Anda di halaman 1dari 23

“Tugas kelompok 3”

ISTISHAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM EKONOMI DAN


KEUANGAN KONTEMPORER
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata kuliah : Ushul Fiqh Ekonomi Dan Keuangan
Dosen Pengampu:Fitri Faa’izah, S.E.I., M.H

Disusun Oleh:

Ika Maulida Saufiya


2014140145

Syappira Elfina
2014140149

Nadila
2014140157

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLA

JURUSAN EKONOMI ISLAM

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARI’AH

TAHUN AJARAN 2022 M / 1443 H


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarokatuh


Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu wata‟ala,
karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa sholawat serta salam tim penulis curahkan
kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, semoga kita bisa bersama
dengan beliau di akhirat kelak. Ungkapan rasa terima kasih juga tim penulis
haturkan kepada dosen pengajar khususnya Ibu Fitri Faa’izah, S.E.I, M.H.
selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh Ekonomi Dan Keuangan yang
telah membimbing dan selalu memberikan semangat yang pada akhirnya bisa
membantu untuk lebih sedikit demi sedikit memperluas wawasan pengetahuan tim
penulis sehingga dapat terselesaikannya makalah ini yang berjudul “Istishan dan
Implementasinya Dalam Ekonomi dan Keuangan Kontemporer”. Meskipun
jika ditinjau lebih jauh makalah ini masih belum sempurna untuk dikatakan
sebagai makalah yang baik, dan tim penulis menyadari bahwa tim penulis
bukanlah manusia yang tercipta dalam kesempurnaan, namun tim penulis akan
tetap berusaha untuk menjadi lebih baik dengan terus belajar.
Tim penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, tim penulis mengharap kritik dan saran dari
pembaca yang dapat membangun agar makalah selanjutnya bisa lebih baik.

Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Panglangka Raya, 29 Maret 2022

Tim Penulis

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


Daftar Isi.............................................................................................................. ii
BAB I .................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan ..................................................................................... 2
E. Metode Penulisan ...................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN .................................................................................................. 3
A. Definisi dan Dasar Istihsan ........................................................................ 3
B. Klasifikasi Istihsan Sebagai Metode Ijtihad ............................................... 5
C. Pandangan Fuqaha tentang Otoritas Istihsan .............................................. 7
D. Aplikasi Istihsan dalam Masalah Ekonomi dan Keuangan Syari’ah............ 10
BAB III.............................................................................................................. 17
PENUTUP ......................................................................................................... 17
A. Kesimpulan ............................................................................................. 17
B. Saran ....................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 19
A. Buku ....................................................................................................... 19
B. Jurnal ...................................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pada masa sekarang ini masyarakat sedang mengalami proses modernisasi


termasuk dalam bidang muamalah, ekonomi, dan keuangan mengembangkan
bagaimana menempatkan nilai-nilai orientasi syariat Islam ditengah-tengah
perubahan begitu signifikan. Mengenai hukum ekonomi dan keuangan dalam
Islam pun seringkali terjadi usaha pelompatan orientasi dengan meninggalkan
segala sistem nilai lama yang dipandang sebagai pembatas menuju
modernisasi, namun pada sisi lain kita belum mampu menemukan sistem nilai
baru yang sudah mapan dalam pandangan syara'. Islam merupakan agama
yang selalu mendatangkan kemudahan bagi umatnya termasuk hal tersebut
sebagaimana Nabi Muhammad saw. telah merekomendasikan dan
melegitimasi kepada sahabatnya Muadz bin Jabal untuk berijtihad dalam
setiap penyelesaian masalah yang tidak ditemukan dalam al-Quran dan hadis.
Hal ini kemudian melahirkan satu bentuk metode istinbaṭ hukum yang dikenal
dalam usûl al-fiqh dengan istilah istihsan.

Pada masa sekarang juga masih banyak masyarakat kita khususnya umat
muslim yang masih belum mengetahui mengenai Istihsan sebagai metode
menemukan hukum yang mengutamakan maqâsid al-syariah (tujuan hukum
Islam), namun eksistensinya masih menjadi perdebatan di kalangan fuqaha,
sehingga sebagian dari mereka menolak metode ini digunakan sebagai dalil
hukum Islam seperti mazhab Syafi’i, dan sebagian yang lain (mazhab Hanafi,
Maliki dan sebagian Hanbali) masih mencoba bertahan dengan
memperhatikan kemaslahatan yang diusung dari metode ini dalam muamalah,
ekonomi, dan keuangan.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dan dasar istihsan ?


2. Bagaimana klasifikasi istihsan sebagai metode ijtihad ?
3. Bagaimana pandangan fuqaha tentang otoritas istihsan ?
4. Bagaimana aplikasi istihsan dalam masalah ekonomi dan keuangan?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengerti dan memahami definisi dan dasar istihsan


2. Mengerti dan memahami klasifikasi istihsan sebagai metode ijtihad
3. Mengerti dan memahami mengenai pandangan fuqaha tentang otoritas
istihsan
4. Mengerti dan memahami aplikasi istihsan dalam masalah ekonomi dan
keuangan

D. Manfaat Penulisan

Dari uraian rumusan dan tujuan penulisan yang dikemukakan penulis,


maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca terutama mahasiswa Program Studi Akuntansi
Syariah agar dapat lebih memahami tentang Istihsan dan Implementasinya
dalam ekonomi syari’ah dan keuangan kontemporer.

