Anda di halaman 1dari 47

Konsep Kepemilikan Dalam Islam

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Salah Satu Mata Kuliah Ekonomi Islam yang diampu oleh
Dr. H.Syamsul Hadi Senen, M.M dan Masharyono, S.Pd., MM

Disusun oleh:
Ulfia Nurfadilah 1300348
Annisa Rahmawati 1302056
Yoga Apriyadi 1301730
Muhammad Nizar Januar 1301728

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MANAJEMEN BISNIS


FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, karena atas rahmat dan karunia-
Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tema makalah ini adalah
“Konsep Kepemilikan Dalam Islam”. Dalam makalah ini kita menyajikan dan mengupas
tentang konsep kepemilikan di dalam Islam
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik penulis, pembaca
maupun khalayak umum.
Kami menyadari dalam menyusun makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran membangun, sehingga menjadi
perbaikan pada makalah berikutnya.

Bandung, Desember 2014

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................2
BAB PEMBAHASAN..........................................................................................................................3
A. Konsep Harta.............................................................................................................................3
B. Konsep Kepemilikan................................................................................................................16
1) Macam-macam Kepemilikan...............................................................................................18
2) Sebab-sebab Kepemilikan....................................................................................................25
C. Pemanfaatan Kepemilikan.......................................................................................................27
a) Aspek Pengelolaan dan Pemanfaatan Kekayaan..................................................................28
b) Pengembangan Hak Milik....................................................................................................29
c) Karakteristik Hak Manfaat Atau Pemanfaatan Atas Sesuatu Harta......................................30
d) Penggunaan Kepemilikan (Infaqul-Mal)..............................................................................31
D. Distribusi Kekayaan.................................................................................................................33
a) Distribusi Antar Individu Manusia.......................................................................................33
b) Distribusi Oleh Negara........................................................................................................38
c) Aplikasi Pengeluaran Kas Baitul Mal..................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................43

3
BAB
PEMBAHASAN

A. Konsep Harta
Harta di dalam bahasa Arab disebut al-mal atau jamaknya al-amwal (Munawir,
1984). Harta (al-mal) menurut kamus Al-Muhith tulisan Al Fairuz Abadi, adalah ma
malaktahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai). Menurut istilah syar’i
harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal
menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi dan hibah
atau pemberian (An-Nabhani, 1990). Di dalam Al Quran, kata al mal dengan berbagai
bentuknya disebut 87 kali yang terdapat dalam 79 ayat dalam 38 surat. Berdasarkan
pengertian tersebut, harta meliputi segala sesuatu yang digunakan manusia dalam
kehidupan sehari-hari (duniawi), seperti uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan,
perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan pakaian termasuk
dalam katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang
harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia.
Islam telah menggambarkan jalan yang suci dan lurus bagi umatnya guna
memperoleh harta yang halal dan baik. Dibawah ini disebutkan beberapa cara meraih
harta dalam islam:
 Meraih harta secara langsung dari hasil keringatnya sendiri.
Inilah yang sering di puji oleh islam, yaitu meraih harta dengan jerih payah
keringatnya sendiri selama hal itu berada pada koridor yang telah ditentukan oleh
Allah dan ini merupakan cara meraih harta yang paling mulia dalam islam. Islam
adalah satu-satunya agama samawi yang memuliakan pekerjaan bahkan
memposisikan pekerjaan sebagai ibadah disisi-Nya. menjadikannya asas dari
kebaikan didunia dan akhirat. Pada surat Al-Mulk ayat:15 Allah memerintahkan kita
untuk berjalan di muka bumi guna meraih kehidupan:

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah buat kamu,maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Mu. Dan hanya kepadaNya kamu
kembali (setelah) dibangkitkan.”

Dalam surat Al-Muzammil ayat:20 Allah menjelaskan bahwa mencari kehidupan


dengan cara bekerja setara kedudukannya dengan berjihad di jalan Allah:

4
“… dan orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah;dan
orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.”

 Harta warisan
Dalam islam harta warisan adalah salah satu jalan yang diperbolehkan guna meraih
harta kekayaan. Ini disebut meraih harta secara tidak langsung. Dalam artian si-
penerima harta,tidaklah bersusah payah untuk mendapatkannya. Karena itu adalah
peninggalan dari oarng yang meninggal (ayah atau keluarga dekatnya). Kepemilikan
yaitu seseorang memiliki wewenangan untuk bertindak atas apa yang ia miliki. Tetapi
ketika hubungan yang mengikat antara si-pemilik harta dengan harta yang ia miliki
terputus disebabkan wafatnya si-pemilik, maka harus ada pemilik baru yang
menggantikan wewenang kepemilikan harta yang ia miliki. Dan Islam menjadikan
orang yang paling dekat hubungannya dengan si-mayit yang menerima wewenang
dalam kepemilikan harta si-mayit. Ini sesuai dengan fitrah manusia. Dalam hal ini
yang paling dekat adalah anak dan keluarga terdekat.

Hakikat Hak Milik

 Allah adalah Pencipta dan Pemilik Harta yang Hakiki


Di dalam ayat-ayat Al-Quran, Allah Swt kadang-kadang menisbatkan dalam ayat-ayat
Al-Quran kepemilikan harta itu langsung kepada Allah Swt.

“Dan berikanlah kepada mereka, sebagian harta Allah yang telah Dia berikan
kepada kalian.” (QS Al-Nur:33)

Allah Swt langsung menisbatkan (menyandarkan) harta kepada diri-Nya yang berarti
harta milik Allah. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata‘min malillah’, yang
bermakna Allah merupakan pemilik mutlak atas seluruh harta yang ada di dunia.

 Harta adalah fasilitas bagi Kehidupan Manusia


Allah adalah pemilik mutlak harta yang kemudian menganugrahkannya kepada umat
manusia. Penganugrahan dari Allah ini dalam rangka memberikan fasilitas bagi
kelangsungan kehidupan manusia. Allah memberikan segalanya kepada manusia
termasuk harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Seperti firman Allah:

5
“Dialah (Allah) yang telah menciptakan apa saja yang ada di muka bumi buat kalian
semuanya”. (QS Al Baqarah: 29)

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang
beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala
yang besar”. (QS Al Hadid:7)

Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan oleh manusia yang bukan
secara mutlak hak milik karena pada hakikatnya pemilik sebenarnya ada pada Allah.
Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah
disyariatkan Allah, oleh karena itu manusia tidaklah boleh kikir dan boros. Allah
memberikan kuasa kepada manusia untuk mengusahakan, memanfaatkan dan
melestarikan harta yang ada di bumi dengan bijak serta memerintahkan manusia untuk
senantiasa berupaya mencari harta agar dapat memilikinya.

 Allah Menganugrahkan Kepemilikan Harta kepada Manusia.


Allah memberi manusia sebagian dari harta-Nya setelah manusia tersebut berupaya
mencari kekayaan, maka jadilah manusia disebut “mempunyai” harta. Hal ini tampak
dalam Al Quran yang menyebutkan harta sebagai milik manusia:

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah : 188)

Dalam ayat di atas memberikan pengertian bahwa harta ketika dikaitkan dengan
manusia berarti dimiliki oleh manusia sebatas hidup di dunia, dan itu pun bila diperoleh
dengan cara yang legal menurut syariah Islam.

Pelapangan rezeki yang diberikan Allah tidak berkaitan dengan keimanan serta
kekufuran seseorang, seperti firman Allah:

“Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.
mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding
dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS Ar Ra’d : 26)

6
Dalam ayat ini, Allah melapangkan rezeki bagi sebagian hambaNya dan
menyempitkan bagi sebagian yang lain, sesuai dengan tuntutan kebijaksanaanNya.
Pelapangan dan penyempitan rezeki ini tidak berkaitan dengan keimanan dan kekufuran.
Barangkali Allah melapangkan bagi orang kafir dengan maksud memperdayakan dan
menyempitkan orang Mu’min dengan maksud menambah pahalanya.

Allah melapangkan rezeki bagi siapa pun yang Dia kehendaki di antara para
hambaNya yang pandai mengumpulkan harta dan mempunyai kemudahan dalam
mendapatkan harta dimana hal ini tidak berhubungan dengan keimanan dan kekufuran
seseorang. Pada hakikatnya, kenikmatan dunia jika dibandingkan dengan kenikmatan
akhirat hanyalah sedikit dan akan cepat hilang. Oleh sebab itu, mereka yang berharta di
dunia tidak berhak untuk membanggakan dan menyombongkan bagian dari dunia yang
diberikan Allah kepada mereka.

Sikap Islam terhadap harta

Dalam memandang dunia, Islam selalu bersikap tengah-tangah dan seimbang. Islam
tidak condong kepada paham yang menolak dunia secara mutlak, yang menganggap dunia
adalah sumber kejahatan yang harus dilenyapkan, yaitu dengan menolak kawin dan
melahirkan keturunan, berpaling dari kesenangan kenikmatan dunia dari hal makanan,
minuman, pakaian, perhiasan, dan kesenangan- kesenangan lainnya serta menolak kerja
keras untuk kepentingan duniawi.

Dunia adalah jalan menuju tempat yang lebih kekal. Karena dunia ini merupakan
jalan, maka ia dibuat sedemikian rupa agar manusia yang melewatinya merasa aman dan
sampai ke tujuan dengan selamat. Misalnya, kita dapat melihat ungkapan Al- Quran
tentang umat Islam yang hidup moderat : ” Karena itu Allah memberikan kepada mereka
pahala di dunia dan pahala di akhirat”

Dalam hadist dijelaskan “ Ketika datang seorang lelaki kepada Rasulullah ia


berkata, “ Ya Rasulullah, apa yang saya ucapkan tatkala meminta kepada Allah?” Nabi
menjawab, “Katakanlah, “Ya Allah, ampunilah saya, selamatkan saya (dari penyakit dan
malapetaka), karuniakan rizki bagiku.’ Sesungguhnya doa-doa ini menghimpun bagimu
kebahagiaan dunia dan akhirat. Ta’awwudz merupakan ungkapan meminta perlindungan
dari Allah, baik dunia dan akhirat. Dengan demikian, sikap jalan tengah merupakan
prinsip dan syiar Islam, seperti para sahabat yang hidup berlimpah harta untuk
kepentingan agama tanpa sedikitpun melupakan kehidupan dunia dan akhiratnya.

7
Diantara sahabat merupakan pedagang sukses dan orang kaya seperti Ibnu Affan dan Ibnu
Auf dan ada juga yang hidup sederhana dan zuhud seperti Abud Darda dan Salman.

Harta adalah Perhiasan Dunia

Menurut Islam, harta adalah sarana untuk memperoleh kebaikan. Miskin bukanlah
sebagai symbol manusia bertaqwa sebagaimana pandangan para penganut sufisme. Harta
dalam konteks Al-Quran adalah suatu kebaikan (khairun).
“ Dan sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada khairun
(kebaikan).” Pencinta kebaikan di sini meksudnya pencinta harta. Ayat ini menerangklan
bahwa cinta akan harta adalah tabiat manusia.
“ Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawaban, ‘Apa
saja khairun (harta) yang kamu nafkahkan hendaknya diberikan kepada ibu, bapak,
kaum kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang  dalam
perjalanan …”
“ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan khairun (harta) yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak
dan karib kerabatnya secara ma’ruf …” 
Pada ayat lainnya, Allah berfirman “ … Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah
yang tidak disangka-sangknya … ”
Maka harta menurut Islam adalah perhiasan kehidupan dunia dan pengokohannya
seperti pilar.
Firman Allah : “ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi
amalam-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta
lebih baik untuk menjadi harapan.”
Dalam ayat ini, dengan harta tercapailah kemakmuran dunia dari segi materi dan
dengan anak tercapai kemakmuran dunia dari segi kelangsungan hidup.
Allah mengaruniakan sebagian kekayaan dan kehidupan nyaman yang diperuntukkan
bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa sebagai balasan atas amal saleh dan
syukurnya. Sedangkan kehidupan yang sempit, kemiskinan dan kelaparan sebagai
hukuman yang dipercepat Allah bagi mereka yang berpaling dari jalan Allah. Pentingnya
harta menurut Islam tampak dari kenyataan bahwa Allah menurunkan surat yang
berisikan peraturan tentang keuangan, cara penggunaannya, anjuran bermualah dengan
cara menuliskannya dan perlunya dua orang saksi.

