Anda di halaman 1dari 11

SUMBER INSPIRASI

Kamis, 01 Juni 2017

Kaidah Kaidah Usul Fiqih (AMR, NAHI, AM, KHAS)

KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQIH


(AMR, NAHI, ’AM DAN KHAS)
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen Penganpu: Bp. Abdul Ghoni

Disusun Oleh:
Arifuddin Nafi’ (1401016040)
Irfan Izan Asdiqo (1401016041)
Isna Nur Maksumah (1401016061)
Muflih Syafi’ (1401016053)
Siti Mumayzah (1401016037)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

I. PENDAHULAN
Seorang mujtahid harus memahami nash alquran dan sunah. Berbagai bentuk ungkapan
hukum harus dikuasai, dengan itu seorang mujtahid dituntut menguasai gramatika bahasa Arab
dan semestinya memahami maqasyid syariah (tujuan-tujuan syariah).
Dengan demikian ia dapat menentukan hukum syar’i secara tepat. Bentuk paling banyak
terdapat dalam nash perintah dan larangan (‫ )ا)مروالنهى‬tetapi dalam konteks kalimat tertentu
tidak selalu berarti hukum halal haram. Maka disinilah pentingnya kita mempelajari amar nahi.
Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita sulit memahami kata yang bersifat umum/’am,
tetapi juga sering menjumpai kata-kata yang sudah jelas maknanya, tegas, dan terbatas. Kata
tersebut dalam ushul fiqih disebut khas. Oleh karena itu, pemakalah akan mencoba
menjelaskan tentang kaidah ushul fiqih bagian amar, nahi dan ‘am, khas. Harapan pemakalah
lain untuk memenuhi tugas juga digunakan sebagai tambahan pengetahuan atau wawasan
pembaca tentang ushul fiqih.

II. RUMUSAN MASALAH


A. Bagaimana kaidah-kaidah amr dan nahi?
B. Bagaimana dalalah ‘am dan khas?

III. PEMBAHASAN
A. Kaidah-Kaidah Amr dan Nahi
1. Amr (‫)امر‬
Amr secara bahasa berasal dar bahasa Arab, yaitu suruhan, perintah, dan perbuatan.
Sedangkan secara istilah, tuntutan perbuatan dari atasan kepada bawahan yang didalamnya
terdapat kaidah istimbat hukum.[1]
Jadi, amar adalah suatu lafal yang digunakan oleh orang lebih tinggi kedududkannya
kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan suatu perbuatan. Begitu juga
perintah Allah SWT kepada manusia.

a. Bentuk-bentuk Amr
Untuk mengetahui bentuk amr dalam bahasa Arab, ada beberapa bentuk yang
menunjukkan arti perintah. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut:[2]
1) Fi’il amr, contoh:
َ‫َةَ َواتُ ْوا الزكاَة‬3‫َوا َ ِقيْ ُم ْوا الص‬
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (QS. Al-Baqoroh: 43)
2) Isim fi’il amr
......‫ض ?ل ِاذَا ا ْهت َ َد ْيت ُ ْم‬
َ ‫ر ُك ْم َم ْن‬C ‫ض‬ َ ُ‫ َع َليْ ُك ْم اَنْف‬....
َ َ‫س ُك ْم )َت‬
Jagalah dirimu sendiri, tiadalah orang yang sesat itu membahayakan kamujika kamu
mendapatkan petunjuk. (QS. Al-Maidah: 105)
3) Fi’il mudhari’ yang didahului huruf lam amr: (‫)ولتكن‬, contoh:
.....‫َو ْلت َ ُك ْن ِمن ْ ُك ْم أُم ٌة‬
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat.....(QS. Ali Imran: 104)
4) Isim masdar pengganti fi’il
Misal kata ً ‫( ِا ْحساَنا‬berbuat kebaikan), contoh:
َ ‫َو ِباا ْل َوالِ َديْ ِن ِا ْح‬
ً ‫سانا‬
Dan kepada kedua orang tuamu berbuat kebaikan (QS. Al-Baqoroh: 83)