E. Metode Penulisan

Penulisan makalah ini menggunakan metode literatur kajian pustaka


(library research) terhadap buku-buku yang berhubungan dengan tema
makalah yang dibuat, dan juga bersumber dari beberapa buku, dan jurnal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Dasar Istihsan


Secara etimologi, istihsan berarti menyatakan dan meyakini baiknya
sesuatu tidak ada perbedaan pendapat ushuliyun dalam menggunakan lafaz
istihsan.1 Adapun pengertian istihsan secara terminologis dapat dianalisis dari
definisi yang dikemukakan para ahli ushul berikut :
1. Menurut al-Syarakhsi dari Mazhab Hanafiyah
 Istihsan adalah berusaha mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi
sesuatu masalah yang diperintahkan untuk dilaksanakan. 2
 Istihsan adalah meninggalkan qiyas dan yang menggunakan yang
lebih kuat dari padanya, karena adanya dalil yang menghendaki dan
lebih sesuai untuk merealisasikan kemaslahatan manusia.3
2. Menurut Ibnu Subki dari Mazhab Syafi’iyah4
 Istihsan adalah beralihnya dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang
lebih kuat dari padanya (qiyas pertama).
 Istihsan adalah beralihnya suatu dalil kepada adata kebiasaan karena
suatu kemaslahatan.
3. Menurut al-Syatibi dari Mazhab Malikiyyah5
 Istihsan adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’I
sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.
4. Menurut Abdul Wahhab Khallaf dari ulama kontemporer6
 Istihsan adalah pindahnya ketentuan qiyas khafi (samar), atau dari
ketentuan yang umum (kulli) kepada ketentuan hukum yang sifatnya

1
Al-Syarakhsi, Ushul al-Syarakhsi, Jilid II, (Beriut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1993, h.200.
2
Ibid.
3
Al-Syarakhsi, Ushul al-Syarakhsi, Jilid II, (Beriut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1993, h.200.
4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Logos), 1999, h.305.
5
Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Kutub Ilmiyah),t.th, h.30.
6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah), cet.VII, 1990,
h.79.

3
khusus (juz’i), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil
yang lebig kuat yang menghendaki perpindahan dimaksud.

Berdasarkan definisi diatas, bahwa istihsan berkisar pada dua hal:


pertama, bahwa istihsan merupakan perpindahan atau meninggalkan ketentuan
qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar-samar (tersembunyi) karena
ada alasan kuat yang menghendakinya. Kedua, bahwa istihsan juga meninggalkan
ketentuan kulli dan mengamalkan ketentuan yang juz’i (khusus) sebagai
pengecualian dari ketentuan kulli, atau mengkhususkan qiyas karena ada alasan
dalil yang lebih kuat. Dari rumusan definisi tersebut, dapat ditarik suatu
pengertian bahwa istihsan yaitu adanya dua pilihan atau salah satu dari dua 'illat
yang tingkat kekuatannya tidak sama. Ulama Hanafiah menamakan istihsan
semacam ini dengan istihsan qiyas atau qiyas khafi, sementara ulama-ulama
pendukung mazhab Malikiyah menamakannya mashalih al-Mursalah.

Dasar yang dijadikan sandaran istihsan adalah dalil dari Al-Qur’an dan
Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang
seakar dengan istihsan) seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam QS. az-
Zumar[39]:18
ٰۤ ُ ٰۤ
ِ ‫اْل ْلبَا‬
‫ب‬ َ ْ ‫ولىكَ هُ ْم ا ُولُوا‬ ‫ّٰللاُ َوا‬ َ ْ‫الَّ ِذيْنَ يَ ْست َِمعُ ْونَ ْالقَ ْو َل فَيَت َّ ِبعُ ْونَ اَح‬
‫سنَهٗ ۗ اُولىكَ الَّ ِذيْنَ هَدى ُه ُم ه‬
Artinya “Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. az-
Zumar[39]:18)

Ayat lain QS.az-Zumar[39]:55,

ُ َ‫سنَ َما ْٓ ا ُ ْن ِز َل اِلَ ْيكُ ْم ِِّم ْن َّر ِبِّكُ ْم ِِّم ْن قَ ْب ِل ا َ ْن يَّأْتِيَكُ ُم ْال َعذ‬
َ‫اب بَ ْغتَةً َّوا َ ْنت ُ ْم َْل ت َ ْشعُ ُر ْون‬ َ ْ‫َوات َّ ِبعُ ْْٓوا اَح‬
Artinya: "Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepada mu dari tuhanmu”. (QS.az-Zumar[39]:55).

