Anda di halaman 1dari 21

JUSTIFIKASI EKONOMI ISLAM

Makalah Kelompok

Di susun oleh

Kelompok 5 :

Dera Safitri Sabila Nst ( 190102101 )

Zalva (

Hara (

Mahasiswa Fakultas Syari’ah

Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kekhadirat Allah Swt yang telah memberikan taufik dan
hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami, dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
dengan baik dan lancar. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw,
para sahabatnya, dan mudah-mudahan sampai kepada kita selalu umatnya. Seiring dengan
berakhirnya penyusunan makalah ini, sepantas nya lah kami mengucapkan terima kasih kepada
kawan kawan yang telah turut membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami juga menyadari
masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan atau kekurangan dalam makalah ini. Selain itu, kami berharap adanya
kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar makalah ini menjadi lebih baik. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

Banda Aceh, April 2020

Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I.........................................................................................................................................................2
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................2
1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................................................3
BAB II.........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................4
2.1 Definisi Justifikasi Ekonomi Islam...................................................................................................4
2.2 Pengertian Ekonomi Islam................................................................................................................4
2.3 Landasan Hukum Ekonomi Islam.....................................................................................................5
I. AL-QUR’AN...............................................................................................................................6
II. Hadist dan Sunnah.......................................................................................................................7
III. Ijma..........................................................................................................................................8
IV. Ijtihad dan Qiyas......................................................................................................................8
2.3 Mazhab dalam ekonomi islam..........................................................................................................9
1) Mazhab Iqtishaduna.....................................................................................................................9
2) Mazhab Mainstream..................................................................................................................10
3) Mazhab Alternatif–Kritis...........................................................................................................11
2.4 Latar Belakang Islamisasi Ilmu Ekonomi.......................................................................................12
2.5 Ekonomi Islam sebagai suatu Ilmu dan Norma...............................................................................13
BAB III......................................................................................................................................................17
PENUTUP.................................................................................................................................................17
KESIMPULAN.....................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dunia ekonomi kini telah mengalami polarisasi dari dua kekuatan sistem
ekonomi, yaitu Sistem Ekonomi Konvensional dan Sistem Ekonomi Islam. Sistem
Ekonomi Konvensional merupakan sistem ekonomi yang banyak digunakan oleh
berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Eknomi konvensional merupakan
sistem ekonomi yang memberikan kebebasan penuh kepada setiap orang untuk
melakukan kegiatan perekonomian, pemerintah juga bisa ikut andil untuk memantau
kegiatan perekonomian yang berjalan, bisa juga tidak. Sistem ekonomi konvensional
sendiri juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu Sistem Ekonomi Kapitalis dan Sosialis.

Islam merupakan ajaran yang mencakup seluruh bidang kehidupan. Tantangan


terbesar saat ini adalah bagaimana mengekstraksi prinsip-prinsip ekonomi dalam Al-
Qur’an dan hadits, kemudian menurunkannya menjadi sebuah body of knowledge
sekaligus membangunnya menjadi sebuah disiplin ilmu yang secara teoritis dan praktis
berbeda signifikan dengan mazhab-mazhab ilmu ekonomi konvensional yang ada.
Namun muncul kritik bahwa ekonomi syariah hanya “mengekor” ekonomi
konvensional semata, sehingga orisinalitas keilmuannya sering dipertanyakan. Dalam
proses islamisasi ekonomi, yang telah dilakukan, yaitu melaui pengembangan alat
ukur kesejahteraan dan kemiskinan yang didasarkan pada konsep syariah dengan
Model CIBEST. Model CIBEST adalah upaya untuk mengembangkan pendekatan
kesejahteraan kemiskinan yang didasarkan pada konsepsi bahwa alat untuk mengukur
kesejahteraan dan kemiskinan tidak semata mata didasarkan pada material semata,
namun juga pendekatan spiritual. Hal ini didasarkan pada konsep pemenuhan
kebutuhan, dimana al-Quran dan Hadis telah menggariskan bahwa pada dasarnya
kebutuhan manusia terdiri atas dua hal, yaitu kebutuhan material dan spiritual.1

1
Islamiconomic: Jurnal Ekonomi Islam Volume 7 No. 2 Juli - Desember 2016 P-ISSN: 2085-3696; E-ISSN: 2541-
4127 Page: 183 - 204
1.2 Rumusan Masalah

2. Definisi Justifikasi dan pengertiannya terhadap Ekonomi Islam.


3. Landasan Hukum Ekonomi Islam.
4. Mazhab dalam Ekonomi Islam
5. Latar belakang islamisasi Ekonomi Islam
6. Ekonomi Islam sebagai suatu ilmu dan norma

