Anda di halaman 1dari 14

Peter Carey

Emeritus fellow di Trinity College, Oxford dan guru besar tamu pada Fakultas Ilmu Budaya UI (2013-
sekarang

Juru selamat saya sewaktu masih menjadi mahasiswa S2 dan melakukan riset di
Oxford pada pertengahan 1970-an adalah Profesor Merle Ricklefs (1943-2019). Di
masa itu ia mengajar sejarah Asia Tenggara di School of Oriental & African Studies
(SOAS) di London (1969-1979). Pada Desember 1979 Merle pindah ke Australia di
mana ia tinggal untuk sisa karier akademisnya. Pertama-tama mengajar di
Monash University, Melbourne (1980-1993), lalu di Australian National University
(ANU), dan akhirnya kembali ke Melbourne. Pada Oktober-Desember 1983 dia
berada di Oxford selama tiga bulan sebagai Visiting Fellow di All Souls College.
Saya pertama kali bertemu dengannya di Yogyakarta pada 1972-1973 ketika saya
menjadi mahasiswa S2 yang masih hijau dan tengah berjuang untuk mendapatkan
gelar Ph.D. dari Oxford. Penelitian saya bertajuk "Pangeran Dipanagara and the
Making of the Java War, 1825-30". Kala itu saya tinggal di dalem (kediaman
pangeran) milik Pangeran Tejokusumo (1893-1974) dan belajar bahasa Jawa. Saya
ragu bahwa saya telah memberikan kesan yang baik kepada Merle dalam
pertemuan kami yang pertama. Saya merasa sangat ambisius dan tidak siap untuk
melakukan penelitian akademis yang serius. Sementara kesan
pertama Merle terhadap saya bisa dibaca dalam buku Urip iku Urub: Untaian
Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey (2018: xii-xviii).
Persahabatan kami pun berkembang. Setelah disertasinya mengenai Sultan
Yogyakarta yang pertama, Mangkubumi (bertakhta 1749-1792), berhasil
dipertahankan, saya seperti mendapat sahabat sejiwa. Disertasi Merle diterbitkan
pada Mei 1974 dengan judul Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749–1792; A
history of the division of Java.
Saya masih ingat ketika pertama kali membaca buku itu. Saya duduk-duduk di
kebun rumah ibu saya di Surrey, Inggris selama dua hari di musim panas yang
sangat berkesan pada Juni dalam tahun yang sama sambil membaca buku Merle.
Buku itu saya baca dari depan sampai belakang tanpa berhenti. “Buku ini benar-
benar luar biasa," saya katakan kepada diri saya sendiri. “Dan persis apa yang ingin
saya lakukan untuk penelitian saya tentang Diponegoro!"
Sejak saat itu Merle menjadi suar dan patokan bagi saya. Dia menetapkan standar
kualitas untuk penelitian ilmu sejarah. Narasi sejarah yang disusunnya dengan
sangat telaten berdasarkan arsip kolonial Belanda dan babad Jawa menjadi "standar
emas" untuk penelitian tentang Jawa. Ini adalah prestasi yang seharusnya menjadi
cita-cita bagi semua sejarawan yang menekuni Jawa, namun jarang sekali
dicapai; terutama di Indonesia, di mana nilai sejarah direndahkan oleh pekerjaan
proyekan yang cenderung lebih dipentingkan daripada penelitian arsip yang telaten.
Baca juga: Merle Calvin Ricklefs, Guru Semua Mahasiswa Sejarah se-Indonesia

Tahun-tahun pun berlalu dan kebersamaan yang erat pun tumbuh di antara kami.
Merle selalu menjadi senior saya dalam status dan kedudukan profesional—dia
adalah supervisor informal dan penguji gelar doktor saya di Oxford (November
1975). Saya membayangkan persahabatan kami seperti persahabatan Pangeran
Mangkubumi dengan Raden Mas Said (Mangkunegoro I) pada waktu Perang
Suksesi Jawa yang ketiga (1746-1757). Kelak, di masa menjelang ia meninggal,
Merle merampungkan Soul Catcher; Java’s Fiery Prince Mangkunegara I, 1726-
1795 (2018) yang di dalamnya berisi deskripsi mengenai hubungan yang rentan
antara Mangkubumi dan Raden Mas Said di akhir Perang Giyanti (1749-1757).
Tapi untunglah, tidak muncul jurang yang membelah persahabatan saya dan Merle
seperti yang memisahkan penguasa Yogyakarta pertama tersebut dengan
sekutunya yang sulit ditebak. Sebaliknya, persahabatan kami pun menjadi semakin
erat dan mulai menemukan berbagai kesamaan yang aneh sepanjang hidup kami.
Misalnya, kami berdua mengalami kebahagiaan sekaligus kesedihan dalam memiliki
anak-anak yang difabel dan harus meninggalkan kami sebelum waktunya. Kami juga
ditakdirkan membangun karier profesional sebagai sejarawan Asia Tenggara ketika
minat dan pendanaan terus menyusut setelah berakhirnya Perang Vietnam Kedua
(1964-1973). Kesamaan terakhir, kami berdua memasuki dunia sejarah Jawa
melalui penelitian biografi yang mendalam tentang dua tokoh terbesar yang hidup di
akhir zaman pra-kolonial Jawa: Mangkubumi (1717-1792; bertakhta 1749-1792) dan
Diponegoro (1785-1855).
Baca juga: Inilah Politikus Ulung Abad ke-18: Hamengkubuwana I

Dunia Jawa di Tejokusuman


Dua pengalaman penting lain sehubungan dengan pendidikan saya sebagai
sejarawan Asia Tenggara dan Jawa adalah ketika saya menjadi mahasiswa S2 di
Cornell University pada 1969-1970 dan dua tahun berikutnya yang saya habiskan di
Jawa. Setelah tiga bulan meneliti di Arsip Nasional Republik Indonesia (Oktober-
Desember 1971), saya kemudian tinggal secara gratis di kediaman pangeran di
Tejokusuman (1971-1973). Induk semang saya, Ibu Kusumobroto/Raden Ayu
Sriningdyah, menantu perempuan Gusti Tejokusumo, tidak pernah menarik uang
sewa.
Sewaktu saya tinggal di Tejokusuman, saya benar-benar larut dalam budaya Jawa.
Rumah yang saya tinggali juga menjadi sanggar tari drama dan musik (karawitan)
Krida Beksa Wirama (1918), didirikan oleh Tejokusumo (1893-1974), putra
Hamengkubuwono VII (bertakhta 1877-1921). Di sana setiap hari ada latihan menari
dan musik gamelan mengalir di seantero ndalem bagaikan—meminjam kata-kata
Claude Debussy (1862-1918), komposer Perancis yang pernah menggubah musik
yang terinspirasi dari gamelan—"sinar rembulan dan air yang mengalir". Setiap akhir
minggu kadang-kadang digelar sendratari besar-besaran yang memperluas
pengertian saya mengenai jenis tarian dan drama tradisional Jawa.
Yang sangat menarik dari Tejokusuman: tempat ini adalah sebuah komunitas
tersendiri. Segala jenis kelas dan tingkat sosial Jawa ada di sini. Selain anggota
bangsawan keraton keluarga inti Tejokusumo, juga ada kerabatnya yang lebih luas,
di antaranya adalah cucunya, seorang ahli agronomi Universitas Gajah Mada,
Prof. Dr. Tejoyuwono Notohadiprawiro (1930-2012), yang juga tetangga saya. Ada
pula orang-orang yang berasal dari latar belakang sosial yang lebih sederhana.
Pada zaman dulu orang-orang itu dikenal sebagai ‘magersari’, pegawai keluarga
atau pelayan “numpang", yang tinggal di rumah sederhana di kompleks kediaman
seorang bangsawan Jawa. Banyak orang seperti ini yang tinggal di perkebunan milik
Diponegoro di Tegalrejo, sebagian bahkan ikut bertugas sebagai pengawal pribadi.
Walau zaman pengawal pangeran bersenjata sudah lama berlalu ketika saya tinggal
di Tejokusuman, kediaman ndalem membuat saya menyadari tentang dunia sosial
yang multitafsir yang mirip dengan waktu Diponegoro tinggal di Tegalrejo sebelum
pecahnya Perang Jawa.
Baca juga: Patok, Tombak dan Meledaknya Perang Jawa

