Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Perkembangan Wakaf di Dunia Islam

1. Pendahuluan
Wakaf, sebagaimana halnya zakat, adalah termasuk harta/asset ummat
muslim yang harus dijaga dan dikembangkan demi kepentingan ummat muslim
itu sendiri. Dalam perjalanannya, wakaf pada dunia Islam mengalami berbagai
macam kondisi -pasang dan surut- terus mewarnai perkembangannya dan
tampaknya hal seperti itu akan terus terjadi sepanjang masa.
2. Perkembangan Wakaf pada Masa Generasi Sahabat
Wakaf adalah sedekah yang sebenarnya lebih dikenal di masyarakat sebagai
sedekah jariyah. Spesifikasi menahan pokoknya dan memberikan manfaatnya
bermakna agar pahala itu mengalir terus-menerus.
Adapun kapan awal diberlakukannya wakaf, generasi sahabat sendiri berbeda
pendapat. Kaum Muhajirin berpendapat, wakaf dimulai zaman Umar bin Khathab
dan dimulai oleh beliau sendiri. Sementara Kaum Anshar menganggap bahwa
wakaf dimulai oleh Rasulullah Saw.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para ulama sependapat bahwa
wakaf adalah salah satu bentuk sedekah dalam Islam.
Wakaf mempunyai tujuan mulia yaitu dengan menyisihkan sebagian harta
untuk taqarub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).
Contoh terkenal berkenaan hal ini:
a. Ketika Rasulullah Saw. Bersabda, Salurkan wakafmu itu kepada keluargamu,
yaitu Hasan bin Tsabit dan Ubay bin Kaab. Maka Abu Thalhah langsung
melakukannya.

b. Umar bin Khatab ketika berwakaf, dia mengatakan bahwa apa yang diwakafkan
untuk orang-orang fakir, para karib kerabat, para budak, untuk kebaikan di
jalan Allah, serta untuk para tamu dan orang-orang yang tengah melakukan
perjalanan. Tidak ada salahnya bagi yang mengelola/nazhir mengambil
sebagian dari keuntungan asal masih dalam batas kewajaran (maruf) atau
memberi makan kepada yang lain yang tidak mampu. Hal ini Ali r.a. juga
melakukan sebagaimana kebijakan Umar bin Khathab.
c. Zubair ketika mewakafkan rumahnya, dia mengatakan bahwa bukan suatu
kerugian memberikan kepada pelayan anak perempuannya, dan tidak ada
yang merugikan darinya.
Dari contoh-contoh tersebut dapat disimpulkan:
a. Wakaf sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. dan para sahabat,
b. Wakaf boleh diberikan kepada kaum kerabat ataupun orang lain untuk tujuan
mulia/kebaikan,
c. Wakaf ada yang mengelola dan boleh mengambil sebagaian keuntungan secara
maruf (batas kewajaran).
3. Perkembangan Wakaf pada Masa Generesi Sesudah Sahabat
Dalam buku Hukum Wakaf karya Dr. Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi
tidak menjelaskan yang dimaksud generasi sesudahnya itu apakah tabiin, tabiit
tabiin, atau sesudahnya lagi.
Permasalahan yang muncul dalam era ini adalah tujuan mulia wakaf generasi
sahabat dibelokkan menjadi tujuan-tujuan tertentu yang tidak baik walaupun
secara hukum wakaf sendiri tidak menyalahi.
Sebagai contoh, orang-orang pada masa itu berwakaf dengan tujuan untuk
menghalang-halangi sebagian ahli waris mendapatkan haknya. Diperparah lagi

