Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

METODE MENGETAHUI FILSAFAT HUKUM ISLAM

Kelompok 3 B
Iswanto : 30022130
M. Zukri Aziz : 30022134

Dosen pembimbing
DR. H. Andriyaldi, Ma

MA’HAD ALY SUMATERA THAWALIB PARABEK


YAYASAN SYEKH IBRAHIM MUSA PARABEK
T.A 2024

1
METODE MENGETAHUI FILSAFAT HUKUM ISLAM

A. Melalui perintah dan larangan ( amar dan nahy )

Pada prinsipnya semua ajaran islam berkisar pada urusan perintah dan larangan.
Perintah adalah ucapan atau tuntutan yang secara tegas untuk mematuhi dan
melaksanakan apa yang diperintahkan,1 sedangkan larangan adalah ucapan atau
tuntutan yang mengandung larangan dalam mengerjakan suatu yang dilarang.2
Adapun amar yaitu : tuntutan memperbuat dari atas (Allah) ke bawah (hamba)3.
Sedangkan larangan yaitu : tuntutan meninggalkan dari atas (Allah) ke bawah
(hamba)4. Dengan memperhatikan teks nash Al qur an dan hadits rasul saw, dalam
bentuk perintah dan larangan dengan berbagi derivasinya maka dapat diketahui
maqashid syariah. Ulama membagi perintah dan larangan ke dalam dua bentuk5
yaitu :

1, Perintah dan Larangan Murni ( Tanpa Penyebutan Ta’ lil Al-Nash ) 6

ulama ushul menyebut perintah dan larangan tanpa penyebutan ta'lil ini dengan
amar dan nahi yang bersifat al-ibtidaiy al-tashrihiy. Artinya ayat-ayat yang mana
'illat-nya tidak ditegaskan secara langsung dalam perintah dan larangan tersebut.
Aspek ini pada umumnya terkait dengan persoalan berbagai macam ibadah.
Perintah dan larangan Allah Swt. yang bersifat al-ibtidaiy al-tashrihiy itulah
maqshad syar'i atau maqshud lizatihi yang sesungguhnya bahkan maqshad syar'i
yang paling agung. Karena di dalamnya terkandung makna ta'abbudiy dan imtitsaliy
yang sesungguhnya dan sebagai manusia biasa akal sangat terbatas menangkap
hikmah ilahiyah secara mendetail. Namun, sungguh pun demikian bukan berarti
persoalan-persoalan ibadah tersebut tidak mengandung maqashid dan maslahah,
ia bisa ditemukan dengan jalan "mustanbath”

1.Prof. Dr. H. Romli SA, M.Ag. Studi perbandingan ushul Fiqh, hal 241
2.Prof. Dr. H. Romli SA, M.Ag. Studi perbandingan ushul Fiqh, hal 256-257
3.syekh. Abdul Hamid Hakim. Kitab as-sullam. Hal 12
4.syekh. Abdul Hamid Hakim. Kitab as-sullam. Hal 15
5.Dr.H.Andriyaldi,M.A. Teori istqra’ imam syatibi dan implikasi terhadap ushul Fiqh, hal 41-42.
6.Dr.H.Andriyaldi,M.A. Teori istqra’ imam syatibi dan implikasi terhadap ushul Fiqh, hal 42.

2
Contohnya perintah tanpa penyebutan ta’lil, firman Allah surah Al-Baqarah : 43

ِ ِ َّ ‫الزَك ا ةَ وارَك ع وا م ع‬ ِ
‫ي‬
َ ‫الراك ع‬ َ َ ُ ْ َ َّ ‫يم وا ال صَّ ََل ةَ َوآ تُوا‬
ُ ‫َوأَق‬
Artinya : Dan dirikanlah Shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang
yang ruku'.

Contohnya larangan tanpa penyebutan ta’lil, firman Allah surah Al-Baqarah :275

‫اَّللُ ا لْبَ يْ عَ َو َح َّرمَ الرِ َب‬


َّ َّ‫أَح ل‬
َ ‫َو‬
Artinya : Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

2. Perintah dan Larangan yang Disertai Ta'lil 7

Selanjutnya adakalanya perintah dan larangan suatu nash disertai dengan


penyebutan ilat tertentu atau hikmah tertentu.