Sebuah kejadian dengan salah satu keluarga magersari ini menggarisbawahi


pentingnya memelihara hubungan sosial yang harmonis. Seorang putra yang masih
remaja dari keluarga tersebut telah membantu saya dalam mengerjakan pekerjaan
rumah tangga di kediaman saya yang sederhana. Tetapi dia kemudian terlibat kasus
pencurian yang ternyata cukup pelik. Reaksi naluriah saya adalah untuk
melaporkannya ke pihak berwajib. Namun bukannya menyelesaikan masalah,
keterlibatan polisi malah memperkeruh keadaan.
Akhirnya, seorang dukun muda, yang dipanggil untuk mencari keberadaan barang
milik saya yang hilang dan memperbaiki hubungan sosial, menyarankan agar saya
menghentikan proses hukum dan mengadakan slametan. Ini saya lakukan. Semua
yang tinggal di Tejokusuman dari segala golongan sosial pun diundang. Dengan
cara demikian semua permasalahan terselesaikan, termasuk barang saya yang
hilang bisa kembali dan hubungan sosial pun menjadi semakin erat. Foto di bawah,
yang menggambarkan Ibu Kusumobroto dan putranya (Mas Wid) menghadiri
perjamuan tersebut sebagai cerminan solidaritas keluarga, adalah bukti mujarab
jurus slametan ini.
Baca juga: Rebo Wekasan dan Tradisi Penolak Bala di Indonesia

Kebaikan Orang-Orang tanpa Pamrih


Sewaktu saya tinggal di Tejokusuman saya juga diperkenalkan ke dunia kebatinan
Jawa melalui persahabatan saya dengan salah satu pendiri Paguyuban Sumarah di
Yogyakarta, Pak Suhardo. Karena saya telah menulis tentang pengalaman saya
melakukan kontak secara tidak sengaja dengan dunia leluhur Jawa dalam Urip
iku Urub (hlm. 31-38), tulisan ini bukanlah tempat untuk merenungkan pengaruh
non-akademis dalam pembentukan intelektual saya sebagai seorang Jawanis.
Apa pun pendapat orang soal hubungan dengan dunia spiritual seperti ini, saya
yakin mantan dosen pembimbing saya di Oxford, Richard Cobb, akan dengan
sepenuh hati mendukung praktik ini. Bagi Cobb, pengalaman-pengalaman ini akan
dianggap rite de passage yang penting untuk membangun "identitas kedua" saya
sebagai sejarawan Jawa modern.
Sebab itulah saya akan lebih banyak bercerita tentang orang-orang yang secara
langsung telah membantu saya dalam artian yang lebih praktis—secara akademis,
bahasa, dan sehubungan dengan penelitian. Ada empat orang seperti ini di
Indonesia sewaktu saya masih menjadi mahasiswa peneliti/S2 pada 1971-1973 dan
1976-1977. Sampai sekarang pun saya masih merasa berutang budi pada mereka
semua.
Baca juga: Memutihkan Sejarah dengan Melenyapkan Dokumen Negara

Ada dua orang yang telah membantu saya secara materiel dalam penelitian arsip
dan naskah. Yang pertama adalah Pak Sundoyo, seorang asisten ahli kearsipan
yang sudah lama bekerja di ANRI, yang berada di gedung arsip lama yang indah di
Jalan Gajah Mada no.111, Jakarta Pusat. Gedung ini adalah bekas kediaman
(buitenplaats/vila di luar tembok kota Batavia) Gubernur Jenderal Reynier de Klerck
(1710-1780; menjabat, 1777-1780). Pak Sundoyo pernah bekerja di bawah arsiparis
Belanda yang terakhir, Dr. Frans Rijndert Johan Verhoeven (1905-1987; menjabat,
1937-1942), dan memiliki pengetahuan yang luar biasa mengenai arsip kolonial.
Sewaktu saya melakukan penelitian arsip (1971, 1976-1977, 1978), Pak Sundoyo
sangat ahli hingga, meskipun tidak tersedia alat bantu untuk mencari arsip-arsip
kolonial dan karesidenan dan saya tidak bisa menggunakan sistem indeks (klapper)
kearsipan dari masa penjajahan Belanda, saya cukup memberikan nomor referensi
resmi (dari zaman penjajahan dulu) untuk dokumen yang saya cari kepadanya.
Dalam waktu singkat, seperti cuma dalam sekejap mata, dokumen itu sudah ada di
meja saya. Dokumen yang saya minta biasanya adalah dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan Besluiten van den Gouverneur-Generaal buiten/in
rade (Keputusan-keputusan yang diambil Gubernur-Jenderal dengan atau tanpa
kehadiran Dewan Hindia atau Raad van Indië), Kabinets brieven (surat-surat dari
kabinet di Den Haag), atau Memorie van Overgave (Laporan Serah Terima
Jabatan).
Bahkan Pak Sundoyo sering kali kembali dari depot arsip sembari membawa
berbagai macam dokumen yang berhubungan walau tidak saya minta, yang dia pikir
mungkin menarik untuk saya baca. Ini adalah sebuah layanan yang sangat pribadi
dan spesial. Sekarang saya tidak akan bisa mendapat layanan seperti ini dan waktu
itu pun hanya bisa terjadi karena saya—untuk sebagian besar waktu ketika saya
mengerjakan penelitian di ANRI—adalah satu-satunya pembaca di sana. Sebuah
daftar berisi sebagian besar dokumen yang ditemukan Pak Sundoyo bisa disimak
dalam laporan saya yang dimuat di jurnal Indonesia edisi 25 (April 1978: 115-150)
bertajuk “The Residency Archive of Jogjakarta" (PDF).
"Malaikat pelindung" saya yang kedua adalah Bupati Bantul (1951-1955) yang sudah
pensiun, K.R.T. Pusponingrat (m. 1985). Saya mempersembahkan buku saya, The
Archive of Yogyakarta. Vol. I: Documents relating to politics and internal court
affairs (1980), kepadanya. Dia memberikan sumbangan yang sangat besar untuk
penelitian saya dengan melakukan romanisasi hampir 5.000 halaman naskah
beraksara Jawa. Termasuk di dalamnya adalah semua materi dari arsip Yogyakarta
yang dijarah Inggris setelah runtuhnya keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812 dan
kini berada di British Library (London), juga semua babad Jawa yang penting
sehubungan dengan Diponegoro.
Baca juga: Sejarah Penjarahan Manuskrip Keraton Yogyakarta oleh Inggris

