0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
12 tayangan25 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dalam bidang syariat dan ibadah. Ajaran ini mengikuti contoh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dengan empat prinsip utama yaitu prinsip tengah, seimbang, toleransi, dan tegak lurus. Keempat prinsip ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan beragama seperti teologi, fiqh, dan akhlak.
Dokumen tersebut membahas tentang ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dalam bidang syariat dan ibadah. Ajaran ini mengikuti contoh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dengan empat prinsip utama yaitu prinsip tengah, seimbang, toleransi, dan tegak lurus. Keempat prinsip ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan beragama seperti teologi, fiqh, dan akhlak.
Dokumen tersebut membahas tentang ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dalam bidang syariat dan ibadah. Ajaran ini mengikuti contoh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dengan empat prinsip utama yaitu prinsip tengah, seimbang, toleransi, dan tegak lurus. Keempat prinsip ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan beragama seperti teologi, fiqh, dan akhlak.
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain, ada empat ciri khas kelompok ini, yakni tiga sifat yang selalu diajarkan Nabi SAW dan para sahabatnya. Keempat prinsip itu adalah sebagai berikut: 1. Prinsip al-tawasuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri atau kanan), 2. Prinsip al-tawazun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan dalil aqli dan dalil naqli), dan 3, prinsip al-tasamuh, yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah, sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling memusuhi, dan sebaliknya akan tercipta persaudaraan yang islami (ukhuwah islamiyah). 4. Prinsip al-i’tidal (tegak lurus). Terefleksikan pada kiprah mereka dalam kehidupan sosial, cara mereka bergaul serta kondisi sosial pergaulan dengan sesama muslim Keempat prinsip tersebut bisa dilihat dalam masalah: 1. Keagamaan (teologi), tercerminkan dalam rumus- an yang digagas oleh imam Asy’ari dan imam Maturidi 2. Perbuatan lahiriah (fiqh); dalam masalah perbuatan badaniyah termanifestasikan (terwujud) dengan mengikuti mazhab yang empat yakni madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Hambali 3. Masalah akhlak yang mengatur gerak hati, (tashawwuf). Mengikuti rumusan imam Junaidi al- Baghdadi dan imam al-Ghazali. IJTIHAD ULAMA SALAFUSSHALIH Tiga hal penting yang menjadi inti dari agama yang Nabi SAW ajarkan, yakni Islam, Iman, Ihsan. Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam pengamalan kehidupan beragama, tiga perkara itu harus diterapkan secara bersama-sama tanpa melakukan pembedaan. Seorang muslim tidak diperkenankan terlalu mementingkan aspek Iman dan meninggalkan dimensi Ihsan dan Islam. Dan begitu seterusnya ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. AL-Baqorah, 208) Memperbincangkan sumber hukum Islam, kita mulai dari firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah SWT, dan patuhlah kamu kepada Rasul dan Ulu al Amri di antara kamu sekalian. Kemudian jika kamu berselisih faham tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS al-Nisa, 59) Berdasarkan ayat ini, ada empat dalil yang dapat dijadikan pijakan dalam menentukan hukum, yaitu 1. al-Qur’an, 2. al-Hadits, 3. Ijma, dan 4. Qiyas. Menurut Abdul Wahhab Khallaf dalam Ilm Ushul al-Fiqh, ”Perintah (yang terdapat dalam kitab QS al-Nisa, 59) untuk menaati Allah SWT dan Rasulnya, merupakan perintah untuk mengikuti al-Qur’an dan al-Hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti Ulu al-Amr, merupakan anjuran untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid, sebab merekalah yang menjadi Ulu al- Amri dalam masalah hukum agama bagi kaum muslimin. Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasulnya berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada dalil nash (al-Qur’an dan Hadits) dan ijma’”. (Ilm Usul al-Fiqh,21) Dalam kehidupan beragama (perbuatan lahiriyah), istilah madzhab sudah lazim kita dengar. Dan sudah menjadi kesepakatan bahwa dalam fiqh, berpegangan pada salah satu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Madzhab Hambali. Hal ini berarti ada kebebasan untuk mengikuti salah satu aturan yang berlaku dalam empat madzhab tersebut. Secara bahasa madzhab berarti jalan. ”Madzhab berarti jalan” (Al- Qamus al-Muhith 86). Sedangkan pe-ngertian madzhab secara istilah sebagaimana dijelaskan oleh KH. Zainal Abidin Dimyathi dalam kitabnya al-Idza’ah al- Muhimmah adalah ”Madzhab adalah hukum-hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid.” (Al-Idza’ah al-Muhimmah, 18) Madzhab tidak akan terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath’i) dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib, zina haram dan semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan yang masih terjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para peng- ikutnya. Jadi, madzhab itu merupakan hasil elaborasi (pe- nelitian secara mendalam) para ulama untuk me- ngetahui hukum yang tidak secara jelas terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadits serta dalil yang lainnya. Menurut Sayyid ’Alawi bin Ahmad al-Seggaf dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, ”(Sebenarnya) yang boleh diikuti itu tidak hanya terbatas pada empat madzhab saja. Bahkan masih banyak madzhab ulama yang boleh diikuti, seperti madzhab dua Sufyan (Sufyan al-Tsauri dan Sufyan bin Uyainah), Ishaq bin Rahawaih, Imam Dawud al-Zhahiri, dan al-Awza’i.” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah. 59) Namun mengapa yang diakui serta diamalkan oleh ulama golongan Ahl al Sunnah wa al Jama’ah hanya empat madzhab saja? Sebenarnya, yang menjadi salah satu faktor adalah tidak lepas dari murid-murid mereka yang cerdas dan kreatif, yang membukukan pendapat-pendapat imam mereka sehingga pendapat imam tersebut dapat terkodifikasikan dengan baik. Akhirnya, validitas (kebenaran sumber dan salurannya) dari pendapat-pendapat tersebut tidak diragukan lagi. Di samping itu, madzhab mereka telah teruji ke-shahihan- nya, sebab memiliki metode istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan telah tersistem dengan baik, sehingga dapat dipertanggung jawab kan secara ilmiah Yang dimaksud dengan al-Qur’an adalah “Al-Qur’an adalah lafazd yang diturunkan kepada Nabi SAW sebagai mu’jizat, dan merupakan ibadah apabila membacanya”. (Al-Khawakab al-Sathi fi Nazhm Jam al-Jawami, Juz I, hal 69) al-Qur’an adalah firman Allah (kalamullah) yang di- turunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang meng- gunakan bahasa Arab dengan membawa ajaran yang benar, supaya dapat dijadikan bukti (mu’jizat) oleh Nabi Muhammad SAW atas kerasulannya, dan agar bisa menjadi pedoman bagi orang-orang yang meyakininya, serta dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk penghambaan diri kepada Allah SWT (ibadah) bagi yang membacanya Sumber Hukum Islam yang kedua adalah al-Sunnah. Yang dimaksud al-Sunnah adalah “Yakni segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, baik berupa perbuatan, ucapan serta pengakuan Nabi Muhammad SAW”. (Al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, 51) Karena itu sunnah terbagi menjadi tiga yaitu 1. Pertama, semua ucapan Nabi SAW tentang hukum. Seperti perintah Nabi SAW untuk berpuasa Ramadhan apabila telah melihat bulan (ru’yah). Hal ini disebut dengan Sunnah Qawliyyah. 2. Kedua, Sunnah Fi’liyyah, yakni segala sesuatu yang dikerja-kan Nabi SAW, seperti tata cara shalat yang beliau kerjakan. 3. Ketiga, Sunnah Taqririyyah yakni pengakuan Nabi SAW atas apa yang diperbuat oleh sahabatnya. Contohnya adalah bertayamum karena tidak ada air. (Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hal 105) Para ulama membagi kitab-kitab hadits kepada tiga tingkatan besar. 1. Tingkatan pertama adalah kitab yang memuat Hadits Mutawatir, Hadits Shahih yang ahad (tidak sampai tingkatan mutawatir, karena diriwayatkan oleh sedikit orang), serta Hadits Hasan. Misalnya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, serta kitab al-Muwaththa’ karangan Imam Malik. 