Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH USHUL FIQIH

HUKUM SYARA’ DAN KLASIFIKASINYA

FAUZAN AKBAR NOVIANTO1 , PUTRI GRIZKI2

IAIN Syekh Nur Jati Cirebon


Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi, Kec. Kesambi, Kota Cirebon, Jawa Barat 45132
E-mail: akbarnovianto313@gmail.com1 , grizqiputri@gmail.com2

ABSTRAK
Hukum Syara’ adalah ikatan yang mengikat maka tujuan kami dalam menyusun makalah ini
seorang mukallaf baik itu tuntutan, anjuran, adalah:
kebolehan memilih untuk melakukan atau tidak,
1. Menjelaskan tentang hukum syara’
dan menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau
2. Membagi pengetahuan kepada Mahasiswa
penghalang. tentang hukum syara’

PENDAHULUAN PEMBAHASAN
1.1 Latar Belakang

Hukum Syara’ berfungsi sebagai pedoman PENGERTIAN HUKUM SYARA’


yang menuntun para Mukallaf dalam menjalankan
Ecara Etimologi Hukum berarti ‫ القضاء‬yang
segala apa yang diperintahkan Allah SWT dalam
menjalani kehidupan, oleh karena itu seorang
Mukallaf berkewajiban mengetahui dan
S berarti keputusan.
Termiologi yaitu1:
Sedangkan secara

mempelajari Hukum Syara’ agar menjalani


‫ طلبا ً أو‬،‫هو خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين‬
kehidupan sesuai dengan syariat Nabi kita Nabi
‫ أو وضعا‬،ً‫تخييرا‬
Muhammad SAW dan juga dengan mempelajari
hukum Syara’ semoga kita diakui oleh Nabi “Adalah titah syariat yang berkaitan dengan
Muhammad SAW sebagai Ummat yang perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan,
menjalankan perintahnya yaitu menuntut Ilmu dan peletakan”

1.2 Maksud dan Tujuan Dari pengertian diatas ada beberapa kata
yang perlu dijelaskan maksudnya. Yang pertama
Adapun maksud dari penyusunan makalah
pada kata ‫خطاب الشارع‬, yaitu ketentuan yang telah
ini adalah menjabarkan pengertian Hukum Syara’
ditetapkan Allah SWT melalui Al Quran yang
dan Klasifikasinya, untuk mencapai hal tersebut
berhubungan denga perbuatan Mukallaf seperti
haram, makruh, mubah, sahih, batil, syarat, sebab, Ketentuan yang mengkat ini ada 3 perkara yaitu
atau penghalang. sebab, syarat, atau mani’.

Khitab Allah itu ada yang bersifat langsung Wahbah zuhaili memasukan sahih, fasid, azimah,
yaitu dari Al Quran yang biasa disebut lafdzi dan dan rukhsoh kedalam hukum wad’i.3
kalam Allah yang melalui perantara yaitu Sunnah
PEMBAGIAN HUKUM SYARA’4
dan Ijma’ yang bersumber dari Al Quran serta dalil
dalil syariat lainnya yang di akui. Sunnah bisa 1. Hukum Taklifi
disebut sebagai khitab Allah berdasarkan ayat Al Firman Allah yang menuntut manusia
Quran yang menyatakn bahwa Nabi tidak berkata untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu
berdasarkan nafsu tetapi di dasarkan oleh wahyu : atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.