Yang disebut terakhir itu juga termasuk riwayat diri sang pangeran yang ia tulis di
Manado (1831-1832), Kitab Kedhung Kebo, yang ditulis atas perintah musuh
Diponegoro, Raden Adipati Cokronegoro I (1779-1862), bupati Purworejo pertama
pasca-Perang Jawa (menjabat 1831-1856); Babad Diponegoro versi keraton yang
ditulis di Surakarta oleh seorang pujangga-dalem, mungkin Sosrodipuro II (sekitar
1780-1844); dan tiga jilid Babad Ngayogyakarta—mencakup keseluruhan periode
mulai 1792, kala Hamengkubuwono II naik takhta, hingga 1860-an—yang
ditulis keponakan Diponegoro, Pangeran Suryonegoro (1822-sekitar 1886), yang
meraih medali emas Belanda sebagai sastrawan Jawa (1875), dan mantan
komandan pasukannya di Banyumas, Basah Mahmud Gondokusumo (1810-sekitar
1885; pasca-1847, Raden Adipati Danurejo V di Yogyakarta, menjabat 1847-1879).
Begitu banyaknya materi berbahasa Jawa yang sudah diromanisasi oleh Pak Puspo
untuk saya, setiap jilid memiliki indeks dan pengantar berbahasa Inggris yang saya
tulis sendiri. Kelak, materi ini terbukti menjadi sumber yang sangat berharga ketika
saya menulis disertasi pada 1974-1975. Saya juga memiliki tiga salinan babad yang
telah diromanisasi dan dijilid dengan sangat rapi oleh Percetakan Kanisius di
Yogyakarta dan dibagikan ke perpustakaan-perpustakaan di Leiden dan Australia
agar tersedia untuk para pelajar di seluruh dunia. Tiga jilid salinan naskah-naskah ini
dibuat dan diedarkan oleh Perpustakaan Australian National University, Koninklijk
Instituut Library (sekarang Universiteitsbibliotheek Leiden/ UBL), dan satu jilid
lengkap untuk saya sendiri. Pak Puspo menyimpan satu salinan yang tidak dijilid
untuk dirinya sendiri.
Seperti Pak Sundoyo di ANRI, yang saya berikan sebuah hadiah sederhana
berupa kemeja putih untuk Hari Raya Idulfitri pada Oktober 1976, Pak Puspo
membantu saya karena ia tertarik dengan, dan mencintai, sejarah Jawa. Bukan
untuk keuntungan finansial. Jadi walau dia tidak dirugikan dan saya membayar untuk
sebuah mesin tik dan semua kertas dan alat tulis lain yang ia gunakan, keuntungan
finansial bukanlah penggerak utama dari kerja transliterasinya.
Sumbangan pribadi dari kedua bapak Jawa yang luar biasa ini memberikan saya
kekaguman abadi atas kehormatan yang senyap, kesopanan generasi Jawa yang
lebih tua, dan semangat setia mereka. Kerja-kerja kedua beliau itu benar-benar
perwujudan dari pepatah lama "sepi ing pamrih, ramé ing gawé, memayu hayuning
buwono" (membantu orang lain dengan tulus tanpa pamrih agar dunia lebih indah).
Artikel lainnya:

 Refleksi Peter Carey (1): Mengapa Saya Jatuh Cinta kepada Sejarah?
 Refleksi Peter Carey (2): Bagaimana Saya Digembleng di Oxford?

==========
Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris di Langgar.co. Penulisnya
memercayakan penerjemahan artikel dalam bahasa Indonesia kepada Feureau
Himawan Sutanto dan pembelahan menjadi 5 bagian kepada Muhammad Anta
Kusuma untuk ditayangkan secara berkala di Tirto.id.

Refleksi Peter Carey (1): Mengapa Saya Jatuh Cinta kepada Sejarah?
Pada 12 Juni 2020 sahabat dan kolega saya, Akhlis Syamsal Qomar dari Madiun, mengirim
pesan WhatsApp kepada saya. Ia meminta saya merenungkan tentang bagaimana saya belajar
keterampilan untuk menjadi seorang sejarawan dan siapa saja yang paling berpengaruh dalam
perkembangan intelektual saya selama mengabdi kepada Clio. Sebenarnya ini adalah
permintaan yang sulit dipenuhi dan saya cuma bisa memberikan pengantar yang sederhana.

Pertama-tama izinkan saya untuk memulai dengan memberikan sedikit latar belakang.
Ketertarikan saya terhadap sejarah dan hal-hal bersejarah dimulai jauh sejak saya masih kecil,
tidak lama setelah saya membaca novel sejarah sewaktu saya masih duduk di bangku sekolah
dasar di Temple Grove, dekat Uckfield, East Sussex (1955-1961).

Sejak dulu saya selalu tertarik dengan sejarah. Saya punya daya khayal yang tinggi dan
melahap novel-novel tentang Perang Salib yang ditulis Marguerite Yourcenar (1903-1987),
perempuan pertama yang diangkat sebagai salah satu “dewi” kesusastraan Perancis di
Académie française. Saya juga memiliki imajinasi bergambar yang kuat—seakan-akan bisa
melihat segala yang saya bayangkan dalam bentuk tiga dimensi, seperti sebuah film sedang
diputar di depan mata saya.

Saya percaya masa lalu tidak pernah mati. Ia masih ada, namun tenggelam dalam kehidupan kita. À
la Recherche du Temps Perdu (1913) karya Marcel Proust (1871-1922) menjadi batu ujian bagi saya
karena kemampuannya untuk membangkitkan kembali berbagai dunia secara lengkap melalui suara,
bau, dan rasa. Dalam novel yang diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Remembrance of
Things Past itu, Proust menulis bahwa semua orang yang hidup memiliki appel atau ‘panggilan’—
panggilan saya tentu saja adalah sejarah.

Saya bisa saja menjadi pembuat film atau penulis novel, tapi saya lebih menyukai memoir mengenai
kehidupan nyata dan bukannya novel-novel karena bagi saya kehidupan itu lebih aneh daripada
cerita rekaan. Saya juga dengan teguh memegang kata-kata William Faulkner (1897-1962) yang
terkenal: “masa lalu tidak mati—bahkan masa lalu belum berlalu!” (‘the past isn’t dead—it isn’t even
past!’)

Latihan Pertama sebagai Sejarawan: Winchester College


“Pembaptisan api” saya menjadi seorang sejarawan pemula sebenarnya terjadi kala saya berumur 15-
16 ketika masih duduk di bangku SMA. Saya belajar di sekolah swasta yang disebut ‘public
school’ (sekolah umum) di Inggris, yaitu Winchester College. Di sekolah itu saya diajar seorang guru
sejarah yang sangat luar biasa. Namanya Mark Stephenson.

Saya mempersembahkan buku yang saya tulis pada 1992, The British in Java, 1811-1816; A
Javanese Account, bagi Mark. Pada halaman persembahan buku itu tertulis: “For Mark Stephenson,
my history master at Winchester, who first inspired me with an interest in chronicles” (Untuk Mark
Stephenson, guru sejarah saya di Winchester, orang pertama yang memberikan inspirasi kepada saya
sehingga tertarik membaca babad).

Dia berhasil melakukannya dengan mengajari kami menulis makalah-makalah mengenai ‘Zaman
Edan’ (‘Time of Troubles’) atau perang sipil (1139-1154) pada masa kekuasaan raja Inggris, Stephen
(bertakhta 1135-1154)—perang yang dikenal di babad sebagai ‘Anarki’. Saya menulis makalah
dengan bersumber pada babad-babad berbahasa Latin dari masa itu, yakni (1) Gesta Regis Stephani,
sebuah babad yang ditulis pada pertengahan abad ke-12 oleh seorang penulis tanpa nama (tentunya
seorang rohaniawan, kemungkinan Uskup Robert dari Bath, bertugas 1136-1166), yang sangat pro-
Stephen; dan (2) Historia Novella oleh William dari Malmesbury (1095-1143), sejarawan Inggris
paling hebat pada pertengahan abad ke-12, yang sangat kritis terhadap sang raja dan mendukung
lawan utamanya.

