Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ISTIHSAN

Dosen Pengampu: Fathor Rohman, M.Sy

Disusun oleh Kelompok 4 :

1.Muhammad Khoirul Umam : 222102020045

2. Muhammad Afifuddin : 221102020043

3. Muhammad Fedi Hasan : 222102020044

4. Ilham Juiardi :222102020043

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SHIDIQ JEMBER
SEPTEMBER 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan yang maha kuasa atas segala limpahan rahmat, taufik dan
hidayahnya, serta tak lupa sholawat serta salam semoga tetap mengalir pada junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW. Atas petunjuk dan risalahnya yang telah membawa umatnya
dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan tugas makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana.
Pada tugas ushul fiqh hukum ekonomi yang membahas tentang istihsan, Kami sangat
menyadari bahwa tugas ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami sangat menghargai
kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan makalah kami, agar dapat memberi
banyak manfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi kami sendiri. Dalam penyusunan
tugas ini kami ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
banyak membantu dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Jember, 30 Maret 2024

Kelompok 4
DAFTAR ISI
Judul .................................................................................................................

Kata Pengantar .................................................................................................

Daftar Isi ..........................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN ...........................................................................................

A. Latar Belakang .....................................................................................


B. Rumusan Masalah ................................................................................
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan dasar istihsan ...................................................................


B. Klasifikasi istihsan sebagai metode ijtihad ..........................................
C. Pandangan fuqaha tentang otoritas istihsan .........................................
D. Aplikasi istihsn dalam masalah ekonomi dan keungan syariah ...........
BAB III

PENUTUP........................................................................................................

A. Kesimpulan ..........................................................................................
Daftar Pustaka .................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sumber hukum islam yang disepakati ulama adalah al Qur'an, Hadits, Ijma, Qiyas.
Jumhur ulama' menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun demikian masih terdapat
beberapa ulama yang tidak sepakat terhadap kehujjahan qiyas dengan beberapa alasan.

Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan begitu pesat terjadi,
sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru yang terkadang tidak cukup
dengan keempat sumber hukum di atas. Atas dasar demikian muncul setelahnya beberapa
metode istinhath hukum yang pada kelanjutannya diklaim sebagai sumber hukum yang
dipercaya. Kemunculan sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima keabsahannya,
sehingga tidak heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas dari
pro konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa ini modifikasi terhadap
hukum islam merupakan sebuah keniscavaan.

Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang merupakan dalil
syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat, tentunya sangat dibutuhkan untuk
setidaknya meredam permasalahan- permasalahan baru yang terjadi. Karena jika tetap
berpegang pada sumber hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis agama akan
ditinggalkan karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.

Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap membutuhkan


pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma'mur Asmani misalnya memandang
bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada masa ini, hal itu
mencakup seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya)
tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan dengan syariat agama.

Dalam makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang istihsan, hal itu terkait
dengan definisi dan pro kontra yang terjadi terhadapnya. Tidak ketinggalan pula kita akan
mengkaji tentang pentingnya istihsan dalam kehidupan sekarang ini, yang mana kita temukan
banyak sekali permasalahan-permasalahan kontemporer yang membutuhkan ijtihad hukum
yang baru.
Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat
diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan
pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para
sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang al-Qur'an hanya
memuat perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci.
Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh hadist. Sedangkan dalam bidang
muamalat, perinsip- perinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW
diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.

Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur'an dan Hadist, para
ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagi metode,
walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain, ada yang memakai metode
misalnya Istihsan tetapi ulama lain menolaknya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang
persoalan metode berijtihad oleh para ulama, namun dalam makalah ini pembahasan cukup
difokuskan pada persoalan berijtihad dengan Istihsan

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi dari istihsan?
2. Ada berapakah klasifikasi istihsan sebagai metode ijtihad?
3. Bagaimana pandangan fukaha tentang otoritas istihsan?
4. Apa saja aplikasi istihsan dalam masalah ekonomi dan keuangan syariah?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan dasar istihsan