ٌ ‫ع ِن ۡال َه ٰوى ا ِۡن ه َُو ا اَِّل َو ۡح‬


‫ى ي ُّۡوحٰ ى‬ َ ‫َو َما يَ ۡنطِ ُق‬ Menurut jumhur ulama ushul fiqih
/mutakkalilimin bentuk bentuk hukum taklifi
Artinya: Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-
ada 5 macam:
Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-
Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan a. Ijab (Wajib): tuntutan syar‟i yang
(kepadanya). (QS. Annajm: 3-4) bersifat untuk melaksanakan sesuatu
dan tidak boleh ditinggalkan. Orang
Ijma dkatan Khitab Allah karena ijma tidak
yang meinggalkan dikenai sanksi.
lepas dari dalil Al Quran dan Sunnah. Begitu juga
Contoh:
dalil syara’ lain yang disebut khitab Allah, karena
‫ار َكعُ ْوا َم َع ا‬
َ‫الرا ِك ِعيْن‬ ‫ص ٰلوة َ َو ٰاتُوا ا‬
ْ ‫الز ٰكوة َ َو‬ ‫َواَقِ ْي ُموا ال ا‬
berfungsi menyingkap khitab Allah dan
Artinya: Dan laksanakanlah salat,
menjelaskan hukum sesuatu yang tidak ada
tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta
dalilnya.2
orang yang rukuk.
Yang kedua kata ً ‫ طلبا‬maksudnya adalah b. Nadb (Sunnah): tuntutan untuk
tuntutan. Tuntutan disini bisa berupa tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang
mengerjakan secara pasti (harus) yang kemudian tidak bersifat memaksa, melainkan
disebut dengan hukum wajib, dan bisa pula tuntutan sebagai anjuran, sehingga seseorang
untuk meninggalkan secara pasti (harus) yang tidak dilarang untuk meninggalkannya.
disebut haram Orang yang meninggalkannya tidak
kenai hukuman. Contoh: Sholat
Yang ketiga kata ً ‫تخييرا‬, maksudnya yaitu
Sunnah setelah terbit fajar Subuh
memilih artinya Allah SWT memperbolehkan
c. Ibaha/Mubah: Tuntutan Allah yang
kepada Mukallaf untuk mengerjakan atau tidak.
bersifat fakultatif, mengandung pilihan
Contohnya makan dan tidur di waktu tertentu.
antara berbuat atau tidak berbuat secara
Yang keempat kata ‫وضعا‬, maksudnya yaitu sama.
yang dijadikan oleh syariat sebagai pengikat antara d. Karaha/Makruh: Tuntutan untuk
dua perkara yang terkait dengan mukallaf. meninggalkan suatu perbuatan tetapi
tuntuan itu diungkapkan melalui subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu
redaksi yang tidak bersifat memaksa. disaksikan (malaikat).
Contoh: Makan daging kuda, b. Syarat: sesuatu yang berada diluar
berwudhu dengar liur kucing, dll hukum syara’, tetapi keberadaan
e. Tahrim/Haram: Tuntutan untuk tidak hukum syara‟ bergantung kepadanya.
mengerjakan suatu perbuatan dengan Apabila syarat tidak ada, hukum pun
tuntutan yang memaksa. Contoh: tidak ada, tetapi adanya syarat tidak
‫ير َو َما أ ُ ِه ال‬ ِ ‫علَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوالدا ُم َولَحْ ُم ْالخِ ْن ِز‬ َ ْ‫ُح ِر َمت‬ mengharuskan adanya hukum syara‟.
ُ‫َّللاِ بِ ِه َو ْال ُم ْن َخنِ َقةُ َو ْال َم ْوقُوذَة ُ َو ْال ُمت ََر ِديَة‬
‫ِلغَي ِْر ا‬ Contoh: wudhu adalah syarat sahnya
‫َوالناطِ ي َحةُ َو َما أ َ َك َل ال ا‬
‫سبُ ُع إِ اَّل َما ذَ اك ْيت ُ ْم‬ shalat.
Artinya: Diharamkan bagimu c. Mani’ (penghalang): sifat yang
(memakan) bangkai, darah, daging keberadaannya menyebabkan tidak ada
babi (daging hewan) yang disembelih hukum atau tidak ada sebab. Contoh:
atas nama selain Allah, yang tercekik, “Pembunuh tidak mendapat waris”
yang terpukul, yang jatuh, yang Hadits tersebut menunjukkan bahwa
ditanduk dan diterkam binatang buas, pembunuhan sebagai penghalang
kecuali yang sempat kamu untuk mendapatkan warisan.
menyembelihnya. (Al-Maidah: 3) d. Shahihah: suatu hukum yang sesuai
dengan tuntutan syara’, yaitu
2. Hukum Wadh’i terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak
ada mani’. Contoh: mengerjakan shalat
Hukum Wadh‟i: adalah firman Allah swt
dhuhur setelah tergelincir matahari
yang menuntut untuk menjadikan sesuatu
(sebab) dan telah berwudhu (syarat)
sebagai sebab syarat atau penghalang dari
dan tidak ada halangan bagi orang yang
sesuatu yang lain. bentuk-bentuk hukum taklifi
mengerjakannya (haid, nifas).
ada 7 macam:
e. Bathil: terlepasnya hukum syara’ dari
a. Sebab: sesuatu yang dapat ketentuan yang ditetapkan dan tidak
menyampaikan kepada sesuatu yang ada akibat hukum yang
lain, menurut istilah: suatu sifat yang ditimbulkannya. Contoh: memperjual
dijadikan syar‟I sebagai tanda adanya belikan minuman keras. Akad ini
hukum. Contoh firman Allah yang dipandang batal, karena minuman
menjadikan sesuatu sebagai sebab: keras tidak bernilai harta dalam
َ‫ق ٱلا ْي ِل َوقُ ْر َءان‬ِ ‫س‬
َ ‫غ‬ ‫صلَ ٰوة َ ِلدُلُوكِ ٱل ا‬
َ ‫ش ْم ِس ِإلَ ٰى‬ ‫أَق ِِم ٱل ا‬ pandangan syara’.
‫ٱ ْلفَجْ ِر ۖ إِ ان قُ ْر َءانَ ٱ ْلفَجْ ِر َكانَ َم ْش ُهودًا‬ f. Azimah: hukum-hukum yang
Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah disyariatkan oleh Allahkepada seluruh
matahari tergelincir sampai gelap hambanya sejak semula dan wajib
malam dan (dirikanlah pula shalat) mengikutinya.
g. Rukshah: hukum yang ditetapkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan,
berbeda dengan dalil yang ada (sejak adakalanya diluar kemampuan Hukum
semula) karena ada usur. Contoh: Syara’ mukallaf seperti tergelincirnya
hukum azimah shalat dhuhur adalah matahari mewajibkan shalat dhuhur.
empat raka‟at, apabila ada dalil lain d. Hukum taklif ditunjukkan kepada para
yang menunjukkan bahwa orang-orang mukallaf, yaitu orang yang telah baliq
tertentu boleh mengerjakan shalat dan berakal sedangkan hukum wadh’i
dhuhur dua rakaat seperti orang m ditunjukkan kepada manusia mana saja
usyafir maka hukum itu disebut baik mukallaf maupun belum.
rukhshah.

3. Perbedaan hukum taklif dan hukum wadh’i


a. Dalam hukum taklif terkandung
tuntutan untuk melaksanakan,
meninggalkan, atau memilih berbuat
atau tidak berbuat. Dalam hukum al-
wadh’i hal ini tidak ada melainkan
mengandung keterkaitan antara dua
persoalan, sehingga salah satu diantara
keduanya bisa dijadikan sebab
penghalang atau syarat.
b. Hukum taklif merupakan tuntutan
langsung pada mukallaf untuk
dilaksanakan, ditinggalkan,
ataumelakukan pilihan untuk berbuat
atau tidak berbuat. Sedangkan hukum
al-wadh’I tidak dimaksudkan agar
langsung dilakukan mukallaf .
c. Hukum taklif harus sesuai dengan
kemampuan mukallaf karena dalam
hukum taklif tidak boleh ada kesulitan
dan kesempitan yang tidak mungkin
dipikul oleh mukallaf. Sedangkan
dalam hukum alwadh’i hal seperti ini
tidak dipersoalkan, karena kesulitan
dan kesempitan ada kalanya dapat
dipikul mukallaf seperti menghadirkan
DAFTAR PUSTAKA

1
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih. (Darul Fiqr, Damaskus): 26
2
Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqih. (Arraudhoh,’98): 113-114
3
Wahbah Zuhaili, Al Wajiiz Fii Ushulul Fiqih. (Darul Fiqr, Damaskus,’99): 120
4
Dr.Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag., Ushul Fiqih 1 (IAIN PAREPARE,Nusantara Press):187

Anda mungkin juga menyukai