adanya diskriminasi terhadap anak-anak perempuan, karena ada sebagian orang


yang berwakaf hanya untuk anak laki-lakinya, atau mewakafkan sebagian besar
hartanya agar harta waris tidak jatuh ke anak-anak perempuannya, minimal
jatahnya berkurang.
Dalam kitab Al-Mudawwanah dikatakan bahwa Khalifah Umar bin Abdul
Aziz sebelum meninggal dunia pernah berkeinginan untuk mengembalikan
sedekah/wakaf orang-orang yang mengabaikan anak perempuan mereka.
Imam Syaukani berkata, Barang siapa yang mewakafkan barang yang dapat
membahayakan ahli waris, maka wakafnya batal. Shadiq Hasan Khan
berkomentar tentang hal ini, Kesimpulannya, bahwa wakaf yang bertujuan
memutuskan apa yang Allah perintahkan untuk menyambungnya serta
bertentangan dengan ajaran-ajaran Allah SWT., maka wakafnya batal. Sama
seperti orang yang mewakafkan sesuatu kepada anak laki-lakinya, tanpa
menyertakan anak perempuannya, dan lain sebagainya. Sebab, wakaf seperti ini
tidak merealisasikan takarub kepada Allah, akan tetapi bertujuan menentang
hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya. Wakaf seperti
ini menjadi wasilah (sarana) perwujudan tujuan setan.
Kesimpulan dari masa ini:
a. Ada penyimpangan tujuan wakaf dari menyisihkan sebagian harta untuk
mendekatkan diri kepada Allah menjadi tujuan-tujuan lain yang tidak sesuai
syariat, seperti menghalang-halangi seseorang untuk mendapatkan hak waris.
b. Ada usaha baik dari penguasa/khalifah maupun ulama untuk meluruskan
kembali kepada tujuan wakaf sebagimana generasi sahabat yang mulia.
4. Zaman Bani Umayah dan Abbasiyah
Wakaf pada zaman ini mengalami masa perkembangan yang luar biasa.
Penyalurannya tidak hanya terbatas kepada kalangan fakir miskin, akan tetapi

telah merambah berbagai hal, seperti pendirian srana ibadah, tempat-tempat


pengungsian, perpustakaan dan sarana pendidikan, pemberian beasiswa untuk
para pelajar, tenaga pengajar, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Dampak dari makin meluasnya peranan wakaf dan antusiasme masyarakat
kala itu muncullah beberapa organ pendukung:
a. Didirikannya lembaga khusus bidang wakaf,
b. Intervensi pemerintah dalam pengembangan,
c. Pengawasan oleh para hakim.
5. Zaman Dinasti Usmaniyah
Pada zaman ini yang menonjol adalah pengawas pengelolaan wakaf. Beberapa
yang dapat dicatat:
a. Pengawasan wakaf dilaksanakan oleh qadhi (hakim),
b. Jika wakif telah menunjuk nazhir/pengelola, hakim cukup mengawasi pihak
yang ditunjuk,
c. Pertama kali dilakukan pencatatan dan pembukuan wakaf.
Qadhi yang terkenal pada masa ini adalah Taubah bin Namr bin Haumal alHadrami. Beliaulah orang pertama yang melakukan pencatatan dan pembukuan
wakaf secara rinci. Perkataan beliau yang terkenal, Saya tidak mempunyai
pandangan tentang sedekah (wakaf) ini, melainkan untuk diserahkan kepada
golongan fakir miskin, dan seyogyanya tetap difokuskan kepada mereka, demi
menjaganya dari kehancuran atau diwariskan secara turun-temurun.
6. Negara Irak

Praktik wakaf di Irak lebih banyak mengadopsi apa yang telah dilakukan pada
masa Dinasti Usmaniyah. Kemajuan dalam bidang wakaf di Irak:
a. Dibuatnya Undang-Undang Wakaf.
Yang terkenal adalah UU No.64 tahun 1966, yang isinya:
Pertama, wakaf yang baik (al-waqfu al-shalih), yaitu mewakafkan barang
yang dimilikinya kepada pihak yang menerima (maukuf) tanpa dipersyaratkan
apa pun.
Kedua, wakaf yang tidak baik (al-waqfu ghairu al-shalih), yaitu wakaf yang
hak pendistribusian dan penggarapan tanahnya dikhususkan kepada pihak
tertentu saja.
Ketiga, wakaf yang dibatasi (al-waqfu al-mdhbuth), yang terdiri dari:
- Wakaf shalih yang tidak disyaratkan adanya tauliyah (hak penguasaan)
kepada orang tertentu, atau yang terputus atau habis hak penguasaannya.
- Wakaf ghairu shalih.
- Wakaf yang pengelolaannya berakhir dalam 15 tahun, baik ditentukan oleh
pihak kementrian wakaf, lembaga-lembaga wakaf, atau berdasarkan
catatan wakaf.
- Wakaf haramain, yaitu wakaf yang ditentukan adanya syarat-syarat tertentu.
- Pihak atau lembaga sosial menerima wakaf sesuai perundang-undangan yang
berlaku.
Ada lagi yang disebut wakaf mulhaq, yaitu wakaf yang dikelola oleh
seseorang dan disyaratkan agar keuntungan (hasil) wakaf atau sebagiannya
diserahkan kepada lembaga-lembaga agama dan sosial.

