Anda di halaman 1dari 19

USHUL FIQH PADA MASA RASULULLAH SAW,

SAHABAT, TABI’IN, DAN IMAM MADZHAB

By:
1.Ratu Sringgit Fatra Syawalyah
2.Muhammad Alif Abdurrahman Maulana
Ushul Fiqh Pada Zaman Rasulluah SAW.
• Ushul fiqh di lahirkan pada masa di mana kekuasaan ummat Islam semakin luas dan semakin banyak orang
Arab memeluk agama Islam tepat nya pada abad ke 2 Hijriah. Karena hal itu lah banyak menimbulkan
kesamaran dalam memahami nash, sehingga di rasa perlu dalam menetapi kaidah-kaidah guna memahami
dan membahas nash, maka lahir lah ilmu ushul fiqh yang menjadi penuntun dalam memahami nash.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasan nya adalah
bahwa ushul fiqh merupakan podasi, sedangkan fiqh adalah bangunan yang di dirikan di atas pondasi.
Karena hal itulah sudah pasti ushul fiqh harus di dahuluakan sebelum adanya fiqh. Jawaban yang demikian
benar apabila ushul fiqh di lihat sebagai sebuah metode, pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah
bidang ilmu yang khas. Misal, Ketika seorang sahabat di hadapkan oleh suatu permasalahan hukum, setelah
itu ia mencari ayat Al-Qur’an atau mencari jawaban dari Rasulluah SAW. Secara langsung maka hal itu bisa
di sebut sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah mempunyai gagasan bahwa untuk memecahkan
hukum harus di cari dasar nya melalui Al-Qur’an atau langsung bertanya kepada Rasulluah SAW.
• Adapun ijtihad yang di lakukan oleh para sahabat dalam menentukan ushul fiqh, ketika ada 2 sahabat yang
melakukan perjalan panjang dan tiba waktu shalat, dan sayang nya 2 sahabat tersebut tidak memiliki air saat
ingin berwudhu, lalu kedua nya melakukan tayyamum dengan menggunakan debu suci setelah itu mereka
melaksanakan shalat, salah satu dari 2 sahabat tersebut mengulang shalat nya dan kedua nya langsung
mendatangi Rassulluah SAW. Dan menceritakan kejadian baru mereka alami, Rasulluah SAW. Ber sabda
kepada yang ber tayyamum “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” lalu kepada orang
yang berwudhu dan mengulang shalat nya “Bagimu dua pahala.”
• Dari kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika telah menemukan air
setelah shalat selesai di kerjakan dengan bersuci mennggunkan tayammum. Mereka menanggapi nya dengan
cara yang berbeda namun Rasulluah membenarkan ijtihad keduanya dalam hal bersuci sebelum melakukan
shalat. Semasa Rasulluah SAW. Hidup semua permasalahan tentang ushul fiqh di kembalikan kepada
Rasulluah SAW. Dan pada masa ini hukum fiqh bersumber dari wahyu Allah SWT.
• Namun demikian juga terdapat usaha-usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapat nya dalam
menentukan pendapat yang akan di gunakan dalam pemutusan hukum fiqh.
Ushul Fiqh Pada Zaman Sahabat
• Masa sahabat adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa
Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga
sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu (nalar). Petunjuk paling jelas
terhadap tiga sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut:
• Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana
kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab
Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya
putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah
Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu
berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.” (Redaksi hadits di atas
berasal dari Sunan al-Baihaqi.
• Riwayat yang hampir sama isi dan redaksinya juga dimuat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Abu
Dawud, dan Sunan Tirmidzi. Meskipun ada yang meragukan kesahihan hadits di atas, namun hadits tersebut
sangat populer di kalangan ushuliyyin) Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para
sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan
mereka. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi
Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir
mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri. (Thaha Jabir Alwani, 1994 : 19) Pada
era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma’ sahabat dan
mashlahah. (Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, 1983: 38-39)
• A. Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama
tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum.
Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan
kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian
ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima.
• B. Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan mashlahah.
Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab
kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah.
• Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian
hukumnya disamakan. Penggunaan mashlahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab
dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan mashlahah dalam
pemecahan hukum.
• Hasil penggunaan pertimbangan mashlahah tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu
mushaf, contohnya, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak
memberlakukan hukuman potong tangan di waktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj),
pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya. Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam
memahami apa yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain
dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah 228.. “Perempuan-perempuan yang ditalak
hendaknya menunggu selama tiga quru‘”
• Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar
bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian
haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci. (Muhammad Sa‘id
al-Khinn, 1994: 72)
• Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi). Secara umum, sebagaimana pada
masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang
sering berbeda pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog
semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi.
Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan.
Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau
permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah
metodologi. (Muhammad al-Khudlary. Tth: 114)
Ushul Fiqh Masa Tabi’in
• Pada era tabi’in perbincangan mengenai persoalan ushul fiqh tidak banyak berbeda dengan era sahabat
karena para tabiin adalah murid-murid para sahabat. Hal yang penting dicatat barangkali adalah bahwa pada
era tabi’in, pembagian geografis mulai mendapatkan tempat dalam peta pemikiran hukum Islam.
Perbincangan tersebut disertai dengan munculnya sentral-sentral pengembangan kajian hukum Islam di
amshar (kota-kota besar Islam), seperti Makkah dan Madinah, Iraq (Kufah), Syiria, dan Mesir. Tabi’in
adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat
bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud
ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan
Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam
penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka
pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut.
• Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing. Murid-
murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim
non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi
, Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i
(ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir. (Taha
Jabir Alwani. 1994) (Lihat juga Muhammad al-Khudary, Tth: 150-162).
• Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah.
Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak
mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada
faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda
dengan metode istimbath sahabat.
• Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting yaitu, Pemalsuan hadits Perdebatan
mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl
al-hadits) Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan
perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis. Dua hal tersebut, ditambah
munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan
madzhab-madzhab hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang
khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.
Ushul Fiqh Pada Zaman Imam Madzhab
• 1. Abu Hanifah
• Abu Hanifah atau biasa di kenal dengan sebutan hanafi lahir di Irak pada tahun 669 Masehi atau
bertepatan dengan 80 Hijriah. Imam Abu Hanifah di katakan banyak belajar ilmu fiqh, tafsir, hadist, dan
tauhid kepada para ulama yang sangat alim, salah satunya ialah Nafi’ ibn ‘Umar. Selain itu beliau
berkesempatan untuk belajar kepada beberapa sahabat nabi yang masih hidup diantara nya ‘Abdullah Ibn
Mas’ud dan Sahal Ibn Sa’ad.
• Abu Hanifah adalah mujtahid yang merupakan seorang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar dari
beberapa ulama hebat salah satu nya bernama Hammad bin Abu Sulaiman.
• Adapun perkembangan ushul fiqh di zaman Imam Abu Hanifah sangat di pengaruhi oleh murid nya yang
bernama Abu Yusuf ia di angkat sebagai Qadhi dalam tiga pemerintahan Abbasyah, pada saat itu madzhab
hanafi mendapat dukungan politik dari murid nya tersebut.
• Menurut Abu Bakar Al-Baghdadi dalam kitab nya menjelaskan dasar-dasar pemikiran yang tertuang dalam
madzhab hanafi, di antaranya sebagai berikut : “aku (Abu Hanifah) mengambil kitab Alah. Bila tidak
ditemukan di dalamnya, aku ambil dari sunah Rasul, jika aku tidak menemukan pada kitab dan sunahnya,
aku ambil pendapat sahabat-sahabat. Aku ambil perkataan yang aku kehendaki dan aku tinggalkan
pendapatpendapat yang tidak aku kehendaki. Dan aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat
orang lain selain mereka. Adapun apabila telah sampai urusan itu atau telah datang kepada Ibrahim, as-
Syaibani, Ibnu Sirin, al-Hasan, Atha’, Said, dan Abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi mereka orang-
orang yang telah berijtihad”.
• 2. Imam Malik
• Imam Malik bin Anas, beliau lahir di kota Madina pada tahun 789 Masehi atau bertepatan dengan 93
Hijriah dan beliau juga yang mengarang madzhab Maliki yang sangat terkenal hingga ke penjuru dunia.
• Madzhab Maliki berkembang di khalifah timur atas dukungan dari Al-Mansyur dan di khalifah barat atas
dukungan dari para khalifah di Andalusia, bahkan di Afrika, Al-Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk
untuk mengikuti Mazhab Maliki.
• Hukum fiqh yang di buat oleh imam sejatinya tidak tertulis secara sistematis, namun murid nya yang
bernama qadhi’iyyad dalam kitabnya al-Mudharrak, sebagai berikut : “sesungguhnya manhaj Imam dar al-
Hijrah, pertama ia mengambil kitabullan, jika tidak ditemukan dalam kitabullah, ia mengambil as-Sunnah
(kategori as-Sunnah menurutnya haditshadits nabi dan fatwa-fatwa sahabat), amal ahli al-Madinah, al-
Qiyas, alMashlahah al-Mursalah, Sadd adz-Dzara’i, al-‘Urf dan al-‘Adat”.
• 3. Imam Syafi’I
• Imam Syafi’I lahir pada pemerintahan Abbasiyyah, yaitu pada tahun 787 Masehi atau bertepatan dengan
150 Hijriah di Gazza Palestina. Jika madzhab Maliki sangat mendominasi di wilayah bagian timur dan di
bagian Afrika, maka, madzhab imam Syafi’I sangat lah mendominasi atau banyak di gunkan di Mesir
ketika Shalahuddin al-Ayubi merebut negeri itu.
• Adapun sistem yang di gunakan oleh imam Syafi’I telah tertuang dalam kitab Al-Umm yang menguraikan
sebagai berikut : “ilmu itu bertingkat secara berurutan pertama-tama adalah al-Qur’an dan as-Sunnah
apabila telah tetap, kemudian kedua Ijma’ ketika tidak ada dalam al-Qur’an an as-Sunnah dan ketiga
Sahabat Nabi (fatwa sahabi) dan kami tahu dalam fatwa tersebut tidak adanya ikhtilaf di antara mereka,
keempat ikhtilah sahabat Nabi, kelima qiyas yang tidak diqiyaskan selain kepada al-Qur’an dan as-Sunnah
karena hal itu telah berada di dalam kedua sumber, sesungghunya mengambil ilmu dari yang teratas”.
• 4. Imam Ahmad bin Hambal
• Imam Ahmad bin Hambal lahir di baghdad pada tahun 780 Masehi atau bertepatan dengan 164 Hijriah,
beliau adalah pengarang dari madzhab Hambali dan madzhab tersebut mencapai puncak dominasi nya
pada masa pemerintahan AlMutawakkil. Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi
kecuali dengan persetujuan imam Ahmad Ibnu hambal.
• Dan adapun landasan hukum yang di pakai imam Ahmad bin Hambal dalam menetap kan suatu hukum
ialah :
• 1. Al-Qur’an dan Hadits, yakni apabila beliau mendaparkan nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan
dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
• 2. Ahmad bin Hanbal berfatwa dengan fatwa para sahabat, ia memilih pendapat sahabat yang tidak
menyalahinya (ikhtilaf) dan yang sudah sepakat.
• 3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad bin Hanbal memilih salah satu pendapat mereka yang
lebih dekat kepada al-Qur’an dan asSunnah.
• 4.Ahmad bin Hanbal menggunakan Hadits Mursal dan Dhaif apabila tidak ada atsar, qaul sahabat atau ijma’
yang menyalahinya.
• 5.Apabila tidak ada dalam nash, as-Sunnah, qaul sahabat, riwayat masyhur, hadits mursal dan dhaif, Ahmad
bin Hanbal menganalogikan (menggunakan qiyas) dan qiyas baginya adalah dalil yang digunakan dalam
keadaan terpaksa.

Anda mungkin juga menyukai