Contohnya perintah disertai ta’lil dalam firman Allah Swt. surah Al-‘Ankabut : 45

‫ٱلصلَ ٰوةَ تَ ْن َه ٰى َع ِن ٱلْ َف ْح َشآِء َوٱلْ ُمن َك ِر‬ َّ ‫َوأَقِِم‬


َّ ‫ٱلصلَ ٰوةَ إِ َّن‬

Artinya : Dan dirikanlah Shalat. Sesungguhnya Shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar.

Contohnya larangan disertai ta’lil dalam firman Allah Swt. surah Al-Isra ayat 32:

ِ َ‫الزََن إِنَّه َكا َن ف‬


‫اح َشةً َو َساءَ َسبِ ًيَل‬ ُ ِ ‫َوََل تَ ْقَربُوا‬

Artinya : Dan janganlah kamu mendekati Zina. Sesungguhnya Zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.

Ayat di atas menjelaskan ilat diperintahkan nya Shalat yaitu untuk mencegah
perbuatan keji dan munkar. Dan juga menjelaskan 'ilat diharamkannya perbuatan

7.Dr.H.Andriyaldi,M.A. Teori istqra’ imam syatibi dan implikasi terhadap ushul Fiqh, hal 43-44.

3
Zina di mana ia dipandang sebagai perilaku keji (fahsyah). Di samping itu akibat zina
juga menimbulkan efek berbahaya lainnya baik secara moral, kesehatan, dan garis
keturunan. Manakala seseorang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Swt.
Dengan demikian, maka semua bentuk perintah di dalam Al-Quran dan Hadis Nabi
saw. merupakan cara untuk mengetahui maqashid syariah. Bentuk-bentuk
perintah tersebut mencakup perintah untuk dilaksanakan (thalab al-fi'liy) dan
perintah untuk dijauhi (thalab al-tarkiy). Persoalan ini banyak disinggung dalam
ranah ushul Fiqh ketika membahas dilalah al-fazh (tunjukan makna teks)

B. Melalui Metode Istiqraiy (Metode Induktif)

Secara sederhana istiqraiy (metode induktif) dapat diartikan dengan metode


yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal yang khusus ke yang
umum. Istiqraiy : Melakukan pengamatan terhadap perilaku syariat, Cara ini dibagi
menjadi dua8

1. Pengamatan atas hukum-hukum yang telah diketahui 'ilatnya,

yaitu 'ilat-'ilat hukum yang telah ditetapkan oleh ulama ushul. Dengan cara ini,
akan dengan mudah disimpulkan maksud-maksud yang terkandung di dalam
hukum-hukum tersebut secara umum. Sebagai contoh, ketika diketahui bahwa 'ilat
dari larangan meminang wanita yang berada dalam pinangan orang lain atau
menawar barang yang ditawar orang lain adalah karena menghalangi seseorang
untuk memiliki apa yang dikehendakinya dapat menyebabkan permusuhan dan
kebencian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa maqshad syar’i-nya adalah
terjaminnya keberlangsungan persaudaraan antar kaum muslimin. Sehingga dapat
dipahami kemudian, ketika pengkhithbah ataupun penawar pertama
mengurungkan niatnya, larangan itu tidak berlaku lagi.

2. Dengan mengamati dalil-dalil hukum yang mempunyai kesamaan 'illat.

Melalui cara ini, akan diketahui bahwa 'illat itu merupakan maqshad yang
diinginkan Syari'. Sebagai contoh : 'ilat larangan menjual barang yang tidak berada

8.Dr.H.Andriyaldi,M.A. Teori istqra’ imam syatibi dan implikasi terhadap ushul Fiqh, hal 49-51

4
dalam genggaman penjualnya (yang belum menjadi miliknya) adalah supaya
barang-barang tersebut tetap tersedia dan beredar di pasaran. Demikian juga
larangan penimbunan barang di mana 'illat-nya adalah supaya tidak menyebabkan
sedikitnya stok barang di pasar. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyediaan stok
barang agar tetap beredar di pasar dan memudahkan orang untuk mendapatkannya
menjadi maqashid dalam hukum ini. Demikian pula banyaknya perintah untuk
memerdekakan budak menunjukkan bahwa maqashid sebenarnya adalah
tercapainya kebebasan.