Di dalam bahasa Arab Istihsan diartikan dengan pengertian: "Menganggap sesuatu itu
baik" atau "Mengikuti sesuatu yang baik" atau "Menganggap baik/bagus".1
Definisi Istihsan di kalangan para Ulama Ahli Ushul berbeda-beda sesuai dengan
tinjauannya masing-masing dan kemampuannya dalam menyimpulkan pengertian Istihsan di
dalam kata-kata, di antara pengertian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menurut al-Bazdawi bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan keharusan menggunakan
Qiyas dan berpindah kepada Qiyas yang lebih kuat atau men-takhshish Qiyas dengan
dalil yang lebih kuat dari Qiyas tadi.
2. Menurut an-Nasafy bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan suatu Qiyas menuju kepada
suatu Qiyas yang lebih kuat atau dalil yang berlawanan dengan Qiyas Jalli.
3. Menurut Abu Hasan al-Karkhi bahwa Istihsan ialah: Perpindahan seorang mujtahid di
dalam memberikan hukum dalam suatu masalah, seperti yang sudah diberikan hukum
padanya kepada hukum yang berbeda dengan hukum yang sudah ditentukan tersebut,
karena ada segi yang lebih kuat dari hukum sebelumnya (hukum pertama) sehingga
menyebabkan perpindahan dari hukum tersebut (hukum pertama kepada hukum
selanjutnya / kedua).
Ketiga definisi di atas tersebut merupakan definisi-definisi yang telah diungkapkan dari
Madzhab Hanafi.
Sedangkan definisi-definisi Istihsan dari Madzhab Maliki adalah sebagai
berikut:
1. Menurut Ibnu Arabi bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan ketetapan dalil dengan cara
mengecualikan dan meringankan, karena ada perhitungan yang menentangnya di
dalam sebagian dari ketetapannya.
2. Menurut asy-Syatibi bahwa Istihsan ialah: (Istihsan menurut pendapatku dan menurut
pendapat Ulama-ulama Hanafiyah) yaitu; Beramal dengan dalil yang lebih kuat di
antara dua dalil.
3. Menurut Ibnu Rusyd bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan suatu Qiyas yang membawa
kepada yang berlebih-lebihan (melampaui batas) di dalam hukum dan berpindah
1
A.W. Munawwir, Kamus Al-munawwir Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progessif 1997) hal. 265
kepada hukum lain yang merupakan pengecualian. Sedangkan Ulama Hambali
memberikan definisi Istihsan antara lain seperti yang telah dikemukakan oleh ath-
Thufi (definisi yang paling baik) ialah: Perpindahan dari suatu hukum tentang suatu
kasus, karena ada dalil syara' yang khusus.
Dari definisi-definisi di atas dapat diketahui bahwa mereka sepakat untuk Dari definisi-
definisi di atas dapat diketahui bahwa mereka sepakat untuk menerima dua hal, yaitu sebagai
berikut:
1. Ahli Ushul Fiqh (Madzhab Hanafi dan Hambali) mereka berbeda di dalam
memformulasikan kata-katanya, tetapi mereka sepakat bahwa pengertian Istihsan
ialah: Perpindahan dari suatu hukum kepada hukum lainnya dalam sebagian kasus
atau meninggalkan suatu hukum, karena adanya hukum lain yang lebih kuat atau
pengecualian yang bersifat Juz'iyyah dari hukum yang Kulliyah atau mengkhususkan
sesuatu hukum yang umum dengan hukum yang khusus. Mereka sepakat pula bahwa
perpindahan ini harus ada sandarannya yaitu yang berupa Dalil Syara' yakni berupa
Nash atau Ma'qul-nya Nash atau Mashlahat atau 'Urf yang shahih. Dalil-dalil
sandaran ini disebut Wajh al-Istihsan atau Sanad al-Istihsan.
2. Perpindahan ini kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan menggunakan
umumnya Nash dan kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan
menggunakan Qiyas serta kadang-kadang dari hukum yang merupakan penerapan
kaidah-kaidah yang Kulliyah. Oleh karenanya dapat diartikan bahwa Istihsan ialah:
Perpindahan dari suatu kasus tertentu kepada hukum lain, karena adanya Dalil Syara
yang mengharuskan perpindahan tersebut sesuai dengan jiwa syariat Islam.
Adapun Dalil Syara'yang menetapkan perpindahan tersebut disebut dengan Sanad al-
Istihsan atau secara singkat Istihsan dapat didefinisikan yaitu: "Menguatkan suatu dalil atas
dalil lain yang berlawanan dengan Tarjih yang diakui oleh syara”.2
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa Istihsan dalam pengertian bahasa ialah:
Menganggap baik sesuatu. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul ialah: Berpindahnya
seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas Jalli (Qiyas Nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas Samar),
atau dari Hukum Kully (Umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang
menyebabkan dia mencela akalnya dan dimenangkan baginya perpindahan ini. Jadi apabila
terjadi sesuatu kejadian dan tidak terdapat dalam Nash mengenai hukumnya, maka untuk
membicarakan hal itu terdapat dua segi yang saling bertentangan yaitu: Pertama, "Segi nyata

