Anda di halaman 1dari 35

Nama : Alvina Nurmala

NIM: 2022080001

1. A. Pendidikan Formal
Metode merupakan suatu cara untuk mencapai suatu tujuan. Allah Swt. sendiri telah mengajarkan
kepada manusia supaya mementingkan metode. Metode pendidikan merupakan seperangkat cara,
jalan dan teknik yang dipakai oleh guru (pendidik) dalam proses belajar mengajar agar siswa (murid,
peserta didik) mencapai tujuan pendidikan atau kompetensi tertentu yang dirumuskan dalam
kurikulum, silabus dan mata pelajaran.
Untuk mendapatkan hasil terbaik sesuai dalam tujuan pembelajaran seorang pendidik harus
memperhatikan metodepe ang baik dan sesuai dengan situasi, kondisi dan meteri yang ingin diajarkan
kepada peserta didik. Karena metode yang tidak sesuai akan mempengaruhi hasil belajar peserta didik
baik pada ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Begitu pentingnya mengetahui dan melaksanakan metode yang benar dan sesuai dengan
situasi dan kondisi serta memperhatikan kesesuaian metode dengan materi dalam proses pendidikan
untuk mendapatkan hasil yang maksimal, seorang pendidik harus memperhatikan metode yang
digunakannya dalam proses pendidikan.
Sebagaimana Kalamullah pada surat An-Nahl ayat 125:
‫و َأ ْعلَ ُم‬0 َ ‫ َو َأ ْعلَ ُم ِب َمن‬0ُ‫ك ه‬
َ 0ُ‫بِيلِ ِهۦ ۖ َوه‬0‫ َّل عَن َس‬0‫ض‬ َ َّ‫يل َربِّكَ بِ ْٱل ِح ْك َم ِة َو ْٱل َموْ ِعظَ ِة ْٱل َح َسنَ ِة ۖ َو ٰ َج ِد ْلهُم بِٱلَّتِى ِه َى َأحْ َسنُ ۚ ِإ َّن َرب‬
ِ ِ‫ع ِإلَ ٰى َسب‬
ُ ‫ٱ ْد‬
َ‫بِ ْٱل ُم ْهتَ ِدين‬
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, tafsir
mudaris Universitas Islam Madinah

ِ ِ‫ع ِإلَ ٰى َسب‬


َ‫يل َربِّك‬ ُ ‫ا ْد‬

(Serulah (manusia) ke jalan Tuhan-mu) Jalan Allah yakni agama Islam.


‫بِ ْال ِح ْك َم ِة‬
(dengan hikmah) Yaitu dengan ucapan yang benar dan mengandung hikmah. Pendapat lain
mengatakan, yakni dengan bukti-bukti yang menimbulkan keyakinan.
‫ۖ و ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َسنَ ِة‬
َ
( dan pelajaran yang baik) yakni ucapan yang baik dan indah bagi pendengarnya yang
meresap ke dalam hati sehingga dapat meyakinkannya dan menjadikannya mau mengamalkannya.
ُ‫ۚ و ٰج ِد ْلهُم بِالَّتِى ِه َى َأحْ َسن‬
َ
( dan bantahlah mereka dengan cara yang baik) Yaitu dengan cara dalam pemasaran.

َ ‫ِإ َّن َربَّكَ ه َُو َأ ْعلَ ُم بِ َمن‬


‫ض َّل عَن َسبِيلِ ِهۦ‬
(Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang beralih dari jalan-
Nya). Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa petunjuk dan hidayah bukan urusan Nabi namun
urusan Allah semata.

َ‫َوه َُو َأ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْهتَ ِدين‬


(dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk). Yakni orang-orang
yang mencari kebenaran kemudian menerimanya tanpa kepala keras.
Ayat tersebut merupakan seruan kepada manusia untuk menyampaikan ajaran Tuhan dengan
cara-cara yang bijaksana sesuai antara bahan dan orang yang akan menerimanya dengan
mempergunakan faktor-faktor yang akan dapat membantu supaya ajarannya itu dapat diterima.
Metode pembelajaran sekolah formal bisa menggunakan sistem modern yang juga mengikuti dan
mengacu pada kurikulum Depdiknas.
Diantaranya metode demonstrasi, tanya jawab, ceramah, eksperimen dan karyawisata.
1). Metode Demonstrasi
Istilah demonstrasi dalam pengajaran dipakai untuk menggambarkan suatucar ngajar yang
pada umumnya penjelasan verbal dengan suatu kerja fisik atau pengoperasian peralatan barang atau
benda. Metode ini banyak digunakan nabi dalam mengajarkan praktek agama seperti mengajarkan
cara-cara wudhu, shalat, haji dan sebagainya. Demonstrasi merupakan metode mengajar yang sangat
efektif, sebab membantu anak didik untuk mencari jawaban dengan usahase erdasarkan fakta (data)
yang benar. Demonstrasi yang dimaksud ialah suatu metode mengajar yang memperlihatkan
bagaimana proses terjadinya sesuatu.
Beberapa keuntungan metode demonstrasi antara lain:
a. Perhatian siswa dapat dipusatkan kepada hal-hal yang dianggap penting oleh guru sehingga hal-hal
yang penting dapat diamati seperlunya.
b. Perhatian siswa lebih mudah dipusatkan pada proses belajar dan tidak tertuju pada hal-hal lain.
c. Dapat mengurangi beragam kesalahan apabila dibandingkan dengan halnya membaca di dalam
buku, karena siswa telahme ambaran yang jelas dari hasil pengamatannya.
2). Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab merupakan metode yang dilakukan olehpe alam menyampaikan materi
pendidikan dengan melakukan suatu pertanyaan kepada peserta didik dan mereka menjawab, atau
sebaliknya. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan metode Tanya jawab:
Pertama, jenis pertanyaan; kedua, teknik mengajukan pertanyaan; ketiga, memperhatikan syarat-
syaratpe etode tanya-jawab sehingga dapat dirumuskan langkah-langkah yang benar; dan keempat,
memperhatikan prinsip-prinsip penggunaan metode tanya jawab, di antaranya prinsip keserasian,
integrasi, kebebasan, dan individual. Prinsip-prinsip ini adalah dasar atau landasan yang bisa
dipergunakan dalam metode tanya-jawab. Di samping itu, metode tanya jawab juga bisa
dikombinasikan dengan metode lain, seperti metode ceramah, pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain.
Ada beberapa keunggulan metode tanya jawab, dinataranya: (a) Kelas akan hidup karena anak
didik aktif berfikir dan menyampaikan pikiran melalui berbicara. (b) Baik sekali untuk melatih anak
didik agar berani mengemukakan pendapatnya. Dan (c) Akan membawa kelas kedalam suasana
diskusi.
3) Metode Ceramah
Metode ceramah adalah suatu cara atau langkah-langkah yangdi eorang guru dalam kegiatan
belajar mengajar yang dengan penjelasan lisan secara langsung terhadap siswa. Meskipun metode ini
lebih banyak menuntut keaktifan guru dari pada anak didik, tetapi metode ini tetap tidak bisa
ditinggalkan begitu saja dalam kegiatan pengajaran.
Ada beberapa kelebihan sebagai alasan mengapa metode ceramah sering digunakan:
a. Ceramah merupakan metode yang "murah" dan "mudah" untuk dilakukan. Murah dalam arti proses
ceramah tidak memerlukan peralatan-peralatan yang lengkap, berbeda dengan metode yang lain
seperti demonstrasi atau peragaan. Sedangkan mudah, memang ceramah hanya mengandalkan suara
guru, dengan demikian tidak terlalu memerlukan persiapan yang rumit.
b. Ceramah dapat menyajikan materi pelajaran yang luas. Artinya, materi pelajaran yang banyak dapat
dirangkum atau dijelaskan pokok-pokoknya oleh guru dalam waktu yang singkat.
4) Metode Eksperimen
Metode eksperimen merupakan metode pembelajaran dimana guru dan anak didik bersama-
sama mengerjakan sesuatu sebagai latihan praktis dari apa yang telah dipelajari. Siswa dituntut untuk
mengalami sendiri, mencari kebenaran, atau mencoba mencari suatu hukum atau dalil dan menarik
kesimpulan dari proses yang dialaminya itu.
Adapun kelebihan metode eksperimen antara lain: a. Metode ini dapat membuat anak didik
lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri daripada hanya
menerima kata guru atau buku. b. Anak didik dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi
eksplorasi (menjelajahi) tentang ilmu dan teknologi. c. Dengan metode ini akan terbina manusia yang
dapat membawa terobosan-terobosan baru dengan penemuan sebagai hasil percobaan yang diarapkan
dapat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia.
5) Metode Karyawisata
Metode karya wisata merupakan metode pembelajaran yangbe engan kegiatan membawa
kelompok mengunjungi beberapa tempat yang khusus, menarik untuk mengamati situasi, mengamati
kegiatan, menemui seseorang atau obyek yang tidak dapat dibawa ke kelas atau ke tempat pertemuan.
a. Siswa dapat belajar berbagai macam hal dalam waktu yang bersamaan, misalnya mengamati
lingkungan alam, lingkungan sosial, sejarah, hubungan kerja dan sebagainya.
b. Siswa dapat mengkaji pengetahuan yang diperolehnya dari buku dengan keadaan yang sebenarnya.
Pendidikan Non formal
Pesantren bukanlah lembaga pendidikan yang mandul, kolot dan menutup mata terhadap
segala bentuk dinamika keilmuan, melainkan sebagai bukti nyata bahwa jargon pesantren yang
berbunyi "al muhafadhatu "Ala al Qadim as Sholih Wa al Akhdu Bi al Jadid al Ashlah" sudah mulai
diterapkan dengan sebenarnya dalam sistem pembelajarannya. Dengan kata lain, "barang siapa yang
ingin menguasai dunia maka ia harus menguasai ilmu pengetahuan." Maka dari itu, tidak hanya
berhenti pada prinsip atau kaidah "wal akhdu bil jadidil ashlah", tapi juga sudah berusaha memberikan
warna baru bagi sistem pembelajaran di pesantren dengan melakukan "wal ijadu bima ashlaha
minhuma" dalam artian menciptakan sistem pembelajaran baru yang justru lebih mapan, paling tidak
lebih sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Metode yang akan saya pakai adalah sesuai di dalam Al-Quran dan Hadis dapat ditemukan
berbagai metode yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa dan membangkitkan semangat.
Menurut Al-Nahlawi yang dikutip oleh Ahmad Tafsir bahwa metode yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Metode hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi.
Metode ini hampir sama dengan metode dengan metode dialog atau Tanya jawab atau diskusi,
namun metode hiwar berlandaskan dalam al-Qur’an dan Rasulullah.
2. Metode kisah Qurani dan Nabawi.
Metode ini menggambarkan salah satu media signifikan pada reaksi gagasanpan dra yang
berbeda dengan arus sentimental dan situasi-situasi yang berpengaruhsec osional. Metode ini
mendidik dengan menceritakan kisah-kisah tokoh, sehingga dapat mengubah hati nuraninya dan
berupaya melakukan hal-hal yang baikdan njauhkan perbuatan buruk sebagai dampak dari kisah itu.
Metode kisah dapat bermanfaat bagi anak-anak umur PAUD dan SD, bagi peserta didik yang
mendapat bencana, peserta didik yang optimis untuk memacu motivasinya, dan sebagainya.
3. Metode Amtsal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi
Menurut Najib Khalid Al Amin, fungsi dari metode perumpamaan, adalah memberikan
ilustrasi, menginformasikan segi poisitif agar menarik minat atau menang negatif agar menjauhinya
dan menajamkan nalar danmen tensi berpikir atau meningkatkan kecerdasan.
4. Metode keteladanan
Hamd mengatakan bahwa pendidik itu besar di mata peserta didiknya, apa yang dilihat dari
gurunya akan ditirunya, karena peserta didik akan meniru dan meneladaniapa ng dilihat dari gurunya,
maka wajiblah guru memberikan teladan yang baik. Seorang pendidik hendaknya tidak hanya mampu
memerintahkan atau memberi teori kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu ia harus mampu menjadi
panutan bagi peserta didiknya, sehingga dapat mengikutinya tanpa merasakan adanya unsur paksaan.
Metode keteladanan sangat cocok dalam pembelajaran akhlak, menghafal, olahraga, dan seterusnya.
5. Metode pembiasaan
Metode adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan peserta didik berfikir,
bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntunan. Inti pembiasaan adalah pengulangan, karenan
pembiasaan berisikan penggulangan maka metode pembiasaan juga berguna untuk menguatkan
hafalan. Metode pembiasaan relevan dengan pembentukan prilaku terpuji, menguatkan hafalan, dan
sebagainya.
6. Metode ibrah (Penyampaian dengan penuh keyakinan) dan mau’izah (nasehat lemah lembut)
Metode ini merupakan esensi dasar dalam membangun motivasi dan rangsanganpik n
perasaan peserta didik di dalam pembelajaran. Metode ini dapat menciptakan interaksi pembelajaran
yang menyenangkan karena pendidik dengan sifat santun dan lugas dalam menyajikan materi
pelajaran.
7. Metode targhib (janji) dan tarhib (ancaman)
Janji dan ancaman merupakan metode pembelajaran yang dapat memberikan motivasi dalam
belajar dan juga bertindak preventif terhadap prilaku negative. Janji dan ancaman dalam pendidikan
mempunyai arti penting, pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk pelajar kurang disiplin dan
tidak mempunyai keteguhan hati, dengan demikian janji dan ancaman harus diwujudkan.
Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa metode pendidikan yang harus dipergunakan untuk para
pendidik adalah yang berprinsip pada Child Centered, metode demikian dapat diwujudkan dalam
berbagai macam metode antara lain: metode conth metode guidance dan konseling, metode cerita,
metode motivasi, metode reinforcement (mendorong semangat), dan sebagainya.
Menurut Ibnu Sina, bahwa dalam pendidikan Islam aspek akhlak peserta didik yang utama
dan metode yang diperlukan dalam mendidik akhlak peserta adalah metode pembiasaan, perintah-
perintah, larangan, pemberian suasana (metode situasional), uswatun hasanah (contoh tauladan) serta
memberi motivasi atau dorongan, pemberian hadiah dan hukuman dan metode persuasif.
Dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, ada beberapa penentuan metode sesuai dengan
kondisi materi pelajaran dan target yang ingin dicapai. Kurikulum pendidikan agama Islam yang di
dalamnya ada tujuh materi utama, yaitu keimanan, ibadah, al-Qur’an, akhlak, muamalah, syari’ah dan
tarikh. Materi ajar inilah yang patut diketahui pendidik dalam mengembangkan metode yang ingin
diterapkan.
B. Sistem Pendidikan/ Kurikulum
Komponen-komponen yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan dan
terlaksananya proses mendidik terdiri dari 7 komponen, yaitu :
1. Tujuan Pendidikan
Tingkah laku manusia, secara sadar maupun tidak sadar tentu berarah pada tujuan.
Demikian juga hal perilaku laku manusia yang bersifat dan bernilai pendidikan. Keharusan
terdapatnya tujuan pada tindakan pendidikan ini oleh sifat ilmupendidikan yang normatif dan
praktis.
a) Ilmu pengetahuan normatif
Sebagai ilmu pengetahuan normatif, ilmu pendidikan merumuskan kaidah-kaidah, norma-
norma atau ukuran perilaku laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakanoleh manusia.
b) Ilmu pengetahuan praktis
Tugas pendidikan atau pendidik maupun guru yaitu pemilik sistem-sistem norma
perilaku perbuatan yang sebagai kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga
pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat. Tujuan umum pendidikan tergantung pada nilai-
nilai atau pandangan hidup tertentu. Pandangan hidup yang menjiwai perilaku laku
manusisebuah akan menjiwai perilaku laku pendidikan sekaligus akan menentukan tujuan
pendidikan manusia.
2.Peserta Didik
Peserta didik sangat pendukung dalam proses pendidikan, dengan perkembangan
konsep pendidikan yang tidak hanya sebuah terbatas pada usia seolah saja memberikan
konsekuensi pada pengertian peserta didik. Kalau dulu orang mengansumsikan peserta didik terdiri
dari anak-anak pada usia sekolah, maka sekarang peserta didik dimungkinkan termasuk juga di
dalamnya orang dewasa.
3. Pendidik
Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah pendidik. Terdapat beberapa jenis
pendidik dalam konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak terbatas pada pendidik di
sekolah saja. Ditinjau dari lembaga pendidikan muncullah beberapa individu yang tergolong pada
pendidik.Guru sebagai pendidik dalam lembaga sekolah, orangtua sebagai pendidik dalam lingkungan
keluarga dan pimpinan masyarakat baik resmi maupun tidak resmi sebagai pendidik di
lingkungan masyarakat. Hubungan dengan hal tersebut yang termasuk kategori pendidik adalah
sebagai berikut :
a) Orang dewasa sebagai pendidik di dasari oleh sifat umum kepribadian orang dewasa,
sebagaimana dikemukakan oleh syaifullah yaitu, manusia yang memiliki pandangan hidup yang pasti
dan tetap, manusia yang telah memiliki tujuan hidup atau cita-cita hidup tertentu termasuk cita-cita
untuk mendidik.
b) Orang Tua
Kedudukan orang tua sebagai pendidik, merupakan pendidik yang kodrati dalam lingkungan
keluarga. Artinya orang tua sebagai pendidik utama dan yang pertama yang berlandaskan pada
hubungan cintakasih bagi keluarga atau anak yang lahir di lingkungan keluarga mereka.
Kedudukan orang tua sebagai pendidik sudah berlangsung lama, bahkan sebelum ada orang
yang faham tentang pendidikan.
c) Pendidik di Sekolah
Guru sebagai pendidik di sekolah yang secara langsung maupun tidak langsung mendapat
tugas dari orang tua atau masyarakat untuk melaksanakan pendidikan. Karena itu kedudukan
guru sebagai pendidik harus memenuhi persyaratan-persyaratan baik persyaratan pribadi
maupun persyaratan jabatan. Persyaratan pribadi saya pada ketentu yang terkait dengan nilai dari
tingkah laku yang dianut, kemampuan intelektual, sikap danemosional. Persyaratan jabatan (profesi)
terkait dengan pengetahuan yang dimiliki baik yang berhubungan dengan pesanyang ingin
disampaikan maupun cara penyampainya dan memiliki filsafat pendidikan yang dapat
dipertanggung jawabkan.
d) Pemimpin Masyarakat dan Pemimpin Keagamaan
Peran pemimpin masyarakat menjadi pendidik pilihan pada aktifitas pemimpin dalam pasti
latihan atau bimbingan kepada anggota yang dipimpin. Pemimpin keagamaan sebagai
pendidik tampak pada aktifitas latihan atau pengembangan sifat kerohanian manusia dan
seterusnya pada nilai-nilai keagamaan.
4) Metode Pendidikan
Dalam interaksi pendidikan tidak terlepas dari metode atau bagaimana pendidikan
dilaksanakan. Terdapat beberapa metode yang dilakukan dalam mendidik, yaitu :
a) Metode Diktator
Metode ini sumber dari teori empiris yang menyatakan bahwa perkembangan manusia
semata-mata ditentukan oleh faktor di luar manusia. Metode ini menimbulkan sikap diktator dan
otoriter, pendidik yang menentukan segalanya.
b) Metode Liberal
Bersumber dari sungguh Naturalisme yang berpendapat bahwa perkembangan manusia
itu sebagian besar ditentukan oleh kekuatan dari dalam yang secara wajar ada pada diri manusia.
Pandangan ini menimbulkan sikap bahwa pendidik jangan terlalu banyak ikut campur terhadap
perkembangan anak dan anak berkembang sesuai dengan kodratnya secara bebas.
c) Metode Demokratis
Bersumber dari teori konvergen yang mengatakan bahwa perkembangan manusia itu
tergantung pada faktor dari dalam dan dari luar. Di dalam perkembangan anak kita tidak boleh
bersifat menguasai anak, tetapi harus bersifat membimbing perkembangan anak. Disini
tampak bahwa pendidik dan anak didik sama-sama penting dalam proses pendidikan untuk
mencapai tujuan.
5. Isi Pendidikan/ Materi Pendidikan
Isi pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan
pendidikan perlu disampaikan kepada peserta didik isi atau materi yang biasanya disebut kurva
dalam pendidikan formal. Macam-macam pendidikan tersebut terdiri dari pendidikan agama,
pendidikan sosial, pendidikan keterampilan, pendidikan jasmani, dll.
6. Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan meliputi segala segi kehidupan atau kebudayaan. Hal ini
sebagai pada pendapat bahwa pendidikan sebagai gejala budaya, yang tidak membatasi
pendidikan pada sekolah saja. Dalam arti yang sederhana lingkungan pendidikan adalah segala
sesuatu yang ada di sekeliling anak didik dan komponen-komponen pendidikan yang lain.
7. Alat dan Fasilitas Pendidikan
Alat dan fasilitas pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, dengan
adanya fasilitas-fasilitas pendidikan maka proses pendidikan aliasn berjalan dengan lancar
sehingga tujuan pendidikan akan lumpurah mencapai. Misalnya laboratorium lengkap
dengan alat-alat percobaannya, internet, dll.
C. Metode dan Target Sistem
Klasifikasi komponen kondisi dan metode pendidikan Islam tidaklah fixed, tetapi dapat
berubah bergantung pada situasi, terutama kondisi pada perkembangan hidup sosial dan sains.
Olehnya itu, metode pembelajaran dalam Islam harus selalu diperbaharui, misalnya di Indonesia
metode pembelajaran agama Islam tampak masih klasik dan masih bercorak menghafal mekanis dan
lebih mengutamakanpe ateri. Tentu saja, metode itu cenderung memandang ilmu dari segi hasil
akhirnya semata bukan pada prosesnya.
Kini keadaan sudah berubah, kesadaran bahwa metode pembelajaran pada akhirnya harus
membawa peserta didik untuk belajar lebih lanjut dan kemampuan memilih, serta lebih
mengutamakan proses belajar dalam prespektif "menjadi". Semua materi ajar yang sesuai dengan
tingkat kematangan berpikir peserta didik hendaknya diberikan secara lengkap dan dia sendirilah yang
mengolah dan memutuskannya.
Metode pembelajaran yang diprogramkan untuk memotivasi peserta didik agar mampu
menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi ataupun untuk
menjawab suatu pertanyaan atau berbeda dengan metode yang digunakan untuk tujuan agar siswa
mampu berpikir dan mengemukakan pendapatnya sendiri di dalam menghadapi segala persoalan.
Berbagai indikator efektivitas penggunaan metode dapat dilihat dari respon, minat, motivasi, inovasi,
dan imajinasi peserta didik dalam pembelajaran.
2. A.Pandangan Islam tentang Sedekah Laut
Sebagian masyarakat mengangap tradisi ini bid’ah. Sebagian masyarakat lainnya menganggap
bahwa tradisi ini adalah akulturasi ajaran Islam, atau adat kebiasaan masyarakat. Kalau dilihat dari
sudut pandang Islam :
1. Sudut pandang secara Tauhidullah
Secara langsung maupun tidak langsung, disengaja atau tidak disengaja, sedikit atau besar,
terang-terangan atau samar, sedekah laut ini sulit dinyatakan terbebas dari unsur syirik/kemusyrikan
(menyekutukan Allah). Kenapa sedekah laut itu musyrik? Karena meskipun sedekah laut
dipersepsikan dengan niat kepada Allah, sungguh persepsi itu tidak dikenal dalam syariat Islam.
Apalagi jika sedekah laut ini dipersepsikan dengan niat sesembahan/penghambaan kepada selain
Allah, persepsi ini sudah menyimpang dari ajaran Islam.
2. Sudut pandang penyembelihan
Sudah jelas di dalam Al-Qur'an, bahwa Al-Qur'an melarang atau mengharamkan
penyembelihan yang tidak disertai atau menyebut nama Allah, ataupun penyembelihan dengan nama
Allah tetapi niat atau tujuan menyimpang kepada selain Allah. Allah berfirman dalam Qs. Al An’am
ayat 121:
‫ق ۗ َوِإ َّن ٱل َّش ٰيَ ِطينَ لَيُوحُونَ ِإلَ ٰ ٓى َأوْ لِيَٓاِئ ِه ْم لِيُ ٰ َج ِدلُو ُك ْم ۖ َوِإ ْن َأطَ ْعتُ ُموهُ ْم ِإنَّ ُك ْم لَ ُم ْش ِر ُكون‬ ۟ ‫ْأ‬
ِ ‫َواَل تَ ُكلُوا ِم َّما لَ ْم ي ُْذك‬
ٌ ‫َر ٱ ْس ُم ٱهَّلل ِ َعلَ ْي ِه َوِإنَّهۥُ لَفِ ْس‬