Selain ayat, ada juga bersumber dari Hadis yang artinya nya:

4
“apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di
sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka
disisi Allah adalah buruk pula”.

Dalam ayat-ayat dan hadits tersebut, Allah memerintahkan untuk mengikuti


yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Maka ini
menunjukkan bahwa istihsan adalah hujjah. Hadis tersebut juga menunjukkan
bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal sehat mereka,
maka ia pun demikian di sisi Allah.

B. Klasifikasi Istihsan Sebagai Metode Ijtihad

1. Istihsan bi an-Nash (istihsan berdasarkan ayat atau hadis).


Contohnya; Tentang jual beli salam (pesanan) dan masalah wasiat.
Menurut ketentuan umum wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak
milik kepada orang yang berwasiat ketika orang yang wasiat tidak cakap lagi,
yaitu setelah ia wafat. Tetapi kaidah umum ini di dikecualikan melalui firman
Allah SWT dalam surah an-nisa[5]:11 yang artinya: “setelah mengeluarkan
wasiat yang ia buat atau utang”. Contoh istihsan Dengan hadis nabi SAW adalah
dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa pada waktu ia sedang
berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena telah
memasukkan sesuatu ke dalam tenggorokannya dan tidak menahan puasanya
sampai pada waktu berbuka. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadis nabi
SAW yang mengatakan: “siapa yang makan atau minum karena lupa ia tidak
batal puasanya, karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah
kepadanya”. (HR. At-Tirmidzi)
2. Istihsan di al-ijma' (istihsan yang didasarkan kepada ijma).
Contohnya; Dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa
pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lama seseorang harus mandi
dan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan maka akan
menyulitkan bagi banyak orang. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan

5
bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan
jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai. 7
3. Istihsan bi al-Qiyas al-Kahfi (istihsan berdasarkan qiyas yang
tersembunyi).
Contohnya; Dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jali, waqaf ini sama
dengan jual beli karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan
memindah tangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk
melewati tanah tersebut atau mengalirkan air ke lahan pertanian melalui tanah
tersebut tidak termasuk kedalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam
akad. Sementara menurut qiyas al-kahfi, wakaf itu sama dengan akad sewa-
menyewa, karena maksud dari waqaf itu adalah memanfaatkan lahan pertanian
yang diwakafkan. Dengan sifat ini maka seluruh hak melewati tanah pertanian itu
atau hak mengalirkan air di atas lahan pertanian tersebut termasuk ke dalam akad
wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad. 8
4. Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan).
Contohnya; Kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan.
Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi dalam
keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosis
penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, menurut kaidah istihsan
seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
5. Istihsan bi al-'urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku
umum).
Contohnya; Menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin
kebutuhan makan minum, dan pakaiannya.
6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan kondisi darurat).

Contohnya; Dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum
sumur tersebut sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur
tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan

7
Muhammad al-Said Ali Abdul Rabuh, Buhust fi al-Adillah al-Mukhtalaf fiha Inda al-Ushuliyin,
(Mesir: Matba’a al-Saadah), 1980, h.72.
8
Ibid, h.74.

6
tetapi ulama Hanafiyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk
menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukkan beberapa galon air ke
dalam sumur itu, karena keadaan darurat menghendaki agar orang tidak
mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan air untuk ibadah.

C. Pandangan Fuqaha tentang Otoritas Istihsan

Pandangan fukaha tentang istihsan dapat dikelompokkan menjadi beberapa


kelompok, yaitu:
Kelompok pertama, kelompok yang menerima istihsan yaitu Mazhab
Malikiyah, Hanafiyah. Kelompok ini berpandangan bahwa istihsan merupakan
metode ijtihad yang dapat diterima dan diaplikasikan dalam pengembangan
hukum Islam. Mereka berargumentasi, bahwa istihsan sebagai salah satu dalil
hukum syara' dan merupakan hujjah dalam istinbat hukum berdasarkan kajian
terhadap berbagai kasus dan penetapan hukum nya ternyata berlawanan dengan
ketentuan qiyas atau ketentuan umum, di mana kadang-kadang dalam
penerapannya terhadap sebagian kasus tersebut justru bisa menghilangkan
kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia, karena kemaslahatan itu merupakan
peristiwa khusus. Oleh karena itu, sangat tepat jika membuka jalan seseorang
mujtahid untuk untuk memalingkan suatu kasus yang seharusnya berdasarkan
qiyas atau ketentuan kulli kepada ketentuan hukum yang lain agar merealisasikan
maslahat dan menolak mafsadat.9

Husain Hamid Hassan menjelaskan, bahwa dasar pemakaian istihsan menurut


imam Malik, kembali kepada teks dari dua segi: 10pertama, kaidah istihsan
merupakan kaidah yang diambil dari dalil syara’ dengan cara induksi yang
memberi faedah qath’i bukan mengemukakan pendapat akal atau mengikuti hawa
nafsu semata. Kedua, kaidah istihsan, mujtahid kembali kepada dalil syara’ yang
diambil dari induksi nash-nash syariat. Ijma’ dan ‘’urf telah diakui ke-hujjah-
annya oleh nash syariat. Adapaun maslahah mursalah bila dihadapkan dengan

9
Abdul Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami Fima La Nassafih, (Damakus: Dar-al-Qalam),
cet.III, 1972, h.77.
10
Husain Hamid Hassan, Nazariyat al-Muslahat fi al-Islamiyah, (Mesir: Dar al-Wahdat AL-
‘Arabiyah), T.Th, h.589.

