NIM: 2022080001
1. A. Pendidikan Formal
Metode merupakan suatu cara untuk mencapai suatu tujuan. Allah Swt. sendiri telah mengajarkan
kepada manusia supaya mementingkan metode. Metode pendidikan merupakan seperangkat cara,
jalan dan teknik yang dipakai oleh guru (pendidik) dalam proses belajar mengajar agar siswa (murid,
peserta didik) mencapai tujuan pendidikan atau kompetensi tertentu yang dirumuskan dalam
kurikulum, silabus dan mata pelajaran.
Untuk mendapatkan hasil terbaik sesuai dalam tujuan pembelajaran seorang pendidik harus
memperhatikan metodepe ang baik dan sesuai dengan situasi, kondisi dan meteri yang ingin diajarkan
kepada peserta didik. Karena metode yang tidak sesuai akan mempengaruhi hasil belajar peserta didik
baik pada ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Begitu pentingnya mengetahui dan melaksanakan metode yang benar dan sesuai dengan
situasi dan kondisi serta memperhatikan kesesuaian metode dengan materi dalam proses pendidikan
untuk mendapatkan hasil yang maksimal, seorang pendidik harus memperhatikan metode yang
digunakannya dalam proses pendidikan.
Sebagaimana Kalamullah pada surat An-Nahl ayat 125:
و َأ ْعلَ ُم0 َ َو َأ ْعلَ ُم ِب َمن0ُك ه
َ 0ُبِيلِ ِهۦ ۖ َوه0 َّل عَن َس0ض َ َّيل َربِّكَ بِ ْٱل ِح ْك َم ِة َو ْٱل َموْ ِعظَ ِة ْٱل َح َسنَ ِة ۖ َو ٰ َج ِد ْلهُم بِٱلَّتِى ِه َى َأحْ َسنُ ۚ ِإ َّن َرب
ِ ِع ِإلَ ٰى َسب
ُ ٱ ْد
َبِ ْٱل ُم ْهتَ ِدين
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, tafsir
mudaris Universitas Islam Madinah
"Janganlah kamu memakan sesuatu dari (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama
Allah. Perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan benar-benar selalu membisiki
kawan-kawannya agar mereka membantahmu. Jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu
benar-benar musyrik" (QS. Al-An’am [6] :121).
Di dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa (Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang
yang tidak disebut nama Allah) Maksudnya, seandainya karena mati dengan sendirinya atau
disembelih dengan menyebut nama selain Allah Swt. terkecuali apa yang disembelih oleh seorang
muslim, sekalipun tidak menyebut nama Allah Swt. ketika menyembelihnya baik secara sengaja atau
pun karena lupa, maka sembelihannya tetap halal. Pendapat tersebut merupakan pendapat Ibnu Abbas,
yang selanjutnya juga dianut oleh Imam Syafi’i. (Sesungguhnya) memakan binatang-binatang yang
diharamkan tersebut (adalah suatu kefasikan) keluar dari garis apa yang telah dihalalkan.
Sesungguhnya setan itu membisikkan, menghembuskan) godaannya kepada kawan-
kawannya yakni kepada orang-orang kafir (agar mereka membantah kalian) di dalam masalah
menghalalkan dan jika kalian menuruti mereka) di dalam hal ini bangkai (sesungguhnya kalian
tentulah menjadi orang-orang musyrik)
3. Sudut pandang pembuangan makanan sedekah ke laut lepas
Bisa dipastikan mubadzir makanan yang di sedekahkan ke laut tersebut. Karenanya, sedekah
laut termasuk golongan perbuatan mubadzir yang diharamkan agama, apalagi jika mengingat
makanan yang dilarungkan ke laut sangatlah banyak. Mubadzir itu bukanlah sifat seorang Muslim.
Terdapat dalam Q.S Al Isra ayat 27:
ِإ َّن ْٱل ُمبَ ِّذ ِرينَ كَانُ ٓو ۟ا ِإ ْخ ٰ َونَ ٱل َّش ٰيَ ِطي ِن ۖ َو َكانَ ٱل َّش ْيطَونُ لِ َربِّههَ ٱل َّش ْيطَونُ لِ َربِّههَ ٱل َّش ْيطَونُ لِ َربِّههَ ٱل َّش ْيطَونُ لِ َربِّهَه
“Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat
ingkar kepada Tuhannya.”(QS. Al Isra [17] : 27)
Menurut Tafsir Al Muyassar, sesungguhnya orang yang melakukan pemborosan dan
membelanjakan hartanya dalam maksiat kepada Allah mereka itu menyerupai setan-setan dalam hal
keburukan, kerusakan dan maksiat. Dan setan itu sangat banyak kufurnya dan keras pengingkarannya
terhadap nikmat tuhannya. Jika memang makanan itu dipersepsikan akan dimakan oleh ikan-ikan di
laut, padahal ikan pun sama-sama makhluk Allah. Maka dari itu, makanan yang Allah sediakan untuk
ikan-ikan di laut lebih dari cukup persediaannya.
Lebih baik makanan tersebut kita sedekahkan kepada sanak keluarga, teman, ataupun orang
lain yang membutuhkan, perbuatan itu lebih bermanfaat. Ajaran islam dan adat-istiadat maka tidak
boleh bertentangan atau menyalahi hal-hal yang principal fundamental, khususnya kemurnian akidah
di samping keseimbangan pengamalan fikih dengan akidah dan akhlak.
B. Pendapat Pro dan Kontra
Ada pendapat yang mengatakan terdapat nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam
tradisi sedekah laut:
1. Aqidah
Aqidah merupakan sebuah kepercayaan atau keyakinan kepada Allah Swt. dalam upacara
ritual tradisi sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat setempat bertujuan untuk mengungkapkan
puji syukur atas segala rezeki yang diberikan oleh Allah Swt. khususnya berupa kekayaan alam yang
ada di laut. Dengan melalui beberapa rangkaian kegiatan, salah satunya adalah tahlilan. Dan tahlilan
tersebut sebagai alat untuk bersyukur kepada Allah swt. juga sebagai permohonan kepada Allah
supaya dalam mencari rezeki diberi keselamatan, serta rezekinya bertambah melimpah dari hasil
melaut.
Dalam nilai aqidah, upacara ritual tradisi sedekah laut merupakan sebagai simbol ketaatan dan
rasa syukur kepada Allah Swt. Dalam pelaksanaan tradisi sedekah laut umumnya dilaksanakan
khataman Al-Qur’an atau istighosah. Di dalamnya berisi kegiatan doa-doa, wiridan dan shalawat.
Tujuan utamanya adalah untuk memohon pertolongan dan keberkahan rezeki dari Allah swt (Umar,
2020: 79).
Dalam surat Al-Anfal ayat 9 Allah Swt. berfirman yang berbunyi:
ٓ
َف ِّمنَ ْٱل َم ٰلَِئ َك ِة ُمرْ ِدفِين
ٍ اب لَ ُك ْم َأنِّى ُم ِم ُّد ُكم بَِأ ْل
0َ ِإ ْذ تَ ْست َِغيثُونَ َربَّ ُك ْم فَٱ ْستَ َج
Artinya: “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada tuhanmu, lalu
diperkenankan-Nya bagimu, “Sungguh, aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan
seribu malaikat yang datang berturut-turut”.
2. Ibadah
Ibadah diwujudkan dalam bentuk taat kepada Allah swt. dengan melaksanakan perintah-Nya
melalui ucapan maupun perbuatan para Rasul-Nya. Nilai ibadah dalam upacara ritual tradisi sedekah
laut yaitu berupa pembacaan doa dalam tahlil bersama untuk mendoakan para leluhur terdahulu yang
sudah meninggal dan meminta kepada Allah agar diberi keselamatan dalam mencari rezeki yang
halal. Pembacaan do’a selamat dalam upacara ritual tradisi sedekah laut merupakan nilai ibadah
sebagaimana firman Allah swt. dalam surat Al-Mukmin ayat 60, sebagai berikut:
َال َربُّ ُك ُم ٱ ْدعُونِ ٓى َأ ْست َِجبْ لَ ُك ْم ۚ ِإ َّن ٱلَّ ِذينَ يَ ْستَ ْكبِرُونَ ع َْن ِعبَا َدتِى َسيَ ْد ُخلُونَ َجهَنَّ َم دَا ِخ ِرين
َ ََوق
Artinya: Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan
bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka
Jahanam dalam keadaan hina dina”.
Dari ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa apabila ingin mendapatkan suatu kenikmatan baik
berupa keberkahan rezeki, kesehatan dan keselamatan dunia akhirat, maka dalam ayat tersebut
memerintahkan manusia untuk berdo’a kepada Allah Swt. agar menjadi nilai ibadah.
