Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Salah Satu Mata Kuliah Ekonomi Islam yang diampu oleh
Dr. H.Syamsul Hadi Senen, M.M dan Masharyono, S.Pd., MM
Disusun oleh:
Ulfia Nurfadilah 1300348
Annisa Rahmawati 1302056
Yoga Apriyadi 1301730
Muhammad Nizar Januar 1301728
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, karena atas rahmat dan karunia-
Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tema makalah ini adalah
“Konsep Kepemilikan Dalam Islam”. Dalam makalah ini kita menyajikan dan mengupas
tentang konsep kepemilikan di dalam Islam
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik penulis, pembaca
maupun khalayak umum.
Kami menyadari dalam menyusun makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran membangun, sehingga menjadi
perbaikan pada makalah berikutnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................2
BAB PEMBAHASAN..........................................................................................................................3
A. Konsep Harta.............................................................................................................................3
B. Konsep Kepemilikan................................................................................................................16
1) Macam-macam Kepemilikan...............................................................................................18
2) Sebab-sebab Kepemilikan....................................................................................................25
C. Pemanfaatan Kepemilikan.......................................................................................................27
a) Aspek Pengelolaan dan Pemanfaatan Kekayaan..................................................................28
b) Pengembangan Hak Milik....................................................................................................29
c) Karakteristik Hak Manfaat Atau Pemanfaatan Atas Sesuatu Harta......................................30
d) Penggunaan Kepemilikan (Infaqul-Mal)..............................................................................31
D. Distribusi Kekayaan.................................................................................................................33
a) Distribusi Antar Individu Manusia.......................................................................................33
b) Distribusi Oleh Negara........................................................................................................38
c) Aplikasi Pengeluaran Kas Baitul Mal..................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................43
3
BAB
PEMBAHASAN
A. Konsep Harta
Harta di dalam bahasa Arab disebut al-mal atau jamaknya al-amwal (Munawir,
1984). Harta (al-mal) menurut kamus Al-Muhith tulisan Al Fairuz Abadi, adalah ma
malaktahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai). Menurut istilah syar’i
harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal
menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi dan hibah
atau pemberian (An-Nabhani, 1990). Di dalam Al Quran, kata al mal dengan berbagai
bentuknya disebut 87 kali yang terdapat dalam 79 ayat dalam 38 surat. Berdasarkan
pengertian tersebut, harta meliputi segala sesuatu yang digunakan manusia dalam
kehidupan sehari-hari (duniawi), seperti uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan,
perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan pakaian termasuk
dalam katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang
harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia.
Islam telah menggambarkan jalan yang suci dan lurus bagi umatnya guna
memperoleh harta yang halal dan baik. Dibawah ini disebutkan beberapa cara meraih
harta dalam islam:
Meraih harta secara langsung dari hasil keringatnya sendiri.
Inilah yang sering di puji oleh islam, yaitu meraih harta dengan jerih payah
keringatnya sendiri selama hal itu berada pada koridor yang telah ditentukan oleh
Allah dan ini merupakan cara meraih harta yang paling mulia dalam islam. Islam
adalah satu-satunya agama samawi yang memuliakan pekerjaan bahkan
memposisikan pekerjaan sebagai ibadah disisi-Nya. menjadikannya asas dari
kebaikan didunia dan akhirat. Pada surat Al-Mulk ayat:15 Allah memerintahkan kita
untuk berjalan di muka bumi guna meraih kehidupan:
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah buat kamu,maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Mu. Dan hanya kepadaNya kamu
kembali (setelah) dibangkitkan.”
4
“… dan orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah;dan
orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.”
Harta warisan
Dalam islam harta warisan adalah salah satu jalan yang diperbolehkan guna meraih
harta kekayaan. Ini disebut meraih harta secara tidak langsung. Dalam artian si-
penerima harta,tidaklah bersusah payah untuk mendapatkannya. Karena itu adalah
peninggalan dari oarng yang meninggal (ayah atau keluarga dekatnya). Kepemilikan
yaitu seseorang memiliki wewenangan untuk bertindak atas apa yang ia miliki. Tetapi
ketika hubungan yang mengikat antara si-pemilik harta dengan harta yang ia miliki
terputus disebabkan wafatnya si-pemilik, maka harus ada pemilik baru yang
menggantikan wewenang kepemilikan harta yang ia miliki. Dan Islam menjadikan
orang yang paling dekat hubungannya dengan si-mayit yang menerima wewenang
dalam kepemilikan harta si-mayit. Ini sesuai dengan fitrah manusia. Dalam hal ini
yang paling dekat adalah anak dan keluarga terdekat.
“Dan berikanlah kepada mereka, sebagian harta Allah yang telah Dia berikan
kepada kalian.” (QS Al-Nur:33)
Allah Swt langsung menisbatkan (menyandarkan) harta kepada diri-Nya yang berarti
harta milik Allah. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata‘min malillah’, yang
bermakna Allah merupakan pemilik mutlak atas seluruh harta yang ada di dunia.
5
“Dialah (Allah) yang telah menciptakan apa saja yang ada di muka bumi buat kalian
semuanya”. (QS Al Baqarah: 29)
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang
beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala
yang besar”. (QS Al Hadid:7)
Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan oleh manusia yang bukan
secara mutlak hak milik karena pada hakikatnya pemilik sebenarnya ada pada Allah.
Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah
disyariatkan Allah, oleh karena itu manusia tidaklah boleh kikir dan boros. Allah
memberikan kuasa kepada manusia untuk mengusahakan, memanfaatkan dan
melestarikan harta yang ada di bumi dengan bijak serta memerintahkan manusia untuk
senantiasa berupaya mencari harta agar dapat memilikinya.
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah : 188)
Dalam ayat di atas memberikan pengertian bahwa harta ketika dikaitkan dengan
manusia berarti dimiliki oleh manusia sebatas hidup di dunia, dan itu pun bila diperoleh
dengan cara yang legal menurut syariah Islam.
Pelapangan rezeki yang diberikan Allah tidak berkaitan dengan keimanan serta
kekufuran seseorang, seperti firman Allah:
“Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.
mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding
dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS Ar Ra’d : 26)
6
Dalam ayat ini, Allah melapangkan rezeki bagi sebagian hambaNya dan
menyempitkan bagi sebagian yang lain, sesuai dengan tuntutan kebijaksanaanNya.
Pelapangan dan penyempitan rezeki ini tidak berkaitan dengan keimanan dan kekufuran.
Barangkali Allah melapangkan bagi orang kafir dengan maksud memperdayakan dan
menyempitkan orang Mu’min dengan maksud menambah pahalanya.
Allah melapangkan rezeki bagi siapa pun yang Dia kehendaki di antara para
hambaNya yang pandai mengumpulkan harta dan mempunyai kemudahan dalam
mendapatkan harta dimana hal ini tidak berhubungan dengan keimanan dan kekufuran
seseorang. Pada hakikatnya, kenikmatan dunia jika dibandingkan dengan kenikmatan
akhirat hanyalah sedikit dan akan cepat hilang. Oleh sebab itu, mereka yang berharta di
dunia tidak berhak untuk membanggakan dan menyombongkan bagian dari dunia yang
diberikan Allah kepada mereka.
Dalam memandang dunia, Islam selalu bersikap tengah-tangah dan seimbang. Islam
tidak condong kepada paham yang menolak dunia secara mutlak, yang menganggap dunia
adalah sumber kejahatan yang harus dilenyapkan, yaitu dengan menolak kawin dan
melahirkan keturunan, berpaling dari kesenangan kenikmatan dunia dari hal makanan,
minuman, pakaian, perhiasan, dan kesenangan- kesenangan lainnya serta menolak kerja
keras untuk kepentingan duniawi.
Dunia adalah jalan menuju tempat yang lebih kekal. Karena dunia ini merupakan
jalan, maka ia dibuat sedemikian rupa agar manusia yang melewatinya merasa aman dan
sampai ke tujuan dengan selamat. Misalnya, kita dapat melihat ungkapan Al- Quran
tentang umat Islam yang hidup moderat : ” Karena itu Allah memberikan kepada mereka
pahala di dunia dan pahala di akhirat”
7
Diantara sahabat merupakan pedagang sukses dan orang kaya seperti Ibnu Affan dan Ibnu
Auf dan ada juga yang hidup sederhana dan zuhud seperti Abud Darda dan Salman.
