Anda di halaman 1dari 5

QA’IDAH-QA’IDAH FIQHIYYAH

Sda (...Lanjutan...)

E. PerbeDAAn QA’IDAH Fiqhiyyah dengan Dlawabith Fiqhiyyah

Sebelum membahas perbedaan antara Qa’idah Fiqhiyah dengan Dlawabith Fiqhiyah,


terlebih dahulu akan diuraikan pengertian Dlawabith.

Dlawabith ( ‫ )ضوا بط‬jamak dari kata dhabith ( ‫) الضابط‬. Al-dlawabith diambil dari kata
dasar al-dlabith yang maknanya menurut bahasa berkisar pada :

‫الحفظ والحزم والقو ة والشد ة‬


Pemeliharaan, ikatan, kekuatan, dan penguatan.

Sedangkan pengertian dlawabith fiqhiyyah menurut istilah, sebagian ulama memberikan


definisi-definisi yang berdekatan dan saling melengkapi serta salim menyempurnakan.

Qa’idah-Qa’idah itu adalah :

1. Dlawabith fiqhiyyah adalah semua yang terbatas juz’iyatnya (bagiannya) pada suatu
urusan tertentu.

2. Dlawabith fiqhiyyah adalah apa yang tersusun sebagai bentuk-bentuk masalah yang
serupa dalam satu tema, tanpa melihat kepada makna yang menyeluruh yang terkait.

3. Dlawabith fiqhiyyah adalah apa yang dikhususkan dari qawa’id fiqhiyah pada bab
tertentu.

4. Dlawabith fiqhiyah adalah preposisi universal ‫ قضيه كليه‬atau dasar universal ‫اصل‬
‫كلي‬, atau prinsip universal ‫ مبدا كلي‬yang menghimpun furu’ dari satu bab (satu
tema).

Dari kaidah-kaidah yang telah disebutkan, dapat disimpulkan, bahwa dhawabith fiqhiyah
adalah setiap juz’iyyat fiqhiyah yang terdapat dalam satu bab fikih, atau prinsip fikih yang
universal, yang juziyat-nya (bagian-bagiannya) terdapat dalam satu bab fikih.

Qawaid fiqhiyah dan dhawabith fiqhiyah memiliki kesamaan dan perbedaan.


Perbedaannya hanya terletak pada ruang lingkupnya. Qawaid fiqhiyah ruang lingkupnya
tidak terbatas pada satu masalah fikih, sedangkan dhawabith fiqhiyah terbatas pada satu
masalah fikih. Perbedaan ini telah dijelaskan oleh al-Maqqary al-Maliky (w. 758 ), ia
menyatakan bahwa qawa’id fiqhiyah lebih umum dari dhawabith fiqhiyah.

Menurut Abdurrahman bin Jadilah al-Bannany (w.1198 H), kaidah tidak khusus untuk
satu bab (masalah) fikih saja, berbeda halnya dengan dlabith. Tajuddin al-Subky (w. 771
H.) menjelaskan perbedaan antara qawa’id fiqhiyah dan dhawabith fiqhiyah ia
menyatakan bahwa di antara kaidah ada yang tidak khusus untuk satu bab (masalah)
seperti kaidah :
‫اليقين ال يزال بالشك‬
“Keyakinan tidak dapat hilang oleh keraguan”.

Tetapi, ada juga yang khusus untuk satu bab (masalah) seperti kaidah;

‫ما جازت اجارته جازت اعارته‬


“Sesuatu yang boleh disewakan, boleh dipinjamkan”

Kaidah yang khusus untuk satu bab (masalah) dan tujuannya menghimpun bentuk-
bentuk yang serupa disebut dlabith. Menurut Ibnu Nujaim (w. 970), asal (kaidah)
menetapkan bahwa perbedaan antara kaidah dengan dhabith yaitu kalau kaidah
menghimpun masalah-masalah cabang (furu’) dari berbagai bab (masalah) yang berbeda-
beda, sedangkan dhabith hanya menyimpun masalah-masalah cabang (furu’) dari satu
bab (masalah).[3]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa qawa’id fiqhiyah lebih umum dari
dhawabih fiqhiyah, karena qawa’id fiqhiyah tidak terbatas pada masalah dalam satu bab
fikih, tetapi kesemua masalah yang terdapat pada semua bab fikih. Sedang dhawabith
fiqhiyah ruang lingkupnya terbatas pada satu masalah dalam satu bab fikih. Karena itu
qaidah fiqhiyah disebut qa’idah ‘ammah atau kulliyah, sedangkan dlabith fiqh disebut
qa’idah khashshah.

Contoh Qa’idah :

‫المشقة تجلب التيسير‬


“Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan”

Kaidah tersebut dinamakan qa’idah fiqhiyah, bukan dhawabith fiqhiyah, karena kaidah
ini masuk pada semua bab fikih, dalam masalah ibadah, muamalah dan yang lainnya.

F. Perbedaan Qa’IDAH Fiqhiyyah dengan Qa’IDAH Ushuliyyah.


Menurut Ali al-Nawawi, bahwa Imam Syihab al-Din al-Qarafi merupakan ulama yang
pertama kali membedakan antara Qa’idah Ushuliyyah dan Qa’idah Fiqhiyyah. Al-Qarafi
menegaskan bahwa syari’ah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketiggian melalui
ushul dan furu’. Adapun ushul dari syari’ah tersebut ada dua macam. Pertama, ushul
fiqih. Ushul fiqih memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal
berbahasa arab. Di antara yang dirumuskan dari lafal bahasa arab itu kaidah tentang
nasakh, tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib, dan kehendak lafal nahyi untuk
menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al-Qa’waid
Fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum).

Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara Qawaid ushuliyyah
dengan Qawaid fiqhiyyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum,
sedangkan Qawaid fiqhiyyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum
yang bersifat umum.
Adapun perbedaan pokok antar Al Qawaid al Fiqhiyyah dan Al Qawaid Ushuliyyah, adalah
sebagai berikut :

1) Objek Qa’idah Ushuliyyah adalah dalil hukum, sedangkan Qa’idah Fiqiyyah adalah
perbuatan mukallaf.

2) Ketentuan qa’waid ushuliyyah berlaku bagi seluruh juziyyah, sedangkan qa’waid


fiqiyyah berlaku pada sebagian besar (aghlab) juziyyah.

3) Qa’waid ushuliyyah, sebagai sarana istinbath hukum, sedangkan qa’waid fiqhiyyah


sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk
memudahkan pemahaman fiqih.

4) Qa’waid ushuliyyah bisa bersifat prediktif, sedangkan qa’waid fiqhiyyah bersifat


wujud setelah ketentuan furu’.

5) Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan dan qa’waid fiqhiiyyh bersifat ukuran.

G. PerbeDAAn QA’IDAH FIQHIYYAH DengAn QA’IDAH nADzArIYAH FIQHIYYAH

‫( النظرية‬theory) berasal dari ‫ النظر‬secara bahasa/etimologi: mengangan-angan sesuatu


dengan mata (ta’mulus syai’ bi al-ain), sedangkan ‫ النظري‬adalah hasil dari apa yang
diangan-angankan tersebut, seperti halnya mengangan-angankanya akal yang
mengatakan bahwa alam adalah sesuatu yang baru. Akan tetapi sebagian ulama fuqaha
kontemporer mengatakan: bahwa Nadhariyah ‘Ammah adalah muradif (sinonim/satu
arti) dengan Qa’waid Fiqhiyyah. Yang termasuk dalam golongan ini adalah Syekh
Muhammad Abu Zahra sebagaimana yang dijelaskan dalam “Ushul Fiqh”. Atau
Nadhariyah Fiqhiyah juga bisa didefinisikan dengan”Maudhu-maudhu fiqih atau
maudhu yang memuat masalah-masalah fiqhiyah atau qadhiyah fiqhiyah”. Hakikatnya
adalah “rukun, syarat, dan hukum yang menghubungkan fiqih, yang menghimpun satu
maudhu yang bisa digunakan sebagai hukum untuk semua unsur yang ada. Seperti:
Nadhariyah milkiyah, nadhariyah aqad, nadhariyah itsbat dan yang lainya. Sebagai
bentuk aplikasi dari contoh nadhariyah itsbat (penetapan) dalam al-fiqih al-jinai’ al-
islami (pidana Islam) ini terdiri dari beberapa unsur, yaitu: hakikat itsbat (penetapan),
syahadah (saksi), syarat-syarat saksi, mekanisme saksi, pembelaan, tanggung jawab
saksi, ikrar (pengakuan), qarinah (bukti), khibrah (keahlian), ma’lumat qadhi
(informasi, data, fakta qadhi), kitabah (pencatatan), yamin (sumpah), qasamah, dan
juga li’an.

Kesimpulan dari pengertian tentang “Nadhariyah ‘amah” bahwa Nadhariyah ‘amah


bukanlah Qaidah kulliyah dalam term fiqh Islam. Karena qaidah ini layaknya dhawabith
terhadap nadhariyat. Atau dia bagaikan Qaidah khusus terhadap Qawaidh amah al
kubara”. Kalau qaidah seperti. ‫“العبرة في العقود للمقاصد والمعاني‬

Perbedaan yang mendasar antara keduanya (Qaidah fiqhiyah dan Nadhariyah fiqhiyah)
adalah :

1) Qa’idah fiqhiyah
Mengandung hukum fiqh di dalamnya , seperti qaidah “‫ ”اليقين ال يزال بالشاك‬qaidah
ini mengandung hukum fiqih di setiap masalah yang berkaitan dengan maslah “yakin”
dan “syak” dan ini berbeda dengan Nadhariyah fiqhiyah: dia tidak mengandung atau
tidak memuat hukum fiqih di dalamnya, seperti nadhariyat milk, fasakh, buthlan.

2) Qaidah fiqhiyah

Tidak mengandung rukun dan syarat, lain halnya dengan nadhariyah fiqhiyah yang
pasti lekat dengan rukun dan syarat.

Di bawah ini contoh-contoh qa’waid fiqhiyah yang berbeda furu’ (cabang), juz (bagian),
dan juga atsar (pengaruhnya) :

1. ‫العادة محاكمة‬
2. ‫استعمال الناس حجة يجب العمل به‬
3. ‫ال ينكر تغير االحكام (المبنية على المصلحة او العرف) بتغير الزما ن‬
4. ‫انما تعتبر العادة اذا اطردت او غلبت‬
5. ‫المعروف عرفا كالمشروط شرطا‬
6. ‫المعروف بين التجار كالمشروط بينهم‬

H. UrgensI QA’IDAH FIQHIYYAH

Qa’idah fiqhiyyah dikatakan penting dilihat dari dua sudut :

1. Dari sudut sumber, qa’idah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk
memahami dan menguasai Maqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa
nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan

2. Dari segi istinbath al-ahkam, qa’idah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah
dan belum terjadi. Oleh karena itu, qa’idah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu
alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau
kepastian hukumnya.

Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqh-nya bertkata bahwa nash-nash tasyri’ telah
mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai
perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya
nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyri’ yang kulli
yang tidak terbatas pada suatu cabang undang-undang.

Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa
kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi
beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid
merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan
menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa
kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu
kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut.
Sedangkan al-Qurafy dalam al-Furu’nya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar
pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada
kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu.
Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan
mudah dipahami oleh pengikutnya.

I. Kedudukan Qa’IDAH Fiqhiyyah

Kedudukan Qa’idah Fiqhiyyah dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan
sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama
“sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.

2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum
yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama
berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hukum mandiri.
Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil
mandiri.

Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya,


menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani
mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat.
Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki
pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian
tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan
keluar yang lebih bijak.

Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari masalah-
masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-
Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum
fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”

Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syari’ah mencakup dua hal:
pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang
di dalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqh yang
di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah
dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.

Anda mungkin juga menyukai