2
Acep Djazuli dan I. Nurul Aen, Ushul Fiqh (Bandung: Gilang Aditya Press, 1997) hal. 130-133
yang menghendaki suatu hukum" dan kedua, "Segi tersembunyi yang menghendaki hukum
lain".
Dan pada Mujtahid sendiri sudah terdapat dalil yang memenangkan segi pandangan
secara tersembunyi, maka perpindahan dari segi pandangan yang nyata inilah menurut syara'
disebut al-Istihsan. Dengan demikian apabila hukum itu Kulli dan pada diri Mujtahid sudah
terdapat dalil yang menghendaki pengecualian (Juz'iyah / bagian) serta memberi ketetapan
kepada Juz'iyah (bagian) dengan hukum lain, maka menurut syara' ini juga disebut al-
Istihsan.3
Dasar Hukum Istihsan
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur'an dan Sunnah
yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan
istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18

‫ وأولئك هم أولو األلباب‬. ‫الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه اولئك الذين هدهم هللا‬
Artinya: "Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya,
mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang
yang mempunyai akal". (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih
dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah.

‫واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم‬

Artinya: "Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu"....(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain
yangmemalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan
adalah hujjah. Hadits Nabi saw:

.‫فما رأى ال ُم ْسلِ ُمون حس ًنا ف ُهو عِ ند هللاِ حسن وما رأوا سينا فهو عند هللا سيئ‬

3
Abdul Wahab Khalaf, Iilmu Ushul Fiqh (Kairo: Dar Al-qalm, 1978) hal. 120
Artinya:"Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi
Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah
adalah buruk pula".
Hadits ini menunjukkan. bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.4
B. Klasifikasi istihsan sebagai metode ijtihad
Sebagai mana dijelaskan bahwa istihsan merupakan metode ijtihad yang dipegangi oleh
kalangan Mazhab Hanafiyah. Istihsan sebagai metode ijtihad dapat dibagi menjadi enam
bagian sebagai berikut:
1. Istihsan bi an-Nash (istihsan berdasarkan ayat atau hadis). Yaitu peralihan suatu
ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qivas kepada ketentuan hukum yang
berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan teks Al-Qur'an dan Hadis. Misalnya,
tentang jual beli salam (pesanan) dan masalah wasiat. Menurut ketentuan umum
wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang
berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak bercakap lagi, yaitu setelah ia wafat.
2. Istihsan bi al-ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma) yaitu meninggalkan
keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma. Hal ini terjadi
karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau
kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak
apa yang dilakukan manusia, yang sebetulnya berlawanan dengan dasar- dasar pokok
yang telah ditetapkan. Misalnya,dalam kasus pemandian umum.
3. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi). Yaitu
memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan
qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.
Misalnya, dalam waqaf lahan pertanian.
4. Istishan bi al-maslahah (istiksan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya, kebolehan
dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan.
5. Istihsan bi al-urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum). Yaitu
peralihan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya 'urf yang
sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat. Contohnya
seperti menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan,
minum, dan pakaiannya.

4
Muhammad Juni Beddu, Istihsan dalam Prespektif Hukum Islam, Vol. XV NO. 1 Tahun 2020, hal 3-4
6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan kondisi darurat). Yaitu seorang mujtahid
meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan
dengan kondisi darurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang
mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudaratan.
Misalnya, dalam kasus sumur yang kemasukan najis.5
C. Pandangan fuqaha tentang otoritas istihsan
Terdapat perbandingan pendapat antara ulama usul al-fiqh dalam menetapkan Istihsan
selaku salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara', terdapat yang menerima guna
dijadikan hujjah serta terdapat pula yang menolak.
1. Kelompok yang memakai Istihsan sebagai Hujjah
Yang tercantum dalam kelompok ini, antara lain merupakan Imam Maliki, Hanafi, serta
sebagian pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Maliki menerima istihsan, sebab pada
dasarnya mazhab Maliki sangat mencermati kaidah-kaidah universal serta ini wajib qath'i.
Buat hingga kepada perihal ini, wajib lewat induksi. Semacam menjamak sholat isya serta
magrib sebab terdapat kesukaran ataupun sedang dalam perjalanan. Begitu pula
memandang aurat lawan jenis dengan maksud untuk penyembuhan.
Husain Hamid menerangkan, jika dasar penggunaan Istihsan untuk mazhab Maliki
sebagai berikut:
a. Kaedah Istihsan ialah kaedah yang diperoleh dari nash- nash atau hukum syara'
dengan metode induksi yang diberikan faedah qat'i bukan ide semata ataupun hawa
nafsu.
b. Terdapatnya kaedah Istihsan menjadikan mujtahid kembali pada hukum syara' yang
diambil dari induksi nash-nash syariat.
Mazhab Hanafi menguraikan pula makna tentang Istihsan yang tidak berbeda jauh
dengan mazhab Maliki. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dimengerti, kalau Istihsan
ialah salah satu upaya ulama mujtahid buat mencari jalur keluar dari kaedah universal
ataupun qiyas pada sesuatu permasalahan yang sifatnya cabang (juz'i). Bawah pertimbangan
dalam mengenakan Istihsan merupakan terealisasinya serta terpeliharanya kemaslhatan serta
kepentingan umat, sebagaimana tujuan syariat. Bagi Abd al- Wahab Khallaf, tujuan syariat
merupakan tercapainya kemaslahatan- kemaslahatan manusia di dunia serta di akhirat.