8
9
Harta merupakan sesuatu yang dibanggakan

Harta merupakan sesuatu yang dibanggakan oleh manusia, namun Al Quran


memandang orang yang membanggakan harta sebagai orang yang sombong dan tidak
terhormat.

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah


yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh
mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS Al Isra :31)

Dalam ayat di atas, kebanggaan manusia terhadap harta, disejajarkan dengan


kebanggaannya terhadap anak dan keturunan. Hal ini terjadi karena harta yang
diupayakan, dan di saat seseorang gagal dalam mendapatkan harta terkadang dengan
sikap frustasi seseorang dapat berbuat dosa dengan melampiaskan kemiskinan dengan
membunuh anaknya. Tindakan ini dikecam Allah karena manusia tidak percaya bahwa
sebenarnya kehidupan telah dijamin oleh Allah.

Harta sebagai Ujian dan Cobaan

Harta bukan sebagai ukuran untuk menilai seseorang. Mulia atau hinanya seseorang
tidak dinilai dari harta yang dimilikinya. Harta hanyalah kenikmatan dari Allah sebagai
fitnah atau ujian untuk hambaNya apakah dengan harta tersebut mereka akan bersyukur
atau akan menjadi kufur.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar.”

Allah menguji seseorang dengan perasaan takut terhadap musuh, musibah, kelaparan
dan kekurangan, serta kekurangan harta. Dalam ayat ini memberi pengertian bahwa iman
tidak menjamin seseorang untuk mendapatkan rizki yang banyak, kekuasaan dan tidak
ada rasa takut. Bagi seseorang yang mempunyai kesempurnan iman maka tiap musibah
akan semakin membersihkan jiwanya.

“ Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang besar.”

Harta merupakan poros penghidupan seseorang dan sebagai sarana untuk mencapai
segala keinginan dan hasrat duniawi. Untuk mendapatkan harta manusia rela menanggung

10
kesusahan dan kesulitan, namun hukum syara menhgaruskan\ manusia untuk mencari
harta halal dan mendorong manusia untuk berhemat. Begitupula untuk memelihara harta,
mereka bersedia susah payah namun hawa nafsunya saling bertempur dengan hati
nuraninya sendiri dimana syariat mewajibkan penyisihan atas harta dimana ada hak-hak
tertentu yang harus dikeluarkan untuk zakat, nafkah lainnya, baik untuk anak dan istri,
dll.

Sedangakan cinta kepada anak sering membawa orang sanggup melakukan dosa dan
perbuatan jahat demi dapat membiayai mereka, menjadi kikir untuk berzakat, dan jika
terjadi kesedihan atas anak mereka maka mereka membenci Tuhan atau mementangnya.
Fitnah yang ditimbulkan oleh anak lebih besar dari pada yang ditimbulkan oleh harta,
sehingga mereka mau saja mencari harta haram dan mengambil harta orang lain secara
batil demi anak.

Maka dalam ayat ini, seorang mukmin seharusnya dapat memelihara diri dari kedua
fitnah, yaitu pertama mendapatkan harta halal dan menafkahkan pada jalan kebaikan. Dan
juga menjaga fitnah anak dengan mendidik mereka dengan sebaik-baiknya dan melatih
mereka melaksanakan perintah agama.

” Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang
mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun tetapi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang
berlipatganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka aman sentosa di
tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).”

Dalam ayat di atas Al Quran mengingatkan manusia bahwa harta dan anak yang
dibanggakan tidak menjamin dapat menyelamatkan dirinya dari siksaan Tuhan.
Terkadang manusia sifat kebanggaan yang berlebihan tersebut dapat menjadikan sikap
kikir serta mengumpulkan harta dengan sangat perhitungan dan menjadikan kecintaan
terhadap harta membabi buta. Akhirnya dengan pandangan bahwa harta dapat membawa
kesentosaan hidup maka nereka beranggapan harta adalah segalanya dalam hidup. Dalam
Al Quran tersirat bahwa hak pemilikan manusia terhadap harta, hanya berfungsi untuk
menunjukkan “pemilik” dan “penanggung jawabnya”. Adapun fungsi harta dalam
pendistribusian sesuai dengan syariat adalah nilai yang patut diupayakan oleh pemilik
harta. Contohnya seperti golongan orang kaya dan angkuh dengan hartanya dan tidak mau

11
mengakui kerasulan Nabi Muhammad sedangkan mereka tahu, misalnya Abu Jahal Ibnu
Hisyam, Abu Lahab , Abu Ibnu Khalaf , Walid Ibnu Mughairah  dan juga Karun.

  Harta sebagai Penyangga Stabilitas Sosial

Harta merupakan salah satu dari beberapa kekuatan suatu bangsa dan penopang
kebangkitan dan kemajuan. Namun, harta bisa membahayakan suatu bangsa dan
rakyatnya, juga membahayakan etika spiritual mereka, jika mereka menjadikannya suatu
prioritas dalam hidup ini. Islam mengajarkan kepada pengikutnya bahwa harta bukan
segala-galanya dalam kehidupan ini, namun ironisnya kebanyakan manusia sangat
berambisi dan memusatkan seluruh perhatiannya untuk mengumpulkan harta sebanyak-
banyaknya dengan mengabaikan sesuatu yang lebih besar yaitu kehidupan di akhirat.

Sesungguhnya etika yang mulia dan norma yang tinggi dari iman, amal saleh dan
akhlak mulia. Itulah kekayaan yang tidak pernah habis dan pusaka-pusaka yang tidak
akan sirna.oleh sebab itu Al Quran mengarahkan ambisi dan angan-angan orang-orang
mukmin kepadanya seperti firman Allah:

“ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan


yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan.” 

Ekonomi yang Baik Sarana Mencapai Tujuan yang Lebih Besar

Islam tidak melupakan unsur materi dan eksistensinya dalam memakmurkan bumi dan
meningkatkan taraf hidup manusia. Namun, Islam selalu menekankan bahwa kehidupan
berekonomi yang baik  walaupun itu merupakan target yang perlu dicapai dalam
kehidupan dan bukanlah tujuan akhir. Peran harta dianggap sangat penting seperti untuk
berjihad dengan memperjuangkan kemaslahatan yang diperintahkan Allah, harta
menopang manusia upaya untuk bertahan dalam kondisi kehidupan yang wajar, dah harta
dapat digunakan menjadi bagian penjagaan kehidupan (contonya dalam Al Quran
memberikan alasan bahwa kekuasaan laki laki atas wanita di antaranya karena prestasinya
dalam mencukupi kehidupan wanita), dll.
Manusia diciptakan bukan untuk menjalankan aktivitas ekonomi, tetapi ekonomi
diciptakan untuk manusia. Manusia diciptakan untuk Allah, akal dan hatinya hanya
terfokus kepadaNya, sehingga jadwal kehidupannya harus diatur sesuai dengan keridhaan
Allah. Inilah arti ibadah yang dijadikan Allah sebagai kewajiban manusia.

12
“ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya  mereka member Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha
Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” 

Manusia Mulia Bukan Karena Harta Tetapi Karena Amalan-amalannya

Seperti yang diuraikan di atas, manusia tidak mulia karena harta dan kekayaannya
atau kedudukannya tetapi karena hatinya bertaqwa kepada Allah dan takut kepada Nya. Ia
ikhlas berbuat meskipun tidak memiliki apa-apa dan berpakaian compang-camping.

“ Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk luar tetapi Allah melihat pada hati
manusia.”

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang)


kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian
pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran
malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan
batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu
bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di
antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi
mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan
Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang
baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh
(balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar
pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

Dalam surat ini diketahui bahwa cirri-ciri orang yang berbahagia adalah yang dapat
menjalankan muamalah dengan Allah secara baik, dan muamalah mereka dengan sesama
makhluk. Allah dalam surat ini juga memberikan keringanan kepada umatnya dari
kesukaran menuju kemudahan, dimana Allah meminta kepada manusia agar mengerjakan
shalat malam dengan waktu sepertiga malam sesuai yang dapat kamu kerjakan (karena
manusia tidak sanggup menentukan waktu secara pasti). Sehingga dengan keringanan
yang diberikan, manusia dapat mengerjakan shalat yang difardhukan sehingga hati

13
mereka tidak lalai dan perbuatan mereka tidak keluar dari apa yang ditentukan agama.
Serta tunaikan zakat yang wajib, dan memberikan pinjaman yang baik kepada Allah
dengan jalan menafkahkan harta di jalan kebaikan, untuk tiap individu dan golongan,
sehingga dapat membawa manfaat bagi  mereka dalam kemajuan peradaban dan sosial.
Dan jaminan terhadap apa yang manusia kerjakan di dunia, merupakan sedekah atau
nafkah yang kamu belanjakan di jalan Allah (seperti shalat, puasa, haji, dll)  akan
mendapatkan pahala di sisi Allah. Sehingga menusia yang mulia adalah manusia yang
dapat membelanjakan hartanya di jalan Allah dan beribadah sesuai yang diperintahkan
Allah (amal-amalnya).

Pengharaman Menimbun Harta

Islam mengharamkan seseorang menimbun harta, Islam mengancam mereka yang


menimbuh dengan siksa yang sangat pedih kelak di hari kiamat. Ancaman-ancaman itu
tertera dalam nash-nash yang tegas dalam Al Quran, dalam firmanNya:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang


alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan
batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, Pada
hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi
mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat
dari) apa yang kamu simpan itu.”  ( QS At Taubah : 34-35)

Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya, dan menjauhkannya dari


peredaran. Penimbunan harta menimbulkan bahaya besar terhadap perekonomian dan
terhadap moral. Bahaya dari penimbunan ini dapat menimbulkan hilangnya kesempatan
kerja (identik dengan menimbulkan pengangguran), dapat mengurangi pendapatan yang
akhirnya akan mengurangi daya beli masyarakat, produksi dan permintaan menjadi
menurun, dan akhirnya dapat menciptakan penurunan ekonomi dalam masyarakat.

