Sda (...Lanjutan...)
Dlawabith ( )ضوا بطjamak dari kata dhabith ( ) الضابط. Al-dlawabith diambil dari kata
dasar al-dlabith yang maknanya menurut bahasa berkisar pada :
1. Dlawabith fiqhiyyah adalah semua yang terbatas juz’iyatnya (bagiannya) pada suatu
urusan tertentu.
2. Dlawabith fiqhiyyah adalah apa yang tersusun sebagai bentuk-bentuk masalah yang
serupa dalam satu tema, tanpa melihat kepada makna yang menyeluruh yang terkait.
3. Dlawabith fiqhiyyah adalah apa yang dikhususkan dari qawa’id fiqhiyah pada bab
tertentu.
4. Dlawabith fiqhiyah adalah preposisi universal قضيه كليهatau dasar universal اصل
كلي, atau prinsip universal مبدا كليyang menghimpun furu’ dari satu bab (satu
tema).
Dari kaidah-kaidah yang telah disebutkan, dapat disimpulkan, bahwa dhawabith fiqhiyah
adalah setiap juz’iyyat fiqhiyah yang terdapat dalam satu bab fikih, atau prinsip fikih yang
universal, yang juziyat-nya (bagian-bagiannya) terdapat dalam satu bab fikih.
Menurut Abdurrahman bin Jadilah al-Bannany (w.1198 H), kaidah tidak khusus untuk
satu bab (masalah) fikih saja, berbeda halnya dengan dlabith. Tajuddin al-Subky (w. 771
H.) menjelaskan perbedaan antara qawa’id fiqhiyah dan dhawabith fiqhiyah ia
menyatakan bahwa di antara kaidah ada yang tidak khusus untuk satu bab (masalah)
seperti kaidah :
اليقين ال يزال بالشك
“Keyakinan tidak dapat hilang oleh keraguan”.
Tetapi, ada juga yang khusus untuk satu bab (masalah) seperti kaidah;
Kaidah yang khusus untuk satu bab (masalah) dan tujuannya menghimpun bentuk-
bentuk yang serupa disebut dlabith. Menurut Ibnu Nujaim (w. 970), asal (kaidah)
menetapkan bahwa perbedaan antara kaidah dengan dhabith yaitu kalau kaidah
menghimpun masalah-masalah cabang (furu’) dari berbagai bab (masalah) yang berbeda-
beda, sedangkan dhabith hanya menyimpun masalah-masalah cabang (furu’) dari satu
bab (masalah).[3]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa qawa’id fiqhiyah lebih umum dari
dhawabih fiqhiyah, karena qawa’id fiqhiyah tidak terbatas pada masalah dalam satu bab
fikih, tetapi kesemua masalah yang terdapat pada semua bab fikih. Sedang dhawabith
fiqhiyah ruang lingkupnya terbatas pada satu masalah dalam satu bab fikih. Karena itu
qaidah fiqhiyah disebut qa’idah ‘ammah atau kulliyah, sedangkan dlabith fiqh disebut
qa’idah khashshah.
Contoh Qa’idah :
Kaidah tersebut dinamakan qa’idah fiqhiyah, bukan dhawabith fiqhiyah, karena kaidah
ini masuk pada semua bab fikih, dalam masalah ibadah, muamalah dan yang lainnya.
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara Qawaid ushuliyyah
dengan Qawaid fiqhiyyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum,
sedangkan Qawaid fiqhiyyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum
yang bersifat umum.
Adapun perbedaan pokok antar Al Qawaid al Fiqhiyyah dan Al Qawaid Ushuliyyah, adalah
sebagai berikut :
1) Objek Qa’idah Ushuliyyah adalah dalil hukum, sedangkan Qa’idah Fiqiyyah adalah
perbuatan mukallaf.
Perbedaan yang mendasar antara keduanya (Qaidah fiqhiyah dan Nadhariyah fiqhiyah)
adalah :
1) Qa’idah fiqhiyah
Mengandung hukum fiqh di dalamnya , seperti qaidah “ ”اليقين ال يزال بالشاكqaidah
ini mengandung hukum fiqih di setiap masalah yang berkaitan dengan maslah “yakin”
dan “syak” dan ini berbeda dengan Nadhariyah fiqhiyah: dia tidak mengandung atau
tidak memuat hukum fiqih di dalamnya, seperti nadhariyat milk, fasakh, buthlan.
2) Qaidah fiqhiyah
Tidak mengandung rukun dan syarat, lain halnya dengan nadhariyah fiqhiyah yang
pasti lekat dengan rukun dan syarat.
Di bawah ini contoh-contoh qa’waid fiqhiyah yang berbeda furu’ (cabang), juz (bagian),
dan juga atsar (pengaruhnya) :
1. العادة محاكمة
2. استعمال الناس حجة يجب العمل به
3. ال ينكر تغير االحكام (المبنية على المصلحة او العرف) بتغير الزما ن
4. انما تعتبر العادة اذا اطردت او غلبت
5. المعروف عرفا كالمشروط شرطا
6. المعروف بين التجار كالمشروط بينهم
1. Dari sudut sumber, qa’idah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk
memahami dan menguasai Maqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa
nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
2. Dari segi istinbath al-ahkam, qa’idah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah
dan belum terjadi. Oleh karena itu, qa’idah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu
alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau
kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqh-nya bertkata bahwa nash-nash tasyri’ telah
mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai
perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya
nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyri’ yang kulli
yang tidak terbatas pada suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa
kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi
beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid
merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan
menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa
kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu
kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut.
Sedangkan al-Qurafy dalam al-Furu’nya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar
pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada
kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu.
Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan
mudah dipahami oleh pengikutnya.
1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan
sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama
“sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum
yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama
berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hukum mandiri.
Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil
mandiri.
Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari masalah-
masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-
Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum
fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”
Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syari’ah mencakup dua hal:
pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang
di dalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqh yang
di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah
dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.