Tentunya kami tidak diharuskan membaca babad-babad ini dalam bahasa Latin (yang tidak mungkin
saya lakukan karena buruknya pengetahuan bahasa Latin saya), namun kami diminta untuk membaca
terjemahan Inggrisnya secara saksama dan menarik kesimpulan kami sendiri dengan merujuk pada
naskah-naskah aslinya. Kami tidak diperbolehkan menyelinap kabur dan memeriksa karya sekunder
yang penting seperti karya Dom David Knowles (1896-1974), Regius Professor of History di
Cambridge (1954-1963), The Monastic Order in England, 943-1216 (1949), yang baru saja
diterbitkan kembali (1963) ketika saya belajar di Winchester. Jika kami melakukan itu, makalah-
makalah kami akan dirobek-robek dan dibuang ke tempat sampah.

Sebenarnya sesi pembelajaran bersama Mark rasanya sangat menegangkan. Itu karena kami pikir
tampangnya mirip dengan Heathcliff, karakter dalam novel Emily Brontë (1818-1848), Wuthering
Heights (1847). Novel itu diangkat ke layar lebar pada 1939 dan Heathcliff diperankan aktor
Laurence Olivier dengan rambut hitam dan pandangan mata tajam.

Namun pelajaran-pelajaran yang diberikannya selalu menyegarkan. Pelajaran ini bersifat kelas
pribadi. Kami satu per satu mendatangi ruang studinya di ‘College’—bagian sekolah yang paling tua
(abad ke-14) di gedung yang dibuat pada abad pertengahan untuk berdiskusi tentang sejarah abad
pertengahan—dan di ruangan tersebut biasanya tersedia sebuah baki yang berisi makan malamnya.
Jika tugas yang diberikannya dikerjakan dengan baik dan menghasilkan makalah berdasarkan naskah
Latin yang asli (yang tentu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris) dengan kesimpulan yang
masuk akal, maka si murid akan diundang untuk berbagi santap malam dengannya. Bila mencoba
berbuat curang dengan menggunakan karya sekunder, maka makalahnya akan dibuang ke tong
sampah!

Untuk seseorang yang berumur 16, ujian ala Mark benar-benar cobaan berat. Tapi itulah yang
mempersiapkan saya secara baik untuk berurusan dengan babad-babad Jawa tentang Perang Jawa dan
figur Pangeran Diponegoro (1785-1855) yang sama peliknya—bagaikan Heathcliff-nya Jawa.

Mempelajari sejarah Inggris abad pertengahan dan masa ketika takhta kerajaan Inggris
dipertandingkan oleh raja yang tidak becus, Stephen, dan Ratu Matilda (1102-1167), putri penguasa
sebelumnya, Henry I (bertakhta 1100-1135), juga menjadi persiapan yang sangat baik untuk
menafsirkan berbagai pergolakan politik berdarah dalam sejarah Jawa. Karena itu saya seperti sudah
memiliki “cermin sejarah” kala mempelajari Perang Suksesi Jawa Pertama (1704-1708) di mana
takhta Amangkurat III (1703-1708) yang penuh pertumpahan darah ditantang oleh pamannya,
Pakubuwono I (bertakhta 1704-1719); atau pertumpahan darah di keraton Yogyakarta sewaktu
Diponegoro tumbuh dewasa (1808-1812) dan keraton terbelah menjadi faksi yang
memihak Kerajan (Raja Putra Narendra—di kemudian hari menjadi Hamengkubuwono III, 1812-
1814) dan faksi Kasepuhan (Sultan Sepuh/HB II) pada masa kekuasaan Sultan kedua (1792-
1810/1811-1812/1826-1828).

Jadi inilah yang saya dapatkan dari pendidikan saya di Winchester College. Di sisi lain, sekolah itu
merupakan tempat api penyucian bagi saya karena di sini banyak terjadi kekerasan (perpeloncoan—
institutionalised bullying) dan waktu itu saya adalah seorang pemuda yang pemalu dan pendiam.
Namun untuk pertumbuhan saya sebagai seorang sejarawan, ini adalah masa yang penting—yang
menjadi dasar untuk pelatihan dan karier saya di kemudian hari sebagai sejarawan ahli Jawa karena
pengalaman ini menyadarkan saya akan pentingnya menghormati dan menggunakan sumber-sumber
primer. Tidak ada pendidikan lain yang saya kecap setelah itu baik di Oxford, Leiden, Cornell, atau
Yogyakarta yang sebanding dengannya.
Tumbuh di Burma Pasca-Penjajahan
Tentunya saya berpikir bahwa pengasuhan saya di Burma (Myanmar) sangat berpengaruh dalam
memberikan dorongan batin untuk mengarahkan minat akademis saya ke Asia Tenggara dan
Indonesia. Keluarga ibu dan ayah saya sudah lama berhubungan dengan Asia. Ibu saya, Wendy
(1915-2006), lahir di Shanghai dan tumbuh dewasa di Tiongkok antara 1915 dan 1935. Sementara itu,
ayah saya, Thomas Brian Carey (1910-1970), walau lahir di Liverpool, berasal dari keluarga leluhur
kami yang terkenal, William Carey (1761-1834), yang pernah menjadi misionaris Gereja Baptis di
Kolkata/Benggala Barat selama 40 tahun dan mengawasi penerjemahan Alkitab ke dalam 27 bahasa
India yang berbeda.

Sewaktu kami akhirnya kembali ke kampung halaman pada 1955, semua kerabat dekat keluarga kami
memiliki pengalaman yang sama di Asia, karena hampir semuanya adalah ‘kawan kolonial Burma’
(‘Old Burma hands’). Saya tumbuh di lingkungan kolonial akhir. Saya juga sangat beruntung ketika
memenangkan beasiswa English-Speaking Union (ESU) untuk mengejar gelar S2 di
Cornell University yang pada saat itu memiliki program studi Asia Tenggara yang luar biasa dengan
berbagai kesempatan untuk mempelajari bahasa-bahasa Asia Tenggara, terutama bahasa Indonesia.

Di situlah, di Ithaca, Upstate New York, saya memulai studi bahasa Melayu/bahasa Indonesia dengan
para penutur asli. Tahun itu juga adalah awal dari fokus khusus saya terhadap Indonesia dan saya
telah menulis dengan panjang lebar tentang hal ini dalam “Menyusuri Jalan yang Jarang Dilalui,
Sebuah Otobiografi Singkat” yang dimuat di buku Urip iku Urub: Untaian Persembahan 70 Tahun
Profesor Peter Carey (2019: 21-26).

Manusia Tak Kasat Mata: Oxford, Remaja, dan Dewasa


Sebenarnya saya tinggal di Oxford—dari usia remaja hingga dewasa—selama 42 tahun dari 1966-
2008. Pertama sebagai mahasiswa S1 yang mendapat Gelar Kehormatan (Honours Degree) dalam
bidang Sejarah Modern di Trinity College (1966-1969), lalu sebagai mahasiswa S2 (1973-75) (setelah
setahun di Cornell [1969-70] dan Leiden [1970-71], dan dua tahun di Indonesia, sewaktu saya tinggal
di Jakarta [Pasar Rumput] dan Tejokusuman, 1971-73); lalu sebagai Research Fellow di Magdalen
College (1974-79), di mana, selain menjadi asisten dosen, saya menyelesaikan disertasi dengan
judul Pangeran Dipanagara and the Making of the Java War, 1825-30 (di bawah bimbingan [1974-
1975] dan diuji oleh Merle Ricklefs, November 1975), dan kemudian sebagai Fellow dan Tutor di
Trinity College (1979-2008). Akhirnya saya pensiun dari Oxford pada Oktober 2008 setelah mengajar
di sana selama 34 tahun. Setelah itu saya menetap di Indonesia.

Keputusan tersebut membawa akibat penting dalam pertumbuhan saya sebagai sejarawan. Di Oxford,
kami memiliki lebih dari 100 orang sejarawan yang terdaftar di Fakultas Sejarah—yang terdiri dari 90
staf akademis yang permanen (di mana saya adalah salah satu di antaranya) dan lima belas statutory
professor dan reader (asisten profesor). Semuanya sangat mengesankan. Jelasnya kelemahan dari
semua ini yaitu di sana hampir tidak ada minat terhadap sejarah Asia Tenggara (apalagi sejarah
Indonesia) dan saya tidak pernah menemukan satu pun mahasiswa Indonesia yang datang untuk
mengejar gelar PhD di bidang sejarah, tapi ini semua dibuat sepadan salah satunya oleh kolega-kolega
saya yang luar biasa yang membuat saya terkesan dalam bidang mereka masing-masing.

Saya juga tidak bisa membayangkan bagaimana—seperti sekarang di salah satu universitas terkemuka
di Indonesia—berada di sebuah fakultas yang penuh plagiator dan sejarawan proyekan! Saya tidak
akan mau terus menjadi sejarawan dalam kondisi seperti itu, apalagi meniti karier akademis—saya
lebih baik menjadi guru sejarah SMA saja!

Refleksi Peter Carey (2): Bagaimana Saya Digembleng di Oxford?


Dosen utama dan pembimbing saya di Universitas Oxford adalah Richard Cobb (1917-1996),
seorang sejarawan ahli Perancis terkemuka. Ia selalu berbicara tentang pentingnya sejarawan
membangun "identitas kedua" di negara, masyarakat, dan era yang menjadi spesialisasinya.
Sebuah kebetulan yang sangat menyenangkan ketika artikel ini ditayangkan pada 14 Juli
2020, bertepatan dengan perayaan 231 tahun penyerbuan penjara Bastille yang menandai
dimulainya Revolusi Perancis.

Richard Cobb, yang pernah menjadi supervisor saya, mengambil perspektif wong cilik yang
dikembangkannya dalam disertasinya. Disertasi tersebut kemudian diterbitkan pertama kali
dalam bahasa Perancis (1961) dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Marianne
Elliot (1987) dengan judul The People’s Armies (The Armées Revolutionnaires: Instrument
of the Terror in the Departments, April 1793 to Floréal Year II). Bukunya yang lain,
seperti The Police and the People; French Popular Protest, 1789-1820 (1970), juga
mengambil perspektif yang sama. Pandangan Cobb yang sangat individual terhadap
penulisan sejarah dan kesimpulan yang idiosinkratik tentang Revolusi Perancis mirip dengan
kejeniusan Ong Hok Ham (1933-2007), sejarawan Indonesia seperti yang senang
mengungkapkan paradoks dalam tulisan sejarah.

Baca juga: Sejarawan Ong Hok Ham: Hidup Cuma Mampir Senang-Senang

Cobb dan Ong sama-sama mengagumi orang-orang kecil dan sikap mereka. Sebagai sejarawan,
mereka tidak tertarik pada gerakan massa atau cakrawala besar sejarah nasional. Kendati keduanya
seolah-olah menolak sejarah sosiologis, teori historiografi, dan sejarah berbasis statistik, mereka tahu
cara menggunakan statistik dan teknik sosiologis dengan sangat jeli dan efektif. Di tangan mereka,
kejadian geografis, asal-usul sosial, usia, pekerjaan, dan berbagai kedekatan dengan wong
durjana (bandit), ronggeng/pelacur, gadis yang bekerja, orang yang bunuh diri, dan tentara pembelot
menjadi hidup. Itu tampak sekali pada skripsi sarjana muda Ong tentang gerakan Samin (1905-1907)
—komunitas di Blora yang membangkang terhadap pemerintah Hindia Belanda dengan menolak
membayar pajak dan mengingkari kewajiban kerja rodi—yang ia selesaikan pada 1964.

Sebenarnya, sejarah akar rumput adalah basis buku-buku Cobb dan artikel Ong. Dalam kisah Revolusi
Perancis dan dunia priayi Madiun abad ke-19, Cobb dan Ong berbicara untuk rakyat. Bukan untuk
aktivis militan, orator yang menyatakan cita-cita, birokrat yang mengatur represi dan kemenangan,
atau sukarelawan heroik yang mengabdi pada tentara Republik di perbatasan. Pahlawan, bagi Cobb
dan Ong, adalah rakyat biasa yang berharap dapat makan dan minum dan bercinta—tidak ada
hubungannya dengan journées (hari aksi politik), gerakan revolusioner, atau perang melawan tentara
sekutu pro-monarki. Dua sejarawan nyentrik itu lebih suka pemuda yang membelot dari kewajiban
militer dan yang menjadi bagian dari “gerakan populer secara default”.

Ong sendiri mempunyai pedoman yang sangat menarik bagi sejarawan Indonesia. Pedoman ini
dikutip T.P. Danang dalam tesis masternya di FIB UGM bertajuk ”Dari Sudut Historiografi
Indonesia: Membaca Pemikiran Onghokham” (2016: 77) dari penulis biografi Ong, David Reeve dari
Universitas New South Wales: “Ambil tokoh yang sedang mengalami stres berat. Ikuti apa yang
terjadi dengan dia [melalui sumber/arsip] [dan tulis kajianmu]. Itulah sejarah yang benar!” Gaya khas
Ong ini bisa disimak lebih lanjut dalam Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di
Keresidenan Madiun Abad XIX (2019), buku yang diangkat dari disertasinya di Universitas Yale, AS.

Baca juga: Isu Makar dalam Pertarungan Residen Sinting vs Bupati Apes

Sementara itu, bagi Cobb, identitas kedua dalam kehidupan intelektualnya berarti Perancis abad ke-18
dan awal abad ke-19, zaman Napoleon, dan tahun-tahun ketika kekuasaan monarki Bourbon
dipulihkan kembali. Ini mencakup periode sejarah Perancis dari 1789 hingga 1830 yang menjadi
bidang keahlian Cobb dan ia telah menulis dengan panjang-lebar tentang berbagai tema dalam lingkup
periode itu.

Untuk saya, Indonesia telah menjadi identitas kedua terutama dunia Jawa di akhir abad ke-18 dan
awal abad ke-19 sewaktu Diponegoro hidup. Inilah yang membawa saya kembali ke Indonesia lagi
dan lagi. Juga kenyataan bahwa di sini karya saya sangat dihargai dan bisa berkembang, dalam artian
bahwa karya-karya ini bisa mengilhami berbagai seniman untuk berkarya.

Landung Simatupang, misalnya, membuat tuturan atau pementasan dramatik bertajuk "Aku


Diponegoro" di mana ia mementaskan beberapa bagian Babad Diponegoro di empat lokasi berbeda.
Keempatnya berhubungan erat dengan sang pangeran: Magelang, di mana ia ditahan dengan cara
khianat pada 28 Maret 1830 (26 November 2013); Tegalrejo yang terletak di barat laut Yogyakarta, di
mana sang pangeran tumbuh dewasa (1793-1803) (8 Januari 2014); Museum Fatahillah (bekas balai
kota Batavia), tempat sang pangeran ditahan selama hampir satu bulan (8 April-3 Mei 1830) sembari
menanti untuk melakukan perjalanan ke pengasingannya di Sulawesi (1830-1855) (6 Maret 2014);
dan akhirnya ke Fort Rotterdam, Makassar (5 Juni 2014), di mana ia tinggal selama hampir dua puluh
dua tahun hingga akhir hayatnya (8 Januari 1855).

