Anda di halaman 1dari 22

KAIDAH KHUSUS DALAM SKALA PRIORITAS

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Pengantar Kaidah


Fiqhiyah

Dosen pengampu Dr. Hj. Neni Nuraeni, M.Ag.

Oleh :

Marwan Abdul Rasyid : NIM 1183020058

Itsny Nur Syamsiyah Kamal : NIM 1203020083

Izman Ibnu Hisan Ilman Naafian : NIM 1203020084

Khilda Yulia Azzalita : NIM 1203020086

Lasa Cahyani : NIM 1203020087

Latifah Aini : NIM 1203020089

Lukita Ulvia Hidayani : NIM 1203020090

Hilman Habiebulhaq : NIM 1203020183


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang, segala puji hanya milik Allah yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah serta inayah-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan
makalah mata kuliah Pengantar Kaidah Fiqhiyah mengenai “Kaidah
Khusus dalam Skala Prioritas .”
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr.
Neni Nuraeni, M.Ag., selaku dosen mata kuliah Pengantar Kaidah Fiqhiyah.
Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
terkait bidang yang kami tekuni. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan
khususnya kepada teman-teman kelompok enam yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini disusun dengan sebaik-baiknya dan semaksimal
mungkin. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
terdapat kekurangan dari tata bahasa, penggarapan materi, serta susunan
kalimatnya. Maka dari itu, besar harapan kami supaya makalah ini dapat
dimaklumi serta diterima dengan baik dan kritikan serta masukan yang
membangun sangat kami harapkan agar dapat menyusun makalah yang
lebih baik kedepannya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat serta pengetahuan
lebih kepada pembaca, khususnya kepada kami selaku penyusun dari
makalah ini.

Bandung, September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

A. Latar Belakang.....................................................................................1

B. Rumusan Masalah................................................................................2

C. Tujuan Penulisan.................................................................................2

D. Manfaat Penulisan...............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................3

A. Pengertian, Makna, dan Kaidah Fiqih Prioritas...................................3

B. Landasan Kaidah Khusus dalam Skala Prioritas.................................6

C. Cabang-cabang Kaidah Khusus dalam Skala Prioritas........................8

D. Penerapan Kaidah Khusus dalam Skala Prioritas..............................12

BAB III PENUTUP....................................................................................16

A. Kesimpulan........................................................................................16

B. Saran..................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................18

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kajian tentang fikih akan selalu mengalami perubahan dan
perkembangan, karena fikih merupakan buah pikiran yang ditujukan
untuk menjawab fenomena kehidupan yang akan selalu berubah dan
berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Oleh sebab itu, fikih harus
secara terus menerus dipelajari dan dikaji sebagai tanggapan atas
hakikatnya yang harus selalu berubah dan berkembang sesuai dengan
kemajuan zaman. Fikih yang pada mulanya mencakup semua aspek
hukum yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, manusia
dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya, kini mulai
mengalami penyempitan makna, pembahasan dan penamaan. Hal ini
merupakan respon atas adanya perkembangan yang begitu pesat pada
masing-masing pembahasan yang tetntunya semakin menuntut ketelitian
dan spesialisasi para ahli fikih.
Salah satu cabang ilmu fikih yang beberapa saat ini muncul dan
menjadi salah satu hal yang layak untuk dibahas adalah apa yang
dinamakan dengan kaidah dalam skala prioritas.
Penentuan skala prioritas tersebut dapat terjadi dalam hampir di
setiap sisi keberagamaan, mulai ibadah, muamalah, sampai akhlak.
Pengetahuan tentang bagaimana cara menentukan prioritas tersebut—
meminjam istilah yang dipakai Yusuf Qardhawi—disebut dengan Fiqh
al-Awlawiyah (Fiqih Prioritas), atau Fiqh Maratib al-A`mal (Fiqih
Mengurutkan Aktivitas), yakni aturan-aturan mengenai cara menentukan
prioritas dalam kehidupan beragama sehari-hari.
2

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan, rumusan masalah
yang diangkat, antara lain:
1. Bagaimana pengertian, makna, dan kaidah khusus dalam skala
prioritas?
2. Bagaimana landasan hukum kaidah dalam skala prioritas dari Al-
Qur’an dan Hadits?
3. Bagaimana cabang-cabang kaidah khusus dalam skala prioritas?
4. Bagaimana penerapan kaidah khusus dalam skala prioritas?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Menjelaskan pengertian, makna, dan kaidah khusus dalam skala
prioritas;
2. Menjelaskan landasan hukum kaidah khusus dalam skala prioritas dari
Al-Qur’an dan Hadits;
3. Menjelaskan cabang-cabang dari kaidah khusus dalam skala prioritas;
4. Menjelaskan penerapan kaidah khusus dalam skala prioritas.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapakan dari hasil penelitian ini, di antaranya:
1. Menambah ilmu dan memperluas pemahaman mengenai pengertian,
makna, dan kaidah khusus dalam skala prioritas;
2. Menambah ilmu dan memperluas pemahaman mengenai landasan
hukum kaidah khusus dalam skala prioritas dari Al-Qur’an dan
Hadits;
3. Menambah wawasan dan pemahaman mengenai cabang-cabang dari
kaidah khusus dalam skala prioritas;
4. Menambah wawasan dan pemahaman mengenai penerapan kaidah
khusus dalam skala prioritas.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Makna, dan Kaidah Fiqih Prioritas


Karena bahasan tentang fikih prioritas merupakan bahasan yang
baru, maka tidak banyak ditemukan tokoh yang memberikan definisi atau
pengertian tentang fikih prioritas atau fiqh al-aulawiyyat. Yusuf al-
Qardhawi misalnya memberikan pengertian fikih prioritas dengan:
“Pengetahuan yang menjelaskan tentang amal-amal yang rajih
dari yang lain, yang lebih utama dari yang lain, yang sahih daripada
yang rusak, yang diterima daripada yang ditolak, yang disunnahkan
daripada yang bid’ah, serta memberikan nilai dan harga bagi amal
sesuai dengan pandangan syari’at,”
Hanya saja pengertian ini lebih mengarah kepada pengertian
praktis dari fikih prioritas, bukan pada pengertian ilmiah yang membatasi
fikih prioritas sebagai sebuah cabang keilmuan. Selain itu secara
akademis pengertian seperti ini terlalu panjang karena sebuah definisi
dituntut untuk mengungkapkan banyak hal dengan kalimat yang ringkas
dan jelas. Salah satu pengertian dari fiqh prioritas yang sampai saat ini-
sepengetahuan penulis-paling baik adalah pengertian yang disampaikan
oleh Muhammad al-Wakili dalam bukunya “Fiqh al-Aulawiyyat, Dirasah
fi adh-Dhawabith”. Dalam buku tersebut ia memberikan definisi fikih
prioritas sebagai berikut:

‫ بمراتبها وبالواقع الذي‬ ‫العلم باألحكام الشرعية التي لها حق التقديم على غيرها بناء على العلم‬
‫يتطلبها‬

Definisi ini lebih bisa diterima karena mencakup tiga aspek


penting yang seharusnya ada dalam fikih prioritas yaitu pengetahuan

3
4

tentang hukum syar’i dengan tingkatan prioritasnya, batasan yang


dijadikan dasar  untuk mentarjih sebuah hukum atas yang lain ketika
terjadi pertentangan, dan  tentang kondisi yang melingkupinya.
Dari keempat pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa fiqh
secara bahasa bermakna pemahaman. Hal ini dipertegas lagi dengan
sebuah hadits Rasulullah Saw. tatkala mendoakan anak pamannya, Ibnu
‘Abbas, “Allahumma faqqihhu fi al-din wa ‘allimhu al-ta’wil” (Ya Allah,
berikanlah dia pemahaman dalam agama serta ajarkanlah dia akan
takwil).
Sedangkan pengertian prioritas (al-awlawiyyat) terambil dari kata
awla yang bermakna lebih utama (afdhal) dan lebih penting (ahamm).
Dari sini, secara terminologis, fiqh prioritas dapatlah dipahami sebagai
pemahaman yang komprehensif akan segala hal yang berkenaan dengan
hukum, nilai dan amalan agama serta menempatkannya dalam tingkatan
yang adil dan fair dengan mendahulukan yang lebih penting (ahamm)
daripada yang penting (muhimm); yang lebih utama (afdhal) di atas yang
utama (fadhil); primer (dharuriyyat) di atas sekunder (hajjiyyat) dan lain
sebagainya. Dengan menempatkan segala aturan hukum, nilai dan
amalan agama itu pada skala prioritas tersebut secara fair dan adil, maka
tentunya tatanan kehidupan yang harmonis dan seimbang akan tercipta di
tengah-tengah masyarakat.
Berangkat dari sini, maka fiqh prioritas, sungguhpun terma ini
baru mengemuka sejak dekade 90-an, namun pada tataran praktik
pengamalannya— bila ditelisik lebih jauh—sebenarnya telah lama
terbumikan dan teraplikasikan dalam kehidupan generasi Islam
terdahulu, baik dari kalangan Shahabat Rasulullah Saw. maupun para
salafu al-shalih. Hal ini dapat ditemui misalkan tatkala para Shahabat
Rasulullah Saw. diperhadapkan kepada dilema antara mengurus
pemakaman jenazah Rasulullah Saw. ketika beliau wafat serta memilih
pemimpin baru pengganti Rasulullah Saw. (khalifah).
5