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan kami menyusun makalah yang berjudul Justifikasi Ekonomi Islam tak
lain hanya karena untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen pembimbing. Di
samping itu kami bertujuan agar kami dan kawan kawan yang membaca makalah ini
dapat memahami pertimbangan ataupun justifikasi ekonomi islam.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Justifikasi Ekonomi Islam

Justifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artinya putusan


(alasan, pertimbangan) berdasarkan hati nurani2. Justifikasi adalah pembenaran
sekaligus merupakan alasan, pertimbangan, bukti, atau fakta yang membuat tindakan
atau keputusan yang diambil menjadi wajar atau benar3. Justifikasi merupakan
pembuktian atau proses untuk menyodorkan fakta yang mendukung suatu hipotesis
atau proposisi. Menurut M. Ansjar, justifikasi adalah suatu proses pembuktian atas
suatu pernyataan yang didasarkan pada definisi, teorema, lemma yang sudah pernah
dibuktikan sebelumnya4. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, kami dapat
menyimpulkan bahwa justifikasi adalah proses membuktikan kebenaran dari suatu
pernyataan dengan cara memberikan alasan.

2.2 Pengertian Ekonomi Islam.


Ekonomi sesungguhnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam,
karena Islam pada hakekatnya merupakan ajaran yang bersifat syumuliyah, yaitu
mencakup seluruh bidang kehidupan. Al-Qur’an dan as-Sunnah, meskipun bukan
merupakan buku teks ekonomi, namun mengandung berbagai prinsip dasar ekonomi
yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Pada sebuah penelitian yang dilakukan
oleh International Islamic University Islam abad Pakistan, terungkap bahwa ayat-ayat
al-Qur’an yang memiliki hubungan langsung dengan ekonomi, diperkiran Al-Qur’an
yang memiliki hubungan langsung dengan ekonomi, sekitar berjumlah sekitar ± 400
atau setara dengan 3,5 juz. Ekonomi Islam adalah sebuah sistem ilmu pengetahuan
yang menyoroti masalah perekonomian. Sama seperti konsep ekonomi konvensional
lainnya. Hanya dalam sistem ekonomi ini, nilai-nilai Islam menjadi landasan dan dasar
dalam setiap aktifitasnya dan biasanya disebut dengan Ekonomi Syariah.
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Justifikasi”, diakses dari http://kbbi.web.id/justifikasi
3
Pengertian Menurut Para Ahli, “Pengertian Justifikasi”, diakses dari
http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-justifikasi/, pada tanggal 14 Januari 2017.
4
Pengertian menurut para ahli, diakses dari http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-justifikasi/, pada
tanggal 07 April 2017.
Kata syariah berasal dari bahasa Arab “as-syari’ah” yang mempunyai
konotasi masyra’ah al-ma’ (sumber air minum). Orang Arab tidak menyebut sumber
tersebut dengan sebutan syariah kecuali jika sumber tersebut airnya berlimpah dan
tidak pernah kering. Dalam bahasa Arab, syara’a berarti nahaja (menempuh),
awdhaha (menjelaskan), dan bayyana al-masalik (menunjukkan jalan). Syara’a
lahum–yasra’u-syar’an berarti sanna (menetapkan). Syariah dapat juga berarti mazhab
dan thariqah mustaqimah (jalan lurus). Secara harfiah syariah dapat diartikan sebagai
jalan yang ditempuh atau garis yang mestinya dilalui. Secara terminologi, definisi
syariah adalah peraturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau
digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya
mematuhinya, supaya syariah ini diambil oleh orang Islam sebagai penghubung di
antaranya dengan Allah dan di antaranya dengan sesama manusia.5

2.3 Landasan Hukum Ekonomi Islam


Hukum ekonomi adalah pernyataan mengenai kecenderungan suatu hubungan
sebab akibat antara dua kelompok fenomena. Semua hukum ilmiah adalah hukum
dalam arti yang sama. Selain itu hukum ekonomi dapat berarti suatu hubungan sebab
akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang
lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat. Akan tetapi, hukum-
hukum ilmu ekonomi tidak bisa setepat dan seakurat seperti dalam hukum ilmu-ilmu
pengetahuan alam (eksak). Hal ini disebabkan oleh alasan-alasan berikut. Pertama,
ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan sosial, dengan demikian harus mengendalikan
banyak orang yang dikendalikan oleh banyak motif. Unsur ini dalam situasinya
menyebabkan kenyataan bahwa hukum-hukum ekonomi hanya dapat memberikan
hasil rata-rata. Kedua, data ekonomi tidak saja banyak jumlahnya, tetapi data itu
sendiri bisa berubah. Oleh karena sikap, selera, dan watak manusia berubah pada suatu
jangka waktu, maka tugas untuk meramalkan, bagaimanakah perbedaan reaksi
manusia terhadap suatu perubahan keadaan tertentu pada kesempatan yang berbeda,
menjadi sangat riskan dan berbahaya. Ketiga, banyak faktor yang tidak dapat diketahui

5
Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), 4-7.
dalam situasi tertentu. Semua data tidak dapat diketahui dan ramalan berdasarkan data
yang diketahui yang ada kemungkinan untuk direkayasa oleh pengaruh data yang tidak
diketahui.