5
Amir, Syarifuddin, Garis-Garis Besar Usul Fiqh, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2012) hal. 84
Guna mendukung kehujjahan Istihsan, golongan Hanafiah mengutarakan faktor atau dalil
Al-Qur'an, Sunnah serta Ijma'. Dalil dari Al-Qur'an yang mereka utarakan ialah sebagai.
berikut:
a. Surat al-Zumar (39) ayat 18 yang berbunyi:
"Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya,
mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang- orang yang mempunyai akal."
b. Surat al-Zumar (39) ayat 55 yang berbunyi:
"Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya."6
2. Kelompok yang Menolak Kehujjahan.
Istihsan Mazhab Syafi i menolak mengenakan Istihsan, sebab baginya, memakai istihsan
berarti menetapkan hukum bersumber pada hawa nafsu, sehingga dipandang keluar dari
dorongan syarak. Perihal ini tidak sejalan dengan firman Allah swt. dalam QS. al-
Qiyamah (75): 36

ُ ‫ب ْاْلِ ْنسانُ أنْ ُي ْترك‬


‫سدًى‬ ُ ‫أَي ْحس‬
Artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggung jawaban)?”7
Mazhab Syafi'i menerangkan, kalau kata sudah dalam ayat di atas, merupakan suatu yang
tidak diperintahkan serta tidak dilarang. Siapa yang berfatwa ataupun menetapkan hukum
dengan suatu yang tidak diperintahkan Allah serta Rasul-Nya, berarti dia sudah membiarkan
dirinya kedalam jenis sudan. Sementara itu Allah melarang orang buat berbuat percuma,
tanpa pertanggungjawaban.
D. Aplikasi istihsan dalam masalah ekonomi dan keungan syariah
Dalam pengembangan hukum ekonomi syariah istihsan sangat strategis perannya. Hal ini
karena metode ini memiliki daya kepekaan yang tinggi terhadap perubahan sosial masyarakat
dalam kehidupan yang serba cepat dan canggih. Berikut ini aplikasi metode istihsan dalam
merespon perkembangan transaksi bisnis dan keuangan syariah kontemporer.
1. Pembiayaan Salam Paralel

6
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994) hal. 4
7
QS. Al- qiyamah (75):36
Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam menyalurkan dana kepada pihak
lain selain bank berdasarkan prinsip syariah. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan
didasarkan pada kepercayaan yang diberikan oleh pemilik dana kepada pengguna dana.
Berdasarkan undang-undang perbankan No. 10 Tahun 1998.
Salam secara etimologis artinya pendahuluan, dan secara muamalah adalah penjualan
suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya sebagai persyaratan jual beli dan barang yang
dibeli masih dalam tangguhan penjual, di mana syaratnya ialah mendahulukan pembayaran
pada waktu akad. Secara terminologis, jual beli salam ialah menjual sualu barang yang
penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas
dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian
hari. Barang pesanan harus jelas spesifikasinya. Spesifikasi barang pesanan harus sesuai
dengan karakteristik yang telah disepakati. Jika barang pesanan yang dikirim tidak sesuai
dengan spesifik dalam akad. Maka bank syariah akan mengembalikannya kepada penjual.
Akad salam paralel berarti melaksanakan dua transaksi salam yaitu antara pemesanan
pembeli dan penjual serta antara penjual dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga
lainnya. Hal ini terjadi ketika penjual tidak memiliki barang pesanan dan memesan kepada
pihak lain untuk menyediakan barang pesanan tersebut.