Syekh Sayid Bakri bin Sayid M. Syatha Ad-Dimyathi dalam kitab I’anatul Thalibin
menerangkan bahwa: “Siapa saja yang memotong hewan seperti unta, sapi, atau kambing (karena
taqarrub kepada Allah) yang diniatkan taqarrub dan ibadah kepada-Nya semata (dengan maksud
menolak gangguan jin) sebagai dasar tindakan pemotongan hewan. Taqarrub dengan keyakinan
bahwa Allah dapat melindungi pemotongannya dari gangguan jin, (maka daging) hewan sembelihan
(halal dimakan) menjadi hewan qurban karena ditujukkan kepada Allah, bukan selain-Nya” (Umar,
2020: 80).
Artinya, semua urutan ritual sedekah laut dengan segala macam persembahannya, khususnya
yang diberikan kepada sesama manusia, apabila diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
diperbolehkan dan daging sembelihannya dianggap menjadi qurban (Umar, 2020: 80).
Dari aspek muamalah dalam sedekah laut yaitu bisa berupafun rekonomian bagi masyarakat
luas. Secara umum penyelenggaraan tradisi sedekah laut hampir sama dengan penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan lain yang melibatkan banyak orang, mendatangkan kerumunan massa dan
menggabungkan berbagai unsur produksi sentra masyarakat. Secara ekonomi tradisi sedekah laut
jugaber gi perusahaan-perusahaan untuk mempromosikan produk lama maupun produk barunya.
Mereka membuka stand-stand promosi dan penjualan di area tempat pelaksanaan sedekah laut
bahkan ada beberapa perusahaan yang menjadi sponsor (Widati, 2011: 147).
3. Akhlak
Akhlak merupakan tingkah laku manusia yang dimotivasi oleh suatu keinginan untuk
melakukan perbuatan yang baik. Sedangkan akhlakul karimah yaitu berkaitan dengan kehidupan
manusia yang tidakdap dup sendiri. Nilai akhlak yang ada dalam upacara ritual tradisi sedekah laut
masyarakat yaitu adanya kebersamaan masyarakat.
Dalam konteks sedekah laut, semua ritual yang dijalankan merupakan simbol dari kula nuwun
atau etika tasawuf ekologis kepada alam semesta (laut) (Umar, 2020: 81). Allah Swt. berfirman dalam
surat Ibrahim ayat 7, yang berbunyi:
َو اِ ۡذ تَا َ َّذنَ َر ُّب ُکمۡ لَِئ ۡن َشک َۡرتُمۡ اَل َ ِز ۡی َدنَّ ُکمۡ َو لَِئ ۡن َکفَ ۡرتُمۡ اِ َّن َع َذابِ ۡی لَ َش ِد ۡی ٌد
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, niscaya aku akan menambah (nikmat)kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-
Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”.
Sebagai wujud rasa syukur tersebut, khususnya terhadap alam semesta, dapat diwujudkan
dalam bentuk penanaman kembali hutan gundul, membersihkan sampah di sungai dan lain
sebagainya. Sedangkan, sedekah laut bisa dipersepsi dan diposisikan sebagai hubungan yang bersifat
esoterik antara manusia dengan alam semesta (Umar, 2020: 81).
Pendapat ketiga :
Tradisi sedekah laut ada jauh sebelum Islam datang ke tanah Jawa yang hingga hari ini tetap
dilestarikan oleh generasi selanjutnya sebagai bentuk terima kasih kepada para leluhur, sebab mereka
telah mengajarkan cara berlaut dn menangkap ikan yang baik.
Karena tradisi sedekah laut merupakan acara slametan, maka di dalamnya diisi dengan
kegiatan keagamaan (baca: Islam) yang berupa pembacaan Alquran dan bacaan-bacaan sakral lainnya,
seperti pemanjatan doa-doa untuk keselamatan masyarakat pesisir. Karena tradisi sedekah laut
merupakan tradisi turun-temurun sejak pra-Islam, jadi, di dalamnya terdapat ritual yang qudus nan
sakral.
Atas nama sakralitas inilah kemudian ritual itu tidak boleh dilewatkan dalam setiap pagelaran
tradisi sedekah laut. Ritual itu berupa pelarungan sesaji ke tengah laut. Dulu, sebelum Islam datang,
pelarungan sesaji ke tengah laut merupakan bentuk penghaturan sesaji untuk penguasa laut yang
diyakini bisa memberikan keselamatan dan kemudharatan. Dalam pandangan Islam, jelas ritual ini
merupakan kesyirikan karena telah menyekutukan Tuhan dengan yang lain, termasuk dengan
makhluk penunggu laut. Tetapi seiring masuk dan berkembangnya Islam ke tanah Jawa, sedikit-demi
sedikit tradisi sedekah laut tersebut diislamisasi.
Islamisasi yang dimaksud adalah mengislamkan segela bentuk adat dan ritual yang dinilai dan
diyakini menyimpang dari ajaran Islam, seperti halnya pelarungan sesaji kepada penguasa laut. Hari
ini, pelarungan sesaji tidak lagi dimaknai sebagai penghaturan sesaji kepada penunggu dan penguasa
laut, melainkan tidak lebih hanya sebagai bentuk kaffahisme menjalankan tradisi ajaran nenek
moyang.
Kaffahisme menjalankan tradisi dengan segala bentuk ritualnya merupakan ekspresi kecintaan
terhadap tradisi-budaya warisan nenek moyang moyang. Jadi, sudah tidak lagi ada kepercayaan
bahwa sesaji itu diperuntukkan untuk penguasa laut, sebagaimana diyakini oleh para leluhurnya
terdahulu.
Sedekah laut yang sejak berpuluh-puluh tahun mentradisi dan dilestarikan oleh masyarakat
pesisir, kini melahirkan pro-kontra. Sebenarnya sikap pro-kontra merupakan sesuatu yang absah di
negara yang majmuk dan memiliki keaneragaman tradisi dan budaya ini. Tetapi menjadi tidak absah
dan ilegal ketika pro-kontra tersebut malah direspons dengan kekerasan. Sejatinya, Tuhan melalui
ajaran agamanya mengajarkan tentang belas-kasih antar sesama, baik seagama, sepaham ataupun
tidak.
Agama itu selain memberikan petunjuk mengenai apa yang benar dan salah, ia juga
memberikan rasa aman (Geertz, 1973). Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Mau dicari di
dalam literatur mana pun, kekerasan atas nama Tuhan tidak pernah dibenarkan. Ironis memang ketika
Tuhan dijadikan alat pembenaran atas tindakan kekarasan yang dilakukan, bukan sebagai suatu
kebenaran itu sendiri.
Tindakan kekerasan semacam ini lahir dari rahim klaim kebenaran absolut (absolute truth
claim). Yaitu sebuah keyakinan yang menganggap yang lain salah dan hanya dirinya dan
kelompoknya lah yang benar. Sehingga hanya dirinya dan kelompoknyalah yang berhak atas surga,
sedangkan yang lain tidak.
Klaim semacam ini, menurut Al-Fayyadl, melahirkan penyesatan, kekerasan verbal,
pemurtadan dan pengkafiran. Termasuk menyebut kelompok lain musyrik. Sebaliknya menurut
pendapat ini, kekerasan atas nama apa pun, apalagi atas nama Tuhan tidak perlu terjadi karena itu
malah menodai Tuhan yang kudus dan transenden, juga menodai Islam yang damai. Setiap perbedaan
bisa kita selesaikan secara baik-baik, yaitu dengan dialog dan duduk bersama dalam satu majelis.
Dalam konteks kekerasan di bantul, jika tradisi sedekah laut dianggap sesat dan syirik, maka
ingatkanlah mereka dengan baik (bil-hikmati wal maw’idhah hasanah), karena berdakwah itu
mengajak bukan mengejek dengan menyebut mereka syirik.
C. Solusi dan Penyelesaian Masalah
Agama dan budaya? Bukanlah hal yang asing bagi kedua telinga ini. Seringkali kita
mendengar dua kosa kata ini diperbincangkan oleh lisan bahkan jadi sebuah perdebatan bagi sebagian
kalangan. Dua kosa kata yang tak hanya sekali berjalan berdampingan dan selalu dipadu-padankan.
Ini menunjukkan bahwa ada relasi diantara mereka. Padahal jika ditelisik, agama dan kebudayaan
adalah hal yang berbeda. Agama merupakan segala sesuatu yang didapat atau bersumber dari Tuhan,
sedangkan kebudayaan merupakan segala sesuatu yang diciptakan atau produk (cipta, rasa, karsa) dari
manusia. Meskipun berbeda, agama dan kebudayaan tetaplah dikaitkan dan memiliki relasi yang kuat.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menyampaikan
sambutan jelang waktu buka puasa di acara buka bersama di kediaman pribadi Ketua DPD RI Oesman
Sapta Odang. Dalam kesempatan itu ia menyinggung soal amanah yang tersemat dalam pundak setiap
insan, yakni amanah diniyah (agama) dan amanah wathoniyah (kebangsaan). Dalam Islam, terdapat
amanah untuk mempertahankan budaya yakni Islam Nusantara. "Kita jadikan budaya sebagai
infrastruktur agama. Jangan kebalik," kata Said Aqil.
Relasi antara agama dan budaya menurut pandangan penulis yaitu agama menyebarkan
ajarannya salah satunya melalui budaya dan budaya membutuhkan agama untuk melestarikannya.
Agama tidak serta-merta menghapus budaya dalam masyarakat, yang beberapa memang tidak sesuai
dan bertolak belakang dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, agama lebih menggunakan budaya untuk
media dakwah sekaligus masuk dalam budaya dengan menyesuaikan apa yang boleh atau sesuai
dengan ajarannya Di sini agama berperan untuk memfiltrasi berbagai norma dan nilai dari
kebudayaan, misalkan: budaya wayang, tumpengan, Sedekah laut, budaya ’nganteuran’ dan
sebagainya. Ini juga meliputi relasi antara manusia dengan alam, atau antara manusia dengan makhluk
lainnya, seharusnya bukan merupakan relasi antara penakluk dengan yang ditaklukan, hamba dengan
tuannya, melainkan sebuah relasi harmonis, yang mengutamakan kebersamaan, cinta dan kasih
sayang.
Hal ini pun pada dasarnya telah diajarkan oleh agama, interaksi yang bersifat harmonis itu,
adalah interaksi yang saling memperhatikan perkembangan situasi antara satu dengan yang lainnya.
Ini merupakan prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antara manusia dengan makhluk
lainnya, termasuk kepada alam, dan keharmonisan hubungan ini pula yang menjadikan tujuan dari
segala etika agama.
Adanya relasi antara agama dan kebudayaan diperkuat oleh salah satu argumen budayawan
bangsa ini, Didik Nini Towok, saat pentas di Universitas Brawijaya Malang begitu memesona.
Selepas menari, beliau mengatakan, “Kesenian terutama tarian di Nusantara dipengaruhi oleh agama.
Seperti tarian Bali dipengaruhi oleh agama Hindu, tarian Jawa dipengaruhi oleh Kejawen, dan tarian
Aceh dipengaruhi oleh agama Islam, sehingga para penari harus mengikuti tata cara dan adab
menari”. Seni Budaya Nusantara Dipengaruhi Agama.
Hal ini menegaskan bahwa agama mampu memengaruhi budaya yang ada.
Seperti halnya yang dikatakan KH. Said Aqil Siroj, Beliau mengatakan pula bahwa pakaian
batik itu budaya, tetapi orang sah sholat dengan memakai batik sebagai sarana untuk menutup aurat.
Artinya budaya bisa mendukung tegaknya agama. Dan begitupula agama mendukung lestarinya
budaya . Inipun membuktikan adanya relasi antara agama dan budaya.
Bukan hanya itu saja, masalah juga terjadi saat budaya dibenturkan dengan nilai-nilai agama.
Sebenarnya, sedekah laut merupakan budaya yang sudah turun temurun dan memang perlu untuk
dilestarikan. Pembubaran ini sangatlah disayangkan bisa terjadi di bangsa yang katanya berbudaya
dan beragama ini.
Mengapa sampai ada pembubaran? Hal ini dikarenakan ada sekelompok oknum beragama
yang mana mereka membenturkan budaya dengan agama. Di sini terlihat ada perbedaan dalam
penginterpretasian budaya. Pihak yang pro menilai bahwa budaya sebagai tradisi yang harus
dilestarikan sedangkan pihak yang kontra memiliki penafsiran lain. Pihak yang kontra membenturkan
budaya dengan ajaran agama sehingga mereka merasa kegiatan tersebut sesat, syirik, dan betentangan
dengan ajaran Islam.
Memiliki pandangan yang berbeda di negara yang majemuk ini sah-sah saja. Akan tetapi
output atau tindakan yang mengekor setelahnya adalah masalahnya. Perlu diingat bahwa Indonesia
bukan negara agama, tetapi negara yang beragama. Jadi dalam hal ini, akan lebih elok apabila setiap
insan sadar untuk menanamkan jiwa toleran dalam dirinya. Indonesia sendiri juga tidak hanya
mengakui satu agama saja melainkan enam agama, yakni Islam, Hindu, Buddha, Katholik, Kristen
Protestan, dan Kong Hu Cu. Selain itu, juga ada aliran kepercayaan lain yang sudah menyatu dengan
penduduk seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Marapi, dan sebagainya.
Budaya ini oleh sebagian oknum dianggap syirik. Padahal budaya ini adalah ungkapan syukur
pada Tuhan akan karunia yang telah diberikan. Di Indonesia, budaya yang serupa juga ditemui, seperti
Larung Sesaji di Lereng Gunung Kelud, Kediri dan lainya. Budaya yang dilakukan masyarakat
dengan memberikan hasil panen dari gunung baik berupa sayur-sayuran maupun buah-buahan untuk
dibagikan sebagai rasa syukur masyarakat lereng gunung Kelud terhadap Sang Pencipta. Di mana
Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan kebutuhan hidup yang melimpah pada penduduk sekitar.
Budaya ini juga diikuti oleh umat antar agama, termasuk aliran kepercayaan/kejawen.
Beragam budaya yang ada di daerah lain terlihat damai-damai saja bukan? Ini menunjukkan
bahwa sebenarnya agama dan kebudayaan itu bisa berjalan berdampingan, tidak perlu dibenturkan.
Bukankah lebih indah dan damai apabila setiap elemen masyarakat memahami hal ini? Menurut saya,
budaya-budaya tersebut merupakan kegiatan positif, di mana sedekah berarti beramal, dalam maksud
ingin “membersihkan” agar menjadi lebih baik ataupun sebagai ucapan syukur pada Sang Pencipta.
Lalu siapa yang disalahkan atau bertanggung jawab atas pembubarpaksaan budaya di Pantai Baru? Ya
hanya oknum yang melakukan hal tersebut, bukan agama yang dianutnya. Di daerah-daerah lain
“fine-fine” saja dengan adanya tradisi sedekah-sedekah itu. Jadi, boleh saja menjadi orang agamis,
akan tetapi harus tahu situasi dan kondisi, jangan sampai terlalu fanatik dalam beragama lalu
membubar paksakan budaya yang memang sudah di lestarikan turun temurun.
Kesimpulannya, agama dan budaya memanglah dua hal yang berbeda. Akan tetapi perbedaan
ini bukanlah hal yang perlu dibenturkan. Kita sebenarnya bisa berjalan berdampingan dan sama-sama
memperoleh kedamaian dalam menjalani kehidupan. Hanya saja, masih diperlukan kesadaran setiap
insan untuk menerapkan nilai toleransi. Penulis yakin, kita sebagai bangsa yang majemuk bisa
berjalan berdampingan, tanpa perlu untuk saling membenturkan perbedaan yang ada. Seperti kata
guru bangsa, Gus Dur mengatakan “agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan”.
3. Kyai yang tidak mencerminkan nilai-nilai pendidikan spiritual
Pengertian pendidikan spiritual menurut imam GGhozali. Menurut Ghazali, murid
membutuhkan seorang mursyid atau guru yang dapat diikutinya, agar dia menunjukkannya ke jalan
yang lurus. Jalan agamasan mar dan jalan-jalan Syetan sangat banyak dan jelas. Oleh karena itu, jika
seseorang yang tidak mempunyai Syaikh yang membimbingnya, maka pasti Syetan akan
menggiringnya menuju jalannya. Barang siapa berjalan di jalan yang berbahaya tanpa petunjuk, maka
dia telah menjerumuskan dan membinasakan dirinya. Masa depannya ibarat pohon yang tumbuh
sendiri. Pohon itu akan menjadi kering dalam waktu singkat. Apabila dia dapat bertahan hidup dan
berdaun, dia tidak akan berubah. Yang menjadi pegangan seorang murid adalah Syaikhnya maka
hendaklah dia berpegang teguh kepadanya.)
Selain itu, al-Ghazali juga pernah menyatakan (Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada
hamba-Nya, maka Dia akan memperlihatkan kepadanya penyakit-penyakit yang ada di dalam
jiwanya. Barang siapa mata hatinya terbuka, niscaya dia akan dapat melihat segala penyakit. Apabila
dia mengetahui penyakit itu dengan baik, maka dia dapat mengobatinya. Namun mayoritas manusia
tidak dapat mengetahui penyakit-penyakit jiwa mereka sendiri. Seorang di antara mereka dapat
melihat kotoran di mata saudaranya.Tapi dia tidak dapat melihat kotoran di matanya sendiri. Barang
siapa ingin mengetahui penyakit-penyakit dirinya, maka dia harus menempuh empat cara.