Zakat Harta

Setelah Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang bertaqwa itu mendirikan sholat,
maka dilanjutkan dengan menceritakan bahwa manusia harus menunaikan zakat dan
berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir. Seperti dalam firmanNya:

14
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian.”
Di antara mereka ada sebagian ada sebagian yang harus dipisahkan oleh mereka yang
dikhususkan untuk orang yang melarat meminta, atau orang yang menahan diri dari
meminta-minta, yang tidak memperoleh sesuatu yang membuatnya tidak berhajat, namun
tidak meminta kepada orang lain (disebut orang yang mahrum atau tudak kebagian) dan
tidak suka berbuat seperti itu supaya diberi sedekah. Orang miskin yang tidak mendapat
bagian maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.”
Allah memerintahkan Rasul untuk mengambil harta orang-orang yang tidak ikut
perang, kaum mu’min yang kaya dan orang mu’min lainnya. Zakat ini dimaksudkan
untuk membersihkan manusia dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta
benda dan tamak dan dapat mensucikan  yaitu menanamkan sifat-sifat kebaikan dalam
hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka sehingga mereka patut
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan Rosul mendoakan bagi orang-orang
yang mau bersedekah dengan memohonkan ampun mereka untuk ketenangan hati mereka
dan Allah Maha Tahu taubat mereka serta keikhlasan mereka dalam menyerahkan
sedekah tersebut.
 Etika Terhadap Harta

 Etika mencari harta


Kehidupan seorang muslim selalu dituntun untuk bekerja (etos gerak). Al Quran
mendorong muslim untuk bergerak dan berbuat sesuatu yang baik secara aktif. Isalm
yang dikonotasikan dengan “jalan”, memberikan gambaran bahwa ajarannya adalah
ajaran dinamis, bergerak, dan berubah menuju kesempurnaan sesuai dengan yang divita-
citakan. Orang Islam yang berjalan di atas jalan tersebut lazimnya bergerak, dinamis,
aktif serta tidak diam (pasif) dalam suatu kondisi. Bagi orang yang mencari perubahan,
Allah menjanjikan kemudahan dan keleluasaan sebagai apresiasi atas usaha yang
dilakukan oleh manusia. Seperti pada QS An Nisa :100

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini
tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya

15
dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi
Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Sehingga pada dasarnya Al Quran maupun al Sunah telah memberikan berbagai


apresiasi untuk mendorong manusia agar berbuat dan berkreasi sesuai dengan profesi dan
potensi masing-masing untuk mendapatkan harta secara halal serta mendistribusikan.

 Etika mencari Harta


Anjuran dan suruhan Al Quran terhadap usaha dan pemenuhan tanggung jawab,
bukan sedekar parintah bekerja yang hanya menghasilkan materi. Al Quran menghendaki
agar kerja manusia diorientasikan pada nilai-nilai suci, bukan sekedar materi
secara unsich. Nilai suci dari materi ditentukan oleh fungsi dan kegunaan untuk
kemaslatan dalam memenuhi hajat hidup manusia. Al Quran memberikan orientasi
melalui tata cara dalam mencari materi yang harus dipatuhi oleh manusia. Orientasi
tersebut untuk memberikan keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan materi agar
sesuai dengan harapan yang dicita-citakan sebagai khalifah di bumi.keseimbangan
tersebut baik terhadap Tuhan, terhadap dirinya sendiri, terhadap lingkungan, maupun
terhadap sesama manusia. Tata cara tersebut di antaranya adalah melarang manusia
bertransaksi yang tidak legal baik dalam perspektif yuridis maupun etis, penyempurnaan
timbangan atau takaran dalam transaksi, larangan bersistem raba, dan menekankan
tanggung jawab.

Mencari harta

Motif utama dari manusia dalam mencari harta adalah untuk memenuhi kebutannya
sendiri. Mencari harta dapat dilakukan dengan cara berproduksi atau melakukan aktivutas
jual-beli. Namun dalam islam aktivitas mencari harta dilakukan dengan nuansa motif dari
dalam diri manusia yang hendaknya diawali dengan rasa keterikatan pada Allah SWT.
Dalam mencari harta tidak lepas dari etika – etika yang menjadi rujukan manusia dalam
melakukan aktivitas, khususnya dalam ekonomiagar segala sesuatu yanag dilakukan tidak
keluar dari jalur-jalur islam.
Dalam mencari harta, islam mengungkapkan bahwa aktivitas jual – beli merupakan
aktivitas utama yang dapat dilakukan. Bagi mereka yang meiliki sejumlah harta dapat
diinvestasikan hartanya. Sedangkan yang tidak menpunyai akses pada aktivitas pencarian

16
harta tadi, Negara akan menjamin pemenuhan kebutuhan minimal mereka, atau dengan
memberikan kesempatan untuk dapat mengakses aktivitas tad
Mengelola Harta

Mengelola harta dalam hal ini adalah bagaimana menusia menyikapi harta yang telah
ada di tangannya. Ketika harta telah ada pada tangan manusia, maka manusia dituntut
untuk dapat menegola harta tersebut dengan bijaksana. Dalam islam pengelolaan harta
harus dilakukan dengan sebaik mungkin, karena dapat menjauhkan diri manusia dari
kondisi kefakiran. Sebab jika kondisi ini terjadi akan meningkatkan potensi mereka untuk
melakukan hal-hal yang merugikan bagi orang lain.
Disamping pengelolaan harta yang baik, hal ini juga mempunyai pengaruh pada
tingkat sosial yang memperhatikan kepentingan umum. Aktivitas yang pengelolaan harta
juga memperhatikan factor – factor sosial yang menjadi parameter prioritas
keputusannya. Sebagi contohnya kemana harta tersebut diinvestasikan, dibidang apa,
membantu masyarakat mena dan sebagainya.
Maka dengan demikian pengelolaan harta dalam islam dilakukan dengan
mempertimbangkan bebrapa hal :
1. kemaslahatan masyarakat secara luas
2. dengan cara – cara yang telah disyari’atkan oleh agama islam
3. harta tidak menjadi tumpuan perhatian
Dalam implikasinya, hal – hal yang dapat dilakukan dalam mengelola harta
adalah beraktivitas jual beli termasuk sewa-menyewa, investasi dan
menyimpan. Dengan jual beli dan investasi masyarakat dapat mengembangkan
hartanya dan juaga memberikan kesempatann pada masyarakat lain untuk
dapat mengembangkan harta – harta mereka.

Membelanjakan harta

Untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya, ketika manusia telah memiliki harta
maka yang akan dilakukannya adalah mengeluarkan harta tersebut. Dalam konteks
aktivitas ekonomi modern, hal tersebut adalah membelanjakan sebagian harta yang
mereka miliki baik yang bersumber dari pendapatan regular maupun yang dari
simpanannya.
Dalam membelajkan harta, seseorang hendaknya ada dalam batasan yang dianjurkan
oleh syari’ah. Tidak boleh bermewah – mewahan dan berhemat dalam mengeluarkannya.

17
Namun islam melarang untuk tidak kikir atas harta yang telah dimilikinya. Artinya
manusia dituntut untuk bisa berhati – hati dalam berkonsumsidan membelanjakan
hartanya demi kepentingan mayarakat sosial.
Dalam analisa makro ekonomi, kegiatan belanja ( konsumsi ) meryupakan variable
yang sangat positif bagi kinerja perekonomian. Ketika perekonomian mengalami
kelesuan, maka kebijakan utama yang diambil adalah bagaimana cara untuk dapat
mengerakkan ekonomi dengan meningkatkan daya beli mesyarakat. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kemapuan daya beli masyarakat menjadi suatu kebijakan ekonomi.
Yusuf Qardhawi menyebutkan batasan – batasan dalam pembelenjaan harta dalam
islam menjadi dua hal :
a. batasan pertama adalah batasan terhadap barang yang memang haram dalam islam
untuk dimanfaatkan.
b. Batasan yang kedua adalah batasan belanja yang sifatnya untuk pemborosan dan
bermewah – mewahan.
Maka satu hal yang membedakan perekonomian antara islam dengan konvensiaonal
adalah adanya instrument yang bersifat sosial dalam islam dan dapat meningkatkan
kemampuan daya beli masyarakat. Sementara dalam konvensional, melihat harta sebagai
sebuah asat yang dipergunakan untuk terus diperbanyak berdasarkan tujuan kepuasan
individu. Meskipun antara Islam dan konvensional sama – sama mengakui hak-hak
kepemilikan, tapi nilai- nilai moral islam yang membuat keduanya berbeda. Islam
memandang segala sesuatu yang ada di dunia ini termasuk harta pada haikatnya adalah
milik Allah SWT semata. Sehingga harta menjadi sebuah tanggung jawab yang sangat
besar bagi yang memilikinya.

B. Konsep Kepemilikan
Kepemilikan sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang
artinya memiliki. Memiliki bisa diartikan dengan menguasai, memiliki suatu benda
berarti mempunyai hak mengatur dan memanfaatkan selama tidak terdapat larangan
dalam syariah. Dengan kepemilikan, pihak yang tidak memiliki tidak berhak
menggunakan suatu benda tanpa izin dari pemiliknya. Keterkaitan antara manusia dan
hartanya berbeda dengan keterkaitan manusia dengan kepemilikan. Sebab kepemilikan
bukanlah hal yang bersifat materi. Dalam Islam kepemilikan membutuhkan legalisasi dari
syariah. Menurut syariah, kepemilikan adalah sebentuk ikatan antara individu terkait
dengan harta, yang pada tahapan proses kepemilikan disyaratkan berbagai hal yang

18
disebut asal usul kepemilikan (asbab al-milkiyyah). Selanjutnya syariah mengharuskan
beberapa aturan dalam pengoperasian harta dan dalam mengembangkannya.
Menimbang kepemilikan adalah hal yang lazim bagi manusia, maka Allah memberi
kekuasaan kepada manusia untuk memiliki apa saja yang ada di bumi, namun dengan
catatan manusia harus selalu sadar akan statusnya yang hanya diberi, maka ia harus
tunduk kepada yang memberi. Kepatuhan ini harus terwujud mulai saat manusia
melakukan proses kepemilikan, hingga dalam menggunakan hak miliknya. Semua harus
sesuai dengan syariah yang merupakan ekspresi kehendak Allah. Maka dari itu Islam
mengesahkan kepemilikan yang bermula dari proses yang sah, begitu juga sebaliknya,
Islam sangat mengecam praktik investasi yang melanggar aturan, terutama jika dengan
akibat merugikan masyarakat. Jika perugian terhadap masyarakat ini terjadi, maka si
pemilik berarti tidak menghiraukan masyarakat, yang sebenarnya dalam pandangan Islam
mempunyai hak dalam kepemilikan individu. Prinsipnya, Islam tidak mengakui segala
kepemilikan yang muncul dari cara yang menyimpang.
Islam memandang pandangan yang khas mengenai masalah harta dimana semua
bentuk kekayaan pada hakikatnya adalah milik Allah. Demikian juga harta atau kekayaan
di alam semesta ini yang telah dianugerahkan untuk semua manusia sesungguhnya
merupakan pemberian dari Allah kepada manusia untuk dapat dimanfaatkan sebaik-
baiknya bagi kesejahteraan seluruh umut manusia sesuai dengan kehendak Allah.
Pandangan ini bertolak belakang secara diametral dengan pandangan kaitalisme
maupun sosialisme yang keduanya berakar pada pandangan yang sama yaitu
materialisme. Menurut pandangan kapitalisme bahwa kekayaan yang dimiliki seseorang
adalah merupakan hak milik mutlak baginya yang kemudian melahirkan pandangan
kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari pandangan hak asasi manusia (HAM).
Dimana manusia bebas menentukan cara memperoleh dan memanfaatkannya. Dari
pandangan inilah yang mendorong manusia berusaha menciptakan suatu metode atau
teknologi produksi yang modern untuk dapat memperoleh keuntungan dan pendapatan
yang sebesar-besarnya.

Pada sisi lain, islam juga tidak selaras dengan pandangan sosialisme yang tidak
menempatkan harkat dan martabat manusia pada proporsinya yang tidak mengakui
adanya hak milik individu. Semua kekayaan adalah milik negara dan negara akan
memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Individu akan diberikan sebatas yang diperlukan
dan dia akan bekerja sebatas kemampuannya. Alat-alat produksi dikuasi negara dan elit

19
politik menguasai fasilitas-fasilitas publik sehingga dari sini kemudian mendorong
munculnya praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian
bagi negara dan rakyat.

Islam memiliki suatu pandangan yang khas mengenai masalah kepemilikan yang
berbeda dengan pandangan kapitalisme dan sosialisme. Islam tidak mengenal adanya
kebebasan kepemilikan karena pada dasarnya setiap perilaku manusia harus dalam
kerangka syariah termasuk masalah ekonomi. Islam mengatur cara memperoleh dan
pemanfaatan kepemilikan.