Menurut Islam, harta adalah sarana untuk memperoleh kebaikan. Miskin bukanlah
sebagai symbol manusia bertaqwa sebagaimana pandangan para penganut sufisme. Harta
dalam konteks Al-Quran adalah suatu kebaikan (khairun).
“ Dan sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada khairun
(kebaikan).” Pencinta kebaikan di sini meksudnya pencinta harta. Ayat ini menerangklan
bahwa cinta akan harta adalah tabiat manusia.
“ Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawaban, ‘Apa
saja khairun (harta) yang kamu nafkahkan hendaknya diberikan kepada ibu, bapak,
kaum kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan …”
“ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan khairun (harta) yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak
dan karib kerabatnya secara ma’ruf …”
Pada ayat lainnya, Allah berfirman “ … Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah
yang tidak disangka-sangknya … ”
Maka harta menurut Islam adalah perhiasan kehidupan dunia dan pengokohannya
seperti pilar.
Firman Allah : “ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi
amalam-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta
lebih baik untuk menjadi harapan.”
Dalam ayat ini, dengan harta tercapailah kemakmuran dunia dari segi materi dan
dengan anak tercapai kemakmuran dunia dari segi kelangsungan hidup.
Allah mengaruniakan sebagian kekayaan dan kehidupan nyaman yang diperuntukkan
bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa sebagai balasan atas amal saleh dan
syukurnya. Sedangkan kehidupan yang sempit, kemiskinan dan kelaparan sebagai
hukuman yang dipercepat Allah bagi mereka yang berpaling dari jalan Allah. Pentingnya
harta menurut Islam tampak dari kenyataan bahwa Allah menurunkan surat yang
berisikan peraturan tentang keuangan, cara penggunaannya, anjuran bermualah dengan
cara menuliskannya dan perlunya dua orang saksi.
8
9
Harta merupakan sesuatu yang dibanggakan
Harta bukan sebagai ukuran untuk menilai seseorang. Mulia atau hinanya seseorang
tidak dinilai dari harta yang dimilikinya. Harta hanyalah kenikmatan dari Allah sebagai
fitnah atau ujian untuk hambaNya apakah dengan harta tersebut mereka akan bersyukur
atau akan menjadi kufur.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar.”
Allah menguji seseorang dengan perasaan takut terhadap musuh, musibah, kelaparan
dan kekurangan, serta kekurangan harta. Dalam ayat ini memberi pengertian bahwa iman
tidak menjamin seseorang untuk mendapatkan rizki yang banyak, kekuasaan dan tidak
ada rasa takut. Bagi seseorang yang mempunyai kesempurnan iman maka tiap musibah
akan semakin membersihkan jiwanya.
“ Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang besar.”
Harta merupakan poros penghidupan seseorang dan sebagai sarana untuk mencapai
segala keinginan dan hasrat duniawi. Untuk mendapatkan harta manusia rela menanggung
10
kesusahan dan kesulitan, namun hukum syara menhgaruskan\ manusia untuk mencari
harta halal dan mendorong manusia untuk berhemat. Begitupula untuk memelihara harta,
mereka bersedia susah payah namun hawa nafsunya saling bertempur dengan hati
nuraninya sendiri dimana syariat mewajibkan penyisihan atas harta dimana ada hak-hak
tertentu yang harus dikeluarkan untuk zakat, nafkah lainnya, baik untuk anak dan istri,
dll.
Sedangakan cinta kepada anak sering membawa orang sanggup melakukan dosa dan
perbuatan jahat demi dapat membiayai mereka, menjadi kikir untuk berzakat, dan jika
terjadi kesedihan atas anak mereka maka mereka membenci Tuhan atau mementangnya.
Fitnah yang ditimbulkan oleh anak lebih besar dari pada yang ditimbulkan oleh harta,
sehingga mereka mau saja mencari harta haram dan mengambil harta orang lain secara
batil demi anak.
Maka dalam ayat ini, seorang mukmin seharusnya dapat memelihara diri dari kedua
fitnah, yaitu pertama mendapatkan harta halal dan menafkahkan pada jalan kebaikan. Dan
juga menjaga fitnah anak dengan mendidik mereka dengan sebaik-baiknya dan melatih
mereka melaksanakan perintah agama.
” Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang
mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun tetapi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang
berlipatganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka aman sentosa di
tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).”
Dalam ayat di atas Al Quran mengingatkan manusia bahwa harta dan anak yang
dibanggakan tidak menjamin dapat menyelamatkan dirinya dari siksaan Tuhan.
Terkadang manusia sifat kebanggaan yang berlebihan tersebut dapat menjadikan sikap
kikir serta mengumpulkan harta dengan sangat perhitungan dan menjadikan kecintaan
terhadap harta membabi buta. Akhirnya dengan pandangan bahwa harta dapat membawa
kesentosaan hidup maka nereka beranggapan harta adalah segalanya dalam hidup. Dalam
Al Quran tersirat bahwa hak pemilikan manusia terhadap harta, hanya berfungsi untuk
menunjukkan “pemilik” dan “penanggung jawabnya”. Adapun fungsi harta dalam
pendistribusian sesuai dengan syariat adalah nilai yang patut diupayakan oleh pemilik
harta. Contohnya seperti golongan orang kaya dan angkuh dengan hartanya dan tidak mau
11
mengakui kerasulan Nabi Muhammad sedangkan mereka tahu, misalnya Abu Jahal Ibnu
Hisyam, Abu Lahab , Abu Ibnu Khalaf , Walid Ibnu Mughairah dan juga Karun.
Harta merupakan salah satu dari beberapa kekuatan suatu bangsa dan penopang
kebangkitan dan kemajuan. Namun, harta bisa membahayakan suatu bangsa dan
rakyatnya, juga membahayakan etika spiritual mereka, jika mereka menjadikannya suatu
prioritas dalam hidup ini. Islam mengajarkan kepada pengikutnya bahwa harta bukan
segala-galanya dalam kehidupan ini, namun ironisnya kebanyakan manusia sangat
berambisi dan memusatkan seluruh perhatiannya untuk mengumpulkan harta sebanyak-
banyaknya dengan mengabaikan sesuatu yang lebih besar yaitu kehidupan di akhirat.
Sesungguhnya etika yang mulia dan norma yang tinggi dari iman, amal saleh dan
akhlak mulia. Itulah kekayaan yang tidak pernah habis dan pusaka-pusaka yang tidak
akan sirna.oleh sebab itu Al Quran mengarahkan ambisi dan angan-angan orang-orang
mukmin kepadanya seperti firman Allah:
Islam tidak melupakan unsur materi dan eksistensinya dalam memakmurkan bumi dan
meningkatkan taraf hidup manusia. Namun, Islam selalu menekankan bahwa kehidupan
berekonomi yang baik walaupun itu merupakan target yang perlu dicapai dalam
kehidupan dan bukanlah tujuan akhir. Peran harta dianggap sangat penting seperti untuk
berjihad dengan memperjuangkan kemaslahatan yang diperintahkan Allah, harta
menopang manusia upaya untuk bertahan dalam kondisi kehidupan yang wajar, dah harta
dapat digunakan menjadi bagian penjagaan kehidupan (contonya dalam Al Quran
memberikan alasan bahwa kekuasaan laki laki atas wanita di antaranya karena prestasinya
dalam mencukupi kehidupan wanita), dll.
Manusia diciptakan bukan untuk menjalankan aktivitas ekonomi, tetapi ekonomi
diciptakan untuk manusia. Manusia diciptakan untuk Allah, akal dan hatinya hanya
terfokus kepadaNya, sehingga jadwal kehidupannya harus diatur sesuai dengan keridhaan
Allah. Inilah arti ibadah yang dijadikan Allah sebagai kewajiban manusia.
12
“ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka member Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha
Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”
Seperti yang diuraikan di atas, manusia tidak mulia karena harta dan kekayaannya
atau kedudukannya tetapi karena hatinya bertaqwa kepada Allah dan takut kepada Nya. Ia
ikhlas berbuat meskipun tidak memiliki apa-apa dan berpakaian compang-camping.
“ Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk luar tetapi Allah melihat pada hati
manusia.”