"Janganlah kamu memakan sesuatu dari (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama
Allah. Perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan benar-benar selalu membisiki
kawan-kawannya agar mereka membantahmu. Jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu
benar-benar musyrik" (QS. Al-An’am [6] :121).
Di dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa (Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang
yang tidak disebut nama Allah) Maksudnya, seandainya karena mati dengan sendirinya atau
disembelih dengan menyebut nama selain Allah Swt. terkecuali apa yang disembelih oleh seorang
muslim, sekalipun tidak menyebut nama Allah Swt. ketika menyembelihnya baik secara sengaja atau
pun karena lupa, maka sembelihannya tetap halal. Pendapat tersebut merupakan pendapat Ibnu Abbas,
yang selanjutnya juga dianut oleh Imam Syafi’i. (Sesungguhnya) memakan binatang-binatang yang
diharamkan tersebut (adalah suatu kefasikan) keluar dari garis apa yang telah dihalalkan.
Sesungguhnya setan itu membisikkan, menghembuskan) godaannya kepada kawan-
kawannya yakni kepada orang-orang kafir (agar mereka membantah kalian) di dalam masalah
menghalalkan dan jika kalian menuruti mereka) di dalam hal ini bangkai (sesungguhnya kalian
tentulah menjadi orang-orang musyrik)
3. Sudut pandang pembuangan makanan sedekah ke laut lepas
Bisa dipastikan mubadzir makanan yang di sedekahkan ke laut tersebut. Karenanya, sedekah
laut termasuk golongan perbuatan mubadzir yang diharamkan agama, apalagi jika mengingat
makanan yang dilarungkan ke laut sangatlah banyak. Mubadzir itu bukanlah sifat seorang Muslim.
Terdapat dalam Q.S Al Isra ayat 27:
‫ِإ َّن ْٱل ُمبَ ِّذ ِرينَ كَانُ ٓو ۟ا ِإ ْخ ٰ َونَ ٱل َّش ٰيَ ِطي ِن ۖ َو َكانَ ٱل َّش ْيطَونُ لِ َربِّههَ ٱل َّش ْيطَونُ لِ َربِّههَ ٱل َّش ْيطَونُ لِ َربِّههَ ٱل َّش ْيطَونُ لِ َربِّهَه‬
“Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat
ingkar kepada Tuhannya.”(QS. Al Isra [17] : 27)
Menurut Tafsir Al Muyassar, sesungguhnya orang yang melakukan pemborosan dan
membelanjakan hartanya dalam maksiat kepada Allah mereka itu menyerupai setan-setan dalam hal
keburukan, kerusakan dan maksiat. Dan setan itu sangat banyak kufurnya dan keras pengingkarannya
terhadap nikmat tuhannya. Jika memang makanan itu dipersepsikan akan dimakan oleh ikan-ikan di
laut, padahal ikan pun sama-sama makhluk Allah. Maka dari itu, makanan yang Allah sediakan untuk
ikan-ikan di laut lebih dari cukup persediaannya.
Lebih baik makanan tersebut kita sedekahkan kepada sanak keluarga, teman, ataupun orang
lain yang membutuhkan, perbuatan itu lebih bermanfaat. Ajaran islam dan adat-istiadat maka tidak
boleh bertentangan atau menyalahi hal-hal yang principal fundamental, khususnya kemurnian akidah
di samping keseimbangan pengamalan fikih dengan akidah dan akhlak.
B. Pendapat Pro dan Kontra
Ada pendapat yang mengatakan terdapat nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam
tradisi sedekah laut:
1. Aqidah
Aqidah merupakan sebuah kepercayaan atau keyakinan kepada Allah Swt. dalam upacara
ritual tradisi sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat setempat bertujuan untuk mengungkapkan
puji syukur atas segala rezeki yang diberikan oleh Allah Swt. khususnya berupa kekayaan alam yang
ada di laut. Dengan melalui beberapa rangkaian kegiatan, salah satunya adalah tahlilan. Dan tahlilan
tersebut sebagai alat untuk bersyukur kepada Allah swt. juga sebagai permohonan kepada Allah
supaya dalam mencari rezeki diberi keselamatan, serta rezekinya bertambah melimpah dari hasil
melaut.
Dalam nilai aqidah, upacara ritual tradisi sedekah laut merupakan sebagai simbol ketaatan dan
rasa syukur kepada Allah Swt. Dalam pelaksanaan tradisi sedekah laut umumnya dilaksanakan
khataman Al-Qur’an atau istighosah. Di dalamnya berisi kegiatan doa-doa, wiridan dan shalawat.
Tujuan utamanya adalah untuk memohon pertolongan dan keberkahan rezeki dari Allah swt (Umar,
2020: 79).
Dalam surat Al-Anfal ayat 9 Allah Swt. berfirman yang berbunyi:
ٓ
َ‫ف ِّمنَ ْٱل َم ٰلَِئ َك ِة ُمرْ ِدفِين‬
ٍ ‫اب لَ ُك ْم َأنِّى ُم ِم ُّد ُكم بَِأ ْل‬
0َ ‫ِإ ْذ تَ ْست َِغيثُونَ َربَّ ُك ْم فَٱ ْستَ َج‬
Artinya: “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada tuhanmu, lalu
diperkenankan-Nya bagimu, “Sungguh, aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan
seribu malaikat yang datang berturut-turut”.
2. Ibadah
Ibadah diwujudkan dalam bentuk taat kepada Allah swt. dengan melaksanakan perintah-Nya
melalui ucapan maupun perbuatan para Rasul-Nya. Nilai ibadah dalam upacara ritual tradisi sedekah
laut yaitu berupa pembacaan doa dalam tahlil bersama untuk mendoakan para leluhur terdahulu yang
sudah meninggal dan meminta kepada Allah agar diberi keselamatan dalam mencari rezeki yang
halal. Pembacaan do’a selamat dalam upacara ritual tradisi sedekah laut merupakan nilai ibadah
sebagaimana firman Allah swt. dalam surat Al-Mukmin ayat 60, sebagai berikut:
َ‫ال َربُّ ُك ُم ٱ ْدعُونِ ٓى َأ ْست َِجبْ لَ ُك ْم ۚ ِإ َّن ٱلَّ ِذينَ يَ ْستَ ْكبِرُونَ ع َْن ِعبَا َدتِى َسيَ ْد ُخلُونَ َجهَنَّ َم دَا ِخ ِرين‬
َ َ‫َوق‬
Artinya: Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan
bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka
Jahanam dalam keadaan hina dina”.
Dari ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa apabila ingin mendapatkan suatu kenikmatan baik
berupa keberkahan rezeki, kesehatan dan keselamatan dunia akhirat, maka dalam ayat tersebut
memerintahkan manusia untuk berdo’a kepada Allah Swt. agar menjadi nilai ibadah.
Syekh Sayid Bakri bin Sayid M. Syatha Ad-Dimyathi dalam kitab I’anatul Thalibin
menerangkan bahwa: “Siapa saja yang memotong hewan seperti unta, sapi, atau kambing (karena
taqarrub kepada Allah) yang diniatkan taqarrub dan ibadah kepada-Nya semata (dengan maksud
menolak gangguan jin) sebagai dasar tindakan pemotongan hewan. Taqarrub dengan keyakinan
bahwa Allah dapat melindungi pemotongannya dari gangguan jin, (maka daging) hewan sembelihan
(halal dimakan) menjadi hewan qurban karena ditujukkan kepada Allah, bukan selain-Nya” (Umar,
2020: 80).
Artinya, semua urutan ritual sedekah laut dengan segala macam persembahannya, khususnya
yang diberikan kepada sesama manusia, apabila diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
diperbolehkan dan daging sembelihannya dianggap menjadi qurban (Umar, 2020: 80).
Dari aspek muamalah dalam sedekah laut yaitu bisa berupafun rekonomian bagi masyarakat
luas. Secara umum penyelenggaraan tradisi sedekah laut hampir sama dengan penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan lain yang melibatkan banyak orang, mendatangkan kerumunan massa dan
menggabungkan berbagai unsur produksi sentra masyarakat. Secara ekonomi tradisi sedekah laut
jugaber gi perusahaan-perusahaan untuk mempromosikan produk lama maupun produk barunya.
Mereka membuka stand-stand promosi dan penjualan di area tempat pelaksanaan sedekah laut
bahkan ada beberapa perusahaan yang menjadi sponsor (Widati, 2011: 147).
3. Akhlak
Akhlak merupakan tingkah laku manusia yang dimotivasi oleh suatu keinginan untuk
melakukan perbuatan yang baik. Sedangkan akhlakul karimah yaitu berkaitan dengan kehidupan
manusia yang tidakdap dup sendiri. Nilai akhlak yang ada dalam upacara ritual tradisi sedekah laut
masyarakat yaitu adanya kebersamaan masyarakat.
Dalam konteks sedekah laut, semua ritual yang dijalankan merupakan simbol dari kula nuwun
atau etika tasawuf ekologis kepada alam semesta (laut) (Umar, 2020: 81). Allah Swt. berfirman dalam
surat Ibrahim ayat 7, yang berbunyi:
‫َو اِ ۡذ تَا َ َّذنَ َر ُّب ُکمۡ لَِئ ۡن َشک َۡرتُمۡ اَل َ ِز ۡی َدنَّ ُکمۡ َو لَِئ ۡن َکفَ ۡرتُمۡ اِ َّن َع َذابِ ۡی لَ َش ِد ۡی ٌد‬
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, niscaya aku akan menambah (nikmat)kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-
Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”.
Sebagai wujud rasa syukur tersebut, khususnya terhadap alam semesta, dapat diwujudkan
dalam bentuk penanaman kembali hutan gundul, membersihkan sampah di sungai dan lain
sebagainya. Sedangkan, sedekah laut bisa dipersepsi dan diposisikan sebagai hubungan yang bersifat
esoterik antara manusia dengan alam semesta (Umar, 2020: 81).
Pendapat ketiga :
Tradisi sedekah laut ada jauh sebelum Islam datang ke tanah Jawa yang hingga hari ini tetap
dilestarikan oleh generasi selanjutnya sebagai bentuk terima kasih kepada para leluhur, sebab mereka
telah mengajarkan cara berlaut dn menangkap ikan yang baik.
Karena tradisi sedekah laut merupakan acara slametan, maka di dalamnya diisi dengan
kegiatan keagamaan (baca: Islam) yang berupa pembacaan Alquran dan bacaan-bacaan sakral lainnya,
seperti pemanjatan doa-doa untuk keselamatan masyarakat pesisir. Karena tradisi sedekah laut
merupakan tradisi turun-temurun sejak pra-Islam, jadi, di dalamnya terdapat ritual yang qudus nan
sakral.
Atas nama sakralitas inilah kemudian ritual itu tidak boleh dilewatkan dalam setiap pagelaran
tradisi sedekah laut. Ritual itu berupa pelarungan sesaji ke tengah laut. Dulu, sebelum Islam datang,
pelarungan sesaji ke tengah laut merupakan bentuk penghaturan sesaji untuk penguasa laut yang
diyakini bisa memberikan keselamatan dan kemudharatan. Dalam pandangan Islam, jelas ritual ini
merupakan kesyirikan karena telah menyekutukan Tuhan dengan yang lain, termasuk dengan
makhluk penunggu laut. Tetapi seiring masuk dan berkembangnya Islam ke tanah Jawa, sedikit-demi
sedikit tradisi sedekah laut tersebut diislamisasi.
Islamisasi yang dimaksud adalah mengislamkan segela bentuk adat dan ritual yang dinilai dan
diyakini menyimpang dari ajaran Islam, seperti halnya pelarungan sesaji kepada penguasa laut. Hari
ini, pelarungan sesaji tidak lagi dimaknai sebagai penghaturan sesaji kepada penunggu dan penguasa
laut, melainkan tidak lebih hanya sebagai bentuk kaffahisme menjalankan tradisi ajaran nenek
moyang.
Kaffahisme menjalankan tradisi dengan segala bentuk ritualnya merupakan ekspresi kecintaan
terhadap tradisi-budaya warisan nenek moyang moyang. Jadi, sudah tidak lagi ada kepercayaan
bahwa sesaji itu diperuntukkan untuk penguasa laut, sebagaimana diyakini oleh para leluhurnya
terdahulu.
Sedekah laut yang sejak berpuluh-puluh tahun mentradisi dan dilestarikan oleh masyarakat
pesisir, kini melahirkan pro-kontra. Sebenarnya sikap pro-kontra merupakan sesuatu yang absah di
negara yang majmuk dan memiliki keaneragaman tradisi dan budaya ini. Tetapi menjadi tidak absah
dan ilegal ketika pro-kontra tersebut malah direspons dengan kekerasan. Sejatinya, Tuhan melalui
ajaran agamanya mengajarkan tentang belas-kasih antar sesama, baik seagama, sepaham ataupun
tidak.
Agama itu selain memberikan petunjuk mengenai apa yang benar dan salah, ia juga
memberikan rasa aman (Geertz, 1973). Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Mau dicari di
dalam literatur mana pun, kekerasan atas nama Tuhan tidak pernah dibenarkan. Ironis memang ketika
Tuhan dijadikan alat pembenaran atas tindakan kekarasan yang dilakukan, bukan sebagai suatu
kebenaran itu sendiri.
Tindakan kekerasan semacam ini lahir dari rahim klaim kebenaran absolut (absolute truth
claim). Yaitu sebuah keyakinan yang menganggap yang lain salah dan hanya dirinya dan
kelompoknya lah yang benar. Sehingga hanya dirinya dan kelompoknyalah yang berhak atas surga,
sedangkan yang lain tidak.
Klaim semacam ini, menurut Al-Fayyadl, melahirkan penyesatan, kekerasan verbal,
pemurtadan dan pengkafiran. Termasuk menyebut kelompok lain musyrik. Sebaliknya menurut
pendapat ini, kekerasan atas nama apa pun, apalagi atas nama Tuhan tidak perlu terjadi karena itu
malah menodai Tuhan yang kudus dan transenden, juga menodai Islam yang damai. Setiap perbedaan
bisa kita selesaikan secara baik-baik, yaitu dengan dialog dan duduk bersama dalam satu majelis.
Dalam konteks kekerasan di bantul, jika tradisi sedekah laut dianggap sesat dan syirik, maka
ingatkanlah mereka dengan baik (bil-hikmati wal maw’idhah hasanah), karena berdakwah itu
mengajak bukan mengejek dengan menyebut mereka syirik.
C. Solusi dan Penyelesaian Masalah
Agama dan budaya? Bukanlah hal yang asing bagi kedua telinga ini. Seringkali kita
mendengar dua kosa kata ini diperbincangkan oleh lisan bahkan jadi sebuah perdebatan bagi sebagian
kalangan. Dua kosa kata yang tak hanya sekali berjalan berdampingan dan selalu dipadu-padankan.
Ini menunjukkan bahwa ada relasi diantara mereka. Padahal jika ditelisik, agama dan kebudayaan
adalah hal yang berbeda. Agama merupakan segala sesuatu yang didapat atau bersumber dari Tuhan,
sedangkan kebudayaan merupakan segala sesuatu yang diciptakan atau produk (cipta, rasa, karsa) dari
manusia. Meskipun berbeda, agama dan kebudayaan tetaplah dikaitkan dan memiliki relasi yang kuat.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menyampaikan
sambutan jelang waktu buka puasa di acara buka bersama di kediaman pribadi Ketua DPD RI Oesman
Sapta Odang. Dalam kesempatan itu ia menyinggung soal amanah yang tersemat dalam pundak setiap
insan, yakni amanah diniyah (agama) dan amanah wathoniyah (kebangsaan). Dalam Islam, terdapat
amanah untuk mempertahankan budaya yakni Islam Nusantara. "Kita jadikan budaya sebagai
infrastruktur agama. Jangan kebalik," kata Said Aqil.
Relasi antara agama dan budaya menurut pandangan penulis yaitu agama menyebarkan
ajarannya salah satunya melalui budaya dan budaya membutuhkan agama untuk melestarikannya.
Agama tidak serta-merta menghapus budaya dalam masyarakat, yang beberapa memang tidak sesuai
dan bertolak belakang dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, agama lebih menggunakan budaya untuk
media dakwah sekaligus masuk dalam budaya dengan menyesuaikan apa yang boleh atau sesuai
dengan ajarannya Di sini agama berperan untuk memfiltrasi berbagai norma dan nilai dari
kebudayaan, misalkan: budaya wayang, tumpengan, Sedekah laut, budaya ’nganteuran’ dan
sebagainya. Ini juga meliputi relasi antara manusia dengan alam, atau antara manusia dengan makhluk
lainnya, seharusnya bukan merupakan relasi antara penakluk dengan yang ditaklukan, hamba dengan
tuannya, melainkan sebuah relasi harmonis, yang mengutamakan kebersamaan, cinta dan kasih
sayang.
Hal ini pun pada dasarnya telah diajarkan oleh agama, interaksi yang bersifat harmonis itu,
adalah interaksi yang saling memperhatikan perkembangan situasi antara satu dengan yang lainnya.
Ini merupakan prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antara manusia dengan makhluk
lainnya, termasuk kepada alam, dan keharmonisan hubungan ini pula yang menjadikan tujuan dari
segala etika agama.
Adanya relasi antara agama dan kebudayaan diperkuat oleh salah satu argumen budayawan
bangsa ini, Didik Nini Towok, saat pentas di Universitas Brawijaya Malang begitu memesona.
Selepas menari, beliau mengatakan, “Kesenian terutama tarian di Nusantara dipengaruhi oleh agama.
Seperti tarian Bali dipengaruhi oleh agama Hindu, tarian Jawa dipengaruhi oleh Kejawen, dan tarian
Aceh dipengaruhi oleh agama Islam, sehingga para penari harus mengikuti tata cara dan adab
menari”. Seni Budaya Nusantara Dipengaruhi Agama.
Hal ini menegaskan bahwa agama mampu memengaruhi budaya yang ada.
Seperti halnya yang dikatakan KH. Said Aqil Siroj, Beliau mengatakan pula bahwa pakaian
batik itu budaya, tetapi orang sah sholat dengan memakai batik sebagai sarana untuk menutup aurat.
Artinya budaya bisa mendukung tegaknya agama. Dan begitupula agama mendukung lestarinya
budaya . Inipun membuktikan adanya relasi antara agama dan budaya.
Bukan hanya itu saja, masalah juga terjadi saat budaya dibenturkan dengan nilai-nilai agama.
Sebenarnya, sedekah laut merupakan budaya yang sudah turun temurun dan memang perlu untuk
dilestarikan. Pembubaran ini sangatlah disayangkan bisa terjadi di bangsa yang katanya berbudaya
dan beragama ini.
Mengapa sampai ada pembubaran? Hal ini dikarenakan ada sekelompok oknum beragama
yang mana mereka membenturkan budaya dengan agama. Di sini terlihat ada perbedaan dalam
penginterpretasian budaya. Pihak yang pro menilai bahwa budaya sebagai tradisi yang harus
dilestarikan sedangkan pihak yang kontra memiliki penafsiran lain. Pihak yang kontra membenturkan
budaya dengan ajaran agama sehingga mereka merasa kegiatan tersebut sesat, syirik, dan betentangan
dengan ajaran Islam.
Memiliki pandangan yang berbeda di negara yang majemuk ini sah-sah saja. Akan tetapi
output atau tindakan yang mengekor setelahnya adalah masalahnya. Perlu diingat bahwa Indonesia
bukan negara agama, tetapi negara yang beragama. Jadi dalam hal ini, akan lebih elok apabila setiap
insan sadar untuk menanamkan jiwa toleran dalam dirinya. Indonesia sendiri juga tidak hanya
mengakui satu agama saja melainkan enam agama, yakni Islam, Hindu, Buddha, Katholik, Kristen
Protestan, dan Kong Hu Cu. Selain itu, juga ada aliran kepercayaan lain yang sudah menyatu dengan
penduduk seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Marapi, dan sebagainya.
Budaya ini oleh sebagian oknum dianggap syirik. Padahal budaya ini adalah ungkapan syukur
pada Tuhan akan karunia yang telah diberikan. Di Indonesia, budaya yang serupa juga ditemui, seperti
Larung Sesaji di Lereng Gunung Kelud, Kediri dan lainya. Budaya yang dilakukan masyarakat
dengan memberikan hasil panen dari gunung baik berupa sayur-sayuran maupun buah-buahan untuk
dibagikan sebagai rasa syukur masyarakat lereng gunung Kelud terhadap Sang Pencipta. Di mana
Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan kebutuhan hidup yang melimpah pada penduduk sekitar.
Budaya ini juga diikuti oleh umat antar agama, termasuk aliran kepercayaan/kejawen.
Beragam budaya yang ada di daerah lain terlihat damai-damai saja bukan? Ini menunjukkan
bahwa sebenarnya agama dan kebudayaan itu bisa berjalan berdampingan, tidak perlu dibenturkan.
Bukankah lebih indah dan damai apabila setiap elemen masyarakat memahami hal ini? Menurut saya,
budaya-budaya tersebut merupakan kegiatan positif, di mana sedekah berarti beramal, dalam maksud
ingin “membersihkan” agar menjadi lebih baik ataupun sebagai ucapan syukur pada Sang Pencipta.
Lalu siapa yang disalahkan atau bertanggung jawab atas pembubarpaksaan budaya di Pantai Baru? Ya
hanya oknum yang melakukan hal tersebut, bukan agama yang dianutnya. Di daerah-daerah lain
“fine-fine” saja dengan adanya tradisi sedekah-sedekah itu. Jadi, boleh saja menjadi orang agamis,
akan tetapi harus tahu situasi dan kondisi, jangan sampai terlalu fanatik dalam beragama lalu
membubar paksakan budaya yang memang sudah di lestarikan turun temurun.