b. Kaidah-kaidah Amr
Kaidah merupakan ketentuan seorang mujtahid dalam mengistimbatkan hukum.
Ulama ushul merumuskan kaidah dalam lima bentuk:
1) Kaidah pertama (Pada dasarnya amr itu menunjukkan kepada wajib)[3]
a) Nadb, anjuran sunnah. Contoh: (QS. An-Nur: 33)
“Hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu ketahui ada kebaikan
pada mereka”.
b) Irsyad, membimbing atau memberi petunjuk. Contoh (QS. Al-Baqoroh: 282) “Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.
Ada perbedaan antara bentuk nadb dan irsyad. Nadb diharapkan mendapat pahala,
sedangkan Irsyad untuk kemaslahatan serta kebaikan yang berhubungan dengan adat
istiadat atau sopan santun.
c) Ibahah, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti: (QS-Al-Baqoroh: 60).
“Makan dan minumlah”.
d) Tahdid, mengancam atau menghardik. Seperti: (QS. Fussilat: 40)
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki”
e) Taskhir, menghina atau merendahkan derajat. Seperti (QS. Al-Baqoroh: 65). “jadilah
kamu kera yang hina”.
f) Ta’jiz, menunjukkan kelemahan lawan bicara. (QS. Al-Baqoroh: 23)
“Buatlah satu surat (saja) yang semisal Alquran”.
g) Taswiyah, menerangkan sama saja antara dikerjakan dan tidak. Seperti: (QS. At-Thur:
16). “masuklah kamu kedalamnya (rasakanlah panas api) maka baik kamu bersabar
atau tidak sama saja”.
h) Takzib, mendustakan. Seperti: (QS. Al-Baqoroh:111)
“tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar”
i) Talhif, membuat sedih atau merana. Seperti: (QS. Ali Imran: 119)
“matilah kamu dengan panasnya hatimu (kemarahanmu)”.
j) Doa, memohon. Seperti: (QS. Al-Baqoroh: 201)
“Wahai Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat”
2) Kaidah ke dua (perintah setelah larangan menunjukkan kebolehan)
Apabila ada perbuatan yang sebelumnya dilarang, lalu datang perintah
mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib, tetapi bersifat membolehkan.
Contoh QS. Al-Jumuah: 10:
“Apabila halat jumat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah dimuka bumi dan
carilah karunia (rezeki) Allah”.
Ayat tersebut menerangkanbahwa setelah mengerjakan sholat jumat
diperbolehkan melakukan aktivitas lain, seperti jual beli. Padahal sebelumnya
(QS.Aljumuah:9) melarang atau harus meninggalkan jual beli dan aktivitas apapun bila
panggilan sholat jumat telah dikumandangkan.
Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi berdasarkan ayat 10
adalah wajib, tapi hanya dibolehkan.
3) Kaidah ketiga (pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan)
Misalnya tentang haji. “serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”. Jumhur
ulama’ sepakat perintah mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu, maka
harus dilaksanakan sesuai waktu yang ditetapkan.
4) Kaidah keempat (pada dasarnya perintah tidak menghendaki pengulangan)
Suruhan-suruhan syara’ tidak menghendaki supaya yang disuruh itu berulang-ulang
dikerjakan[4]. Contoh menunaikan haji, hanya perintahkan satu kali seumur hidup.
5) Kaidah kelima (memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan pula segala
wasilahnya)
Perbuatan yang diperintahkan tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu
perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintahkan itu. Misalnya
kewajiban shalat. Shalat tidak bisa dikerjakan tanpa suci terlebih dahulu, karena perintah
shalat berarti juga perintah suci.

2. Nahi (‫)نهى‬
Nahi menurut bahasa berarti mencegah atau melarang, sedangkan secara istilah
tuntunan untuk meninggalkan perbuatan orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang
yang lebih rendah tingkatannya.[5]
Jumhur ulama’ sepakat bahwa pada asalnya nahi menghasilkan hukum haram, karena
semua bentuk larangan dapat dikatakan dengan mendatangkan kerusakan. Seperti: larangan
merusak alam, larangan berzina, larangan riba,dan sebagainya.
a. Bentuk-bentuk Nahi
1) Fi’il mudhari’ yang didahului la nahiyah/lam nahi (jangan).
ْ ‫س ُد ْوا ِفى‬
ِ ‫ا) َْر‬
‫ض‬ ِ ْ‫)َ تُف‬
“Janganlah engkau membuat kerusakan dimuka bumi ini”.(QS.Al-Baqarah:11)
2) Lafadz-lafadz lain yang memberikan pengertian haram atau perintah meninggalkan
perbuatan.
ِ ‫ش‬
‫ُن ْ َك ِر‬T‫آء َو ْا‬ ْ َ‫َويَن ْ َهى َع ِن ا ْلف‬
َ ‫خ‬
“Dan dilarang berbuat keji dan mungkar”. (QS.An-Nahl:90)
b. Kaidah-kaidah Nahi
1) Kaidah pertama (pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram)
Nahi merupakan keharusan dalam meninggalkan sesuatu yang dilarang, seperti
perbuatan zian. Kadang-kadang nahi digunakan beberapa arti (maksud) sesuai dengan
larangan perkataan itu, antara lain sebagai berikut:[6]
a) Karahah (makruh)
‫ا)ِ ِب ِل‬ ِ َ‫ل ْوا ِفىْ ا َ ْعط‬C ‫ص‬
ْ ‫ان‬ َ ُ‫َو)َ ت‬
Larangan dalam hadis ini tidak menunjukkan haram, namun hanya makruh,
karena tempatnya yang kurang bersih dan dapat menyebabkan shalat kurang khusyu’.
b) Doa
‫َرب?نَا )َ تُ ِزغْ ُق ُل ْوبَنَا بَ ْع َد إِذْ َه َديْتَنَا‬
“Ya Tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami cenderung kepada kesesatan
setelah engkau beri petunjuk kepada kami”.
Perkataan janganlah tidak menunjukkan larangan, melainkan permintaan hamba
kepada Allah.
c) Irsyad
“Janganlah kamu tanyakan segala sesuatu, bila dilahirkan (jawabannya) akan
menyusahkanmu”. (Qs.Al-Maidah: 101)
d) Tahqir (menghina)
“janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan
hidupmu”. (QS. Al-Hijr: 88)
e) I’tinas (menghibur)
“janganlah engkau bersedih, karena sesunguhnya Allah bersama dengan kita”.
(QS. At- Taubah)
f) Tay’is (menunjukan putus asa)
“dan janganlah engkau membela diri pada hari kiamat”. (QS. At-Tahrim: 7)
g) Tahdid (ancaman)
Seperti perkataan seorang kepada pelayannya, tidak usah kamu turuti perintahku.
2) Kaidah kedua (pada dasarnya larangan mutlak, namun menghendaki pengulangan
dalam segala zaman)
Apabila larangan dikaitkan dengan batasan waktu, maka disuruh untuk
meninggalkan selamanya (mutlak).
“dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji
dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra: 32)
Tetapi jika larangan itu terkait dengan waktu maka larangan itu berlaku jika ada
sebabnya saja (muqayyad).
“Apabila datang haidmaka tinggalkanlah shalat”.
3) Kaidah ketiga (melarang sesuatu berarti memerintahkan sesuatu yang menjadi
kebalikannya)
“dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan berlagak sombong”. (QS. Al-
Luqman: 18)
Larangan tersebut memberikan pemahaman bahwa kita diperintahkan untuk
berjalan dengan sikap sopan.
4) Kaidah keempat (pada dasarnya larangan itu menunjukkan perbuatan yang dilarang,
baik ibadah maupun mu’amalah)
Seperti: larangan sholat dan puasa bagi wanita haid dan nifas, jual beli binatang yang
masih dalam kandungan. Hal tersebut dilarang oleh syara’.

B. Dalalah ‘Am dan Khas


1. ‘Am (‫)العام‬
Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘am berarti umum, merata, dan menyeluruh.
Sedangkan menurut istilah ‘ama dalah lafadz yang menunjukkan satu makna yang
mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dengan jumlah tertentu.[7]
Jadi lafadz ‘am ini adalah bersifat umum, seperti kata al insan (manusia), maka
didalam kata al insan termasuk semua manusia yang ada di dunia ini, baik manusia kecil
ataupun besar, merdeka maupun golongan budak.
a. Lafadz-lafadz ‘Am
Lafadz-lafadz ‘am yang digunakan untuk memberi faedah’am antara lain:[8]
1) Lafadz kullu (tiap-tiap), lafadz jami’ (semua)
ِ ‫ َ ْو‬T‫ائ َق ُة ْا‬
‫ت‬ ِ َ‫س ذ‬
ٍ ْ‫ل نَف‬C ‫ ُك‬:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)
‫ض َج ِمي ًعا‬ ْ ‫خ َلقَ َل ُك ْم َما ِفي‬
ِ ‫ َ ْر‬e‫ا‬ َ ‫ُه َو ا ?ل ِذي‬
“Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara
keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29).
Lafadz ‫ كل‬dan ‫ حام‬tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak
terbatas jumlahnya.
2) Lafadz jama’ yang dimakrifatkan dengan alif lam (‫ )ا َ ْل‬diawal
ِlْ ‫ام َل‬ ِ ‫ات يُر‬
ِ ‫ِ َك‬lْ ‫ض ْع َن أ َ ْو َ) َد ُه ?ن َح ْو َل‬ ِ
ْ ُ ‫َوا ْل َوال َد‬
“Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233). Kata al-
walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama
atau disebut ibu.
3) Kata benda tunggal yang dimakrifatkan dengan alif lam
n ‫?ُ ا ْلبَيْعَ َو َح ?ر َم‬q‫َوأ َ َح ?ل ا‬
‫الربَا‬
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(Al_baqarah: 27) Lafadz al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di
ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang
mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
4) Isim maushul ()‫الذي‬
ِ َ ‫ص َل ْو َن‬ ِ ِ َ ‫إِ ?ن ا ?ل ِذي َن يَأ ْ ُك ُلو َن أ َ ْم َو‬
‫يرا‬
ً ‫سع‬ ْ َ‫سي‬ ً َ‫ال ا ْليَتَا َمى ظُ ْل ًما إِن? َما يَأ ْ ُك ُلو َن في بُطُون ِه ْم ن‬
َ ‫ارا َو‬
“Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
5) Isim isyarah, seperti siapa (‫)من‬, apa saja (‫)ما‬
? ‫س ?ل َم ٌة إِ َلى أ َ ْهلِ ِه إِ ?) أ َ ْن َي‬
‫ص ?د ُقوا‬ َ ‫ير َر َقبَ ٍة ُمؤ ِْمن َ ٍة َو ِد َي ٌة ُم‬ َ ‫َو َم ْن َقت َ َل ُمؤ ِْمنًا‬
ُ ‫خطَأ ً فَت َ ْح ِر‬
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)
6) Isim nakirah terletak setelah nafi
ِ
َ ‫َو َ) ُجنَا َح َع َليْ ُك ْم أ َ ْن تَنْك ُحو ُه ?ن إِذَا آَتَيْت ُ ُمو ُه ?ن أ ُ ُج‬
‫ور ُه ?ن‬
“dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).
b. Macam-macam Lafadz ‘Am
1) Lafadz ‘am yang yang tidak mungkin bisa ditakhsis.
‫?ِ ِرزْ ُق َها‬q‫ض إِ ?) َع َلى ا‬ ْ ‫َو َما ِم ْن َدا ?ب ٍة ِفي‬
ِ ‫ َ ْر‬e‫ا‬
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya.” (QS.Hud:6). Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan
melata, tanpa kecuali.
2) Lafadz ‘am yang bisa ditakhsis, karena ada dalil dan bukti yang menunjukkan
kekhususannya.
‫?ِ َو َ) يَ ْر َغبُوا‬q‫ول ا‬
ِ ‫س‬ُ ‫خ ?لفُوا َع ْن َر‬ ْ ‫ َ ِدين َ ِة َو َم ْن َح ْو َل ُه ْم ِم َن‬T‫ َ ْه ِل ْا‬eِ ‫َما َكا َن‬
ِ ‫ َ ْع َر‬e‫ا‬
َ َ ‫اب أ َ ْن يَت‬
‫س ِه‬
ِ ْ‫س ِه ْم َع ْن نَف‬ ِ ُ‫ِبأَنْف‬
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang
berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan
tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri
Rasul. (At-Taubah: 120). Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk
Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
3) Lafadz ‘am yang memang di pakai untuk hal – hal yang khusus, seperti lafadz
umum yang tidak ditemukan adanya tanda yang menunjukkan ditakhsis.
ٍ ‫ثَ َة ُقر‬3َ َ‫س ِه ?ن ث‬
‫وء‬ ِ ُ‫ص َن ِبأَنْف‬ ُ ‫ُطَ ?ل َق‬T‫َو ْا‬
ْ ‫ات َيت َ َر ?ب‬
ُ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.
( Al-Baqarah: 228). Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-
wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang
dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.[9]

2. Khas (‫)الخاص‬
Khas menurut bahasa ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak
meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari ‘am. Menurut istilah,
definisi khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan
tertentu. Seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau
menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah
masyarakat, sekumpulan orang, sekelompok orang dan lain sebagainya yang terdiri dari
lafadz yang menunjukkan sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap seluruh
individu. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
a. Lafadz Khas
1) Berbentuk muthlak yaitu lafal khas yang tidak ditentukan dengan
sesuatu.Contohnya, hukum zakat fitrah adalah satu sho’.
2) Berbentuk khas(muqoyyad) lafal khas yang ditentukan dengan sesuatu.Contohnya,
masalah bersuci.
3) Berbentuk amr yaitu kata yang mengandung arti amar atau berbentuk khabar,dan
hukumnya wajib. Contonya, wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru.
4) Berbentuk nahiy yaitu mengandug arti larangan dan hukumnya haram.

3. Dalalah ‘Am dan Khas


Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am
itu dzanniy. Dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafadz
‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga
ْ ‫َما ِم‬
terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi: ?)ِ‫ن َعام ٍ إ‬
‫ص‬
َ ‫ص‬ ُ “Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.
n ‫خ‬
Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan
pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama’. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
lafadz ‘am itu qath’iy dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas
satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas
semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah
mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena
adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
‫?ِ َع َليْ ِه‬q‫اس ُم ا‬
ْ ‫“ َو َ) تَأ ْ ُك ُلوا ِم ?ما َل ْم يُذْ َك ِر‬dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya”. (Al-An`âm:121).
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang
َ ُ‫س ?مى أ َ ْو ل َم ي‬
berbunyi:‫م ا‬n ‫س‬ ْ ‫سلِ ُم يَذْبَحُ َع َلى‬
َ ِq‫اسم ِ ا‬ ْ ْT
“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar
menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud).
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun
dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy
dalalahnya.
Ulama Syafi’iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan
hadits tersebut. Karena kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu
dzanniy dalalahnya, sedang hadits itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad
SAW.[10]
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang
dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak
ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
n‫ثَ ِة أ َ ?يام ٍ ِفي ا ْل َحج‬3َ َ‫ص َيا ُم ث‬
ِ َ‫فَ َم ْن َل ْم َيج ِ ْد ف‬
”Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji” (Al-Baqaarah :196).
Lafadz tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan
kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah
maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy. Akan tetapi, apabila ada
qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai
contoh hadits Nabi yang berbunyi:
ٌ ‫ش اة‬
َ ً ‫ش اة‬ َ ْ ‫ل أ َ ْربَ ِع‬n ‫ِفيْ ُك‬
َ l
“pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing,
keduanya adalah lafadh khas.Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih
atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama
Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang
lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat
dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan
menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.
IV. SIMPULAN
Ketetapan hukum Sar’i yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah harus
dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan
mempuni bagi calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak
bisa di pertanggung jawabkan. Mempelajari ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus
menguasainya adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan
diperhitungkan. Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan
ini bisa dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulkan.

V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan tentang kaidah-kaidah ushul fiqih
khususnya amr dan nahi beserta’am dan khas. Kritik dan saran yang membangun kami tunggu
untuk perbaikan makalah yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali Pers. 1993.
Karim, Syafi’i. Fiqih-Ushul fiqih. Bandung: Pustaka Setia. 1997.
Muhammad, Teuku Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2001.
Syafe’i, Rachmad. Ilmu ushul Fiqih. Bandung: Pustaka setia. 1999.
Wahhab Khallaf, Abdul. Ilmu Ushul fiqi. Semarang: Dina Utama. 1994.

[1] Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: Rajawali Pers, 1993, hal:178
[2]Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hal: 223
[3] Teuku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001,
hal: 328-330
[4] Ibid, hal: 332
[5] Op.cit, hal: 243
[6] Syafi’i karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hal: 235-237
[7] Rachmad Syafe’i, Ilmu ushul Fiqih, Bandung: Pustaka setia, 1999, hal 193
[8] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, hal: 279-282
[9] Syafi’I Karim, Op.Cit, hlm: 153
[10] Abdulwahab Khallaf. Op.Cit , hlm: 282

Mumay di 21.05

Berbagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

‹ Beranda ›
Lihat versi web

Mengenai Saya
Mumay
Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai