Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyelesaikan makalah ini. Berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah ini “Sejarah Pertumbuhan & Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah” dengan tepat
waktu.
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Kaidah Fiqhiyyah dengan Dosen pengampu Mukhsinun, S.H.I., M.E.I.
Selain itu, tugas makalah ini menjadi bahan untuk menambah wawasan tentang “Sejarah
Pertumbuhan & Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah” bagi penulis dan juga pembaca.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, penulis mengharap kritik dan saran yang membangun demi kesempurnan
makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan..........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3
A. Kesimpulan......................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat Islam
untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh-tidaknya sesuatu itu
dilakukan, mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama untuk
dikerjakan atau lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka
terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran agama
maupun tradisi-tradisi yang baik.
Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan dalam berbuat tersebut adalah
petunjuk-petunjuk AlQur‟an dan Sunnah Nabi. Kita diperintahkan untuk mentaati Allah
dan Rasul-Nya, tidak boleh berpaling dari keduanya, seperti dipahami dari ungkapan
imperatif Allah dalam surat Ali „Imran ayat 32, yang artinya: “Katakanlahsjaolehmu (hai
Muhammad), ta‟atiah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir.” Umat Islam hingga sekarang tetap menjadikan kalam
Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai ‘umdah atau sandaran utama dalam berperilaku dan
berbuat. Tidak hanya itu, kedua sumber hukum itu dijadikan rujukan utama dalam
penyelesaian-penyelesaian berbagai masalah baik secara langsung maupun tidak
langsung, termasuk masalah hukum.
1
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dan identifikasi masalah yang ada adalah :
1. Bagaimana sejarah kaidah-kaidah fiqhiyyah ?
2. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan qawaid
fiqhiyyah?
3. Bagaimana masa kematangan qawaid fiqhiyyah ?
4. Bagaimana masa penyempurnaan qawaid fiqhiyyah ?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini untuk
mengetahui :
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
proses pembentukan hukum-hukum Islam termasuk Qawaid Fiqhiyyah. Atas
Keterangan di atas dapat dipahami bahwa keberadaan qawaid fiqhiyyah pada periode
awal masih dalam tunas perkembangan.
Pada proses munculnya Qawaid Fiqhiyyah dapat dikelompokan dalam tiga fase,
yaitu :
a. Proses Nabi Muhammad SAW
Pada periode ini, tidak ada spesialisasi ilmu tertentu yang dikaji dari al-Qur’an dan al-
hadits. Semangat Sahabat sepenuhnya dicurahkan kepada jihad dan mengaplikasikannya apa
yang diperoleh dari Nabi berupa ajaran al-Qur’an dan al-hadits. Ilmu pengetahuan hanya berkisar
pada masalah qira’ah dan mendengarkan hadits-hadits Nabi serta mengaplikasikan dan
mengembangkan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi ketika menghadapi persoalan-
persoalan yang baru.
Artinya pada masa Nabi ini setiap ada permasalahan yang muncul, oleh sahabat langsung
ditanyakan kepada Nabi. Hadits-hadits Nabi yang membicarakan tentang hukum, banyak
memakai pola qaidah umum yang artinya dapat mencakup dan menempuh seluruh persoalan-
persoalan fiqih (Jawami’ al Kalim). Seperti hadis yang berbunyi:
1. Tidak boleh berbuat mudharat terhadap diri sendiri dan orang lain.
2. Luka hewan ternak adalah sia-sia.
3. Bukti dibebankan kepada pendakwa sedangkan sumpah dibebankan kepada
terdakwa.
Menurut para ahli fiqih, hadits-hadits diatas berbentuk ungkapan yang berpola qaidah
fiqih. Walaupun hadits tersebut secara formal belum disebut kaidah tetapi tetap sebagai hadits
saat itu, seperti:
Hadits-hadits diatas memiliki arti umum yang mencakup beberapa aspek hukum dan
4
merangkul masalah-masalah yang bersifat subordinatif.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa dari sekian ribu hadits terdapat
hadits-hadits yang memiliki karakter yang sama dengan kaidah fiqih yang keberadaannya
sangat penting dalam ilmu fiqih. Lafash-lafash diatas dihubungkan dengan kata yang
jelas
b. Periode Sahabat
Pada periode ini pola pikir sahabat mulai mengalami transformasi kearah ijtihad,
dimana dalam pengambilan hukumnya itu merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah. Hal
ini disebabkan karna banyaknya persoalan baru yang tidak pernah terjadi pada masa
Nabi. Kemudian pada periode inilah juga mencul penggunaan ra’yu, qiyas, ijma.
c. Periode Tabi’in
Mengenai keberadaan qawaid fiqhiyyah pada masa tabi’in, bisa dikatakan pada masa
ini adalah masa awal perkembangan fiqih. Dimana hal yang menonjol pada masa ini
yaitu dimulai pendasaran terhadap ilmu fiqih. Pada periode ini juga ditandai dengan
munculnya para ulama-ulama fiqih atau para pembesar dan murid-muridnya yang
memberikan pengarahan-pengarahan kepada kelompok masyarakat yang mengkaji
fiqih ketika itu. Kelompok kajian ini pada setiap daerah biasanya di kepalai oleh para
tabi’in seperti:
Said bin Musayyab di Madinah,
Atha bin Abi Rabah di Makah,
An-Nakahi di Kuffah,
Hasan al basri di Basrah,
Makhul di Syam, dan
Thawus di Yaman.
Berbeda dengan masa khulafa al-rasyidun, pada masa ini kajian fiqih masuk dan
lebih condong pada wilayah teori. Banyak hukum fiqih yang di produksi oleh proses
penalaran terhadap teori di bandingkan hukum fiqih yang di hasilkan dari pemahaman
5
terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya yang disamakan dengan kasus
baru. Sehingga, fiqih tidak hanya mampu menjelaskan persoalan-persoalan
waqi’iyyah
(aktual) namun lebih dari itu.
6
Syafi’i dan Madzhab Ahmad) sebagaimana yang telah kita ketahui. Perkembangan
berikutnya mengalami perkembangan yang sangat signifikan, dari menulis,
pembukuan, hingga penyempurnaannya pada akhir abad ke-13 H.
b) Masa Pembentukan Qawaid Fiqhiyyah
Sulit diketahui siapa pembentuk pertama kaidah fiqih yang jelas dengan
meneliti kitab-kitab kaidah fiqih dan masa pembentukannya secara bertahap
dalam proses sejarah hukum Islam. Walaupun demikian, dikalangan ulama di
bidang fiqih menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dibasi, ulama dari mazhab Hanafi yang
hidup diakhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 H telah mengumpulkan Kaidah fiqih mazhab
Hanafi sebanyak 17 kaidah.
Kemudian Abu Saad Al-Harawi, seorang ulama mazhab Syafi’i mengunjungi Abu
Thahir dan mencatat kaidah fiqih yang dihafalkan oleh Abu Thahir. Setelah kurang lebih
seratus tahun kemudian, datang Ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi yang kemudian
menambah kaidah fiqih dari Abu Thahir menjadi 37 kaidah.
Keterangan diatas menerangkan bahwa kaidah-kaidah fiqih muncul pada akhir
abad ke-3 Hijriah. Ketika itu, tantangan dan masalah-masalah yang harus dicarikan
solusinya bertambah beriringan meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslim. Maka para
Ulama membutuhkan metode yang mudah untuk menyelesaikan masalah kemudian
munculah kaidah-kaidah fiqih.
Sumber hukum Islam: al-Quran dan Hadits ; (1) Kemudian Muncul Ushul Fiqih
sebagai metodologi di dalam penarikan hukum; (2) Dengan metodologi Ushul Fiqih
yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan fiqih; (3) Fiqih ini banyak
materinya. Dari materi fiqih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama diteliti
persamaannya dengan menggunakan pola pikir induktif, kemudian dikelompokan dan
tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa akhirnya
disimpulkan menjadi kaidah fiqih; (4) Selanjunya kaidah-kaidah fiqih tadi dikritisi
kembali dengan menggunakan banyak ayat dan hadits terutama untuk dinilai
kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi; (5) Apabila sudah
dianggap sesuai dengan ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi, kaidah fiqih itu akan menjadi
kaidah fiqih yang mapan; (6) Setelah itu, kaidah ini diterapkan untuk menjawab
tantangan perkembangan masyarakat dalam segala bidang dan akhirnya memunculkan
7
fiqih-fiqih baru; (7) Oleh karena itu tidak mengherankan apabila ulama memberi fatwa
terutama di dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah fiqih
bahkan kekhalifaan Turki menggunakan 99 kaidah di dalam membuat undang-undang
muamalah dengan 1851 pasal; (8).
menjadi 37 kaidah.
Pada abad ke-5, Imam Abu Zaid al-Dabusi menambah jumlah kaidah imam
karakhi. Oleh sebab itu, diperkirakan abad ke-4 H adalah tahap kedua dari periode
kemunculan dan awal penulisan kaidah fiqhiyyah. Hal ini terbukti dengan ditemukan
kitab tentang qaidah pada abad ini. Yaitu kitab Ta’sir al-Nadlar karya al-Dabusi. Setelah
ini, baru pada abad ke-6 muncul satu kitab yang ditulis oleh Ala’uddin Muhammad bin
ahmad al-Samarqandi dengan judul Idhah al-Qaidah.
Pada abad ke-7 H qaidah fiqhiyyah mengalami perkembangan yang sangat
signifikan walaupun terlalu dini untuk dikatakan matang. Diantara ulama yang menulis
kitab qaidah pada abad ini adalah Al Allamah bin Ibrohim AL Jurjani al Sahlaki (W. 613
H) dengan karyanya al-qawaid fi furu’I al Syafi’iyyah, Imam Izzudin Abdul as Salam (w.
660 H) dengan karyanya Qawaid al-Ahkam fi mashalih al Anam, Muhammad bin
8
Abdullah bin Rasyid al Bakri al Qafshi (w. 685 H) dengan karyanya Al Mudzhab fi
Qawaid al Madzhab.
Abad ke-8 H adalah masa perkembangan dan kemajuan dari qoidah fiqih. Para
ulama fiqih ikut andil besar dalam kemajuan ini. Urutan kitab-kitab qa’idah terkenal yang
ditulis pada abad ini sebagai berikut:
1) Al-asybah wa al nazair, karya ibnu wakil as-syafi’i (w.716 H),
2) Kitab al-qawa’id, karya maqori al-maliki (w.758 H),
3) Al-ma’ju’ al-mudzhab fi dlabti qawa’idi al-mazhab, karya al-la’i Al-Ayafi’i.
(w.761 H),
4) Al-Sybah wa al-Nazair, karya Tajuddin al-subkhi al-Syafi’i (w.771 H),
5) Al-Sybah wa al-Nazair, karya jamaluddin Al-isnawi Al-syafi’ i(w.772 H),
6) Al-Mantsur fi al-qawaid, karya bahruddin al-Zarkasyi al-Syafi’I (w.794 H),
7) Al- Qawa’id fi al-fiqhi, karya ibnu rajab al-hambali (w.795), dan
8) Al-Qawa’id fi al-Furu’, karya Ali bin Utsman al-Ghazi (w.799).
9
D. Masa Penyempurnaan Qawaid Fiqhiyyah
Setelah melewati masa pertumbuhan, masa perkembangan dan masa kodifikasi
akhirnya tibalah pada penyempurnaan qaidah fiqih yang dilakukan oleh para pengikut
dan pendukungnya. Periode ini ditandai dengan munculnya kitab Majallah al Ahkam al
Adliyyah. Melalui pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab fiqih yang kemudian di
bukukan dan di gunakan sebagai sumber acuan dalam menetapkan hukum di beberapa
Mahkamah pada masa pemerintahan Sultan Al Ghazi Abdul Aziz Khan al Utsmani pada
akhir abad ke-13 H.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Menurut kami (pemakalah) bahwa qawaid fiqihiyyah adalah sebuah
metamorfosa ilmu hukum yang tumbuh dan berkembang hingga sempurna itu tidak
terlepas dari para pendahulu kita yang berawal dari Nabi Muhammad SAW, Para
sahabat Nabi, Tabi’in, dan hingga tabi’in at-tabi’in yang sangat berjasa dalam
pengadaan dan penyempurnaannya.
Kaidah fiqih ini tumbuh dan berkembang setelah wafatnya Nabi Muhammad
SAW. Jika pada masa Nabi suatu masalah yang terjadi waktu itu, oleh para sahabat
langsung di hadapkan pada beliau akan tetapi setelah beliau wafat, banyak
bermunculan persoalan-persoalan baru yang tidak ada pada masa Nabi. Disinilah
mulai muncul Ijtihad dan penalaran-penalaran para mujtahid dalam memecahkan
persoalan
hukum yang tentu dalam metode pengambilan hukumnya disandarkan kepada al-
Qur’an dan As Sunnah.
10
Daftar Pustaka
11
12