Pertama, dia harus duduk di hadapan seorang mursyid yang dapat mengetahui penyakit-
penyakit jiwa dan menyingkap aib- aib yang tersembunyi. Dia harus mengendalikan hawa nafsunya
dan mengikuti petunjuk mursyidnya itu dalam melakukan mujahadah. Inilah sikap seorang murid
terhadap mursyidnya atau sikap seorang pelajar terhadap gurunya. Dengan demikian, mursyid atau
gurunya akan dapatmen ntang penyakit-penyakit yang ada dalam jiwanya dan cara mengobatinya).
Menurut al-Ghazali, pada umumnya manusia tidak bisa melihat penyakit- penyakit jiwa
mereka sendiri kecuali orang-orang yang telah terbuka hijabnya dan telah tercerahkan lewat
bimbingan guru mursyid. Seseorang hanya dapat melihat korotan saudaranya tapi dia tidak bisa
melihat kotorannya sendiri. Seorang mursyid atas karunia Allah mengetahui penyakit-penyakit hati
manusia. Oleh karenanya, kata al-Ghazali apabila manusia ingin mengetahui penyakit-penyakit
jiwanya hendaknya dia duduk dihadapan mursyid yang mengetahui penyakit-penyakit jiwa dan
menyingkap aib-aib yang tersembunyi.
Dia harus mengendalikan hawa nafsunya dan mengikuti petunjuk mursyidnya itu dalam
melakukan Mujahadah Inilah sikap seorang murid terhadap mursyidnya atau sikap seorang pelajar
terhadap gurunya. Dengan demikian, mursyid atau gurunya akan dapatmen ntang penyakit penyakit
yang ada dalam jiwanya dan cara mengobatinya.
Dengan demikian, bimbingan seorang guru dianggap sebagai syarat mutlak bagi keberhasilan
pengembangan spiritual. Tanpa kehadiran guru, seseorang dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam
kesesatan Inilah yang dimaksud oleh ungkapan Abd al-Qadir di muka yang menjadikan keberadaan
guru sebagai prasyarat pentingdal ndidikan spiritual. Yakni, keharusan setiap murid
mempunyai syaikh yang menunjukkannya kepada jalan
yang lurus. Paham semacam ini memang tidak sepenuhnya
diterima di kalangan sebagian ulama. Meskipun mereka juga berpendapat, bahwa setiap
pencari ilmu harus mempunyai guru, tetapi mereka juga berpandangan bahwa
sangat memungkinkan bagi pencari ilmu yang mampu
membaca, memahami dan membedakan serta mempunyai sumber-sumber ilmu, untuk
menghasilkan ilmu dengan
sendirinya tanpa membutuhkan seorang guru.
Tentang hal tersebut, Ibnu Taimiyah mendukung
pendapat kedua.Ia menjelaskan, bahwa jika seorang boleh
belajar al-Qur'an dan ilmu-ilmu lain dari siapa saja yang ahli, maka ia pun boleh belajar ilmu
agama, baik lahir maupun batin, tanpa harus dibatasi pada orang tertentu dan tidak perlu juga
menisbatkan dirinya kepada seorang guru tertentu. Bahkan ia dengan tegas mengatakan, bahwa siapa
saja yang ia bisa
memanfaatkannya dari sisi keilmuan dan keagamaan, maka dialah gurunya. Lebih lanjut ia
mengatakan, bahwa setiap
orang mati yang perkataan, amal, dan pengaruhnya
sampai kepada manusia, sehingga membawa manfaat
dalam agamanya, maka ia adalah gurunya.
Menurut Said Hawwa ungkapan “barang siapa yang tidak mempunyai seorang syaikh, maka
syaikhnya adalah setan,” hanya bisa dibenarkan dalam satu konteks saja. Yakni, apabila murid yang
hendak menempuh jalan sufi itu adalah orang yang bodoh dan dia sendiri tidak
mampu memahami ilmu-ilmu syariat. Itulah orang yang
ibadahnya, amalannya, perilakunya dan perbuatannya
sama sekali tidak didasari oleh ilmu. Orang semacam itu,
menurut Said Hawwa, jika dia tidak berguru kepada seorang guru, maka yang menjadi
gurunya adalah setan.
Namun, jika seseorang itu mampu belajar sendiri dan dia berjalan di atas ilmu yang benar,
maka gurunya adalah ilmu yang benar itu, gurunya adalah buku yang dibacanya.Adapun seseorang
yang mempelajari ilmu dari para ahli di bidangnya, maka merekalah yang menjadi
guru-gurunya. Jika kita mengerti akan hal ini, demikian
menurut Hawwa, maka kita juga paham tentang posisi ungkapan di atas, mengerti kesalahan
yang melanda sebagian orang yang memberlakukan ungkapan di atas kepada siapa saja yang tidak
mempunyai guru sufi. Dalam pandangan Hawwa, bisa saja ungkapan itu malah
dipopulerkan dalam rangka mempromosikan guru-guru
sufinya, padahal guru-guru sufi mereka adalah orang-orang bodoh yang justru membutuhkan
guru
Menurut Said Hawwa, di kalangan spiritual sufi juga beredar pemahaman yang sangat
populer, yaitu: “Tidak akan sampai (wushul) kepada Allah kecuali melalui perantaraan seorang syaikh
sufi.”
Dalam pandangannya, ungkapan ini jelas merupakan ungkapan yang sangat tidak berdasar.
Ibnu „Athai Allāh malah mengungkapkan, bahwa wushul kita kepada Allah
SWT sejatinya tidak lain dari wushul kita kepada ilmu
tentang-Nya Dengan demikian, pintu ma'rifat Allah sebenarnya selalu terbuka bagi siapa saja
yang menempuh jalan menuju ke sana, baik itu berupa makrifat intuitif (dzauqiyah) maupun makrifat
ilmiah.
Menurut Said Hawwa, menghubungkan antara
makrifat Allah dengan keberadaan seorang syaikh serta menganggap berdosa mereka yang
menempuh jalan
makrifat tanpa melalui seorang syaikh, merupakan
kebohongan dan kekeliruan besar. Sebab, kalau demikian,
berarti jutaan orang Islam yang telah meninggal dunia
dianggap bodoh atau tidak makrifat kepada Allah. Padahal,
di antara mereka banyak ahli Tafsir dan Hadis. Apalagi,
menurut Hawwa, istilah syaikh baru muncul belakangan
dalam sejarah Islam. Lalu, apakah mereka yang hidup
sebelum itu dianggap tidak makrifat kepada Allah, padahal
mereka adalah generasi terbaik umat Islam.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
menurut al- Ghazali, keberadaan guru spiritual merupakan prasyarat penting dalam
pendidikan spiritual. Ia memandang bahwa setiap murid harus mempunyai guru yang
menunjukkannya ke arah jalan yang lurus. Konsisten dengan pandangannya tersebut, dapat dipahami
jika ia melihat adanya relasi dan keterkaitan yang sangat erat antara guru dan murid dalam pendidikan
spiritual. Guru, dalam pandangannya, merupakan dasar dalam pendidikan spiritual. Sejumlah
adab yang harus diperhatikan dan diimplementasikan dalam interaksi pendidikan spiritual tersebut,
secara umum, ditujukan untuk mengapresiasi peran guru yang sangat strategis adalah merupakan
suatu kewajiban untuk mentaati, jika guru mengajarkan sesuatu yang selaras dengan al- Kitab
Kasus pemerkosaan menjadi ancaman yang serius di Indonesia. Mengenai hal tersebut,
masyarakat pun mendesak pemerintah agar memberikan hukuman berat untuk para pelaku
pemerkosaan. Salah satu opsi hukuman kebiri untuk para pelaku pun mencuat.
Buya Yahya kembali menyampaikan, Allah itu Maha Pengasih dan Pengampun, jika apa yang
Anda terima di luar keinginan Anda (diperkosa), maka Anda tidak berdosa.
"Anda tidak perlu merasa terpuruk karena masalah keperawanan, karena Allah akan
mengembalikan itu semua. Anda tidak perlu merasa putus asa," tutur lagi Buya Yahya.
Buya Yahya juga menambahkan, orang yang diperkosa akan ditutup aibnya oleh Allah Swt.
Maka, jangan berputus asa dan terpuruk, kembalilah pada Allah Swt.
Menanggapi kasus tersebut, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan
Ukhuwah KH Cholil Nafis menegaskan kasus pelecehan seksual tersebut tidak ditoleransi oleh
agama. Karena itu, menurut dia, kejadian serupa harus segera diantisipasi oleh pemerintah maupun
masyarakat“Ini kan tidak ada masalah dengan agamanya. Artinya itu bukan ajaran agama, tidak
ditoleransi oleh agama, itu penyimpangan. Oleh karena itu, kita fokus bagaimana mengantisipasi
terjadinya kejahatan seksual,” ujar Kiai Cholil.
Menurut Kiai Cholil, kasus tersebut tidak hanya berupa kekerasan seksual, tapi sudah
merupakan kejahatan seksual. Pelaku pasti mengetahui bahwa perbuatan tersebut sangat dilarang oleh
agama. Tapi, karena telah didorong oleh nafsu setan dan lupa kepada Allah, akhirnya pelaku
melakukan manipulasi untuk kepentingan nafsunya sendiri.
“Dan itu tidak ada di dalam ajaran Islam, tidak ada dalam ajaran pesantren,” ucap Pengasuh
Pondok Pesantren Cendikia Amanah Depok ini.
Oleh karena itu, Kiai Cholil berharap kepada pemerintah dan masyarakat bersama-sama
melakukan antisipasi agar kedepannya kasus tersebut tidak terulang lagi. “Jadi, urusan pendidikannya
tidak ada masalah. Tapi ketika itu kedok pendidikan untuk melakukan kejahatan seksual itu yang
harus diantisipasi oleh pemeritnah, oleh masyarakat,” katanya.
Kiai Cholil menjelaskan setiap manusia pasti memiliki syahwat, yaitu kecenderungan jiwa
terhadap apa yang dikehendakinya. Jika manusia baik, maka derajatnya bisa lebih tinggi dari
malaikat. Namun, kata dia, ketika manusia jahat bisa menjadi lebih jahat daripada setan dan lebih
rendah dari hewan.
“Oleh karena itu, pertama, kita pastikan yang melanggar itu adalah orang yang sedang lupa
kepada Allah. Jadi, manusia, kiai atau ustadz itu juga ada kemungkinan untuk lupa kepada Allah. Jadi
tidak ada jaminan kalau ustadz itu selalu ingat kepada Allah,” jelas Ketua Gerakan Pengasuh
Pesantren Indonesia (GAPI) ini.
“Oleh karena itu, kita harus mawas diri dan juga kita saling menasihati, mungkin nasihat itu
dalam bentuk apa di dalam regulasi kita, di dalam kebijakan kita, itu juga bagian dari nasihat,” kata
Kiai Cholil.
Allah Swt. mengharamkan perbuatan zina. Di dalam Qs. Al-Nur: 2, Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
(menjalankan) agama Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (Qs.
An-Nur: 2) Di dalam ayat di atas, Allah Swt. sekaligus menyinggung soal had (hukuman) bagi pelaku
zina baik laki-laki maupun perempuan. Ibnu Katsir di dalam Kitab Tafsirnya menyampaikan
penjelasan dari ayat tersebut sebagai berikut:
ذي لم00و ال00راً وه00ون بك00ا أن يك00 فإن الزاني ال يخلو إم،يعني هذه اآلية الكريمة فيها حكم الزاني في الحد وللعلماء فيه تفصيل
،ة00 إذا كان بكراً لم يتزوج فإن حده مائة جلدة كما في اآلي0 فأما، أو محصنًا وهو الذي وطئ في نكاح صحيح وهو حر بالغ عاقل،يتزوج
ام إن00ريب إلى رأي اإلم00 خالفا ً ألبي حنيفة رحمه هّللا فإن عنده أن التغ،ويزاد على ذلك إما أن يغرب عاما ً عن بلده عند جمهور العلماء
شاء غرّب وإن شاء لم يغرب
Artinya: “Ayat yang mulia ini menghendaki penjelasan tentang had pezina, dan para ulama
dalam hal ini memiliki perincian. Yang dinamakan pezina, tidak mengenyampingkan kondisi yang
kadangkala pelakunya adalah perempuan yang masih perawan dan belum menikah, dan adakalanya
merupakan orang yang terjaga kehormatannya, yaitu orang yang melakukan pernikahan secara shahih
sementara ia adalah seorang yang merdeka, baligh dan berakal. Jika pelaku adalah perempuan yang
masih perawan dan belum menikah, maka had baginya adalah 100 kali cambukan sebagaimana bunyi
ayat. Had ini ditambah adakalanya dengan cara mengasingkannya selama satu tahun dari negaranya,
sebagaimana hal ini adalah kesepakatan jumhur ulama kecuali Imam Abu Hanîfah rahimahu allah.
Menurut Abu Hanifah, pandangan perlu diasingkan atau tidak adalah mengikut pada pandangan
Imam. Jika imam memutus perlu pengasingan maka diasingkan, namun jika diputus tidak perlu, maka
tidak diasingkan.” (Ismail ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur'an al-‘Adhim, Beirut: Dar Thayibah,
2002: Juz 6, halaman 10)
Bagaimana bila kedua bunyi teks ayat dan tafsirnya di atas kita bawa ke ranah kekerasan
seksual misalnya pemerkosaan? Penting sebelumnya untuk diketahui bahwa dalam ranah kekerasan
seksual, yang wajib terkena had zina adalah pelaku kekerasan (mukrih) dan bukan korban (mukrah
atau mustakrah) sebagaimana hal ini diketahui berdasarkan hadits:
Terkadang dalam tradisi masyarakat sering dilakukan upaya jalan pintas yaitu menikahkan
kedua pelaku dan korban apabila tidak ada hubungan famili. Solusi ini kadang berjalan efektif, namun
di sisi yang lain juga bisa membawa mudarat bagi korban karena 1) dapat berakibat pada semakin
leluasanya pelaku memperalat korban, 2) apalagi bila antara pelaku dan korban adalah pihak yang
berbeda agama atau keyakinan, ditambah lagi 3) apabila sebelumnya ada permusuhan antara kedua
pelaku dan korban. Untuk pelaku yang masih ada hubungan famili, tidak mungkin diambil cara
kekeluargaan melalui jalan menikahkan keduanya karena pernikahan tersebut bertentangan dengan
nash agama. Sementara di sisi yang lain, pihak korban harus menerima keadilan. Had untuk pezina
ghairu muhshan berdasarkan nash, dapat dikenai hukuman berupa: 1. Dicambuk sebanyak 100 kali 2.
Diasingkan (taghrib) selama satu tahun Adapun untuk had pelaku zina muhshan, yang mana pelaku
merupakan pihak yang sudah pernah menikah, sementara korban ada kemungkinan sudah menikah
dan ada kalanya juga belum, maka dalam teks nash syariat ditetapkan had bagi pelaku adalah rajam
(hukuman mati). Apabila memaksa bahwa penjenjangan hukum harus diberlakukan terhadap kasus
pemerkosaan zina muhshan, maka ada beberapa pertimbangan lain untuk hukum bagi pelaku zina
muhshan ini yang harus diperhatikan, yaitu: 1. Tebusan akibat penghilangan keperawanan (arsy al-
bikarah), yang akan disampaikan dalam tulisan mendatang 2. Had hukuman yang sebanding dengan
hukuman mati (misalnya: penjara seumur hidup) Kembali ke soal zina ghairu muhshan, khusus untuk
taghrib (pengasingan), ada dua pandangan hukum dalam syariat. Pertama, menurut jumhur ulama
adalah muthlaq perlu pengasingan. Kedua, menurut Imam Abu Hanifah, diserahkan keputusannya
kepada hakim, apakah hakim perlu melakukan pengasingan atau tidak. Jika hakim memandang perlu
dilakukan pengasingan, maka pihak pemerkosa diasingkan keluar dari wilayah tempatnya berada.
Namun, apabila imam memutuskan tidak perlu diasingkan, maka tidak dilakukan pengasingan. Sudah
pasti dalam hal ini yang dijadikan bahan pertimbangan adalah sisi keadilan. Di satu sisi pihak korban
mengalami kerugian psikis dan fisik berupa hilangnya kehormatan yang bisa jadi akan terus
membekas terhadap dirinya. Sementara itu, pihak pelaku juga memiliki pertimbangan yang sama,
bahwa ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Yang harus menjadi
catatan adalah bahwa setiap individu pelaku memiliki hak yang melekat pada dirinya, yaitu: (1) hak
untuk bertaubat (2) hak untuk diterima kembali di masyarakat manakala ia sudah selesai menjalani
masa hukuman (sanksi). Khusus untuk hak yang terakhir ini akan disampaikan dalam tulisan terkait
dengan masalah publikasi pelaku pemerkosaan oleh pemerintah.
Karena mungkin hukum ini sudah tidak diberlakukan di Indonesia, maka dari itu hukum nya
ikut dengan keputusan kementerian agama serta dengan tetap mengikuti UUD NKRI.
4. A. Tujuan Pendidikan dalam Kisah Nabi Ibrahim a.s.
Jika ditelusuri beberapa ayat AlQuran yang mengisahkan Nabi Ibrahim a.s. dengan Ismail,
setidaknya ada dua tujuan pendidikan, yaitu:
pertama, menjadikan anak bertauhid. Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai "Bapak Monotheis"
karena ia dikenal
dengan perjuangannya menegakkan tauhid, meskipun ia harus berhadapan dengan ancaman
Raja Namrud yang
membakarnya hidup-hidup. Ali
(Adhan, 2018; Syariati, 2002) menyebut Nabi Ibrahim sebagai tokoh besar pemberantas
kemusyrikan di dalam sejarah. Dia menegakkan tauhid di
dunia dengan menanamkan iman ke dalam hati orang-orang kafir sehingga tauhid dapat
tumbuh di tengah-tengah kemusyrikan. Ibrahim a.s. pemberantas kemusyrikan, meninggalkan rumah
"Azar", pembuat berhala, untuk
menghancurkan berhala-berhala dan untuk menghancurkan Namrud. Setelah terbebas dari
kezaliman Namrud, ia tetap berdakwah menegakkan tauhid kepada kaumnya, termasuk kepada
keluarganya. Selain
perjuangan dakwah dan tarbiyah, ia juga bermohon kepada Allah Swt.
agar anak cucunya terhindar dari kemusyrikan, seperti menyembah berhala (Qs.
Ibrahim/14:35).
Terdapat beberapa ayat Al-Quran yang mengisahkan tentang sifat-sifat Nabi Ibrahim a.s.
Sifat-sifat baik yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim a.s. tentu
melekat dalam dirinya sebagai guru terhadap anak-anaknya, termasuk ketika mendidik Ismail,
sehingga sifat itu dapat disebut sebagai karakter pendidik shaleh.
Pertama, shiddiq. Karakter jujur
dan benar yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim.a.s. itu membuat dirinya menjadi manusia utama
pilihan Allah yang diberi gelar sebagai shiddiq atau orang yang benar (Qs. Maryam/19: 41).
ِ َال ٰيََٓأب
ُ ٓا َء ٱهَّلل0 ت َِج ُدنِ ٓى ِإن َش0 ْؤ َم ُر ۖ َس0ُت ٱ ْف َعلْ َما ت َ َى ِإنِّ ٓى َأ َر ٰى فِى ْٱل َمن َِام َأنِّ ٓى َأ ْذبَحُكَ فَٱنظُرْ َما َذا تَ َر ٰى ۚ ق
َّ َال ٰيَبُن
َ َفَلَ َّما َبلَ َغ َم َعهُ ٱل َّس ْع َى ق
ٰ
َّ ِمنَ ٱل
َصبِ ِرين
Diantara sifat waffa yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. adalah ketika beliau diperintahkan oleh
Allah Swt. untuk melakukan menyembelih putranya Ismail, berhijrah, menyerahkan hartanya berinfak
dalam ketaatan, dan dilemparkan ke api sebagai
konsekuensi menyampaikan nilai-nilai kebenaran tauhid (mengesakan) Allah
Swt. (Surasman, 2016).
Menjadi seorang pendidik adalah pilihan. Ketika seseorang memilih profesinya sebagai
pendidik, maka ia harus berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan melaksanakan tugas-tugasnya
sebagai guru dalam mendidik dan mencerdaskan peserta didiknya. Janji itu harus ditepati
sehingga apa yang menjadi tujuan pembelajaran dan
tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik.
Ketiga, halim.
Al-Quran
menjelaskan Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang memiliki karakter halim. Ketika
menafsirkan surat Hud/11 ayat
75,
ٌِإ َّن ِإب ٰ َْر ِهي َم لَ َحلِي ٌم َأ ٰ َّوهٌ ُّمنِيب
(Al-Maraghi, 1993) mengartikan
kata Halim, yaitu "yang tidak menyukai disegerakannya hukuman". Sedangkan saat
menafsirkan surat at-Taubah/9
ayat 114,
َو َما َكانَ ٱ ْستِ ْغفَا ُر ِإب ٰ َْر ِهي َم َأِلبِي ِه ِإاَّل عَن َّموْ ِع َد ٍة َو َع َدهَٓا ِإيَّاهُ فَلَ َّما تَبَيَّنَ لَ ٓۥهُ َأنَّهۥُ َع ُدوٌّ هَّلِّل ِ تَبَ َّرَأ ِم ْنهُ ۚ ِإ َّن ِإ ْب ٰ َر ِهي َم َأَل ٰ َّوهٌ َحلِي ٌم
Nabi Ibrahim a.s. memiliki karakter munib, yaitu orang yang senantiasa bertaubat atau
kembali kepada Allah Swt. Hal ini dirangkaikan dengan sifat
sebelumnya, yaitu awwah (Anwar, Siregar, & Mustofa, 2015; Wartini, 2014) menjelaskan
munib dapat diartikan dengan kembali ke posisi semula setelah ditinggalkan. Ini mengandung
makna introspeksi dan menyesali perbuatan lalu memperbaiki. Menurut
Hamka arti kata Munib adalah suka kembali. Orang yang memiliki sikap munib dalam dirinya
maka ia selalu
mengembalikan segala urusannya kepada Allah Swt. ia sadar bahwa sejauh-jauhnya berjalan
dalam kehidupan ini, namun semua langkah akan kembali kepada Allah SWT.
Guru yang ideal memiliki
kesucian hati dan dekat pada Allah Swt. Tugas guru bukan saja mengajarkan ilmu (transfer of
knowledge), tetapi lebih dari itu seorang guru bertugas menyucikan jiwa peserta
didiknya. Dalam konteks ini, guru disebut muzakki, atau orang yang menyucikan.(Shihab,
2007) menegaskan bahwa kata muzakki termasuk ke dalam pengertian mendidik, sebab mendidik
terkait dengan upaya membersihkan diri seseorang dari segala sifat dan akhlak
yang tercela. Namun di sisi lain,
seorang guru adalah manusia biasa yang bisa saja berbuat salah. Maka guru yang berperan
sebagai muzzakki akan senantiasa segera kembali kepada Allah atau bertaubat jika ia terlanjur
melakukan kesalahan. Di sinilah pentingnya sifat munib bagi setiap guru.
Keenam, muhsin (Qs. Ash-Shaffat/37: 109-110).
Al-Quran juga menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim a.s. memiliki sifat ihsan, atau disebut
muhsin (orang yang berbuat baik). Dalam tafsir al-Azhar (Hidayat, 2015) dijelaskan arti dari muhsin
adalah penyerahan diri yang diikuti dengan perbuatan kebajikan dengan sadar. Sedangkan dalam tafsir
al-Misbah (2002: 598) disebutkan, muhsin adalah
mukmin yang selalu mawas diri dan merasakan kehadiran Allah Swt. Ihsan bagi manusia,
bisa tercapai saat manusia memandang dirinya pada diri
orang lain, sehingga ia memberi pada orang lain apa yang seharusnya dia berikan kepada
dirinya. Sedangkan ihsan antara manusia dan Tuhannya adalah leburnya diri, sehingga dia hanya
melihat Allah Swt. Karena itu
ihsan antara sesama manusia adalah dia tidak lagi melihat dirinya dan hanya melihat orang
lain. Orang yang melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang
lain dan tidak melihat dirinya pada saat beribadah kepada Allah disebut muhsin. Oleh karena
itu makna ihsan menurut sebagian ulama dua yaitu
pertama memberi nikmat kepada orang lain dan kedua, perbuatan baik. Maka oleh sebab itu
kata ihsan ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan kata adil. Seorang guru harus menjadi muhsin. Ia
harus merasakan bahwa ia senantiasa berada dalam pengawasan
Allah Swt. sehingga ia memiliki sifatsifat mulia, jauh dari maksiat, dan taat menjalankan
perintah-Nya. Hal ini relevan dengan pendapat al-Kinani,
seperti dikutip Ramayulis (2012: 118), salah satu syarat guru yang berhubungan dirinya
adalah "Hendaknya guru senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya
dalam segala perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan
Allah kepadanya".
Karenanya, ia tidak mengkhianati itu, malah ia tunduk dan merendahkan diri
kepada Allah Swt. Selain itu, dengan makna sifat ihsan di atas, maka guru akan memberikan
pendidikan yang
terbaik kepada peserta didiknya. Ia akan berupaya agar peserta didiknya lebih baik dan lebih
berhasil dari dirinya sendiri. Tegasnya, dengan sifat ihsan ini, seorang guru akan melandasi
aktivitasnya atas dasar iman pada Allah Swt. lalu melakukan upaya terbaik dalam mendidik
peserta didiknya.
Ketujuh, ummah (Qs. An-Nahl/16: 120).
ُ َِإ َّن ِإب ٰ َْر ِهي َم َكانَ ُأ َّمةً قَانِتًا هَّلِّل ِ َحنِيفًا َولَ ْم ي
َك ِمنَ ْٱل ُم ْش ِر ِكين
ُ َِإ َّن ِإب ٰ َْر ِهي َم َكانَ ُأ َّمةً قَانِتًا هَّلِّل ِ َحنِيفًا َولَ ْم ي
َك ِمنَ ْٱل ُم ْش ِر ِكين
Qanit atau qanut berarti orang yang khusyu’ lagi patuh (Katsir,
2005), atau orang yang patuh kepada Allah dan melaksanakan perintah-Nya (Al-Maraghi,
1993), walaupun harus menyembelih putranya sendiri (Hamka, 2015). Guru sebagai pendidik, harus
memiliki sifat qanit. Pendidik
yang qanit konsisten mengamalkan perintah Allah, baik yang fardhu maupun yang sunnah.
Ketaatan kepada Allah yang dilakukan secara
terus-menerus itu memberi keteladan pada peserta didiknya secara mudah. Para peserta didik
termotivasi dari pendidik yang mereka saksikan sendiri
ketaatan dan kemuliaan akhlaknya.
Kesembilan, al-hanif, artinya "orang yang menyimpang dari agama yang batil menuju agama
yang haq" (AlMaraghi, 1993), "orang yang berpaling dari kemusyrikan menuju kepada
tauhid. Bahkan dalam ayat ini, Nabi Ibrahim a.s. ditegaskan sebagai imam bagi orang-orang
hanif, dalam kata ummatan qanitan lillahi hanifa. Ajaran
Nabi Ibrahim adalah Hanif maksudnya adalah ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim adalah
ajaran yang tidak bengkok, tidak memihak kepada pandangan hidup orang-orang Yahudi
dan tidak juga mengarah kepda ajaran Nasrani atau ajaran apapun yang bertentangan dengan
ajaran Ilahi Yang Maha Esa itu (Shihab & Al Mishbah,
2002). Setiap pendidik yang beragama Islam mesti memiliki tauhid yang benar. Dengan dasar
tauhid yang benar, maka setiap guru dituntut
bersifat ikhlas dan mengharap ridha Allah dari setiap usaha yang ia lakukan dalam mendidik
peserta didiknya. Ia tidak boleh bermaksiat, apalagi dihadapan peserta didiknya. Ia harus
menjadi cahaya yang menerangi peserta didiknya menuju kebenaran hakiki, tunduk dan
patuh kepada Allah Swt. (Al-Abrasyi, 2003) menegaskan
salah satu sifat guru adalah bersih, tidak saja bersih tubuhnya, tetapi juga jauh dari dosa dan
kesalahan, bersih
jiwanya, terhindar dari dosa besar, sifat ria, perselisihan dan sifat-sifat tercela lainnya.Hal itu
akan dapat terwujud dan terjaga jika ia tetap pada fitrahnya yang hanif.
Kesepuluh, khalil, artinya "teman yang meresap di dalam kalbunya, persahabatan dan
kecintaan" (Shihab & AlMishbah, 2002). Kata ini pada mulanya berarti celah, karena itu kata
ini juga dapat diartikan sebagai teman yang selalu mengetahui dan mengenal, baik secara
umum maupun secara khusus sampai kepada celah-celah atau rahasia temannya. Siapa saja yang
memiliki sifat ini pastilah selalu mendampingi temannya itu. Nabi Ibrahim a.s diberi gelar Khalil
karena relung-relung kalbunya telah dipenuhi
oleh cinta kepada Allah Swt. dan karena ia meneladani sifat-sifat-Nya maka Allah Swt. pun
mencintai beliau.
Pendidik yang ideal dalam Islam juga harus mencintai Allah Swt.di atas segala-galanya. Ia
mendidik bukan karena alasan materi atau kenikmatan duniawi yang sesaat. (Al-Abrasyi, 2003)
menempatkan hal ini menjadi sifat pertama yang harus dimiliki oleh pendidik, yaitu zuhud, tidak
mengutamakan materi, dan mengajar karena mencari keridhaan Allah semata". Seorang pendidik
harus berupaya menjadi hamba yang dicintai Allah Swt. karena ketaatan dan kemuliaan akhlaknya
lalu berupaya
mendidik peserta didiknya menjadi hamba yang dikasihi-Nya. Dari sepuluh sifat Nabi
Ibrahim a.s. yang diperoleh dari Al-Quran di atas menunjukkan bahwa sifat-sifat
tersebut relevan dengan sifat pendidik saat ini. Jika dikaitkan dengan sistem pendidikan di
Indonesia, sifat-sifat ini
termasuk dalam kategori kompetensi kepribadian, di antara tiga kompetensi lainnya:
kompetensi sosial, pedagogik
dan profesional. Kompetensi
kepribadian inilah yang paling
berperan dalam menampilkan seorang guru teladan. Kompetensi kepribadian pula yang paling
berperan dalam mendidik karakter peserta didik.
Sebagaimana nabi Ismail a.s tetap sabar dan bersedia untuk disembelih oleh ayahnya,
walaupun ia akan kehilangan
nyawanya sendiri. Ismail a.s. yakin apa yang dilakukan oleh ayahnya itu adalah atas perintah
Allah Swt. bukan karena kebencian sang ayah kepada
dirinya. Ismail juga memiliki karakter penyayang. Karakter penyayangnya tampak dari
bahasa yang ia gunakan, seperti digambarkan dalam Qs. AshShaaffat/37:102, Ismail a.s memanggil
ayahnya dengan panggilan yang mulia dan penuh kasih sayang, yaitu "wahai
bapakku” ketika menjawab panggilan bapaknya "Ya Bunayya" (Al-Maraghi, 1993).
Pendidik adalah pengganti orang tua bagi anak ketika berada di lingkungan sekolah. Peserta
didik seyogyanya memanggil guru dengan
panggilan yang baik sebagai bentuk kasih sayang dan penghormatannya kepada seorang guru.
Wujud penghormatan seorang pelajar kepada seorang guru diantaranya adalah tidak
memanggil gurunya dengan panggilan "kamu", "anda" dan lain sebagainya.
Hendaklah seorang peserta didik memanggil gurunya dengan
menggunakan sebutan: "Ya Sayyidi (wahai tuanku), “Ya Ustadzi” (wahai guruku) dan lain
sebagainya. Disamping itu seorang peserta didik juga tidak sepantasnya menyebut nama
gurunya dihadapan orang lain kecuali dengan menyebutkan kata-kata yang mulia sebagai
wujud penghormatannya terhadap guru tersebut (Asy’ari, 2007).
Materi pendidikan yang terdapat dalam kisah Nabi Ibrahim a.s dan Ismail a.s. dikelompokkan
ke dalam tiga bagian, yaitu akidah, ibadah dan akhlak. Pertama, bidang akidah, diantaranya tidak
memperserikatkan
Allah Swt. (Qs. Al-Hajj/ 22: 26),
Dalam tafsir Ibnu Katsir, diceritakan bahwa pembangunan Ka’bah ini saat Ismail telah
dewasa dan memiliki istri. Namun (Shihab & Al Mishbah, 2002)
menyebut peristiwa ini terjadi saat Ismail masih remaja. Nabi Ibrahim a.s. berkata: "Wahai Ismail,
sesungguhnya Allah memerintahkan sesuatu kepadaku". "Laksanakanlah apa yang diperintahkan
Rabb-mu itu," sahut Ismail. Ibrahim pun bertanya: "Apakah engkau akan membantuku?", "Aku pasti
akan membantumu," jawab Ismail. Ibrahim bertutur: "Sesungguhnya Allah menyuruhku untuk
membangun sebuah rumah di sini." Seraya menunjuk ke anak bukit kecil yang lebih tinggi dari
sekelilingnya. Pada saat ini keduanya meninggikan pondasi Baitullah. Ismail mengangkat
batu, Ibrahim memasangnya. Hingga ketika bangunan itu sudah tinggi, dia datangkan sebuah batu,
dan dia
meletakkannya untuk dijadikan
pijakan. Ibrahimpun berdiri di atasnya sambil memasang batu, sementara Ismail
menyodorkan batu kepadanya. Keduanya pun berdoa: rabbana taqabbal
minna innaka anta as-sami'u al-'alim.
Jadi, Nabi Ibrahim a.s. sebagai
orang tua mengajak anaknya Ismail untuk membangun Ka’bah. Ia melibatkan Ismail untuk
membangun rumah Allah. Tentu, hal ini memberikan pengalaman spiritual secara langsung kepada
Ismail untuk
menjalankan perintah Allah Swt.