Maka bukan hal yang ganjil jika kemudian para Shahabat lebih
mendahulukan pemilihan khalifah ketimbang mengurusi pemakaman
jenazah. Rasulullah Saw. Sebab dimaklumi, bahwa kedua hal ini (antara
memilih khalifah dan menguburkan jenazah), sungguhpun memiliki
kadar dan level kepentingannya masing-masing, namun para Shahabat
yang terdidik dalam halaqah Rasulullah itu dengan jeli memandang
bahwa segala hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umat dan jamaah
mestilah didahulukan daripada kepentingan personal (mashlahatul
jama’ah muqaddamah ‘ala mashlahah al-fard). Bahwa kehadiran khalifah
baru lebih berkenaan langsung dengan kemaslahatan jamaah serta lebih
menjamin keberlangsungan (survival) Islam di muka bumi untuk masa
berikutnya, karenanya, pemilihan pemimpin baru tersebut mesti
didahulukan ketimbang hal- hal lainnya.
Kegunaan lain dengan adanya fiqh prioritas yang dapat
dipergunakan dalam kehidupan ini, bahwa penentuan setiap amalan, nilai
atau hukum yang diputuskan itu akan terhindar dari aneka ragam
kepentingan yang tertanam (vested interest). Hal ini terang, mengingat
bahwa dalam penetapan “prioritas lebih penting di atas penting” itu
didasarkan kepada standar yang berlaku dalam syariat (mi’yar syar’iy)
dan bukannya terpaku kepada kepentingan individu atau orang- perorang
(mashlahah al-fard). Dari sini, maka keberadaan fiqh prioritas tidak
terlepas dari fiqh muwazanat dan fiqh maqashid yang akan sangat
membantunya dalam menjelaskan serta mengurai segala hal yang “lebih
penting” di atas yang “penting” tadi manakala terjadi benturan (ta’arudh)
antara kemaslahatan (mashlahat) dengan sesamanya; antara kemaslahatan
dengan kemudaratan (mafsadah); atau barangkali benturan itu terjadi
antarsesama kemudaratan itu sendiri dalam waktu yang bersamaan pula.
Terhindarnya fiqh prioritas dari aneka vested interest jelas karena dalam
penentuannya, fiqh ini memakai norma dan standar yang berlaku dalam
syariat Islam. Akan halnya fiqh maqashid akan membantu kita dalam
6

memahami maksud dan tujuan dari pensyariatan suatu perintah agama


atau amalan.
B. Landasan Hukum Kaidah Khusus dalam Skala Prioritas
Fiqh Prioritas  ialah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya
dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang
mula-mula dikerjakan harus didahulukan, berdasarkan penilaian syari’ah
yang shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu, dan diterangi oleh
akal. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

ْ ِ‫ َوَأقِي ُموا ا ْل َو ْزنَ بِا ْلق‬،‫ َأاَّل تَ ْط َغ ْوا فِي ا ْل ِمي َزا ِن‬، َ‫ض َع ا ْل ِميزَ ان‬
ِ ‫س ِط َواَل ت ُْخ‬
‫س ُروا‬ َ ‫س َما َء َرفَ َع َها َو َو‬
َّ ‫وال‬
َ‫ا ْل ِميزَ ان‬

“Dan Allah SWT telah meninggikan langit dan Dia meletakkan


neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca
itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu.” (Ar-Rahman:7-9).1

‫س ِج ِد ٱ ْل َح َر ِام َك َمنْ َءا َمنَ بِٱهَّلل ِ َوٱ ْليَ ْو ِم ٱ ْل َءا ِخ ِر َو ٰ َج َه َد فِى‬ ْ ‫ٓاج َو ِع َما َرةَ ٱ ْل َم‬ِّ ‫سقَايَةَ ٱ ْل َح‬ِ ‫َأ َج َع ْلتُ ْم‬
ٰ
َ‫ستَ ُوۥنَ ِعن َد ٱهَّلل ِ ۗ َوٱهَّلل ُ اَل يَ ْه ِدى ٱ ْلقَ ْو َم ٱلظَّلِ ِمين‬
ْ ‫سبِي ِل ٱهَّلل ِ ۚ اَل َي‬َ
ۚ ِ ‫س ِه ْم َأ ْعظَ ُم َد َر َجةً ِعن َد ٱهَّلل‬
ِ ُ‫سبِي ِل ٱهَّلل ِ بَِأ ْم ٰ َولِ ِه ْم َوَأنف‬ ۟ ‫وا َو ٰ َج َهد‬
َ ‫ُوا فِى‬ ۟ ‫َاج ُر‬
َ ‫وا َوه‬ ۟ ُ‫ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ٓ
َ‫َوُأ ۟و ٰلَِئ َك ُه ُم ٱ ْلفَٓاِئ ُزون‬

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang


mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram kamu samakan dengan
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian serta
berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman
dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri

1
Fiqh Prioritas – Yusuf Qardhawi – Catatan Kami
7

mereka, adalah lebih tinggi darjatnya di sisi Allah; dan itulah orang-
orang yang mendapat kemenangan.” (At – Taubah : 19-20).2
Selain itu, dalam kalangan para sahabat Rasulullah s.a.w., mereka
merupakan orang-orang yang sangat mengambil berat untuk mengetahui
perkara-perkara dan perbuatan-perbuatan yang sangat diutamakan,
supaya mereka dapat menjadikannya sebagai wasilah untuk melakukan
taqarrub kepada Allah S.W.T. Oleh kerana itu, mereka kerap kali
bertanya kepada Baginda S.A.W. mengenai perbuatan-perbuatan yang
paling diutamakan dan disukai Allah Taala, seperti soalan yang telah
diajukan oleh Abdullah Ibn Mas’ud, Abu Dzar al-Ghiffari r.a. dan
selainnya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan jawapan yang diberikan
sendiri oleh Baginda s.a.w. ke atas pertanyaan-pertanyaan mereka.
Sebagai contoh, Rasulullah telah bersabda yang bermaksud :
“Solat berjemaah lebih utama dua puluh tujuh darjat daripada solat
bersendirian.” Baginda juga pernah bersabda: “Berdiri di medan jihad
(ribat) sehari semalam, lebih utama (ganjarannya) daripada puasa dan
qiamullail (solat malam) sebulan lamanya.”3
Di samping itu Rasulullah saw juga bersabda, “Iman itu ada tujuh
puluh cabang lebih; yang paling tinggi di antaranya ialah ‘la ilaha illa
Allah,’ dan yang paling rendah ialah ‘menyingkirkan gangguan dari
jalan.’4
C. Cabang-cabang Kaidah Khusus dalam Skala Prioritas
Dalam menjalani hidup, pilihan-pilihan yang tidak mudah akan
terus kita hadapi, baik berupa masalah yang bersifat individu, maupun
kelompok. Pilihan-pilihan ini diambil berdasarkan nilai-nilai tentang
kepercayaan akan kebenaran, kemaslahatan, dan kebaikan untuk
menetapkan suatu pilihan. Hal ini terjadi karena setiap aktivitas yang
2
Referensi: https://tafsirweb.com/3036-quran-surat-at-taubah-ayat-19-20.html
3
Fiqh Al-Awlawiyyat « Fitrah Islami Online (wordpress.com)
4
Fiqh Prioritas – Yusuf Qardhawi – Catatan Kami
8

dilakukan oleh umat Muslim akan selalu menghadapi hal-hal yang dapat
menimbulkan manfaat (mashlahat) dan keburukan (mafsadat). Dalam hal
tersebut, kita harus mengedepankan kaidah khusus skala prioritas.
Fikih prioritas atau yang disebut dengan Fiqh al-awlawiyyah adalah
suatu metode khusus yang digunakan untuk menetapkan skala prioritas
yang menitikberatkan kajian fikih berdasarkan urutan amal yang harus
didahulukan sehingga segala sesuatu yang benar-benar tidak penting
tidak akan diutamakan atas suatu yang penting. Begitu juga dengan
sesuatu yang penting tidak akan diutamakan atas sesuatu yang lebih
penting dari itu.5 Berikut ini adalah beberapa cabang dari kaidah khusus
dalam skala prioritas ketika memilih jalan alternatif dari ilmu fikih yang
dikemukakan oleh para ahli fuqaha, yaitu:6

1. ‫ح‬
ِ ِ‫صل‬ ِ ‫س ِد َأ ْولَى ِمنْ َج ْل‬
َ ‫ب ا ْل َم‬ ِ ‫د َْر ُء ا ْل َمفَا‬
“Menolak kemafsadatan didahulukan daripada meraih
kemaslahatan”.
Kaidah ini menjeleskan dengan tegas, bahwasanya jika di
waktu yang sama kita diuji oleh pilihan, yaitu mendapatkan
kemaslahatan atau menolak kemafsadatan, maka yang harus dipilih
dan diutamakan adalah menolak kemafsadatan. Hal ini dikarenakan
jika kita menolak kemafsadatan kelak kita juga akan mendapat
kemaslahatan.7

2. ‫ص ِة‬ َ ‫المصلَ َح ِة‬


َ ‫الخا‬ َ ‫صلَ َحةُ ال َعا َّمةُ ُمقَ َّد َمةٌ َعلَى‬
ْ ‫ال َم‬

5
Yusuf Qardhawi, Fiqih Prioritas, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 16
6
Dea Fadillah, dkk, Kaidah Khusus dalam Skala Prioritas, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2020), hlm. 4
7
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hlm. 164
9

“Kemlasahatan yang umum lebih didahulukan daripada kemlasahatan


yang khusus”.
Kaidah ini menjelaskan bahwasanya, jika kemaslahatan
umum dengan khusus yang berebutan, maka yang harus didahulukan
ialah kemaslahatan umum. Hal ini dikarenakan dalam kemaslahatan
umum terdapat kemaslahatan khusus juga, tetapi dalam
kemaslahatan khusus tidak ada kemaslahatan umum.
Misalnya, ketika hak milik pribadi demi kemaslahatan umum
dicabut, seperti teori mazhab maliki dan ta’ashuf yang membolehkan
pemerintah untuk mengambil hak milik pribadi yang digunakan
untuk perbuatan jahat. Contohnya, benda tajam seperti pisau yang
digunakan untuk melukai atau membunuh orang lain.8