Kesimpulannya, agama dan budaya memanglah dua hal yang berbeda. Akan tetapi perbedaan
ini bukanlah hal yang perlu dibenturkan. Kita sebenarnya bisa berjalan berdampingan dan sama-sama
memperoleh kedamaian dalam menjalani kehidupan. Hanya saja, masih diperlukan kesadaran setiap
insan untuk menerapkan nilai toleransi. Penulis yakin, kita sebagai bangsa yang majemuk bisa
berjalan berdampingan, tanpa perlu untuk saling membenturkan perbedaan yang ada. Seperti kata
guru bangsa, Gus Dur mengatakan “agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan”.
3. Kyai yang tidak mencerminkan nilai-nilai pendidikan spiritual
Pengertian pendidikan spiritual menurut imam GGhozali. Menurut Ghazali, murid
membutuhkan seorang mursyid atau guru yang dapat diikutinya, agar dia menunjukkannya ke jalan
yang lurus. Jalan agamasan mar dan jalan-jalan Syetan sangat banyak dan jelas. Oleh karena itu, jika
seseorang yang tidak mempunyai Syaikh yang membimbingnya, maka pasti Syetan akan
menggiringnya menuju jalannya. Barang siapa berjalan di jalan yang berbahaya tanpa petunjuk, maka
dia telah menjerumuskan dan membinasakan dirinya. Masa depannya ibarat pohon yang tumbuh
sendiri. Pohon itu akan menjadi kering dalam waktu singkat. Apabila dia dapat bertahan hidup dan
berdaun, dia tidak akan berubah. Yang menjadi pegangan seorang murid adalah Syaikhnya maka
hendaklah dia berpegang teguh kepadanya.)
Selain itu, al-Ghazali juga pernah menyatakan (Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada
hamba-Nya, maka Dia akan memperlihatkan kepadanya penyakit-penyakit yang ada di dalam
jiwanya. Barang siapa mata hatinya terbuka, niscaya dia akan dapat melihat segala penyakit. Apabila
dia mengetahui penyakit itu dengan baik, maka dia dapat mengobatinya. Namun mayoritas manusia
tidak dapat mengetahui penyakit-penyakit jiwa mereka sendiri. Seorang di antara mereka dapat
melihat kotoran di mata saudaranya.Tapi dia tidak dapat melihat kotoran di matanya sendiri. Barang
siapa ingin mengetahui penyakit-penyakit dirinya, maka dia harus menempuh empat cara.
Pertama, dia harus duduk di hadapan seorang mursyid yang dapat mengetahui penyakit-
penyakit jiwa dan menyingkap aib- aib yang tersembunyi. Dia harus mengendalikan hawa nafsunya
dan mengikuti petunjuk mursyidnya itu dalam melakukan mujahadah. Inilah sikap seorang murid
terhadap mursyidnya atau sikap seorang pelajar terhadap gurunya. Dengan demikian, mursyid atau
gurunya akan dapatmen ntang penyakit-penyakit yang ada dalam jiwanya dan cara mengobatinya).
Menurut al-Ghazali, pada umumnya manusia tidak bisa melihat penyakit- penyakit jiwa
mereka sendiri kecuali orang-orang yang telah terbuka hijabnya dan telah tercerahkan lewat
bimbingan guru mursyid. Seseorang hanya dapat melihat korotan saudaranya tapi dia tidak bisa
melihat kotorannya sendiri. Seorang mursyid atas karunia Allah mengetahui penyakit-penyakit hati
manusia. Oleh karenanya, kata al-Ghazali apabila manusia ingin mengetahui penyakit-penyakit
jiwanya hendaknya dia duduk dihadapan mursyid yang mengetahui penyakit-penyakit jiwa dan
menyingkap aib-aib yang tersembunyi.
Dia harus mengendalikan hawa nafsunya dan mengikuti petunjuk mursyidnya itu dalam
melakukan Mujahadah Inilah sikap seorang murid terhadap mursyidnya atau sikap seorang pelajar
terhadap gurunya. Dengan demikian, mursyid atau gurunya akan dapatmen ntang penyakit penyakit
yang ada dalam jiwanya dan cara mengobatinya.
Dengan demikian, bimbingan seorang guru dianggap sebagai syarat mutlak bagi keberhasilan
pengembangan spiritual. Tanpa kehadiran guru, seseorang dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam
kesesatan Inilah yang dimaksud oleh ungkapan Abd al-Qadir di muka yang menjadikan keberadaan
guru sebagai prasyarat pentingdal ndidikan spiritual. Yakni, keharusan setiap murid
mempunyai syaikh yang menunjukkannya kepada jalan
yang lurus. Paham semacam ini memang tidak sepenuhnya
diterima di kalangan sebagian ulama. Meskipun mereka juga berpendapat, bahwa setiap
pencari ilmu harus mempunyai guru, tetapi mereka juga berpandangan bahwa
sangat memungkinkan bagi pencari ilmu yang mampu
membaca, memahami dan membedakan serta mempunyai sumber-sumber ilmu, untuk
menghasilkan ilmu dengan
sendirinya tanpa membutuhkan seorang guru.
Tentang hal tersebut, Ibnu Taimiyah mendukung
pendapat kedua.Ia menjelaskan, bahwa jika seorang boleh