1) Macam-macam Kepemilikan
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (dalam Veithzal dan Andi, 2009) ada tiga
macam kepemilikan yaitu:

1. Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah)


2. Kepemilikan Umum (Milkiyah ‘Ammah), dan
3. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah)
Penjelasan masing-masing jenis kepemilikan adalah sebagai berikut.
a. Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah), adalah izin syariat pada individu
untuk memanfaatkan suatu barang melalui lima sebab kepemilikan (asbab at-
tamalluk) individu yaitu (1) bekerja (al-‘amal), (2) warisan (al-irts), (3) keperluan
harta untuk mempertahankan hidup, (4) pemberian negara (i’thau ad-daulah) dari
hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang
modal, (5) harta yang diperoleh individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah,
wasiat, diat, mahar, barang temuan, santunan untuk khalifah atau pemegang
kekuasaan pemerintah. Kekayaan yang diperoleh melalui bekerja (al-‘amal)
meliputi upaya menghidupkan tanah yang mati (ihya’u al-mawat), mecari bahan
tambang, berburu, pialang (makelar), kerjasama mudharabah, musyaqog, pegawai
negeri, atau swasta.
b. Kepemilikan Umum (Milkiyah ‘Ammah), adalah izin syariat kepada masyarakat
secara bersama-sama memanfaatkan suatu kekayaan berupa barang-barang yang
mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti air, sumber energi
(listrik, gas, batu bara, nuklir dan sebagainya), dan hasil hutan. Barang yang tidak
mungkindimiliki individu seperti sungai, pelabuhan, danau, lautan. Jalan raya,

20
jembatan, bandara, masjid, dan sebagainya. Barang yang menguasai hajat hidup
orang banyak seperti emas, perak, minyak, dan sebagainya.
c. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah), adalah izin syariat atas setiap harta yang
hak pemanfaatannya berada ditangan khalifah sebagai kepala negara. Termasuk
dalam kategori ini adalah harta ghanimah (perampasan perang), fa’i, kharaj,
jizyah, 1/5 harta rikaz (harta temuan), ‘ushr, harta orang murtad, harta yang tidak
memiliki ahli waris dan tanah hak milik negara.
Senada dengan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, menurut H. Akhmad Mujahidin
(2013:50) dari beberapa keterangan nash-nash syara’ dapat dijelaskan bahwa
kepemilikan terklasifikasi menjadi tiga jenis, yakni:
1. Kepemilikan Pribadi (al-milkiyah al-fardhiyah/private property)

Menurut H. Akhmad Mujahidin (2013:50) kepemilikan pribadi adalah ketentuan


hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memungkinkan
pemiliknya unt memanfaatkan barang tersebut, serta memperolh kompensasinya baik
karena diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa ataupun karena
dikonsumsi dari barang tersebut.

Adanya wewenang kepada manusia untuk membelanjakan, menafkahkan dan


melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, seperti jual-beli, gadai,
sewa menyewa, hibah, wasiat, dan lain-lain adaah merupakan bukti pengakuan islam
trhadap adanya hak kepemilikan individual.

Karena kemilikan merupakan ketetapan al-syari’ untkmemanfaatkan suatu benda,


maka kepemilikan atas bena tidak semata-mata berasal dari benda itu sendiri ataupun
karena karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak. Akan tetapi. Ia berasal dari
adanya izin yang diberikan oleh al-shari’ untuk memilikinya (seperti kepemilikan atas
tanah, rumah, ayam dan sebagainya bukan minuman keras, babi, ganja dan
sebagainya), sehingga melahirkan akibatnya , yaitu adanya kepemilikan atas benda
tersebut.

2. Kepemilikan Umum (al-milkiyyat al-‘ammah/public property)

Menurut H. Akhmad Mujahidin (2013:51) kepemilikan umum adalah ketentuan


syariat kepada suatu kmunitas untuk bersama-sama memanfaatkan benda, sedangkan
benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang

21
telah dinyatakan oleh Alloh SWT sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas
secara bersaa-sama dan tidak boleh dikuasi oleh hanya seorang saja atau golongan
tertentu. Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun
dilarang memilikinya.

Setidak-tidaknya, benda yang dapat dikelompokkan kedalam kepemilikan umum


ini, ada tiga jenis, yaitu:

a) Fasilitas dan Sarana Umum

Benda ini tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan
pokok masyarakat dan jika tidak dipenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan
persengketaan. Jenis harta ini dijelaskan dalam hadis Nabi SWA yang berkaitan
dengan sarana umum: “Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga
hal: air, padang rumput dan api”. (HR Ahmad dan Abu Daud) dan dalam hadis
lain terdapat tambahan: ”...dan harganya haram” (HR Ibnu Majah).

Air yang dimaksud dalam hadis diatas adalah air yang masih belum diambil, baik
yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang mengalir disungai atau danau
bukan air yang dimiliki oleh perorangan dirumahnya. Oleh karena itu, pembahaan
para fuqaha mengenai air sebagai kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang
belum diambil tersebut. Adapun al-kala’ adalah padang rumput, baik rumput
basah atau hijau (al-khala’), maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di
tanah, gunung atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya, sedangkan yang
dimaksud al-nar adalah bahan bakar dan segala sesuatu yang terkait dengannya,
termasuk didalamnya adalah kayu bakar.

Bentuk kepemilikan umum tidak hanya terbatas pada tiga macam benda tersebut
saja, melainkan juga mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat
dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan dalam
kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, hal ini disebabkan karena adanya indikasi
yang terkait dengan masalah ini memandang bahwa benda-benda tersebut
dikategorikan sebagai kepemilikan umum karena sifat tertentu yang terdapat di
dalamnya sehingga dikategorikan sebagai kepemilikan umum.

22
Menurut Sholahuddin (dalam H. Akhmad Mujahidin, 2013), negara harus
menyediakan fasilitas sarana umum agar seluruh lapisan masyarakat dapat
menikmati dengan menggunakannya sebagai kepemiikan bersama, seperti:

1. Sarana pelayanan pos, surat-menyurat, telepon, sarana televisi, perantara


satelit dan lain-lain.
2. Alat pembayaran berupa alat tukar, jasa titipan, pertukaran mata uang,
emas dan pertukaran uang cetak.
3. Saran transportasi umum, seperi kereta api.
4. Pabrik atau industri. Negara wajib mendirikan pabrik sebagai kewajiban
negara dalam mengatur kemaslahatan manusia. Pertama, pabrik-pabrik
yang berhubungan dengan benda-benda milik umum. Jenis-jenis pabrik ini
boleh dijadikan kepemilikan umu, mengikuti benda-benda yang dihasilkan
pabrik tersebut dan yang berkaitan denganya. Kedua, pabrik-pabrik yang
berhubungan dengan industri berat dan industri militer. Jenis pabrik ini
boleh dimiliki oleh individu, karena bagian dari kepemilikan individu.
Tetapi jenis pabrik ini memerlukan modal yang sangat besar sehingga sulit
dilakukan individu. Jadi negaralah yang harus mendirikan pabrik/industri
militer dan industri berat, akan tetapi bukan berarti hal ini menghalangi
seseorag untuk mendirikan pabrik/industri.
b) Sumber Alam yang Karakter Pembentukannya Menghalangi Dimiliki oleh
Individu

Meski sama-sama sebagai saran umum sebagaimana kepemilikan umu jenis


pertama, akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Jika kepemilikan jenis
pertama, karakter dan asal pembentukannya tidak menghalangi seseorang untuk
memilikinya, maka jenis kedua ini, secara karakter dan asal pembentukannya,
menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi. Sebagimana sabda Nabi
SAW: “Kota mina menjadi tempat mukin siapa saja yang terdahulu (sampai
kepadanya)” (HR Al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dar ‘Aisyah).

Mina adalah sebuah tempat yang terletak diluar Kota Makkah al-Mukarramah
sebagai tempat singgah jamaah haji setelah menyelesaikan wukuf di Padang
Arafah dengan tujuan melaksanakan syiar ibadah haji yang waktunya sudah
ditentukan, seperti melempar jumrah, menyembelih hewan hadd, memotong

23
qurban, dan bermalam di sana. Makna “munakh man sabaq” (tempat mukin orang
yang lebih dahulu sampai) dalam lafadz hadis tersebut adalah bahwa Mina
merupakan tempat seluruh kaum muslimin, barangsiapa yang lebih dahulu sampai
dibagain tempat di Mina dan ia menempatinya, maka bagian itu adalah bagiannya
dan bukan merupaka milik perorangan sehingga orang lain tidak boleh
memilikinya (menempatinya).

Demikan juga halnya dengan jalan umum manusia berhak lalu lalang di atasnya,
oleh karenanya, penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang
membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa, hal tersebut juga berlaku
untuk masjid, termasuk dalam kategori ini kereta api, instalasi air dan listrik,
tiang-tiang penyyangga listrik, saluran air dan pipa-pipanya, semua adalah milik
umum, sehingga tidak boleh dimiliki secara pribadi.

c) Barang Tambang yang DepositnyaTidak Terbatas

Dalil yang digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini
adalah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang Abyan bin
Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang
garam di daerah Ma’rab. “Bahwa in datang kepada Rasulullah Saw. Meminta
(tambang) garam, maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang
laki-laki yang bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang
engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang
bagaikan air mengalir.”. lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik
kembali tambang itu darinya”. (HR Abu Daud).

Menurut Al-Maliki (dalam H Akhmad Mujahidin, 2013), larangan tersebut tidak


hanya terbatas pada tambang garam saja melainkan meliputi seluruh barang
tambang yang jumlah depositnya banyak (laksana air mengalir) atau tidak
terbatas, hal ini juga mencakup kepemilikan semua jenis tambang, baik yang
tampak di permukaan bumi seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada di
perut bumi seperti tambang mas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan
sejenisnya.

Barang tambang semcam ini menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki
oleh perorangan atau beberapa orang dan juga tidak boleh hukumnya memberikan

24
keistimewaan kpada seseorang tau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya,
tetapi penguasa wajib membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat.
Negaralah yang wajib menggali dan memisahkannya dari benda-bdenda lain,
menjualnya dan menyimpan hasilnya di bait al-mal.

Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas
dapat dimiliki oleh perorangan atau perserikatan, hal ini didasarkan kepada hadis
Nabi Saw. Yang mengizinkan kepada Bilal bin Harith al-Muzani memiliki barang
tambang yang sudah ada dibagian Najd dan Tihamah, hanya saja mereka wajib
membayar khumus (seperlima) dari yang diproduksinya kepada bait al-mal.

3. Kepemilikan Negara (milkiyyat al-daulah/state private)


Menurut Al-Nabhani (dalam H. Akhmad Mujahidin, 2013) kepemilikan negara
adalah harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum muslimin (rakyat) dan
pengelolaannya menjadi wewenang khaliah (negara) berhak memberikan atau
mengkhususkannya kepada seluruh kaum muslimin (rakyat) sesuai dengan ijthadnya,
makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah
untuk mengelolanya.
Kepemilikan negara meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat
digolongkan kedalam jeni harta milik umum, namun terkadang bisa tergolong dalam
jenis harta kpemilikan individu.
Dalam syariat islam terdapat beberapa harta yang dapat dikategorikan kedalam
jenis kepemilikan negara dan negara berhak mengelolanya dengan pandangan
ijtihadnya adalah:
a. Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan
orang kafir), fay’ (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan
khumus.
b. Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslimin atas tanah yang diperoleh
dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak).
c. Harta yang berasal dari jizyah (harta yang diberikan Allah kepada kaum
muslimin dari orang kafir sebagai tunduknya merekap kepada islam).
d. Harta yang brasal dari pajak.
e. Harta yang berasal dari ‘ushr (pajak penjualan yang diambil pemerintah dari
perdagangan yang melwai batas wilayahnya dengan pungutan yang
diklasifikasikan berdasarkan agamanya).