7
qiyas berarti beramal dengan nash-nash yang mendukung maslahat dari pada
qiyas.

Demikian pula Mazhab Hanafi memberi penjelasan tentang istihsan tidak


berbeda dengan Mazhab Malik. Istihsan yang digunakan oleh Abu Hanifah adalah
bukan istihsan yang menyalahi nash atau qiyas tetapi merupakan bagian dari pada
qiyas. Abu Hanifah tidak menggunakan illat qiyas karena berlawanan dengan
kemaslahatan masyarakat yang dihargai syara` atau dengan ijma` atau dengan
nash sehingga Abu Hanifah memutuskan menggunakan istihsan. Istihsan yang
digunakan Imam Hanafi adalah seperti yang disampaikan oleh Imam Abu al-
Hasan al-Kurkhi: “Seorang mujtahid berpaling terhadap suatu masalah yang
menyimpang dari ketetapan hukum yang ditetapkan kepada masalah yang serupa
karena ada alasan-alasan yang lebih kuat yang menghendaki kita berpaling dari
hukum yang pertama”. Definisi inilah yang paling tepat dalam menjelaskan
hakikat istihsan dalam pandangan Imam Abu Hanifah, definisi itu juga
memberikan gambaran bahwa apapun bentuk dan macamnya terbatas pada
masalah-masalah juz`iyyah saja. Karenanya jika terdapat suatu kejadian yang
tidak ada nash hukumnya, maka dalam pembahasannya terdapat dua segi yang
saling berlawanan:

1. Segi yang nyata menghendaki adanya suatu hukum


2. Segi yang belum jelas menghendaki adanya hukum yang lain.

Dalil yang digunakan hujjah dalam penggunaan istihsan sebagai berikut:

ُ َ‫سنَ َما ْٓ ا ُ ْن ِز َل اِلَ ْيكُ ْم ِِّم ْن َّربِِّكُ ْم ِِّم ْن قَ ْب ِل ا َ ْن يَّأْتِيَكُ ُم ْالعَذ‬


ً‫اب بَ ْغتَة‬ َ ْ‫َواتَّبِعُ ْْٓوا اَح‬
َ‫َّوا َ ْنت ُ ْم َْل ت َ ْشعُ ُر ْون‬

Artinya “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya”. (QS. az-Zumar [39] :55)

Dan dasar dari sunnah adalah hadis Rasulullah shallallahu ‘alahi


wasallam yang artinya:

8
“Apa yang dilihat kaum muslimin baik, maka menurut Allah pun baik”.

Dari sini, ulama madzhab hanafi tetap berpegang kepada istihsan. Mereka
menggunakannya pun tetap berdasarkan kepada dalil-dalil yang kuat bukan
kepada hawa nafsu semata. Pada dasarnya dalam praktek istihsan ini, tidak mesti
ada dalil yang bertentangan, tetapi istihsan itu cukup dilakukan ketika ada dalil
yang lebih kuat, sekaligus menggugurkan dalil yang lemah.

Kelompok kedua, kelompok yang menolak istihsan sebagai metode


istinbat hukum. Kelompok ini dari kalangan Mazhab Syafi’yah dan Zahiriyah.
Mereka beragumen bahwa hukum islam itu terdiri dari nash Al-Qur’an, al-
Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara istihsan bukan
salah satu hal tersebut. Karena itu istihsan sama sekali tidak diperlukan dalam
menetapkan sebuah hukum. Lebih lanjut ayat lain juga menunjukkan kewajiban
merujuk kepada Allah dan Rasul-nya dalam menyelesaikan suatu masalah,
sementara istihsan tidak termasuk dan upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-
nya. Dengan demikian istihsan dapat diterima dengan pertimbangan berikut:

1. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan


akalnya atas dasar istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka
tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi
lebih cerdas dari pada sang mujtahid. Asumsi ini tidak dikatakan oleh
siapapun karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan istihsan
dengan logikanya sendiri.
2. Istihsan adalah menetapkan hukum berdasarkan maslahat. Jika maslahah itu
sesuai dengan nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman
dalam istihsan adalah maslahah menurut asumsi pribadi ulama yang
bersangkutan.
3. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika menghukumi persoalan yang
belum ada dalam Al-Qur'an tidak menggunakan istihsan, melainkan
menunggu turunnya wahyu. Itu artinya bahwa menetapkan hukum
berdasarkan istihsan tidak dapat diterima, karena jika diterima Nabi akan
melakukannya.