3. ‫ب َأ َخفِّ ِه َما‬
ِ ‫ارتِ َكا‬ َ ‫س َدتَا ِن ُر ْو ِع َي َأ ْعظَ ُم ُه َما‬
ْ ‫ض َر ًرا ِب‬ َ ‫ِإ َذا تَ َعا َر‬
َ ‫ض َم ْف‬

“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang


lebih besar madharatnya dengan dikerjakan yang lebih ringan kepada
mudharatnya”.
Berdasarkan kaidah di atas, apabila datang secara bersama
antara dua mafsadat ataupun lebih, maka yang harus diutamakan
mafsadat yang lebih ringan atau kecil. Contohnya: menyakiti fisik
adalah perbuatan yang mudarat, namun lebih besar mudaratnya lagi
apabila membiarkan penyakit dalam tubuh yang dapat menyebabkan
kematian. Oleh demikian, mengoperasi manusia hukumkan
dibolehkan demi mengeluarkan penyakit yang ada dalam tubuh.9

4. ‫ساِئ ِل َأبَدًا‬ َ ‫ص ِد ُمقَ َّد َمةٌ َعلَى ِرعَايَ ِة‬


َ ‫الو‬ ِ ‫ُم َرا َعةُ المقَا‬

8
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hlm. 166
9
Drs. H. Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih Qawa’idul Fiqhiyyah, (Jakarta:
Suara Muhamadiyyah).
10

“Menjaga (memelihara) tujuan selamanya didahulukan daripada


memelihara cara (media) dalam mencapai tujuan”.
Terdapat dua hal yang harus dibedakan dalam hukum Islam,
antara lain: tujuan (al-maqshid) dan cara mencapai tujuan (alwasa’il)
yang bertujuan untuk menggapai kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan. Misalnya, sholat jum’at merupakan wasilah yang
termasuk ke dalam sadd al-dzari’ah agar orang-orang tidak
melakukan aktivitas lain pada saat azan shalat jum’at
dikumandangkan dan harus segera melaksanakan shalat jum’at.

ِ َ‫المختَل‬
5. ‫ف فِي ِه‬ ُ َ‫المتَّف‬
ْ ‫ق َعلَ ْي ِه ُمقَ َّد ٌم َعلَى‬

“Apa yang disepakati didahulukan daripada perbedaan”.


Kaidah di atas menjelaskan tentang skala prioritas, dimana
sesuatu yang disepakati harus diutamakan dari pada sesuatu dari
perbedaan pendapat. Contohnya, ketika adanya kesepakatan untuk
menciptakan Islam dalam bidang politik, sosial, budaya, ekonomi,
maka dibentuk OKI (Organisasi Konferensi Islam) agar hidup selalu
aman, tentram, dan damai yang didasarkan pada ukhuwah Islamiyah.

6. ِ ‫ِح ْفظُ المو ُجو ِد َأ ْولَى ِمن ت َْح‬


‫ص ْي ِل الم ْفقُو ِد‬

“Memilihara yang telah ada adalah lebih utama daripada


mengharapkan (hasil) yang belum ada”.
Dalam kaidah ini, untuk memanfaatkan sesuatu yang ada di
tangan dari pada mengharapkan sesuatu yang belum atau tidak
meyakinkan untuk berhasil. Menurut Izzuddin bin Abd Al-Salam,
penerapan dalam persoalan penggantian kekuasaan atau
kepemimpinan harus lebih baik dari pada pemimpin yang ada pada
saat ini. Jika dilihat daro beberapa aspek, persyaratan untuk menjadi
pemimpin di masa depan itu belum tentu lebih maslahat. Dengan
11

begitu, harus diteruskan kepada pemimpin yang saat ini untuk masa
yang akan datang.

7. ِ َ‫ِإ َذا تَ َعا َر َد المانِ ُع َوالم ْقت‬


‫ض قَ ِد َم المانِ ُع‬

“Apabila saling bertentangan antara ketentuan hukum yang


mencegah dengan yang mengharuskan pada waktu yang sama, maka
didahulukanlah yang mencegah”.
Dalam kaidah ini, ketika ada dalil yang bertentangan antara
mewajibkan pada waktu yang sama atau mencegah, maka mencegah
yang harus diprioritaskan. Contohnya: Pak Budi menyewakan rumah
kepada bu Ani dalam waktu 1 tahun. Lalu, sebelum habis dalam 1
tahun, pak Budi menjual rumahnya kepada pak Zaki, maka pak Budi
tidak bisa menyewakan rumahnya kepada pak Zaki sebelum habis
masa kontraknya kepada bu Ani. Dengan demikian, mengharuskan
penyerahan rumah kontrakan yang telah dibeli oleh pak Zaki dari
pak Budi. Kemudian, mencegah penyerahan rumah pak Budi yang
sedang dikontrakan oleh bu Ani.

8. ‫ستَدَا َمةُ َأ ْق َوى ِمنْ اِإل ْبتِدَا ِء‬


ْ ‫اِإل‬

“Melanjutkan hukum yang telah ada lebih kuat daripada memulai”.


Kaidah ini menjelaskan, meneruskan hukum yang sudah ada
lebih kuat atau harus diprioritaskan dari pada memulai dari awal.
Dalam ilmu ushul fiqih, kaidah ini berkaitan dengan al-istishhab.
Contohnya: ketika seseorang yang mempunyai benda atau hak
tertentu, maka benda ataupun hak tertentu tersebut tetap sebagai
miliknya selama tidak ada bukti-bukti yang dapat menggagalkan
haknya tersebut. Namun, apabila ada bukti-bukti yang kuat dan sah.
Maka barang-barang itu menjadi hak pemilik yang telah kehilangan
12

barang. Hal ini dikarenakan barang tersebut merupakan barang yang


telah dicuri orang.

9. ‫ب ال ِعبَا َد ِة َأ ْولَى‬
ِ ‫اَأل ْخ ُذ بِالثِيقَة َوال َع َم ُل بِاِإل ْحتِيَا ِط فِي بَا‬
“Mengambil yang terpercaya dan berbuat dengan hati-hati dalam bab
ibadah (hubungan manusia dengan Allah), itulah yang lebih utama”.
Kaidah di atas menegaskan, dalam persoalan hubungan
antara manusia dengan Allah harus dilakukan dengan hati-hati dan
mengambil dasar hukum yang kuat dari Al-Qur’an dan Hadits.
Dengan demikian, tidak heran jika seorang Muslim sudah
melaksanakan ibadah haji, tetapi orang tersebut ingin melakukannya
untuk kedua atau ketiga kalinya karena merasa masih ada
kekurangan pada haji pertamanya dan merasa tidak puas. Maka haji
kedua dan selanjutnya hukumnya adalah sunnah.10

D. Penerapan Kaidah Khusus dalam Skala Prioritas

Terdapat dua metode penetapan kaidah khusus dalam skala


prioritas, yaitu prioritas dengan metode tekstual (at-tansis al-awlawi) dan
prioritas dengan metode ijtihad (al-ijtihad al-aulawi). Kedua metode ini
dipakai untuk menetukan mana yang lebih diperioritaskan daripada yang
lain.

1. Prioritas dengan Metode Tekstual (at-tansis al-awlawi)


Al-Qur’an dan sunnah sering kali membuat gradasi dalam
perbuatan tertentu dengan menjadikan salah satu amaliah lebih utama
dibandingkan yang lainnya. Sebagian dari skala prioritas yang disebutkan
dalam nas baik Al-Qur’an maupun sunnah bisa diketahui ‘illatnya dan
sebagian lain tanpa bisa diketahui ‘illatnya. Diantara yang tidak bisa
diketahui ‘illatnya seperti keutamaan Masjid Nabawi atas masjid-masjid
10
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hlm. 169-178
13

lain. Sedangkan prioritas yang disebutkan melalui nas dan bisa diketahui
‘illatnya adalah semisal keutamaan ilmu atas ibadah. Prioritas yang
disebutkan oleh nas Al-Qur’an atau sunnah tentang hal-hal tersebut dan
yang semisalnya bisa diketahui alasannya dan bisa dicari hikmahnya.
Muhammad al-Wakili mengatakan bahwa ada beberapa parameter
yang disebutkan oleh nas yang menjadikan suatu amal itu lebih
diutamakan dan diprioritaskan dibandingkan amal yang lain. Parameter-
parameter itu antara lain:
a. Iman dan ketaatan

Kebanyakan skala prioritas yang ditentukan oleh nas, didasarkan


pada keimanan dan ketaatan. Seorang mukmin lebih utama dibandingkan
dengan seorang yang kafir, kafir dzimmi lebih utama dibanding kafir
harbi, mukmin yang bertaqwa lebih utama dibanding mukmin yang fasiq.
Dalam QS. Al-hujurat ayat 13 menyebutkan:

‫اِنَّ اَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هّٰللا ِ اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِنَّ هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم َخبِ ْي ٌر‬

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah


ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

b. Ilmu
Dalam banyak hal, seorang yang dikaruniai ilmu lebih diutamakan
dibandingkan yang tidak berilmu. Hal inilah yang dijadikan dasar dalam
menentukan siapa yang paling berhak untuk menjadi imam dalam shalat.
Misalnya, Orang yang berhak menjadi Imam adalah yang paling tahu
dengan Al-Qur’an, jika sama maka yang lebih tahu dengan Sunnah.
Dalam QS. Az-Zumar ayat 9 disebutkan:

ِ ‫ستَ ِوى الَّ ِذيْنَ يَ ْعلَ ُم ْونَ َوالَّ ِذيْنَ اَل يَ ْعلَ ُم ْونَ ۗ اِنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر اُولُوا ااْل َ ْلبَا‬
‫ب‬ ْ َ‫ࣖ قُ ْل َه ْل ي‬
14

“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan


orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)

c. Urgensi
Nash juga menentukan skala prioritas pada urgensinya. Sesuatu
yang sangat urgen (al-aham) harus didahulukan dari pada yang sekedar
urgen (al-muhim). Dan ini berlaku baik pada urusan yang bersifat
duniawi maupun yang bersifat ukhrawi.
d. Kecakapan
Yang dimaksud dengan kecakapan dalam hal ini adalah
kemampuan seseorang dalam mengemban sebuah tanggung jawab.
Parameter ini juga dipakai sebagaimana dalam hal ilmu. Artinya, skala
prioritas selalu diletakkan pada sesuatu yang paling cakap dan pantas,
lalu berurutan ke bawah sesuai tingkat kecakapannya.

2. Prioritas dengan Metode Iitihad (al-ijtihad al-aulawi)


Jika dalam metode tekstual (tanshish al-aulawi) prioritas dibatasi
dan ditentukan oleh Syara’, maka prioritas dengan metode ijtihad dibatasi
oleh mujtahid sendiri melalui penalarannya. Wilayah ijtihad aulawi sendiri
ada dua yaitu:
a. Ijtihad prioritas dengan teks (nusus) dan dalil (‘adillah)
Teks-teks syara’ diantaranya ada yang bersifat qath’i dan ada yang
bersifat dzanni. Kalau sebuah teks bersifat qath’i dari sisi tsubut dan
dilalahnya, maka ijtihad tidak lagi dipakai. Ijtihad hanya diberlakukan pada
teks yang bersifat dzanni, baik dari sisi tsubut, dilalahnya maupun
keduanya. Pada teks yang seperti inilah ijtihad diperlukan untuk mencari
dalil yang yang lebih sesuai dan lebih dekat dengan kebenaran. Peran ijtihad
prioritas dalam hal ini adalah apabila terdapat dua dalil yang nampak
bertentangan, maka mujtahid harus bisa menetukan dalil yang lebih rajih,
dalam arti lebih mendekati kebenaran, yang diprioritaskan untuk dipakai
15

sebagai salah satu teks dalam memecahkan sebuah problem hukum. Hal ini
juga disesuaikan dengan kondisi aktual yang melingkupinya. Dalil yang
lebih aktual lebih diprioritaskan dari pada dalil lain yang kurang mengena
pada sasaran aktualnya.
b. Ijtihad prioritas melalui fakta
Ijtihad prioritas dalam hal ini memiliki kawasan yang lebih luas
karena lebih bersifat pemecahan terhadap sebuah tindakan. Ijtihad prioritas
dalam hal ini mencakup dua hal. Pertama, penentuan prioritas dalam suatu
bidang harus dilakukan secara berangsur dan bertahap. Kedua¸ saat
terjadinya benturan dalam melaksanakan dua buah perintah yang nampak
bertentangan atau antara satu perbuatan dengan perbuatan yang lain yang
sama pentingnya harus diketahui mana yang harus didahulukan dan mana
yang bisa ditunda.
Sebagai sebuah metode penetapan hukum, fikih prioritas dilengkapi
dengan seperangkat kaidah yang menjadi batasan-batasan dalam
menentukan sebuah amalan yang harus lebih diprioritaskan dari pada yang
lainnya yang mana kaidah tersebut telah siap pakai dalam merespons
problematika kontemporer.11

Contoh penerapan kaidah khusus dalam skala prioritas:


Menentukan skala prioritas kebutuhan mustahik dalam
pendistribusian zakat dengan metode tekstual (at-tansis al-awlawi). Dalam
konteks zakat sebagaimana di atur oleh QS. at- taubah ayat 60, bahwa
golongan yang berhak menerima zakat adalah delapan golongan. Dalam
metode ini terdapat beberapa parameter yang disebutkan oleh nas yang
menjadikan suatu amal itu lebih diutamakan dan diprioritaskan
dibandingkan amal yang lain. Parameter tersebut diantaranya:

11
12 Nasiruddin, Percikan Pemikiran ‚Fikih Prioritas; Pengertian Dan Batasannya,
http://nashirudinima.blogspot.co.id/2009/06/fikih-prioritas-pengertian-dan.html, diakses
tanggal 26 September 2021
16

Iman dan ketaatan. Parameter keimanan serta ketaatan dalam


pendistribusian zakat memberi pengertian bahwa agama seseorang menjadi
tolok ukur kebolehan seseorang untuk mendapatkan zakat. Itu berarti,
kedelapan golongan yang muslim lebih diutamakan untuk mendapatkan
zakat daripada golongan kafir yang miskin.
1. Ilmu. Kategori ini dalam konteks zakat hanya dapat diberlakukan untuk
amil karena kebolehannya menerima zakat disebabkan tugasnya dalam
memungut, mengelola dan mendistribusikan zakat. Untuk itu ukuran
keilmuan pengurus amil menjadi tolok ukur kesuksesan lembaga zakat.
2. Urgensi. Kategori ini mencakup semua golongan, yaitu tergantung pada
keadaan, yaitu siapapun dari kedelapan golongan yang paling
membutuhkan, maka dia didahulukan dari golongan yang lain.
3. Kecakapan atau kepantasan. Hal ini bisa diukur dengan melihat pada
kriteria-kriteria golongan untuk menetapkan golongan yang cakap dan
pantas menerima zakat.12

12
Uyayyinah, U., & Bari, A. (2021). Implementasi Fiqh Al-Awlawiyah pada Prioritas
Kebutuhan Mustahik dalam Pendistribusian Zakat. Al-tsaman: Jurnal Ekonomi dan
Keuangan Islam, 3(01), 1-46.
16

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Fiqih prioritas dapatlah dipahami sebagai pemahaman yang
komprehensif akan segala hal yang berkenaan dengan hukum, nilai dan
amalan agama serta menempatkannya dalam tingkatan yang adil dan fair
dengan mendahulukan yang lebih penting (ahamm) daripada yang penting
(muhimm); yang lebih utama (afdhal) di atas yang utama (fadhil); primer
(dharuriyyat) di atas sekunder (hajjiyyat) dan lain sebagainya.
Ada beberapa cabang dari kaidah khusus fiqh prioritas dalam skala prioritas
yang dikemukakan oleh fuqaha, yaitu:
1. Menolak kemafsadatan didahulukan daripada meraih kemaslahatan
2. Kemaslahatan yang umum lebih didahulukan daripada kemaslahatan
yang khusus
3. Apabila bertentangan dua kemafsadatan, maka perhatikan man ayang
lebih besar madharatnya dengan dikerjakan yang lebih ringan kepada
mudharatnya
4. Menjaga(memelihara) tujuan selamanya didahulukan daripada
memelihara cara(media) dalam mencapai tujuan
5. Apa yang disepakati didahulukan daripada perbedaan
6. Memlihara yang telah ada adalah lelbih utama daripada
mengharapkan(hasil) yang belum ada
7. Apabila saling bertentangan antara ketentuan hukum yanng mencegah
dengan yang mengharuskan pada waktu yang sama, maka didahulukan
yang mencegahnya
8. Melanjutkan hukum yanng telah ada lebih kuat dari pada memulai
17

9. Mengambill yang terpecaya dan berbuat dengan hati-hati dalam bab


ibadah(hubungan manusia dengan Allah), itulah yang lebih utama

Dalam menetapkan kaidah khusus dalam skala prioritas terdapat dua


metode: 1) Prioritas dengan metode tekstual (at-tansis al-awlawi); 2)
Prioritas dengan metode Iitihad (al-ijtihad al-aulawi)
B. Saran
Kaidah fiqih prioritas dalam kehidupan masyarakat masih jarang
diketahui dan dipelajari sehingga dalam penerapannya masih banyak
kekurangan. Maka sebagai kaum intelektual sudah sepatutnya
mengaplikasikan ilmu-ilmu yang sudah dipelajari. Karena perkembangan
kualitas generasi penerus bangsa merupakan tanggung jawab semua
komponen bangsa.
18

DAFTAR PUSTAKA

Fadillah, Dea, dkk. (2020). Kaidah Khusus dalam Skala Prioritas. Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah.
Fiqh Prioritas – Yusuf Qardhawi – Catatan Kami
Fiqh Al-Awlawiyyat « Fitrah Islami Online (wordpress.com)

Djazuli, A. (2019). Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Prenada Media.

Nasiruddin, Percikan Pemikiran Fikih Prioritas; Pengertian Dan


Batasannya , http://nashirudinima.blogspot.co.id/2009/06/fikih-
prioritas-pengertian-dan.html

Qardhawi, Yusuf. (1997). Fiqih Prioritas. Jakarta: Gema Insani Press.

Rahman, A. Qa’idah-Qa’idah Fiqih Qawa’idul Fiqhiyyah. Jakarta: Suara


Muhamadiyyah.

Referensi:https://tafsirweb.com/3036-quran-surat-at-taubah-ayat-19-20.html
Uyayyinah dan Bari, A. (2021). Implementasi Fiqh Al-Awlawiyah pada
Prioritas Kebutuhan Mustahik dalam Pendistribusian Zakat. Al-
tsaman: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Islam.

Anda mungkin juga menyukai