belajar al-Qur'an dan ilmu-ilmu lain dari siapa saja yang ahli, maka ia pun boleh belajar ilmu
agama, baik lahir maupun batin, tanpa harus dibatasi pada orang tertentu dan tidak perlu juga
menisbatkan dirinya kepada seorang guru tertentu. Bahkan ia dengan tegas mengatakan, bahwa siapa
saja yang ia bisa
memanfaatkannya dari sisi keilmuan dan keagamaan, maka dialah gurunya. Lebih lanjut ia
mengatakan, bahwa setiap
orang mati yang perkataan, amal, dan pengaruhnya
sampai kepada manusia, sehingga membawa manfaat
dalam agamanya, maka ia adalah gurunya.
Menurut Said Hawwa ungkapan “barang siapa yang tidak mempunyai seorang syaikh, maka
syaikhnya adalah setan,” hanya bisa dibenarkan dalam satu konteks saja. Yakni, apabila murid yang
hendak menempuh jalan sufi itu adalah orang yang bodoh dan dia sendiri tidak
mampu memahami ilmu-ilmu syariat. Itulah orang yang
ibadahnya, amalannya, perilakunya dan perbuatannya
sama sekali tidak didasari oleh ilmu. Orang semacam itu,
menurut Said Hawwa, jika dia tidak berguru kepada seorang guru, maka yang menjadi
gurunya adalah setan.
Namun, jika seseorang itu mampu belajar sendiri dan dia berjalan di atas ilmu yang benar,
maka gurunya adalah ilmu yang benar itu, gurunya adalah buku yang dibacanya.Adapun seseorang
yang mempelajari ilmu dari para ahli di bidangnya, maka merekalah yang menjadi
guru-gurunya. Jika kita mengerti akan hal ini, demikian
menurut Hawwa, maka kita juga paham tentang posisi ungkapan di atas, mengerti kesalahan
yang melanda sebagian orang yang memberlakukan ungkapan di atas kepada siapa saja yang tidak
mempunyai guru sufi. Dalam pandangan Hawwa, bisa saja ungkapan itu malah
dipopulerkan dalam rangka mempromosikan guru-guru
sufinya, padahal guru-guru sufi mereka adalah orang-orang bodoh yang justru membutuhkan
guru
Menurut Said Hawwa, di kalangan spiritual sufi juga beredar pemahaman yang sangat
populer, yaitu: “Tidak akan sampai (wushul) kepada Allah kecuali melalui perantaraan seorang syaikh
sufi.”
Dalam pandangannya, ungkapan ini jelas merupakan ungkapan yang sangat tidak berdasar.
Ibnu „Athai Allāh malah mengungkapkan, bahwa wushul kita kepada Allah
SWT sejatinya tidak lain dari wushul kita kepada ilmu
tentang-Nya Dengan demikian, pintu ma'rifat Allah sebenarnya selalu terbuka bagi siapa saja
yang menempuh jalan menuju ke sana, baik itu berupa makrifat intuitif (dzauqiyah) maupun makrifat
ilmiah.
Menurut Said Hawwa, menghubungkan antara
makrifat Allah dengan keberadaan seorang syaikh serta menganggap berdosa mereka yang
menempuh jalan
makrifat tanpa melalui seorang syaikh, merupakan
kebohongan dan kekeliruan besar. Sebab, kalau demikian,
berarti jutaan orang Islam yang telah meninggal dunia
dianggap bodoh atau tidak makrifat kepada Allah. Padahal,
di antara mereka banyak ahli Tafsir dan Hadis. Apalagi,
menurut Hawwa, istilah syaikh baru muncul belakangan
dalam sejarah Islam. Lalu, apakah mereka yang hidup
sebelum itu dianggap tidak makrifat kepada Allah, padahal
mereka adalah generasi terbaik umat Islam.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
menurut al- Ghazali, keberadaan guru spiritual merupakan prasyarat penting dalam
pendidikan spiritual. Ia memandang bahwa setiap murid harus mempunyai guru yang
menunjukkannya ke arah jalan yang lurus. Konsisten dengan pandangannya tersebut, dapat dipahami
jika ia melihat adanya relasi dan keterkaitan yang sangat erat antara guru dan murid dalam pendidikan
spiritual. Guru, dalam pandangannya, merupakan dasar dalam pendidikan spiritual. Sejumlah
adab yang harus diperhatikan dan diimplementasikan dalam interaksi pendidikan spiritual tersebut,
secara umum, ditujukan untuk mengapresiasi peran guru yang sangat strategis adalah merupakan
suatu kewajiban untuk mentaati, jika guru mengajarkan sesuatu yang selaras dengan al- Kitab

dan Sunnah. (Sa'id Hawwa,1992).


Peran seorang mubaligh berlabel kiai, terutama yang memiliki pondok pesantren, memiliki
pengaruh yang cukup signifikan dalam membentuk spiritualitas sosial.
Oleh karenanya, kiai dalam istilah Hiroko Horikoshi disebut
juga sebagai “agent of social change”. Kaitannya dengan peran kiai sebagai agen perubahan
sosial, Ronald Alan menyatakan bahwa peran tersebut setidaknya dilakukan dengan dua cara:
Pertama, melalui pesantren yang secara khusus dikuasai
olehnya, cara ini biasa dilakukan melalui kurikulum pesantren.
Kedua, kiai juga bertugas mengkonstruksi identitas yang
melampaui pintu-pintu pesantren.

Kasus pemerkosaan menjadi ancaman yang serius di Indonesia. Mengenai hal tersebut,
masyarakat pun mendesak pemerintah agar memberikan hukuman berat untuk para pelaku
pemerkosaan. Salah satu opsi hukuman kebiri untuk para pelaku pun mencuat. 

Lantas, bagaimana tinjauan kasus pemerkosaan dalam pandangan Islam?


Dalam ceramahnya, Buya Yahya menyampaikan bahwa pemerkosa adalah orang yang
dzalim. Dia telah melakukan dosa kepada Allah Swt. dan berbuat dosa kepada manusia. Jika tidak
segera bertaubat, maka neraka segera menantinya. "Naudzubillah, dia dzalim. Pada akhirnya, dia
melakukan zina juga," tutur Buya Yahya

Buya Yahya kembali menyampaikan, Allah itu Maha Pengasih dan Pengampun, jika apa yang
Anda terima di luar keinginan Anda (diperkosa), maka Anda tidak berdosa.

"Anda tidak perlu merasa terpuruk karena masalah keperawanan, karena Allah akan
mengembalikan itu semua. Anda tidak perlu merasa putus asa," tutur lagi Buya Yahya.

Buya Yahya juga menambahkan, orang yang diperkosa akan ditutup aibnya oleh Allah Swt.
Maka, jangan berputus asa dan terpuruk, kembalilah pada Allah Swt.
Menanggapi kasus tersebut, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan
Ukhuwah KH Cholil Nafis menegaskan kasus pelecehan seksual tersebut tidak ditoleransi oleh
agama. Karena itu, menurut dia, kejadian serupa harus segera diantisipasi oleh pemerintah maupun
masyarakat“Ini kan tidak ada masalah dengan agamanya. Artinya itu bukan ajaran agama, tidak
ditoleransi oleh agama, itu penyimpangan. Oleh karena itu, kita fokus bagaimana mengantisipasi
terjadinya kejahatan seksual,” ujar Kiai Cholil.
Menurut Kiai Cholil, kasus tersebut tidak hanya berupa kekerasan seksual, tapi sudah
merupakan kejahatan seksual. Pelaku pasti mengetahui bahwa perbuatan tersebut sangat dilarang oleh
agama. Tapi, karena telah didorong oleh nafsu setan dan lupa kepada Allah, akhirnya pelaku
melakukan manipulasi untuk kepentingan nafsunya sendiri.
“Dan itu tidak ada di dalam ajaran Islam, tidak ada dalam ajaran pesantren,” ucap Pengasuh
Pondok Pesantren Cendikia Amanah Depok ini.   
Oleh karena itu, Kiai Cholil berharap kepada pemerintah dan masyarakat bersama-sama
melakukan antisipasi agar kedepannya kasus tersebut tidak terulang lagi. “Jadi, urusan pendidikannya
tidak ada masalah. Tapi ketika itu kedok pendidikan untuk melakukan kejahatan seksual itu yang
harus diantisipasi oleh pemeritnah, oleh masyarakat,” katanya.
Kiai Cholil menjelaskan setiap manusia pasti memiliki syahwat, yaitu kecenderungan jiwa
terhadap apa yang dikehendakinya. Jika manusia baik, maka derajatnya bisa lebih tinggi dari
malaikat. Namun, kata dia, ketika manusia jahat bisa menjadi lebih jahat daripada setan dan lebih
rendah dari hewan.
“Oleh karena itu, pertama, kita pastikan yang melanggar itu adalah orang yang sedang lupa
kepada Allah. Jadi, manusia, kiai atau ustadz itu juga ada kemungkinan untuk lupa kepada Allah. Jadi
tidak ada jaminan kalau ustadz itu selalu ingat kepada Allah,” jelas Ketua Gerakan Pengasuh
Pesantren Indonesia (GAPI) ini.
“Oleh karena itu, kita harus mawas diri dan juga kita saling menasihati, mungkin nasihat itu
dalam bentuk apa di dalam regulasi kita, di dalam kebijakan kita, itu juga bagian dari nasihat,” kata
Kiai Cholil.  

