Disusun Oleh:
Syappira Elfina
2014140149
Nadila
2014140157
Tim Penulis
i
Daftar Isi
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa sekarang juga masih banyak masyarakat kita khususnya umat
muslim yang masih belum mengetahui mengenai Istihsan sebagai metode
menemukan hukum yang mengutamakan maqâsid al-syariah (tujuan hukum
Islam), namun eksistensinya masih menjadi perdebatan di kalangan fuqaha,
sehingga sebagian dari mereka menolak metode ini digunakan sebagai dalil
hukum Islam seperti mazhab Syafi’i, dan sebagian yang lain (mazhab Hanafi,
Maliki dan sebagian Hanbali) masih mencoba bertahan dengan
memperhatikan kemaslahatan yang diusung dari metode ini dalam muamalah,
ekonomi, dan keuangan.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
E. Metode Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Al-Syarakhsi, Ushul al-Syarakhsi, Jilid II, (Beriut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1993, h.200.
2
Ibid.
3
Al-Syarakhsi, Ushul al-Syarakhsi, Jilid II, (Beriut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1993, h.200.
4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Logos), 1999, h.305.
5
Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Kutub Ilmiyah),t.th, h.30.
6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah), cet.VII, 1990,
h.79.
3
khusus (juz’i), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil
yang lebig kuat yang menghendaki perpindahan dimaksud.
Dasar yang dijadikan sandaran istihsan adalah dalil dari Al-Qur’an dan
Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang
seakar dengan istihsan) seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam QS. az-
Zumar[39]:18
ٰۤ ُ ٰۤ
ِ اْل ْلبَا
ب َ ْ ولىكَ هُ ْم ا ُولُوا ّٰللاُ َوا َ ْالَّ ِذيْنَ يَ ْست َِمعُ ْونَ ْالقَ ْو َل فَيَت َّ ِبعُ ْونَ اَح
سنَهٗ ۗ اُولىكَ الَّ ِذيْنَ هَدى ُه ُم ه
Artinya “Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. az-
Zumar[39]:18)
ُ َسنَ َما ْٓ ا ُ ْن ِز َل اِلَ ْيكُ ْم ِِّم ْن َّر ِبِّكُ ْم ِِّم ْن قَ ْب ِل ا َ ْن يَّأْتِيَكُ ُم ْال َعذ
َاب بَ ْغتَةً َّوا َ ْنت ُ ْم َْل ت َ ْشعُ ُر ْون َ َْوات َّ ِبعُ ْْٓوا اَح
Artinya: "Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepada mu dari tuhanmu”. (QS.az-Zumar[39]:55).
Selain ayat, ada juga bersumber dari Hadis yang artinya nya:
4
“apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di
sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka
disisi Allah adalah buruk pula”.
5
bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan
jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai. 7
3. Istihsan bi al-Qiyas al-Kahfi (istihsan berdasarkan qiyas yang
tersembunyi).
Contohnya; Dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jali, waqaf ini sama
dengan jual beli karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan
memindah tangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk
melewati tanah tersebut atau mengalirkan air ke lahan pertanian melalui tanah
tersebut tidak termasuk kedalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam
akad. Sementara menurut qiyas al-kahfi, wakaf itu sama dengan akad sewa-
menyewa, karena maksud dari waqaf itu adalah memanfaatkan lahan pertanian
yang diwakafkan. Dengan sifat ini maka seluruh hak melewati tanah pertanian itu
atau hak mengalirkan air di atas lahan pertanian tersebut termasuk ke dalam akad
wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad. 8
4. Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan).
Contohnya; Kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan.
Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi dalam
keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosis
penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, menurut kaidah istihsan
seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
5. Istihsan bi al-'urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku
umum).
Contohnya; Menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin
kebutuhan makan minum, dan pakaiannya.
6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan kondisi darurat).
Contohnya; Dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum
sumur tersebut sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur
tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan
7
Muhammad al-Said Ali Abdul Rabuh, Buhust fi al-Adillah al-Mukhtalaf fiha Inda al-Ushuliyin,
(Mesir: Matba’a al-Saadah), 1980, h.72.
8
Ibid, h.74.
6
tetapi ulama Hanafiyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk
menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukkan beberapa galon air ke
dalam sumur itu, karena keadaan darurat menghendaki agar orang tidak
mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan air untuk ibadah.
9
Abdul Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami Fima La Nassafih, (Damakus: Dar-al-Qalam),
cet.III, 1972, h.77.