9
4. Ibn Hazm(w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah ber-ijma' untuk tidak
menggunakan ra'yu termasuk didalamnya istihsan dan qiyas. Umar bin al-
Khattab radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Jauhilah para pengguna ra'yu
karena mereka adalah musuh-musuh sunnah...”.

Kelompok ketiga, menyatakan bahwa istihsan merupakan dalil hukum syara',


akan tetapi dia bukan dalil yang berdiri sendiri. Dia menopang kepada dalil syara'
yang lain, karena kerjanya dalam mengeluarkan qiyas yang ada atau beramal
dengan 'urf, atau dengan maslahah. Pendapat ini dipegang oleh al-Syaukani. Hal
ini terlihat dalam ungkapannya: “istihsan merupakan dalil syara' yang tidak
berdiri sendiri, yang pada dasarnya tidak memiliki manfaat, karena dia hanya
menegaskan dalil syara' yang telah ada sebelumnya, ketika ia keluar dari dalil
syara' yang ada itu, maka ia tidak bisa dijadikan dalil hukum lagi”.11

Dari ketiga argumentasi dari kalangan pro dan kontra dapat dicermati bahwa
pandangan dan dalil pendapat yang pertama menunjukkan bahwa pada saat
mereka menetapkan istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta-
merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk
melakukannya tanpa batas yang jelas. Setidaknya ada dua catatan yang harus
dipenuhi dalam proses istihsan:
(1) Ketiadaan nash yang sharih dalam masalah;dan

(2) Adanya sandaran yang kuat atas istihsan tersebut, baik berupa maslahat, 'urf,
qiyas khafi dan lainnya.

D. Aplikasi Istihsan dalam Masalah Ekonomi dan Keuangan Syari’ah

Dalam perkembangannya, istihsān banyak diaplikasikan dalam konsep


ekonomi syariah. Banyak akad-akad yang ditetapkan oleh Dewan Syariah
Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki konsep dasar darurat
dengan menggunakan kaidah “al-dlarūrātu tubīhu al-mahdhūrāt,” yaitu kondisi

11
Abdul Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami Fima La Nassafih, (Damakus: Dar-al-Qalam),
cet.III, 1972, h.77.

10
darurat membolehkan sesuatu yang dilarang. Berikut beberapa aplikasi Istihsan
dalam masalah ekonomi dan keuangan islam, yaitu:

1. Aplikasi Istihsan dalam Wakaf Tunai

Wakaf adalah sebuah kata serapan dari bahasa Arab al-waqf, secara
etimologi mempunyai arti al-habsu (menahan). Kata al-waqf adalah bentuk
masdar (nomina) dari ungkapan waqfual-syai ‟, yang berarti menahan
sesuatu.12 Wahbah al-Zuhaily mendefinisikannya dengan menahan/
melindungi sesuatu dari eksploitasi. Secara terminologi para ulama berbeda
pendapat mengenai wakaf. Diantaranya definisi wakaf yaitu:

a. Menurut Abu Hanifah wakaf adalah menahan harta dan


mensedekahkan manfaatnya untuk hal-hal yang positif dengan sifat
kepemilikan penuh tetap berada dalam tangan pewakaf. Pendapat ini
berbeda dengan dua pengikut madzhabnya yaitu Abu Yusuf dan
Muhammad Syaibani dan juga ulama Syafiiyah dan Hanabilah yang
memandang bahwa wakaf adalah akad lazim, dan kepemilikan setelah
akad terlepas dari pewakaf dan menjadi milik Allah. 13
b. Ulama Malikiyah mendefiniskan wakaf sebagai pemberian manfaat
suatu harta secara lazim dan menjaga keutuhan barang tersebut dengan
kepemilikan tetap berada ditangan pemberi. 14

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Abu Hanifah dan
Malikiyah memiliki persamaan dalam definisi, yaitu menahan harta yang
diwakafkan dengan menetapkan kepemilikan tetap berada di tangan
pewakaf. Namun juga mereka memiliki perbedaan pendefinisian di sisi
lain, mengenai apakah wakaf itu lazim atau tidak. Abu Hanifah
berpendapat bahwa wakaf adalah akad tidak lazim, sehingga pewakaf
dapat mengambil kembali harta yang diwakafkan dan bahkan
membatalkan akadnya, sedangkan ulama Malikiyah yang melihat wakaf

12
Hamidah Mudhofir, Istihsan dan Aplikasinya dalam Wakaf Tunai di Indonesia, t.tp, t.th, h.32.
13
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid 10 (Damaskus: Dar al-Fikr), 2004,
h.7599.
14
Ibid, h. 7602.

11
adalah akad tidak lazim, walaupun kepemilikan tetap berada di tangan
pewakaf namun tetapi pewakaf tidak boleh membatalkan akad tersebut.

