Anda di halaman 1dari 18

URGENSI IJTIHAD DALAM MENJAWAB BERBAGAI

PENEMUAN HUKUM ISLAM KONTEMPORER

Dosen Pengampu:

M. Khaeruddin Hamsin, Lc., MA., PhD.

Disusun oleh: Kelompok 6 Kelas D

Hafiz Pratama Zen (20210610315)

Syaikhu Fathurahman (20210610145)

Maulana Lazuardi (20210610409)


A. Pendahuluan

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu berkembang mengikuti
perubahan zaman. Hal tersebut tidak bisa dinafikan, karena dengan segala penemuan dan
budaya baru yang ada menuntut manusia harus dapat menyesuaikan dengan keadaan yang
memaksa diri mereka untuk berubah. Begitu pula dengan keberadaan hukum atau seperangkat
aturan yang mengikat kehidupan manusia juga harus turut serta dalam melakukan perubahan
sebagaimana perkembangan yang ada pada kehidupan manusia. Perubahan hukum dalam
mengikuti perkembangan manusia senyatanya merupakan suatu hal yang harus terjadi, agar
fungsi hukum sebagaimana alat rekayasa sosial yang digunakan untuk mengubah pola dan
tingkah laku masyarakat menjadi sesuai dengan peraturan yang dikehendaki oleh hukum
sebagaimana mestinya.1

Hukum adalah salah satu elemen ajaran yang penting dalam agama Islam.2 Dalam istilah
agama Islam hukum dapat disebut sebagai syariah atau fiqih, yang mana diantara kedua hal
tersebut memiliki pengertian yang berbeda namun saling berkaitan. Pada level teori syariah
merujuk kepada norma-norma ajaran Islam yang disebutkan dalam dua sumber pokok ajaran
Islam, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. 3 Kedua sumber pokok tersebut dilimitasi dengan
adanya hierarki untuk menandakan hukum mana yang didahulukan dalam menentukan arah
hukum Islam, yang mana fungsi As-Sunnah tidaklah sama kuatnya dengan fungsi Al-Quran
dalam hierarki sumber hukum Islam. 4 Begitu pula dengan sumber hukum dibawah Al-Quran
dan As-Sunnah, sebagaimana dengan Ijtihad.

Berfokus kepada Ijtihad selaku sumber hukum ke tiga dari Al-Quran dan As-Sunnah, yang
mana memiliki fungsi dalam mencentus ide-ide yang bagus demi kemaslahatan umat. Menurut
mayoritas ulama, Ijtihad dapat diartikan sebagai pencurahan segenap kesanggupan seorang ahli
fiqih untuk mendapatkan pengertian tingkat menduga atau mengira terhadap hukum syariat. 5
Maka dengan pengertian yang demikian, Ijtihad dapat dimaknai sebagai suatu analisis terhadap
penemuan hukum baru atas dua sumber hukum Islam diatasnya, yaitu Al-Quran dan As-
Sunnah. Keberadaan Ijtihad pun disebut sebagai penyebab dinamika hukum dalam Islam.

1
Orlando Galih. “Efektifitas Hukum dan Fungsi Hukum di Indonesia”. Tabiyah bil Qolam: Jurnal Pendidikan,
Agama dan Sains 6, No. 1 (2022): 49.
2
Anwar Syamsul. “Studi Hukum Islam Kontemporer”. Edisi 2. Yogyakarta:UAD PRESS, 2019.
3
Ibid.
4
Farida Umma. “Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Perspektif Ushuliyyin dan Muhadditsin”.
Yudisia 6. No. 1 (2015): 240.
5
Has, Abd Wafi. “Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam”. IAIN Tulungagung Research Collections
8. No. 1 (2013): 93.
Berkorelasi dengan sifat Al-Quran yang tetap dan sifat As-Sunnah yang sekiranya harus
dilakukan penyesuaian terhadap kehidupan manusia sekarang, maka timbul suatu sumber
hukum Islam baru berupa Ijtihad, yang berfungsi sebagai penafsir atas dua sumber hukum
diatasnya agar selalu sesuai dengan kehidupan manusia yang selalu berkembang. Dengan
adanya Ijtihad, perluasan makna atas sumber hukum Islam diatasnya dapat dilakukan agar
timbul relevansi antara kehidupan manusia kontemporer dengan seperangkat aturan yang
mengaturnya.

Ijtihad yang merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman
Rasulullah Saw, yang dilanjutkan pelaksanaannya pada zaman para sahabat, tabi’in serta masa-
masa selanjutnya hingga zaman modern saat ini. Adanya Ijtihad tidak dipungkiri karena urgensi
dari Ijtihad itu sendiri, yang mana Ijtihad merupakan bentuk dari suatu keharusan, untuk
menaggapi tantangan kehidupan yang semakin komples.6 Kehidupan manusia kian waktu
menunjukan perkembangan yang begitu pesat, sehingga ajaran sumber hukum Islam berupa
Al-Quran dan As-Sunnah dirasa kurang relevan dengan keadaan masyarakat kontemporer. Hal
demikian senyatanya harus diantisipasi dengan penggunaan metode Ijtihad dalam upaya
mengeksiskan Kembali ajaran serta seruan yang terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunnah
untuk dapat sesuai dan relevan digunakana bagi kehidupan manusia.

B. Pembahasan
a. Eksistensi Ijtihad dan Pengertian Ijtihad

Pengertian “ijtihad” menurut bahasa ialah mengerahkan segala kesanggupann untuk


mengerjakan sesuatu yang sulit. Menurut konsepsi ini kata ijtihad tidak diterapkan pada
“pengerjaan sesuatu yang mudah atau ringan”. Kata ijtihad berasal dari bahasa Arab
ialah daei kata “al-jahdu” yang berarti “daya upaya atau usaha yang keras”. Ijtihad
berarti “berusaha keras unutk mencapai atau memperoleh sesuatu”. Dalam kaitan ini
pengertian ijtihad : adalah usaha maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syariat
dari dasar-dasarnya melalui pemikiran dan penelitian yang sungguh-sungguh dan
mendalam.

Ijtihad menurut definisi ushul fiqih yaitu pengarahan segenap kesanggupan oleh
seorang ahli fiqih unutk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ dan

6
Has, Abd Wafi, Op.Cit., hlm 92.
hukum syara’ menunjukan bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang fiqih, bidang hukum
yang berkenaan dengan amal, bukan bidang pemikiran ‘amaliy dan bukan nizhariy.

Pengertian-pengertian di atas jelas memberikan pandangan yang mendasar bahwa


ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dan mendalam yang dilakukan oleh individu
atau sekelompok untuk mencapai atau memperoleh sesuatu hukum syariat melalui
pemikiran yang sungguh-sungguh berdasarkan dalil naqli yakni Al Quran dan Hadits.

C. Dasar hukum ijtihad

Dasar-dasar ijtihad atau dasar hukum ijtihad ialah al-Qur’an dan sunnah. Di dalam ayat
yang menjadi dasar dalam ber-ijtihad sebagai firman

Allah Swt dalam QS. al-Nisa’:105 sebagai berikut:

Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat”.

Demikian juga dijelaskan dalan QS. Al-Rum: 21:

Artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda
bagi kaum yang berpikir.”

Serta hadist yang diriwayatkan oleh al-Baghawi dari Mu’az bin Jabal yang
menerangkan tentang dialog yang terjadi antara Nabi saw dengan Mu’az ketika akan diangkat
sebagai qadhi di Yaman. Nabi bersabda, “Bagaimana jika engkau diserahi urusan peradilan?.
Jawab Mu’az: “Saya akan menetapkan perkara berdasarkan nash al-Qur’an”. Nabi bertanya:
“Bagaimana jika tidak kau dapatkan di dalam al-Qur’an”. Jawab Mu’az: “Dengan Sunnah
Rasul”. Kemudian Nabi mengakhiri pertanyaannya dengan: “Bagaimana jika di dalam Sunnah
pun tidak kau dapatkan?”. Mu’az menjawab: “Saya akan mengerahkan kemampuan saya
untuk menetapkan hukum dengan pikiranku”. Rasulullah saw. mengakhiri dialog tersebut
dengan mengatakan: “Segala puji hanya bagi Allah yang memberikan petunjuk kepada utusan
RasulNya jalan yang diridlai Rasul Allah”
D. Macam macam ijtihad

Dalam pembagian ijtihad, terdapat beberapa klasifikasi yang terdapat dalam ijtihad itu
sendiri. Dalam perspektif hukum yang dihasilkan, Ijtihad dapat klasifikasikan menjadi dua
bagian:

1. Ijtihad Insyai

Yang dimaksud dengan metode insyâ’i adalah metode penetapan hukum fiqh—dengan
metode ijtihad tertentu—untuk mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan
yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu. Masalah tersebut bisa jadi belum
pernah dibahas sama sekali oleh mereka atau sudah pernah dibahas tapi seorang ahli fiqh
kontemporer mempunyai keputusan hukum yang berbeda dengan keputusan ulama
sebelumnya. Hal ini bisa terjadi karena adanya perkembangan zaman yang senantiasa
memerlukan pemecahan permasalahan hukum dengan mempertimbangkan situasi dan
kondisi yang ada. Sehingga bisa jadi masalah yang muncul sekarang belum pernah ada pada
zaman para ahli hukum terdahulu, atau masalah tersebut sudah pernah ada namun hasil
keputusan mereka tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi kontemprer dewasa ini.

Contoh metode insyâ’i seperti yang diketengahkan oleh Yusuf Qaradhawi adalah
mengenai zakat tanah sewaan. Apakah yang wajib membayar zakat si penyewa atau si
pemilik tanah. Dalam hal ini Yusuf Qaradhawi menegaskan bahwa hendaknya penyewa
mengeluarkan zakat tanaman atau buah yang dihasilkan dari tanah sewaan tadi jika telah
mencapai nisab, dengan mengurangi harga sewa tanah yang dibayarkan kepada pemilik
tanah, karena harga sewa tanah tersebut dianggap sebagai hutang yang menjadi beban
penyewa. Dengan demikian ia hanya mengeluarkan zakat hasil bersih dari tanaman tersebut.
Adapun pemilik tanah yang menyewakannya juga harus mengeluarkan zakat dari
pembayaran sewa tanah yang diterimanya jika jumlahnya mencapai satu nisab dengan
mengurangi pajak tanah yang harus dibayarkan. Jadi keduanya mengeluarkan zakat dari
hasil yang diterima masing-masing.

Pendapat yang demikian ini belum pernah diutarakan oleh para ahli hukum terdahulu.
Dalam hal ini mayoritas mereka berpendapat bahwa zakat tanaman dan buah-buahan dari
bumi yang disewa diwajibkan atas orang yang menyewa saja, sedangkan menurut Abu
Hanifah zakat tersebut dibebankan atas pemilik tanah yang menyewakan.
Contoh di atas menegaskan bahwa Yusuf Qaradhawi memutuskan produk hukum baru
yang berbeda dengan keputusan para ahli fiqh sebelumnya yang hanya mewajibkan zakat
kepada salah satu antara penyewa atau pemilik tanah. Dalam konteks ini Yusuf Qaradhawi
memutuskan suatu hukum yang nampaknya didasarkan atas maslahah sehingga hasilnya
lebih adil, baik bagi penyewa maupun pemilik tanah. Keputusan hukum baru yang dilakukan
Yusuf Qaradhawi ini merupakan implementasi dari metode insyâ’i.

Contoh lain adalah mengenai mîqat haji dan umrah bagi jamaah yang naik pesawat.
Mîqat tersebut sudah ditetapkan dalam hadits sebagai berikut: Diriwayatkan dari Ibnuu
Abbas RA., sesungguhnya Rasulullah SAW menentukan mîqat untuk penduduk Madinah di
Dzul Hulaifah, untuk penduduk Syam di alJuhfah, untuk penduduk Yaman di Yalamlam,
dan untuk penduduk Najd di Qarn. Maka tempat-tempat itulah untuk mîqat mereka, dan
bagi orang yang melewati tempat-tempat tersebut dari selain penduduknya yang akan
menunaikan ibadah haji dan umrah. Maka barangsiapa yang tinggal di tempat-tempat yang
tidak disebut di atas maka mîqatnya di tempat ia tinggal, sehingga penduduk Makkah
mîqatnya cukup dari Makkah". (HR. AlBukhari).

Menurut Syaikh Abdullah Ibnu Zaid alMahmud (Kepala Peradilan Agama Qatar),
bahwa mîqat diperbolehkan dari Jeddah bagi jamaah yang naik pesawat. Ini merupakan
keputusan hukum fiqh berdasarkan metode insyâ’i, karena pada zaman dulu belum ada
pesawat. Syeikh Abdullah berargumen bahwa hikmah ditetapkannya mîqat haji pada tempat
tertentu karena tempat-tempat tersebut berada di jalan masuk ke Mekkah dan semuanya
terletak di pinggir Hijaz. Oleh karena Jeddah menjadi jalan bagi jamaah yang naik pesawat
dan dengan alasan dharurat mereka butuh untuk menentukan mîqat di bumi untuk memulai
ihram haji maupun umrah, maka diperbolehkan mîqat di Jeddah tersebut. Hal ini diqiyâskan
juga dengan penetapan Umar bin Khatthab tentang mîqat bagi penduduk Iraq di Dzâtu Irqin.

2. Ijtihad Intiqai

Metode intiqâ’i adalah metode penetapan hukum fiqh yang dilakukan dengan
mengungkap pendapat-pendapat ulama terdahulu beserta dalil-dalil yang digunakan mereka
kemudian membandingkan dan memilih pendapat yang lebih kuat dalilnya dan lebih sesuai
dengan kondisi sekarang.

Metode intiqâ’i pada prinsipnya merupakan aplikasi tarjîh, yaitu mengadakan studi
komparatif di antara pendapat-pendapat para ulama terdahulu dengan meneliti ulang dalil-
dalil yang dijadikan sandaran mereka, yang pada akhirnya dapat dipilih pendapat yang
dipandang lebih kuat dalil dan hujjahnya sesuai dengan alat ukur yang digunakan dalam
mentarjih, yaitu:

a. Hendaknya pendapat itu lebih cocok dengan kondisi sekarang.


b. Hendaknya pendapat itu lebih mencerminkan rahmat dalam kehidupan.
c. Hendaknya pendapat itu tidak membawa kesulitan.
d. Hendaknya pendapat itu lebih utama dalam merealisir maksud-maksud syara',
membawa maslahah, dan tidak mendatangkan kerusakan dalam kehidupan.

Kita semua tahu bahwa di kalangan para ulama terdapat beragam pendapat tentang
suatu masalah hukum, dan hanya sedikit permasalahan yang disepakati oleh mereka. Dalam
menyikapi masalah ini seorang ahli fiqh kontemporer harus bisa memilih pendapat yang
lebih kuat dalilnya di antara pendapatpendapat yang ada setelah mengadakan perbandingan
secara hati-hati.

Contoh metode intiqâ’i adalah masalah batalnya wudhu seorang laki-laki karena
bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram (Rusyd, tt: 27-28). Dalam kasus ini Imam
Syafi'i menghukumi batal, sementara imam Hanafi menghukumi tidak batal kecuali jima'
(berhubungan badan). Adapun Imam Malik menghukumi batal dengan syarat sentuhan
tersebut menimbulkan rasa syahwat. Perbedaan pendapat ini dipicu oleh pemahaman
mereka tentang lafal ‫ سل‬pada surah Al-Maidah ayat 6 (‫)َلم ْست ُ ُم النِساء‬.

Imam Syafi'i memahami lafal tersebut secara haqîqi; yang berarti sentuhan. Dia melihat
tidak ada qarînah (indikator) yang kuat untuk memalingkan lafal ‫س‬ѧ‫ ل‬kepada makna
majazi, sehingga lafal tersebut harus diartikan secara haqîqi; yaitu sentuhan tangan. Hal ini
sesuai dengan kaidah:

‫األصل في الكالم حقيقة‬

Makna yang kuat pada suatu kalimat adalah haqîqi (bukan makna majazi).

Sedangkan Imam Hanafi memandang adanya qarînah yang kuat untuk memalingkan
lafal ‫ سل‬tersebut dari makna haqîqi ke makna majâzi. Pemalingan makna ini nampaknya
tidak bisa lepas dari pemahaman hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud sebagai
berikut: Dari Aisyah RA., ia berkata: Sesungguhnya Nabi SAW mencium salah satu istri
beliau kemudian keluar menuju salat dan tidak berwudhu lagi". (HR. Abu Dawud).
Dari pemahaman hadits di atas terlihat bahwa Nabi tidak berwudhu lagi sekalipun
beliau mencium istrinya ketika hendak shalat. Riwayat hadits tersebut nampaknya
dijadikan sebagai qarînah oleh Imam Hanafi dalam memalingkan makna lafal ‫س‬ѧ‫ ل‬dari arti
haqîqi ke majazi; yaitu jima' (hubungan badan).

Sementara itu Imam Malik melihat bahwa lafal ‫س‬ѧ‫ َلم‬pada ayat tersebut merupakan
lafal 'am (umum) yang berarti khas (khusus). Dalam hal ini sentuhan yang dimaksud pada
lafal itu adalah sentuhan secara khusus yang menimbulkan rasa syahwat (seksual), atau
sengaja merangsang rasa syahwat.

Dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut, setelah mengetengahkan beberapa


pendapat para ulama beserta alasan/dalilnya, lalu Ibnuu Rusyd (ulama fiqh
Andalus/Spanyol w. 1198 M) memilih pendapat Imam Hanafi yang mengartikan
lafal ‫س‬ѧ‫ َلم‬dengan makna jima'. Menurutnya, dalil yang diketengahkan Imam Hanafi lebih
kuat dari pada yang lain.

Ibnuu Rusyd tampak jelas memilih pendapat Hanafi dalam hal sentuhan antara lakilaki
dan wanita terkait dengan batalnya wudhu'. Menurutnya pendapat Imam Hanafi mengenai
hal tersebut lebih kuat dalilnya dan lebih bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dari
pada pendapat imam-imam lainnya.

Sedangkan dalam perspektif pelaku Ijtihad, Ijtihad dapat dibagi menjadi dua, diantaranya yaitu:

1. Ijtihad Al-Fardi
Ijtihad Al-Fardi atau perseorangan yaitu ijtihad yang dilakukan secara mandiri oleh
seseorang yang memiliki keahlian dan hasil ijtihadnya mendapat persetujuan dari ulama
lain. 7 Ijtihad perseorangan ini sungguh sangat disetujui dalam Islam dan merukan hak
setiap muslim yang memiliki dan mempunyai keahlian dalam menganalisis suatu
permasalahan yang mendalam. Maka siapapun seorang muslim yang memiliki keahlian
yang teruji secara nyata, dapat memberikan ijtihad menurut analisis yang mereka terka
dalam suatu permasalahan.
2. Ijtihad Al-Jama’i

Ijtihad Al-Jama’I atau dapat disebut sebagai Ijtihad kolektif secara etimologi (bahasa)
ijtihad adalah proses pencarian dalil berbasis syari’ah dengan skala usaha sungguh-

7
Bisri, Hasan. “Hukum Islam dan Perubahan Sosial: Telaah atas Ijtihad Fardi dan Jama’I”. Jurnal Hukum Islam
dan Perubahan Sosial 26, no. 2 (2019): 204.
sungguh. Sedangkan secara Ijtihad secara terminologi (istilah), menurut Abu Hamid al-
Ghazali seorang ulama bermadzhab Syafi’i, Ijtihad adalah pengerahan seorang
Mujtahid dengan segala kemampuannya dalam mencari sebuah ilmu dengan
bersandarkan kepada hukumhukum syari’at‛. 8 Ijtihad kolektif atau ijtihad Al-Jama’I
dianggap sebagai solusi yang tepat untuk mengatasi krisis pemikiran di dunia Muslim
karena memungkinkan penyelesaian masalah modern, kontemporer dan kompleks,
serta cenderung mengurangi fanatisme mazhab hukum Islam. Mengutip Nadirsyah
Hosen, prosedur ijtihad kolektif ini diikuti karena para cendekiawan Muslim
menghargai dan memahami bahwa masalah di era modern jauh lebih kompleks
daripada di masa kenabian lima belas abad yang lalu. Oleh karena itu, komunitas
Muslim saat ini mengharapkan para cendekiawan Muslim untuk memberikan jawaban
yang luas atas masalah mereka, tidak hanya dari sudut pandang hukum Islam, tetapi
juga dari sudut pandang lain.9

E. Rukun dan Syarat Ijtihad

Saat hendak berijtihad, terdapat beberapa hal yang mesti diperhatikan sebelumnya.
Yang mana perkara-perkara ini mesti terpenuhi terlebih dahulu sebelum melakukan ijtihad.
Adapun rukun Ijtihad sebagai berikut:

1. Al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi tidak diterangkan
oleh nash
2. Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk
berijtihad dengan syarat syarat tertentu
3. Mujtahid fiih ialah hukum hukum syariah yang bersifat amali (taklifi)
4. Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fiil10

Dalam menentukan syarat seorang mujtahid atau orang yang melakukan ijtihad terdapat
banyak perbedaan atau pendapat dari beberapa ulama islam. Salah satu pendapat dari
seorang ulama Ushul Fiqh Abu Hamid Bin Muhammad al-Ghazali. Menurutnya syarat-
bagi seorang mujtahid harus memiliki kriteria diantaranya mengetahui syariat serta hal-hal

8
Al- Munawar, Faisal Agil. “Ijtihad Jama’i (Ijtihad Kolektif) Perspektif Ulama Kontemporer”. Jurnal Ekonomi dan
Hukum Islam 4, no. 2 (2020): 130.
9
Ibrahim, Ilham. Ijtihad Jama’I atau Ijtihad Kolektif, Pengertian, Syarat dan Prosedur.
https://muhammadiyah.or.id/ijtihad-jamai-atau-ijtihad-kolektif-pengertian-syarat-dan-prosedur/ (Akses 23
Mei 2023)
10
Abd Wafi Has, “Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam,” Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu
Keislaman 8, no. 1 (2013), https://doi.org/10.21274/epis.2013.8.1.89-112.
yang berkaitan dengannya, adil dan tidak melalukan maksiat. Seseorang yang menggeluti
bidang fiqh tidak bisa sampai ke tingkat mujtahid kecuali memenuhi beberapa syarat,
sebagian persyaratan itu ada yang telah disepakati dan sebagian yang lain masih
diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah:

Mengetahui al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi dasar hukum Islam.
Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam.
Barangsiapa yang tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam
secara utuh. Mengerti al-Qur’an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa
melihat bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya
alGhazali memberi syarat seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar
500 ayat.

Mengetahui Asbab al-Nuzul

Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengetahui al-
Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui
secara sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan
memberi analisis yang komprehensif untuk memahami maksud diturunkannya teks Qur’an
tersebut kepada manusia. Imam as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqat, mengatakan
bahwa mengetahui sebab turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak
memahami al-Qur’an. Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda pengertiannya menurut
perbedaan keadaan. Kedua, tidak mengetahui sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam
keraguan dan kesulitan dan juga bisa membawa pada pemahaman global terhadap nash
yang bersifat lahir sehingga sering menimbulkan perselisihan.

Mengetahui Nasikh dan Mansukh

Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih
menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah di-nasikh-kan dan tidak bisa
dipergunakan untuk dalil.

Mengetahui As-Sunnah

Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan


as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi Saw
Mengetahui Ilmu Diroyah Hadis

Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan hadis
yang sahih dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima dari hadis yang ditolak. Seorang
mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para
perawi hadis, syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata
dalam menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis dan hal-hal yang tercakup dalam
ilmu hadis. Kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis
sebagai dasar hukum.

Mengetahui Hadis yang Nasikh dan Mansukh

Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid
jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak
boleh dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan nikah mut’ah di mana hadis tersebut
sudah di-nasikh secara pasti oleh hadis-hadis lain.

Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadis

Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab al-nuzul,
yakni mengetahui setiap kondisi, situasi dan lokus hadis tersebut muncul.

Mengetahui Bahasa Arab

Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya
pada objek kajian lebih mendalam karena teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab.

Mengetahui Tempat-Tempat Ijma

Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh
para ulama sehingga tidak terjerumus dalam memberikan fatwa yang bertentangan dengan
hasil ijma. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang
berseberangan dengan nash tersebut. Namun seorang mujtahid bisa bertentangan dengan
ijma para ulama selama hasil ijtihad-nya membawa maslahat bagi umat

Mengetahui Ushul Fiqh

Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh, yaitu suatu
ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk
mengambil istinbat hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang
tidak ada nash hukumnya. Dalam ushul fiqh, mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas
sebagai modal pengambilan ketetapan hukum.

Mengetahui Maksud dan Tujuan Syariah

Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara kepentingan


manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan dalam tiga tingkatan maslahat, yakni dlaruriyyat
(apabila dilanggar akan mengancam jiwa, agama, harta, akal dan keturunan), hajiyyat
(kelapangan hidup, misal memberi rukshah dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang
terdiri dari kebiasaan dan akhlak yang baik).

Mengenal Manusia dan Kehidupan Sekitarnya

Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zaman, masyarakat, problem,


aliran ideologi, politik dan agamanya serta mengenal sejauh mana interaksi saling
memengaruhi antara masyarakat tersebut.

Bersifat Adil dan Takwa

Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh mujtahid benar-
benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam istinbat
hukumnya. Adapun ketentuan-ketentuan yang masih dipersilihkan adalah mengetahui ilmu
ushuluddin, ilmu mantiq dan mengetahui cabang-cabang fiqh

F. Metode Ijtihad Dalam Penemuan Hukum


1. Qiyas
Qiyas menurut istilah ahli ushul fiqh adalah menyamakan suatu kasus yang tidak ada
nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena terdapat persamaan
kedua kasus tersebut dalam ‘illat hukumnya 11
Apabila nash telah menunjukan hukum mengenai suatu kasus dan ‘illat hukum telah
diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui ‘illat hukum, kemudian ada kasus
lain yang ‘illat nya sama dengan kasus yang terdapat nash, maka hukum kasus tersebut
disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya berdasarkan persamaan ‘illatnya, karena
suatu hukum dapat diketahui manakala ditemukan illat hukumnya.

Berikut beberapa kasus contoh qiyas hukum syara’ dan hukum positif yang dapat
menjelaskan definisi tersebut

11
prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang, 2014).
1. Minum khamar adalah kasus yang hukumnya oleh nash, yaitu pengharaman yang
dijelaskan pada surat Al-Maidah: 90, karena terdapat ‘illat yaitu: memabukan. Maka
‘illat memabukan yang terdapat pada minuman keras disamakan dengan khamar
mengenai hukum dan haram meminumnya.
2. Kertas yang dibubuhi dengan tanda tangan diatasnya adalah kejadian yang hukumnya
telah ditetapkan ditetapkan berdasarkan nash, yaitu bahwa ia menjadi hujjah atas
pemberi tanda tangan yang didasarkan dalil berupa teks undang-undang keperdataan.
Karena terdapat ‘illat yaitu bahwasannya pembubuhan tanda tangan oleh si
penandatangan menunjukan atas dirinya. Dan ‘illat tersebut juga terdapat pada kertas
yang di cap jari, maka hukum diqiyaskan dengan kertas yang ditandatangani dan ia
menjadi bukti atas pemberi cap tersebut
2. Istihsan
Istilah menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap sesuatu. Sedangkan menurut
ulama ushul fiqh, istishan adalah berpalingnya (pindahnya) seorang mujtahid dari tuntutan
qiyas yang jail (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafi (samar), atau dari hukum kulli
(umum) kepada hukum istitsanai (pengecualian), karena terdapat dalil yang mementungkan
pindahan.12
Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk menganalisanya
dapat menggunakan dua aspek yang berbeda, yaitu

1. Aspek nyata (zhahir) yang menghendaki suatu hukum tertentu


2. Aspek tersembunyi (khafi) yang menhendaki hukum lain

Dalam hal ini apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi
analisis yang tersembunyi, ia dapat berpaling dari aspek analisis yang nyata, maka ini
disebut istishan menurut istilah syara’. Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat
kulli (umum), namun pada diri mujtahid terdapat dalil yang menghendaki pengecualian
ju’iyyah dari hukum kulli (umum) tersebut, dan mujtahid tersebut menghendaki hukum
juz’iyyah dengan hukum yang lain, maka hal tersebut menurut syara’ juga termasuk
istishan.

Dari definisi istihsan menurut syara maka istihsan dibagi menjadi dua bagian yaitu

12
Ibid.
Pertama : mengutamakan qiyas Kahfi (yang tersembunyi) atas kias jali (nyata) karena
adanya suatu dalil

Kedua : mengecualikan kasuistis (juz’iyyah) dari hukum kuli (umum) karena adanya
suatu dalil

Contoh dari istihsan ialah Ulama Hanafiah menjelaskan bahwa orang yang
mewakafkan sebidang tanah pertanian maka termasuk di dalam mewakafkan hak pengairan
(irigasi), hak air minum, dan hak lewat, tanpa harus menyebutkannya sebagai wakaf. Hal
tersebut dikarenakan mengikutkan sesuatu yang berhubungan dengan wakaf dianggap lebih
baik

Menurut qiyas hal-hal tersebut tidak termasuk kategori barang yang diwakafkan kecuali
bila terdapat keterangan orang-orang yang mewakafkan bahwa sesuatu yang berhubungan
dengan diwakafkan menjadi barang wakaf juga bagian dalam masalah jual beli

Bahwa yang menjadi tujuan wakaf dari segi istihsan adalah pemanfaatan sesuatu yang
diwakafkan. Pada kasus di atas, pemanfaatan tanah pertanian tidak bisa dilakukan kecuali
dengan meminum airnya, pengairannya, dan hak melewatinya, jadi, hal-hal tersebut juga
termasuk wakaf meskipun tanpa menyebutkannya sebagai wakaf. Dengan demikian tujuan
wakaf tidak akan terealisir kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa menyewa.

Dalam hal ini, qiyas yang nyata (jail) adalah adanya upaya menyewakan wakaf dengan
jual beli, karena masing-masing dari kedua terdapat unsur pemberian kepemilikan dari
seorang kepada orang lain. Sedangkan kias yang khafi (tersembunyi) mempersamakan
wakaf sebagaimana kasus ini dengan sewa-menyewa, karena masing-masing dari keduanya
dimaksudkan untuk memberikan manfaat. Dengan kata lain masuknya pengairan atau
irigasi, air minum, dan jalan dalam hal menyewakan tanah meski tanpa menyebutkannya,
maka sesuatu itu juga termasuk dalam hal wakaf tanah.

3. Istislah/Maslahah
Secara mutlak, maslahah mursalah diartikan oleh ahli Ushul fiqih sebagai suatu
kemaslahatan yang secara hukum tidak disyariatkan oleh syar'i, serta tidak ada dalil syar'i
yang menerangkan atau membatalkannya. Maslahah ini disebut mutlak, karena tidak terikat
oleh dalil yang mengakuinya atau dalil yang membatalkannya. Misalnya kemaslahatan
yang diambil para sahabat dalam mensyariatkan pengandaan penjara, percetakan mata
uang, penetapan hak milik tanah pertanian dan penentuan pajak penghasilan, atau hal-hal
lain yang termasuk kemaslahatan yang dituntut oleh keadaan darurat, kebutuhan, atau
kebaikan namun belum disyariatkan hukumnya dan tidak ada bukti syarat yang
menunjukkan terhadap kebenaran atau kesalahannya13
Untuk lebih jelasnya definisi tersebut bahwa pembentukan hukum dimaksudkan untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia. Artinya, mendatangkan keuntungan, menolak
mudarat dan menghilangkan kesulitan dari mereka. Sesungguhnya kemaslahatan manusia
itu tidak terbatas pada bagian-bagiannya dari individu-individunya. Kemaslahatan akan
terus-menerus muncul bersamaan dengan perkembangan situasi dan kondisi manusia
akibat perbedaan lingkungan. Pensyariatan hukum terkadang mendatangkan kemanfaatan
pada suatu masa dan pada masa yang lain mendatangkan mudarat. Pada saat yang sama,
kadang kala suatu hukum dapat mendatangkan manfaat dalam lingkungan tertentu namun
justru mendatangkan mudarat dalam lingkungan yang lain

4. Saad Adz-Dzariah
Menurut Imam Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami, atau yang lebih dikenal
dengan panggilan Imam asy-Syathibi (wafat 790 H), munculnya metode saad adz-dzari’ah
tidak lepas dari perdebatan yang terjadi di antara ulama terdahulu. Perdebatan itu
memunculkan dua pendapat yang sama-sama kuat. Pertama, ada yang mengatakan bahwa
metode ini menjadi dalil syariat yang sudah kredibel dan layak untuk mencetuskan suatu
hukum melalui kesepakatan di antara mereka. Pendapat ini sebagaimana dipedomani dan
disepakati ulama kalangan mazhab Maliki, Hanbali, sebagian mazhab Syafi’i dan sebagian
mazhab Hanafi. Kedua, ada yang mengatakan bahwa saad adz-dzari’ah tidak bisa dijadikan
dalil secara khusus dan tidak bisa dikatakan sumber yang kredibel untuk menjawab dan
mencetuskan sebuah hukum. Pendapat ini adalah pendapat sebagian ulama kalangan
mazhab Syafi’i dan sebagian mazhab Hanafi. (Asy-Syathibi, al-Muwâfaqât lisy Syâthibi,
[Maktabah Dârubnu ‘Affân: 1997], juz V, halaman 178). Betapa pun dalam ranah ini masih
terjadi perbedaan pendapat, saad adz-dzari’ah tetaplah menjadi salah satu metode istidlal
menurut mayoritas ulama. Sebab munculnya metode ini memberikan kontribusi yang
sangat besar. Hal itu ditandai dengan cara pengambilan hukumnya yang lebih
mengedepankan pembahasan tentang media, yaitu tentang bagaimana menghukumi sebuah
wasilah (perantara) ketika berujung pada kerusakan (mafsadah), kemudharatan
(mudharrat), dan kebaikan (maslahah).

13
Ibid.
Secara lughawi Dzari’ah itu berarti: jalan yang membawa kepada sesuatu baik ataupun
buruk. Secara Etimologi, Dzari’ah berarti jalan yang menuju kepada sesuatu, dalam
pengertian lain Dzari`ah berarti sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan
mengandung kemudaratan. Beberapa pendapat menyatakan bahwa Dzari’ah adalah
washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik, halal ataupun haram. Berarti
apabila jalan yang menyampaikan kepada sesuatu yang haram maka hukumnya juga haram,
jalan yang menyampaikan kepada sesuatu yang halal hukumnya juga halal, dan jalan yang
menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnya menjadi wajib. Sebagian
ulama mengkhusus kan pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada
perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan, tetapi pendapat tersebut ditentang
oleh para ulama ushul lainnya, di antaranya Ibnul Qayyim yang menyatakan bahwa
Dzari’ah tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang tetapi ada juga yang dianjurkan

Kalimat sadd al-Dzari’ah berasal dari dua kata (frasa/idhofah), yaitu sadd dan dzari’ah.
Kata sadd, berarti: menutup cela, dan menutup kerusakan, dan juga berarti mencegah atau
melarang. Sedangkan kata dzari’ah secara bahasa berarti Artinya jalan yang membawa
kepada sesuatu, secara hissi dan maknawi (baik atau buruk). Ibnu Qayyim menjelaskan
bahwa pengertian dzari’ah adalah apa yang memberi perantara dan jalan kepada sesuatu.
Oleh karena itu menurut Ibnu Qayyim kata dzariah lebih baik dikemukakan yang bersifat
umum, sehingga dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu yang dilarang, disebut sadd al
dzari’ah dan yang dituntut untuk dilaksanakan disebut fath al-dzari’ah. Imam al-Syathibi
mendefinisikan Dzari’ah adalah melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung
kemashalatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan. Maksudnya adalah perbuatan
yang akan dilakukan pada hakikatnya adalah boleh dilakukan karena mengandung suatu
kemaslahatan, namun dalam pencapaiannya berakhir pada suatu kemafsadatan. Dalam
hukum takhlifi diuraikan tentang sesuatu yang mendahului perbuatan wajib, yang disebut
muqaddimah wajib. Karena muqaddimah merupakan washilah (perantara) kepada suatu
yang dikenai hukum, maka ia juga disebut dzari’ah. Maka karena hal tersebut ulama ushul
fiqh memasukkan muqaddimah wajib kedalam pembahasan tentang dzari’ah, karena sama-
sama sebagai perantara untuk melakukan sesuatu. Badran dan zuhaili membedakan antara
muqaddimah wajib dengan dzari’ah, perbedaannya terletak pada ketergantungan perbuatan
pokok yang dituju dengan perantara atau washilah.14

14
Ibid.
Pada dzari’ah, hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara. Contohnya
adalah zina, khalwat adalah perantara dalam melakukan zina, tetapi zina bisa terjadi tanpa
adanya khalwat pun zina bisa terjadi, karena itu khalwat sebagai perantara disini disebut
Dzari’ah.

Muqaddimah adalah hukum perbuatan pokok tergantung pada perantara, contohnya


Shalat. Wudhu merupakan perantara shalat dan kesahan shalat itu tergantung pada
pelaksanaan wudhu karenanya wudhu disebut Muqaddimah bukan Dzari’ah menurut
badran dan Zuhaili. Ada juga yang membedakan antara Dzari’ah dan Muqaddimah itu
tergantung pada baik dan buruknya perbuatan pokok yang dituju. Bila perbuatan pokok
yang dituju merupakan perbuatan pokok yang dianjurkan, maka washilahnya disebut
Muqaddimah, sedangkan bila perbuatan pokok yang dituju merupakan larangan maka
wasilahnya adalah Dzari’ah karena manusia harus menjauhi perbuatan yang dilarang
termasuk wasilahnya.

Imam al-Syathibi mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi sehingga suatu
perbuatan itu dilarang yaitu:

a. Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada kemaslahatan.


b. Kemafsadatan lebih kuat dari kemaslahatan pekerjaan.
c. Dalam melakukan perbuatan yang di boleh kan unsur kemafsadatannya lebih banyak.
G. Kesimpulan
Hari demi hari kebutuhan manusia sangat bergabai macam sesuai dengan perkembangan
zaman yang berlaku. Islam sebagai Agama rahmatan lil alamin harus mampu mengimbangi
dengan kebutuhan manusia demi menjawab pertanyaan pertanyaan yang dianggap
subhat/menyesatkan. Dengan demikian penemuan hukum baru dengan pendekatan metode
Islam menjadi mata pisau untuk menjawab segala tantangan dan pertanyaan yang tidak mampu
dibuktikan hanya sekedar dibuktikan dengan teori tetapi mampu dalam mengimplementasikan
hasil penemuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Macam-macam Ijtihad menjadi dasar
utama untuk menetukan dan menemukan suatu penemuan hukum yang baru agar terciptanya
kemaslahatan bagi umat dan alam semesta.
H. Daftar Pustaka

Al- Munawar, Faisal Agil. “Ijtihad Jama’i (Ijtihad Kolektif) Perspektif Ulama
Kontemporer”. Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam 4, no. 2 (2020)
Bisri, Hasan. “Hukum Islam dan Perubahan Sosial: Telaah atas Ijtihad Fardi dan Jama’I”.
Jurnal Hukum Islam dan Perubahan Sosial 26, no. 2 (2019)

Has, Abd Wafi. “Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam.” Epistemé: Jurnal
Pengembangan Ilmu Keislaman 8, no. 1 (2013).
https://doi.org/10.21274/epis.2013.8.1.89-112.

Ibrahim, Ilham. Ijtihad Jama’I atau Ijtihad Kolektif, Pengertian, Syarat dan Prosedur.
https://muhammadiyah.or.id/ijtihad-jamai-atau-ijtihad-kolektif-pengertian-syarat-dan-
prosedur/

Hallaf, prof. Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang, 2014.

Farida Umma. “Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Perspektif Ushuliyyin dan
Muhadditsin”. Yudisia 6. No. 1 (2015): 240.

Has, Abd Wafi. “Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam”. IAIN Tulungagung
Research Collections

Anda mungkin juga menyukai