Dalam surat ini diketahui bahwa cirri-ciri orang yang berbahagia adalah yang dapat
menjalankan muamalah dengan Allah secara baik, dan muamalah mereka dengan sesama
makhluk. Allah dalam surat ini juga memberikan keringanan kepada umatnya dari
kesukaran menuju kemudahan, dimana Allah meminta kepada manusia agar mengerjakan
shalat malam dengan waktu sepertiga malam sesuai yang dapat kamu kerjakan (karena
manusia tidak sanggup menentukan waktu secara pasti). Sehingga dengan keringanan
yang diberikan, manusia dapat mengerjakan shalat yang difardhukan sehingga hati
13
mereka tidak lalai dan perbuatan mereka tidak keluar dari apa yang ditentukan agama.
Serta tunaikan zakat yang wajib, dan memberikan pinjaman yang baik kepada Allah
dengan jalan menafkahkan harta di jalan kebaikan, untuk tiap individu dan golongan,
sehingga dapat membawa manfaat bagi mereka dalam kemajuan peradaban dan sosial.
Dan jaminan terhadap apa yang manusia kerjakan di dunia, merupakan sedekah atau
nafkah yang kamu belanjakan di jalan Allah (seperti shalat, puasa, haji, dll) akan
mendapatkan pahala di sisi Allah. Sehingga menusia yang mulia adalah manusia yang
dapat membelanjakan hartanya di jalan Allah dan beribadah sesuai yang diperintahkan
Allah (amal-amalnya).
Zakat Harta
Setelah Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang bertaqwa itu mendirikan sholat,
maka dilanjutkan dengan menceritakan bahwa manusia harus menunaikan zakat dan
berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir. Seperti dalam firmanNya:
14
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian.”
Di antara mereka ada sebagian ada sebagian yang harus dipisahkan oleh mereka yang
dikhususkan untuk orang yang melarat meminta, atau orang yang menahan diri dari
meminta-minta, yang tidak memperoleh sesuatu yang membuatnya tidak berhajat, namun
tidak meminta kepada orang lain (disebut orang yang mahrum atau tudak kebagian) dan
tidak suka berbuat seperti itu supaya diberi sedekah. Orang miskin yang tidak mendapat
bagian maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.”
Allah memerintahkan Rasul untuk mengambil harta orang-orang yang tidak ikut
perang, kaum mu’min yang kaya dan orang mu’min lainnya. Zakat ini dimaksudkan
untuk membersihkan manusia dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta
benda dan tamak dan dapat mensucikan yaitu menanamkan sifat-sifat kebaikan dalam
hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka sehingga mereka patut
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan Rosul mendoakan bagi orang-orang
yang mau bersedekah dengan memohonkan ampun mereka untuk ketenangan hati mereka
dan Allah Maha Tahu taubat mereka serta keikhlasan mereka dalam menyerahkan
sedekah tersebut.
Etika Terhadap Harta
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini
tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya
15
dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi
Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Mencari harta
Motif utama dari manusia dalam mencari harta adalah untuk memenuhi kebutannya
sendiri. Mencari harta dapat dilakukan dengan cara berproduksi atau melakukan aktivutas
jual-beli. Namun dalam islam aktivitas mencari harta dilakukan dengan nuansa motif dari
dalam diri manusia yang hendaknya diawali dengan rasa keterikatan pada Allah SWT.
Dalam mencari harta tidak lepas dari etika – etika yang menjadi rujukan manusia dalam
melakukan aktivitas, khususnya dalam ekonomiagar segala sesuatu yanag dilakukan tidak
keluar dari jalur-jalur islam.
Dalam mencari harta, islam mengungkapkan bahwa aktivitas jual – beli merupakan
aktivitas utama yang dapat dilakukan. Bagi mereka yang meiliki sejumlah harta dapat
diinvestasikan hartanya. Sedangkan yang tidak menpunyai akses pada aktivitas pencarian
16
harta tadi, Negara akan menjamin pemenuhan kebutuhan minimal mereka, atau dengan
memberikan kesempatan untuk dapat mengakses aktivitas tad
Mengelola Harta
Mengelola harta dalam hal ini adalah bagaimana menusia menyikapi harta yang telah
ada di tangannya. Ketika harta telah ada pada tangan manusia, maka manusia dituntut
untuk dapat menegola harta tersebut dengan bijaksana. Dalam islam pengelolaan harta
harus dilakukan dengan sebaik mungkin, karena dapat menjauhkan diri manusia dari
kondisi kefakiran. Sebab jika kondisi ini terjadi akan meningkatkan potensi mereka untuk
melakukan hal-hal yang merugikan bagi orang lain.
Disamping pengelolaan harta yang baik, hal ini juga mempunyai pengaruh pada
tingkat sosial yang memperhatikan kepentingan umum. Aktivitas yang pengelolaan harta
juga memperhatikan factor – factor sosial yang menjadi parameter prioritas
keputusannya. Sebagi contohnya kemana harta tersebut diinvestasikan, dibidang apa,
membantu masyarakat mena dan sebagainya.
Maka dengan demikian pengelolaan harta dalam islam dilakukan dengan
mempertimbangkan bebrapa hal :
1. kemaslahatan masyarakat secara luas
2. dengan cara – cara yang telah disyari’atkan oleh agama islam
3. harta tidak menjadi tumpuan perhatian
Dalam implikasinya, hal – hal yang dapat dilakukan dalam mengelola harta
adalah beraktivitas jual beli termasuk sewa-menyewa, investasi dan
menyimpan. Dengan jual beli dan investasi masyarakat dapat mengembangkan
hartanya dan juaga memberikan kesempatann pada masyarakat lain untuk
dapat mengembangkan harta – harta mereka.
Membelanjakan harta
Untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya, ketika manusia telah memiliki harta
maka yang akan dilakukannya adalah mengeluarkan harta tersebut. Dalam konteks
aktivitas ekonomi modern, hal tersebut adalah membelanjakan sebagian harta yang
mereka miliki baik yang bersumber dari pendapatan regular maupun yang dari
simpanannya.
Dalam membelajkan harta, seseorang hendaknya ada dalam batasan yang dianjurkan
oleh syari’ah. Tidak boleh bermewah – mewahan dan berhemat dalam mengeluarkannya.
17
Namun islam melarang untuk tidak kikir atas harta yang telah dimilikinya. Artinya
manusia dituntut untuk bisa berhati – hati dalam berkonsumsidan membelanjakan
hartanya demi kepentingan mayarakat sosial.
Dalam analisa makro ekonomi, kegiatan belanja ( konsumsi ) meryupakan variable
yang sangat positif bagi kinerja perekonomian. Ketika perekonomian mengalami
kelesuan, maka kebijakan utama yang diambil adalah bagaimana cara untuk dapat
mengerakkan ekonomi dengan meningkatkan daya beli mesyarakat. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kemapuan daya beli masyarakat menjadi suatu kebijakan ekonomi.
Yusuf Qardhawi menyebutkan batasan – batasan dalam pembelenjaan harta dalam
islam menjadi dua hal :
a. batasan pertama adalah batasan terhadap barang yang memang haram dalam islam
untuk dimanfaatkan.
b. Batasan yang kedua adalah batasan belanja yang sifatnya untuk pemborosan dan
bermewah – mewahan.
Maka satu hal yang membedakan perekonomian antara islam dengan konvensiaonal
adalah adanya instrument yang bersifat sosial dalam islam dan dapat meningkatkan
kemampuan daya beli masyarakat. Sementara dalam konvensional, melihat harta sebagai
sebuah asat yang dipergunakan untuk terus diperbanyak berdasarkan tujuan kepuasan
individu. Meskipun antara Islam dan konvensional sama – sama mengakui hak-hak
kepemilikan, tapi nilai- nilai moral islam yang membuat keduanya berbeda. Islam
memandang segala sesuatu yang ada di dunia ini termasuk harta pada haikatnya adalah
milik Allah SWT semata. Sehingga harta menjadi sebuah tanggung jawab yang sangat
besar bagi yang memilikinya.