10
Husain Hamid Hassan, Nazariyat al-Muslahat fi al-Islamiyah, (Mesir: Dar al-Wahdat AL-
‘Arabiyah), T.Th, h.589.
7
qiyas berarti beramal dengan nash-nash yang mendukung maslahat dari pada
qiyas.
Artinya “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya”. (QS. az-Zumar [39] :55)
8
“Apa yang dilihat kaum muslimin baik, maka menurut Allah pun baik”.
Dari sini, ulama madzhab hanafi tetap berpegang kepada istihsan. Mereka
menggunakannya pun tetap berdasarkan kepada dalil-dalil yang kuat bukan
kepada hawa nafsu semata. Pada dasarnya dalam praktek istihsan ini, tidak mesti
ada dalil yang bertentangan, tetapi istihsan itu cukup dilakukan ketika ada dalil
yang lebih kuat, sekaligus menggugurkan dalil yang lemah.
9
4. Ibn Hazm(w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah ber-ijma' untuk tidak
menggunakan ra'yu termasuk didalamnya istihsan dan qiyas. Umar bin al-
Khattab radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Jauhilah para pengguna ra'yu
karena mereka adalah musuh-musuh sunnah...”.
Dari ketiga argumentasi dari kalangan pro dan kontra dapat dicermati bahwa
pandangan dan dalil pendapat yang pertama menunjukkan bahwa pada saat
mereka menetapkan istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta-
merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk
melakukannya tanpa batas yang jelas. Setidaknya ada dua catatan yang harus
dipenuhi dalam proses istihsan:
(1) Ketiadaan nash yang sharih dalam masalah;dan
(2) Adanya sandaran yang kuat atas istihsan tersebut, baik berupa maslahat, 'urf,
qiyas khafi dan lainnya.
11
Abdul Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami Fima La Nassafih, (Damakus: Dar-al-Qalam),
cet.III, 1972, h.77.
10
darurat membolehkan sesuatu yang dilarang. Berikut beberapa aplikasi Istihsan
dalam masalah ekonomi dan keuangan islam, yaitu:
Wakaf adalah sebuah kata serapan dari bahasa Arab al-waqf, secara
etimologi mempunyai arti al-habsu (menahan). Kata al-waqf adalah bentuk
masdar (nomina) dari ungkapan waqfual-syai ‟, yang berarti menahan
sesuatu.12 Wahbah al-Zuhaily mendefinisikannya dengan menahan/
melindungi sesuatu dari eksploitasi. Secara terminologi para ulama berbeda
pendapat mengenai wakaf. Diantaranya definisi wakaf yaitu:
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Abu Hanifah dan
Malikiyah memiliki persamaan dalam definisi, yaitu menahan harta yang
diwakafkan dengan menetapkan kepemilikan tetap berada di tangan
pewakaf. Namun juga mereka memiliki perbedaan pendefinisian di sisi
lain, mengenai apakah wakaf itu lazim atau tidak. Abu Hanifah
berpendapat bahwa wakaf adalah akad tidak lazim, sehingga pewakaf
dapat mengambil kembali harta yang diwakafkan dan bahkan
membatalkan akadnya, sedangkan ulama Malikiyah yang melihat wakaf
12
Hamidah Mudhofir, Istihsan dan Aplikasinya dalam Wakaf Tunai di Indonesia, t.tp, t.th, h.32.
13
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid 10 (Damaskus: Dar al-Fikr), 2004,
h.7599.
14
Ibid, h. 7602.
11
adalah akad tidak lazim, walaupun kepemilikan tetap berada di tangan
pewakaf namun tetapi pewakaf tidak boleh membatalkan akad tersebut.
Perbedaan lain antara Abu Hanifah dan dua murid besarnya Abu
Yusuf dan Muhammad Syaiban terletak pada takyif. Takyif wakaf menurut
Abu Hanifah tertelak pada posisi yang sama seperti akad pinjam
meminjam, karena status harta yang diwakafkan tetap milik pewakaf,
sedangkan yang diberikan adalah manfaat/hasil dari harta tersebut. seperti
halnya barang pinjaman yang diambil manfaatnya. Oleh karena, itu akad
wakaf tidak lazim menurutnya. 15
a. Tidak ada nash sharih dan ijmak serta qiyas yang legal dalam hukum
pelarangan wakaf tunai. Sedangkan beberapa pendapat yag menolak
adanya wakaf tunai ini berdasarkan pada akal (ma‟qul) yang tidak lain
adalah: Syarat barang wakaf bersifat ta‟bid (selamanya) dan syarat yang
mengharuskan wakaf tidak habis dikonsumsi. 17
b. Prinsip awal wakaf adalah boleh secara umum dan kaidah yang
membolehkan segala bentuk muamalat selama tidak ada dalil yang
menentang. Bahkan wakaf uang jika ditinjau dari segi maslahat yang
dikandungnya memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat secara
umum. Seperti yang juga dikemukakan Wahbah al-Zuhaili bahwawakaf
tunai ini termasuk bagian dari pengecualian karena tidak adanash sharih
15
Ibid, h. 7599.
16
Ibid, h.10.
17
Ibid, h.14.
12
dan dibolehkannya wakaf tunai adalah atas dasar istihsanbil ‘’urf (adat
kebiasaan) yang mempunyai kekuatan yang sama besar dengan hukum
yang ditetapkan berdasarkan teks.18
c. Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga mebolehkan wakaf
tunai. Fatwa ini dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumen ini
didasarkan pada hadis Umar yang sudah disebutkan di atas. Dan dari sini
MUI merumuskan definisi baru tentang wakaf, yaitu: 19“Menahan
sebagian harta yang tidak dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya
atau pokoknya, dengan cara tidak melakukanhukum terhadap benda
tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya) untuk disalurkan
(hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”.
2. Aplikasi Istihsan dalam Zakat Kontemporer
13
Dalam menghadapi masalah ekonomi, jika menggunakan ketentuan lama
tentang zakat, maka zakat tidak akan berkembang karena sektor pertanian
semakin langka, sedangkan pihak yang mengaharapkan bantuan melalui
penghimpunan dana sosial melalui zakat semakin banyak. Katakanlah
umpamanya “zakat profesi” kalau masih berkutat dengan pendekatan dan dalil
konvensional yang selama ini digunakan, masalahnya tetap tidak akan
terselesaikan. Karena itu diperlukan upaya untuk mencari alternatif pendekatan
lain untuk menyelesaikannya. Upamanya berdalil dengan umumnya lafadz
“ma kasabtum” artinya “dari hasil usahamu yang baik-baik” yang terdapat
dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 267. Dalam ayat tersebut sektor jasa dan
profesi secara jelas terkandung didalamnya. (Amir Syarifuddin, 2011) 20
14
mashrafi ‘an tharȋq alma’adin (tawarruq di perbankan melalui jual-beli emas).
Mayoritas ulama fikih menyetujui bai’ tawarruq, namun Umar Ibn Abd al-
Aziz, Ibn Taimiyyah, dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah berpandangan makruh
hukumnya, namun kemakruhannya dapat dihilangkan dengan metode istihsan.
Karena menggunakan metode istihsan, maka harus bisa ditunjukkkan bahwa
tawarruq yang hendak diterapkan di perbankan, harus berbeda karakternya
dengan tawarruq yang dimakruhkan, oleh sebagian ulama itu. Pada tawarruq
perbankan itu, harus ada syarat ketat dari bank syariah, yakni bahwa dana
tawarruq harus digunakan untuk sektor riil (yang produktif) dan officer
perbankan harus mengontrol kebenaran terwujudnya sektor riil di
lapangan.(Mohammmad Mufid, 2016).22
Jadi, untuk mewujudkan itu officer bank syariah dalam visibility study dan
analisa pembiayaan harus mensyaratkan bahwa penggunaan uang tawarruq
memang untuk sektor riil, seperti usaha mikro, pertanian dan kegiatan usaha
produktif lainnya, atau semi produktif seperti pendidikan, renovasi rumah, dan
sebagainya. Multiguna artinya penggunaan uang tersebut dapat digunakan
untuk apa saja, asalkan untuk sektor riil yang sesuai syariah.
15
73/DSN-MUI/2008 adalah isitihsan bil maslahah. Yaitu istihsan berdasarkan
kemaslahatan, karna penggunaan akad musyarakah mutanaqishah dalam
kegiatan ekonomi dan perdagangan dianggap memiliki lebih banyak
kemaslahatan dan kemudahan bagi masyarakat, Manfaat dan nilai istihsan yang
terkandung dalam fatwa DSN Nomor: 73/DSN-MUI/2008 adalah
kemaslahatan dalam menjalankan kegiatan ekonomi, menghilangkan kesulitan
dalam bidang perdagangan, dan Pengembangan kegiatan transaksi dan produk
Lembaga Keuangan Syariah, karna dalam akad musyarakah mutanaqishah
memiliki unsur kebersamaan dan keadilan dalam menjalankan kerjasama antar
mitra usaha, baik dalam berbagi keuntungan dan menanggung resiko kerugian,
sehingga dapat menjadi alternatif dalam proses kepemilikan asset (barang) atau
modal. 23
23
Usman, Istihsan Pembaharuan Hukum Islam, t.tp, t.th, h.63.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli ushul, bahwa istihsan
berkisar pada dua hal: pertama, bahwa istihsan merupakan perpindahan atau
meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar-
samar (tersembunyi) karena ada alasan kuat yang menghendakinya. Kedua, bahwa
istihsan juga meninggalkan ketentuan kulli dan mengamalkan ketentuan yang
juz’i (khusus) sebagai pengecualian dari ketentuan kulli, atau mengkhususkan
qiyas karena ada alasan dalil yang lebih kuat. Dari rumusan definisi tersebut,
dapat ditarik suatu pengertian bahwa istihsan yaitu adanya dua pilihan atau salah
satu dari dua 'illat yang tingkat kekuatannya tidak sama.
Dari ketiga argumentasi fukaha dari kalangan pro dan kontra dapat dicermati
bahwa pandangan dan dalil pendapat yang pertama menunjukkan bahwa pada saat
mereka menetapkan istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta-
merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk
melakukannya tanpa batas yang jelas. Setidaknya ada dua catatan yang harus
dipenuhi dalam proses istihsan: (1) Ketiadaan nash yang sharih dalam
masalah;dan (2) Adanya sandaran yang kuat atas istihsan tersebut, baik berupa
maslahat, 'urf, qiyas khafi dan lainnya.
17
B. Saran
Pada masa perkembangan ekonomi saat ini persoalan-persoalan baru
mengenai muamalah selalu bermunculan, hukum mengenai persoalan tersebut
juga akan selalu disesuaikan, namun jika ada persoalan baru muamalah yang
mungkin masih jarang sebelumnya ditemui mengenai dasar hukumnya, maka
istihsan merupakan solusinya. Karena istihsan merupakan suatu metode
istinbat hukum yang bisa dijadikan hujjah relevansi dengan pembaruan
hukum Islam. Yang mana menurut kami relevansinya terletak pada segi
maqasid al-syariah (tujuan hukum Islam) mengenai muamalah.
18
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Mohammad Mufid, Lc., M.HI. USHUL FIQH EKONOMI DAN
KEUANGAN KONTEMPORERDari Teori ke Aplikasi. Jakarta:
Prenadamedia Group. 2016.
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin. USHUL FIQH, JILID 2. Jakarta: Kencana
Predamedia Group. 2009.
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i I, M.A, Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja. ILMU
USHUL FIQIH. Bandung: Pustaka Setia. 2015.
Abdul Ghani Abdullah. Pegantar Kompilasi Hukum Islam dan Tata
Hukum Is di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. 2002.
M Hasby ash-Shiddiqie. Falsafah Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rezki
Putra. 2001.
M Hasby ash-Shoddiqie. Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, Cet 2. Semarang:
Pustaka Rezki Putra. 1997.
Harun Nasution. Islam di Tinjau dari Berbaga Aspeknya, Cet 4. Jakarta:
UI Press. 1984.
Syamsuddin Muhammad Ibn Yusuf Al-Jazari, Mirâj Al-Minhâj Syarh
Minhâj Al-Wushûl ilâ. Ilmi Al-Ushûl. Cet. I. t.tp.1997.
B. Jurnal
M Atho Mundzar. Pengaruh Sosial Budaya Terhadap Produk Hukum
Islam. Jurnal Mimbar Hukum no 4 Th II. Jakarta: 1991.
Guntur Eka Arif Saputra. PENGGUNAAN METODE ISTIHSAN DALAM
AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISHAH PADA FATWA DSN-
MUI NOMOR: 73/DSNMUI/XI/2008 MENURUT PANDANGAN
MAZHAB HANAFI. Skripsi. Jakarta: 2020.
Adam Panji, Penerapan Metode Istihsan Pada Bidang Muâmalah
Mâliyyah. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari. Jambi: 2021.
Mudhofir Hamidah. ISTIHSAN DAN APLIKASINYA DALAM WAKAF
TUNAI DI INDONESIA. Jurnal Ilmu Ekonomi Islam, 2017.
19
Yusali Sahdulima, Suman Agus MODEL PENGELOLAAN WAKAF
TUNAI (WAQF AL NUQUD) SEBAGAI SARANA
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT.
20