Anda di halaman 1dari 25

PENGERTIAN DAN BERBAGAI

JENIS HUKUM DALAM ISLAM

Hamka Elgifari
1214020067
Secara etimologi, kata hukum berasalah dari ‫ح‬
‫ك م‬    yang artinya menolak
kezhaliman/penganiayaan atau dengan arti
menetapkan, atau memutuskan dan lain-lain.”

Secara terminologi/istilah ushul fiqh, hukum


Pengertian
meruupakan titah Allah yang berkenaan dengan
perbuatan orang-orang mukallaf, berupa Hukum
tuntutan (perintah dan larangan) pilihan, atau
menjadi sebab-syarat, dan mani’ (penghalang).
Hukum terbagi menjadi 2 bagian:

• Hukum Takhlifi • Hukum Wadh’i


hukum yang mengandung perintah hukum yang dijadikan sebab,
yaitu wajjib dan sunnat, dan seperti, tergelincirnya matahari
larangan yaitu, haram dan makruh menjadi sebab wajib shalat
zuhur, syarat, seperti
dan pilihan yaitu mubah (harus)
berwudhu menjadi syarat
boleh dikerjakan dan boleh
sahnya shalat, dan mani’
ditinggalkan.
(pengahalang) seperti haid dan
nifas menjadi pengahalang
wajibnya shalat dan puasa.
Dalam hukum Islam, hukum mencondang dan
diartikan kepada fiqih Islam sebagai penjabaran
dari syari’ah. Syari’ah akan sulit dilaksanakan
tanpa fiqih, maka fiqih adalah ujung tombak
dalam pelaksanaan syari’ah Islam. Antara
syari’ah dan fiqih dapat dibedakan, tetapi tidak
dapat dipisahkan.
CIRI CIRI HUKUM ISLAM

1. bersumber dan merupakan bagian dari agama Islam


2. bersumber al Qur’an dan al Hadis,dikembangkan serta dirumuskan lebih
lanjut oleh pemikiran (al ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk
berijtihad
3. Mempunyai dua istilah yaitu syari’ah dan fiqih
4. Ruang lingkup yang diatur oleh hukum Islam tidak hanya soal hubungan
manusia dan benda serta penguasa dalam masyarakat tetapi juga
mengatur  hubungan antara manusia dengan Allah. Selalu disebut
hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan dengan Allah disebut
ibadah, sendangkan hubungan dengan sesama manusia dan benda
serta penguasa disebut muamalah. Kedua hubungan ini harus
dihidupkan dengan seimbang dan serasi tanpa kepincangan tanpa berat
sebelah
5. Struktur berlapis, terdiri atas  (a) nash atau teks al Qur’an (b) sunnah
nabi saw (untuk syari’ah) (c) hasil ijtihad, (d) pelakasanaanya dalam
praktik berupa:
– Keputusan hakim
– amalan-amalan untuk ummat Islam dalam mesyarakat (untuk fiqih)
6. Dapat dibedakan antara :
– Hukum taklifi atau hukum Islam yang lima (ahkam al Islam al Khamsah)
yaitu; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah dan
– Hukum wadhy yang mengandung sebab, syarta dan mani’ (pengahalang),
seperti telah disebut diatas.
7. Mengenai hak dan kewajiban. Dalam sistem hukum barat, hak lebih
diutamakan dari perintah kewajiban. Dalam hukum barat orang
banyak bicara tentang hak asasi manusia tanpa membicarakan sisi
lainnya yaitu kewajibaan asasi manusia. Dalam sistem hukum Islam
kewajiban lebih diutamakan dari pada hak, Penuhi dulu kewajiban
baru hak diperoleh seperti pahala-pahala sebagai ganjarannya.
• Secara Bahasa:
Taklif (Kallafa-Yukallifu-Takliifan) yang
artinya meminta, menyuruh, menugaskan,
menginstruksikan. 1.
HUKUM TAKHLIFI
• Secara Syara’: DAN
Hukum Taklifi adalah salah satu tuntunan
PEMBAGIANNYA
dari Allah berkaitan atas perintah dalam
mengerjakan atau meninggalkan suatu
perbuatan hal yang baik dan buruk.
Maka hukum taklifi sebagai khithab Allah
yang berisikan pembebanan yang
menyatakan tentang suatu perbuatan yang
dilakukan oleh manusia sehingga hal ini
juga berupa informasi atas semua perintah
dari Allah kepada hambanya.

Hukum Taklifi dibagi menjadi 6


1. WAJIB/IJAB
Sinonim: Fardlu.
Adalah status hukum yang berasal dari Syari’ (Allah) oleh
dikerjakan oleh mukalaf secara pasti dan perintah itu
disertai dengan petunjuk yang menunjukkan bahwa
perintah itu menjadi wajib.