2. Jual Bell Via Vending Machine


Seperti yang diketahui bersama, bahwa di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, di
Departemen Store,, Supermarket, Café, Halte Bus, sudanh banyak dilengkapi fasilitas
Vending Machine sebagai alat atau mesin untuk menjual barang secara otomatis.
Vending Machine sebagai alat menjual barang secara otomatis sangat praktis. Karena
mesin tersebut tidak membutuhkan tenaga operator untuk menjual barang tersebut. Sementara
pembeli dapat membelinya sesuai dengan keinginannya dengan memasukkan sejumlah uang
sesuai harga barang yang ditetapkan, lalu menekan tombol pada barang yang diinginkan,
maka secara otomatis barang itu akan keluar dengan sendirinya. Bahkan, jika uang yang
membutuhkan uang kembalian, mesin secara otomatis juga akan memberikan kembalian
secara otomatis pula.
Jual beli semacam ini, tidak membutuhkan ijab Kabul seperti akad jual beli seperti
biasanya. Akan tetapi, transaksi ini sudah menunjukkan perelaan kedua pihak
(pembeli/penjual). Untuk melakukan transaksi tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan istihsan,
transaksi semacam ini dibolehkan berdasarkan kebiasaan (url) yang berkembang di
masyarakat.
3. Jual Beli Istisna pada Bank Syariah
Istisna atau pemesanan secara bahasa berarti meminta dibuatkan. Transaksi jual beli al-
istisna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini,
pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Produk istisna menyerupai produk salam tetapi dalam istisna pembayarannya dapat
dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran.
4. Istihsan Jual Beli Kredit (Bai Taqsith)
Bai Taqsith sama dengan jual beli kredit atau disebut juga sebagai al- bai' bitsamanil ajil
atau al-bai'ila ajal. Adapun definisinya adalah jual beli secara cicilan dalam jangka waktu
tertentu dimana harga kredit lebih tinggi (bertambah) dari harga cash (naqd). Harga kredit 1
tahun berbeda dengan harga 2 tahun, dan seterusnya.
5. Tawwaruq Muktiguna untuk Pembiayaan Produktif
Pembiayaan multiguna dapat menggunakan skim Tawarruq emas atau bai' al-wafa wal
ijarah yang disebut dengan bai istighlal (lihat qanun al-Majjalah al-ahkam al-adliyah).
Mayoritas ulama menyetujui bai' tawarruq, namun umar bin abdul aziz,ibnu Taymiyah dan
ibnu Qayyim memakruhkannya.
Kalau berpegang pada pendapat mayoritas ulama, maka penerapan tawwaruq.tidak
bermasalah. Namun jika berpegang pada pendapat umar bin abdul aziz ibnu Taymiyah dan
ibnu Qayyim, yang kemakhrukannya, maka hal itu dapat dihilangkan dengan metode
istihsan.8

8
Mohammad, Mufid, Usul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta: PernadaMEDIA Group, 2016)
hal. 83
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih
hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam
pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai metode ijtihad, istishan diklasifikasikan menjadi 6 bagian, yaitu berdasarkan
ayat atau hadis, berdasarkan ijma, berdasarkan qiyas yang tersembunyi, berdasarkan
kemaslahatan, berdasarkan adat kebiasaan, dan berdasarkan kondisi darurat.
Pandangan fukaha tentang istishan dapat terbagi menjadi:

 Kelompok yang menerima istihsan (Mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah).


Mereka berpandangan bahwa istishan merupakan metode ijtihad yang dapat diterima
dan diaplikasikan dalam pengembangan hukum islam.
 Kelompok yang menolak istishan (Mazhab Syafi'iyah dan Zahiriyah) mereka
berpandangan bahwa istishan tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.
Berikut ini aplikasi metode istishan dalam masalah ekonomi dan keuangan syariah:
 Pembiayaan Salam Paralel
 Jual Beli Via Vending Machine
 Jual Beli Istisna pada Bank Syariah
 Jual Beli Kredit (Bai Taqsith)
 Tawarruq Multiguna untuk Pembiayaan Produktif.
DAFTAR PUSTAKA

A.W. Munawwir, Kamus Al-munawwir Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progessif 1997)


Acep Djazuli dan I. Nurul Aen, Ushul Fiqh (Bandung: Gilang Aditya Press, 1997)
Abdul Wahab Khalaf, Iilmu Ushul Fiqh (Kairo: Dar Al-qalm, 1978)
Muhammad Juni Beddu, Istihsan dalam Prespektif Hukum Islam, Vol. XV NO. 1 Tahun
2020,
Amir, Syarifuddin, Garis-Garis Besar Usul Fiqh, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group,
2012)
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994)
QS. Al- qiyamah (75):36
Mohammad, Mufid, Usul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta:
PernadaMEDIA Group, 2016)

Anda mungkin juga menyukai