Langkah dan pemikiran saya secara ilmu fikih:

Allah Swt. mengharamkan perbuatan zina. Di dalam Qs. Al-Nur: 2, Allah Swt. berfirman:

ِ ‫ةٌ فِي ِد‬0َ‫ا َرْأف‬0‫م بِ ِه َم‬0ْ ‫ذ ُك‬0


ۖ ‫ ِر‬0‫وْ ِم اآْل ِخ‬0َ‫ونَ بِاهَّلل ِ َو ْالي‬0ُ‫ين هَّللا ِ ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمن‬ ْ ‫ َد ٍة ۖ َواَل تَْأ ُخ‬0‫ال َّزانِيَةُ َوال َّزانِي فَاجْ لِدُوا ُك َّل َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما ِماَئةَ َج ْل‬
ْ
َ‫َوليَ ْشهَ ْد َع َذابَهُ َما طَاِئفَةٌ ِمنَ ال ُمْؤ ِمنِين‬ ْ

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
(menjalankan) agama Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (Qs.
An-Nur: 2) Di dalam ayat di atas, Allah Swt. sekaligus menyinggung soal had (hukuman) bagi pelaku
zina baik laki-laki maupun perempuan. Ibnu Katsir di dalam Kitab Tafsirnya menyampaikan
penjelasan dari ayat tersebut sebagai berikut:

‫ذي لم‬00‫و ال‬00‫راً وه‬00‫ون بك‬00‫ا أن يك‬00‫ فإن الزاني ال يخلو إم‬،‫يعني هذه اآلية الكريمة فيها حكم الزاني في الحد وللعلماء فيه تفصيل‬
،‫ة‬00‫ إذا كان بكراً لم يتزوج فإن حده مائة جلدة كما في اآلي‬0‫ فأما‬،‫ أو محصنًا وهو الذي وطئ في نكاح صحيح وهو حر بالغ عاقل‬،‫يتزوج‬
‫ام إن‬00‫ريب إلى رأي اإلم‬00‫ خالفا ً ألبي حنيفة رحمه هّللا فإن عنده أن التغ‬،‫ويزاد على ذلك إما أن يغرب عاما ً عن بلده عند جمهور العلماء‬
‫شاء غرّب وإن شاء لم يغرب‬
Artinya: “Ayat yang mulia ini menghendaki penjelasan tentang had pezina, dan para ulama
dalam hal ini memiliki perincian. Yang dinamakan pezina, tidak mengenyampingkan kondisi yang
kadangkala pelakunya adalah perempuan yang masih perawan dan belum menikah, dan adakalanya
merupakan orang yang terjaga kehormatannya, yaitu orang yang melakukan pernikahan secara shahih
sementara ia adalah seorang yang merdeka, baligh dan berakal. Jika pelaku adalah perempuan yang
masih perawan dan belum menikah, maka had baginya adalah 100 kali cambukan sebagaimana bunyi
ayat. Had ini ditambah adakalanya dengan cara mengasingkannya selama satu tahun dari negaranya,
sebagaimana hal ini adalah kesepakatan jumhur ulama kecuali Imam Abu Hanîfah rahimahu allah.
Menurut Abu Hanifah, pandangan perlu diasingkan atau tidak adalah mengikut pada pandangan
Imam. Jika imam memutus perlu pengasingan maka diasingkan, namun jika diputus tidak perlu, maka
tidak diasingkan.” (Ismail ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur'an al-‘Adhim, Beirut: Dar Thayibah,
2002: Juz 6, halaman 10)
Bagaimana bila kedua bunyi teks ayat dan tafsirnya di atas kita bawa ke ranah kekerasan
seksual misalnya pemerkosaan? Penting sebelumnya untuk diketahui bahwa dalam ranah kekerasan
seksual, yang wajib terkena had zina adalah pelaku kekerasan (mukrih) dan bukan korban (mukrah
atau mustakrah) sebagaimana hal ini diketahui berdasarkan hadits:

‫ليس على المستكرهة حد‬


(tidak had bagi perempuan yang dipaksa/diperkosa). Jika mengikut bunyi teks di atas, maka
pihak yang berlaku sebagai mukrih atau mustakrih atau pemerkosa, dapat dihukum menurut dua jalur
perzinaan, tergantung pada kondisi mukrih itu sendiri. Kondisi yang dipertimbangkan, adalah: 1.
Pertimbangan status perkawinan. Apakah pelaku merupakan seorang yang sudah menikah atau belum
2. Usia pelaku pemerkosaan. Terkait dengan usia pelaku, dalam syariat dikenal dengan hukum taklifi
yaitu hukum yang hanya berlaku untuk orang yang sudah mukallaf. Maksud dari mukallaf adalah
mereka yang telah berusia baligh, berakal, dan merdeka sehingga wajib mengikuti ketentuan nash
syariat. 3. Pertimbangan faktor agama. Dalam hal ini, kadang pelaku dan korban adalah pihak yang
memiliki status agama berbeda. Menikahkan pelaku dan korban yang memiliki status agama yang
berbeda merupakan kebijakan yang tidak dibenarkan oleh syariat. Dilihat dari segi status perkawinan,
maka ada dua kategori pelaku, yaitu: 1. mereka dikelompokkan sebagai pezina ghairu muhshan, yakni
pelaku belum nikah sama sekali 2. mereka dikelompokkan sebagai pezina muhshan, yakni pelaku
merupakan orang yang sudah menikah Pelaku sendiri juga bisa dikelompokkan menurut hubungan
familinya, yaitu: 1. adakalanya masih ada hubungan famili dengan korban (misalnya: kakak, paman,
bapak), dan 2. adakalanya merupakan orang lain yang tidak ada hubungan famili dengan korban.

Terkadang dalam tradisi masyarakat sering dilakukan upaya jalan pintas yaitu menikahkan
kedua pelaku dan korban apabila tidak ada hubungan famili. Solusi ini kadang berjalan efektif, namun
di sisi yang lain juga bisa membawa mudarat bagi korban karena 1) dapat berakibat pada semakin
leluasanya pelaku memperalat korban, 2) apalagi bila antara pelaku dan korban adalah pihak yang
berbeda agama atau keyakinan, ditambah lagi 3) apabila sebelumnya ada permusuhan antara kedua
pelaku dan korban. Untuk pelaku yang masih ada hubungan famili, tidak mungkin diambil cara
kekeluargaan melalui jalan menikahkan keduanya karena pernikahan tersebut bertentangan dengan
nash agama. Sementara di sisi yang lain, pihak korban harus menerima keadilan. Had untuk pezina
ghairu muhshan berdasarkan nash, dapat dikenai hukuman berupa: 1. Dicambuk sebanyak 100 kali 2.
Diasingkan (taghrib) selama satu tahun Adapun untuk had pelaku zina muhshan, yang mana pelaku
merupakan pihak yang sudah pernah menikah, sementara korban ada kemungkinan sudah menikah
dan ada kalanya juga belum, maka dalam teks nash syariat ditetapkan had bagi pelaku adalah rajam
(hukuman mati). Apabila memaksa bahwa penjenjangan hukum harus diberlakukan terhadap kasus
pemerkosaan zina muhshan, maka ada beberapa pertimbangan lain untuk hukum bagi pelaku zina
muhshan ini yang harus diperhatikan, yaitu: 1. Tebusan akibat penghilangan keperawanan (arsy al-
bikarah), yang akan disampaikan dalam tulisan mendatang 2. Had hukuman yang sebanding dengan
hukuman mati (misalnya: penjara seumur hidup) Kembali ke soal zina ghairu muhshan, khusus untuk
taghrib (pengasingan), ada dua pandangan hukum dalam syariat. Pertama, menurut jumhur ulama
adalah muthlaq perlu pengasingan. Kedua, menurut Imam Abu Hanifah, diserahkan keputusannya
kepada hakim, apakah hakim perlu melakukan pengasingan atau tidak. Jika hakim memandang perlu
dilakukan pengasingan, maka pihak pemerkosa diasingkan keluar dari wilayah tempatnya berada.
Namun, apabila imam memutuskan tidak perlu diasingkan, maka tidak dilakukan pengasingan. Sudah
pasti dalam hal ini yang dijadikan bahan pertimbangan adalah sisi keadilan. Di satu sisi pihak korban
mengalami kerugian psikis dan fisik berupa hilangnya kehormatan yang bisa jadi akan terus
membekas terhadap dirinya. Sementara itu, pihak pelaku juga memiliki pertimbangan yang sama,
bahwa ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Yang harus menjadi
catatan adalah bahwa setiap individu pelaku memiliki hak yang melekat pada dirinya, yaitu: (1) hak
untuk bertaubat (2) hak untuk diterima kembali di masyarakat manakala ia sudah selesai menjalani
masa hukuman (sanksi). Khusus untuk hak yang terakhir ini akan disampaikan dalam tulisan terkait
dengan masalah publikasi pelaku pemerkosaan oleh pemerintah.

Karena mungkin hukum ini sudah tidak diberlakukan di Indonesia, maka dari itu hukum nya
ikut dengan keputusan kementerian agama serta dengan tetap mengikuti UUD NKRI.
4. A. Tujuan Pendidikan dalam Kisah Nabi Ibrahim a.s.
Jika ditelusuri beberapa ayat AlQuran yang mengisahkan Nabi Ibrahim a.s. dengan Ismail,
setidaknya ada dua tujuan pendidikan, yaitu:
pertama, menjadikan anak bertauhid. Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai "Bapak Monotheis"
karena ia dikenal
dengan perjuangannya menegakkan tauhid, meskipun ia harus berhadapan dengan ancaman
Raja Namrud yang
membakarnya hidup-hidup. Ali
(Adhan, 2018; Syariati, 2002) menyebut Nabi Ibrahim sebagai tokoh besar pemberantas
kemusyrikan di dalam sejarah. Dia menegakkan tauhid di
dunia dengan menanamkan iman ke dalam hati orang-orang kafir sehingga tauhid dapat
tumbuh di tengah-tengah kemusyrikan. Ibrahim a.s. pemberantas kemusyrikan, meninggalkan rumah
"Azar", pembuat berhala, untuk
menghancurkan berhala-berhala dan untuk menghancurkan Namrud. Setelah terbebas dari
kezaliman Namrud, ia tetap berdakwah menegakkan tauhid kepada kaumnya, termasuk kepada
keluarganya. Selain
perjuangan dakwah dan tarbiyah, ia juga bermohon kepada Allah Swt.
agar anak cucunya terhindar dari kemusyrikan, seperti menyembah berhala (Qs.
Ibrahim/14:35).

ۡ َ ‫ى اَ ۡن نَّ ۡـعبُ َد ااۡل‬


٣٥ ؕ‫صنَا َم‬ ۡ ‫اج َع ۡل ٰه َذا ۡالبَلَ َد ٰا ِمنًا و‬
َّ ِ‫َّاجنُ ۡبنِ ۡى َوبَن‬ ۡ ِّ‫َواِ ۡذ قَا َل اِ ۡب ٰر ِه ۡي ُم َرب‬
(AlMaraghi, 1993) menjelaskan maksud jauhkanlah aku dan keturunanku dari menyembah
berhala tetapkanlah kami
pada tauhid dan Islam yang telah kami pegang ini dan jauhkanlah kami dari menyembah
berhala-berhala agar kami memperoleh keridhaan-Mu. Hal ini bagian penting dalam tujuan
pendidikan Islam, yaitu mengakui aqidah tauhid sebagai konsep tertinggi
manusia dalam mengenal Allah
Swt.(Musthafa & Ammar, 2009).

Kedua, mewujudkan anak shaleh.


Nabi Ibrahim a.s. diuji Allah Swt. dengan berbagai cobaan, di antaranya lama memiliki
keturunan. Namun ia tetap bermunajat kepada Allah agar
dianugerahkan anak yang shaleh (Qs. Ash-Shaaffat/37: 100)
ۤ
)١٠٠ : ‫ص ٰفّت‬
ّ ٰ ‫صلِ ِح ْينَ ( ال‬
ّ ٰ ‫َربِّ هَبْ لِ ْي ِمنَ ال‬
untuk meneruskan perjuangan dakwahnya di muka bumi ini. (Hamka, 1982, 2015; Ikhwan,
2016; Syafi’i, 2014)
menjelaskan permohonan ini
dilakukannya setelah dia memutuskan hubungan dengan kaumnya yang durkaha kepada Allah
Swt. yang tidak mau lagi diberi pentunjuk. Nabi Ibrahim a.s. melakukan hijrah hati dan
hijrah tempat tinggal serta
menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah Swt. Dalam keadaan penyerahan diri kepada
Allah Swt. Itu ia merasakan ada sesuatu hal yang masih kurang, yaitu anak. Maka Nabi Ibrahim a.s
memohon kepada Allah
Swt. untuk dianugerahi anak yang shaleh.

Karakter Pendidik Shaleh

Terdapat beberapa ayat Al-Quran yang mengisahkan tentang sifat-sifat Nabi Ibrahim a.s.
Sifat-sifat baik yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim a.s. tentu
melekat dalam dirinya sebagai guru terhadap anak-anaknya, termasuk ketika mendidik Ismail,
sehingga sifat itu dapat disebut sebagai karakter pendidik shaleh.
Pertama, shiddiq. Karakter jujur
dan benar yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim.a.s. itu membuat dirinya menjadi manusia utama
pilihan Allah yang diberi gelar sebagai shiddiq atau orang yang benar (Qs. Maryam/19: 41).

ِ َ‫َو ْٱذ ُكرْ فِى ْٱل ِك ٰت‬


ِ َ‫ب ِإب ٰ َْر ِهي َم ۚ ِإنَّهۥُ َكان‬
‫صدِّيقًا نَّبِيًّا‬
Sifat shiddiq ini terlihat saat berinteraksi dengan anaknya, Ismail. Ketika Allah Swt.
memerintahkan Ibrahim untuk
menyembelih putranya melalui mimpi, Nabi Ibrahim menceritakan mimpi itu apa adanya. Dia
tidak membohongi
anaknya, dan kejujuran itu dibalas oleh putranya dengan ucapan yang meneguhkan ayahnya
agar melakukan
perintah itu dengan harapan sang ayah memiliki sifat sabar (Qs. ashShaffat/37: 102).

ِ َ‫ال ٰيََٓأب‬
ُ ‫ٓا َء ٱهَّلل‬0 ‫ت َِج ُدنِ ٓى ِإن َش‬0 ‫ْؤ َم ُر ۖ َس‬0ُ‫ت ٱ ْف َعلْ َما ت‬ َ َ‫ى ِإنِّ ٓى َأ َر ٰى فِى ْٱل َمن َِام َأنِّ ٓى َأ ْذبَحُكَ فَٱنظُرْ َما َذا تَ َر ٰى ۚ ق‬
َّ َ‫ال ٰيَبُن‬
َ َ‫فَلَ َّما َبلَ َغ َم َعهُ ٱل َّس ْع َى ق‬
ٰ
َّ ‫ِمنَ ٱل‬
َ‫صبِ ِرين‬

Karakter shiddiq harus dimiliki


dan dipelihara oleh seorang pendidik. (Arsyad, 2015; Ruslan, 2016; Siahaan, Hidayat,
Wijaya, & Rifa’i, 2017; Syalhud, 2006), menulis:
Sesungguhnya jujur bagi seorang guru adalah mahkota yang menghiasi
kepalanya. Jika ia kehilangan sifat jujur, maka ia kehilangan kepercayaan manusia terhadap
ilmunya dan terhadap pengetahuan-pengetahuan
yang ia sampaikan kepada mereka.
Sifat jujur merupakan bagian integral dari kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh
seorang pendidik. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 16
Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, menegaskan
bahwa salah satu butir kompetensi inti dari kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh guru
adalah "Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik
dan masyarakat". Selain kepribadian, seorang pendidik harus jujur pula secara keilmuan,
bersifat benar dalam
memperlakukan peserta didiknya, dan semua sifat itu akan mendatangkan berbagai kebaikan.
Kedua, waffa, mempunyai arti
menyempurnakan janji atau menepati janji (Surasman, 2016). Nabi Ibrahim a.s. senantiasa
menepati janji dengan Allah Swt. dalam penyampaian perintah Allah dan risalah-Nya kepada semua
makhluk (Qs. An-Najm/ 53: 37).

