Anda di halaman 1dari 7

Dzawil Furudh, Furudhul Muqaddarah & Ashabah

BAB I
PENDAHULUAN
Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya pemindahan kepemilikan, yaitu
berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewarisakan, setelah yang
bersangkutan wafat kepada penerima warisan dengan jalan pergantian yang didasarkan pada
hukum syara’.
Didalam  aturan kewarisan, ahli waris sepertalian darah dibagi menjadi tiga  golongan, yaitu:
dzawil furudh, ashobah dan dzawil arham. Disini kami akan membahas tentang dzawil furudh,
furudhul muqaddaroh, dan  ashobah. Untuk memberikan warisan kepada ahli waris.

 
BAB II
PEMBAHASAN
DZAWIL FURUDH, FURUDHUL MUQADDARAH DAN ASHABAH
A.  Dzawil furud (Ashabul Furud)
Furudlu menurut istilah fiqih mawarits, ialah saham yang sudah ditentukan jumlahnya untuk
warits pada harta peninggalan, baik dengan nash maupun dengan ijma’.[1]
Secara bebas, arti lugowi zawi al-furud adalah orang-orang yang mempunyai saham (bagian)
pasti. Secara istilahi zawi al-furud adalah ahli waris yang sahamnya telah ditentukan secara
terperinci (seperdua, sepertiga, seperempat, seperenamatau seperdelapan dari warisan ).[2]
Ashabul furud ada dua macam:
1.    Ashabul furudh sababiyyah
Yaitu ahli waris yang disebabkan oleh ikatan perkawinan. Yakni:
- Suami
- Isteri
2.    Ashabul furudh nasabiyyah
Yaitu ahli waris yang telah ditetapkan atas dasar nasab. Yakni:
- Ayah
- Ibu
- Anak perempuan
- Cucu perempuan dari garis laki-laki
- Saudara perempuan sekandung
- Saudara perempuan seayah
- Saudara laki-laki seibu
- Saudara perempuan seibu
- Kakek shahih
- Nenek shahih.
Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:
a)    Yang mendapat dua pertiga (2/3)
1.    Dua anak perempuan atau lebih, bila tidak ada anak laki-laki.
2.    Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki, bila anak perempuan tidak ada.
3. Saudara perempuan sebapak, dua orang atau lebih.
b)   Yang mendapat setengah (1/2)
1. Anak perempuan kalau dia sendiri
2. Anak perempuan dari anak laki-laki atau tidak ada anak perempuan
3. Saudara perempuan seibu sebapak atau sebapak saja, kalau saudara perempuansebapak seibu
tidak ada, dan dia seorang saja
4. Suami bila isteri tidak punya anak
c)    Yang mendapat sepertiga (1/3)
1.    Ibu, bila tidak ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki), dan tidak ada pula dua orangsaudara
2. Dua orang saudara atau lebih dari saudara seibu.
d)   Yang mendapat seperempat (1/4)
1.    Suami, bila istri ada anak atau cucu
2.    Isteri, bila suami tidak ada anak dan tidak ada cucu. Kalau isteri lebih dari satu makadibagi rata.
e)    Yang mendapat seperenam (1/6)
1.    Ibu, bila beserta anak dari anak laki-laki atau dua orang saudara atau lebih.
2.    Bapak, bila jenazah mempunyai anak atau anak dari laki-laki.
3.    Nenek yang shahih atau ibunya ibu/ibunya ayah.
4.    Cucu perempuan dari anak laki-laki (seorang atau lebih) bila bersama seorang anakperempuan.
Bila anak perempuan lebih dari satu maka cucu perempuan tidak mendapatharta warisan.
5.    Kakek, bila bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, dan bapak tidak ada.
6.    Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih), bila beserta saudara perempuanseibu sebapak.
Bila saudara seibu sebapak lebih dari satu, maka saudara perempuansebapak tidak mendapat
warisan.
f)    Yang mendapat seperdelapan (1/8)
1.      Isteri (satu atau lebih), bila ada anak atau lebih.[3]

B.  Furudhul Muqaddarah


Kata al-furud adalah bentuk jamak dari kata fard artinya bagian (ketentuan). Al-Muqaddarah
artinya ditentukan. Jadi al-furud al-muqaddarah adalah bagian-bagian yang telah ditentukan oleh
syara’ bagi ahli waris tertentu dalam pembagian harta peninggalan. Bagian itulah yang akan
diterima ahli waris menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan.
Furudul Muqaddarah ada enam macam:                                                                                 
1.    Dua pertiga (2/3)
2.    Setengah (1/2)
3.    Sepertiga (1/3)
4.    Seperempat (1/4)
5.    Seperenam (1/6)
6.    Seperdelapan (1/8).[4]
Dasar hukumnya adalah firman Allah surat an-Nisa ayat 11-12, yang berbunyi:
ِ ِ ِ َّ ِ‫وصي ُكماللَّه ِفيأَواَل ِد ُكمل‬
ِ ‫ِّص ُفي‬ ِ ِ
ً ‫لذ َك ِرم ْثلُ َحظِّاأْل ُْن َثَي ْين َفِإنْ ُكنَّن َس‬
‫اء‬ ْ ْ ُ ُ ُ ْ ‫َف ْوقَا ْثنََت ْين َفلَ ُهن َُّثلُثَ َاماَت َر َك َوإِنْ َكا َن ْت َواح َدةً َفلَ َهاالن‬

ُّ ‫الثلُُث َفِإنْ َكا َنلَ ُهِإ ْخ َوةٌفَأِل ُِّم ِه‬


‫الس ُد‬ ُّ ‫اه َفأِل ُِّم ِه‬ ُّ ‫اح ٍد ِم ْن ُه َم‬
ُ ‫االس ُد ُس ِم َّماَت َر َكِإنْ َكا َنلَ ُه َولَ ٌدفَِإ ْنلَ ْميَ ُك ْنلَ ُه َولَ ٌد َو َو ِر َث ُهأ ََب َو‬
ِ ‫وأِل َبوي ِهلِ ُكلِّو‬
َ ْ ََ َ
﴿‫يما‬ ِ ‫يض ةًِمنَاللَّ ِهِإنَّاللَّه َكا َنعلِيم‬ ِ ِ ِ
ِ ‫صيَّ ٍةي‬
َ ‫وصيبِ َهاأ َْو َديْنٍآَبَا ُؤ ُك ْم َوأ َْبنَا ُؤ ُك ْماَل تَ ْد ُرونَأ َُّي ُه ْمأَق َْر ُبلَ ُك ْمَن ْف ًعافَ ِر‬
ً ‫احك‬
َ ً َ َ ُ ‫ُس م ْنَب ْعد َو‬

ْ ِ‫﴾ولَ ُك ْمن‬
‫ص ُف َما‬ َ ۱۱

ِ ُّ ‫وص ينَبِ َهاأَو َديْنٍول َُهن‬ ِ ِ ِ


ِ ‫صيَّ ٍةي‬ ِ ُّ ‫َتر َكأَ ْزواج ُكمِإ ْنلَمي ُك ْنلَ ُهنَّولَ ٌدفَِإنْ َكا َنلَ ُهنَّولَ ٌد َفلَ ُكم‬
َ‫َّالر ُبعُم َّماَت َر ْكتُ ْمِإ ْنلَ ْمي‬ َ ْ ُ ‫الر ُبعُم َّماَت َر ْكنَم ْنَب ْعد َو‬ ُ َ َ َْ ْ ُ َ َ

‫ُك ْنلَ ُك ْم َولَ ٌد‬


ِ ‫صيَّ ٍةتُوصونَبِهاأَو َدينٍوإِنْ َكا َنرجلٌيورثُكَاَل لَةًأَ ِوامرأَةٌولَهأَ ٌخأَوأُ ْخٌت َفلِ ُكلِّو‬
‫اح ٍد‬ ِ ‫فَِإنْ َكا َنلَ ُكمولَ ٌد َفلَ ُهنَّالثُّمنُ ِم َّماَتر ْكتُم ِم ْنب ْع ِدو‬
َ ْ ُ َ َْ َ ُ ُ َ َْ ْ َ ُ َ َ ْ َ ُ َْ

ِ ِ‫ص يَّةًِمنَاللَّ ِهواللَّهعل‬


ِ ‫ض ٍّارو‬ ٍ ِ ‫يالثلُثِ ِم ْنب ْع ِدو‬
ِ َ ُ‫صيَّ ٍةي‬ ِ ُ ‫االس ُدس َفِإنْ َكانُواأَ ْك َثر ِم ْن َذلِ َك َفهم‬ ِ
.‫يم‬
ٌ ‫يم َحل‬
ٌ َُ َ َ َ ‫وصىب َهاأ َْو َديْنغَْي َر ُم‬ َ َ ُّ ‫ش َر َكاءُف‬ ُْ َ ُ ُّ ‫م ْن ُه َم‬

﴾۱۲﴿

''Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.Yaitu : bahagian


seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu.Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.(11) Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris).(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun(12)''. (Q.S. An-Nisa:11-12).
C.  Dzawil Ashabah
Asabah adalah bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab al-furud. Sebagai penerima
bagian sisa, ahli waris ashabah terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan),
terkadang menerima sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena habis
diambil ahli waris ashab al-furud.
Di dalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang terdekatlah yang lebih
dahulumenerimanya. Konsekuensi cara pembagian ini, maka ahli waris ashabah yang peringkat
kekerabatanya berada dibawahnya tidak mendapatkan bagian.Dasar pembagian ini adalah
perintah Rasulullah SAW:

﴾‫احلقواالفراﺋضﺑﺄهﻠﻬﺎفمابقيفألوﱃرجلذكر﴿متفقعليه‬

‘’berikanlah bagian-bagian tertentu kepada ahli waris yang berhak, kemudian sisanya untuk ahli
waris laki-lakiyang utama’’ (Muttafaq ‘alaih).
Didalam kitab ar-Rahbiyyah, ashobah adalah setiap orang yang mendapatkan semua harta
waris, yang terdiri dari kerabat daan orang yang memerdekakan budak, atau yang mendapatkan
sisa setelah pembagian bagian tetap.[5]
Para fuqoha telah menyebutkan tiga macam kedudukan ashobah, yaitu:
1.    Ashobah binafsihi
ialahorang yang menjadi asabah karena dirinya sendiri.Jumlah mereka adalah: Anak laki-laki,
cucu laki-laki dari anak laki-laki dan generasi dibawahnya, bapak dan kakek serta generasi
diatasnya, saudara kandung, saudara sebapak, anak laki-laki saudara kandung, anak laki-laki
saudara sebapak dan generasi dibawahnya, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki
paman kandung, anak laki-laki paman sebapak.
2.    Ashobah bighairihi
ialahorang (perempuan) yang menjadi asabah karena dibawa oleh orang (laki-laki) lain yang
sederajat dan seusbah. Mereka adalah:
a.    Satu anak perempuan atau lebih, yang ada bersama anak laki-laki.
b.    Satu cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih, yang ada bersama cucu laki-laki dari anak
laki-laki.
c.    Satu orang perempuan kandung atau lebih yang ada bersama saudara kandung.
d.   Satu orang saudara perempuan sebapak atau lebih yang ada bersama saudara laki-laki sebapak.
3.    Ashobah ma’a ghairi
ialahsaudara perempuan kandung atau sebapak yang menjadi asabah karena didampingi oleh
keturunan perempuan.mereka adalah:
a.    Seorang saudara perempuan kandung atau lebih, yang ada bersama anak perempuanatau cucu
perempuan dari anak laki-laki.
b.    Seorang saudara perempuan sebapak atau lebih, yang ada bersama anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak laki-laki.[6]

BAB III
KESIMPULAN
Furudlu menurut istilah fiqih mawarits, ialah saham yang sudah ditentukan jumlahnya untuk
warits pada harta peninggalan, baik dengan nash maupun dengan ijma’.Ashabul furud ada dua
macam:
1.    Ashabul furudh sababiyyah.
2.    Ashabul furudh nasabiyyah.
Furudhul muqaddarah adalah bagian-bagian yang telah ditentukan oleh syara’ bagi ahli waris
tertentu dalam pembagian harta peninggalan, atau dengan kata lain presentase bagian yang telah
ditentukan bagiannya.
Furudul Muqaddarah ada enam macam:
1.    Dua pertiga (2/3)
2.    Setengah (1/2)
3.    Sepertiga (1/3)
4.    Seperempat (1/4)
5.    Seperenam (1/6)
6.    Seperdelapan (1/8)
Asabah adalah bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab al-furud. Sebagai penerima
bagian sisa, ahli waris ashabah terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan),
terkadang menerima sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena habis
diambil ahli waris ashab al-furud.Para fuqoha telah menyebutkan tiga macam kedudukan
ashobah, yaitu:
1.    Ashobah binafsihi
2.    Ashobah bighairihi
3.    Ashobah ma’a ghairi

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Alyasa. Ahliwaris Sepertalian Darah, Jakarta: INIS, 1998


Asepidris.blogspot.com/2009_12_01_archive.html
Ash-Shidieqy, T.M. Hasbi.Fiqih Mawaris (Hukum-hukum Warisan dalam Syari’at Islam),
Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Rafiq, Ahmad. Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

[1]Prof. T.M. Hasbi Ash-Shidieqy. Fiqih Mawaris (Hukum-hukum Warisan dalam Syari’at
Islam),(Jakarta: Bulan Bintang, 1967), Hlm. 74.
[2]Alyasa Abu Bakar. Ahliwaris Sepertalian Darah,(Jakarta: INIS, 1998), Hal. 140.
[3]Asepidris.blogspot.com/2009_12_01_archive.html
[4]Drs. Ahmad Rafiq, MA. Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. 2, Hal.
54.
[5]Alyasa Abu Bakar. Ahliwaris Sepertalian Darah,(Jakarta: INIS, 1998), hal. 252.
[6] Sajuti Thalib, S.H. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), Cet.
6, Hal. 114-115.

Anda mungkin juga menyukai