25
f. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal
al-fadla).
g. Harta yang ditinggalkan orang-orang murtad.
h. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negera, harta
yang didapat tidak sejalan dengan syara’.
i. Harta lain milik negara, misalnya padang pasir, gunung, pantai,laut dan tanah
mati yang tidak ada pemiliknya.

Syariat menggariskan pemerintah memiliki peranan kuat dalam perekonomian


sehingga tidak boleh berlepas tangan terhadap hak-hak rakyatnya. Syariat
menegaskan pemerintah harus dapat menjadi pengatur dan pelayan urusan masyarakat
(ri’ayat al-su’un al-ummah) sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW.
“seseorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia
akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya”. (HR Bukhari dan Muslim).

Untuk dapat mengatur dan melayani urusan masyarakat, pemerintah harus


memiliki alat dan sarana, salah satunya dengan mendirikan badan-badan yang
bertugas mengeksplorasi barang tambang, memproduksi barang-barang vital dan
menguasai hajat hidup orang banyak, memproduksi barang-barang modal/mesin yang
dibutuhkan masyarakat dalam menjalankan industri dan kegiatan pertanian mereka,
kemudian memiliki lembaga yang menjamin pendistribusian barang dan jasa yang
dibutuhkan masyarakat. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang imam adalah ibarat
penggembala dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya
(rakyatnya)” (HR Muslim).

Privatisasi yang dilakukan pemerintah terhadap BUMN yang terkategori harta


milik umum dan sektor industri strategis tidak diperbolehkan dalam syariat islam.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang,
yaitu air, rumput, dan api” . Menurut Al-Nabhani (dalam H. Akhmad Mujahidin)
harta milik umum mencakup fasilitas umum, barang tambang yang jumlahnya sangat
besar, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menyebabkan tidak mungkin
dikuasi oleh individu, sedangkan industri strategis adalah industri yang menghasilkan
produk/mesin yang dibutuhkan oleh kegiatan-kegiatan sektor perekonomian seperti
industri manufaktur, pertanian, tranfortasi dan telekomunikasi.

26
2) Sebab-sebab Kepemilikan
Dari ketentuan syara’perihal sebab atau cara memperoleh kepemilikan, yakni: (1)
Ihrazul Mubahat, (2) Al-Uqud, (3) Al-Khalafiyah, (4) Al-Tawalludu minal mamluk.
a. Ihrazul Mubahat (Menimbulkan Kebolehan)
Ihrazul mubahat adalah memiliki sesuatu (benda) yang menurut syara’boleh dimiliki
atau disebut juga dengan Istila' al-Mubahat. Istila’al-Mubahat adalah cara pemilikan
melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki pihak lain. Al-
Mubahat adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi
(dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan hukum (mani’al-syar’iy) untuk
memilikinya. Misalnya,air yang masih beradadalam sumbernya, ikan yang berada di
lautan, hewan dan pohon kayu di hutan, dan lainnya. Tujuan penguasaan atas al-
mubahat (harta babas) dengan tujuan untuk dimiliki. Adapun cara penguasaan harta
bebas tersebut yaitu:
a) Ihya’al-mawat, yaitu membuka tanah (ladang) baru yang tidak dimanfaatkan
orang lain, tidak dimiliki dan berada diluar tempat tinggal penduduk
b) Berburu hewan. Allah menghalalkan buruan kecuali jika pemburu sedang
berihram.
b. Al-Uqud (Perjanjian)
Akad berasal dari bahasa arab yang artinya perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga
bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang
berakad. Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan
syara’yang menimbulkan pengaruh terhadap objek akad. Akad merupakan sebab
kepemilikan yang paling kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan menusia yang
membutuhkan distribusi harta kekayaan.
c. Al-khalafiyah (Pewarisan)
Al-khalafiyah artinya pewarisan. Al-khalafiyah ada dua macam yaitu :
a) Khalafiyah Syakhsyun‘an Syakhsyin (Warisan)
Penggantian atas seseorang oleh orang lain. Misalnya dalam hal hukum waris
seorang ahli waris menggambarkan posisi pemilikan orang yang wafat terhadap
harta yang ditinggalkan.
b) Khalafiyah Syaa’in ‘an syaa’iiin (Menjamin kerugian)
Penggantian banda atas benda yang lainnya, seperti terjadi pada tadlmin
(pertanggungan) ketika seseorang merusak atau menghilangkan harta benda orang

27
lain, atau pada ta’widl (pengganti kerugian) ketika seseorang mengenakan atau
menyebabkan kerusakan harta benda orang lain.
d. Al-Tawallud Minal Mamluk (Berkembang Biak)
Al-Tawallud minal amluk adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainya.
Setiap peranakan atau sesuatu yang tumbuh dari harta milik adalah milik pemiliknya.
Prinsip ini hanya berlaku pada harta benda yang dapat menghasilkan sesuatu yang
lain/baru (produktif), seperti bertelur, berkembang biak, menghasilkan air susu, dan
lain-lain. Dari ketentuan tersebut diatas terkandung nilai-niali filosofis:
a) Nilai rahmat (kemurahan). Diperolehkannya seseorang memiliki sesuatu yang
mubah, seperti air, rumput, pepohonan di hutan, binatang buruan, dan lain-lain,
dengan syarat sesuatu itu tidak berada dalam pemilikan/kekuasaan orang lain serta
maksud untuk memiliki sesuatu tersebut, menunjukkan begitu besar kemurahan
Allah pada manusai yang dengan pemilikan secara mudah tanpa ganti rugi itu
menjadikan ia memiliki keudahan di dalam memenuhi kepentingan hidup serta
menunjukkan perannya sebagai khalifah sekaligus hamba Allah. Lebih dari itu,
kebolehannay menempuh cara pemilikan seperti ini merupakan pengejawantahan
dari watak Islam‘rahmatan lil‘alamin.
b) Nilai penghargaan, kepastian dan kerelaan. Aqad/transaksi dikategorikan sebagai
suatu cara memperoleh hak milik menurut Islam. Dalam akad terdapat sua atau
lebih pihak yang melakukan perjanjian, masing-masing pihak dihargai memiliki
posisi yang sama, masing-masing memiliki sesuatu yang bernilai sejak awal yang
sama-sama dihargai dalam aqad, hal ini mencerminkan bahwa dalam ketentuan
Islam terkandung nilaipenghargaan terhadap setiap kepemilikan. Selanjutnya di
dalam akad yang terdapat persyaratan ijab dan qabul dan syarat-syarat lain
menunjukkan adanya nilai kepastian hukum dalam kepemilikan serta nilai
kerelaan.
c) Nilai tanggungjawab dan jaminan kesejahteraan keluarga. Salah satu cara yang
diatur Islam untuk memperoleh pemilikan adalah melalui khalafiyah syakhsy ‘an
syakhsy atau kewarisan. Waris menempati kedudukanmuwaris (orang yang
mewariskan) dalam memiliki harta yang ditinggalkan oleh muwaris. Pewarisan
harta utamanya merupakan kosekuensi dari hubugan nasab dan pernikahan. Hak
mewarisi bagi waris sangat kuat posisinya, muwaris harus memperhatikan nasib
warisnya. Sehingga untuk berwakaf, sadakah, hibah, dan lain-lain, ada batas

28
maksimalnya (1/3), hal ini mencerminkan nilai jaminan/kometmen Islam pada
kesejahteraan keluarga lewat pengaturan kepemilikan.

C. Pemanfaatan Kepemilikan
Pemanfaatan kepemilikan. Kapitalisme tidak membuat batasan tatacaranya (kaifiyah-
nya) dan tidak ada pula batasan jumlahnya (kamiyah-nya). Sebab pada dasarnya sistem
ekonomi kapitalisme adalah cermin dari paham kekebasan (freedom/liberalism) di bidang
pemanfaatan hak milik. Sedangkan ekonomi Islam, menetapkan adanya batasan tatacara
(kaifiyah-njz), tapi tidak membatasi jumlahnya (kamiyah-nyz). Seorang muslim boleh
memiliki harta berapa saja, sepanjang diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariah Islam.

Dari penjelasan diatas kemudian dibangun suatu aturan dalam proses pemanfaatan
harta kekayan (tasharuf al-mal) yaitu siapa sesungguhnya yang berhak mengelola dan
memanfaatkan harta tersebut. Pemanfaatan pemilikan (tasharuf al-mal) adalah cara
bagaimana sesuai dengan hukum syariat seseorang memperlakukan harta kekayaannya.

Ada dua bentuk pemanfaatan harta yakni pengembangan harta (tasharuf al-mal) dan
penggunaan harta (infaqu al-mal) :

1. Pengembangan harta (tanmiyat al-mal), yaitu pengembangan harta yang berkaitan


dengan cara dan sarana yang menghasilkan pertambahan harta yakni produksi
pertanian, perdagangan . industri dan investasi uang pada sektor jasa. Hukum
pengembangan harta berkaitan dengan hukum mengenai cara dan sarana untuk
menghasilkan harta. Pada sisi lain, Islam melarang beberapa bentuk pengembangan
harta seperti, riba (baiknasbiah pada sektor perbankan maupun riba fadhl pada pasar
modal), menimnun harta, monopoli, kartel, judi, penipuan, transaksi barang haram,
harta dari KKN, dan sebagainya.
2. Penggunaan harta (infaq al-mal), yaitu pemanfaatan harta dengan atau tanpa manfaat
materiil yang diperoleh. Islam mendorong umat manusia untuk menggunakan
hartanya tidak hanya sekedar untuk kepentingan pribadi tapi juga untuk kepentingan
sosial. Tidak hanya memenuhi kebutuhan materiil saja tetapi juga kepentingan
nonmateriil seperti, nafkah keluarga dan orang tua, anak yatim, zakat, infak, sedekah,
hadiah, hibah, jihad fi sabilillah, dan sebagainya. Pada sisi lain, islam mengharamkan
beberapa praktikpenggunaan harta seperti, risywah (suap), israf, tabdzir dan taraf
(membeli barang atau jasa haram) dan juga mencela perilaku bakhil. Implikasi dari
penggunaan harta dengan selalu melihat kaidah agama akan menghindarkan

29
masyarakat dari resiko timbulnya kerusakan-kerusakan. Kegiatan sektor produksi
ditekankan melalui pengembangan berbagai sektor ekonomi sedangkan negara adalah
merupakan fasilitator dan regulator sehingga kegiatan ekonomi dapat berjalan secara
seimbang dan mengikuti kaidah dan aturan yang telah ditentukan serta tidak
menyalahi kaidah ajaran islam. Keseimbangan antara perilaku konsumsi yang islami
dan kegiatan produksi yang menekankan aspek-aspek moral akan mendorong pada
terciptanya kehidupan ekonomi yang sejahtera dan adil.
Sesungguhnya mekanisme pengelolaan kepemilikan dalam perspektif ekonomi islam
secara umum adalah bagaimana menggerakkan sektor ekonomi secara riil sehingga
produksi barang dan jasa dapat berkembang dan dapat menciptakan lapangan kerja
sehingga kesejahteraan masyarakat terus meningkat. Ada pembagian yang tegas antara
kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum sehingga ada
keseimbangan antara kebebasan indivisu dalam bekerja dan berusaha untuk mendapatkan
kekayaan dengan perlindungan atas kekayaan publik untuk kesejahteraan dan
kemaslahatan seluruh masyarakat.

a) Aspek Pengelolaan dan Pemanfaatan Kekayaan


Dalam kaitannya dengan pengaturan kekayaan islam menetapkan ketentuan yang
menyangkut aspek pengelolaan dan pemanfaatan yaitu :

1. Pemanfaatan kekayaan, artinya bahwa kekayaan yang ada dibumi merupakan


anugerah dari Allah SWT maka harus benar benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan
hidup manusia.
2. Pembayaran Zakat, bahwa zakat merupakan satu bentuk instrument ekonomi yang
berlandaskan syariat yang berfungsi untuk menyeimbangkan kekuatan ekonomi diantara
masyarakat agar tidak terjadi goncangan kehidupan masyarakat yang ditimbulkan dari
ketidak seimbangan mekanisme ekonomi dalam pengaturan asset-aset ekonomi
masyarakat.
3. Penggunaan Harta secara Berfaedah, sumber-sumber ekonomi yang dianugerahkan
Allah SWT bagi manusia adalah merupakan wujud dari sifat kasih dan sayangnya.
4. Penggunaan Harta Benda yang Merugikan Orang lain, bahwa manusia secara
keseluruhan. Dalam perspektif ekonomi pemanfaatan sumber ekonomi selain efisien juga
harus benar-benar dapat digunakan bagi kemaslahatan hidup masyarakat.