‫َوِإ ْب ٰ َر ِهي َم ٱلَّ ِذى َوفَّ ٰ ٓى‬

Diantara sifat waffa yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. adalah ketika beliau diperintahkan oleh
Allah Swt. untuk melakukan menyembelih putranya Ismail, berhijrah, menyerahkan hartanya berinfak
dalam ketaatan, dan dilemparkan ke api sebagai
konsekuensi menyampaikan nilai-nilai kebenaran tauhid (mengesakan) Allah
Swt. (Surasman, 2016).
Menjadi seorang pendidik adalah pilihan. Ketika seseorang memilih profesinya sebagai
pendidik, maka ia harus berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan melaksanakan tugas-tugasnya
sebagai guru dalam mendidik dan mencerdaskan peserta didiknya. Janji itu harus ditepati
sehingga apa yang menjadi tujuan pembelajaran dan
tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik.
Ketiga, halim.
Al-Quran
menjelaskan Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang memiliki karakter halim. Ketika
menafsirkan surat Hud/11 ayat
75,
ٌ‫ِإ َّن ِإب ٰ َْر ِهي َم لَ َحلِي ٌم َأ ٰ َّوهٌ ُّمنِيب‬
(Al-Maraghi, 1993) mengartikan
kata Halim, yaitu "yang tidak menyukai disegerakannya hukuman". Sedangkan saat
menafsirkan surat at-Taubah/9
ayat 114,
‫َو َما َكانَ ٱ ْستِ ْغفَا ُر ِإب ٰ َْر ِهي َم َأِلبِي ِه ِإاَّل عَن َّموْ ِع َد ٍة َو َع َدهَٓا ِإيَّاهُ فَلَ َّما تَبَيَّنَ لَ ٓۥهُ َأنَّهۥُ َع ُدوٌّ هَّلِّل ِ تَبَ َّرَأ ِم ْنهُ ۚ ِإ َّن ِإ ْب ٰ َر ِهي َم َأَل ٰ َّوهٌ َحلِي ٌم‬

mengartikan halim sebagai


orang-orang yang tidak bisa
dipengaruhi marahnya, sehingga mengancam orang lain. Orang yang memiliki sifat seperti
itu, pasti akan menjadi orang yang sabar, pemaaf, berhati-hati dalam segala hal dan tidak
tergesa-gesa ketika suka atau ketika duka. Sifat ini sangat terkait dengan sifat pendidik.
Seorang pendidik pasti akan berinteraksi dengan individu-individu yang memiliki karakter yang
beragam dengan pola pikir yang berbeda-beda. Di samping itu, pendidik juga dituntut untuk
melakukan aktivitas pembaharuan, perbaikan, dan pengajaran yang terus menerus setiap harinya.
Aktivitas tersebut diiringi dengan berbagai problematika yang ditimbulkan oleh peserta didik.
(Amiruddin, 2018; Febrimardiansyah, 2019;Kawakib, 2016; Muttaqin, 2017; Robika, 2018;
Yuliyanti, 2017), ketika menjelaskan etika guru kepada murid, satu
diantaranya adalah "Kadang-kadang, dalam kegiatan pembelajaran sering kali ditemukan
siswa (terutama siswa pemula) yang tidak serius serta memiliki niat yang kurang tulus. Terhadap hal
seperti ini, guru hendaknya bersabar dan tidak menyurutkan semangatnya dalam memberikan
pengajaran kepada mereka.
Keempat, awwah (Qs. Hud/11: 75).
ٌ‫ِإ َّن ِإب ٰ َْر ِهي َم لَ َحلِي ٌم َأ ٰ َّوهٌ ُّمنِيب‬
Menurut (Shihab, 2007), awwah adalah hati yang lembut dan hatinya cepat merasakan
kepedihan ketika melihat
atau mendengar orang lain ditimpa kepedihan. Ini merupakan salah satu sifat terpuji Nabi
Ibrahim a.s. yaitu
perhatian beliau yang sangat besar terhadap penderitaan orang lain. Kata awwah ini juga
dapat diartikan banyak berdoa. Sedangkan (Hamka, 2015)
mengartikan sebagai pengiba, iba kasihan melihat orang yang sengsara atau dengan kata lain
apabila orang mengeluh tidak sampai melihat orang mendapatkan kesusahan.
Karakter awwah akan membuat seseorang berhati lembut. Sifat lembut adalah bersikap ramah
terhadap orang lain baik dalam perkataan maupun perbuatan, tidak mempersulit, dan ia juga berarti
kebalikan dari sikap keras dan kasar. Karena itu, sifat ini mesti dimiliki oleh seorang pendidik. Para
pendidik hendaknya berusaha bersikap
lembut dan menerapkannya terhadap peserta didik mereka (Syalhud, 2006).
Selain itu, sebagai seorang guru, seseorang harus memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya
kepada peserta didik dalam menuntut ilmu. Janganlah seorang guru menganggap seorang
peserta didik itu
bodoh dan tidak dapat lagi diberi kecerdasan. Manusia yang lahir ke dunia ini adalah sesuai
dengan fitrahnya, yaitu manusia yang mampu untuk berkembang dan belajar. Hal ini akan mudah
dilakukan oleh seorang guru jika ia memiliki kelembutan hati.
Kelima, munib (Qs. Hud/11: 75).

ٌ‫ِإ َّن ِإب ٰ َْر ِهي َم لَ َحلِي ٌم َأ ٰ َّوهٌ ُّمنِيب‬

Nabi Ibrahim a.s. memiliki karakter munib, yaitu orang yang senantiasa bertaubat atau
kembali kepada Allah Swt. Hal ini dirangkaikan dengan sifat
sebelumnya, yaitu awwah (Anwar, Siregar, & Mustofa, 2015; Wartini, 2014) menjelaskan
munib dapat diartikan dengan kembali ke posisi semula setelah ditinggalkan. Ini mengandung
makna introspeksi dan menyesali perbuatan lalu memperbaiki. Menurut
Hamka arti kata Munib adalah suka kembali. Orang yang memiliki sikap munib dalam dirinya
maka ia selalu
mengembalikan segala urusannya kepada Allah Swt. ia sadar bahwa sejauh-jauhnya berjalan
dalam kehidupan ini, namun semua langkah akan kembali kepada Allah SWT.
Guru yang ideal memiliki
kesucian hati dan dekat pada Allah Swt. Tugas guru bukan saja mengajarkan ilmu (transfer of
knowledge), tetapi lebih dari itu seorang guru bertugas menyucikan jiwa peserta
didiknya. Dalam konteks ini, guru disebut muzakki, atau orang yang menyucikan.(Shihab,
2007) menegaskan bahwa kata muzakki termasuk ke dalam pengertian mendidik, sebab mendidik
terkait dengan upaya membersihkan diri seseorang dari segala sifat dan akhlak
yang tercela. Namun di sisi lain,
seorang guru adalah manusia biasa yang bisa saja berbuat salah. Maka guru yang berperan
sebagai muzzakki akan senantiasa segera kembali kepada Allah atau bertaubat jika ia terlanjur
melakukan kesalahan. Di sinilah pentingnya sifat munib bagi setiap guru.
Keenam, muhsin (Qs. Ash-Shaffat/37: 109-110).

َ ِ‫ َك ٰ َذل‬،‫َس ٰلَ ٌم َعلَ ٰ ٓى ِإ ْب ٰ َر ِهي َم‬


َ‫ك نَجْ ِزى ْٱل ُمحْ ِسنِين‬

Al-Quran juga menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim a.s. memiliki sifat ihsan, atau disebut
muhsin (orang yang berbuat baik). Dalam tafsir al-Azhar (Hidayat, 2015) dijelaskan arti dari muhsin
adalah penyerahan diri yang diikuti dengan perbuatan kebajikan dengan sadar. Sedangkan dalam tafsir
al-Misbah (2002: 598) disebutkan, muhsin adalah
mukmin yang selalu mawas diri dan merasakan kehadiran Allah Swt. Ihsan bagi manusia,
bisa tercapai saat manusia memandang dirinya pada diri
orang lain, sehingga ia memberi pada orang lain apa yang seharusnya dia berikan kepada
dirinya. Sedangkan ihsan antara manusia dan Tuhannya adalah leburnya diri, sehingga dia hanya
melihat Allah Swt. Karena itu
ihsan antara sesama manusia adalah dia tidak lagi melihat dirinya dan hanya melihat orang
lain. Orang yang melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang

lain dan tidak melihat dirinya pada saat beribadah kepada Allah disebut muhsin. Oleh karena
itu makna ihsan menurut sebagian ulama dua yaitu
pertama memberi nikmat kepada orang lain dan kedua, perbuatan baik. Maka oleh sebab itu
kata ihsan ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan kata adil. Seorang guru harus menjadi muhsin. Ia
harus merasakan bahwa ia senantiasa berada dalam pengawasan
Allah Swt. sehingga ia memiliki sifatsifat mulia, jauh dari maksiat, dan taat menjalankan
perintah-Nya. Hal ini relevan dengan pendapat al-Kinani,
seperti dikutip Ramayulis (2012: 118), salah satu syarat guru yang berhubungan dirinya
adalah "Hendaknya guru senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya
dalam segala perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan
Allah kepadanya".
Karenanya, ia tidak mengkhianati itu, malah ia tunduk dan merendahkan diri
kepada Allah Swt. Selain itu, dengan makna sifat ihsan di atas, maka guru akan memberikan
pendidikan yang
terbaik kepada peserta didiknya. Ia akan berupaya agar peserta didiknya lebih baik dan lebih
berhasil dari dirinya sendiri. Tegasnya, dengan sifat ihsan ini, seorang guru akan melandasi
aktivitasnya atas dasar iman pada Allah Swt. lalu melakukan upaya terbaik dalam mendidik
peserta didiknya.
Ketujuh, ummah (Qs. An-Nahl/16: 120).

ُ َ‫ِإ َّن ِإب ٰ َْر ِهي َم َكانَ ُأ َّمةً قَانِتًا هَّلِّل ِ َحنِيفًا َولَ ْم ي‬
َ‫ك ِمنَ ْٱل ُم ْش ِر ِكين‬

Ibnu Katsir (2004: 118)mengartian ummah sebagai "imam yang diikuti".


(Shihab & Al Mishbah, 2002)
berpendapat kata ummah terambil dari kata amma-ya'ummu yang berarti
menuju, menumpu dan meneladani. Dari akar kata yang sama lahir kata umm yang berarti ibu
dan imam yang
artinya pemimpin. Karena ibu menjadi teladan, tumpuan dan harapan bagi anak-anaknya.
Sedangkan pemimpin menjadi teladan, tumpuan pandangan
dan harapan bagi bawahannya.
Jika dikaitkan dengan kajian
pendidik, maka ummah erat kaitannya dengan kompetensi kepribadian. Dalam Undang-
undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada penjelasan pasal 10, yang dimaksud dengan
kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan
berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Seorang
guru dituntut memiliki ragam sifat mulia yang berkumpul dalam dirinya sehingga ia menjadi
teladan dan figur sentral bagi peserta didik dan
masyarakat sekitarnya.
Kedelapan, qanitan lillah (Qs. AnNahl/16: 120).

ُ َ‫ِإ َّن ِإب ٰ َْر ِهي َم َكانَ ُأ َّمةً قَانِتًا هَّلِّل ِ َحنِيفًا َولَ ْم ي‬
َ‫ك ِمنَ ْٱل ُم ْش ِر ِكين‬

Qanit atau qanut berarti orang yang khusyu’ lagi patuh (Katsir,
2005), atau orang yang patuh kepada Allah dan melaksanakan perintah-Nya (Al-Maraghi,
1993), walaupun harus menyembelih putranya sendiri (Hamka, 2015). Guru sebagai pendidik, harus
memiliki sifat qanit. Pendidik
yang qanit konsisten mengamalkan perintah Allah, baik yang fardhu maupun yang sunnah.
Ketaatan kepada Allah yang dilakukan secara
terus-menerus itu memberi keteladan pada peserta didiknya secara mudah. Para peserta didik
termotivasi dari pendidik yang mereka saksikan sendiri
ketaatan dan kemuliaan akhlaknya.
Kesembilan, al-hanif, artinya "orang yang menyimpang dari agama yang batil menuju agama
yang haq" (AlMaraghi, 1993), "orang yang berpaling dari kemusyrikan menuju kepada
tauhid. Bahkan dalam ayat ini, Nabi Ibrahim a.s. ditegaskan sebagai imam bagi orang-orang
hanif, dalam kata ummatan qanitan lillahi hanifa. Ajaran
Nabi Ibrahim adalah Hanif maksudnya adalah ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim adalah
ajaran yang tidak bengkok, tidak memihak kepada pandangan hidup orang-orang Yahudi
dan tidak juga mengarah kepda ajaran Nasrani atau ajaran apapun yang bertentangan dengan
ajaran Ilahi Yang Maha Esa itu (Shihab & Al Mishbah,
2002). Setiap pendidik yang beragama Islam mesti memiliki tauhid yang benar. Dengan dasar
tauhid yang benar, maka setiap guru dituntut

bersifat ikhlas dan mengharap ridha Allah dari setiap usaha yang ia lakukan dalam mendidik
peserta didiknya. Ia tidak boleh bermaksiat, apalagi dihadapan peserta didiknya. Ia harus
menjadi cahaya yang menerangi peserta didiknya menuju kebenaran hakiki, tunduk dan
patuh kepada Allah Swt. (Al-Abrasyi, 2003) menegaskan
salah satu sifat guru adalah bersih, tidak saja bersih tubuhnya, tetapi juga jauh dari dosa dan
kesalahan, bersih
jiwanya, terhindar dari dosa besar, sifat ria, perselisihan dan sifat-sifat tercela lainnya.Hal itu
akan dapat terwujud dan terjaga jika ia tetap pada fitrahnya yang hanif.
Kesepuluh, khalil, artinya "teman yang meresap di dalam kalbunya, persahabatan dan
kecintaan" (Shihab & AlMishbah, 2002). Kata ini pada mulanya berarti celah, karena itu kata
ini juga dapat diartikan sebagai teman yang selalu mengetahui dan mengenal, baik secara
umum maupun secara khusus sampai kepada celah-celah atau rahasia temannya. Siapa saja yang
memiliki sifat ini pastilah selalu mendampingi temannya itu. Nabi Ibrahim a.s diberi gelar Khalil
karena relung-relung kalbunya telah dipenuhi
oleh cinta kepada Allah Swt. dan karena ia meneladani sifat-sifat-Nya maka Allah Swt. pun
mencintai beliau.
Pendidik yang ideal dalam Islam juga harus mencintai Allah Swt.di atas segala-galanya. Ia
mendidik bukan karena alasan materi atau kenikmatan duniawi yang sesaat. (Al-Abrasyi, 2003)
menempatkan hal ini menjadi sifat pertama yang harus dimiliki oleh pendidik, yaitu zuhud, tidak
mengutamakan materi, dan mengajar karena mencari keridhaan Allah semata". Seorang pendidik
harus berupaya menjadi hamba yang dicintai Allah Swt. karena ketaatan dan kemuliaan akhlaknya
lalu berupaya
mendidik peserta didiknya menjadi hamba yang dikasihi-Nya. Dari sepuluh sifat Nabi
Ibrahim a.s. yang diperoleh dari Al-Quran di atas menunjukkan bahwa sifat-sifat
tersebut relevan dengan sifat pendidik saat ini. Jika dikaitkan dengan sistem pendidikan di
Indonesia, sifat-sifat ini
termasuk dalam kategori kompetensi kepribadian, di antara tiga kompetensi lainnya:
kompetensi sosial, pedagogik
dan profesional. Kompetensi
kepribadian inilah yang paling
berperan dalam menampilkan seorang guru teladan. Kompetensi kepribadian pula yang paling
berperan dalam mendidik karakter peserta didik.