B. Konsep Kepemilikan
Kepemilikan sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang
artinya memiliki. Memiliki bisa diartikan dengan menguasai, memiliki suatu benda
berarti mempunyai hak mengatur dan memanfaatkan selama tidak terdapat larangan
dalam syariah. Dengan kepemilikan, pihak yang tidak memiliki tidak berhak
menggunakan suatu benda tanpa izin dari pemiliknya. Keterkaitan antara manusia dan
hartanya berbeda dengan keterkaitan manusia dengan kepemilikan. Sebab kepemilikan
bukanlah hal yang bersifat materi. Dalam Islam kepemilikan membutuhkan legalisasi dari
syariah. Menurut syariah, kepemilikan adalah sebentuk ikatan antara individu terkait
dengan harta, yang pada tahapan proses kepemilikan disyaratkan berbagai hal yang
18
disebut asal usul kepemilikan (asbab al-milkiyyah). Selanjutnya syariah mengharuskan
beberapa aturan dalam pengoperasian harta dan dalam mengembangkannya.
Menimbang kepemilikan adalah hal yang lazim bagi manusia, maka Allah memberi
kekuasaan kepada manusia untuk memiliki apa saja yang ada di bumi, namun dengan
catatan manusia harus selalu sadar akan statusnya yang hanya diberi, maka ia harus
tunduk kepada yang memberi. Kepatuhan ini harus terwujud mulai saat manusia
melakukan proses kepemilikan, hingga dalam menggunakan hak miliknya. Semua harus
sesuai dengan syariah yang merupakan ekspresi kehendak Allah. Maka dari itu Islam
mengesahkan kepemilikan yang bermula dari proses yang sah, begitu juga sebaliknya,
Islam sangat mengecam praktik investasi yang melanggar aturan, terutama jika dengan
akibat merugikan masyarakat. Jika perugian terhadap masyarakat ini terjadi, maka si
pemilik berarti tidak menghiraukan masyarakat, yang sebenarnya dalam pandangan Islam
mempunyai hak dalam kepemilikan individu. Prinsipnya, Islam tidak mengakui segala
kepemilikan yang muncul dari cara yang menyimpang.
Islam memandang pandangan yang khas mengenai masalah harta dimana semua
bentuk kekayaan pada hakikatnya adalah milik Allah. Demikian juga harta atau kekayaan
di alam semesta ini yang telah dianugerahkan untuk semua manusia sesungguhnya
merupakan pemberian dari Allah kepada manusia untuk dapat dimanfaatkan sebaik-
baiknya bagi kesejahteraan seluruh umut manusia sesuai dengan kehendak Allah.
Pandangan ini bertolak belakang secara diametral dengan pandangan kaitalisme
maupun sosialisme yang keduanya berakar pada pandangan yang sama yaitu
materialisme. Menurut pandangan kapitalisme bahwa kekayaan yang dimiliki seseorang
adalah merupakan hak milik mutlak baginya yang kemudian melahirkan pandangan
kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari pandangan hak asasi manusia (HAM).
Dimana manusia bebas menentukan cara memperoleh dan memanfaatkannya. Dari
pandangan inilah yang mendorong manusia berusaha menciptakan suatu metode atau
teknologi produksi yang modern untuk dapat memperoleh keuntungan dan pendapatan
yang sebesar-besarnya.
Pada sisi lain, islam juga tidak selaras dengan pandangan sosialisme yang tidak
menempatkan harkat dan martabat manusia pada proporsinya yang tidak mengakui
adanya hak milik individu. Semua kekayaan adalah milik negara dan negara akan
memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Individu akan diberikan sebatas yang diperlukan
dan dia akan bekerja sebatas kemampuannya. Alat-alat produksi dikuasi negara dan elit
19
politik menguasai fasilitas-fasilitas publik sehingga dari sini kemudian mendorong
munculnya praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian
bagi negara dan rakyat.
Islam memiliki suatu pandangan yang khas mengenai masalah kepemilikan yang
berbeda dengan pandangan kapitalisme dan sosialisme. Islam tidak mengenal adanya
kebebasan kepemilikan karena pada dasarnya setiap perilaku manusia harus dalam
kerangka syariah termasuk masalah ekonomi. Islam mengatur cara memperoleh dan
pemanfaatan kepemilikan.
1) Macam-macam Kepemilikan
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (dalam Veithzal dan Andi, 2009) ada tiga
macam kepemilikan yaitu:
20
jembatan, bandara, masjid, dan sebagainya. Barang yang menguasai hajat hidup
orang banyak seperti emas, perak, minyak, dan sebagainya.
c. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah), adalah izin syariat atas setiap harta yang
hak pemanfaatannya berada ditangan khalifah sebagai kepala negara. Termasuk
dalam kategori ini adalah harta ghanimah (perampasan perang), fa’i, kharaj,
jizyah, 1/5 harta rikaz (harta temuan), ‘ushr, harta orang murtad, harta yang tidak
memiliki ahli waris dan tanah hak milik negara.
Senada dengan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, menurut H. Akhmad Mujahidin
(2013:50) dari beberapa keterangan nash-nash syara’ dapat dijelaskan bahwa
kepemilikan terklasifikasi menjadi tiga jenis, yakni:
1. Kepemilikan Pribadi (al-milkiyah al-fardhiyah/private property)
21
telah dinyatakan oleh Alloh SWT sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas
secara bersaa-sama dan tidak boleh dikuasi oleh hanya seorang saja atau golongan
tertentu. Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun
dilarang memilikinya.
Benda ini tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan
pokok masyarakat dan jika tidak dipenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan
persengketaan. Jenis harta ini dijelaskan dalam hadis Nabi SWA yang berkaitan
dengan sarana umum: “Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga
hal: air, padang rumput dan api”. (HR Ahmad dan Abu Daud) dan dalam hadis
lain terdapat tambahan: ”...dan harganya haram” (HR Ibnu Majah).
Air yang dimaksud dalam hadis diatas adalah air yang masih belum diambil, baik
yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang mengalir disungai atau danau
bukan air yang dimiliki oleh perorangan dirumahnya. Oleh karena itu, pembahaan
para fuqaha mengenai air sebagai kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang
belum diambil tersebut. Adapun al-kala’ adalah padang rumput, baik rumput
basah atau hijau (al-khala’), maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di
tanah, gunung atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya, sedangkan yang
dimaksud al-nar adalah bahan bakar dan segala sesuatu yang terkait dengannya,
termasuk didalamnya adalah kayu bakar.
Bentuk kepemilikan umum tidak hanya terbatas pada tiga macam benda tersebut
saja, melainkan juga mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat
dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan dalam
kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, hal ini disebabkan karena adanya indikasi
yang terkait dengan masalah ini memandang bahwa benda-benda tersebut
dikategorikan sebagai kepemilikan umum karena sifat tertentu yang terdapat di
dalamnya sehingga dikategorikan sebagai kepemilikan umum.
22
Menurut Sholahuddin (dalam H. Akhmad Mujahidin, 2013), negara harus
menyediakan fasilitas sarana umum agar seluruh lapisan masyarakat dapat
menikmati dengan menggunakannya sebagai kepemiikan bersama, seperti:
Mina adalah sebuah tempat yang terletak diluar Kota Makkah al-Mukarramah
sebagai tempat singgah jamaah haji setelah menyelesaikan wukuf di Padang
Arafah dengan tujuan melaksanakan syiar ibadah haji yang waktunya sudah
ditentukan, seperti melempar jumrah, menyembelih hewan hadd, memotong
23
qurban, dan bermalam di sana. Makna “munakh man sabaq” (tempat mukin orang
yang lebih dahulu sampai) dalam lafadz hadis tersebut adalah bahwa Mina
merupakan tempat seluruh kaum muslimin, barangsiapa yang lebih dahulu sampai
dibagain tempat di Mina dan ia menempatinya, maka bagian itu adalah bagiannya
dan bukan merupaka milik perorangan sehingga orang lain tidak boleh
memilikinya (menempatinya).
Demikan juga halnya dengan jalan umum manusia berhak lalu lalang di atasnya,
oleh karenanya, penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang
membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa, hal tersebut juga berlaku
untuk masjid, termasuk dalam kategori ini kereta api, instalasi air dan listrik,
tiang-tiang penyyangga listrik, saluran air dan pipa-pipanya, semua adalah milik
umum, sehingga tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Dalil yang digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini
adalah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang Abyan bin
Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang
garam di daerah Ma’rab. “Bahwa in datang kepada Rasulullah Saw. Meminta
(tambang) garam, maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang
laki-laki yang bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang
engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang
bagaikan air mengalir.”. lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik
kembali tambang itu darinya”. (HR Abu Daud).
