Oleh:
Lubna Baiyin Chuyiro Umam (2201012530)
Mufarrihatul Hasan (2201012546)
Zahrotul Jannah (2201012593)
1
Pertama: Larangan yang sebelumnya adalah karena suatu illat, yaitu dalam firman Allah
swt:
ْ ُسهَ َخ األ َ ْش ُه ُر ْان ُح ُر ُو فَا ْقتُه
ٍَْىاان ًُ ْش ِر ِكي َ َْ فَاِذاا
“Apabila bulan-bulan haram telah berakhir, bunuhlah kaum musyrikin”
Ini datang sesudah firman Allah swt:
ض أ َ ْربَعَتَ أ َ ْش ُه ٍر
ِ فَ ِس ْي ُح ْىا ِف ْي األ َ ْر
“Maka berkeliaranlah kamu (wahai kaum musyrikin) di bumi selama empat
bulan”.
Kedua: Larangan yang sebelumnya adalah mutlak, yakni tidak berdasarkan sesuatu
illat yang disebut.
Seperti dalam sabda Rasulullah SAW:
ار ِة ْانقُب ُْى ِر أَالَفَ ُس ْو ُر ْوهَا َ ُك ُْتُ ََ َه ْيتُكُ ْى
َ َع ٍْ ِزي
“Dulu aku melarang kamu menziarahi kubur bukan? Maka sekarang
berziarahlah ke kubur”.
Adapun bentuk yang pertama di situ menghendaki hilangnya sebab larangan. Maka
dengan demikian, kembalilah hukumnya kepada keadaan semula, karena larangan itu
membatalkan hukum yang lalu.
Dan yang kedua, bahwa bentuk di dalamnya menghilangkan larangan juga dan
mengandung izin dalam perbuatan, dan juga tidak menimbulkan ijab maupun nadab
(disebabkan karena mereka telah menyelidiki perintah-perintah syar'iyah yang diketahui
sesudah larangan), serta tidak kembali kepada hukum yang lalu (disebabkan karena ia
telah dibatalkan dengan larangan, maka telah berakhir wujudnya sehingga kembali
kepadanya).
Adapula pengertian perintah untuk pengulangan (takrar), yakni bentuk amar tidak
menunjukkan perbuatan dan pengulangan, karena kesepakatan ahli bahasa bahwa ia
hanya mengandung tuntutan semata-mata atas perbuatan dalam waktu tertentu. Dan
tuntutan itu hanya disimpulkan dari materinya, tidak ada dalalah kecuali atas perbuatan
semata-mata.
Sebagian ulama ushul berpendapat bahwa sesungguhnya bentuk amar menghendaki
pengulangan diqiyaskan dengan larangan itu hukumnya batal, karena merupakan qiyas
dalam bahasa, sedangkan bahasa tidak ditetapkan dengan qiyas, sebagaimana yang kami
kemukakan.
2
Dan juga pengertian perintah untuk kesegeraan, yakni apabila perintah itu diikat
dengan waktu yang penunaiannya sudah lewat seperti contoh perintah sholat lima waktu,
maka tidak ada perselisihan dalam pengertian bahwa yang dituntut adalah melakukan
perintah itu dalam waktunya. Dan apabila tidak terikat dengan waktu seperti contoh
perintah menunaikan kafaroh dan mengqodho puasa yang ketinggalan, maka ia
menimbulkan perbedaan di antara ahli ushul. Ia adalah tuntutan semata-mata, maka
hukumnya boleh diakhirkan dengan cara yang tidak menyebabkan orang yang disuruh
menjadi ketinggalan, atau bisa juga disebut boleh menyegerakannya.
B. Pengertian Nahi
Larangan ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengan cara penguasaan dan
bentuknya: “ jangan lakukan” dan sebagainya.
Pengaruh larangan dalam perbuatan yang dilarang:
Yang dilarang itu bisa berupa perbuatan, bisa berupa perkataan.
Yang pertama seperti dalam firman Allah SWT:
ّ ِ الَت َ ْق َرب
ُىاانسََا
Artinya: Janganlah kamu mendekati perbuatan zina
ُ الَت َأ ْ ُكهُ ْىاأ َ ْي َىا َل ْانيَت َا َيى
ظ ْه ًًا
Artinya: Janganlah kamu memakan harta anak yatim secara aniaya
Yang dimaksud perkataan ialah yang ditetapkan as-Syari’ sebagai sebab untuk
mengikat dua pihak, seperti lafadz jual beli, kafalah, dan waqaf.
Jual beli yang merupakan ijab dan qabul adalah ikatan antara penjual dan pembeli,
sedangkan nazar dan waqaf keduanya merupakan ikatan antara hamba dan Tuhannya.
Bila hal yang dilarang karena dzatnya lalu kehilangan kesesuaiannya untuk menjadi
sebab suatu hukum, maka ia adalah kenikmatan, kecuali bila terdapat dalil khusus bahwa
larangan atas perbuatan itu karena sifat yang terpisah darinya dan berdampingan
dengannya seperti larangan mendekati perempuan yang sedang haid dalam firman Allah
SWT:
ْ ََوالَت َ ْق َرب ُْى ُه ٍَّ َحتَّىى ي
ٌَط ُه ْر
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) hingga mereka bersuci
(dari haid).
3
Maka ia tidak kehilangan sebabiyyahnya bagi hukum, sehingga berlakukanlah
hukumnya sebagaimana berlakunya atas perbuatan yang diizinkan melakukannya dari
jenis dan masalah aslinya ini telah disepakati oleh fuqaha.
Telah kami kemukakan dalam kaitan-kaitan larangan pembicaraan dari ulama Hanafi
mengenai bagian-bagian (juziyah) ketika mereka menentang kaidan ini dalam juziyah itu
dan jawaban-jawaban kepada mereka.
Apabila hal yang dilarang adalah salah satu perkataan yag datang dari As-Syari’
penetapannya sebagai sebab bagi hukum-hukum yang didasarkan atasnya yaitu yang
diistilahkan dengan tindakan syar’iyyah, maka hal itu ada tiga macam, yaitu:
1. Tempat yang dikenal dengan perkataan itu termasuk dzat yang tidak menerima
perkataan itu, seperti perjualan bangkai dan perjualan orang merdeka.
2. Dzatnya merupakan tempat untuk menerima perkataan itu, tetapi pengaruh yang
terjadi atasnya ialah keharaman seperti menikahi bibi (saudara perempuan ayah) dan
bibi (saudara perempuan ibu).
3. Tempat perkataannya menerimanya dan perbuatan itu mempunyai pengaruh-
pengaruh lain seperti kehalalan seperti penjualan hewan dengan harga untuk tempo
yang dimengerti.
Adapun yang pertama dan kedua, maka perkataannya tidak mempunyai pengaruh
apapun, karena ketiadaan tempat bagi yang pertama ketika perkataan itu dijadikan sebab
baginya dan ketiadaan faedag bagi yang kedua karena pengaruhnya adalah keharaman
dan tidak ada kehalalan bersama larangan, maka pernikahan maharim menjadi batal
seperti menjual barang yang tidak ada. Adapun yang ketiga, maka larangan di dalamnya
tidak mengeluarkan perkataan dari sebabiyahnya bagi akibatnya, yaitu pemilikan dalam
jual beli misalnya. Akan tetapi, pengaruh larangan dalam keharaman tetap ada sehingga
pemiliknya menjadi buruk dan mengaruskan kedua pihak untuk menghilangkan sekuat
tenaga dan inilah yang dinamakan oleh ulama Hanafi dengan akad fasid, yakni yang
ditetapkan ashalnya dan dilarang karena suatu sifat di dalamnya dan dengan demikian
terbagilah akad-akad ini menjadi 2 bagia, yakni bathil dan fasid. Dan telah diperhatikan
dalam hal ini akibat sababiyahnya dalam babnya dan akibat larangan dalam
pengharamannya selama tidak terjadi pertentangan sebagaimana dalam akad-akad yang
dijadikan sebab bagi kehalalan. Ini adalah pendapat yang kami terapkan dari cara ulaman
hanafi.