30
5. Memiliki Harta Benda secara Sah, bahwa hak seseorang dalam penggunaan harta
harus benar-benar mempertahankan kaedah syariat. Tidak dibenarkan seseorang
menggunakan harta yang bukan miliknya.
6. Penggunaan Berimbang, pemanfaatan kekayaan menyangkut pemenuhan hidup
manusia. Penggunaan kekayaan yang sering memperhatikan aspek jasmani, rohani,
dimensi duniawi dan ukhrohi akan mencapai kemanfaatan yang optimal.
7. Pemanfaatan Sesuai dengan Hak, bahwa pemanfaatan kekayaan harus disesuaikan
dengan kebutuhan dan perioritas yang tepat. Kesalahan dalam menetapkan perioritas
akan menyebabkan kesalahan dalam merumuskan kebijakan sehingga akan berdampak
pada tidak tercapainya tujuan yang diharapkan.
8. Kepentingan kehidupan, bahwa pemanfaatan kekayaan harus selalu dikaitkan dengan
kepentingan hidup manusia.

b) Pengembangan Hak Milik


1. Pengelolaan Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan adalah sekumpulan tatacara (kaifiyah) yang berupa hukum-
hukum syara' yang wajib dipegang seorang Muslim tatkala ia memanfaatkan harta yang
dimilikinya (Abdullah 1990).
Mengapa seorang Muslim wajib menggunakan cara-cara yang dibenarkan Asy-Syari'
(Allah SWT) dalam mengelola harta miliknya? Sebab, harta dalam pandangan Islam
pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Maka dari itu, ketika Allah telah menyerahkan
kepada manusia untuk menguasai harta, artinya adalah hanya melalui izin-Nya saja
seorang Muslim akan dinilai sah memanfaatkan harta tersebut. Izin Allah itu terwujud
dalam bentuk sekumpulan hukum-hukum syara'.
Walhasil, setiap Muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak
memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam pengelolaan harta yang
telah dimilikinya seorang tersebut, ia wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan syara'
yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan.
Secara garis besar, pengelolaan kepemilikan mencakup dua kegiatan. Pertama,
pembelanjaan harta (infaqul mal). Kedua, pengembangan harta (tanmiyatul mal).
2. Pengembangan Harta
Pengembangan harta (tanmiyatul mal) adalah kegiatan yang memperbanyak jumlah
harta yang telah dimiliki (An-Nabhani, 1990). Seorang Muslim yang ingin

31
mengembangkan harta yang telah dimiliki, wajib terikat dengan ketentuan Islam
berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum Islam memberikan tuntunan
pengembangan harta melalui cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang
Islami dalam bidang pertanian, perindustrian, maupun perdagangan. Selain Islam juga
melarang mengembangkan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktifitas riba, judi,
serta aktifitas terlarang lainnya.
Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (collective
property) itu adalah hak Negara, karena Negara adalah wakil Umat. Meskipun
menyerahkan kepada Negara untuk mengelolanya, namun Allah SWT telah melarang
Negara untuk mengelola kepemilikan umum (collective property) tersebut dengan jalan
menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu. Sementara mengelola dengan selain
dengan cara tersebut diperbolehkan, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah
dijelaskan oleh syara'.
Adapun pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan Negara
(state property) dan kepemilikan individu (private property), nampak jelas dalam hukum-
hukum baitul mal serta hukum-hukum mu'amalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan
sebagainya. As-Syari' juga telah memperbolehkan Negara dan individu untuk mengelola
masing-masing kepemilikannya, dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hukum-
hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.

c) Karakteristik Hak Manfaat Atau Pemanfaatan Atas Sesuatu Harta


1. Kepemilikan tidak sempurna dapat dibatasi dengan waktu, tempat ataupun
persyaratan tertentu ketika memualai kepemilikannya
2. Tidak dapat diwariskan menurut hanafiah sedangkan menurut jumhul ulama
boleh diwariskan.
3. Bagi pemilik manfaat (pengguna)dapat menerima harta yang hendak digunakan
secara utuh dan ia wajib menjaga penuh segala sesuatu yang berhubungan dengan
harta tersebut. Maka baginya tidak wajib menggantinya kecuali kalau kerusakan
tersebut disebabkan olehnya
4. Segala pengeluaran yang diperlukan oleh pemakaian harta tersebut ditanggung
pengguna apabila dalam setatus peminjaman, adapun apabila dalam status sewa
maka pemilik resmi harta tersebut yang harus menggantinya

32
5. Setelah pemakaian harta tersebut, pihak pemakai harus segera mengembalikan
harta tersebut kepada pemiliknya, kecuali kalau ada sesuatu hal berkenaan dengan
tuntutan pemilik resmi berkenaan kerugian yang diterima pada hartanya.

d) Penggunaan Kepemilikan (Infaqul-Mal)


Yang dimaksud dengan penggunaan kepemilikan adalah membelanjakan harta yang
telah dimiliki secara sah untuk keperluan yang bersifat konsumtif. Harta yang
dibelanjakan untuk keperluan yang sifatnya konsumtif biasanya langsung habis dipakai.

Dalam sistem ekonomi islam, belanja untuk keperluan yang bersifat konsumtif ini
tetap diatur oleh hukum sya’riat, sehingga ada belanja yang dibolehkan oleh sya’riat, ada
juga belanja yang diharamkan oleh sya’riat.

1. Penggunaan Harta Yang Dihalalkan

Sistem ekonomi islan telah memberi aturan bahwa penggunaaharta yang telah dimiliki
oleh manusia itu telah diatur oleh hukum sya;riat islam secara terperinci. Aturan
penggunaan harta dalam ekonomi islam itu dimulai dalam bentuk status hukum yang
paling umum, yaitu mubah, kemudian yang terperinci, seperti wajib, sunnah, maupun
makruh.

a. Mubah

Penggunaan harta yang hukumnya mubah maksudnya adalah pembelanjaan harta


oleh manusia untuk berbagai keperluan hidup yang dibolehkan oleh Allah SWT untuk
dipilih manusia secara bebas, selama bukan untuk dibelanjakan untuk sesuatu yang
diharamkan Allah.

Berbagai keperluan belanja yang telah dipilih manusia ini memiliki konsekuensi
pahala maupun siksa dari Allah SWT. Maksudnya adalah, apabila manusia ingin
membelanjakan hartanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, seperti
untuk membeli makanan, minuman, pakaian, dsb. Maka berbagai pilihan terhadap
beberapa jenis kebutuhan yang akan dibeli manusia itu hukumnya adalah mubah.

b. Wajib

Penggunaan harta yang hukumnya wajib maksudnya adalah pembelanjaan harta


yang harus dikeluarkan. Jika pemilik harta tersebut mau membelanjakannya, maka dia

33
akan mendapat pahala dari Allah SWT. Sedangkan apabila dia tidak mau
membelanjakan harta untuk keperluan yang wajib tersebut, maka dia akan diancam
dengan siksa dari Allah SWT.

Contohnya : Penggunaan harta yang hukumnya wajib adalah mengeluarkan harta


untuk keperluan nafkah dari seorang suami kepada istrinya dan anak-anaknya.

c. Sunnah

Penggunaan harta yang hukumnya sunnah maksudnya adalah pembelanjaan harta


yang sangat dianjurkan untuk dikeluarkan. Jika pemilik harta tersebut mau
membelanjakannya, maka dia akan mendapat pahala dari Allah SWT. Sedangkan
apabila dia tidak mau membelanjakan harta untuk keperluan yang sunnah tersebut,
maka dia tidak akan disiksa oleh Allah SWT.

Contohnya : penggunaan harta yang hukumnya sunnah dalah mengeluarkan harta


untuk keperluan shodaqoh (sedekah).

d. Makruh

Penggunaan atau pembelanjaan harta ada yang hukumnya makruh. Hukum yang
makruh maksudnya adalah pembelanjaan harta yang dianjurkan untuk tidak
dikeluarkan. Jika pemilik harta tersebut tidak membelanjkannya, maka dia akan
mendapat pahal dari Allah SWT. Sedangkan apabila dia tetap membelanjakannya,
maka tidak masuk kategori dalam pembuatan dosa.

Contohnya : mengeluarkan harta untuk keperluan yang sudah melebihi


kebutuhannya secara wajar atau yang biasa dikenal dengan istilah boros.

2. Penggunaan Harta Yang Diharamkan


a. Israf dan Tadzbir

Ini sama halnya dengan perbuatan Boros. Tapi yang dimaksudnya israf dan tadzbir
yang hukumnya haram yaitu membelanjakan uangnya atau hartanya untuk perkara yang
diharamkan oleh Allah SWT.

34
b. Tarif

Makna dari tarif adalah bermewah-mewahan atau berfoya-foya. Namun yang


diharamkan disini adalah ketika berfoya-foya atau bermewah-mewahan dengan jalan
membelanjakan uangnya atau hartanya untuk perbuatan penyalahgunaan nikmat, berbuat
maksiyat, sombong (takabur), dan mebnagkang kepada Allah, karena banyaknya nikmat
yang diterimanya.

c. Taqtir (kikir)

Yang dimaksudkan taqtir yang diharamkan adalah kikir karena tidak mau
menafkahkan uangnya atau hartanya untuk keperluan yang haq, seperti : tidak menafkahi
orang yang menjadi tanggungan kewajibannya, tidak mau membeyar zakat, tidak mau
membantu orang yang sangat membutuhkan pertolongan, dsb.

D. Distribusi Kekayaan

a) Distribusi Antar Individu Manusia


Sebelum kita uraikan satu per satu dari aturan ekonomi Islam yang berkaitan dengan
distribusi kekayaan, baik antara individu maupun oleh Negara, terlebih dahulu akan
digambarkan skema tentang distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia secara
keseluruhan.

Jika kita mencermati ,maka kita dapat memahami bahwa harta kekayaan yang ada
dunia ini menurut pandangan system ekonomi Islam dibagi menjadi tiga, yaitu:
kepemilikan individu, kememilikan umum dan kepemilikan Negara.

Dari kemepilikan individu tersebut, kita dapat mengetahui bahwa individu atau swasta
dapat melakukan pengelolaan (tasharruf) sesuai dengan ketentuan hukum
syari’at.Bagaimana ketentuan pengelolaan kepemilikan individu oleh manusia.

Dalam konteks distribusi harta kekayaan antara individu tersebut, selanjutnya dapat
kita kelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu distribusi secara ekonomis dan
secara non ekonomis. Selanjutnya akan kita uraikan satu persatu.