Dosen Muda yang Sibuk


Di Oxford, cara kami mengajar sejarah dibagi menurut periode-periode tertentu. Pembagian utamanya
adalah antara Sejarah Kuno dan Sejarah Modern. Yang pertama, Sejarah Kuno, membahas tentang
Yunani Kuno dan Romawi hingga akhir kekuasaan Kaisar Konstantin (272-337 M), kaisar Romawi
pertama yang memeluk agama Kristen. Kekacauan yang terjadi setelah kekuasaannya berakhir
mengakibatkan jatuhnya kerajaan Romawi Barat di akhir abad ke-5 (476 M), sebuah proses yang
dimulai dengan serangan kaum "Barbar" (Vandal, Goth, Hun) ke Roma.

Kolega lama saya sewaktu saya mengajar di Trinity College selama hampir 30 tahun, Bryan Ward-
Perkins, adalah seorang sejarawan yang meneliti periode akhir Kekaisaran Romawi itu dan periode
yang disebut sebagai ‘Zaman Kegelapan’ (Dark Ages) (400-700) yang terjadi setelahnya. Terkenal
karena buku karangannya, The Fall of Rome and the End of Civilization (2005), dia membuka mata
saya tentang bagaimana arkeologi bisa memperkaya sejarah. Di muka bumi ini kita tidak bisa
berharap untuk memiliki kolega yang lebih baik lagi. Dia menjadi inspirasi dalam segala cara.

Namun, fokus saya bertumpu dengan kukuh pada Sejarah Modern yang, untuk tujuan pendidikan di
Oxford, dianggap dimulai dengan Zaman Kegelapan di Eropa. Dari rentang waktu satu setengah
milenium ini, Oxford History School kami menekankan empat periode penting:

(1) Zaman Pertengahan Awal (Early Medieval), yang mencakup Zaman Kegelapan hingga sekitar
1250, terutama membahas tentang Zaman Pertengahan Atas (High Middle Ages) sewaktu terjadinya
pertumbuhan populasi Eropa dengan sangat cepat, urbanisasi, dan Renaisans.

(2) Zaman Pertengahan Akhir (Later Middle Ages), sebuah periode yang menyaksikan penurunan
populasi dengan sangat cepat (40-60 persen), penyusutan ekonomi, pemberontakan sipil dan petani
seiring dengan terjadinya bencana di Eurasia seperti Maut Hitam (Black Death–pes bubo) (1346-
1353) dan peperangan (seperti Perang Seratus Tahun antara Inggris dan Prancis, 1337-1543; dan
Peperangan Mawar ketika wangsa Lancaster dan York bertanding untuk memenangkan takhta Inggris,
1455-85).

(3) Periode Modern Awal, yang dalam konteks Inggris dimulai sejak kemenangan Henry Tudor pada
Pertempuran Bosworth (Battle of Bosworth Field) (1485) dan kekuasaannya sebagai Henry VII
(1485-1509). Periode ini berlangsung sampai sang raja Belanda, William dari Oranye (William III,
bertakhta 1689-1702), berhasil "naik takhta di Inggris" (serangan 5 November 1688).

(4) Periode Sejarah Modern (Modern History), yang sebenarnya berfokus pada kebangkitan Inggris,
kemunduran, dan kejatuhannya dari status negara adikuasa. Periode ini berakhir, ketika saya mulai
mengajar di Oxford pada 1979, dengan Perang Dunia II (1939-1945).

Pembagian periode sejarah yang "sangat Inggris" inilah (Irlandia dan Skotlandia hampir tidak dilirik
sedikit pun!) yang harus saya ajarkan sebagai dosen sejarah muda di Trinity College, Oxford. Saya
seperti telah diceburkan di kolam yang paling dalam. Sejak awal, saya harus memberikan kuliah
mengenai berbagai topik yang sangat luas. Saya harus mengajar semua topik yang terdaftar kepada
para mahasiswa Oxford sepanjang karier saya dan harus membaca semuanya agar saya selalu berada
satu langkah di depan para mahasiswa. Sering kali mereka sangat pandai dan karena itu menyita
banyak waktu saya.

Periode ini, di mana saya bertugas di garis depan sebagai tutorial fellow selama hampir tiga puluh
tahun, dimulai dari Oktober 1979, sewaktu saya diangkat sebagai Laithwaite Fellow dan Pengajar
dalam bidang Sejarah Modern di Trinity, dan berakhir pada Oktober 2008, ketika saya mengundurkan
diri dari fellowship saya untuk pindah dan menetap di Indonesia. Sejarah yang saya ajar mencakup
bagian akhir sejarah Inggris modern awal, yaitu pemerintahan James I dan James VI di Inggris dan
Skotlandia (1603-1625) hingga Revolusi Agung (Glorious Revolution) 1688 dan reformasi
konstitusional yang menetapkan parlemen Inggris sebagai pemegang kekuatan politik tertinggi setelah
serangan William dari Oranye.

Saya juga mengajar "abad ke-18 yang panjang" (long eighteenth century) yang mencakup periode
1688 hingga disahkannya Undang-Undang Reformasi (Great Reform Bill) 1832, yang merupakan
reformasi besar-besaran pertama di Parlemen Inggris. Selain itu saya harus membaca pula tentang
teori politik dan memberikan kuliah mengenai beberapa filsuf politik (Aristoteles, Hobbes, Rousseau,
dan Marx), ahli teori ekonomi dan sosiolog (Adam Smith, Edmund Burke, Alexis de Tocqueville, dan
Max Weber), sejarawan seperti Edward Gibbon dan Thomas Babington Macaulay (yang menurut
Lord Acton "tidak hanya orang paling hebat, tetapi juga contoh orang Inggris terbaik yang hidup pada
masa itu"), serta karya Mazhab Annales Perancis (Fernand Braudel, Lucien Febvre, Marc Bloch,
dan Emmanuel Leroy Ladurie).

Seolah-olah itu semua tidak cukup, saya juga diharuskan mengajar sejarah Eropa dan non-Eropa
tahun 1714 (Perjanjian Utrecht [Peace of Utrecht] yang mengakhiri Spanish Succession War, 1701-
1714) hingga tahun 1856 (Perang Krimea [Crimean War, 1853-56]). Ditambah lagi saya
mesti mempelajari literatur Perancis (Proust, Flaubert, De Maupassant), seni (Impresionisme dan
pasca-impresionisme), dan politik pada awal Republik Ketiga (1871-1940).

Satu-satunya kelas yang saya ajar yang berfokus pada bidang keahlian saya adalah sebuah kelas yang
sebagian besar saya kembangkan sendiri. Kelas ini adalah sebuah kelas fakultatif dalam bidang
sejarah non-Eropa (yang dikenal di Oxford sebagai ‘bidang studi lanjutan’) mengenai Imperialisme
dan Nasionalisme, di mana saya telah membuat kelas bertajuk 'The Making of the Modern States of
Maritime Southeast Asia (Malaysia, Singapura, Filipina, dan Indonesia), 1870-1973'. Hanya segelintir
mahasiswa S1 yang mengambil kelas ini setiap tahunnya. Paling banyak, saya hanya mendapat
setengah lusin mahasiswa. Namun menariknya, sebagian mahasiswa ini berasal dari Asia Tenggara,
termasuk Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina—tidak pernah ada yang dari Indonesia.