Karakter Anak Shaleh

Sifat Ismail dapat dianalisis


sebagai karakter anak shaleh,
khususnya ketika ia berinteraksi dengan ayahnya, Nabi Ibrahim a.s. Karakter anak shaleh
yang dimiliki oleh Ismail itu dapat dijadikan sebagai teladan bagi peserta didik. Di antara sifat Ismail
a.s. yang paling menonjol adalah halim, taat, sabar dan
penyayang.
Halim mengandung karakter santun, sabar dan bijaksana. Kesantunan Ismail terhadap ayahnya juga
terlihat dari sikap dan ucapan sang anak saat Nabi Ibrahim a.s. menyampaikan kepadanya perintah
Allah agar dia disembelih berdasarkan suatu mimpi (Shihab & Al Mishbah,
2002). Sifat santun atau amat sabar dituntut dimiliki oleh peserta didik. Dengan kesantunan
itu, ia disayangi
oleh gurunya sehingga setiap materi yang diajarkan mudah diserap oleh peserta didik.
(Asy’ari, 2007)menegaskan sifat santun menjadi bagian penting dalam etika peserta didik
kepada gurunya. Hormat dan
santun tidak saja terwujud dalam bentuk kepatuhan pada guru, tetapi juga tampak dalam
bersikap saat duduk di depan guru serta berbicara dengan baik dan sopan di hadapan
guru. Ketika Ismail tumbuh menjadi anak yang mulai berakal dan menginjak remaja, Allah
menguji Nabi Ibrahim a.s. dengan perintah mengorbankan Ismail dengan cara menyembelihnya.
Perintah Allah itu dikomunikasikan Nabi Ibrahim a.s. kepada Ismail lalu Ismail menerimanya dengan
taat dan sabar (Qs. AshShaaffat/37:102). Salah satu sifat peserta didik adalah sabar dan menjauhkan
diri dari perlakuan yang kurang baik dari gurunya dan jangan menutup diri dan terus berupaya
menyertainya dengan menduga ada nilai-nlai positifnya, dan hendaklah ia tetap menduga terhadap
perbuatan guru yang secara lahiriah tampak buruk, tetapi pada hakikatnya tetap baik (Ghoni, 2017;
Nata, 2001).

Sebagaimana nabi Ismail a.s tetap sabar dan bersedia untuk disembelih oleh ayahnya,
walaupun ia akan kehilangan
nyawanya sendiri. Ismail a.s. yakin apa yang dilakukan oleh ayahnya itu adalah atas perintah
Allah Swt. bukan karena kebencian sang ayah kepada
dirinya. Ismail juga memiliki karakter penyayang. Karakter penyayangnya tampak dari
bahasa yang ia gunakan, seperti digambarkan dalam Qs. AshShaaffat/37:102, Ismail a.s memanggil
ayahnya dengan panggilan yang mulia dan penuh kasih sayang, yaitu "wahai
bapakku” ketika menjawab panggilan bapaknya "Ya Bunayya" (Al-Maraghi, 1993).
Pendidik adalah pengganti orang tua bagi anak ketika berada di lingkungan sekolah. Peserta
didik seyogyanya memanggil guru dengan
panggilan yang baik sebagai bentuk kasih sayang dan penghormatannya kepada seorang guru.
Wujud penghormatan seorang pelajar kepada seorang guru diantaranya adalah tidak
memanggil gurunya dengan panggilan "kamu", "anda" dan lain sebagainya.
Hendaklah seorang peserta didik memanggil gurunya dengan
menggunakan sebutan: "Ya Sayyidi (wahai tuanku), “Ya Ustadzi” (wahai guruku) dan lain
sebagainya. Disamping itu seorang peserta didik juga tidak sepantasnya menyebut nama
gurunya dihadapan orang lain kecuali dengan menyebutkan kata-kata yang mulia sebagai
wujud penghormatannya terhadap guru tersebut (Asy’ari, 2007).

Materi Mendidik Anak Shaleh

Materi pendidikan yang terdapat dalam kisah Nabi Ibrahim a.s dan Ismail a.s. dikelompokkan
ke dalam tiga bagian, yaitu akidah, ibadah dan akhlak. Pertama, bidang akidah, diantaranya tidak
memperserikatkan
Allah Swt. (Qs. Al-Hajj/ 22: 26),

ِ ‫﴾ َوِإ ْذ بَ َّوْأنَا ِإِل ْب َرا ِهي َم َم َكانَ ْالبَ ْي‬


٢٦ ﴿ ‫ت َأ ْن اَل تُ ْش ِر ْك بِي َش ْيًئا َوطَهِّرْ بَ ْيتِ َي لِلطَّاِئفِينَ َو ْالقَاِئ ِمينَ َوالرُّ َّك ِع ال ُّسجُو ِد‬
beriman kepada Allah dan hari akhir (Qs. al-Baqarah/2: 126)
ُ0‫ُأ َمتِّ ُع ۥه‬0َ‫ َر ف‬0َ‫ال َو َمن َكف‬0
َ 0َ‫ ِر ۖ ق‬0‫وْ ِم ٱلْ َءا ِخ‬0َ‫ت َم ْن َءا َمنَ ِم ْنهُم بِٱهَّلل ِ َو ْٱلي‬ َ ٰ 0‫ال ِإب ٰ َْر ِهۦ ُم َربِّ ٱجْ َعلْ ٰهَ َذا بَلَدًا َءا ِمنًا َوٱرْ ُز ْق َأ ْهلَهۥُ ِمنَ ٱلثَّ َم‬
ِ ‫ر‬0 َ َ‫َوِإ ْذ ق‬
‫صي ُر‬ ْ
ِ ‫س ٱل َم‬ ‫ْئ‬
َ ِ‫ار ۖ َوب‬ َّ
ِ ‫ب ٱلن‬ َ َ َ ‫َأ‬ ُ ‫اًل‬
ِ ‫قَلِي ث َّم ضْ طرُّ ٓۥهُ ِإل ٰى َعذا‬
dan Al-Asma' al-husna (al-Baqarah/2: 127-129).
Dalam tafsir Al-Azhar (Hidayat,
2015) dijelaskan bahwa Qs.alHajj/22:26 menjelaskan perintah kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk
mendirikan rumah tempat ibadah kepada Allah Swt. dan menegakkan akidah keesaan Allah Swt. di
rumah
yang didirikannya itu. Jangan sampai tempat itu dijadikan sebagi tempat membuat pujaan
yang lain. Dalam tafsir al-Maraghi (Al-Maraghi, 1993)
dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim a.s. yang telah membangun dan menjadikannya sebagai
rumah bagi manusia. Dia diperintah untuk membersihkannya dari kemusyrikan bagi kepentingan
orang-orang yang melakukan tawaf dan shalat, dan menyeru manusia untuk datang ke tempat itu dari
seluruh penjuru dunia (untuk melaksanakan ibadah haji).
Dalam pendidikan Islam, materi
akidah yang terkait dengan tauhid dan tidak menyekutukan Allah adalah materi yang paling
dasar. Materi aqidah merupakan salah satu ruang lingkup Pendidikan Agama Islam di
antara empat ruang lingkup lainnya (Al-Quran Hadis, Akhlak, Ibadah dan Tarikh). Materi ini
diajarkan sejak usia dini sehingga keimanannya kokoh.
Untuk kelas III tingkat Sekolah Dasar, misalnya, peserta didik telah diajarkan materi tentang
"Keesaan Allah" (Permendiknas, n.d.). Biasanya, guru akan menjelaskan tentang larangan
menyekutukan-Nya.

Sementara itu,ucapan Ismail: if'al matu'marun/laksanakanlah apa yang diperintahkan


kepadamu, bukan berkata sembelihlah aku, mengisyaratkan sebab kepatuhannya adalah karena hal itu
adalah perintah Allah Swt. Bagaimanapun bentuk, cara, dan kandungan apa yang diperintahkan-Nya,
ia sepenuhnya pasrah (Shihab & Al Mishbah, 2002).
Patuh kepada orang tua merupakan suatu yang mesti dilakukan oleh seorang anak. Sikap
patuh yang ditunjukkan anak kepada kedua orang tuanya merupakan salah satu amal yang paling
disukai Allah Swt.

Dalam buku "Kisah Bapak dan


Anak dalam al-Quran" digambarkan tentang kepatuhan Hajar terhadap suaminya Ibrahim a.s
karena melaksanakan perintah Allah Swt. walaupun akibatnya Hajar harus hidup dalam kekurangan
dan kesusahan tetapi dia yakin bahwa Allah Swt.
tidak akan menyia-nyiakannya (Halim
& Musthafa, 2007). Kepatuhan seorang istri terhadap suami merupakan akhlak terpenting
dalam berumah tangga. Suami adalah pemimpin dalam keluarga. Tanpa kepatuhan seorang istri, maka
kepemimpinan ayah akan
terganggu. Ketidakpatuhan isteri pada suami berdampak pada pendidikan anak-anak mereka.
Padahal pendidikan di rumah tangga merupakan fondasi
utama untuk menanamkan akhlak mulia.
Materi akhlak lainnya adalah
menepati janji. Sebelumnya, telah dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim juga memiliki sifat
menepati janji (Qs. Maryam/ 19: 54).
‫ق ْٱل َو ْع ِد َو َكانَ َر ُسواًل نَّبِيًّا‬ َ َ‫يل ۚ ِإنَّهۥُ َكان‬
َ ‫صا ِد‬ ِ َ‫َو ْٱذ ُكرْ فِى ْٱل ِك ٰت‬
َ ‫ب ِإ ْس ٰ َم ِع‬

Sementara (AlMaraghi, 1993) mengungkapkan, tidak


pernah Ismail menjajikan suatu janji pun, kecuali dia pasti menepatinya sehingga dia berjanji
kepada ayahnya akan bersabar ketika disembelih.
Ternyata dia buktikan janjinya itu, dia menepati apa yang dikatakannya, dan mentaati
perintah sehingga datang
tebusan baginya.
Ketiga materi ini tidak membatasi materi pendidikan lainnya yang dibutuhkan dalam
mendidik karakter anak shaleh. Akan tetapi materi akidah,ibadah, dan akhlak merupakan materi
pokok dalam ajaran Islam. Ini pula yang menjadi pelajaran diterima
Rasulullah Saw. dari Jibril yang menyerupai manusia saat mengajarkan tentang Iman, Islam,
dan Ihsan.
Pengembangan materi tetap perlu dilakukan dengan menjadikan materi iman (akidah) sebagai
poros utama
yang diikuti Islam (ibadah) dan ihsan (akhlak).

Metode Mendidik Anak Shaleh

Metode pendidikan anak dalam


kisah nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s.
diantaranya adalah metode keteladanan, metode praktek langsung, metode kasih sayang,
metode dialog, dan metode doa. Pertama, keteladanan
Nabi Ibrahim a.s. terlihat saat ia mengajak anaknya meninggikan dasardasar Baitullah,
Ka’bah. Saat itu, Ibrahim a.s. tidak saja menyuruh Ismail bekerja, tetapi juga terjun langsung bekerja.
Ismail menyodorkan batu-batu
yang diperlukan, dan Ibrahim a.s. yang menyusun dan memasang batu itu
(Kosim, 2008). Inilah sebuah keteladanan dari kekasih Allah
(khalilullah) yang turut berbuat untuk agama Allah (Qs. al-Baqarah/2: 127).
Dalam proses pendidikan,
metode keteladanan menekankan pada
pendidik bahwa mendidik peserta didik tidak hanya transfer ilmu, tetapi perlu internalisasi
nilai melalui
keteladanan (Tafsir, 2017). Keteladanan dari seorang guru tidak saja kepada peserta didik,
tetapi kepada semua orang yang memandangnya sebagai guru (Mulyasa, 2008). Apalagi antara
pendidik dengan peserta didik
senantiasa terjadi interaksi sehingga peserta didik akan terpengaruh dengan perilaku
pendidiknya (Abdullah, 1991),
sebab manusia lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat (Bambang, 1987;Mahmudah,
2017) menyebut bahwa sangatlah mudah bagi pendidik mengajari peserta didik dengan berbagai
materi pendidikan secara lisan, akan tetapi sesuatu yang teramat sulit bagi peserta didik untuk
melaksanakannya ketika ia melihat orang mendidiknya tidak memberi contoh atau mengamalkannya.
(Arifin, 2015) juga menyebut bahwa metode
keteladanan terhadap peserta didik, terutama anak-anak yang belum mampu berpikir kritis,
akan banyak mempengaruhi pola tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Guru sebagai pembawa dan pengamal nilai-nilai agama, kultural dan ilmu pengetahuan akan
memperoleh manfaat dalam mendidik anak apabila
menerapkan metode ini, terutama dalam pendidikan akhlak dan agama serta sikap mental
peserta didik. Jika guru menerapkan metode keteladanan, maka konsekuensinya ia harus dapat
memberikan teladan kepada para peserta didiknya dengan berusaha mencontoh dan
meneladani Rasulullah
Saw. sebagai teladan sejati, baik dari segi sikap perbuatan, termasuk ibadahnya (Syahidin,
2009).
Kedua, metode praktik langsung. Nabi Ibrahim a.s. mendidik anaknya tidak sekedar
mendoakan akan kesalahen anaknya, tetapi juga mendidik Ismail a.s. dengan melibatkannya secara
langsung melakukan hal-hal yang baik, seperti adalah saat membangun Ka’bah (Qs. al-Baqarah/2:
127).
‫ت وَِإ ْس ٰ َم ِعي ُل َربَّنَا تَقَبَّلْ ِمنَّٓا ۖ ِإنَّكَ َأنتَ ٱل َّس ِمي ُع ْٱل َعلِي ُم‬
ِ ‫اع َد ِمنَ ْٱلبَ ْي‬
ِ ‫َوِإ ْذ يَرْ فَ ُع ِإ ْب ٰ َر ِهۦ ُم ْٱلقَ َو‬

Dalam tafsir Ibnu Katsir, diceritakan bahwa pembangunan Ka’bah ini saat Ismail telah
dewasa dan memiliki istri. Namun (Shihab & Al Mishbah, 2002)
menyebut peristiwa ini terjadi saat Ismail masih remaja. Nabi Ibrahim a.s. berkata: "Wahai Ismail,
sesungguhnya Allah memerintahkan sesuatu kepadaku". "Laksanakanlah apa yang diperintahkan
Rabb-mu itu," sahut Ismail. Ibrahim pun bertanya: "Apakah engkau akan membantuku?", "Aku pasti
akan membantumu," jawab Ismail. Ibrahim bertutur: "Sesungguhnya Allah menyuruhku untuk
membangun sebuah rumah di sini." Seraya menunjuk ke anak bukit kecil yang lebih tinggi dari
sekelilingnya. Pada saat ini keduanya meninggikan pondasi Baitullah. Ismail mengangkat
batu, Ibrahim memasangnya. Hingga ketika bangunan itu sudah tinggi, dia datangkan sebuah batu,
dan dia
meletakkannya untuk dijadikan
pijakan. Ibrahimpun berdiri di atasnya sambil memasang batu, sementara Ismail
menyodorkan batu kepadanya. Keduanya pun berdoa: rabbana taqabbal
minna innaka anta as-sami'u al-'alim.
Jadi, Nabi Ibrahim a.s. sebagai
orang tua mengajak anaknya Ismail untuk membangun Ka’bah. Ia melibatkan Ismail untuk
membangun rumah Allah. Tentu, hal ini memberikan pengalaman spiritual secara langsung kepada
Ismail untuk
menjalankan perintah Allah Swt.
Seperti yang disebut (Shihab & Al Mishbah, 2002), mereka meninggikan pondasi bangunan
Ka’bah. Mereka berdua tidak menerima upah dari siapapun. Mereka hanya memohon agar amalnya
diterima Allah sebagai
pengabdian: Terimalah dari amal kami, yakni meninggikan dasar-dasar Ka’bah,
sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar permohonan kami dan Maha Mengetahui kerja, niat, dan tujuan kami. Inilah
pengalaman spiritual yang akan mempengaruhi keimanan dan perilaku sang anak. Kepatuhan pada
perintah Allah, keikhlasan dalam berbuat, dan menghasilkan karya berupa rumah Allah, merupakan
bagian dari proses pendidikan yang meninggalkan bekas pada pribadi anak sehingga ia akan
menjelma menjadi seorang hamba yang taat kepada Allah Swt.
Ketiga, metode kasih sayang (Qs. Ash-Shaaffad/ 37: 102). Kata Ya Bunayya yang berarti
"Wahai anakku", merupakan ungkapan kasih sayang dari seorang ayah kepada anaknya.
Metode kasih sayang yang didahului oleh bahasa Nabi Ibrahim a.s. ya Bunayya, dibalas pula
oleh putranya dengan kata ya Abati, sebagai ungkapan kepatuhan dan ketundukan
pada perkataan dan perintah ayahnya atas dasar cinta karena Allah Swt. (AlMaraghi, 1993).
Metode kasih sayang dapat
mewujudkan hubungan yang baik antar individu (Thuwairaqi, 2004). Dalam proses
pembelajaran, kasih sayang seorang guru kepada peserta
didik sangat dibutuhkan, karena ia merupakan kebutuhan jiwa setiap orang (Al-Qusy, 1974,
Mawangir, 2015). Bahkan kasih sayang (rahmah) adalah sifat wajib dimiliki oleh setiap pendidik.
Orang yang hatinya keras tidak layak menjadi pendidik (Abdurrahman & al-Maroky, 2005). Dalam
tradisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia, misalnya, kasih sayang seorang guru
kepada santri diyakini
mendatangkan barakah dari ilmu yang diajarkan. Keberkahan ilmu itu akan diperoleh jika
"Guru sayang kepada murid dan murid hormat kepada guru." Sebab sentuhan kasih sayang
yang ditampilkan dalam komunikasi harmonis antara pendidik dengan terdidik, sehingga guru
dirasakan selalu hadir dalam seluruh konteks

kehidupan muridnya (Syahidin, 2009). Jadi, metode kasih sayang efektif dilakukan untuk
mendidik karakter seorang anak. Dengan kasih sayang, diharapkan perkembangan mental anak akan
optimal tanpa rasa takut dan terancam.
Keempat, metode dialog. Nabi
Ibrahim a.s. berdialog kepada anaknya, Ismail a.s. dengan bahasa yang dilandasi kasih
sayang: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah apa pendapatmu!".
Pertanyaan itu juga dijawab oleh sang putra dengan santun: "Hai bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
sabar" (Qs. asy-Syaffat/37: 102).

