Anda di halaman 1dari 7

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
TAHUN 2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang


Pendidikan merupakan salah satu hal yang utama yang mampu mempengaruhi pola
pikir dan perilaku baik seseorang maupun kelompok. Pendidikan sebagai salah satu sarana untuk
mencerdaskan individu, baik itu cerdas dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Pada dasarnya  pendidikan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia.
Pendidikan diperlukan oleh manusia agar secara fungsional manusia diharapkan mampu
memiliki kecerdasan baik kecerdasan intelligence, spiritual maupun emosional untuk menjalani
kehidupannya dengan bertanggung jawab, baik secara pribadi, sosial maupun profesional.
Kita tidak dapat menghindari adanya suatu kelompok yang terbentuk dalam kehidupan
bermasyarakat,. Baik itu karena terbentuk dengan sendirinya, maupun terbentuk dengan
terstruktur dan direncanakan. Sehingga dalam suatu masyarakat, akan terbentuk beberepa
kelompok yang saling berinteraksi dalam masyarakat tersebut. Usaha untuk saling berinteraksi
antar kelompok disebut dengan hubungan antar kelompok.
Pembahasan bagaimana peran pendidikan dalam mempengaruhi hubungan antar
kelompok akan dibahas dalam makalah ini. Serta korelasi antara pendidikan dan hubungan antar
kelompok sehingga mampu menciptakan suatu masyarakat multicultural yang di dalamnya
terdapat kelompok plural, serta mampu menuju  masyarakat yang harmonis dalam masyarakat
yang majemuk.

B.  Rumusan Masalah


1.      Apa pengertian kelompok?
2.      Bagaimana hubungan antar kelompok?
3.      Bagaimana korelasi antara pendidikan dan hubungan antar kelompok?
 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kelompok


Kehidupan manusia yang tidak lepas dari kehidupan berkelompok karena pada dasarnya
manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia mempunyai jiwa sosial yang terdiri dari fikiran dan
perasaan. Keduanya akan menghasilkan kehendak yang kemudian menjadi suatu bentuk
tindakan. Sikap dan tindakan inilah yang kemudian menjadi landasan jasmaniah manusia sebagai
makhluk biologis. Menurut Abdul Rahmat:
 “Pergaulan manusia pada awalnya dimulai dari kelompok kecil dalam masyarakat, yang
kemudian disebut keluarga. Dari keluarga inilah kemudian tercipta pengalaman-pengalaman
(social experiences) yang nantinya mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan kepribadian
seseorang.”[1]

Menurut Joseph S. Roucek dalam Abullah Idi, mengatakan bahwa “Suatu kelompok
meliputi dua atau lebih manusia yang diantara mereka terdapat beberapa pola interasi yang dapat
dipahami oleh para anggotanya atau orang lain secara keseluruhan.” Sedangkan menururt Mayor
Polak dalam Abdullah Idi, mengatakan bahwa “Kelompok sosial adalah suatu group, yaitu
sejumlah orang yang ada antara hubungan satu sama lain dan hubungan itu bersifat sebagai
sebuah struktur.”[2] Hal tersebut juga dikatakan oleh Sajogyo dan Pujiwati Sajogyo bahwa
“Kelompok terbentuk karena adanya relasi sosial yang bersifat langsung antara anggota-
anggotanya dalam soal-soal yang pokok atau penting.”[3]
Menurut Rogers dalam Abdul Rahmat, mengemukakan bahwa kelompok adalah
“Composed of People, in interaction or communication and, together physically, with common
interest or goals.”[4] Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa kelompok adalah sekumpulan
dari beberapa orang yang berinteraksi atau berkomunikasi dan hidup bersama dengan
kepentingan atau tujuan yang sama.
Berdasarkan definisi kemompok di atas, dapat disimpulkan bahwa kelompok adalah 
sebagai suatu kumpulan dari  dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan terstruktur dan
saling berinteraksi satu sama lain, sehingga mengakibatkan tumbuhnya rasa solidaritas antar
sesama anggota.
Menurut Charles Harton Colley dalam Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati
membagi kelompok menjadi dua bagian, yaitu kelompok primer (Primary Group) dan kelompok
sekunder (Secondary Group).
“Kelompok primer atau face to face group  merupakan kelompok sosial yang paling sederhana,
di mana anggotanya saling mengenal serta ada kerja sama yang erat. Contohnya keluarga,
kelompok sepermainan, dan lain-lain. Sedangkan kelompok sekunder adalah kelompok yang
terdiri dari banyak orang, yang sifat hubungannya tidak berdasarkan pengenalan secara pribadi
dan juga tidak langgeng. Contohnya hubungan kontrak jual beli.”[5]

Jadi, hubungan dan interaksi di dalam sebuah keluarga dan hubungan antar teman dekat
merupakan bagian dari kelompok primer, di mana mereka saling mengenal dengan baik sosok
pribadi tersebut sehingga terjalin kedekatan antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan,
hubungan yang terjadi antara seorang pembeli dan penjual merupakan bagian dari kelompok
sekunder, di mana hubungan mereka hanya sebatas interaksi saling membutuhkan dalam
hubungan jual beli.

B.     Hubungan Antar Kelompok


Menurut Homans dalam Abdul Rahmat mengemukakan bahwa ada tiga konsep tentang
kelompok sosial, yaitu kegiatan, interaksi dan perasaan.[6] Kegiatan merupakan perilaku
seseorang yang tampak mengenai suatu bentuk peristiwa yang dilakukan oleh para aggotanya.
Misalnya seseorang yang mencari buku di perpustakaan untuk mengerjakan tugas kelompok.
interaksi merupakan segala macam bentuk kegiatan yang mampu merangsang seseorang untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Misalnya dalam mengerjakan tugas kelompok perlu adanya
komunikasi antar anggota. Perasaan merupakan suatu hal yang muncul secara subjektif, baik
pada setiap anggota kelompok maupun antar kelompok. Misalnya, rasa tidak suka kepada
seseorang yang ditimbukan karena adanya pebedaan pendapat antara anggota kelompok yang
satu dengan anggota yang lain. Hal ini menimbulkan suatu prasangka terhadap antar anggota
kelompok maupun antar kelompok.
Prasangka merupakan suatu hal wajar yang timbul bila terjadi hubungan antara dua
kelompok yang berlainan. Manusia sadar akan kesamaan dalam kalangannya sendiri dan merasa
solider dengan kelompok yang diikutinya. Sebaliknya, timbul rasa tidak suka terhadap orang
yang berbeda. Perasaan itulah yang menimbulkan perasaan loyalitas terhadap kelompok sendiri
dan rasa bermusuhan terhadap semua yang mengancam rasa kekompakan itu.
Menurut S. Nasution mengatakan bahwa “Pada umunya orang tidak mau terang-terangan
mengaku bahwa ia berprasangka dan biasanya mencari perlindungan di belakang alasan-alasan
yang mulia.”[7] Hal itu disebabkan karena pada umumnya seseorang akan lebih menjaga perasaan
kepada orang yang ia prasangkai. Menurut S. Nasution mengatakan bahwa “Prasangka bukanlah
suatu insting yang dibawa lahir, melainkan sesuatu yang dipelajari. Karena prasangka itu
dipelajari, maka dapat diubah atau dikurangi dan dapat pula dicegah timbulnya.”[8] Soerjono
Soekanto dan Budi Sulistyowati mengatakan bahwa “Paham prasangka dalam kelompok-
kelompok sosial haruslah dihindari karena kelompok-kelompok sosial merupakan lawan
individu, keduanya hanya dapat dimengerti bila dipelajari di dalam hubungan antara yang satu
dengan yang lain.”[9]

Jadi, sebuah prasangka yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu kelompok seharusnya
diminimalkan, karena prasangka itu mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak harmonis
antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Selain itu, prasangka juga menimbulkan
masalah-masalah sosial dan kesenjangan sosial dalam suatu masyarakat.

C.    Korelasi Antara Pendidikan dan Hubungan Antar Kelompok


Dunia pendidikan yang di dalamnya terdapat berbagai jenis sifat manusia dan berasal dari
kelompok sosial yang berbeda-beda, mengakibatkan adanya pembentukan komunikasi yang
dibangun dari sisi pribadi yang sama. Seseorang akan mencari teman bicara yang memiliki
pandangan yang sejalan dan cocok dengan pribadinya. Menurut Abdullah Idi, murid-murid di
sekolah sering menunjukkan perbedaan asal kesukuan/etnis, agama, adat istiadat dan kedudukan
sosial. Berdasarkan perbedaan itu mungkin timbul golongan minoritas di kalangan murid-murid,
yang tersembunyi atau nyata. Kelompok dalam sekolah dapat dikategorikan berdasarkan:[10]
Pertama, status sosial orang tua murid. Status sosial orang tua murid sangat
mempengaruhi pergaulan antar siswa. Selain faktor kecocokan berdasarkan pribadi seseorang,
murid sering melihat kondisi orang tua dari temannya tersebut. Tidak sedikit murid yang berasal
dari kalangan atas memilih berteman dengan anak yang selevel dengan dirinya atau bahkan lebih
tinggi darinya, mereka tidak mau berteman dengan anak yang levelnya berada di bawahnya.
Kedua, hobi/minat/kegemaran. Sekolah yang memfasilitasi hobi/minat/kegemaran murid-
muridnya melalui ekstrakurikuler tak jarang malah mengakibatkan munculnnya kelompok-
kelompok murid. Anak-anak yang emosionalnya dibangun melalui ikatan antar anggota di klub-
nya itu cenderung bergaul dengan teman seklubnya dibanding dengan teman yang bukan dari
klub yang diikutinya itu. Misalnya, murid yang mengikuti ekstrakurikuler musik, dia akan lebih
suka berteman dengan teman yang menyukai musik juga dibanding berteman dengan teman yang
suka menulis (jurnalistik).
Ketiga, intelektualitas. Tingkat kepandaian di antara siswa terkadang membuat murid-
murid memilih berteman dengan anak yang lebih pandai, sehingga murid-murid yang merasa
dirinya kurang pandai akan canggung berteman dengan anak yang pandai tersebut dan
berkumpul dengan anak yang tingkat kepandaiannya sama. 
Keempat, jenjang kelas. Pembagian kelas-kelas yang ada di sekolah membuat murid-
murid selalu bersama dengan teman sekelasnya, tidak jarang mereka membuat kelompok-
kelompok yang tersusun dari murid-murid di kelasnya. Misalnya siswa kelas I jarang kita jumpai
berteman dengan kelas diatasnya seperti kelas IV,V,VI.
Kelima, agama. Peluang terbentuknya kelompok dapat berawal dari kesamaan agama,
murid akan merasa nyaman dengan teman yang seiman. Apabila hendak melakukan diskusi
keagamaan akan lebih mudah dan tidak berpikir panjang untuk menanyakan hal aqidah dengan
temannya itu. Namun, menurut Abdullah Idi, “Hal ini bukanlah faktor dominan di kalangan anak
sekolah.”[11]
Keenam, asal daerah. Daerah yang sama terkadang mendorong siswa untuk berhubungan
lebih dekat dibandingkan berhubungan dengan siswa yang memiliki daerah berbeda. Namun
menurut Abdullah Idi, “Hal tersebut bukan merupakan factor dominan. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar siswa di sekolah tersebut berasal dari daerah yang sama.”[12]
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, Abdullah Idi memberikan beberapa
upaya yang dapat dilakukan pendidik atau sekolah untuk mengatasi masalah yang muncul dalam
interaksi antar kelompok, di antaranya, sebagai berikut :
1.      Pemberian informasi, diskusi kelompok, hubungan pribadi, dan sebagainya.
2.      Guru dapat menceritakan bagaimana setiap kelompok itu sangat berpengaruh terhadap kelompok
lain.
3.      Menanamkan nilai-nilai toleransi antar siswa.
4.      Membuka kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan interaksi sosial.
5.      Menggunakan teknik bermain peranan atau sosiodrama.
6.      Menggunakan kegiatan ekstra kulikuler.[13]
Jadi, masalah yang terjadi dalam hubungan antar kelompok dapat diselesaikan melalui
pendidikan.  Di mana, dalam pendidikan diajarkan bagaimana berinteraksi dengan sesama
manusia dan bagaiamana menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi. Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, maka kemampuan dalam menyelesaikan masalah semakin mudah diatasi.

BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan

1.    Kelompok adalah  sebagai suatu kumpulan dari  dua orang atau lebih yang mempunyai
hubungan terstruktur dan saling berinteraksi satu sama lain, sehingga mengakibatkan tumbuhnya
rasa solidaritas antar sesama anggota.
2.    Menurut Homans dalam Abdul Rahmat mengemukakan bahwa ada tiga konsep tentang
kelompok sosial, yaitu kegiatan, interaksi dan perasaan. Ketiga konsep tersebut dapat
meningkatkan rasa solidaritas antar anggota kelompok.
3.    Masalah yang terjadi dalam hubungan antar kelompok dapat diselesaikan melalui pendidikan. 
Di mana, dalam pendidikan diajarkan bagaimana berinteraksi dengan sesama manusia dan
bagaiamana menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, maka kemampuan dalam menyelesaikan masalah semakin mudah diatasi.
DAFTAR PUSTAKA

Rahmat, Abdul. Sosiologi Pendidikan. Gorontalo: Ideas Publishing. 2012.


Idi, Abullah. Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2013.
Nasution, S. Sosilogi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2010.
Sajogyo; Pujiwati Sajogyo. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Gajah Mada University  Press. 1996.
Soekanto, Soerjono; Budi Sulistyowati. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2013.

[1] Abdul Rahmat, Sosiologi Pendidikan,Gorontalo: Ideas Publishing, 2012, hlm. 45.
[2] Abullah Idi, Sosiologi Pendidikan : Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 117.
[3] Sajogyo dan Pujiwati Sajogyo, Sosiologi Pedesaan,Yogyakarta : Gajah Mada
University  Press, 1996, hlm 105.
[4] Abdul Rahmat, Op.Cit., hlm.45
[5] Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013, hlm. 116.
[6] Abdul Rahmat, Op. cit., hlm. 45.
[7]  S. Nasution, Sosilogi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, hlm. 48.
[8]  Ibid., hlm. 49.
[9] Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Op.cit., hlm. 107.
[10]  Abdullah Idi, Op cit., hlm. 126-127.
[11] Ibid., hlm. 127.
[12] Abdullah Idi, Loc cit.
[13] Ibid., hlm. 128.

Anda mungkin juga menyukai