Contoh: Perintah Allah untuk Sholat Maktubah.


2. SUNNAH
Sinonim: Mandub/Nadb, Mustahab, Tathowu’
Adalah status hukum yang menuntut untuk
melakukan suatu perbuatan karena perbuatan yang
dilakukan dipandang baik dan sangat disarankan
untuk dilakukan.

Contoh: Perintah Nabi untuk Siwak.


3. MAKRUH/KAROHAH
Adalah status hukum yang muncul jika orang melanggar
sebuah larangan yang dinyatakan oleh dalil dengan
larangan yang lugas dan definitif, tetapi bukan larangan
yang bersifat keras/ disertai ancaman siksa/murka Allah.

Contoh: makan dengan tangan kiri.


4. HARAM/TAHRIM
Adalah status hukum yang muncul jika orang melanggar
sebuah larangan yang dinyatakan oleh dalil dengan
larangan yang bersifat keras nan tegas.

Contoh: Allah melarang zina.


5. MUBAH/IBAHAH

Adalah status hukum yang muncul jika


orang melakukan hal yang tidak bersifat
wajib/sunnah/makruh/haram.

Contoh: Makan.
6. KHILAFUL AULA/TARKUL AULA/LA YANBAGHI

Adalah status hukum yang muncul saat seseorang melanggar


sesuatu yang bersifat summah. Semua hal yang sifatnya
bertentangan dengan yang disunnahkan maka disebut “khilaful
aula” tanpa membedakan apakah bersifat “positif” (melakukan
aksi) maupun “negatif” (meninggalkan aksi). 

Contoh: Musafir membatalkan puasanya, walau ia masih kuat


menjalani puasa.
Hukum wadh’i adalah hukum yang
bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab
untuk sesuatu atau syarat baginya atau 2.
penghalang terhadap sesuatu. Bila firman
Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu
HUKUM WADH’I
dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai DAN
sebab, atau syarat, atau penghalang maka ia PEMBAGIANNYA
disebut hukum wadh’i. 
Di dalam ilmu hukum ia disebut
pertimbangan hukum.
Macam-Macam Hukum Wadh’i

1. Sebab
Sebab menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada
sesuatu yang lain.Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang dijadikan
oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan mengkaitkan keberadaan
musabab, dengan ketiadaannya.
Misalnya: Perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai hukuman dera
100 kali, tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat dhuhur,
dan terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat magrib. Apabila
perzinaan tidak dilakukan, maka hukuman dera tidak dikenakan. Apabila
matahari belum tergelincir, maka shalat dhuhur belum wajib. Dan apabila
matahari belum terbenam, maka shalat mahgrib belum wajib.
2. Syarat
Syarat ialah sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi
keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat
tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi, adanya syarat tidak
mengharuskan adanya hukum syara’

Misalnya: Wudhu adalah salah satu syarat sahnya shalat. Sholat


tidak dapat dilaksanakan, tanpa berwudhu terlebuh dahulu. Akan
tetapi apabila seseorang berwudhu, ia tidak selalu harus/akan
melaksanakan shalat.
3. Mani’
Menurut bahasa berarati “ penghalang “. Sedangkan dari segi istilah yang
dimaksud dengan mani’ adalah :
“ sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan hukum
atau ketiadaan sebab, maksudnya batalnya sebab itu.”

Misalnya: hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan


timbulnya hubungan kewarisan (waris-mewarisi ). Apabila ayah wafat, istri
dan anak mendapatkan bagian warisan dari harta ayah atau suami yang
wafat sesuai dengan bagian masing-masing akan tetapi, hak mewarisi ini
bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah
tersebut ( H.R.Bukhari-Muslim ). Jadi, yang menghalangi ahli waris untuk
mendapatkan warisan itu karena membunuh orang yang mewarisi.
4. Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad
A). Ash-Shihah 
secara bahasa Sah atau Shihah (‫صححة‬99‫ لا‬ ) atau shahih ( ‫صحيح‬99‫ لا‬ ) lawan
dari‫ضة‬9‫مري‬99‫ لا‬ ) ) yang artinya sakit. Secara istilah, para ahli ushul fiqih merumuskan
definisi sah 
“ Tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada,
syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’
pada perbuatan itu.”
Misalnya: seseorang melaksanakan shalat dengan memenuhi rukun, syarat,
dan sebab, serta orang yang shalat itu terhindar dari mani’ atau terhalang.
Apabila shalat dhuhur akan dilaksanakan, sebab wajibnya shalat itu telah ada
yaitu matahari telah tergelincir, orang yang akan shalat itu telah berwudlu, dan
tidak ada mani’ dalam mengerjakan shalat tersebut maka shalat yang dikerjakan
tersebut sah.
b). Al- Bathl