2. Tingkatan kedua adalah tingkatan hadits yang tidak sampai kepada tingkatan pertama, yaitu kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang diyakini tidak mudah memasukkan sembarangan hadits dalam kitab-kitab mereka, namun masih ada kemungkinan hadits yang mereka tulis masuk pada kategori Dha’if. Misalnya adalah Jami’al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Musnad Ahmad bin Hanbal dan Mujtaba al-Nasa’i. 3. Tingkatan ketiga adalah kitab-kitab yang banyak memuat hadits Dha’if, namun kebanyakan para perawinya tidak diketahui keadaannya, apakah tergolong fasiq atau tidak. Contoh untuk golongan ketiga ini adalah Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad al-Thayalisi, Musnad Abd bin Humaid, Sunan al-Baihaqi, al-Thabrani, al-Thahawi dan Mushannaf Abdurrazaq. 4. Tingkatan keempat adalah kitab-kitab yang banyak mengandung hadits Dha’if, seperti kitab Hadits karya Ibn Mardawaih, Ibn Syahin, Abu al-Syaikh dan lain-lain. Jenis keempat ini tidak dapat dijadikan pedoman, karena kebanyakan sumber mereka adalah orang-orang yang kurang dapat dipercaya, karena selalu mengedepankan hawa nafsunya. (Ulum al-Hadits wa Mushthalahuh, 116-117) Dalil tiga adalah Ijma’ yakni ”Yang dimaksud dengan Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman tentang suatu permasalahan hukum yang terjadi ketika itu.” (Al- Waraqat fi Ushul al-Fiqh, 44) Kesepakatan itu adakalanya terjadi pada saat semua mujtahid mengemukakan pendapatnya, dan ternyata pendapat mereka semua itu sama. Inilah yang disebut dengan Ijma’ Sharih. Dan adakalanya kesepakatan itu terjadi karena ada sebagian mujtahid yang mengemukakan pendapatnya, sedangkan yang lain diam (tidak memberikan komentar), sehingga mereka dianggap setuju dengan pendapat yang dikemukakan mujtahid tersebut. Ijma seperti ini disebut dengan Ijma’ Sukuti. (Ilmu Ushu al-Fiqh, hal 23). Dalil yang keempat adalah Qiyas, yakni sebagaimana dikemukakan oleh Ibn al-Hajib ”Ibn Hajib mengatakan, ”Qiyas adalah menyamakan hukum cabang (far) kepada ashl karena ada (kesamaan) illat (sebab) hukumnya”. (Ushul al-Fiqh Khudhari Bik, 289)
Keempat dalil ini harus digunakan secara hirarkis
(berurutan), artinya ketika memutuskan suatu persoalan hukum, maka yang pertama kali harus dilihat adalah al- Qur’an. Apabila tidak ditemukan di dalam al-Qur’an, maka meneliti hadits Nabi SAW. Jika tidak ada, maka melihat Ijma’. Dan yang terakhir adalah dengan menggunakan qiyas. Di samping itu, sebenarnya masih ada enam dalil yang di- gunakan oleh Imam Mujtahid. Yakni 1. Mashlahah Mursalah (mashlahah yang tidak berten- tangan dengan dalil syar’i), 2. Istihsan (menganggap baik suatu perkara), 3. Madzhab Shahabi (pendapat para sahabat), 4. al-Urf (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syari’at), 5. Istishhab (menetapkan hukum yang sekarang terjadi saat itu sesuai dengan hukum yang sudah pernah ber- laku sebelumnya) serta 6. Syar’ Man Qablana (syari’at kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad SAW) Namun dalil-dalil tersebut masih diperselisihkan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang menggunakan dalil yang tidak diakui oleh yang lainnya. Imam Abu Hanifah misalnya, mengakui istihsan sebagai dalil hukum, sementara Imam syafi’i menolak mengguna- kannya seraya berkata, ”Barang siapa yang melakukan istihsan, berarti ia telah membuat syari’at baru”. BERMADZHAB Bermadzhab dapat dikelompokkan menjadi beberapa tingkatan atau level : 1. Taqlid kepada ulama Syafi’iyyah. 2. Taqlid kepada Imam Syafi’i secara langsung 3. Ittiba’ kepada fuqoha’ syafi’iyyah atau langsung kepada Imam Syafi’i 4. Bermadzhab fi al-Manhaj 5. Mengembangkan metodologi Perbedaan penetapan hukum: 1. Bisa terjadi pada ulama yang bersangkutan, misalnya pendapat Imam Syafi’i (Qaul Qadim, Qaul Jadid ---- realitas yang dihadapi sama sekali berubah) 2. Bisa terjadi antara ulama pada madzhab yang sama 3. Bisa terjadi dari madzhab yang berbeda. SEBAB-SEBAB YANG MENIMBULKAN PERBEDAAN: (menurut Musthofa al-Khin) 1. Perbedaan bacaan 2. Tidak mengetahui adanya hadits 3. Keraguan terhadap kebenaran sebuah hadits 4. Perbedaan dalam memahami dan menafsirkan Nash 5. Kerancuan makna dalam suatu kata 6. Kontradiksi beberapa dalil 7. Tidak adanya Nash dalam suatu masalah SEBAB-SEBAB YANG MENIMBULKAN PERBEDAAN: (menurut Wahbah Zuhaili) 1. Perbedaan arti dari beberapa kata Arab 2. Perbedaan riwayat (tingkatan hadits) 3. Perbedaan sumber dalil (ada yang menerima,ada yang tidak Ex: kedudukan adat dalam syari’ah) 4. Perbedaan kaidah-kaidah ushul fiqh 5. Ijtihad dengan qiyas 6. Kontradiksi dan pengunggulan dalil WASSALAM