Penerapan metode istiqra'iy ini oleh Imam Syatibi dan Imam ibnu 'Asyur
mendapat perhatian yang sangat besar, Bahkan jika diteliti lebih lanjut bahwa
dasar-dasar filosofis ajaran Islam yang tertuang dalam konsep maqashid syariah
tidak terlepas dari peran pendekatan istiqra'iy.

Sebagai contoh adalah ucapan imam syaitibi di dalam al-Muwafaqat :

Yaitu : Yang harus dijadikan pegangan (disepakati) setelah kami melakukan istiqra'iy
bahwa tujuan semua ajaran Islam adalah untuk kemaslahatan semua hamba-Nya.

Yaitu : Tujuan syari' dalam menetapkan syara' adalah untuk melanggengkan tiga
prinsip pokok; aspek dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat.

Apa yang dikemukakan oleh Imam Syatibi memberi penjelasan bahwa kepada
kita bahwa kajian istiqraiy dalam bidang ilmu maqashid lebih luas bila dibandingkan
dengan ilmu ushul fiqh.

Demikian juga Imam ibnu 'Asyur, ia memiliki perhatian yang sangat besar
terhadap istiqra'iy sebagai salah satu jalan atau cara mengetahui maqashid
syariah. Bahkan Imam ibnu 'Asyur menempatkan istiqra'iy dalam urutan pertama
untuk mengetahui maqashid syariah. Ini tentunya berbeda dengan Imam Syatibi
yang menempatkan amar dan nahyi sebagai urutan pertama.

Metode-metode yang diuraikan di atas jika dilihat dari sumbernya adalah dari
amar dan nahyi yang terkandung di dalam Alquran dan Sunnah Nabi saw. Persoalan
al-maskut 'anhu sesungguhnya adalah konsekuensi logis ketika tidak adanya amar

5
dan nahi itu sendiri. Hanya saja dilakukan rincian oleh ulama maqashid bertujuan
memberikan kemudahan di dalam memahaminya. Metode yang lainnya untuk
mengetahui maqashid syariah adalah memberikan pemetaan, sebagai contoh;
Maqashid ashliyyah dan thabi'iyyah atau maqashid 'ammah dan khasshah serta
juz'iyyah ('ilat hukum).

C. Melalui Atsar Sahabat Nabi saw. 9

Sahabat Nabi adalah orang yang merasakan dan mengalami gelombang


pertama selama proses pewahyuan kepada Nabi Muhammad saw. Mereka adalah
orang-orang yang sangat memahami ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi saw.
melalui asbabunnuzulnya suatu ayat. Di samping itu, mereka adalah orang-orang
yang memahami latar belakang sabda-sabda Nabi saw. (Asbabul wurud). Sehingga
dalam pandangan para sahabat Nabi saw. sesungguhnya tidak ayat-ayat Al-Quran
atau Hadis Nabi saw. yang bertentangan satu sama lainnya. Kesan adanya kontra
pemahaman (ta'arudh atau mukhtalaf) itu hanya muncul di era-era setelah mereka.

Dalam konteks ini, Syaikh Al-Islam Imam ibnu Taimiyyah menjelaskan tentang
keunggulan sahabat-sahabat Nabi saw. Mereka adalah orang-orang yang paling
mengetahui Hadis Nabi, perjalanan hidup, maksud ucapan-ucapan dan keadaan
Nabi saw."

Kedalaman pemahaman sahabat Nabi saw. juga tercermin terkait dengan sikap
mereka terhadap nash-nash yang ada. Mereka bukanlah orang-orang yang berhenti
makna lahir sebuah ayat atau Hadis semata, namun juga memahami makna ayat
lebih dalam. Hal ini banyak kita temukan di dalam berbagai ijtihad mereka baik
ketika Nabi hidup apalagi setelah Nabi wafat. Dalam konteks ini Imam ibnu
Taimiyyah menegaskan : “Fikih Para Sahabat RA terlihat di mana mereka juga
mempertimbang- kan makna-makna yang terkandung dibalik lafaz yang ada, tidak
hanya mengambil makna lahir sebuah lafaz."

9.Dr.H.Andriyaldi,M.A. Teori istqra’ imam syatibi dan implikasi terhadap ushul Fiqh, hal 46-47

6
Hal senad juga dijelaskan oleh muridnya Imam ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah di
dalam i’lam al-Muwaqqi'in yaitu : "Sahabat Nabi adalah orang-orang yang sangat
memahami maksud ucapan Nabi dan mengamalkannya. Mereka adalah orang yang
telah terbiasa memahami maksud dan tujuan ucapan Nabi dan mereka tidak
pernah melenceng dari maksud ucapan Nabi tersebut. Mengetahui maksud ucapan
seseorang adakalanya lewat keumuman cakupan sebuah lafaz teks dan
adakalanya lewat keumuman 'ilat sebuah teks. Yang pertama adalah orang yang
hanya memahami teks sebatas apa yang diinginkan teks (arbab al-fazh). Sementara
orang yang kedua adalah orang mempertimbangkan makna lebih jauh di samping
makna yang ditunjuk oleh teks."

D. Melacak Al-Maqashid Al-Ashliggah dan Maqashid Al-Thaba'iygah 10

Di antara pembagian atau kategori maqashid syariah adalah apa yang disebut
dengan Al-maqashid Al-ashliyyah dan Al-maqashid al-tabi'iyyah. Al-maqashid Al-
ashliyyah adalah tujuan pokok dan mendasar dari ajaran Islam itu sendiri.
Sementara Al-maqashid al-tabi'iyyah fungsinya menyempurnakan tujuan pokok
daripada ajaran Islam itu sendiri. Dengan mengetahui Al-maqashid Al-ashliyyah,
maka dengan sendirinya secara otomatis Al-maqashid Al-ashliyyah akan mudah
diketahui. Mengetahui Al-maqashid Al-ashliyyah dapat diketahui dengan merujuk
atau mengaitkan hukum Islam kepada salah satu dharuriyat al-khamsu sebagai
Pancasila maqashid syariah yang telah diformulasikan oleh ulama maqashid, Dua
contoh berikut dapat memperjelas hal ini:

1. Al-maqashid Al-ashliyyah dari ibadah shalat adalah menjaga keberagamaan


seseorang (hifdzu ad-din) dan shalat berada dalam ranah ta'abbudiy. Tujuan pokok
ini terbaca lewat firman Allah Swt. “ dan dirikanlah Shalat (Al-Baqarah: 143). Untuk
memperkuat dan menyempurnakan tujuan asli atau tujuan pokok ini, maka syara'
memperjelas tujuan lain ibadah Shalat yaitu : berupa terhindarnya seseorang dari
perbuatan keji dan munkar (Al'Ankabut: 45) dan terwujudnya ketenangan jiwa (At-
Thoha: 14) adalah di antara tujuan Al-maqashid al-tabi'iyyah yang berfungsi

10.Dr.H.Andriyaldi,M.A. Teori istqra’ imam syatibi dan implikasi terhadap ushul Fiqh, hal 47-49

7
sebagai penguat dan penyempurna dari tujuan aslinya. Bahkan jika tujuan Al-
maqashid al-tabi'iyyah ini tidak terwujud, maka terjadilah ketimpangan dari makna
Shalat yang sesungguhnya.

2. Al-Maqashid Al-ashliyyah dari pernikahan adalah untuk melanjutkan keturunan


(hifdzu al-nasl). Adapun tujuan penyempurnanya (Al-maqashid al-tabi'iyyah)
adalah terwujudnya kebahagiaan dan ketenangan hidup dalam bentuk sakinah,
Mawaddah dan Rahmah (Al-Rum: 21). Karena itu mayoritas ulama memandang
tidak sahnya pernikahan mut'ah dan muhalil. Di samping itu, pernikahan yang
bersifat terpaksa (al-ikhrah) dari kedua orang tua akan berefek kepada
terancamnya Al-maqashid al-tabi'iyyah.

penerapan tujuan maqashid Al-ashliyyah dan tujuan Al-maqashid al-tabi'iyyah


ini juga bisa diperluas terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan Al-
Maslahah Al-mursalaah Artinya terhadap persoalan-persoalan yang tidak
dijelaskan secara langsung oleh nash Al-Qur'an dan Hadis Nabi saw. Aspek ini
merupakan ranah ijtihad. Peraturan lalu lintas dan peraturan atau undang-undang
kepemilikan adalah di antara contoh yang bisa dikembangkan dalam konteks ini.