Ada berbagai metode pengambilan hukum (istinbath) dalam Islam, yang secara
garis besar dibagi atas yang telah disepakati oleh seluruh ulama dan yang masih
menjadi perbedaan pendapat, di mana secara khusus hal ini dapat dipelajari dalam
disiplin ilmu ushul fiqh. Dalam pembahasan ini hanya akan dijelaskan metode
pengambilan hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, terdiri atas Alquran,
hadis dan sunah, ijma, ijtihad, serta Qiyas.6

I. AL-QUR’AN

Merupakan Sumber hukum Islam yang abadi dan asli adalah kitab suci Alquran.
Alquran merupakan amanat sesungguhnya yang disampaikan Allah melalui perantara
Nabi Muhammad SAW untuk membimbing umat manusia. Amanat ini bersifat
universal, abadi dan fundamental. Pengertian Alquran adalah sebagai wahyu Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (baik isi maupun redaksi) melalui
perantaraan malaikat Jibril. Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Alquran sebagai
berikut. “Alquran adalah Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan
dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”. Adapun Muhammad Ali ash-
Shabuni mendefinisikan Alquran sebagai berikut: "Alquran adalah firman Allah yang
tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan
Rasul, dengan perantaraan malaikat Jibril dan ditulis pada mushaf-mushaf yang
kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan
mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup
dengan surat An-Naas". Makna Alquran secara ishtilaahi, adalah “Firman Allah SWT
yang menjadi mukjizat abadi kepada Rasulullah yang tidak mungkin bisa ditandingi
oleh manusia, diturunkan ke dalam hati Rasulullah SAW, diturunkan ke generasi
berikutnya secara mutawatir, ketika dibaca bernilai ibadah dan berpahala besar”.

II. Hadist dan Sunnah


6
Mannan, M. Abdul. (1992). Ekonomi Islam: Teori dan Praktik. Jakarta: Intermasa. Hlm, 30
Dalam konteks hukum Islam, Sunah secara harfiah berarti “cara, adat
istiadat, kebiasaan hidup” mengacu pada perilaku Nabi Muhammad SAW
yang dijadikan teladan. Sunah sebagian besar didasarkan pada praktik
normatif masyarakat di jamannya. Sunah mempunyai arti tradisi yang hidup
pada masing-masing generasi berikutnya. Suatu Sunah harus dibedakan dari
hadis yang biasanya merupakan cerita singkat, yang pada pokoknya berisi
informasi mengenai apa yang dikatakan, diperbuat, disetujui, dan tidak
disetujui oleh Nabi Muhammad SAW, atau informasi mengenai
sahabatsahabatnya. Oleh karena itu, hadis adalah sesuatu yang bersifat teoritik,
sedangkan sunah adalah pemberitaan sesungguhnya. Perbedaan antara hadis
dan sunah tidak perlu diperdebatkan, karena secara substansi keduanya sama.
Hadis dan sunah ini hadir sebagai tuntunan pelengkap setelah Alquran yang
menjadi pedoman hidup umat muslim dalam setiap tingkah lakunya menjadi
sumber hukum dari setiap pengambilan keputusan dalam ilmu ekonomi Islam.
Hadis dapat menjadi pelengkap serta penjelas mengenai hukum ekonomi yang
masih bersifat umum maupun yang tidak terdapat di Alquran. Hadis dan
Sunah merupakan salah satu sumber hukum yang menjadi acuan setelah
Alquran. Oleh karena wahyu yang terdapat dalam Alquran sebagian besar
masih bersifat lex generalis sehingga harus dijelaskan oleh Hadis dan Sunah
yang bersifat lex specialis. Keduanya saling melengkapi dan menjadi acuan
utama dalam setiap pengambilan suatu hokum.

