Anda di halaman 1dari 16

USHUL FIQH: ISTIHSAN

(PENGERTIAN, MACAM-MACAM DAN DALIL KHUJJAHANNYA)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh

Dosen pengampu:
Zuhdi Hasibuan, M.Ag

Disusun Oleh:
Abdul Haris Nasution
Nur Hamidah Daulay

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MANDAILING NATAL
T.A 2022-2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan
yang berarti dan sesuai dengan harapan. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
bapak Zuhdi Hasibuan, M.Ag sebagai dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh yang
telah membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasankami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan
kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Mandailing Natal, 7 November 2022

Kelompok VII

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………... 2


DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. 3
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………….. 4
A. Latar Belakang ……………………………………………………………… 4
B. Rumusan Masalah …………………………………………………………... 4
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………... 5
A. Definisi Istihsan …………………………………………………………….. 5
B. Macam-macam Istihsan …………………………………………………….. 7
C. Dasar Hukum Istihsan ………………………………………………………. 9
D. Kekuatan istihsan sebagai hujjah ………………………………………….. 12
E. Alasan ulama yang tidak berhujah dengan istihsan ……………………….. 13
BAB III PENUTUP …………………………………………………………………. 14
A. Kesimpulan ………………………………………………………………... 14
B. Saran ………………………………………………………………………. 15
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….. 16

3
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar belakang masalah


Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi
oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam
Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan
ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses
ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian,
ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta
merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor
eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya,
internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf)
di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah
(sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang
diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak.
Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-
Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber
pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di
ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah
mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
B .Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi istihsan ?
2. Apa macam-macam istihasan?
3. Apa dasar hukum istihsan?
4. Bagaimana pendapat ulama yang berhujjah dengan istihsan dan bagaimana pendapat
ulama yang tidak berhujjah dengan istihsan?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Al Istihsan


Istihsan menurut Etimologis (lughowi/bahasa) adalah menganggap baik
sesuatu1. “Memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”,
atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau “”mencari yang lebih baik untuk di
ikuti, karena memang di suruh untuk itu”2. Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan
(musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian
berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan
ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak
baik oleh orang lain3.
Dari lughawi di atas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang
keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di
antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang di
anggapnya lebih baik untuk diamalkan.
Istihsan menurut terminologi/istilah ulama’ ushul adalah beralihnya pemikiran seorang
mujtahid dari tuntutan kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum
kepada perkecualian karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan

1[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 104
[2] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.324

5
perpindahan itu4. Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan
oleh Abdul Wahab Khalaf 5.

‫هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم‬
‫استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول‬
“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas)
kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada
ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid
itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut”.

Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum
dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum
yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat
yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil,
mengambil ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil
yang lain pada sebagian kasus tertentu.
Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi
istihsan bahwa istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang
berlawanan dengan qiyas kully6[6].Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak

4
[3] Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117
[4] Opcit hal. 104
[5] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah,1991), hal.79
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999) hlm.402
[7] Ibid hal.401
[8] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 104

6[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 104
[2] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.324
[3] Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117
[4] Opcit hal. 104
[5] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah,1991), hal.79
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999) hlm.402

6
dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik dan
imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan
dalil qiyas selama masih dipandang tepat7[7].

Apabila terjadi sesuatu peristiwa yang tidak dapat nash hukumnya, maka dalam
pembahasannya ada dua pendapat yang berbeda: sudut pandang lahiriyah yang
menghendaki suatu hukum. Dan sudut pandang secara tersembunyi yang menuntut
hukum yang lain. Seorang mujtahid menemukan dalil yang memenangkan pandangan
secara tersembunyi, lalu pindah ke sudut pandang lahiriyah. Inilah yang menurut syara’
yang disebut alistihsan. Demikian juga jika hukum itu bersifat umum, sedangkan dalam
diri mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian atas sebagian hukum umum ini, lalu
ia menghukumi perkecualian itu dengan hukum yang lain. Maka ini juga di sebut al
ihtisan.

B. Macam-macam al istihsan
Dari pengertian al ihtisan secara syara’ dapat di tarik kesimpulan bahwa
alistihsan ada dua macam8[8]:
1. Mengunggulkan kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil.
2. Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
Contoh-contoh istihsan bentuk pertama:
1. Ulama fiqh kelompok hanafi menyebutkan bahwa seorang yang mewakafkan tanah
sawahnya maka hak pengairan, minum dan jalan adalah termasuk tanpa harus
menerangkan secara istihsan. Sedangkan menurut kias, hal-hal itu tidak termasuk
kecuali dengan nash, seperti halnya jual beli. Adapun bentuk istihsannya; Tujuan wakaf
adalah orang yang di beri hak wakaf dapat memanfaatkan barang yang di wakafkan
Sedangkan pemanfaatan tanah sawah itu harus memberi minum, mengairi, dan jalan,
sehingga hal-hal itu termasuk wakaf tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tidak dapat
terwujud kecuali dengan hal-hal itu, seperti halnya sewa menyewa.

[7] Ibid hal.401


[8] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 10
7

7
Kias yang nyata adalah menyamakan wakaf contoh diatas dengan jual beli,
karena sama-sama mengeluarkan hak milik dari pemiliknya. Sedangkan kias yang
tersembunyi adalah menyamakan wakaf tersebut dengan sewa menyewa, karena sama-
sama demi pemanfaatan. Seperti masuknya pengairan, minum dan jalasedn dalam
bagian sewa menyewa tanah lumpur tanpa menyebutkannya, maka hal-hal itu masuk
juga dalam bagian wakaf tanah lumpur tanpa menyebutkannya Ahli fiqh ulama hanafi
menetapkan bahwa jika terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli tentang harga
barang sebelum barang itu diterima, lalu penjual mendakwa bahwa harganya seratus
pound sedangkan pembeli juga mendakwa bahwa harganya sembilan puluh pound
maka keduanya harus bersumpah, menurut istihsan. Sedangkan kias menetapkan bahwa
penjual tidak bersumpah, karena penjual yang mendakwa lebih banyak, yaitu sepuluh,
sedangkan pembeli mengingkari, maka penjual tidak wajib bersumpah. Alasan
istihsannya bahwa penjual jelas orang yang mendakwa bila dihubungkan dengan
tambahan. Pengingkaran adalah hak pembeli dalam penerimaan barang setelah
menyerahkan 90 pound. Pembeli adalah jelas orang yang mengingkari adanya tambahan
yang di dakwakan oleh penjual yaitu sepuluh, dan ia adalah pendakwa tentang hak
penerimaan barang setelah.
menyerahkan 90 pound. Jadi keduanya adalah pendakwa dari satu sisi dan orang yang di
ingkar di sisi lain, maka keduanya harus bersumpah.9
Kias yang nyata: Menyamakan kejadian ini dengan semua yang terjadi antara
pendakwa dan orang yang ingkar, kesaksian itu wajib bagi orang yang mendakwa,
sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkari.
Kias yang tersembunyi: Menyamakan kejadian di atas dengan setiap kejadian
antara dua orang yang saling mendakwa. Masing-masing dalam waktu bersamaan
dikatakan sebagai pendakwa dan sekaligus orang yang ingkar, maka keduanya harus
bersumpah.

9[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 104
[2] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.324

8
Contoh-contoh istihsan bentuk kedua: Syar’i melarang jual beli atau akd pada
barang yang tidak ada di tempat akad. Tetapi secara istihsan, diperbolehkan pesan
memesan.
C. Dasar Hukum Istihsan
            Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan
Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar
dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18,

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-
orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi
hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak
ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
“Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum
datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.” (QS. Az-
Zumar: 18)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti
yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada
hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan
bahwa Istihsan adalah hujjah
Hadits Nabi saw

.‫فَ َما َرَأى ْال ُم ْسلِ ُمونَ َح َسنًا فَه َُو ِع ْن َد هَّللا ِ َح َس ٌن َو َما َرَأوْ ا َسيًِّئا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َسيٌِّئ‬
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di
sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi
Allah adalah buruk pula”.

Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan
kehujjahan Istihsan.

9
Contoh istihsan macam pertama: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang
mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak
pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan
berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena
mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan
hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti
yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan
mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting
ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa
barang. Demikian pula halnya dengan waqaf.
Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat
dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan
yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf
tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik.
Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini
ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya
adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka
dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh lain adalah mengenai sisa minuman burung buas, seperti sisa burung
elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan
dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan
burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur
dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung
minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut
qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas.
Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas
merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk
bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan
dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air
liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang

10
membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan
dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan
atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada
saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian
yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara’ memberikan rukhshah (keringanan) kepada
pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai
dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam).
Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan
perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana)
dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan
telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka
istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau
mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu
kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan
hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan
karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan.
Disamping Madzhab Hanafi,

golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian
Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah
Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’
berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan
istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa
nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam
buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yang
melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke

11
suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil
yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta
pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut
pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i.
Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu
kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan
itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian
yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-
Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: “orang yang menetapkan hukum
berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan
tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan
tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’
yang umum”.

D. Kekuatan istihsan sebagai hujjah


Dari definisi dan penjelasan kedua macam istihsan, jelaslah bahwa pada
hakikatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena dalil hukum
yang berbentuk istihsan pertama adalah kias yang tersembunyi yang di unggulkan dari
pada kias yang nyata, sebab hal-hal tertentu oleh mujtahid di anggap lebih unggul, dan
itu adalah alasan istihsan. Sedangkan dalil hukum dari bentuk istihsan yang kedua
adalah kemaslahatan, yang menuntut adanya perkecualian bagian tertentu dari hukum
umum, dan hal itu juga di anggap alasan istihsan.
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas
kelompok hanafi. Mereka beralasan: Pengambilan dalil dengan istihsan adalah
mengambilan dalil dengan kias yang samar yang mengalahkan kias yang nyata, atau
memenagkan kias atas kias lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan
cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu pengambilan dalil yang
benar.

12
E. Alasan ulama yang tidak berhujah dengan istihsan
Sebagian kelompok mujtahid menginkari kebenaran istihsan, mereka
menganggapnya sebagai pembentukan hukum berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya
sendiri. Diantara tokohnya adalah Imam Syafii, seperti telah di nukil darinya; Siapa
yang menggunakan istihsan berarti ia membuat syariat. Artinya orang itu membuat
syariat sendiri. Ditetapkan dalam Risalah Ushuliyahnya: perumpamaan orang yang
menetapkan hukum dengan istihsan adalah seperti orang sholat menghadap ke arah
yang di anggap baik itu ka’bah, tanpa menggunakan dalil-dalil yang di tetapkan oleh
syar’i dalam menetukan arah ka’bah. Dalam kitab itu disebutkan bahwa istihsan adalah
berenak enak, seandainya melakukan istihsan dalam agama itu diperbolehkan, niscaya

bolehjuga dilkukan orang-orang yang punya akal meskipun bukan ahli ilmu. Dan
niscaya boleh menciptakan Syariat dalam agama di setiappermasalahan, serta setiap
orang boleh membuat syariat untuk dirinya sendiri.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang
bersifat kully(menyeluruhIstihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian
dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal
daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan
maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil
yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari
satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at
diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum,
jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau
menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas
dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang
kandungannya berbeda.
Dari pengertian al ihtisan secara syara’ dapat di tarik kesimpulan bahwa al-
istihsan ada dua macam:
1. Mengunggulkan kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil.
2. Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah
yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan
istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18

Dari definisi dan penjelasan kedua macam istihsan, jelaslah bahwa pada
hakikatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena dalil hukum
yang berbentuk istihsan pertama adalah kias yang tersembunyi yang di unggulkan dari
pada kias yang nyata, sebab hal-hal tertentu oleh mujtahid di anggap lebih unggul, dan
itu adalah alasan istihsan. Sedangkan dalil hukum dari bentuk istihsan yang kedua
adalah kemaslahatan, yang menuntut Dari definisi dan penjelasan kedua macam

14
istihsan, jelaslah bahwa pada hakikatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri
sendiri, karena dalil hukum yang berbentuk istihsan pertama adalah kias yang
tersembunyi yang di unggulkan dari pada kias yang nyata, sebab hal-hal tertentu oleh
mujtahid di anggap lebih unggul, dan itu adalah alasan istihsan.

Sedangkan dalil hukum dari bentuk istihsan yang kedua adalah kemaslahatan,
adanya perkecualian bagian tertentu dari hukum umum, dan hal itu juga di anggap
alasan istihsan.

Kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak istihsān,


kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-
hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan
terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini
telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa istihsān sendiri mempunyai
batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini
sebenarnya hanya menolak istihsān yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa
dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.

B.Saran
Banyak perbedaan di kalangan para ulama mengenai istihsan . Mengenai
perbedaan ini sudah kami bahas dan kami jelaskan di makalah ini. Kami menyadari
dalam makalah kami ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, dan kami berharap
bahwa makalah ini untuk ada yang melanjutkan dan membahasnya kembali.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah Muhammad, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999)


Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003)
Syarifuddin Amir, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011)
Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117

16

Anda mungkin juga menyukai