Barang tambang semcam ini menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki
oleh perorangan atau beberapa orang dan juga tidak boleh hukumnya memberikan
24
keistimewaan kpada seseorang tau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya,
tetapi penguasa wajib membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat.
Negaralah yang wajib menggali dan memisahkannya dari benda-bdenda lain,
menjualnya dan menyimpan hasilnya di bait al-mal.
Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas
dapat dimiliki oleh perorangan atau perserikatan, hal ini didasarkan kepada hadis
Nabi Saw. Yang mengizinkan kepada Bilal bin Harith al-Muzani memiliki barang
tambang yang sudah ada dibagian Najd dan Tihamah, hanya saja mereka wajib
membayar khumus (seperlima) dari yang diproduksinya kepada bait al-mal.
25
f. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal
al-fadla).
g. Harta yang ditinggalkan orang-orang murtad.
h. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negera, harta
yang didapat tidak sejalan dengan syara’.
i. Harta lain milik negara, misalnya padang pasir, gunung, pantai,laut dan tanah
mati yang tidak ada pemiliknya.
26
2) Sebab-sebab Kepemilikan
Dari ketentuan syara’perihal sebab atau cara memperoleh kepemilikan, yakni: (1)
Ihrazul Mubahat, (2) Al-Uqud, (3) Al-Khalafiyah, (4) Al-Tawalludu minal mamluk.
a. Ihrazul Mubahat (Menimbulkan Kebolehan)
Ihrazul mubahat adalah memiliki sesuatu (benda) yang menurut syara’boleh dimiliki
atau disebut juga dengan Istila' al-Mubahat. Istila’al-Mubahat adalah cara pemilikan
melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki pihak lain. Al-
Mubahat adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi
(dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan hukum (mani’al-syar’iy) untuk
memilikinya. Misalnya,air yang masih beradadalam sumbernya, ikan yang berada di
lautan, hewan dan pohon kayu di hutan, dan lainnya. Tujuan penguasaan atas al-
mubahat (harta babas) dengan tujuan untuk dimiliki. Adapun cara penguasaan harta
bebas tersebut yaitu:
a) Ihya’al-mawat, yaitu membuka tanah (ladang) baru yang tidak dimanfaatkan
orang lain, tidak dimiliki dan berada diluar tempat tinggal penduduk
b) Berburu hewan. Allah menghalalkan buruan kecuali jika pemburu sedang
berihram.
b. Al-Uqud (Perjanjian)
Akad berasal dari bahasa arab yang artinya perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga
bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang
berakad. Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan
syara’yang menimbulkan pengaruh terhadap objek akad. Akad merupakan sebab
kepemilikan yang paling kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan menusia yang
membutuhkan distribusi harta kekayaan.
c. Al-khalafiyah (Pewarisan)
Al-khalafiyah artinya pewarisan. Al-khalafiyah ada dua macam yaitu :
a) Khalafiyah Syakhsyun‘an Syakhsyin (Warisan)
Penggantian atas seseorang oleh orang lain. Misalnya dalam hal hukum waris
seorang ahli waris menggambarkan posisi pemilikan orang yang wafat terhadap
harta yang ditinggalkan.
b) Khalafiyah Syaa’in ‘an syaa’iiin (Menjamin kerugian)
Penggantian banda atas benda yang lainnya, seperti terjadi pada tadlmin
(pertanggungan) ketika seseorang merusak atau menghilangkan harta benda orang
27
lain, atau pada ta’widl (pengganti kerugian) ketika seseorang mengenakan atau
menyebabkan kerusakan harta benda orang lain.
d. Al-Tawallud Minal Mamluk (Berkembang Biak)
Al-Tawallud minal amluk adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainya.
Setiap peranakan atau sesuatu yang tumbuh dari harta milik adalah milik pemiliknya.
Prinsip ini hanya berlaku pada harta benda yang dapat menghasilkan sesuatu yang
lain/baru (produktif), seperti bertelur, berkembang biak, menghasilkan air susu, dan
lain-lain. Dari ketentuan tersebut diatas terkandung nilai-niali filosofis:
a) Nilai rahmat (kemurahan). Diperolehkannya seseorang memiliki sesuatu yang
mubah, seperti air, rumput, pepohonan di hutan, binatang buruan, dan lain-lain,
dengan syarat sesuatu itu tidak berada dalam pemilikan/kekuasaan orang lain serta
maksud untuk memiliki sesuatu tersebut, menunjukkan begitu besar kemurahan
Allah pada manusai yang dengan pemilikan secara mudah tanpa ganti rugi itu
menjadikan ia memiliki keudahan di dalam memenuhi kepentingan hidup serta
menunjukkan perannya sebagai khalifah sekaligus hamba Allah. Lebih dari itu,
kebolehannay menempuh cara pemilikan seperti ini merupakan pengejawantahan
dari watak Islam‘rahmatan lil‘alamin.
b) Nilai penghargaan, kepastian dan kerelaan. Aqad/transaksi dikategorikan sebagai
suatu cara memperoleh hak milik menurut Islam. Dalam akad terdapat sua atau
lebih pihak yang melakukan perjanjian, masing-masing pihak dihargai memiliki
posisi yang sama, masing-masing memiliki sesuatu yang bernilai sejak awal yang
sama-sama dihargai dalam aqad, hal ini mencerminkan bahwa dalam ketentuan
Islam terkandung nilaipenghargaan terhadap setiap kepemilikan. Selanjutnya di
dalam akad yang terdapat persyaratan ijab dan qabul dan syarat-syarat lain
menunjukkan adanya nilai kepastian hukum dalam kepemilikan serta nilai
kerelaan.
c) Nilai tanggungjawab dan jaminan kesejahteraan keluarga. Salah satu cara yang
diatur Islam untuk memperoleh pemilikan adalah melalui khalafiyah syakhsy ‘an
syakhsy atau kewarisan. Waris menempati kedudukanmuwaris (orang yang
mewariskan) dalam memiliki harta yang ditinggalkan oleh muwaris. Pewarisan
harta utamanya merupakan kosekuensi dari hubugan nasab dan pernikahan. Hak
mewarisi bagi waris sangat kuat posisinya, muwaris harus memperhatikan nasib
warisnya. Sehingga untuk berwakaf, sadakah, hibah, dan lain-lain, ada batas
28
maksimalnya (1/3), hal ini mencerminkan nilai jaminan/kometmen Islam pada
kesejahteraan keluarga lewat pengaturan kepemilikan.
C. Pemanfaatan Kepemilikan
Pemanfaatan kepemilikan. Kapitalisme tidak membuat batasan tatacaranya (kaifiyah-
nya) dan tidak ada pula batasan jumlahnya (kamiyah-nya). Sebab pada dasarnya sistem
ekonomi kapitalisme adalah cermin dari paham kekebasan (freedom/liberalism) di bidang
pemanfaatan hak milik. Sedangkan ekonomi Islam, menetapkan adanya batasan tatacara
(kaifiyah-njz), tapi tidak membatasi jumlahnya (kamiyah-nyz). Seorang muslim boleh
memiliki harta berapa saja, sepanjang diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariah Islam.
Dari penjelasan diatas kemudian dibangun suatu aturan dalam proses pemanfaatan
harta kekayan (tasharuf al-mal) yaitu siapa sesungguhnya yang berhak mengelola dan
memanfaatkan harta tersebut. Pemanfaatan pemilikan (tasharuf al-mal) adalah cara
bagaimana sesuai dengan hukum syariat seseorang memperlakukan harta kekayaannya.
Ada dua bentuk pemanfaatan harta yakni pengembangan harta (tasharuf al-mal) dan
penggunaan harta (infaqu al-mal) :
29
masyarakat dari resiko timbulnya kerusakan-kerusakan. Kegiatan sektor produksi
ditekankan melalui pengembangan berbagai sektor ekonomi sedangkan negara adalah
merupakan fasilitator dan regulator sehingga kegiatan ekonomi dapat berjalan secara
seimbang dan mengikuti kaidah dan aturan yang telah ditentukan serta tidak
menyalahi kaidah ajaran islam. Keseimbangan antara perilaku konsumsi yang islami
dan kegiatan produksi yang menekankan aspek-aspek moral akan mendorong pada
terciptanya kehidupan ekonomi yang sejahtera dan adil.
Sesungguhnya mekanisme pengelolaan kepemilikan dalam perspektif ekonomi islam
secara umum adalah bagaimana menggerakkan sektor ekonomi secara riil sehingga
produksi barang dan jasa dapat berkembang dan dapat menciptakan lapangan kerja
sehingga kesejahteraan masyarakat terus meningkat. Ada pembagian yang tegas antara
kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum sehingga ada
keseimbangan antara kebebasan indivisu dalam bekerja dan berusaha untuk mendapatkan
kekayaan dengan perlindungan atas kekayaan publik untuk kesejahteraan dan
kemaslahatan seluruh masyarakat.
30
5. Memiliki Harta Benda secara Sah, bahwa hak seseorang dalam penggunaan harta
harus benar-benar mempertahankan kaedah syariat. Tidak dibenarkan seseorang
menggunakan harta yang bukan miliknya.
6. Penggunaan Berimbang, pemanfaatan kekayaan menyangkut pemenuhan hidup
manusia. Penggunaan kekayaan yang sering memperhatikan aspek jasmani, rohani,
dimensi duniawi dan ukhrohi akan mencapai kemanfaatan yang optimal.
7. Pemanfaatan Sesuai dengan Hak, bahwa pemanfaatan kekayaan harus disesuaikan
dengan kebutuhan dan perioritas yang tepat. Kesalahan dalam menetapkan perioritas
akan menyebabkan kesalahan dalam merumuskan kebijakan sehingga akan berdampak
pada tidak tercapainya tujuan yang diharapkan.
8. Kepentingan kehidupan, bahwa pemanfaatan kekayaan harus selalu dikaitkan dengan
kepentingan hidup manusia.
31
mengembangkan harta yang telah dimiliki, wajib terikat dengan ketentuan Islam
berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum Islam memberikan tuntunan
pengembangan harta melalui cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang
Islami dalam bidang pertanian, perindustrian, maupun perdagangan. Selain Islam juga
melarang mengembangkan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktifitas riba, judi,
serta aktifitas terlarang lainnya.
Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (collective
property) itu adalah hak Negara, karena Negara adalah wakil Umat. Meskipun
menyerahkan kepada Negara untuk mengelolanya, namun Allah SWT telah melarang
Negara untuk mengelola kepemilikan umum (collective property) tersebut dengan jalan
menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu. Sementara mengelola dengan selain
dengan cara tersebut diperbolehkan, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah
dijelaskan oleh syara'.
Adapun pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan Negara
(state property) dan kepemilikan individu (private property), nampak jelas dalam hukum-
hukum baitul mal serta hukum-hukum mu'amalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan
sebagainya. As-Syari' juga telah memperbolehkan Negara dan individu untuk mengelola
masing-masing kepemilikannya, dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hukum-
hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.
32
5. Setelah pemakaian harta tersebut, pihak pemakai harus segera mengembalikan
harta tersebut kepada pemiliknya, kecuali kalau ada sesuatu hal berkenaan dengan
tuntutan pemilik resmi berkenaan kerugian yang diterima pada hartanya.
Dalam sistem ekonomi islam, belanja untuk keperluan yang bersifat konsumtif ini
tetap diatur oleh hukum sya’riat, sehingga ada belanja yang dibolehkan oleh sya’riat, ada
juga belanja yang diharamkan oleh sya’riat.
Sistem ekonomi islan telah memberi aturan bahwa penggunaaharta yang telah dimiliki
oleh manusia itu telah diatur oleh hukum sya;riat islam secara terperinci. Aturan
penggunaan harta dalam ekonomi islam itu dimulai dalam bentuk status hukum yang
paling umum, yaitu mubah, kemudian yang terperinci, seperti wajib, sunnah, maupun
makruh.
a. Mubah
Berbagai keperluan belanja yang telah dipilih manusia ini memiliki konsekuensi
pahala maupun siksa dari Allah SWT. Maksudnya adalah, apabila manusia ingin
membelanjakan hartanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, seperti
untuk membeli makanan, minuman, pakaian, dsb. Maka berbagai pilihan terhadap
beberapa jenis kebutuhan yang akan dibeli manusia itu hukumnya adalah mubah.
b. Wajib
33
akan mendapat pahala dari Allah SWT. Sedangkan apabila dia tidak mau
membelanjakan harta untuk keperluan yang wajib tersebut, maka dia akan diancam
dengan siksa dari Allah SWT.
c. Sunnah
d. Makruh
Penggunaan atau pembelanjaan harta ada yang hukumnya makruh. Hukum yang
makruh maksudnya adalah pembelanjaan harta yang dianjurkan untuk tidak
dikeluarkan. Jika pemilik harta tersebut tidak membelanjkannya, maka dia akan
mendapat pahal dari Allah SWT. Sedangkan apabila dia tetap membelanjakannya,
maka tidak masuk kategori dalam pembuatan dosa.
Ini sama halnya dengan perbuatan Boros. Tapi yang dimaksudnya israf dan tadzbir
yang hukumnya haram yaitu membelanjakan uangnya atau hartanya untuk perkara yang
diharamkan oleh Allah SWT.
34
b. Tarif
c. Taqtir (kikir)
Yang dimaksudkan taqtir yang diharamkan adalah kikir karena tidak mau
menafkahkan uangnya atau hartanya untuk keperluan yang haq, seperti : tidak menafkahi
orang yang menjadi tanggungan kewajibannya, tidak mau membeyar zakat, tidak mau
membantu orang yang sangat membutuhkan pertolongan, dsb.
D. Distribusi Kekayaan
Jika kita mencermati ,maka kita dapat memahami bahwa harta kekayaan yang ada
dunia ini menurut pandangan system ekonomi Islam dibagi menjadi tiga, yaitu:
kepemilikan individu, kememilikan umum dan kepemilikan Negara.
Dari kemepilikan individu tersebut, kita dapat mengetahui bahwa individu atau swasta
dapat melakukan pengelolaan (tasharruf) sesuai dengan ketentuan hukum
syari’at.Bagaimana ketentuan pengelolaan kepemilikan individu oleh manusia.
Dalam konteks distribusi harta kekayaan antara individu tersebut, selanjutnya dapat
kita kelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu distribusi secara ekonomis dan
secara non ekonomis. Selanjutnya akan kita uraikan satu persatu.
35
1. Distribusi Antar Individu Secara Ekonomis
kita dapat memahami bahwa yang dimaksud dengan distribusi antar individu secara
ekonomis adalah terjadinya proses distribusi antar individu di dalam pasar syari’ah.
Mengapa di sebut pasar syaria’ah ?
Penulis menyebut “pasar syari’ah” dengan maksud adalah bahwa semua transaksi
antar individu yang berkaitan dengan barang dan jasa yang dilakukan dipasar tersebut
adalah dengan cara-cara (mekanisme) yang mengikuti aturan-aturan syari’at Islam.
36
Produksi pertanian yang telah dihasilkan seorang petani tentu tidak akan dikonsumsi
semuanya, melainkan tentu ada yang di jual oleh petani untuk memperoleh uang. Dari
uang inilah seorang petani dapat membeli barang kebutuhan yang lain, misalnya adalah
pakaian. Transaksi di bidang perdagangan inilah yang menyebabkan terjadinya proses
distribusi harta dari petani kepada pedagang pakaian.
Pakaian yang dijual dipasar tentu dibeli oleh pedagang dari produsen yang bergerak di
bidang industri pakaian jadi.Dengan demikian, telah terjadi distribusi harta dari pedagang
pakaian kepada produsen pakaian jadi. Selanjutnya uang yang diterima pengusaha
pakaian ini digunakan untuk apa ?
Ternyata uang diperolehnya sebagian digunakan untuk melakukan transaksi yang lain,
yaitu untuk membayar upah bagi pekerjanya. Di sinilah bidang ketenagakerjaan (ijarotul-
ajir) dalam Islam telah mengaturnya, sehingga terjadi distribusi harta dari seorang
majikan (musta’jir) kepada pekerjanya (ajir).
Darimana seorang majikan dapat memiliki sebuah industri pakaian jadi ?Jawabanya,
ternyata dia memperoleh modal dari rekan-rekannya yang memiliki banyak kelebihan
harta.Harta yang berlebihan itu kemudian diserahkan kepadanya dengan melalui aqad
syirkah mudharabah.
Dengan terjadi aqad syirkah mudharabah inilah seseorang yang sebenarnya tidak
memiliki modal sama sekali sebelumnya, dapat melalui membangun perusahaannya. Dari
bidang investasi ini, kita juga dapat melihat bahwa telah terjadi distribusi harta dari
pemilik modal (shahibul maal) kepada pengelola (mudharib).
Distribusi antara individu yang bersifat non ekonomis tentu berbeda dengan distribusi
antar individu yang bersifat ekonomis.Untuk distribusi yang bersifat non ekonomis adalah
37
terjadinya distribusi antar manusia yang muncul karena adanya dorongan untuk
memperoleh pahala dari sisi Allah SWT.
Amaliah individu yang bersifat non ekonomis, namun dapat mewujudkan distribusi
harta di tengah-tengah manusia adalah: zakat, nafkah, shodaqoh, hadiah, hibah dsb.
Seluruh amal tersebut dorongannya adalah dalam rangka untuk memperoleh pahala dari
Allah SWT, namun dengan status hukum yang bertingkat, ada yang wajib, ada juga yang
sunnah.
Inilah keunggulan khusus yang diberiakan oleh system ekonomi Islam. Distribusi
secara non ekonomi ini tdak akan dapat di temukan dalam system ekonomi apapun buatan
manusia. Sebab, motif yang mendorong bagi terjadinya distribusi harta kekayaan ini tidak
hanya berdimensi dunia, akan tetapi juga memiliki dimensi akherat.
Hal ini tentu berbeda dengan motif yang diajarkan oleh system buatan akal manusia,
yang memberikan dorongan untuk mengeluarkan harta dengan motif non ekonomi itu
hanyalah sekedar karena rasa belas kasihan atau hanya sekedar untuk menjungjung nilai-
nilai kemanusiaan semata.Dimensi itu tentu saja hanya dalam konteks kehidupan di dunia
ini saja, tidak lebih dari itu.
Dengan kata lain, di dalam lingkaran motif non ekonomi buatan manusia,
dorongannya hanya dalam wilayah perasaan saja. Tidak lebih dari itu. Artinya, jika
perasaannya sedang tersentuh oleh rasa belas kasihan dengan sesama manusia, karena iba
melihat kemiskinan atau iba melihat mereka yang tertimpa musibah bencana alam
misalnya, maka hal itu akan mendorong manusia untuk mengeluarkan hartanya demi
kepentingan untuk menolong sesama manusia.
Namun, jika perasaan-perasaan itu tidak muncul dalam dirinya, apalagi jika rasa
kikirnya sedang mendominasi, maka orang tersebut tidak akan terdorong untuk
mengeluarkan hartanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa wilayah dorongannya hanya
“mubah-mubah” saja. Jika dia ingin memberi, maka dia akan memberi, namun jika
sedang merasa enggan, maka dia akan enggan untuk memberi. Sangat tergantung dengan
suasana hati dan perasaannya.
Hal itu tentu berbeda dengan pengaturan yang ada dalam system ekonomi Islam. Jika
status hukum dari pengeluaran harta itu adalah wajib, maka suasana perasaan apapun
tidak akan ditolelir. Apakah dia sedang senang, sedang kikir, sedang malas, sedang tidak
38
suka, tapi dia tetap wajib mengeluarkan harta tersebut, maka dia akan diancam dengan
azab dari Allah SWT, bahkan dia bias diajukan di hadapan pengadilan dan bias
mendapatkan sangsi hukuman dari Negara.
Oleh karena itu, ada jargon yang sangat terkenal dalam ekonomi Islam, yaitu: “di
dalam harta orang kaya itu ada haknya orang miskin “. Maksudnya, jika ada orang yang
kaya dan hartanya sudah melampaui batas (nishob) zakat (misalnya), maka 2,5% dari
harta yang dimiliki tersebut bukan miliknya lagi, namun sudah menjadi hak milik fakir
miskin. Dia sudah tidak berhak lagi untuk memanfaatkan harta tersebut, walaupun harta
itu dia peroleh dengan cucuran keringatnya sendiri.
Demikian juga bagi seorang suami, apabila dia memiliki harta, namun dia enggan atau
kikir untuk memberi nafkah kepada istri dan anaknya, maka istrinya itu berhak untuk
mengambil harta suaminya untuk kebutuhan dirinya maupun kebutuhan anak-anaknya,
sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Hadits Nabi SAW:
Demikian juga untuk amalan yang status hukumnya sunnah. Ada dimensi yang tidak
akan didapatkan dalam aturan buatan manusia. Keyakinan yang diajarkan dalam system
ekonomi Islam akan memberi dorongan yang luar biasa pada seseorang yang mau
mengeluarkan hartanya di jalan Allah SWT, yaitu akan diberi pahala yang besar dan
Allah SWT juga berjanji akan dlipatgandakan hartanya di dunia ini, maupun di akherat
kelak. Allah SWT berfirman:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan
(rezeki) dan kepada Nya lah kamu di kembalikan” (QS.Al-Baqarah:245).
39
yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui”(QS.Al-Baqarah: 261).
Dengan demikian, dorongan yang di berikan oleh Islam bagi individu untuk
mengeluarkan hartanya dijalan Allah tentu akan lebih besar dan lebih kuat peneruhya di
bandingkan dengan dorongan yang hanya sekedar karena rasa belas kasihan atau hanya
karena mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan semata.
Oleh karena itulah, di dalam system ekonomi Islam dampak yang akan ditimbulkan
oleh dorongan ini diharapkan benar-benar akan dapat memberikan kemakmuran ekonomi
bagi segenap manusia, tidak hanya untuk beberapa gelintir individu manusia saja.
Jika distribusi antar individu yang bersifat non ekonomi ini benar-benar telah menjadi
budaya umat Islam, maka ekonomi Islam akan dapat tumbuh dan berkembang secara
bersama, kemakmuranpun akan dapat dinikmati secara bersama, sebagaimana janji Allah
SWT melalui firman-Nya:
“Allah memusnahkan riba dan menyeburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”(QS.Al-
Baqarrah:276).
Ayat di atas menyatakan bahwa Allah SWT akan memusnahkan riba dan akan
menyuburkan sedekah. Dengan demikian, budaya sedekah benar-benar akan mampu
menyuburkan perekonomian dan sebaliknya, budaya riba akan menghancurkan
perekonomian.
Dalam ekonomi ekonomi kapitalisme, peran Negara agak mirip dengan aktivitas
tersebut dikenal dengan istilah kebijakan fiscal.Kebijakan fiscal adalah kebijakan Negara
dalam penyusunan anggaran belanjanya, baik dari sektor penerimaan maupun dari sektor
belanjanya.Dalam system ekonomi kapitalisme, penyusunan anggaran belanjanya, baik
dari sektor penerimaan maupun dari sektor belanjanya.Dalam ekonomi kapitalisme,
40
penyusunan anggaran belanja Negara dituangkan dalam nota APBN. Sedangkan dalam
system ekonomi Islam, kebijakan penyusunan anggaran Negara dikelola oleh sebuah
lembaga yang bernama Baitul Mal. Apa perbedaan antara konsep penyusunan APBN
dengan konsep penyususnan Baitu Mal dalam konsep Sistem Ekonomi Islam?
Perbedaan prinsip yang paling mendasar antara APBN kapitalisme dengan Baitul Mal
adalah menyangkut sumber-sumber utama pendapatannya dan alokasi
pembelanjaannya.Menurut faham ekonomi kapitalisme, sumber utama pendapatan
Negara yang utama hanyalah berasal dari pajak yang di pungut dari rakyatnya. Sedangkan
pengeluaran (belanja) utamanya hanyalah untuk membiayai kebutuhannya sendiri,
seperti: administrasi Negara, operasi departemen pemerintah, pertahanan keamanan dsb.
Dari penjelasan singkat di atas kita dapat memahami, jika pemerintah harus
menetapkan anggaran defisit, maka dari keempat sumber dana untuk menutupi
kekurangan anggarannya, sesungguhnya hanya bermuara pada satu kata, yaitu :hutang !
Inilah lingkaran setan dari ekonomi kapitalisme, yang tidak pernah akan berujung
pangkal.
Prinsip di atas tentu sangat berbeda dengan system penyusunan Baitul Mal. Sumber-
sumber penerimaan Baitul Mal, sama sekali tidak mengandalkan dari sektor pajak.
41
Bahkan Negara sedapat mungkin untuk tidak memungut pajak dari rakyatnya.Sumber-
sumber utama penerimaan Negara untuk Kas Baitul Mal seluruhnya telah digariskan oleh
Syari’at Islam. Paling tidak ada 3 sumber utama Kas Baitul Mal, yaitu (zallum, 1993):
Dari sektor kepemilihan individu, seperti: shodaqoh, hibah, zakat dsb. Khusus untuk
zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain.
Dari sektor kepemilikan umum, seperti: pertambangan, minyak bumi, gas, batubara,
kehutanan dsb.
Dari sektor kepemilihan Negara, seperti: jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, usyur dsb.
Seorang kepala Negara (khalifah) dalam system ekonomi islam memiliki kewenangan
penuh untuk menetapkan anggaran belanjaannya tanpa harus meminta persetujuan majelis
ummat (atau DPR dalam sistem ekonomi kapitalisme).
Demikian juga, penyusunan anggaran Baitul Mal, khalifah juga tidak terikat dengan
tahun fiskal sebagaimana yang ada dalam system ekonomi kapitalisme.Khalifah dalam
menetapkan anggaran belanjanya hanya tunduk dengan garis-garis atau kaidah-kaidah
yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam, berdasarkan pada ketentuan yang telah
digariskan oleh syari’at Islam, agar jangan sampai harta itu berputar di kalangan orang-
orang kaya saja. Allah SWT berfirman:
“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-ornag kaya saja di antara kamu”
(QS.Al-Hasyr:7).
a. Khusus untuk harta di Kas Baitul Mal yang berasal dari zakat, maka pos
pengeluarannya wajib hanya di peruntukan bagi 8 ashnaf sebagaimana yang telah
ditunjukkan dalam Al-Qur’an.
b. Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari Baitul Mal untuk keperluan jihad dan
menutup kebutuhan orang-orang fakir dan miskin.
c. Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari Baitul Mal untuk memberikan gaji
(kompensasi) atas jasa yang telah dicurahkan untuk kepentingan Negara, yaitu:
pegawai negeri, hakim, tentara dsb.
42
d. Pos pembelajaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat wajib,
dalam arti jika sarana tersebut tidak ada, maka akan menimbulkan kemudharatan bagi
rakyat. Contohnya adalah: pembangunan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit,
masjid dsb.
e. Pos pembelanjaan wajib yang bersifat kondisional, yaitu untuk menanggulangi
terjadinya musibah atau bencana alam yang menimpa rakyat. Contohnya adalah:
terjadinya paceklik, gempa bumi, banjir, angina taufan, tanah longson dsb.
f. Pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemashlahatan rakyat yang bersifat
tidak wajib, dalam arti sarana tersebut hanya bersifat penambahan dari sarana-sarana
yang sudah ada.
4. Pengaturan Pengeluaran Baitul Mal
Mengingat dana yang tersedia dalam kas Baitul Mal bersifat tidak tetap, karena harus
mengikuti besar kecilnya sumber-sumber pedapatan yang masuk ke Kas Baitul Mal, yang
terkadang pemasukannya besar, bias jadi pada saat yang lain pemasukannya justru
mengalami penurunan.
Tata cara pengeluaran yang harus dijadikan pegangan oleh seorang Kepala Negara
(Khalifah) dalam mengatur pembelanjaannya adalah dikembalikan pada jenis-jenis dari
pos pengeluaran sebagaimana yang telah diperinci sebelumnya.
a. Untuk pos pengeluaran yang pertama, maka pengeluaran yang harus di lakukan oleh
seorang khalifah hanya mendasarkan pada banyaknya zakat yang masuk ke kas Baitul
Mal, kemudian disalurkan pada 8 ashnaf sebagaimana yang telah ditentukan dalam
Al-Qur’an.
b. Untuk pos pengeluaran dari butir kedua sampai butir kelima, maka khalifah harus
mengeluarkan harta dari Kas Baitul Mal sebagai kewajiban yang harus segera
ditunaikan oleh Negara terhadap hak-hak yang harus di terima oleh rakyatnya sesuai
dengan kondisinya masing-masing.
c. Jika Kas Baitul Mal mengalami kekurangan, maka harus dilihat lebih lanjut. Jika
pemenuhan kekurangan itu tidak segera diberikan akan dapat menyebabkan terjadinya
kemudharatan yang serius, maka khalifah harus segera mengupayakan pemenuhan
kekurangan harta tersebut.
d. Namun jika pemenuhan kekurangan itu dikhawatirkan tidak akan menimbulkan
kemudharatan yang serius, maka pemenuhan kekurangan tersebut dapat ditunda
43
sampai adanya pemasukan harta lagi, barulah pembayaran harta itu diberikan kepada
mereka yang berhak menerimanya.
e. Sedangkan untuk butir yang keenam, maka pengeluarannya harus mendasarkan pada
ketersediaan Kas Baitul Mal. Jika dalam kas Baitul Mal masih ada kelebihan dana,
maka pengeluaran untuk pos ini dapat dilakukan oleh khalifah.
Dengan demikian, walaupun pertumbuhan ekonomi suatu Negara itu tinggi, namun
jika masih ditemukan ada warga Negara (walaupun hanya satu orang individu) yang
belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, maka pembangunan ekonomi Negara ini
dapat dikatakan telah gagal. Bahkan, penguasannya diancam akan diminta pertanggung
jawaban Allah SWT di akherat kelak. Sesuai dengan Hadits Nabi SAW:
Selanjutnya, selain kebutuhan pokok individu di atas, Kas Baituk Mal juga akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat,yang meliputi: pendidikan,
kesehatan, dan keamanan yang gratis. Oleh karena itu, Negara wajib menjamin agar
seluruh rakyatnya dapat menikmati pendidikan sampai ke jenjang yang setinggi-tingginya
secara gratis, termasuk juga dalam layanan kesehatan maupun keamanan.
44
DAFTAR PUSTAKA
Mujahidin, H. Akhmad. (2013). Ekonomi Islam : Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan
Pasar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rivai, H. Veithzal dan Buchari, Andi. (2009). Islamic Economics : Ekonomi Syariah Bukan
OPSI, Tetapi SOLUSI!. Jakarta : PT Bumi Aksara
Triono, Dwi Condro. (2012). Ekonomi Islam Madzhab Hamfara. Bantil : Irtikaz
Q ardhawi ,Yusuf. (1997). Norma dan Etika Islam. Jakarta : Gema Insani Press
Sholahuddin, (2007). Asas-Asas Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
At-Thariqi, Abdullah Abdul Husain. (2004). Ekonomi Islam, Prinsip Dasar dan Tujuan.
Jakarta : Magistra Insani Press
Munir, Abdul. (2006). Harta Dalam Perspektif Al Quran. Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Salim, M. Firliadi Noor. (2013). Konsep Kepemilikan Dalam Islam. [Online]. Tersedia :
https://www.academia.edu/7415725/Teori_Kepemilikan_Dalam_Islam. Akses 14 Desember
2014.
Sholeh, Akhirul. (2008). Konsep Harta dalam Aspek Ekonomi. [Online]. Tersedia :
Pane, Syahmiruddin. (2012). Pengembangan dan Pemanfaatan Hak Milik dalam Islam.
[Online]. Tersedia : http://syahmiruddinpane.blogspot.com/2012/08/pengembangan-dan-
pemanfaatan-hak-milik.html di akses pada 17 Desember 2014
45
Hafi, Ahmad. (2012). Kepemilikan dalam islam. [Online]. Tersedia :
https://hafies.wordpress.com/2009/07/02/kepemilikan-dalam-islam/ di akses pada 17
Desember 2014
46
LAMPIRAN
Muhammad Nizar
Ulfia Nurfadilah
- Editor
Annisa Rahmawati
Yoga Apriyadi
47