Seperti yang disebut (Shihab & Al Mishbah, 2002), mereka meninggikan pondasi bangunan
Ka’bah. Mereka berdua tidak menerima upah dari siapapun. Mereka hanya memohon agar amalnya
diterima Allah sebagai
pengabdian: Terimalah dari amal kami, yakni meninggikan dasar-dasar Ka’bah,
sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar permohonan kami dan Maha Mengetahui kerja, niat, dan tujuan kami. Inilah
pengalaman spiritual yang akan mempengaruhi keimanan dan perilaku sang anak. Kepatuhan pada
perintah Allah, keikhlasan dalam berbuat, dan menghasilkan karya berupa rumah Allah, merupakan
bagian dari proses pendidikan yang meninggalkan bekas pada pribadi anak sehingga ia akan
menjelma menjadi seorang hamba yang taat kepada Allah Swt.
Ketiga, metode kasih sayang (Qs. Ash-Shaaffad/ 37: 102). Kata Ya Bunayya yang berarti
"Wahai anakku", merupakan ungkapan kasih sayang dari seorang ayah kepada anaknya.
Metode kasih sayang yang didahului oleh bahasa Nabi Ibrahim a.s. ya Bunayya, dibalas pula
oleh putranya dengan kata ya Abati, sebagai ungkapan kepatuhan dan ketundukan
pada perkataan dan perintah ayahnya atas dasar cinta karena Allah Swt. (AlMaraghi, 1993).
Metode kasih sayang dapat
mewujudkan hubungan yang baik antar individu (Thuwairaqi, 2004). Dalam proses
pembelajaran, kasih sayang seorang guru kepada peserta
didik sangat dibutuhkan, karena ia merupakan kebutuhan jiwa setiap orang (Al-Qusy, 1974,
Mawangir, 2015). Bahkan kasih sayang (rahmah) adalah sifat wajib dimiliki oleh setiap pendidik.
Orang yang hatinya keras tidak layak menjadi pendidik (Abdurrahman & al-Maroky, 2005). Dalam
tradisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia, misalnya, kasih sayang seorang guru
kepada santri diyakini
mendatangkan barakah dari ilmu yang diajarkan. Keberkahan ilmu itu akan diperoleh jika
"Guru sayang kepada murid dan murid hormat kepada guru." Sebab sentuhan kasih sayang
yang ditampilkan dalam komunikasi harmonis antara pendidik dengan terdidik, sehingga guru
dirasakan selalu hadir dalam seluruh konteks
kehidupan muridnya (Syahidin, 2009). Jadi, metode kasih sayang efektif dilakukan untuk
mendidik karakter seorang anak. Dengan kasih sayang, diharapkan perkembangan mental anak akan
optimal tanpa rasa takut dan terancam.
Keempat, metode dialog. Nabi
Ibrahim a.s. berdialog kepada anaknya, Ismail a.s. dengan bahasa yang dilandasi kasih
sayang: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah apa pendapatmu!".
Pertanyaan itu juga dijawab oleh sang putra dengan santun: "Hai bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
sabar" (Qs. asy-Syaffat/37: 102).
ِ َال ٰيََٓأب
ُ ٓا َء ٱهَّلل0 ت َِج ُدنِ ٓى ِإن َش0 ْؤ َم ُر ۖ َس0ُت ٱ ْف َعلْ َما ت َ َى ِإنِّ ٓى َأ َر ٰى فِى ْٱل َمن َِام َأنِّ ٓى َأ ْذبَحُكَ فَٱنظُرْ َما َذا تَ َر ٰى ۚ ق
َّ َال ٰيَبُن
َ َفَلَ َّما بَلَ َغ َم َعهُ ٱل َّس ْع َى ق
ٰ
َّ ِمنَ ٱل
َصبِ ِرين
Dialog Nabi Ibrahim a.s. dengan Ismail juga termasuk dialog naratif. Dialog naratif tampil
dalam episode kisah yang bentuk dan alur ceritanya
jelas sehingga menjadi bagian dari cara atau unsur cerita dalam Al-Quran. Walaupun Al-
Quran mengandung kisah yang disajikan dalam bentuk
dialog, kita tidak dapat mengidentikkan keberadaannya dengan drama yang sekarang ini
muncul sebagai sebuah jenis karya sastra. Artinya, Al-Quran tidak menyajikan unsur dramatik
walaupun dalam penyajian kisahnya terdapat unsur dialog (Syahidin, 2009).
Kelima, metode doa. Doa orang
tua memiliki peran penting dalam melahirkan anak yang saleh. Jumuah Saad menegaskan
untuk melahirkan
anak yang kelak menjadi tokoh
teladan, salah satu metodenya adalah "tak pernah lelah dalam berdoa untuk mereka". Doa
telah ditegaskan dalam sebuah hadits Nabi sebagai senjata bagi
orang-orang yang beriman, ad-du'a shilaahul mu'minin. Oleh karena itu, relevan jika doa
dijadikan sebagai metode utama mendidik anak. Para Nabi dan orang-orang saleh terdahulu
banyak melakukan metode doa ini, seperti Nabi Ibrahim a.s. (ashShaffaat/37: 100
َّ ٰ َربِّ هَبْ لِى ِمنَ ٱل
َصلِ ِحين
dan al-Furqaan/25: 74),
َوٱلَّ ِذينَ يَقُولُونَ َربَّنَا هَبْ لَنَا ِم ْن َأ ْز ٰ َو ِجنَا َو ُذ ِّر ٰيَّتِنَا قُ َّرةَ َأ ْعيُ ٍن َوٱجْ َع ْلنَا لِ ْل ُمتَّقِينَ ِإ َما ًما
keluarga Imran (Ali Imran: 38),
Nabi Zakariya a.s.
ك َس ِمي ُع ٱل ُّدعَٓا ِء َ ال َربِّ هَبْ لِى ِمن لَّدُن
َ َّك ُذ ِّريَّةً طَيِّبَةً ۖ ِإن َ ََريَّا َربَّهۥُ ۖ ق
ِ ك َدعَا زَ ك
َ ِهُنَال
(Al Anbiya’: 89
ََريَّٓا ِإ ْذ نَاد َٰى َربَّهۥُ َربِّ اَل تَ َذرْ نِى فَرْ دًا َوَأنتَ َخ ْي ُر ْٱل ٰ َو ِرثِين
ِ َوزَ ك
dan Maryam: 5),
0ْ َت ٱ ْم َرَأتِى عَاقِرًا فَه
0ْ َب لِى ِمن عَاقِرًا فَه
ب لِى ِمن ِ َت ْٱل َم ٰ َولِ َى ِمن َو َرآ ِءى َوكَان
ُ َوِإنِّى ِخ ْف
dan berdoa kepada Allah SWT. agar anaknya Ismail dan keturunannya yang lain menjadi
hamba yang selalu berserah diri kepada Allah SWT. (Qs. Al-Baqarah/2: 128).
َ ََّربَّنَا َواجْ َع ْلنَا ُم ْسلِ َمي ِْن لَكَ َو ِم ْن ُذ ِّريَّتِنَٓا اُ َّمةً ُّم ْسلِ َمةً لَّ ۖكَ َواَ ِرنَا َمنَا ِس َكنَا َوتُبْ َعلَ ْينَا ۚ اِن
ك اَ ْنتَ التَّوَّابُ ال َّر ِح ْي ُم
Doa orang tua untuk anaknya
bukan saja sebelum kelahirannya, tetapi juga selama proses pendidikan berlangsung. Orang
tua harus berupaya untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi saleh, namun usaha itu harus diiringi
dengan doa, sebab mendidik anak tidak bisa
dilepaskan dari hidayah Allah Swt. Di sinilah pentingnya metode doa, seperti yang dilakukan
oleh Nabi Ibrahim a.s. terhadap anak-anaknya, termasuk Ismail a.s.
َي اِ َّن هّٰللا َ اصْ طَ ٰفى لَ ُك ُم ال ِّد ْينَ فَاَل تَ ُموْ تُ َّن اِاَّل َواَ ْنتُ ْم ُّم ْسلِ ُموْ ن
َّ ِصى ِبهَٓا اِب ْٰر ٖه ُم بَنِ ْي ِه َويَ ْعقُوْ ۗبُ ٰيبَن
ّ ٰ ۗ َو َو
Demikian beberapa tahapan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. dalam mendidik Ismail
setelah kelahiran hingga ia dewasa. Nabi Ibrahim a.s.
menjadi seorang ayah teladan yang peduli akan keimanan dan kesalehan anak cucunya.
Karena itu, beberapa Nabi juga dilahirkan dari silsilah Nabi Ibrahim, termasuk Nabi Muhammad Saw.
silsilahnya sampai kepada Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim a.s.