Anda di halaman 1dari 18

MATA KULIAH

pendidikan AGAMA ISLAM


Oleh:

M. Akhwan, M.Pd.I
Bab IV

HUKUM ISLAM
A. PENGERTIAN HUKUM
Dari segi kebahasaan, makna hukum itu ialah menetapkan
sesuatu atas sesuatu. Dalam Hukum Islam misalnya menetapkan
hukum haram atas perbuatan zina.

Menurut ahli Ushul Fiqh, hukum ialah ketetapan syara’ atas


perbuatan orang yang mukallaf, baik berupa tuntutan atau pun
pilihan.
Dalam ajaran Islam, ketentuan syara’ terhadap orag yang
mukallaf itu ada tiga bentuk, yaitu taklifi, takhyiri, dan wadh’i
1. Pengertian Taklifi
Taklifi adalah ketentuan syara’ dalam bentuk tuntutan untuk
di kerjakan atau ditinggalkan mukallaf yaitu wajib, mandub,
haram, makruh danmubah,namun sebagaian ulama
mengatakan bahwa mubah di kategorikan ke dalam takhyiri.
Lanjutan …
a. Wajib adalah ketentuan syara’ terhadap mukallaf untuk di
kerjakan dan mengikat dalam arti bila dikerjakan akan
mendapat pahala dan bila ditinggalkan akan berakibat
mendapat dosa.
b. Mandub yaitu ketentuan syara’ tentang berbagai amaliah
yang tidak mengikat, namun bila dikerjakan akan mendapat
pahala, tapi tanpa ancaman dosa bagi orang yang tidak
mengerjakan.
Mandub dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
 Sunat Muakkad ialah ketentuan syara yang tidak mengikat
tapi sangat di anjurkan seperti azan sebelum sholat.
 Sunat Zaidah ialah ketentuan syara’ yang agak rendah bila
dibanding dengan sunat muakkad, misalnya bersedekah
kepada fakir miskin.
 Sunat Fadhilah ialah mengerjakan sunat untuk mencari
fadhilah seperti mengikuti tradisi-tradisi Rasul, umpamanya
makan, minum dan lain-lain.
Lanjutan…
c. Haram, yaitu tuntutan syara’ yang mengikat kepada mukallaf
untuk meninggalkannya, bagi yang melanggar larangan itu
akan mendapat dosa dan sebaliknya bagi yang mentaati atau
tidak mengerjakan larangan akan mendapat pahala.
d. Makruh, yaitu ketentuan syara’ untuk melarang
memperbuatnya, namun tidak berdosa bila dikerjakan.
e. Mubah, ialah apa yang diberi kebebasan kepada
para mukallaf untuk memilih antara memperbuat
atau meninggalkannya, terbagi kepada tiga macam:
pertama ada keterangan boleh memperbuat atau tidaknya,
kedua tidak diterangkan namun ada petunjuk syara’
memberi kelonggaran dan kemudahan bagi yang
mengerjakannya, ketiga tidak ada keterangan sama
sekali kebolehan mengerjakan atau tidak
mengerjakannya.
2. Pengertian Takhyiri
Takhyiri, yaitu ketentuan Allah bagi mukallaf untuk memilih
untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Dalam Ilmu Ushul
Fiqh, takhyiri disebut dengan mubah dalam arti bahwa
perbuatan itu tidak memperoleh jaminan pahala atau dosa.
3. Pengartian Wadh’i
Wadh’i, yaitu ketentuan-ketentuan untuk ada atau tidaknya
hukum taklifi. Wadh’i terbagi pada tiga,Pertama: sebab
waktunya belum tiba, maka kewajiban sholat belum ada.
Kedua: syarat yaitu sesuatu yang terwujud atau tidaknya suatu
perbuatan tergantung padanya, maka bila syarat itu dipenuhi.
Taklifinya akan terwujud , namun setiap adanya syarat tidak
berarti selalu adanya hukum, lain halnya setiap sebab., tentu
ada hukumnya. Syarat itu ada yang menyempurnakan sebab
seperti halnya zakat menjadi syarat wajib zakat.
Lanjutan…
Syarat dapat pula menyempurnakan musabbab, seperti wudhu,
menutup aurat, dan menghadap kiblat dalam sholat.Ketiga:
Mani, yaitu suatu perbuatan yang menghalangi perbuatan
hukum lainnya, nisab menjadi menjadi sebab wajib zakat,
namun bila pemilikinya banyak hutang umpamanya senilai
nisab, maka hutang itu merupakan mani yang dapat
menghalangi wajib zakat.
B. SYARI’AT
Perkataan syari’at berarti jalan yang lempeng. Para fuqaha
memakai kata syari’at sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan
Allah untuk para hambanya dengan perantaraan Rasul supaya
para hambanya melaksanakan dengan dasar iman baik hukum
itu mengenai amaliah lahiriah maupun yang mengenai akhlak
dan aqidah yang bersifat batiniah.
Lanjutan…
Dalam pekembangannya, kata syari’at untuk nama hukum fiqh
atau Hukum Islam yaitu yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf.