secara etimologi batal yang dalam bahasa arabnya al-buthlan (‫بطالن‬99‫ لا‬  ) yang
berarti rusak dan gugur hukumnya. Secara terminologi menurut Mushthafa Ahmad
al-Zarqa’, yang mengatakan batal adalah :
‫ع‬
ِ ْ
‫ر‬ ٍّ
‫ش‬ ‫ال‬ ‫ر‬
ِ َ ‫ظ‬َ ‫ن‬ ‫ى‬ِ ‫ف‬ ‫ه‬
ِ ‫ار‬
ِ َ ‫ث‬ ‫آ‬‫و‬َ ‫ه‬
ِ ‫ر‬
َ ‫ا‬َ ‫ب‬َ ‫ت‬ ْ
‫ع‬ ِ ‫ا‬ ْ
‫ن‬ ‫ع‬
َ ‫ي‬
ِّ ‫ع‬
ِ ْ
‫ر‬ َّ
‫ش‬ ‫ال‬ ‫ف‬
ِ ُّ‫تر‬ ‫ص‬
َ َّ ‫ت‬‫ال‬ ُ
‫د‬ ُّ
‫ز‬ ‫تَ َج‬
“ Tindakan hukum yang bersifat syar’i terlepas dari sasarannya, menurut
pandangan syara’.”
Misalnya, dalam persoalan ibadah yaitu orang yang melaksanakan ibadah sholat
harus memenuhi rukun dan syaratnya, apabila ada penghalang seperti haid atau
nifas maka sholatnya tidak sah atau batal.
c). Al-Fasad 
Secara etimologi, fasad (‫فساد‬99‫ لا‬ ) ) berarti ”perubahan sesuatu dari keadaan yang
semestinya (sehat).” Dalam bahasa indonesia berarti “rusak”. Dalam pengertian
terminologi menurut jumhur ulama bahwa antara batal dan fasad mengandung
esensi yang sama, yang berakibat kepada tidak sahnya perbuatan itu. Apabila
sesuatu perbuatan tidak memenuhi syarat, rukun, dan tidak ada sebabnya, atau ada
mani’ terhadap perbuatan tersebut, maka perbuatan itu disebut fasad atau batal.
Misalnya, melakukan jual beli ketika panggilan shalat jum’at berkumandang.
Jual beli dan shalat jum’at sama-sama memiliki dasar hukum. Akan tetapi jual beli
itu dilaksanakan pada waktu yang sifatnya terlarang untuk melakukan jual beli,
maka hukumnya menjadi fasad atau rusak.
5. ‘Azimah dan Rukhshah
‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepada seluruh hambanya
sejak semula. Maksudnya belum ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan oleh Allah. 
Misalnya, jumlah shalat dhuhur adalah empat reka’at. Jumlah reka’at ini ditetapkan
Allah sejak semula, dimana tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah reka’at shalat
dhuhur. Hukum tentang shalat dhuhur tersebut adalah empat reka’at, disebut dengan
‘Azimah.
Adapun yang dimaksud al-Rukhshah sebagian ulama’ ushul fiqih ialah
“Hukum-hukum yang disyari’atkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam keadaan
tertentu.”
Adapun contonya yaitu :
a. Rukhshah untuk melakukan perbuatan yang menurut ketentuan syari’at yang
umum diharamkan, karena darurat atau kebutuhan. Contohnya, boleh memakan
daging babi jika keadaan darurat, dimana tidak terdapat makanan selain itu yang
jika tidak dimakan maka jiwa seseorang akan terancam. Berdasarkan firman Allah

ّ ‫وقد ف‬....
‫صا ل لكم ما حرمعليكماال مااضطر رتماليه‬
Artinya:…”padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…” (QS. Al-
An’am:119)
b. Rukhshah untuk meninggalkan yang menurut aturan syri’at yang umum
diwajibkan, karena kesulitan melaksanakannya. 
Contohnya, barang siapa dalam keadaan sakit atau berpergian pada bulan
ramadhan, maka ia diperbolehkan untuk buka puasa. Sebagaimana firman Allah

‫ضا اَ ْو َعلى َشفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن اَي ٍَّام اُ َخ َر‬


ً ‫ان ِم ْن ُك ْم َم ِر ْي‬
َ ‫فَ َم ْن َك‬
Artinya: “…Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka puasa), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…” (QS. Al- Baqarah: 184)
TERIMAKASIH BANYAK

Sekian dari saya, silahkan jika masih


ada pertanyaan

Anda mungkin juga menyukai