III. Ijma
Ijma sebagai sumber hukum ketiga merupakan konsensus baik dari
masyarakat maupun dari cendekiawan agama. Perbedaan konseptual antara
sunah dan ijma terletak pada kenyataan bahwa sunah pada pokoknya terbatas
pada ajaran-ajaran Nabi dan diperluas pada sahabat karena mereka merupakan
sumber bagi penyampaiannya. Sedangkan ijma adalah suatu prinsip hukum
baru 7yang timbul sebagai akibat dari penalaran atas setiap perubahan yang
terjadi di masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi. Ijma dalam pengertian
bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu.
disebutkan “‫ ”أجمع فالن على األمر‬berarti berupaya di atasnya.

IV. Ijtihad dan Qiyas


Secara teknik, ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk
menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat.
Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya mungkin benar,
walaupun mungkin juga keliru. Maka ijtihad mempercayai sebagian pada
proses penafsiran dan penafsiran kembali, dan sebagian pada deduksi analogis
dengan penalaran. Tetapi ketika asas-asas hukum telah ditetapkan secara
sistematik, hal itu kemudian digantikan oleh qiyas.
Terdapat bukti untuk menyatakan bahwa kebanyakan para ahli hukum
dan ahli teologi menganggap qiyas sah menurut hukum, tidak hanya aspek
intelektual tetapi juga dalam aspek syariat. Menurut para ahli hukum,
perluasan undang-undang melalui analogi tidak membentuk ketentuan hukum
yang baru, melainkan hanya membantu untuk menemukan hukum. Qiyas
menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya
dalam Alquran dan hadis dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain,
qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan
sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian, qiyas penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu
yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama
pula.

7
Al Arif, M. Nur Rianto. (2010). Teori Makroekonomi Islam: Konsep, Teori dan Analisis. (Bandung: Alfabeta)Hlm, 78
2.3 Mazhab dalam ekonomi islam
Ekonomi konvensional mempunyai paradigma yang berbeda dengan ekonomi
Islam. Oleh karena ekonomi konvensional melihat ilmu sebagai sesuatu yang sekuler
dan sama sekali tidak memasukkan faktor X (yaitu faktor Tuhan) di dalamnya
sehingga ekonomi konvensional menjadi suatu bidang ilmu yang bebas nilai
(positivistik). Sementara ekonomi Islam dibangun di atas prinsip-prinsip syariah.
Dalam tataran ini, ekonom muslim tidak berbeda pendapat. Namun, ketika diminta
untuk menjelaskan apa dan bagaimana konsep ekonomi Islam itu mulai muncullah
perbedaan pendapat. Sampai saat ini pemikiran para ekonom muslim kontemporer
terbagi atas tiga mazhab. Kenapa pemikiran para ekonom muslim ini dapat dikatakan
sebagai mazhab? Sebab pemikiran-pemikiran mereka telah tersusun secara sistematis.
Tiga mazhab tersebut adalah mazhab:

1. Iqtishaduna,

2. Mainstream,

3. Alternatif-kritis.

1) Mazhab Iqtishaduna

Mazhab ini dipelopori oleh Baqir as-Sadr dengan bukunya “Iqtishaduna”. Di


mana mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak bisa
berjalan seirama dengan Islam. Ilmu ekonomi tetaplah ekonomi, dan Islam adalah
tetap Islam. Kedua hal ini tidak akan bisa disatukan karena berasal dari pengertian
dan filosofi yang berbeda. Yang satu anti-Islam (anti Tuhan) dan yang satu lagi
Islam (Tuhan). Perbedaan pengertian dan filosofi ini akan berdampak pada
perbedaan cara pandang yang digunakan dalam melihat suatu masalah ekonomi
termasuk pula dalam alat analisis yang dipergunakan.

Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan


manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya yang tersedia terbatas, di mana
faktor utama permasalahan ekonomi adalah masalah kelangkaan. Mazhab ini
menolak pernyataan ini, karena menurut mereka Islam tidak mengenal adanya
sumber daya yang terbatas. Dalil yang mereka pergunakan untuk memperkuat
argumentasi mereka adalah Alquran Surat Al Qamar ayat 49. Mazhab ini
berpendapat bahwa permasalahan dalam ekonomi muncul karena adanya distribusi
yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat sistem ekonomi yang
membenarkan terjadinya eksploitasi atas sekelompok pihak yang lemah oleh
sekelompok pihak yang lebih kuat. Pihak yang kuat akan mampu menguasai
sumber daya yang ada sementara di pihak lain pihak yang lemah sama sekali tidak
mempunyai akses terhadap sumber daya tersebut sehingga masalah ekonomi
muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan
manusia yang tidak terbatas. Oleh karena itu, istilah ekonomi Islam adalah istilah
yang tidak tepat dan menyesatkan sehingga istilah ekonomi Islam harus
dihentikan. Sebagai gantinya ditawarkan suatu istilah baru yang berasal dari
filosofi Islam, yaitu iqtishad.

Iqtishad menurut mereka bukan sekedar terjemahan dari ekonomi saja.


Iqtishad berasal dari bahasa Arab qasd yang secara harfiah berarti equilibrium atau
keadaan sama seimbang atau pertengahan. Oleh karenanya, semua teori ekonomi
konvensional ditolak dan dibuang dan diganti oleh teori-teori baru yang disusun
berdasarkan nash-nash Alquran dan Sunah.

2) Mazhab Mainstream

Mazhab kedua ini berbeda pendapat dengan mazhab pertama. Mazhab kedua
atau yang lebih dikenal dengan mazhab mainstream ini justru setuju bahwa masalah
ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan
manusia yang tidak terbatas. Dalil yang dipakai adalah Alquran surat Al Baqarah ayat
155. “Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-
orang yang sabar”.

Perbedaan mazhab ini dengan ekonomi konvensional adalah dalam penyelesaian


masalah ekonomi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah
kelangkaan ini menyebabkan manusia harus melakukan pilihan. Dalam ekonomi
konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera
pribadi masing-masing tidak peduli apakah itu bertentangan dengan norma serta nilai
agama ataukah tidak. Dengan kata lain, pilihan dilakukan berdasarkan tuntutan nafsu
semata (homo economicus). Sedangkan dalam ekonomi Islam penentuan pilihan tidak
bisa seenaknya saja sebab semua sendi kehidupan kita telah diatur oleh Alquran dan
Sunah sehingga kita sebagai manusia ekonomi Islam (homo Islamicus) harus selalu
patuh pada aturan-aturan syariah yang ada.

Tokoh-tokoh mazhab antara lain adalah Umer Chapra, Metwally, M.A.


Mannan, M.N. Siddiqi, dan lain-lain. Mayoritas mereka adalah para pakar ekonomi
yang belajar serta mengajar di universitas-universitas Barat, dan sebagian besar di
antara mereka adalah ekonom Islamic Development Bank (IDB). Mazhab ini tidak
pernah membuang sekaligus teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah.

Salah seorang tokoh mazhab ini Umer Chapra mengatakan bahwa usaha
pengembangan ekonomi Islam bukan berarti memusnahkan semua hasil analisis yang
baik dan sangat berharga yang telah dicapai oleh para ekonom konvensional Yang
bermanfaat diambil, yang tidak bermanfaat dibuang sehingga terjadi suatu proses
transformasi keilmuan yang diterangi dan dipandu oleh prinsip-prinsip syariah Islam
sebab keilmuan yang saat ini berkembang di dunia Barat pada dasarnya merupakan
pengembangan keilmuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan muslim pada era
dark ages sehingga bukan tak mungkin ilmu yang berkembang sekarang pun masih
ada beberapa yang sarat nilai karena merupakan pengembangan dari pemikiran
ilmuwan muslim terdahulu.

3) Mazhab Alternatif–Kritis

Mazhab ketiga dipelopori oleh Timur Kuran, Jomo, Muhammad Arif, dan lain-lain.
Mazhab ini mengkritik kedua mazhab sebelumnya. Mazhab pertama dikritik sebagai mazhab
yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang pada hakikat aslinya sudah ditemukan
oleh orang lain. Mereka menghancurkan teori lama, untuk kemudian menggantinya dengan teori
baru yang notabenenya sebagian telah ditemukan.

Sedangkan mazhab kedua dikritik sebagai jiplakan dari ekonomi konvensional dengan
menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta niat. Mazhab ketiga ini
merupakan mazhab yang kritis, mereka berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus
dilakukan terhadap ekonomi konvensional yang telah ada, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu
sendiri. Ekonomi Islam muncul sebagai tafsiran manusia atas Alquran dan Sunah, di mana
tafsiran ini bisa saja salah dan setiap orang mungkin mempunyai tafsiran berbeda atasnya. Setiap
teori yang diajukan oleh ekonomi Islam harus selalu diuji kebenarannya agar ekonomi Islam
dapat muncul sebagai rahmatan lil-alamin di dunia ini.8