ِ َ‫ال ٰيََٓأب‬
ُ ‫ٓا َء ٱهَّلل‬0 ‫ت َِج ُدنِ ٓى ِإن َش‬0 ‫ْؤ َم ُر ۖ َس‬0ُ‫ت ٱ ْف َعلْ َما ت‬ َ َ‫ى ِإنِّ ٓى َأ َر ٰى فِى ْٱل َمن َِام َأنِّ ٓى َأ ْذبَحُكَ فَٱنظُرْ َما َذا تَ َر ٰى ۚ ق‬
َّ َ‫ال ٰيَبُن‬
َ َ‫فَلَ َّما بَلَ َغ َم َعهُ ٱل َّس ْع َى ق‬
ٰ
َّ ‫ِمنَ ٱل‬
َ‫صبِ ِرين‬

Dialog Nabi Ibrahim a.s. dengan Ismail juga termasuk dialog naratif. Dialog naratif tampil
dalam episode kisah yang bentuk dan alur ceritanya
jelas sehingga menjadi bagian dari cara atau unsur cerita dalam Al-Quran. Walaupun Al-
Quran mengandung kisah yang disajikan dalam bentuk
dialog, kita tidak dapat mengidentikkan keberadaannya dengan drama yang sekarang ini
muncul sebagai sebuah jenis karya sastra. Artinya, Al-Quran tidak menyajikan unsur dramatik
walaupun dalam penyajian kisahnya terdapat unsur dialog (Syahidin, 2009).
Kelima, metode doa. Doa orang
tua memiliki peran penting dalam melahirkan anak yang saleh. Jumuah Saad menegaskan
untuk melahirkan
anak yang kelak menjadi tokoh
teladan, salah satu metodenya adalah "tak pernah lelah dalam berdoa untuk mereka". Doa
telah ditegaskan dalam sebuah hadits Nabi sebagai senjata bagi
orang-orang yang beriman, ad-du'a shilaahul mu'minin. Oleh karena itu, relevan jika doa
dijadikan sebagai metode utama mendidik anak. Para Nabi dan orang-orang saleh terdahulu
banyak melakukan metode doa ini, seperti Nabi Ibrahim a.s. (ashShaffaat/37: 100
َّ ٰ ‫َربِّ هَبْ لِى ِمنَ ٱل‬
َ‫صلِ ِحين‬
dan al-Furqaan/25: 74),
‫َوٱلَّ ِذينَ يَقُولُونَ َربَّنَا هَبْ لَنَا ِم ْن َأ ْز ٰ َو ِجنَا َو ُذ ِّر ٰيَّتِنَا قُ َّرةَ َأ ْعيُ ٍن َوٱجْ َع ْلنَا لِ ْل ُمتَّقِينَ ِإ َما ًما‬
keluarga Imran (Ali Imran: 38),
Nabi Zakariya a.s.
‫ك َس ِمي ُع ٱل ُّدعَٓا ِء‬ َ ‫ال َربِّ هَبْ لِى ِمن لَّدُن‬
َ َّ‫ك ُذ ِّريَّةً طَيِّبَةً ۖ ِإن‬ َ َ‫َريَّا َربَّهۥُ ۖ ق‬
ِ ‫ك َدعَا زَ ك‬
َ ِ‫هُنَال‬
(Al Anbiya’: 89

َ‫َريَّٓا ِإ ْذ نَاد َٰى َربَّهۥُ َربِّ اَل تَ َذرْ نِى فَرْ دًا َوَأنتَ َخ ْي ُر ْٱل ٰ َو ِرثِين‬
ِ ‫َوزَ ك‬
dan Maryam: 5),
0ْ َ‫ت ٱ ْم َرَأتِى عَاقِرًا فَه‬
0ْ َ‫ب لِى ِمن عَاقِرًا فَه‬
‫ب لِى ِمن‬ ِ َ‫ت ْٱل َم ٰ َولِ َى ِمن َو َرآ ِءى َوكَان‬
ُ ‫َوِإنِّى ِخ ْف‬

Nabi Nuh a.s. (Nuh: 28),


ٰ ‫ي ولم ْن َد َخل ب ْيتي مْؤ منًا َّول ْلمْؤ من ْينَ و ْالمْؤ م ٰن ۗت واَل تَزد‬
‫الظّلِ ِم ْينَ اِاَّل تَبَارًا‬ ِِ َ ِ ِ ُ َ ِِ ُ ِ ِ ُ َ ِ َ َ َ ِ َ َّ ‫َربِّ ا ْغفِرْ لِ ْي َولِ َوالِ َد‬
dan lain-lainnya.
Dalam kisah Nabi Ibrahim a.s.
terdapat beberapa doa yang ia
mohonkan kepada Allah Swt. untuk kebaikan anak-anaknya. Di antara doa itu adalah agar
diberi keturunan yang saleh (Qs. Ash-Shaaffat/37: 100), berdoa agar keturunan dijadikan sebagai
imam (Qs. Al-Baqarah/2 : 124),
ٰ ‫ت فَاَتَمه َُّن ۗ قَال انِّي جاعلُكَ للنَّاس اماما ۗ قَال وم ْن ُذ ِّريَّتي ۗ قَال اَل ينَا ُل َع ْهدى‬ ٓ
َ‫الظّلِ ِم ْين‬ ِ َ َ ْ ِ ِ َ َ ً َِ ِ ِ ِ َ ْ ِ َ َّ ٍ ٰ‫َواِ ِذ ا ْبت َٰلى اِب ْٰر ٖه َم َربُّهٗ بِ َكلِم‬
berdoa kepada Allah Swt. agar lingkungan yang dipilihnya sebagai tempat tinggal isteri dan
anaknya menjadi lingkungan yang baik (Qs alBaqarah/2: 126),
‫هٗ قَلِ ْياًل ثُ َّم‬00ُ‫ت َم ْن ٰا َمنَ ِم ْنهُ ْم بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر قَا َل َو َم ْن َكفَ َر فَا ُ َمتِّع‬
ِ ‫َواِ ْذ قَا َل اِب ْٰر ٖه ُم َربِّ اجْ َعلْ ٰه َذا بَلَدًا ٰا ِمنًا َّوارْ ُز ْق اَ ْهلَهٗ ِمنَ الثَّ َم ٰر‬
ِ ‫س ْال َم‬
َ ‫ار ۗ َوبِْئ‬ ٰ
‫ص ْي ُر‬ ِ َّ‫ب الن‬ ِ ‫اَضْ طَرُّ ٗ ٓه اِلى َع َذا‬
berdoa kepada Allah Swt. agar lingkungan yang baik tetap
menjadi baik bagi perkembangan anaknya (Qs. Ibrahim/14: 37),
ْٓ ‫و‬0
‫ي اِلَ ْي ِه ْم‬ ِ َّ‫لْ اَ ْف ِٕـ َدةً ِّمنَ الن‬0‫ ٰلوةَ فَاجْ َع‬0‫الص‬
ِ 0‫اس تَ ْه‬ َّ ‫وا‬0‫ا ِليُقِ ْي ُم‬00َ‫ع ِع ْن َد بَ ْيتِكَ ْال ُم َحر ۙ َِّم َربَّن‬
ٍ ْ‫ت ِم ْن ُذ ِّريَّتِ ْي بِ َوا ٍد َغي ِْر ِذيْ زَ ر‬
ُ ‫َربَّنَٓا اِنِّ ْٓي اَ ْس َك ْن‬
ْ َّ
َ‫ت لَ َعلهُ ْم يَش ُكرُوْ ن‬ َّ ْ
ِ ‫َوارْ ُزقهُ ْم ِّمنَ الث َم ٰر‬

dan berdoa kepada Allah SWT. agar anaknya Ismail dan keturunannya yang lain menjadi
hamba yang selalu berserah diri kepada Allah SWT. (Qs. Al-Baqarah/2: 128).
َ َّ‫َربَّنَا َواجْ َع ْلنَا ُم ْسلِ َمي ِْن لَكَ َو ِم ْن ُذ ِّريَّتِنَٓا اُ َّمةً ُّم ْسلِ َمةً لَّ ۖكَ َواَ ِرنَا َمنَا ِس َكنَا َوتُبْ َعلَ ْينَا ۚ اِن‬
‫ك اَ ْنتَ التَّوَّابُ ال َّر ِح ْي ُم‬
Doa orang tua untuk anaknya
bukan saja sebelum kelahirannya, tetapi juga selama proses pendidikan berlangsung. Orang
tua harus berupaya untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi saleh, namun usaha itu harus diiringi
dengan doa, sebab mendidik anak tidak bisa
dilepaskan dari hidayah Allah Swt. Di sinilah pentingnya metode doa, seperti yang dilakukan
oleh Nabi Ibrahim a.s. terhadap anak-anaknya, termasuk Ismail a.s.

Periodesasi Mendidik Anak Shaleh


Secara umum, periodesasi
pendidikan anak dalam kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail bisa dibagi ke dalam dua bagian,
yaitu pendidikan pra-natal (qabla wiladah) dan pascanatal (ba'da wiladah). Pada masa Pranatal Nabi
Ibrahim as mengutamakan isteri yang shalehah dan berdoa kepada Allah agar dikaruniakan anak yang
shaleh.
Sejarah mengungkapkan bahwa istri pertama Nabi Ibrahim a.s. adalah Siti Sarah. Setelah
beberapa lama menikah dan tidak kunjung memperoleh keturunan, maka atas saran Sarah, Ibrahim
menikah dengan
budak atau pembantu mereka yang berkulit hitam, bernama Siti Hajar. Ibrahim bersedia
menikahi Siti Hajar, perempuan yang amat sederhana, berstatus budak (Katsir, 2008), berkulit
hitam, bukan berparas cantik dan bukan pula kaya raya. Akan tetapi Hajar adalah seorang
hamba yang beriman, taat, berhati mulia dan berakhlak terpuji. Dengan begitu, Ibrahim termasuk
gambaran orang yang mengedepankan isteri karena
keimanan dan kemuliaan akhlaknya, meskipun hanya seorang budak. Setelah menikah dengan
Siti Hajar nabi Ibrahim a.s. berdoa kepada Allah SWT. agar dikaruniai anak yang shaleh. Dalam tafsir
Ibnu Katsir
dijelaskan bahwa ketika Nabi Ibrahim sudah berusaha untuk mengajak kaumnya menyembah
Allah, tetapi mereka tetap membangkang, maka Nabi Ibrahim menyerahkan semuanya kepada Allah
Swt. dan dia segera meninggalkan mereka. Namun Nabi Ibrahim a.s. tidak pernah berputus asa beliau
memohon kepada Allah Swt. agar diberi keturunan yang shaleh yang akan melanjutkan
perjuangannya menegakkan agama Allah Swt. seperti ditulis dalam Qs. Ash-Shaaffat/37: 100
ّ ٰ ‫َربِّ هَبْ ِل ْي ِمنَ ال‬
َ‫صلِ ِح ْين‬
di atas..
Doa Nabi Ibrahim a.s. ini
mengajarkan kepada kita bahwa untuk mendidik anak, tidak bisa dilakukan semata-mata
dengan usaha belaka, atau dengan membanggakan diri kita sebagai orang yang terdidik, tetapi butuh
kepasrahan jiwa memohon
pertolongan-Nya. Apalagi mendidik aqidah atau sikap keberagamaan anak, dibutuhkan
hidayah dari Allah Swt. Maka bermohonlah kepada-Nya dengan tetap berupaya memenuhi
kewajiban-kewajiban kita sebagai seorang hamba.
Pada masa pasca-natal Nabi
Ibrahim a.s. dalam mendidik anak-anaknya senantiasa memanjatkan doa yang terbaik untuk
pertumbuhan dan
perkembangan anaknya, diantaranya mendoakan keturunan kita menjadi imam (Qs. Al-
Baqarah/2: 124),
mendoakan anak agar menjadi orang yang berserah diri kepada Allah (Qs. Al-Baqarah/2:
128), hijrah dari lingkungan yang tidak baik kepada lingkungan yang baik demi kelangsungan
pendidikan anak dan mendoakan lingkungan yang sudah dipilih itu agar terhindar dari keburukan
serta berlimpah anugerah kesejahteraan (Qs. Ibrahim/ 14: 37), mendoakan lingkungan yang baik
menjadi tetap baik untuk pertumbuhan
dan perkembangan anak (Qs.
Ibrahim/14: 35) dan berwasiat tentang agama kepada anak sebelum ajal menjemput (Qs. Al-
Baqarah/2: 132).

َ‫ي اِ َّن هّٰللا َ اصْ طَ ٰفى لَ ُك ُم ال ِّد ْينَ فَاَل تَ ُموْ تُ َّن اِاَّل َواَ ْنتُ ْم ُّم ْسلِ ُموْ ن‬
َّ ِ‫صى ِبهَٓا اِب ْٰر ٖه ُم بَنِ ْي ِه َويَ ْعقُوْ ۗبُ ٰيبَن‬
ّ ٰ ‫ۗ َو َو‬
Demikian beberapa tahapan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. dalam mendidik Ismail
setelah kelahiran hingga ia dewasa. Nabi Ibrahim a.s.

menjadi seorang ayah teladan yang peduli akan keimanan dan kesalehan anak cucunya.
Karena itu, beberapa Nabi juga dilahirkan dari silsilah Nabi Ibrahim, termasuk Nabi Muhammad Saw.
silsilahnya sampai kepada Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim a.s.

Anda mungkin juga menyukai