35
1. Distribusi Antar Individu Secara Ekonomis

kita dapat memahami bahwa yang dimaksud dengan distribusi antar individu secara
ekonomis adalah terjadinya proses distribusi antar individu di dalam pasar syari’ah.
Mengapa di sebut pasar syaria’ah ?

Penulis menyebut “pasar syari’ah” dengan maksud adalah bahwa semua transaksi
antar individu yang berkaitan dengan barang dan jasa yang dilakukan dipasar tersebut
adalah dengan cara-cara (mekanisme) yang mengikuti aturan-aturan syari’at Islam.

Sedangkan penggunaan istilah “secara ekonomis”, yang dimaksudkan adalah


segenap dorongan transaksi yang dilakukan antar individu dalam rangka untuk
mngembangkan harta yang telah dimilikinya tersebut.Adanya dorongan individu untuk
mngembangkan hartanya tersebut biasa dikenal dengan istilah motif ekonomi.

Oleh karena itu, adanya aturan-aturan dalam pengembangan kepemilkan dalam


ekonomi Islam secara tidak langsung akan membawa implikasi terjadinya distribusi harta
kekayaan di tengah-tengah manusia secara ekonomis. Bidang pengembangan kepemilikan
tersebut meliputi.

 Bidang pertanian (az-ziro’ah).


 Bidang perdagangan (at-tijaroh).
 Bidang industry (ash-shina’ah).
 Bidang investasi (asy-syirkah).
 Bidang ketenagakerjaan (ijarotul-ajir).

Bagaimana bidang-bidang pengembangan harta kekayaan tersebut dapat dikatakan


mempunyai pern untuk terjadinya distribusi harta kekayaan antar individu?Untuk dapat
memahami hal ini secara lebih jelas tentu diperlukan beberapa contoh yang sederhana
sebagai berikut.

Misalnya adalah pengembangan harta di bidang pertanian. Kebolehan pengembangan


harta di bidang pertanian adalah dengan cara memproduksi lahan pertanian yang telah
dimiliki. Adanya aktivitas berproduksi tersebut akan menyebabkan lahan yang semula
kosong atau tandus akan menjadi berproduksi.

36
Produksi pertanian yang telah dihasilkan seorang petani tentu tidak akan dikonsumsi
semuanya, melainkan tentu ada yang di jual oleh petani untuk memperoleh uang. Dari
uang inilah seorang petani dapat membeli barang kebutuhan yang lain, misalnya adalah
pakaian. Transaksi di bidang perdagangan inilah yang menyebabkan terjadinya proses
distribusi harta dari petani kepada pedagang pakaian.

Pakaian yang dijual dipasar tentu dibeli oleh pedagang dari produsen yang bergerak di
bidang industri pakaian jadi.Dengan demikian, telah terjadi distribusi harta dari pedagang
pakaian kepada produsen pakaian jadi. Selanjutnya uang yang diterima pengusaha
pakaian ini digunakan untuk apa ?

Ternyata uang diperolehnya sebagian digunakan untuk melakukan transaksi yang lain,
yaitu untuk membayar upah bagi pekerjanya. Di sinilah bidang ketenagakerjaan (ijarotul-
ajir) dalam Islam telah mengaturnya, sehingga terjadi distribusi harta dari seorang
majikan (musta’jir) kepada pekerjanya (ajir).

Darimana seorang majikan dapat memiliki sebuah industri pakaian jadi ?Jawabanya,
ternyata dia memperoleh modal dari rekan-rekannya yang memiliki banyak kelebihan
harta.Harta yang berlebihan itu kemudian diserahkan kepadanya dengan melalui aqad
syirkah mudharabah.

Dengan terjadi aqad syirkah mudharabah inilah seseorang yang sebenarnya tidak
memiliki modal sama sekali sebelumnya, dapat melalui membangun perusahaannya. Dari
bidang investasi ini, kita juga dapat melihat bahwa telah terjadi distribusi harta dari
pemilik modal (shahibul maal) kepada pengelola (mudharib).

Demikian seterusnya. Semua bidang pengembangan harta kekayaan sebagaimana


yang telah disebutkan di atas, jika diupayakan oleh segenap individu tentu akan
membawa implikasi bagi terdidtribusikannya harta kekayaan di tengah-tengah
masyarakat. Jika segenap upaya yang dilakukan antar individu tersebut senantiasa dalam
koridor syari’at Islam, maka segenap transaksi tersebut layak untuk disebut dengan
aktivitas ekonomi yang berada dalam kolidor mekanisme pasar syari’at.

2. Distribusi Antar Individu Secara Non ekonomi

Distribusi antara individu yang bersifat non ekonomis tentu berbeda dengan distribusi
antar individu yang bersifat ekonomis.Untuk distribusi yang bersifat non ekonomis adalah

37
terjadinya distribusi antar manusia yang muncul karena adanya dorongan untuk
memperoleh pahala dari sisi Allah SWT.

Amaliah individu yang bersifat non ekonomis, namun dapat mewujudkan distribusi
harta di tengah-tengah manusia adalah: zakat, nafkah, shodaqoh, hadiah, hibah dsb.
Seluruh amal tersebut dorongannya adalah dalam rangka untuk memperoleh pahala dari
Allah SWT, namun dengan status hukum yang bertingkat, ada yang wajib, ada juga yang
sunnah.

Inilah keunggulan khusus yang diberiakan oleh system ekonomi Islam. Distribusi
secara non ekonomi ini tdak akan dapat di temukan dalam system ekonomi apapun buatan
manusia. Sebab, motif yang mendorong bagi terjadinya distribusi harta kekayaan ini tidak
hanya berdimensi dunia, akan tetapi juga memiliki dimensi akherat.

Hal ini tentu berbeda dengan motif yang diajarkan oleh system buatan akal manusia,
yang memberikan dorongan untuk mengeluarkan harta dengan motif non ekonomi itu
hanyalah sekedar karena rasa belas kasihan atau hanya sekedar untuk menjungjung nilai-
nilai kemanusiaan semata.Dimensi itu tentu saja hanya dalam konteks kehidupan di dunia
ini saja, tidak lebih dari itu.

Dengan kata lain, di dalam lingkaran motif non ekonomi buatan manusia,
dorongannya hanya dalam wilayah perasaan saja. Tidak lebih dari itu. Artinya, jika
perasaannya sedang tersentuh oleh rasa belas kasihan dengan sesama manusia, karena iba
melihat kemiskinan atau iba melihat mereka yang tertimpa musibah bencana alam
misalnya, maka hal itu akan mendorong manusia untuk mengeluarkan hartanya demi
kepentingan untuk menolong sesama manusia.

Namun, jika perasaan-perasaan itu tidak muncul dalam dirinya, apalagi jika rasa
kikirnya sedang mendominasi, maka orang tersebut tidak akan terdorong untuk
mengeluarkan hartanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa wilayah dorongannya hanya
“mubah-mubah” saja. Jika dia ingin memberi, maka dia akan memberi, namun jika
sedang merasa enggan, maka dia akan enggan untuk memberi. Sangat tergantung dengan
suasana hati dan perasaannya.

Hal itu tentu berbeda dengan pengaturan yang ada dalam system ekonomi Islam. Jika
status hukum dari pengeluaran harta itu adalah wajib, maka suasana perasaan apapun
tidak akan ditolelir. Apakah dia sedang senang, sedang kikir, sedang malas, sedang tidak

38
suka, tapi dia tetap wajib mengeluarkan harta tersebut, maka dia akan diancam dengan
azab dari Allah SWT, bahkan dia bias diajukan di hadapan pengadilan dan bias
mendapatkan sangsi hukuman dari Negara.

Oleh karena itu, ada jargon yang sangat terkenal dalam ekonomi Islam, yaitu: “di
dalam harta orang kaya itu ada haknya orang miskin “. Maksudnya, jika ada orang yang
kaya dan hartanya sudah melampaui batas (nishob) zakat (misalnya), maka 2,5% dari
harta yang dimiliki tersebut bukan miliknya lagi, namun sudah menjadi hak milik fakir
miskin. Dia sudah tidak berhak lagi untuk memanfaatkan harta tersebut, walaupun harta
itu dia peroleh dengan cucuran keringatnya sendiri.

Demikian juga bagi seorang suami, apabila dia memiliki harta, namun dia enggan atau
kikir untuk memberi nafkah kepada istri dan anaknya, maka istrinya itu berhak untuk
mengambil harta suaminya untuk kebutuhan dirinya maupun kebutuhan anak-anaknya,
sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Hadits Nabi SAW:

”Bahwa Hindun binti Utbah berkata pada Rasulullah:’Sesunggguhnya Abu Sufyan


adalah orang yang kikir, dia tidak memberiku sesuatu yang mencukupiku dan anakku,
kecuali aku mengambil darinya, sedang dia tidak mengetahui’. Rasullullah
bersabda:’Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara ma’ruf”.
(HR.Bukhari).

Demikian juga untuk amalan yang status hukumnya sunnah. Ada dimensi yang tidak
akan didapatkan dalam aturan buatan manusia. Keyakinan yang diajarkan dalam system
ekonomi Islam akan memberi dorongan yang luar biasa pada seseorang yang mau
mengeluarkan hartanya di jalan Allah SWT, yaitu akan diberi pahala yang besar dan
Allah SWT juga berjanji akan dlipatgandakan hartanya di dunia ini, maupun di akherat
kelak. Allah SWT berfirman:

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan
(rezeki) dan kepada Nya lah kamu di kembalikan” (QS.Al-Baqarah:245).

”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan


hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
butir, pada tiap-tiap butir: seratus biji.Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa

39
yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui”(QS.Al-Baqarah: 261).

Dengan demikian, dorongan yang di berikan oleh Islam bagi individu untuk
mengeluarkan hartanya dijalan Allah tentu akan lebih besar dan lebih kuat peneruhya di
bandingkan dengan dorongan yang hanya sekedar karena rasa belas kasihan atau hanya
karena mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan semata.

Oleh karena itulah, di dalam system ekonomi Islam dampak yang akan ditimbulkan
oleh dorongan ini diharapkan benar-benar akan dapat memberikan kemakmuran ekonomi
bagi segenap manusia, tidak hanya untuk beberapa gelintir individu manusia saja.

Jika distribusi antar individu yang bersifat non ekonomi ini benar-benar telah menjadi
budaya umat Islam, maka ekonomi Islam akan dapat tumbuh dan berkembang secara
bersama, kemakmuranpun akan dapat dinikmati secara bersama, sebagaimana janji Allah
SWT melalui firman-Nya:

“Allah memusnahkan riba dan menyeburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”(QS.Al-
Baqarrah:276).

Ayat di atas menyatakan bahwa Allah SWT akan memusnahkan riba dan akan
menyuburkan sedekah. Dengan demikian, budaya sedekah benar-benar akan mampu
menyuburkan perekonomian dan sebaliknya, budaya riba akan menghancurkan
perekonomian.

b) Distribusi Oleh Negara


Sebagaimana telah digambarkan dalam skema di atas, yang dimaksud dengan
distribusi harta kekayaan oleh Negara adalah adanya peran Negara, baik secara tidak
langsung (secara ekonomis, yaitu melalui mekanisme pasar syari’ah), maupun secara
langsung (secara non ekonomis) dalam pendistribusiannya.

Dalam ekonomi ekonomi kapitalisme, peran Negara agak mirip dengan aktivitas
tersebut dikenal dengan istilah kebijakan fiscal.Kebijakan fiscal adalah kebijakan Negara
dalam penyusunan anggaran belanjanya, baik dari sektor penerimaan maupun dari sektor
belanjanya.Dalam system ekonomi kapitalisme, penyusunan anggaran belanjanya, baik
dari sektor penerimaan maupun dari sektor belanjanya.Dalam ekonomi kapitalisme,

40
penyusunan anggaran belanja Negara dituangkan dalam nota APBN. Sedangkan dalam
system ekonomi Islam, kebijakan penyusunan anggaran Negara dikelola oleh sebuah
lembaga yang bernama Baitul Mal. Apa perbedaan antara konsep penyusunan APBN
dengan konsep penyususnan Baitu Mal dalam konsep Sistem Ekonomi Islam?