2.4 Latar Belakang Islamisasi Ilmu Ekonomi


Munculnya gagasan islamisasi ilmu ekonomi adalah bersamaan dengan ide islamisasi
ilmu pengetahuan yang mana semuanya berangkat dari adanya suatu kesadaran teologis dan etis
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan atas dasar pandangan dunia Islam, setelah disadari
paradigma sains modern banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan
peradaban manusia modern. Munculnya dampak ini sebagai konsekuensi dari dasar filsafat
keilmuan yang meliputi aspek metafisika, epistemologi dan aksiologi yang secara eksplisit tidak
mempunyai keterkaitan dengan kepentingan moralitas manusia. Selanjutnya, keringnya nilai-
nilai etik dan moral menjadikan sains modern dalam tataran aksiologinya sering menafikan
kemaslahatan manusia. Apa yang sekarang disebut sebagi krisis global menunjukkan adanya
keterpecahan antara nilai-nilai etik dan sains modern yang berkembang dalam kerangka
netralitas etik (free value). 9

Tokoh-tokoh Islamisasi Pengetahuan memberi pengertian sendiri-sendiri tentang istilah


ini sesuai dengan latar belakang dan keahlian masing-masing. Menurut Syed Husein Nasr,
Islamisasi Pengetahuan adalah upaya menterjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa
yang biasa dipahami masyarakat muslim di mana mereka tinggal. Artinya Islamisasi
Pengetahuan lebih merupakan usaha untuk mempertemukan cara berpikir dan bertindak
(epistemologis dan aksiologis) masyarakat Barat dan Muslim.

Sementara Naquib al Attas mendefinisikannya sebagai sebuah upaya membebaskan ilmu


pengetahuan baru yang sesuai dengan fitrah Islam. Dalam pandangan Naquib, berbeda dengan
Nasr, Islamisasi Pengetahuan berkenaan dengan perubahan ontologis dan epistemologis terkait
dengan perubahan cara pendang dunia yang merupakan dasar lahirnya ilmu dan metodologi yang
digunakan agar sesuai dengan konsep Islam. Menurutnya, proses Islamisasi Ilmu melibatkan dua
langkah utama. Pertama ialah proses mengasingkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Barat
8
Ibid.. hlm,80-83
9
Syamsul Arifin,et al, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, (Yogyakarta: Sipress, 1996) hlm. 77
dari ilmu tersebut dan kedua menyerapkan unsurunsur dan konsep-konsep Islam ke dalamnya.
Jelasnya, ilmu hendaklah diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-
unsur dan konsep pokok asing dikeluarkan dari setiap ranting. Tujuan Islamisasi Ilmu adalah
untuk melindungi orang Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan
menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki
yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi
keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan dan
kekuatan keimanan.

Berdasar beberapa pengertian di atas, Islamisasi Pengetahuan berarti upaya membangun


paradigma keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, baik pada aspek ontologism,
epistemologis dan aksiologis.

2.5 Ekonomi Islam sebagai suatu Ilmu dan Norma


Pemahaman tentang terminologi ekonomi positif (Positive Economics) dan ekonomi
normative (normative economics) merupakan sesuatu yang sangat penting dalam mempelajari
ekonomi Islam. Ekonomi ‘positif membahas mengenai realitas hubungan ekonomi atau
membahas sesuatu yang senyatanya terjadi, sementara ekonomi ‘normatif’membahas mengenai
apa yang seharusnya terjadi atau apa yang seharusnya dilakukan. Keharusan ini didasarkan atas
nilai (value) atau norma (norm) tertentu, baik secara eksplisit maupun implisit. Kemiskinan yang
terjadi di negara-negara berkembang tidak seharusnya semakin memburuk adalah contoh
pernyataan normative. Kenyataan bahwa kemiskinan di negara-negara ini memang semakin
memburuk adalah contoh pernyataan positif.

Contoh lain, misalnya tentang fakta bahwa kebanyakan orang akan mengonsumsi barang
dan jasa apa saja sepanjang memberikan kepuasan maksimal adalah ekonomi positif, sementara
anjuran agar tidak semestinya segala nafsu mencari kepuasan dipenuhi adalah pernyataan
normative. Ilmu ekonomi konvensional melakukan pemisahan secara tegas antara aspek positif
dan aspek normatif. Pemisahan aspek normative dan positif mengandung implikasi bahwa fakta
ekonomi merupakan suatu yang independen terhadap norma; tidak ada kausalitas antara norma
dengan fakta. Dengan kata lain, realitas ekonomi merupakan suatu yang bersifat independen, dan
karenanya bersifat objektif-dan akhirnya berlaku universal. Hukum penawaran, misalnya yang
menyatakan bahwa jika harga suatu barang meningkat, maka jumlah barang yang ditawarkan
akan meningkat, cateris paribus- adalah pernyataan positif. Hukum tersebut berlaku karena para
produsen memandang bahwa kenaikan harga barang adalah untuk mencetak keuntungan
(pendapatan) setinggitingginya.

Teori ini tidak menjelaskan faktor apakah yang mendorong dan mengharuskan produsen
untuk mencari keuntungan maksimum, yang sebenarnya hal ini merupakan pernyataan
normative. Hal-hal yang bersifat normative dianggap sebagai sesuatu yang telah ada sebelumnya
(given) dan berada di luar batas analisis ekonomi.

Salah satu kritik utama para pemikir Islam terhadap ilmu ekonomi konvensional, terutama
kapitalisme, adalah adanya kecenderungannya untuk mengklaim bebas nilai (Value free), serta
mengabaikan pertimbangan moral. Kritik ini muncul dari pengamatan berikut ini.

a. Ilmu ekonomi konvensional cenderung berbicara pada dataran positif (positive economics)
dengan alasan menjaga objektivitas ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, ilmu ekonomi
dianggap benar-benar independen terhadap norma atau nilai. Norma yang digunakan sebagai
dasar pengambilan keputusan ekonomi dipandang sebagai sesuatu yang given sehingga tidak
membuka peluang untuk dilakukannya perubahan norma sebagai perubahan ilmu ekonomi.

b. Teori model kebijakan dan masyarakat ekonomi yang dikembangkan selama 2 abad terakhir
berada dalam lingkup tradisi materialisme.

c. Tradisi pemikiran neo klasik, yang merupakan mazhab pemikiran ekonomi mainstream saat
ini, cenderung menempatkan filsafat individualisme, merkantilisme, dan utililitarisme sebagai
dasar dalam penyusunan teori dan model ekonominya. Sebenarnya fenomena pendikotomian
normative dan positif dalam ekonomi konvensional adalah menyimpang dari sejarah awalnya.
Buku tentang ekonomi yang pertama ditulis oleh Adam Smith adalah Theory of Moral Sentiment
(1759) tidak mendikotomikan realitas dan norma, sebelum kemudian ia menulis buku An Inquiry
into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Upaya untuk menanggalkan baju
moral sebenarnya telah berawal dari Adam Smith sendiri, setidaknya hal ini tampak pada dua
buku tersebut. Namun, ‘’politifisasi’’ ilmu ekonomi baru berkembang pesat pada masa
kemudian, terutama dipelopori oleh David Ricardo dan diperkuat oleh fondasi pemikiran dari
Alfred Marshal. Stanley Jevons, dan Walras pendiri aliran neo klasik. Mereka dengan
menggunakan perangkat matematika ekonominya, dengan kalkulus diferensial dan persamaan
simultannya telah membawa ilmu ekonomi semakin jauh dari matriks norma/budaya.

ilmu ekonomi konvensioanal saat ini masih mengandung banyak kerancuan. Ilmu
ekonomi konvensional telah dibangun di atas dua himpunan tujuan yang berbeda. Salah satunya
disebut tujian ‘positif ‘, yang berhubungan erat dengan usaha realisasi secara efisien dan adil
dalam proses alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi. Tujuan lainnya, yaitu tujuan
normative, yang diekpresikan dengan usaha penggapaian secara universal tujuan social ekonomi
untuk pemenuhan kebutuhan hidup, full employment, tingkat pertumbuhan ekonomi yang
optimal, distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, dan lain-lain.

Adanya tujuan yang berbeda ini telah menyebabkan ketidakefektifan ilmu ekonomi
konvensional dalam menggapai tujuannya, sebab keduanya berhubungan erat. Dapat atau
tidaknya tujuan normative dan positif tersebut bersifat konsisten akan sangat tergantung
bagaimana tujuan-tujuan tersebut didefinisikan. Jadi, sebenarnya selalu ada kaitan antara positif
dan normative, ia tidak dapat didikotomisasikan secara kaku. Oleh karena itu, ekonomi Islam
pada dasarnya mengedepankan pendektan integrative antara normative dan positif. Islam
menempatkan nilai yang tercermin dalam etika pada posisi yang tinggi. Jadi, etika harus menjadi
kerangka awal dalam ilmu ekonomi.

Penjelasan, pemahaman dan penilaian tujuan ekonomi harus dilakukan dengan kerangka
ilmu social yang integral, tanpa mendikotomikan etika dan realita secara absolut. Integrasi etika
dan realita dalam pandangan Islam tentu saja bukan seperti pemahaman Max Weber tentang
wertfrei, sebab dalam pandangan Islam etikalah yang harus menguasai ilmu ekonomi bukan
sebaliknya. Dalam pandangan Islam hidup seorang manusia harus dituntun oleh syariat Islam
secara keseluruhan, dan inilah misi utama eksistensi manusia di muka bumi. Syariah Islam telah
menyediakan perangkat yang lengkap sebagai sistem kehidupan (manhaj al-hayah) dan sarana
kehidupan (wasilah al-hayyah). Sebagai konsekuensi bahwa ekonomi Islam hanya ditujukan
untuk mendapatkan falah , maka ekonomi Islam tidak hanya dapat dipandang sebagai deskripsi
empiris atas perilaku umat Islam, namun juga membentuk suatu perekonomian yang mampu
membawa manusia untuk mencapai falah tersebut.10

10
Ghofur, Abdul. Pengantar Ekonomi Syariah. (Depok: Rajawali Pers. 2017) hlm, 49-53
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Justifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artinya putusan (alasan,
pertimbangan) berdasarkan hati Nurani.. Justifikasi adalah pembenaran sekaligus merupakan
alasan, pertimbangan, bukti, atau fakta yang membuat tindakan atau keputusan yang diambil
menjadi wajar atau benar. Justifikasi merupakan pembuktian atau proses untuk menyodorkan
fakta yang mendukung suatu hipotesis atau proposisi. Menurut M. Ansjar, justifikasi adalah
suatu proses pembuktian atas suatu pernyataan yang didasarkan pada definisi, teorema, lemma
yang sudah pernah dibuktikan sebelumnya. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, kami dapat
menyimpulkan bahwa justifikasi adalah proses membuktikan kebenaran dari suatu pernyataan
dengan cara memberikan alasan. Ekonomi sesungguhnya merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari ajaran Islam, karena Islam pada hakekatnya merupakan ajaran yang bersifat
syumuliyah, yaitu mencakup seluruh bidang kehidupan

Landasan hokum ekonomi islam antara lain yaitu, terdiri atas Alquran, hadis dan sunah,
ijma, ijtihad, serta Qiyas. Pemahaman tentang terminologi ekonomi positif (Positive Economics)
dan ekonomi normative (normative economics) merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
mempelajari ekonomi Islam. Ekonomi ‘positif membahas mengenai realitas hubungan ekonomi
atau membahas sesuatu yang senyatanya terjadi, sementara ekonomi ‘normatif’membahas
mengenai apa yang seharusnya terjadi atau apa yang seharusnya dilakukan. Keharusan ini
didasarkan atas nilai (value) atau norma (norm) tertentu, baik secara eksplisit maupun implisit.
Kemiskinan yang terjadi di negara-negara berkembang tidak seharusnya semakin memburuk
adalah contoh pernyataan normative.

Dalam memahami Islam bukan hanya memahami pengetahuan dan nilai-nya yang benar,
namun proses memahami pun sepatutnya sesuai dengan apa yang ingin disampaikan, sehingga
akan maksimal proses transfer tersebut begitu juga hasil yang akan didapat. Islam sebagai sebuah
nilai yang terkandung didalamnya hukum dan pengetahuan yang paling tepat untuk dijadikan
rujukan bagi hidup dan kehidupan manusia, haruslah secara utuh dipahami bentuknya. Dari nilai
akidah, nilai akhlak sampai pada ketentuan syariahnya. Dengan demikian, proses penyampaian
Islam sebagai sebuah nilai haruslah sesuai dengan kaidah Islam itu sendiri, terlebih lagi ketika
Islam memiliki panduan dalam berprilaku termasuk prilaku belajar dan mengajar. Otomatis
panduan tersebut sangat mempengaruhi mekanisme pengajaran ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Islamiconomic: Jurnal Ekonomi Islam Volume 7 No. 2 Juli - Desember 2016 P-ISSN: 2085-
3696; E-ISSN: 2541-4127 Page: 183 – 204

Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Justifikasi”, diakses dari http://kbbi.web.id/justifikasi

Pengertian Menurut Para Ahli, “Pengertian Justifikasi”, diakses dari


http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-justifikasi/, pada tanggal 14 Januari 2017.
Pengertian menurut para ahli, diakses dari http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-
justifikasi/, pada tanggal 07 April 2017.

Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan kepada Teori Ekonomi Mikro dan
Makro (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 4-7.

Mannan, M. Abdul. (1992). Ekonomi Islam: Teori dan Praktik. Jakarta: Intermasa. Hlm, 30

Al Arif, M. Nur Rianto. (2010). Teori Makroekonomi Islam: Konsep, Teori dan Analisis.
(Bandung: Alfabeta)Hlm, 78

Syamsul Arifin,et al, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, (Yogyakarta: Sipress,
1996) hlm. 77

Ghofur, Abdul. Pengantar Ekonomi Syariah. (Depok: Rajawali Pers. 2017) hlm, 49-53

Anda mungkin juga menyukai