Oleh :
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.................................................................................2
D. Manfaat Penulisan...............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................3
A. Kesimpulan........................................................................................16
B. Saran..................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................18
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian tentang fikih akan selalu mengalami perubahan dan
perkembangan, karena fikih merupakan buah pikiran yang ditujukan
untuk menjawab fenomena kehidupan yang akan selalu berubah dan
berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Oleh sebab itu, fikih harus
secara terus menerus dipelajari dan dikaji sebagai tanggapan atas
hakikatnya yang harus selalu berubah dan berkembang sesuai dengan
kemajuan zaman. Fikih yang pada mulanya mencakup semua aspek
hukum yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, manusia
dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya, kini mulai
mengalami penyempitan makna, pembahasan dan penamaan. Hal ini
merupakan respon atas adanya perkembangan yang begitu pesat pada
masing-masing pembahasan yang tetntunya semakin menuntut ketelitian
dan spesialisasi para ahli fikih.
Salah satu cabang ilmu fikih yang beberapa saat ini muncul dan
menjadi salah satu hal yang layak untuk dibahas adalah apa yang
dinamakan dengan kaidah dalam skala prioritas.
Penentuan skala prioritas tersebut dapat terjadi dalam hampir di
setiap sisi keberagamaan, mulai ibadah, muamalah, sampai akhlak.
Pengetahuan tentang bagaimana cara menentukan prioritas tersebut—
meminjam istilah yang dipakai Yusuf Qardhawi—disebut dengan Fiqh
al-Awlawiyah (Fiqih Prioritas), atau Fiqh Maratib al-A`mal (Fiqih
Mengurutkan Aktivitas), yakni aturan-aturan mengenai cara menentukan
prioritas dalam kehidupan beragama sehari-hari.
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan, rumusan masalah
yang diangkat, antara lain:
1. Bagaimana pengertian, makna, dan kaidah khusus dalam skala
prioritas?
2. Bagaimana landasan hukum kaidah dalam skala prioritas dari Al-
Qur’an dan Hadits?
3. Bagaimana cabang-cabang kaidah khusus dalam skala prioritas?
4. Bagaimana penerapan kaidah khusus dalam skala prioritas?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Menjelaskan pengertian, makna, dan kaidah khusus dalam skala
prioritas;
2. Menjelaskan landasan hukum kaidah khusus dalam skala prioritas dari
Al-Qur’an dan Hadits;
3. Menjelaskan cabang-cabang dari kaidah khusus dalam skala prioritas;
4. Menjelaskan penerapan kaidah khusus dalam skala prioritas.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapakan dari hasil penelitian ini, di antaranya:
1. Menambah ilmu dan memperluas pemahaman mengenai pengertian,
makna, dan kaidah khusus dalam skala prioritas;
2. Menambah ilmu dan memperluas pemahaman mengenai landasan
hukum kaidah khusus dalam skala prioritas dari Al-Qur’an dan
Hadits;
3. Menambah wawasan dan pemahaman mengenai cabang-cabang dari
kaidah khusus dalam skala prioritas;
4. Menambah wawasan dan pemahaman mengenai penerapan kaidah
khusus dalam skala prioritas.
BAB II
PEMBAHASAN
بمراتبها وبالواقع الذي العلم باألحكام الشرعية التي لها حق التقديم على غيرها بناء على العلم
يتطلبها
3
4
Maka bukan hal yang ganjil jika kemudian para Shahabat lebih
mendahulukan pemilihan khalifah ketimbang mengurusi pemakaman
jenazah. Rasulullah Saw. Sebab dimaklumi, bahwa kedua hal ini (antara
memilih khalifah dan menguburkan jenazah), sungguhpun memiliki
kadar dan level kepentingannya masing-masing, namun para Shahabat
yang terdidik dalam halaqah Rasulullah itu dengan jeli memandang
bahwa segala hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umat dan jamaah
mestilah didahulukan daripada kepentingan personal (mashlahatul
jama’ah muqaddamah ‘ala mashlahah al-fard). Bahwa kehadiran khalifah
baru lebih berkenaan langsung dengan kemaslahatan jamaah serta lebih
menjamin keberlangsungan (survival) Islam di muka bumi untuk masa
berikutnya, karenanya, pemilihan pemimpin baru tersebut mesti
didahulukan ketimbang hal- hal lainnya.
Kegunaan lain dengan adanya fiqh prioritas yang dapat
dipergunakan dalam kehidupan ini, bahwa penentuan setiap amalan, nilai
atau hukum yang diputuskan itu akan terhindar dari aneka ragam
kepentingan yang tertanam (vested interest). Hal ini terang, mengingat
bahwa dalam penetapan “prioritas lebih penting di atas penting” itu
didasarkan kepada standar yang berlaku dalam syariat (mi’yar syar’iy)
dan bukannya terpaku kepada kepentingan individu atau orang- perorang
(mashlahah al-fard). Dari sini, maka keberadaan fiqh prioritas tidak
terlepas dari fiqh muwazanat dan fiqh maqashid yang akan sangat
membantunya dalam menjelaskan serta mengurai segala hal yang “lebih
penting” di atas yang “penting” tadi manakala terjadi benturan (ta’arudh)
antara kemaslahatan (mashlahat) dengan sesamanya; antara kemaslahatan
dengan kemudaratan (mafsadah); atau barangkali benturan itu terjadi
antarsesama kemudaratan itu sendiri dalam waktu yang bersamaan pula.
Terhindarnya fiqh prioritas dari aneka vested interest jelas karena dalam
penentuannya, fiqh ini memakai norma dan standar yang berlaku dalam
syariat Islam. Akan halnya fiqh maqashid akan membantu kita dalam
6
ْ ِ َوَأقِي ُموا ا ْل َو ْزنَ بِا ْلق، َأاَّل تَ ْط َغ ْوا فِي ا ْل ِمي َزا ِن، َض َع ا ْل ِميزَ ان
ِ س ِط َواَل ت ُْخ
س ُروا َ س َما َء َرفَ َع َها َو َو
َّ وال
َا ْل ِميزَ ان
س ِج ِد ٱ ْل َح َر ِام َك َمنْ َءا َمنَ بِٱهَّلل ِ َوٱ ْليَ ْو ِم ٱ ْل َءا ِخ ِر َو ٰ َج َه َد فِى ْ ٓاج َو ِع َما َرةَ ٱ ْل َمِّ سقَايَةَ ٱ ْل َحِ َأ َج َع ْلتُ ْم
ٰ
َستَ ُوۥنَ ِعن َد ٱهَّلل ِ ۗ َوٱهَّلل ُ اَل يَ ْه ِدى ٱ ْلقَ ْو َم ٱلظَّلِ ِمين
ْ سبِي ِل ٱهَّلل ِ ۚ اَل َيَ
ۚ ِ س ِه ْم َأ ْعظَ ُم َد َر َجةً ِعن َد ٱهَّلل
ِ ُسبِي ِل ٱهَّلل ِ بَِأ ْم ٰ َولِ ِه ْم َوَأنف ۟ وا َو ٰ َج َهد
َ ُوا فِى ۟ َاج ُر
َ وا َوه ۟ ُٱلَّ ِذينَ َءا َمن
ٓ
ََوُأ ۟و ٰلَِئ َك ُه ُم ٱ ْلفَٓاِئ ُزون
1
Fiqh Prioritas – Yusuf Qardhawi – Catatan Kami
7
mereka, adalah lebih tinggi darjatnya di sisi Allah; dan itulah orang-
orang yang mendapat kemenangan.” (At – Taubah : 19-20).2
Selain itu, dalam kalangan para sahabat Rasulullah s.a.w., mereka
merupakan orang-orang yang sangat mengambil berat untuk mengetahui
perkara-perkara dan perbuatan-perbuatan yang sangat diutamakan,
supaya mereka dapat menjadikannya sebagai wasilah untuk melakukan
taqarrub kepada Allah S.W.T. Oleh kerana itu, mereka kerap kali
bertanya kepada Baginda S.A.W. mengenai perbuatan-perbuatan yang
paling diutamakan dan disukai Allah Taala, seperti soalan yang telah
diajukan oleh Abdullah Ibn Mas’ud, Abu Dzar al-Ghiffari r.a. dan
selainnya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan jawapan yang diberikan
sendiri oleh Baginda s.a.w. ke atas pertanyaan-pertanyaan mereka.
Sebagai contoh, Rasulullah telah bersabda yang bermaksud :
“Solat berjemaah lebih utama dua puluh tujuh darjat daripada solat
bersendirian.” Baginda juga pernah bersabda: “Berdiri di medan jihad
(ribat) sehari semalam, lebih utama (ganjarannya) daripada puasa dan
qiamullail (solat malam) sebulan lamanya.”3
Di samping itu Rasulullah saw juga bersabda, “Iman itu ada tujuh
puluh cabang lebih; yang paling tinggi di antaranya ialah ‘la ilaha illa
Allah,’ dan yang paling rendah ialah ‘menyingkirkan gangguan dari
jalan.’4
C. Cabang-cabang Kaidah Khusus dalam Skala Prioritas
Dalam menjalani hidup, pilihan-pilihan yang tidak mudah akan
terus kita hadapi, baik berupa masalah yang bersifat individu, maupun
kelompok. Pilihan-pilihan ini diambil berdasarkan nilai-nilai tentang
kepercayaan akan kebenaran, kemaslahatan, dan kebaikan untuk
menetapkan suatu pilihan. Hal ini terjadi karena setiap aktivitas yang
2
Referensi: https://tafsirweb.com/3036-quran-surat-at-taubah-ayat-19-20.html
3
Fiqh Al-Awlawiyyat « Fitrah Islami Online (wordpress.com)
4
Fiqh Prioritas – Yusuf Qardhawi – Catatan Kami
8
dilakukan oleh umat Muslim akan selalu menghadapi hal-hal yang dapat
menimbulkan manfaat (mashlahat) dan keburukan (mafsadat). Dalam hal
tersebut, kita harus mengedepankan kaidah khusus skala prioritas.
Fikih prioritas atau yang disebut dengan Fiqh al-awlawiyyah adalah
suatu metode khusus yang digunakan untuk menetapkan skala prioritas
yang menitikberatkan kajian fikih berdasarkan urutan amal yang harus
didahulukan sehingga segala sesuatu yang benar-benar tidak penting
tidak akan diutamakan atas suatu yang penting. Begitu juga dengan
sesuatu yang penting tidak akan diutamakan atas sesuatu yang lebih
penting dari itu.5 Berikut ini adalah beberapa cabang dari kaidah khusus
dalam skala prioritas ketika memilih jalan alternatif dari ilmu fikih yang
dikemukakan oleh para ahli fuqaha, yaitu:6
1. ح
ِ ِصل ِ س ِد َأ ْولَى ِمنْ َج ْل
َ ب ا ْل َم ِ د َْر ُء ا ْل َمفَا
“Menolak kemafsadatan didahulukan daripada meraih
kemaslahatan”.
Kaidah ini menjeleskan dengan tegas, bahwasanya jika di
waktu yang sama kita diuji oleh pilihan, yaitu mendapatkan
kemaslahatan atau menolak kemafsadatan, maka yang harus dipilih
dan diutamakan adalah menolak kemafsadatan. Hal ini dikarenakan
jika kita menolak kemafsadatan kelak kita juga akan mendapat
kemaslahatan.7
5
Yusuf Qardhawi, Fiqih Prioritas, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 16
6
Dea Fadillah, dkk, Kaidah Khusus dalam Skala Prioritas, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2020), hlm. 4
7
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hlm. 164
9
3. ب َأ َخفِّ ِه َما
ِ ارتِ َكا َ س َدتَا ِن ُر ْو ِع َي َأ ْعظَ ُم ُه َما
ْ ض َر ًرا ِب َ ِإ َذا تَ َعا َر
َ ض َم ْف
8
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hlm. 166
9
Drs. H. Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih Qawa’idul Fiqhiyyah, (Jakarta:
Suara Muhamadiyyah).
10
ِ َالمختَل
5. ف فِي ِه ُ َالمتَّف
ْ ق َعلَ ْي ِه ُمقَ َّد ٌم َعلَى
begitu, harus diteruskan kepada pemimpin yang saat ini untuk masa
yang akan datang.
9. ب ال ِعبَا َد ِة َأ ْولَى
ِ اَأل ْخ ُذ بِالثِيقَة َوال َع َم ُل بِاِإل ْحتِيَا ِط فِي بَا
“Mengambil yang terpercaya dan berbuat dengan hati-hati dalam bab
ibadah (hubungan manusia dengan Allah), itulah yang lebih utama”.
Kaidah di atas menegaskan, dalam persoalan hubungan
antara manusia dengan Allah harus dilakukan dengan hati-hati dan
mengambil dasar hukum yang kuat dari Al-Qur’an dan Hadits.
Dengan demikian, tidak heran jika seorang Muslim sudah
melaksanakan ibadah haji, tetapi orang tersebut ingin melakukannya
untuk kedua atau ketiga kalinya karena merasa masih ada
kekurangan pada haji pertamanya dan merasa tidak puas. Maka haji
kedua dan selanjutnya hukumnya adalah sunnah.10
lain. Sedangkan prioritas yang disebutkan melalui nas dan bisa diketahui
‘illatnya adalah semisal keutamaan ilmu atas ibadah. Prioritas yang
disebutkan oleh nas Al-Qur’an atau sunnah tentang hal-hal tersebut dan
yang semisalnya bisa diketahui alasannya dan bisa dicari hikmahnya.
Muhammad al-Wakili mengatakan bahwa ada beberapa parameter
yang disebutkan oleh nas yang menjadikan suatu amal itu lebih
diutamakan dan diprioritaskan dibandingkan amal yang lain. Parameter-
parameter itu antara lain:
a. Iman dan ketaatan
b. Ilmu
Dalam banyak hal, seorang yang dikaruniai ilmu lebih diutamakan
dibandingkan yang tidak berilmu. Hal inilah yang dijadikan dasar dalam
menentukan siapa yang paling berhak untuk menjadi imam dalam shalat.
Misalnya, Orang yang berhak menjadi Imam adalah yang paling tahu
dengan Al-Qur’an, jika sama maka yang lebih tahu dengan Sunnah.
Dalam QS. Az-Zumar ayat 9 disebutkan:
ِ ستَ ِوى الَّ ِذيْنَ يَ ْعلَ ُم ْونَ َوالَّ ِذيْنَ اَل يَ ْعلَ ُم ْونَ ۗ اِنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر اُولُوا ااْل َ ْلبَا
ب ْ َࣖ قُ ْل َه ْل ي
14
c. Urgensi
Nash juga menentukan skala prioritas pada urgensinya. Sesuatu
yang sangat urgen (al-aham) harus didahulukan dari pada yang sekedar
urgen (al-muhim). Dan ini berlaku baik pada urusan yang bersifat
duniawi maupun yang bersifat ukhrawi.
d. Kecakapan
Yang dimaksud dengan kecakapan dalam hal ini adalah
kemampuan seseorang dalam mengemban sebuah tanggung jawab.
Parameter ini juga dipakai sebagaimana dalam hal ilmu. Artinya, skala
prioritas selalu diletakkan pada sesuatu yang paling cakap dan pantas,
lalu berurutan ke bawah sesuai tingkat kecakapannya.
sebagai salah satu teks dalam memecahkan sebuah problem hukum. Hal ini
juga disesuaikan dengan kondisi aktual yang melingkupinya. Dalil yang
lebih aktual lebih diprioritaskan dari pada dalil lain yang kurang mengena
pada sasaran aktualnya.
b. Ijtihad prioritas melalui fakta
Ijtihad prioritas dalam hal ini memiliki kawasan yang lebih luas
karena lebih bersifat pemecahan terhadap sebuah tindakan. Ijtihad prioritas
dalam hal ini mencakup dua hal. Pertama, penentuan prioritas dalam suatu
bidang harus dilakukan secara berangsur dan bertahap. Kedua¸ saat
terjadinya benturan dalam melaksanakan dua buah perintah yang nampak
bertentangan atau antara satu perbuatan dengan perbuatan yang lain yang
sama pentingnya harus diketahui mana yang harus didahulukan dan mana
yang bisa ditunda.
Sebagai sebuah metode penetapan hukum, fikih prioritas dilengkapi
dengan seperangkat kaidah yang menjadi batasan-batasan dalam
menentukan sebuah amalan yang harus lebih diprioritaskan dari pada yang
lainnya yang mana kaidah tersebut telah siap pakai dalam merespons
problematika kontemporer.11
11
12 Nasiruddin, Percikan Pemikiran ‚Fikih Prioritas; Pengertian Dan Batasannya,
http://nashirudinima.blogspot.co.id/2009/06/fikih-prioritas-pengertian-dan.html, diakses
tanggal 26 September 2021
16
12
Uyayyinah, U., & Bari, A. (2021). Implementasi Fiqh Al-Awlawiyah pada Prioritas
Kebutuhan Mustahik dalam Pendistribusian Zakat. Al-tsaman: Jurnal Ekonomi dan
Keuangan Islam, 3(01), 1-46.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fiqih prioritas dapatlah dipahami sebagai pemahaman yang
komprehensif akan segala hal yang berkenaan dengan hukum, nilai dan
amalan agama serta menempatkannya dalam tingkatan yang adil dan fair
dengan mendahulukan yang lebih penting (ahamm) daripada yang penting
(muhimm); yang lebih utama (afdhal) di atas yang utama (fadhil); primer
(dharuriyyat) di atas sekunder (hajjiyyat) dan lain sebagainya.
Ada beberapa cabang dari kaidah khusus fiqh prioritas dalam skala prioritas
yang dikemukakan oleh fuqaha, yaitu:
1. Menolak kemafsadatan didahulukan daripada meraih kemaslahatan
2. Kemaslahatan yang umum lebih didahulukan daripada kemaslahatan
yang khusus
3. Apabila bertentangan dua kemafsadatan, maka perhatikan man ayang
lebih besar madharatnya dengan dikerjakan yang lebih ringan kepada
mudharatnya
4. Menjaga(memelihara) tujuan selamanya didahulukan daripada
memelihara cara(media) dalam mencapai tujuan
5. Apa yang disepakati didahulukan daripada perbedaan
6. Memlihara yang telah ada adalah lelbih utama daripada
mengharapkan(hasil) yang belum ada
7. Apabila saling bertentangan antara ketentuan hukum yanng mencegah
dengan yang mengharuskan pada waktu yang sama, maka didahulukan
yang mencegahnya
8. Melanjutkan hukum yanng telah ada lebih kuat dari pada memulai
17
DAFTAR PUSTAKA
Fadillah, Dea, dkk. (2020). Kaidah Khusus dalam Skala Prioritas. Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah.
Fiqh Prioritas – Yusuf Qardhawi – Catatan Kami
Fiqh Al-Awlawiyyat « Fitrah Islami Online (wordpress.com)
Referensi:https://tafsirweb.com/3036-quran-surat-at-taubah-ayat-19-20.html
Uyayyinah dan Bari, A. (2021). Implementasi Fiqh Al-Awlawiyah pada
Prioritas Kebutuhan Mustahik dalam Pendistribusian Zakat. Al-
tsaman: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Islam.