
ada keterangan “jauhilah semampu kalian”). Jelaskan dengan benar
permasalahan ini!

3. Bertanya adalah sesuatu yang wajar dan lumrah, bahkan dinilai sebagai hal
positif. Pada kondisi seperti apakah sehingga bertanya dinilai sebagai hal yang
negative?

Anda mungkin juga menyukai