Perbedaan lain antara Abu Hanifah dan dua murid besarnya Abu
Yusuf dan Muhammad Syaiban terletak pada takyif. Takyif wakaf menurut
Abu Hanifah tertelak pada posisi yang sama seperti akad pinjam
meminjam, karena status harta yang diwakafkan tetap milik pewakaf,
sedangkan yang diberikan adalah manfaat/hasil dari harta tersebut. seperti
halnya barang pinjaman yang diambil manfaatnya. Oleh karena, itu akad
wakaf tidak lazim menurutnya. 15

Malikiyah adalah satu-satunya madzhab yang membolehkan wakaf


kontemporer. Ia menilai bahwa wakaf uang tunai dibolehkan karena uang
itu bersifat kontemporer, dapat habis setelah diambil manfaatnya. Ia pun
menilai wakaf ini bagian dari sedekah, maka boleh menggunakan sighat
ta‟bid atau mu‟aqqot.16 Setelah mengkomparasikan beberapa alasan,
maka pendapat yang benar adalah yang membolehkan wakaf tunai dengan
beberapa alasan, yaitu:

a. Tidak ada nash sharih dan ijmak serta qiyas yang legal dalam hukum
pelarangan wakaf tunai. Sedangkan beberapa pendapat yag menolak
adanya wakaf tunai ini berdasarkan pada akal (ma‟qul) yang tidak lain
adalah: Syarat barang wakaf bersifat ta‟bid (selamanya) dan syarat yang
mengharuskan wakaf tidak habis dikonsumsi. 17
b. Prinsip awal wakaf adalah boleh secara umum dan kaidah yang
membolehkan segala bentuk muamalat selama tidak ada dalil yang
menentang. Bahkan wakaf uang jika ditinjau dari segi maslahat yang
dikandungnya memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat secara
umum. Seperti yang juga dikemukakan Wahbah al-Zuhaili bahwawakaf
tunai ini termasuk bagian dari pengecualian karena tidak adanash sharih

15
Ibid, h. 7599.
16
Ibid, h.10.
17
Ibid, h.14.

12
dan dibolehkannya wakaf tunai adalah atas dasar istihsanbil ‘’urf (adat
kebiasaan) yang mempunyai kekuatan yang sama besar dengan hukum
yang ditetapkan berdasarkan teks.18
c. Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga mebolehkan wakaf
tunai. Fatwa ini dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumen ini
didasarkan pada hadis Umar yang sudah disebutkan di atas. Dan dari sini
MUI merumuskan definisi baru tentang wakaf, yaitu: 19“Menahan
sebagian harta yang tidak dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya
atau pokoknya, dengan cara tidak melakukanhukum terhadap benda
tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya) untuk disalurkan
(hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”.
2. Aplikasi Istihsan dalam Zakat Kontemporer

Istihsan digunakan oleh sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu


kasus pada keadaan tertentu merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan
yang berkalu secara konvensional, seperti dengan menggunakan qiyâs jalli atau
dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan. Dengan cara konvensional itu,
ketentuan hukum yang dihasilkan kurang (tidak) mendatangkan kemaslahatan
yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam keadaan demikian, si mujtahid
menggunakan dalil atau pendekatan lain sebagai alternatif (penggati) dari
penedekatan yang konvensional tersebut. pendekatan tersebut disebut dengan
istihsan.

Dalil syara’ yang dikemukakan dalam kitab-kitab fikih yang ada


kebanyakan berbicara dalam kaitan dengan sektor pertanian dan sedikit sekali
yang berkenaan dengan jasa dan produksi. Padahal dewasa ini perkembangan
sektor jasa dan produksi itulah yang berkembang dengan pesat dan lebih
dominan dibanding sektor pertanian yang semakin langka. Kalau dalam
menghadapi kehidupan ekonomi konteporer ini dan di masa mendatang
khususnya yang menyangkut masalah zakat, hanya mengandalkan pendekatan
lama dalam merumuskan ketentuan hukumnya, maka tidak akan memadai lagi.
18
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan, t.tp, t.th, h.2.
19
Ibid, h.17.

13
Dalam menghadapi masalah ekonomi, jika menggunakan ketentuan lama
tentang zakat, maka zakat tidak akan berkembang karena sektor pertanian
semakin langka, sedangkan pihak yang mengaharapkan bantuan melalui
penghimpunan dana sosial melalui zakat semakin banyak. Katakanlah
umpamanya “zakat profesi” kalau masih berkutat dengan pendekatan dan dalil
konvensional yang selama ini digunakan, masalahnya tetap tidak akan
terselesaikan. Karena itu diperlukan upaya untuk mencari alternatif pendekatan
lain untuk menyelesaikannya. Upamanya berdalil dengan umumnya lafadz
“ma kasabtum” artinya “dari hasil usahamu yang baik-baik” yang terdapat
dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 267. Dalam ayat tersebut sektor jasa dan
profesi secara jelas terkandung didalamnya. (Amir Syarifuddin, 2011) 20

3. Tawarruq Multiguna untuk Pembiayaan Produktif

Pembiayaan multiguna dapat menggunakan skim tawarruq emas atau


bai’ al- wafâ wa al-ijârah yang disebut dengan akad bai’ al-istighlâl. Secara
etimologis, al-tawarruq adalah bentuk mashdar dari kata tawarraqa. Dikatakan
‫( تورق الحيوان‬binatang itu memakan daun). dikasrahkan ra-nya artinya dirham
yang dicetak dari perak. Menurut sebagian riwayat artinya perak yang dicetak
atau tidak dicetak. Adapun definisi al-tawarruq secara terminologi adalah
“Seseorang yang membeli barang dagangan secara tidak tunai (diangsur),
kemudian ia (pembeli) menjualnya kepad orang lain selain penjual secara
tunai (cash) dengan harga yang lebih murah daripada harga pembelian,
tujuannya untuk memperoleh uang tunai (cash) (bukan dalam bentuk
barang”(Hidayat, 2015)21

Jual-beli istighâl pada prinsipnya merupakan hubungan konsep jual-beli


wafâ dengan konsep ijârah (sewa-menyewa), yakni pemanfaatan objek-jual
beli dengan cara disewa atau disewakan. Dengan kata lain, barang yang sudah
dijual kepada pembeli, diseakan kembali oleh pembeli kepada penjual. Skim
tawarruq emas ini diambil dari banyak buku fikih, terutama buku, tawarruq
20
Panji Adam, Penerapan Metode Istihsan Pada Bidang Muâmalah Mâliyyah, (Hukum Ekonomi
Syariah),t.tp,t.th, h.76.
21
Ibid, h. 77.

14
mashrafi ‘an tharȋq alma’adin (tawarruq di perbankan melalui jual-beli emas).
Mayoritas ulama fikih menyetujui bai’ tawarruq, namun Umar Ibn Abd al-
Aziz, Ibn Taimiyyah, dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah berpandangan makruh
hukumnya, namun kemakruhannya dapat dihilangkan dengan metode istihsan.
Karena menggunakan metode istihsan, maka harus bisa ditunjukkkan bahwa
tawarruq yang hendak diterapkan di perbankan, harus berbeda karakternya
dengan tawarruq yang dimakruhkan, oleh sebagian ulama itu. Pada tawarruq
perbankan itu, harus ada syarat ketat dari bank syariah, yakni bahwa dana
tawarruq harus digunakan untuk sektor riil (yang produktif) dan officer
perbankan harus mengontrol kebenaran terwujudnya sektor riil di
lapangan.(Mohammmad Mufid, 2016).22

Jadi, untuk mewujudkan itu officer bank syariah dalam visibility study dan
analisa pembiayaan harus mensyaratkan bahwa penggunaan uang tawarruq
memang untuk sektor riil, seperti usaha mikro, pertanian dan kegiatan usaha
produktif lainnya, atau semi produktif seperti pendidikan, renovasi rumah, dan
sebagainya. Multiguna artinya penggunaan uang tersebut dapat digunakan
untuk apa saja, asalkan untuk sektor riil yang sesuai syariah.

4. Penggunaan metode istihsan dalam Fatwa DSN-MUI NOMOR: 73/DSN-


MUI/XI/2008 tentang Akad Musyarakah Mutanaqisha

Akad Musyarakah Mutanaqishah menurut Mazhab Hanafi hukumnya


boleh demi kemaslahatan umat, karena mengutamakan tujuan syara’(maqashid
syariah), maka dipandang mengandung lebih besar kemaslahatan dibandingkan
dengan mengikuti qiyas. Berdasarkan atas istihsan bil maslahah, keluar qiyas
dipandang mengandung lebih besar kemaslahatan dibandingkan dengan
mengikuti qiyas, maka qiyas itu boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah
istihsan yang disandarkan pada maslahah dengan meninggalkan dalil yang bias
digunakan, dan untuk selanjutnya beramal dengan cara lain karena didorong
oleh pertimbangan kemaslahatan manusia. Penggunaan metode istihsan yang
dipakai pada akad musyarakah mutanaqishah dalam fatwa DSN Nomor:
22
Ibid.

15
73/DSN-MUI/2008 adalah isitihsan bil maslahah. Yaitu istihsan berdasarkan
kemaslahatan, karna penggunaan akad musyarakah mutanaqishah dalam
kegiatan ekonomi dan perdagangan dianggap memiliki lebih banyak
kemaslahatan dan kemudahan bagi masyarakat, Manfaat dan nilai istihsan yang
terkandung dalam fatwa DSN Nomor: 73/DSN-MUI/2008 adalah
kemaslahatan dalam menjalankan kegiatan ekonomi, menghilangkan kesulitan
dalam bidang perdagangan, dan Pengembangan kegiatan transaksi dan produk
Lembaga Keuangan Syariah, karna dalam akad musyarakah mutanaqishah
memiliki unsur kebersamaan dan keadilan dalam menjalankan kerjasama antar
mitra usaha, baik dalam berbagi keuntungan dan menanggung resiko kerugian,
sehingga dapat menjadi alternatif dalam proses kepemilikan asset (barang) atau
modal. 23

23
Usman, Istihsan Pembaharuan Hukum Islam, t.tp, t.th, h.63.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli ushul, bahwa istihsan
berkisar pada dua hal: pertama, bahwa istihsan merupakan perpindahan atau
meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar-
samar (tersembunyi) karena ada alasan kuat yang menghendakinya. Kedua, bahwa
istihsan juga meninggalkan ketentuan kulli dan mengamalkan ketentuan yang
juz’i (khusus) sebagai pengecualian dari ketentuan kulli, atau mengkhususkan
qiyas karena ada alasan dalil yang lebih kuat. Dari rumusan definisi tersebut,
dapat ditarik suatu pengertian bahwa istihsan yaitu adanya dua pilihan atau salah
satu dari dua 'illat yang tingkat kekuatannya tidak sama.

Dari ketiga argumentasi fukaha dari kalangan pro dan kontra dapat dicermati
bahwa pandangan dan dalil pendapat yang pertama menunjukkan bahwa pada saat
mereka menetapkan istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta-
merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk
melakukannya tanpa batas yang jelas. Setidaknya ada dua catatan yang harus
dipenuhi dalam proses istihsan: (1) Ketiadaan nash yang sharih dalam
masalah;dan (2) Adanya sandaran yang kuat atas istihsan tersebut, baik berupa
maslahat, 'urf, qiyas khafi dan lainnya.

Istihsan banyak diaplikasikan dalam konsep ekonomi syariah. Banyak akad-


akad yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama
Indonesia (MUI) memiliki konsep dasar darurat dengan menggunakan kaidah “al-
dlarūrātu tubīhu al-mahdhūrāt,” yaitu kondisi darurat membolehkan sesuatu yang
dilarang. Penggunaan metode istihsan yang dipakai pada akad musyarakah
mutanaqishah dalam fatwa DSN Nomor: 73/DSN-MUI/2008 adalah isitihsan bil
maslahah.

17
B. Saran
Pada masa perkembangan ekonomi saat ini persoalan-persoalan baru
mengenai muamalah selalu bermunculan, hukum mengenai persoalan tersebut
juga akan selalu disesuaikan, namun jika ada persoalan baru muamalah yang
mungkin masih jarang sebelumnya ditemui mengenai dasar hukumnya, maka
istihsan merupakan solusinya. Karena istihsan merupakan suatu metode
istinbat hukum yang bisa dijadikan hujjah relevansi dengan pembaruan
hukum Islam. Yang mana menurut kami relevansinya terletak pada segi
maqasid al-syariah (tujuan hukum Islam) mengenai muamalah.

18
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Mohammad Mufid, Lc., M.HI. USHUL FIQH EKONOMI DAN
KEUANGAN KONTEMPORERDari Teori ke Aplikasi. Jakarta:
Prenadamedia Group. 2016.
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin. USHUL FIQH, JILID 2. Jakarta: Kencana
Predamedia Group. 2009.
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i I, M.A, Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja. ILMU
USHUL FIQIH. Bandung: Pustaka Setia. 2015.
Abdul Ghani Abdullah. Pegantar Kompilasi Hukum Islam dan Tata
Hukum Is di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. 2002.
M Hasby ash-Shiddiqie. Falsafah Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rezki
Putra. 2001.
M Hasby ash-Shoddiqie. Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, Cet 2. Semarang:
Pustaka Rezki Putra. 1997.
Harun Nasution. Islam di Tinjau dari Berbaga Aspeknya, Cet 4. Jakarta:
UI Press. 1984.
Syamsuddin Muhammad Ibn Yusuf Al-Jazari, Mirâj Al-Minhâj Syarh
Minhâj Al-Wushûl ilâ. Ilmi Al-Ushûl. Cet. I. t.tp.1997.

B. Jurnal
M Atho Mundzar. Pengaruh Sosial Budaya Terhadap Produk Hukum
Islam. Jurnal Mimbar Hukum no 4 Th II. Jakarta: 1991.
Guntur Eka Arif Saputra. PENGGUNAAN METODE ISTIHSAN DALAM
AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISHAH PADA FATWA DSN-
MUI NOMOR: 73/DSNMUI/XI/2008 MENURUT PANDANGAN
MAZHAB HANAFI. Skripsi. Jakarta: 2020.
Adam Panji, Penerapan Metode Istihsan Pada Bidang Muâmalah
Mâliyyah. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari. Jambi: 2021.
Mudhofir Hamidah. ISTIHSAN DAN APLIKASINYA DALAM WAKAF
TUNAI DI INDONESIA. Jurnal Ilmu Ekonomi Islam, 2017.

19
Yusali Sahdulima, Suman Agus MODEL PENGELOLAAN WAKAF
TUNAI (WAQF AL NUQUD) SEBAGAI SARANA
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT.

20

Anda mungkin juga menyukai