E. Melalui Al-Maskut 'Anhu ( Persoalan yang Didiamkan Syara' ) 11

Persoalan yang didiamkan syara' maksudnya adalah hukum-hukum yang tidak


dijelaskan secara tegas oleh nash yang ada, baik di dalam Al-Quran maupun Hadis
Nabi saw. Dalam istilah ushul fiqh persoalan yang tidak ditetapkan dan didiamkan
oleh syara disebut dengan al-maskut ‘anhu. Persoalan yang didiamkan oleh syara'
tersebut terbagi ke dalam dua bentuk yaitu : (1) al-maskut 'anhu dalam persoalan
duniawi; (2) al-maskut 'anhu dalam persoalan ta'abbudiy (ibadah).

1. Al-Maskut 'Anhu dalam Persoalan Duniawi

Aspek ini terkait dengan persoalan-persoalan dunia yang tidak dijelaskan oleh
nash secara tegas dan langsung. Faktor-faktor situasi dan kondisi belum
menghendaki terwujudnya hukum terkait al-maskut 'anhu ini pada masa Nabi saw.

11.Dr.H.Andriyaldi,M.A. Teori istqra’ imam syatibi dan implikasi terhadap ushul Fiqh, hal 44-45

8
(era wahyu). Di samping itu kemajuan informasi dan teknologi belum menuntut
adanya hukum-hukum baru. Aspek ini banyak terkait dalam kajian al-mashlahah al-
mursalah.

Di era sahabat setelah wafatnya Nabi saw. eksistensi al-maskut 'anhu ini sudah
mulai muncul dalam beberapa kasus. Salah satu contohnya adalah pengumpulan
dan penulisan kembali ayat-ayat Al-Qur'an yang berserakan dalam berbagai
lembaran (suhuf) di masa khalifah Abu Bakar Shidiq. Gagasan ini pada awalnya
mengalami tarik-ulur antara Abu Bakar dan Umar bin Khatab karena mereka
khawatir melakukan apa yang belum dilakukan oleh Nabi saw. Artinya mereka
khawatir melakukan sesuatu yang tidak ada nash-nya secara tegas dan langsung.
Apa yang dilakukan oleh sahabat Nabi saw. dalam bentuk pengumpulan ayat-ayat
Al-Qur'an dan dilanjutkan dengan penyatuan rasm (tulisan) di era sahabat Usman
bin Affan tidak ada nash Al-Qur'an dan Hadis yang menjelaskan secara langsung
dan tegas. Inilah yang dimaksud dengan al-maskut 'anhu dalam aspek duniawi.

Dalam konteks sekarang persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan


orang banyak yang bersifat dharuriy jumlahnya banyak sekali. Aturan rambu-rambu
lalu lintas, pencatatan pernikahan, berbagai syarat dan aturan dalam kepemilikan
dan ujian adalah di antara contoh-contoh al-maskut 'anhu yang mengandung
Maslahah untuk orang banyak. Aspek ini sangat erat kaitannya dengan lapangan
ijtihad persisnya dalam aspek Maslahah mursalah.

2. Al-maskut 'anhu dalam persoalan ta'abbudiy ( ibadah )

pengertiannya yaitu bahwa tidak adanya nash yang tegas adalah nash tidak
adanya perintah untuk melakukannya. Seperti tidak adanya nash secara tegas tidak
adanya azan dan iqamat di dalam shalat dua hari raya, khusuf, dan istisqa.
Pelanggaran terhadap aspek ini oleh sementara ulama disebut bid'ah dan dhalalah
(sebuah kesesatan).

9
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Romli SA, M.Ag. Studi perbandingan ushul Fiqh.


Syekh. Abdul Hamid Hakim. Kitab as-sullam.
Dr.H.Andriyaldi,M.A. Teori istqra’ imam syatibi dan implikasi terhadap
ushul Fiqh.

10

Anda mungkin juga menyukai