Menurut Muhammad Syalthout, syari’at ialah ketentuan-


ketentuan Allah atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan
tersebut, untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia baik
dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan umat Islam
lainya, orang Islam dengan non muslim, dengan alam dalam
menatap kehidupan ini.

Syari’at di artikan pula hukum yang disepakati (ijmak) para


sahabat Nabi tentang masalah-masalah yang belum ada nashnya
(al-Qur’an dan hadits) dan terkadang diartikan pula hukum yang
ditetapkan melalui qiyas, karinah dan dalil.
Lanjutan…
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa syari’at itu
ialah hukum-hukum yang ditetapkan Allah sebagai peraturan
hidup manusia untuk diimani, diikuti dan dilaksanakan oleh
manusia dalam kehidupannya.
Melihat dari segi subyek penetapan hukumnya, maka dapat
dibagi dua yaitu syari’at samawi dan syari’at wadh’i. syari’at
samawi dimaksudkan penetapan hukum yang dilakukan
langsung oleh Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an dan Hadits.
Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat abadi dan tidak berubah,
karena tidak ada yang berhak mengubahnya selain dari Allah
sendiri. Sedangkan syari’at wadh’I adalah penentuan hukum yang
dilakukan oleh para mujahid. Hasil kajian ini dapat saja berubah-
ubah, karena ia merupakan hasil kajian/nalar belaka.
Lanjutan …
Ciri-ciri syari’at samawi:
a. Berasal dari Allah, disampaikan melalui Rasul-Nya.
b. Kebenarannya universal, berlaku untuk semua waktu dan
tempat.
c. Sanksi hukum berlaku untuk di dunia dan di akhirat.
Ciri-ciri syari’at wadh’i:
a. Tumbuh secara kumulatif dalam masyarakat, sesuai dengan
situasi dan kondisi waktu dan tempatnya.
b. Tidak mempunyai sumber yang tetap.
c. Tidak universal.

C. USHUL FIQH
Adalah ilmu yang mempelajari dasar atau jalan yang harus
ditempuh dalam melakukan istimbat hukum dari dalil-dalil syar’i.
ushul fiqh bertumbuh dan berkembang sejalan dengan
pertumbuhan dan perkembangan fiqh.
Lanjutan…
Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk mengetahui secara
jelas sumber-sumber hukum suatu perbuatan, sehingga orang
dapat mengetahui hukum syara’ dengan yakin, tidak mengikuti
secara taklid.
Obyek dari ilmu ini adalah menjelaskan macam-macam/jenis
hukum, dalil-dalil, permasalahannya dan syarat-syarat untuk
menjadi mujtahid.
Ushul fiqh erat sekli hubungannya denga fiqh, sebab fiqh adalah
produk dari ushul fiqh, dengan demikian fiqh akan berkembang
sesuai dengan perkembangan ushul fiqh. Ushul fiqh merupakan
alat untuk menjelaskan metode dan sistem penentuan hukum
berdasarkan dalil-dalil naqal ataupun dalil akal, contoh firman
Allah dalam surah al-Isra: 78:

‫ﻖ‬ ‫ﺴ‬ َ
‫ﻏ‬ ‫ﻰ‬َ ‫ﻟ‬ ‫ا‬ ‫ﺲ‬ِ ‫ﻤ‬
ْ ‫اﻟﺸ‬ ‫ﻮك‬
ِ ُ
‫ﻟ‬ ُ‫ﺪ‬ ‫ﻟ‬
ِ َ
‫ة‬ ‫ﻼ‬َ ‫ِﻗ ِﻢ اﻟﺼ‬
ِ َ
Lanjutan …
Kemudian sunnah menjelaskan:

‫َﺻﻠ ْﻮا ﻛ َ َﻤﺎ‬


Sholatlah kamu sebagaimana
kamu melihat aku sholat.

‫ﻰ‬ ‫ﻧ‬ ِ
Hukum mengerjakan‫ﻮ‬
ْ ‫ﻤ‬
ُ ُ‫ﺘ‬‫ﻳ‬ْ ‫ر‬
َ
shalat pada awalnya masih tersembunyi,

bahwa perintah itu ّ ‫ ُا َﺻ‬asalnya adalah wajib, kecuali ada dalil


apakah wajib atau sunnat, maka ushul fiqh memberikan dalil
‫ﻰ‬ ‫ﻠ‬
hukum
yang membelokan dari hukum asalnya.
D. FUNGSI USHUL FIQH
Fungsi utama Ushul Fiqh adalah menetapkan hukum yang
diambil dari norma-norma yang terpadu dalam al-Qur’an dan
Hadits.
Norma-norma hukum itu terpapar dalam al-Qur’an dan Hadits
secara acak, kemudian diteliti secara induktif untuk
mengeluarkan hikum.
Lanjutan …
Seandainya para mujtahid itu bertemu dengan Rasul, tentu
mereka dapat langsung menanyakan kepada beliau, karena
mereka tidak sempat berjumpa, maka mereka berusaha mencari
kebenaran Ilahi, dengan menyusun kaidah-kaidah (kaidah ushul
fiqh) untuk mengangkat pesan-pesan hukum, yang terpadu dalam
al-Qur’an dan Hadits, sehingga setiap muslim yang mukallaf
dapat memahami dan dapat pula menerima serta menaati hukum,
kemudian hukum menjadi pedoman bagi orang-orang mukallaf
dalam menjalani kehidupan ini.
E. QAWAIDUL FIQHIYAH
1. Qawaidul Fiqhiyah dimaksudkan kaidah-kaidah hukum yang
bersifat kuliyah (menyeluruh) yang dipetik dari dalil-dalil kuliyah.
Yang dimaksud dalil kuliyah itu adalah ayat-ayat al-Qur’an dan
Hadits yang menjadi sumber pokok bagi kaidah-kaidah kuliyah.
Kaidah-kaidah hukum yang bersifat kuliyah disamping dipetik
dari dalil-dalil kulli, juga diambil dari maksud dan tujuan yang
terkadang di dalam syara’.
Hukum Syar’I itu terdiri dari hukum yang bersifat juz’I dan
hukum yang bersifat kulli (berlaku umum di semua tempat dan
keaadaan).
Hukum yang bersifat kulli dapat dilihat pada contoh seperti
haramnya membunuh orang tanpa sebab yang membolehkan
atau haram memakan harta orang lain.
Prinsip umum yang melandasi hukum kulli adalah keadaan hak
atas kebajikan, sedangkan hukum juz’I adakalanya terdapat illat
dan sebab serupa dengan hukum juz’I lainnya, oleh karena itu
terdapat kemungkinan hukum-hukum itu diikat oleh kaidah-kaidah
kuliyah, dengan kata lain kaidah kuliyah mengumpulkan hukum
juz’I yang bersamaan illat dan sebabnya. Sebagian ulama
menanamkan kaidah-kaidah ini dengan perumpamaan dan
pertimbangan.
2. Tujuan mempelajari Qawaidul Fiqhiyah ialah agar dapat
mengistimbathkan hukum-hukum syara’ dengan baik fdan benar.
Orang tidak akan dapat menetapkan hukum dengan baik kalau
tidak mengethui kaidah-kaidah fiqhiyah, misalnya bagaimana
hukum Bank dalam Islam. Kaidah fiqhiyah mengatakan:

ِ ‫ْاﻻ ْﺻ ُﻞ ِﻓﻰ ْاﻟﻌُ ُﻘ ْﻮ ِد َو ْاﻟ ُﻤ َﻌﺎ َﻣﻠَ ِﺔ‬


‫اﻟﺼﺤ ُﺔ َﺣﺘﻰ َﻳ ُﻘ ْﻮ ُم َد ِﻟ ْﻴ ٌﻞ َﻋﻠَﻰ‬
.‫ْاﻟ ُﺒ ْﻄ َﻼن ِ َواﻟﺘ ْﺨ ِﺮ ْﻳ ِﻢ‬
Asal hukum pada uqubah dan mu’amalah adalah sah sehingga
ada dalil lain yang batal membatalkan atau mengharamkannya.

Kaidah tersebut di atas diambil dari Hadits Nabi SAW:


Kamu lebih mengetahui tentang
‫َا ْﻧﺘُ ْﻢ َا ْﻋﻠَ ُﻢ ِﺑ ُﻣ ْﻮ ِردُ ْﻧ َﻴﺎ‬ urusan-urusan duniamu.
. ‫ﻛُ ْﻢ‬ (HR. Muslim)
Jadi Bank itu bila membantu masyarakat, tidak memberatkan
beban masyarakat (si peminjam), maka hukumnya boleh dan bila
bunganya memberatkan/berlipat ganda dapat dimasukan dalam
kategori riba.
3. Obyek dan metode qawaidul fiqhiyah ialah ayat-ayat atau
hadits yang mengandung pengertian kuliyah dan merupakan dalil-
dalil yang dipelajari dan dirumuskan kandungannya dalam bentuk
kaidah-kaidah hukum, misalnya firman Allah surat al-Baqarah
ayat 29:

.... ‫ُﻫ َﻮاﻟ ِﺬى َﺧﻠَ َﻖ ﻟَﻜُ ْﻢ َﻣﺎ ِﻓﻰ ْاﻻ ْر ِض َﺟ ِﻤ ْﻴ َﻌﺎ‬
Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi ini
untuk kamu…
Dari firman Allah itu dapat dipahami bahwa Allah menciptakan
yang ada di bumi untuk kita semua dan dari pengertian ini pula
dapat diambil kaidah bahwa hukum asalnya adalah boleh, kecuali
ada dalil lain yang memalingkannya dari hukum boleh, maka
kaidah fiqhiyahnya berbunyi:

‫ﺎء ْاﻻ َﺑﺎ َﺣ ُﺔ َﺣﺘﻰ َﻳ ُﻘ ْﻮ َم َد ِﻟ ْﻴ ٌﻞ َﻋﻠَﻰ‬


ِ ‫ْاﻻَ ْﺻ ُﻞ ِﻓﻰ ْاﻻَ ْﺷ َﻴ‬
. ‫ُﺑ ْﻄ َﻼ ِﻧ ِﻪ‬
Hukum asal terhadap sesuatu perkara adalah boleh, hingga
ada dalil lain yang membatalkannya.

Contohnya bangkai, darah dan daging babi itu hukum asalnya


boleh, kemudian dalil yang tidak membolehkannya.
4. Hubungan Ilmu Fiqh dengan Illmu Qawaidul Fiqhiyah sangat
erat sekali, karena kaidah-kaidah fiqhiyah itu merupakan kunci
berfikir dalam pertumbuhan dan perkembangan fiqh, makin
berkembang qawaidul fiqhiyah makin banyak pula masalah-
masalah fiqh yang dapat dipecahkan.

Selesai...

Anda mungkin juga menyukai