1. Prinsip Dasar Penyusunan APBN dalam Sistem Ekonomi Islam

Perbedaan prinsip yang paling mendasar antara APBN kapitalisme dengan Baitul Mal
adalah menyangkut sumber-sumber utama pendapatannya dan alokasi
pembelanjaannya.Menurut faham ekonomi kapitalisme, sumber utama pendapatan
Negara yang utama hanyalah berasal dari pajak yang di pungut dari rakyatnya. Sedangkan
pengeluaran (belanja) utamanya hanyalah untuk membiayai kebutuhannya sendiri,
seperti: administrasi Negara, operasi departemen pemerintah, pertahanan keamanan dsb.

Dalam penyusunan APBN-Nya, pemerintah harus selalu merujuk kepada prinsip


anggaran berimbang, artinya belanja yang harus dikeluarkan pemerintah harus
seimbang (sebesar) dengan penerimaan dari pajak yang berasal dari rakyatnya. Jika
pemerintah harus mengeluarkan belanja yang besarnya melebihi dari sumber
penerimaanya, maka inilah yang akan disebut sebagai anggaan defisit atau biasa dikenal
dengan sebutan defisit fiscal. Jika anggaran pemerintah mengalami defisit, maka
biasanya akan ditutup dengan salah satu dari empat cara (Tambunan, 1996):

 Penjualan obligasi(surat utang Negara).


 Pinjaman dari Bank sentral dengan cara mencetak uang baru.
 Pinjaman di pasar uang atau modal di dalam negeri atau di luar negeri.
 Pinjaman atau bantuan resmi dari pemerintah Negara-negara donor.

Dari penjelasan singkat di atas kita dapat memahami, jika pemerintah harus
menetapkan anggaran defisit, maka dari keempat sumber dana untuk menutupi
kekurangan anggarannya, sesungguhnya hanya bermuara pada satu kata, yaitu :hutang !
Inilah lingkaran setan dari ekonomi kapitalisme, yang tidak pernah akan berujung
pangkal.

2. Prinsip Dasar Penyusunan Baitul Mal

Prinsip di atas tentu sangat berbeda dengan system penyusunan Baitul Mal. Sumber-
sumber penerimaan Baitul Mal, sama sekali tidak mengandalkan dari sektor pajak.

41
Bahkan Negara sedapat mungkin untuk tidak memungut pajak dari rakyatnya.Sumber-
sumber utama penerimaan Negara untuk Kas Baitul Mal seluruhnya telah digariskan oleh
Syari’at Islam. Paling tidak ada 3 sumber utama Kas Baitul Mal, yaitu (zallum, 1993):

 Dari sektor kepemilihan individu, seperti: shodaqoh, hibah, zakat dsb. Khusus untuk
zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain.
 Dari sektor kepemilikan umum, seperti: pertambangan, minyak bumi, gas, batubara,
kehutanan dsb.
 Dari sektor kepemilihan Negara, seperti: jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, usyur dsb.

Seorang kepala Negara (khalifah) dalam system ekonomi islam memiliki kewenangan
penuh untuk menetapkan anggaran belanjaannya tanpa harus meminta persetujuan majelis
ummat (atau DPR dalam sistem ekonomi kapitalisme).

Demikian juga, penyusunan anggaran Baitul Mal, khalifah juga tidak terikat dengan
tahun fiskal sebagaimana yang ada dalam system ekonomi kapitalisme.Khalifah dalam
menetapkan anggaran belanjanya hanya tunduk dengan garis-garis atau kaidah-kaidah
yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam, berdasarkan pada ketentuan yang telah
digariskan oleh syari’at Islam, agar jangan sampai harta itu berputar di kalangan orang-
orang kaya saja. Allah SWT berfirman:

“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-ornag kaya saja di antara kamu”
(QS.Al-Hasyr:7).

3. Kaidah Pembelanjaan Baitul Mal

Khalifah dalam menetapkan pos-pos pembelanjaannya, paling tidak harus mengikuti 6


kaidah utama dalam pengalokasian anggaran belanjanya, yaitu (An-Nabhani,1990):

a. Khusus untuk harta di Kas Baitul Mal yang berasal dari zakat, maka pos
pengeluarannya wajib hanya di peruntukan bagi 8 ashnaf sebagaimana yang telah
ditunjukkan dalam Al-Qur’an.
b. Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari Baitul Mal untuk keperluan jihad dan
menutup kebutuhan orang-orang fakir dan miskin.
c. Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari Baitul Mal untuk memberikan gaji
(kompensasi) atas jasa yang telah dicurahkan untuk kepentingan Negara, yaitu:
pegawai negeri, hakim, tentara dsb.

42
d. Pos pembelajaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat wajib,
dalam arti jika sarana tersebut tidak ada, maka akan menimbulkan kemudharatan bagi
rakyat. Contohnya adalah: pembangunan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit,
masjid dsb.
e. Pos pembelanjaan wajib yang bersifat kondisional, yaitu untuk menanggulangi
terjadinya musibah atau bencana alam yang menimpa rakyat. Contohnya adalah:
terjadinya paceklik, gempa bumi, banjir, angina taufan, tanah longson dsb.
f. Pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemashlahatan rakyat yang bersifat
tidak wajib, dalam arti sarana tersebut hanya bersifat penambahan dari sarana-sarana
yang sudah ada.
4. Pengaturan Pengeluaran Baitul Mal

Mengingat dana yang tersedia dalam kas Baitul Mal bersifat tidak tetap, karena harus
mengikuti besar kecilnya sumber-sumber pedapatan yang masuk ke Kas Baitul Mal, yang
terkadang pemasukannya besar, bias jadi pada saat yang lain pemasukannya justru
mengalami penurunan.

Tata cara pengeluaran yang harus dijadikan pegangan oleh seorang Kepala Negara
(Khalifah) dalam mengatur pembelanjaannya adalah dikembalikan pada jenis-jenis dari
pos pengeluaran sebagaimana yang telah diperinci sebelumnya.

a. Untuk pos pengeluaran yang pertama, maka pengeluaran yang harus di lakukan oleh
seorang khalifah hanya mendasarkan pada banyaknya zakat yang masuk ke kas Baitul
Mal, kemudian disalurkan pada 8 ashnaf sebagaimana yang telah ditentukan dalam
Al-Qur’an.
b. Untuk pos pengeluaran dari butir kedua sampai butir kelima, maka khalifah harus
mengeluarkan harta dari Kas Baitul Mal sebagai kewajiban yang harus segera
ditunaikan oleh Negara terhadap hak-hak yang harus di terima oleh rakyatnya sesuai
dengan kondisinya masing-masing.
c. Jika Kas Baitul Mal mengalami kekurangan, maka harus dilihat lebih lanjut. Jika
pemenuhan kekurangan itu tidak segera diberikan akan dapat menyebabkan terjadinya
kemudharatan yang serius, maka khalifah harus segera mengupayakan pemenuhan
kekurangan harta tersebut.
d. Namun jika pemenuhan kekurangan itu dikhawatirkan tidak akan menimbulkan
kemudharatan yang serius, maka pemenuhan kekurangan tersebut dapat ditunda

43
sampai adanya pemasukan harta lagi, barulah pembayaran harta itu diberikan kepada
mereka yang berhak menerimanya.
e. Sedangkan untuk butir yang keenam, maka pengeluarannya harus mendasarkan pada
ketersediaan Kas Baitul Mal. Jika dalam kas Baitul Mal masih ada kelebihan dana,
maka pengeluaran untuk pos ini dapat dilakukan oleh khalifah.

c) Aplikasi Pengeluaran Kas Baitul Mal


Sesuai dengan prinsip dasar politik Ekonomi Islam, tugas ekonomi Negara dikatakan
telah berhasil jika sudah tidak ditemukan lagi warga Negara (walaupun hanya satu orang
individu) yang belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.Oleh karena itu, ukuran
kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan
pembangunan ekonomi, menurut pandangan ekonomi Islam.

Dengan demikian, walaupun pertumbuhan ekonomi suatu Negara itu tinggi, namun
jika masih ditemukan ada warga Negara (walaupun hanya satu orang individu) yang
belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, maka pembangunan ekonomi Negara ini
dapat dikatakan telah gagal. Bahkan, penguasannya diancam akan diminta pertanggung
jawaban Allah SWT di akherat kelak. Sesuai dengan Hadits Nabi SAW:

“Seorang imam adalah pengembala (pelayan), dan dia akan dimintai


pertanggungjawaban terhadap seluruh rakyat yang dilayaninya”.(HR.Bukhari;Ahmad).

Selanjutnya, selain kebutuhan pokok individu di atas, Kas Baituk Mal juga akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat,yang meliputi: pendidikan,
kesehatan, dan keamanan yang gratis. Oleh karena itu, Negara wajib menjamin agar
seluruh rakyatnya dapat menikmati pendidikan sampai ke jenjang yang setinggi-tingginya
secara gratis, termasuk juga dalam layanan kesehatan maupun keamanan.

44
DAFTAR PUSTAKA

Mujahidin, H. Akhmad. (2013). Ekonomi Islam : Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan
Pasar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Rivai, H. Veithzal dan Buchari, Andi. (2009). Islamic Economics : Ekonomi Syariah Bukan
OPSI, Tetapi SOLUSI!. Jakarta : PT Bumi Aksara

Triono, Dwi Condro. (2012). Ekonomi Islam Madzhab Hamfara. Bantil : Irtikaz

Q ardhawi ,Yusuf. (1997).  Norma dan Etika Islam. Jakarta : Gema Insani Press

Sholahuddin,  (2007). Asas-Asas Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

At-Thariqi, Abdullah Abdul Husain. (2004). Ekonomi Islam, Prinsip Dasar dan Tujuan.
Jakarta : Magistra Insani Press

Ahmad Mustafa Al-Maraghi,. Tafsir  al-Maraghi. Semarang : CV. Toha Putra.

Munir, Abdul. (2006). Harta Dalam Perspektif Al Quran. Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Salim, M. Firliadi Noor. (2013). Konsep Kepemilikan Dalam Islam. [Online]. Tersedia :
https://www.academia.edu/7415725/Teori_Kepemilikan_Dalam_Islam. Akses 14 Desember
2014.

Sholeh, Akhirul. (2008). Konsep Harta dalam Aspek Ekonomi. [Online]. Tersedia :

https://akhirulsholeh.wordpress.com/2008/06/19/konsep-harta-aspek-islam/ di akses pada 18


Desember 2014.

Lilmuttaqin, April. (2014). Konsep Kepemilikan dalam Islam. [Online]. Tersedia :


http://aprililmuttaqin.blogspot.com/2014/03/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html di akses
17 Desember 2014

Pane, Syahmiruddin. (2012). Pengembangan dan Pemanfaatan Hak Milik dalam Islam.
[Online]. Tersedia : http://syahmiruddinpane.blogspot.com/2012/08/pengembangan-dan-
pemanfaatan-hak-milik.html di akses pada 17 Desember 2014

45
Hafi, Ahmad. (2012). Kepemilikan dalam islam. [Online]. Tersedia :
https://hafies.wordpress.com/2009/07/02/kepemilikan-dalam-islam/ di akses pada 17
Desember 2014

46
LAMPIRAN

Muhammad Nizar

Ulfia Nurfadilah

- Editor

Annisa Rahmawati

Yoga Apriyadi

47

Anda mungkin juga menyukai