Kebanyakan mahasiswa-mahasiswa dari Asia Tenggara ini menjadi teman baik dan saya terus
berhubungan dengan mereka sampai sekarang. Beberapa orang menjadi sejarawan akademis
profesional di negara-negara asal mereka. Salah satunya adalah Dr. P.J. Thum, sejarawan
Singapura sekaligus bekas atlet renang nasional, yang menulis disertasi berjudul ‘Chinese-language
political mobilisation in Singapore, 1953-1963’ (Maret 2011). Ia kemudian mendirikan
pergerakan New Naratif untuk mendukung demokrasi, kebebasan informasi, dan kebebasan
mengemukakan pendapat di Asia Tenggara.

"Orang Marginal" di Oxford


Saya meyakini bahwa mengajar berbagai topik yang sangat luas dalam sejarah Inggris dan Eropa itu
"baik untuk jiwa" dan memberikan saya sudut pandang sejarah yang luas yang tidak akan saya
dapatkan jika saya mengajar di jurusan sejarah Asia Tenggara yang lebih spesialis, seperti di School
of Oriental & African Studies (SOAS). Namun selama hampir tiga puluh tahun saya menjadi dosen di
Oxford, riset saya tentang Jawa hampir seluruhnya terbengkalai. Tidak ada institusi untuk
menempatkan hal-hal yang bersangkutan tentang Indonesia atau Jawa di kurikulum Oxford.

Karena Jawa tidak menjadi koloni Kerajaan Inggris di akhir masa penjajahan Inggris (1811-1816)
yang terjadi di pengujung Perang Napoleon (1799-1815), seperti yang diharapkan Thomas Stamford
Raffles, tidak ada pengetahuan umum tentang Indonesia di tengah masyarakat Inggris. Satu-satunya
pengecualian adalah kelompok gereja seperti CAFOD (Catholic Agency for Overseas Development)
dan lembaga swadaya masyarakat seperti Tapol (1973-sekarang), yang semuanya memperhatikan
penjajahan Timor Timur oleh militer Indonesia dan Gerakan 30 September yang mengerikan dan
buntutnya penuh pertumpahan darah.

Spesialis saya di bidang sejarah Indonesia Modern sangat marginal di Oxford sehingga sampai
sekarang saya masih ingat ketika seorang profesor di bidang sejarah Amerika Latin, Christopher Platt
(1934-1989), di pertengahan 1980-an, sewaktu saya masih menjadi dosen muda di Oxford,
mengundang saya untuk memberikan kuliah di Fakultas Sejarah mengenai Inggris di Indonesia. Tidak
ada yang hadir dalam kuliah itu—sama sekali tidak ada seorang pun yang nongol! Mungkin mereka
berpikir saya akan memberikan kuliah tentang pembantaian Amboyna pada 1623 atau sesuatu yang
sama asingnya. Sebenarnya saya ingin membahas tentang Raffles di Jawa.

Selama saya tinggal di Oxford, saya hidup dalam lingkungan yang marginal berkenaan dengan bidang
spesialis saya. Kesarjanaan saya memang ditoleransi, namun tidak dianggap penting. Seperti yang
dikatakan almarhum Hugh Trevor-Roper (1914-2003), Regius Professor kami (1957-1980), pada
tahun pertama saya sebagai dosen muda di Oxford, bahwa Jawa "tidak punya sejarah" karena "setelah
melampaui Hellespont (Selat Dardanella), cuma ada para Darwis yang menari berputar-putar." 

Namun di Indonesia ini, semua yang saya pelajari dan tulis sangat dihargai. Saya sering memberikan
ceramah di hadapan ratusan (bahkan ribuan kala menggunakan Live Instagram) orang sekaligus yang
semuanya tertarik dengan sejarah Diponegoro. Ada lebih dari 5.000 perserta saat Historia.id
mengadakan webinar melalui Instagram pada 16 April 2020 untuk membahas kembalinya "keris
Diponegoro". Di Inggris tidak akan ada hadirin sebanyak itu.

30 Agustus 2007 Sejarawan Ong Hok Ham: Hidup Cuma Mampir Senang-Senang Penulis: Ivan Aulia Ahsan

Baca selengkapnya di artikel "Sejarawan Ong Hok Ham: Hidup Cuma Mampir Senang-Senang", https://tirto.id/cVUB.

Tekun bergumul. Membabati takhayul mengupas tuyul.

Baca selengkapnya di artikel "Sejarawan Ong Hok Ham: Hidup Cuma Mampir Senang-Senang", https://tirto.id/cVUB.

Ketika pertama kali berkunjung ke rumah sejarawan Ong Hok Ham, saya disambut gonggongan anjing-anjing. Saat itu,
sekitar 13 tahun lalu, saya masih mahasiswa tahun kedua di Program Studi Ilmu Sejarah FIB UI yang lugu dan belum
banyak tahu. Ong sudah lama pensiun sebagai dosen Jurusan Sejarah UI saat saya berkunjung dan hidupnya sudah ditopang
kursi roda gara-gara stroke yang menyerang sejak 2001. Ong memang penyayang anjing. Di rumah, ia punya empat ekor.
Salah satu yang paling saya ingat bernama Tuyul. Saya tak tahu dari ras apa anjing tersebut, tapi yang pasti ia berbulu
cokelat gelap dan Ong sangat menyayanginya. Saya menebak, nama si anjing diberikan lantaran Ong beberapa kali menulis
tentang tuyul sembari menguliti takhayul-takhayul di baliknya. Mitos tuyul dalam masyarakat Jawa, menurut Ong, muncul
karena kecurigaan dan kecemburuan sosial terhadap kaum saudagar yang bisa kaya secara tiba-tiba.    Suatu hari, ketika saya
sedang mampir ke rumah Ong, datanglah JJ Rizal, senior saya di Jurusan Sejarah, bersama Yahya Andi Saputra, yang juga
senior saya. Rizal adalah pemilik sebuah penerbit yang khusus memublikasikan buku-buku sejarah. Nama penerbitnya aneh:
Komunitas Bambu. Kebetulan, Rizal dan Yahya adalah orang Betawi. Rizal datang ke rumah Ong untuk mengurus
penerbitan kumpulan tulisan Ong di majalah Star Weekly pada 1950-an. Buku kumpulan itu kemudian naik cetak pada 2005
di bawah judul Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Baru masuk ke dalam rumah, Rizal langsung menyalami Ong sambil
nyeletuk, “Pak Ong, saya ke sini bareng Yahya, bekas mahasiswa Pak Ong. Dia orang Betawi. Pak Ong masih ingat, kan?”
“Ya, Yahya. Saya masih ingat,” jawab Ong. “Tapi dia tidak mau dibilang keturunan budak,” tukas Rizal. Rizal berkata
begitu sebagai kelakar yang merujuk pada studi klasik Lance Castles berjudul “The Ethnic Profile of Djakarta” (PDF).
Dalam makalah yang dimuat di jurnal Indonesia (1967) terbitan Cornell University itu, Castles menyimpulkan bahwa salah
satu golongan yang menjadi nenek moyang orang-orang Betawi adalah budak-budak yang dikerahkan VOC untuk
membangun Batavia. Pendapat Castles tersebut memang problematis dan sudah banyak studi yang menentangnya. Tapi
sebagai bahan kelakar, tentu saja ia sangat empuk. Ong lalu menangkap kelakar Rizal dengan caranya sendiri. “Kalau bukan
keturunan budak, lalu keturunan apa? Keturunan anjing?” timpal Ong sembari melempar makanan kepada Tuyul dan kawan-
kawan. Rizal dan Yahya ngakak, tapi muka mereka berdua tampak asem seasem-asemnya. Baca juga:  Isu Makar dalam
Pertarungan Residen Sinting vs Bupati Apes Ong: Mitos dan Realitas Rumah Ong berada di Cipinang, Jakarta Timur, di
kompleks perumahan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dibanding rumah-rumah lain di kanan-kirinya, rumah Ong
terlihat paling muram sekaligus paling unik. Ong membangun rumah itu dari perkakas-perkakas bekas rumah atau bangunan
lama yang ia buru hingga ke pedalaman Jawa Timur. Sebuah kusen jendela dari kayu jati, misalnya, berasal dari rumah
pejabat anu yang dibongkar; pintu utama adalah hasil buruan dari rumah seorang priyayi bangkrut; atau sebuah kursi ala
abad ke-19 yang didapat dari pasar loak. Tak lupa, ia juga mengoleksi beberapa guci antik Tiongkok yang konon beberapa di
antaranya berasal dari zaman Dinasti Ming. Tapi ada yang lebih dahsyat: kamar mandi pribadinya tidak berpintu. Jika Anda
kebetulan bertamu kala sang tuan rumah sedang mandi dan tak sengaja masuk ke dalam, Anda akan menyaksikan seorang
lelaki paruh baya dengan rambut yang tipis telanjang bulat sambil kungkum di bak mandi kuno. Ong seperti ingin
mempertahankan citra sebagai sejarawan “luar-dalam”, hingga rumah dan segala perabotan pun mesti mengikuti selera
antiquarian-nya. Maka demikianlah Ong membangun mitos diri dan ia sangat menikmatinya.  Dengan rumah macam itu dan
gaya hidup bak sinyo Belanda awal abad ke-20 yang dikelilingi para jongos—Ong selalu memelihara dua-tiga pembantu
yang semuanya laki-laki—ia kerap mengundang kawan-kawan atau para mahasiswanya datang ke rumah. Acara utama tentu
saja makan-makan dan minum-minum. Diskusi atau omong serius soal sejarah cuma sampingan. Soal makan-makan, Ong
memang jago bin jagonya. Ia suka makan enak, juga pandai memasak. Mereka yang pernah mencicipi makanan Ong tidak
sepakat soal rasa. Tapi rata-rata mereka bilang bahwa dalam hal memasak orang ini “punya selera”. “Hanya ada dua hal
yang saya dapat di Amerika: gelar doktor sejarah dan kepandaian memasak. Saya lebih bangga dengan yang kedua,”
demikian salah satu kalimat legendaris Ong yang juga pernah disinggung Goenawan Mohamad dalam pengantar untuk
kumpulan esai Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2003). Begitu pula soal minuman. Ong hampir tak pernah
membiarkan tamu-tamunya pulang dengan tenggorokan kering. Ia menggerojok mereka dengan whisky atau wine. Ia juga
seorang partygoer yang kerap diundang ke resepsi-resepsi kedutaan besar atau para elite Jakarta. Di situlah Ong menemukan
dunianya. Pendeknya, Ong adalah epicurean sejati. Suatu kali, salah seorang senior saya dari angkatan 1980-an pernah
berkelakar. Di Jurusan Sejarah UI, katanya, “cuma ada dua jenis pemabuk: sejarawan pemabuk dan pemabuk yang belajar
sejarah.” Yang pertama tentu saja cuma dinisbatkan kepada Ong. Yang kedua buat sisanya.

Baca selengkapnya di artikel "Sejarawan Ong Hok Ham: Hidup Cuma Mampir Senang-Senang", https://tirto.id/cVUB.

Sejarawan cum Intelektual Publik Pada akhir 1970-an hingga awal 1990-an, orang-orang mengenal Ong sebagai sejarawan
yang sangat produktif menulis di media massa. Hampir setiap pekan, esai Ong hadir di Tempo, Kompas, atau media-media
lain. Ong tampak istimewa dalam urusan ini, karena sedikit sekali sejarawan Indonesia yang rajin menulis untuk media
massa sekaligus tampil sebagai intelektual publik. Tidak banyak orang, kecuali kalangan sejarawan dan akademikus ilmu
sosial, yang tahu tentang disertasi Ong atau karya-karya lain yang ditulis untuk dunia akademik. Ong dikenal orang karena
posisinya sebagai penulis esai sejarah. Lewat esai-esai itulah Ong menawarkan refleksi historis atas peristiwa-peristiwa masa
kini—sebuah cara pandang yang barangkali tidak dimiliki para intelektual publik dari disiplin ilmu lain. Dan yang tak kalah
penting, sebagai sejarawan, Ong membawa perspektif lain dalam menggali sejarah Indonesia di tengah menjamurnya narasi
historiografi ala Orde Baru. Baca juga: Historiografi Indonesia di Tangan Sejarawan Milenial Dalam sebuah esai panjang di
majalah Prisma edisi 8 Agustus 1977 bertajuk "Sukarno: Mitos dan Realitas", misalnya, Ong membedah sosok Sukarno
dengan pendekatan unik yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh sejarawan Indonesia. Momentum kemunculannya
pun tepat. Esai itu terbit ketika desukarnoisasi besar-besaran terjadi di mana-mana dan digerakkan aparatus rezim paranoid
yang hendak melanggengkan kekuasaan dengan memusnahkan memori tentang penguasa sebelumnya. Ong muncul dengan
suara lain. Dari awal tulisan, ia menampar orang-orang Indonesia yang begitu mudahnya memuja Sukarno dan kemudian,
dalam waktu yang singkat, mencercanya ramai-ramai. Ong menggunakan "pendekatan" astrologis untuk melihat itu dan
dengan ketajamannya sebagai seorang sejarawan mempertanyakan kemunafikan-kemunafikan kita. Begini ia bilang di
paragraf pertama: "Sukarno mempunyai kepribadian yang kompleks. Ia dilahirkan di bawah bintang Gemini yang, menurut
pendapatnya sendiri, memberi corak beraneka-warna pada kepribadian itu. Persoalan Sukarno bersangkut-paut erat dengan
persoalan bangsa kita sendiri. Pada puncak masa kekuasaannya, Sukarno digelari Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung
Lidah Rakyat, Waliyul Amri, Panglima Tertinggi, dan lain-lain. Dan tiba-tiba semua gelarnya dicopot. Jasa dan peranannya
ditiadakan, dan bahkan ia diejek. Persoalannya kini bukan saja 'siapakah Sukarno', tetapi juga 'siapa sebenarnya kita dahulu
dan siapa kita sekarang?' Apa dahulu kita yang munafik atau sekarang kita munafik? Apa kita semua bersifat Gemini?"
Dengan begitu, Ong sebenarnya sedang mengajak kita semua sama-sama merenung sebagai sebuah bangsa—renungan yang
masih relevan sampai hari ini. Ong Hok Ham, sejarawan yang gemar bersenang-senang itu, meninggal pada 30 Agustus
2007, tepat hari ini 11 tahun lalu. Persis di hari ulang tahun saya yang ke-21. Baca juga artikel terkait SEJARAH
INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Ivan Aulia Ahsan

Baca selengkapnya di artikel "Sejarawan Ong Hok Ham: Hidup Cuma Mampir Senang-Senang", https://tirto.id/cVUB.

Anda mungkin juga menyukai