Perdebatan para ulama terjadi pada jenis wakaf dzurri (keluarga), yaitu
wakaf yang dikelola oleh seseorang dan disyaratkan agar keuntungannya
diserahkan kepada anak cucu wakif/keluarganya.
b. Dibentuknya kementrian wakaf yang bertugas mengembangkan wakaf agar
memiliki manfaat yang maksimal bagi kemaslahatan umat, juga berfungsi
pengawasan dalam hal-hal tertentu.
7. Negara Mesir dan Negara-Negara Timur Tengah lainnya
Pada umumnya negara-negara Timur Tengah dalam bidang wakaf merupakan
yang terdepan di dunia Islam. Terutama Mesir, Universitas Al-Azhar sebagai
contoh konkrit kemajuan bidang wakaf dari masa lampau hingga saat ini.
Kemajuan yang dialami negara-negara Timur Tengah khususnya Mesir
sebenarnya berawal dari perdebatan di kalangan ulama mengenai wakah
dzurri/keluarga.
Di Syiria pada tahun 1939 merevisi peraturan-peraturan mengenai wakaf
keluarga, antara lain. Pertama, tidak dibolehkan melanggengkan wakaf keluarga
tanpa batas waktu dan tidak boleh pula diberikan kepada kelompok yang lebih
dari dua tingkat keturunan (cucu). Kedua, dalam wakaf keluarga, wakif
dibolehkan menarik kembali wakafnya, sebagaimana ia dibolehkan mengikat
wakaf dengan syarat-syarat tertentu. Ketiga, untuk keabsahan wakaf ini,
disyaratkan untuk tertulis dalam catatan pertanahan, yang dikeluarkan oleh hakim
agama. Keempat, jika terjadi kerusakan atau tidak memungkinkan lagi untuk
dibangun, atau hak mustahik tidak dapat terpenuhi, maka wajib wakaf itu.
Kelima, mauquf alaih (penerima wakaf) berhak menolak syarat waqif yang
semena-mena dengan mebatalkan syarat tersebut.
Peraturan-peraturan yang menjadi landasan perkembangan wakaf di Mesir:

a. Tahun 1925 saat Revolusi Mesir meletus ditemukan bukti dokumen bahwa
wakaf keluarga masih menjadi perdebatan, maka pemerintah Mesir
mengeluarkan Peraturan No.180 tahun 1952 yang menghapuskan legalitas
wakaf kwluarga dan berstatus bebas dan tidak terikat. Pemerintah juga
melarang wakaf keluarga jenis baru, sehingga wakaf hanya terbatas pada
wakaf umum saja.
b. Peraturan No.547 tahun 1953, yang mengatur mengenai wakaf umum. Pihak
yang berwenang mengurusi wakaf ini adalah kementrian wakaf. Selama
wakif tidak menyaratkan untuk dirinya, kementrian wakaf berhak
menyalurkan wakaf umum kepada pihak mana pun yang tidak ditentukan
wakif.
c. Peraturan No.525 tahun 1954, yang mengatur pembagian hasil wakaf. Dalam
peraturan ini juga mengatur pengambilalihan wakaf dari tangan individu
kepada yang lebih berhak.
d. Ada yang dirasa memberatkan karena jika ada pihak yang tidak mau
menyerahkan, maka kementrian wakaf berpedoman pada Peraturan No.18
tahun 1957, yang menetapkan pembagian harta wakaf kepada mustahik,
dengan menyerahkan bagian-bagian wakaf tersebut kepada kementrian.
Itulah sekilas sejarah wakaf di kalangan umat Islam sejak zaman Rasullah
Saw. sampai saat ini, khususnya di negara-negara Islam Timur Tengah. Untuk di
Indonesia dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004
tentang Wakaf, menjadi titik awal kebangkitan wakaf di Indonesia. Akan tetapi
yang lebih mendasar adalah pemahaman terutama fikih wakaf itu sendiri harus
segera di sosialisasikan, mengingat hambatan perkembangan terkadang berakar
pada pemahaman fikih itu sendiri. Pendek kata senergi antara pemahaman
masyarakat dan lahirnya nazhir-nazhir profesional harus berjalan seiring, sehingga
wakaf bisa menjadi salah satu alternatif baru pendorong kemajuan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai