Anda di halaman 1dari 19

Drijarkara dan Pancasila

(B. Christian Triyudo P)

Drijarkara: Latar Belakang Keluarga, Masyarakat, dan Pendidikan


Drijarkara lahir di Kedunggubah, 13 Juni 1913. Kedunggubah adalah desa kecil di lereng
pegunungan Menoreh, kawasan Kali Gesing (sekitar 8 km sebelah timur kota Purworejo). Kondisi
daerah secara umum: dataran tinggi, jalanan terjal, berbatu, suhu udara sejuk, gemericik air sungai
masih terdengar, hijau daun terlihat segar, kicauan burung masih terdengar merdu, dll. Mayoritas
penduduknya adalah petani tanaman keras seperti melinjo, durian, langsep, kepel, jati, bambu dan
tingkat perekonomiannya menengah ke bawah. Namun, keramahan, kesederhanaan sangat kentara di
daerah ini.
Suasana khas pedesaan yang penuh keharmonisan dengan dilingkupi kebeningan alam itu
dirasakan Drijarkara sejak masa kecil. Hal itu turut membentuk dan memperkaya dirinya untuk melihat
alam, manusia, dan Tuhan sebagai bagian dari realitas yang berkelindan. Salah satu tulisannya, ”Napels
Perlambang Keduniaan yang Larut” dalam ”Surat dari Roma” menegaskan hal itu.1 Dalam majalah
Hati Baru, Rm. Danuwinata SJ mengungkapkan hal serupa, ”Dalam diarium-nya, Drijarkara
memperlihatkan ketertarikannya pada keindahan alam. Alam dialami sebagai sesuatu yang
memperkaya.”2 Tak mengherankan bila dalam memaparkan filsafat, beliau pun menegaskan hubungan
(kesatuan sedalam-dalamnya) pada alam, manusia lain, dan Yang Mutlak untuk memahami diri
manusia sebagai persona.
Nama kecil Drijarkara adalah Djenthu (Soehirman).3 Saat masuk novisiat (1935), Djenthu
mengganti namanya menjadi Drijarkara.4 Beliau adalah anak bungsu dari 4 bersaudara (Sebul,
Tuminah, Walginah, Djenthu). Ayahnya bernama Atmosendjojo. Bapak Atmosendjojo adalah adik
Wirjosendjojo, glondong/kepala beberapa lurah daerah Kedunggubah. Dari silsilah keluarga yang
ditemukan tahun 2004, diperoleh informasi: Wirjosendjojo adalah keturunan raja Mataram.5 Data
tersebut cukup penting karena dari situ, kita mendapatkan afirmasi bahwa walaupun dilahirkan dari
desa terpencil dan minim pendidikan (sampai sekarang di desa Kedunggubah hanya ada satu SD, tidak

1
Baca F. Danuwinata (penyunting), Kumpulan Surat Romo Drijarkara SJ (Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila,
2010), hlm. 19-22 atau dalam edisi revisinya yang diedit ulang oleh G. Budi Subanar (Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma, 2013), hlm. 26-30. Drijarkara menceritakan ketika semua orang berkumpul dan berdecak kagum memandang
kawah gunung Vesuvio (Italia) yang mempunyai rahasia tak terpahami. Alam menyimpan beribu misteri sekaligus inspirasi
yang mengajak manusia berefleksi tentang kehidupan dan memampukan bermenung agungnya karya Allah di dunia
2
Stef Tokan dan Thomas Suwarta, “Driyarkara, Pendidik yang Mempraktikkan Pendidikan (Hasil Wawancara dengan Rm.
F.X. Danuwinata SJ),” dalam Hati Baru, No. 05. Tahun XII (Mei, 2009): hlm. 22
3
Menurut keterangan penduduk Kedunggubah dan hal ini diafirmasi oleh Rm. Danuwinata, nama Soehirman ditambahkan
saat beliau bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Purworejo.
4
Menurut Kamus Jawa Kuna – Indonesia yang diterjemahkan Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna (1995) dari P.J.
Zoetmulder SJ dan S.O. Robson, Old Javanese – English Dictionary (1982), arti kata Drija = mata (dalam kidung dan karya
prosa yang muda), arti kata Kara = “pelaku”; sinar cahaya; tajam. Dari pencarian sederhana dan harus dibuktikan pada ahli
basa Jawa Kuna, penulis melihat ada harapan untuk menjadi pribadi yang memiliki penglihatan tajam pada segala gejala
dan dapat menerangi banyak orang laksana sinar cahaya. Harapan seperti itulah yang tampak dalam hidupnya dan makna
filsafat yang dihayatinya.
5
Silsilah yang ditemukan Ganjar Prasetyowati (cicit Wirjosendjojo) tahun 2004 ini tidak dipublikasikan. Karena penulis
pada waktu berkunjung ke Kedunggubah (27 Desember 2012) mendapatkannya, sedikit keterangan yang bisa disampaikan:
di pojok kiri silsilah tertulis: Sedjarah aloeran saking MATARAM; Kandjeng Soesoehoenan Hamangkoerat Ingkang
soemare ing Tegalaroem dengan judul di tengah-tengah, ”TOEROENAN SAKING SOROSILAH”. Isinya silsilah keluarga
yang dibuat Raden Wirjosendjojo dengan keterangan garis seturut kedudukannya. Di bagian belakang , ada keterangan:
Sampoen koela tingali sedojo poenapa ingkang kasebat sedojo leres, Sarto Wirjosendjojo ingkang damel asal-oesoel
poenika taksih pernah paman koelo kaping tigo gajoetan saking Bajoeoerip, Bedoeg, Tanggoeng sarto Loano. Saking
Pemanggih koela waoe Wirjosendjojo taksih gadah titel RADEN, saktoeroenipoen. Koela Boepati Pensioen Poerworedjo,
Raden Mas Toemenggoeng Harjo TJOKRONEGORO. Poerworejo, 23 Maret 1934 (Terjemahan: Sudah saya periksa semua
yang disebutkan benar adanya, serta Wirjosendjojo yang membuat asal-usul itu masih berhubungan sebagai paman saya
pada tingkat ketiga menurut garis keturunan dari Banyuurip, Bedug, Tanggung dan Loano. Menurut pendapat saya tadi
Wirjosendjojo masih mempunyai gelar RADEN, beserta semua keturunannya. (Saya Bupati Pensiun Purworejo, Raden Mas
Tumenggung Haryo Cokronegoro. Purworejo, 23 Maret 1934)
ada SMP ataupun SMA), karena darah ke-ningrat-an yang dimiliki, Drijarkara berkesempatan sekolah
di HIS Purworejo dan Malang (sekitar 1922-1929) bersama putra-putri kaum terpandang lainnya dan
keturunan Belanda, setelah beliau menyelesaikan pendidikan dasar di Volksschool, Cangkrep (1919-
1922).6
Di HIS itu, Drijarkara berjumpa lebih dekat dengan kekatolikan dan pada 22 Desember 1925,
beliau dibaptis menjadi Katolik. Lebih lanjut, karena tergerak oleh panggilan suci menjadi seorang
imam, setelah menyelesaikan studi di HIS, beliau memutuskan masuk ke Seminari kecil di Yogyakarta
(1929-1935), setingkat SMP dan SMA dengan program humaniora Gymnasium seperti di Belanda.
Ketika berada di Seminari, ketekunannya mulai terasah dan beliau dapat membuat karya-karya cerdas
seperti memberi nama “Aquila” (yang berarti rajawali sekaligus akronim dari Augeamus Quam
Impensissime Laudem Altissimi, Marilah kita tumbuh berkembang sekuat tenaga menambah keluhuran
Yang Mahatinggi) untuk majalah Seminari yang sampai sekarang masih bertahan; memenangkan
perlombaan menerjemahkan kalimat dari bahasa Latin ke bahasa Jawa (dari Salus Vestra Ego Sum
(Akulah keselamatanmu) menjadi Ija Ingsun Karahajonira); mengarang sandiwara dalam bahasa
Belanda dengan judul “Sutanta” dan dipentaskan.7
Setelah menyelesaikan pendidikan di Seminari, beliau memilih bergabung dengan Serikat
Yesus. Masa Novisiat dijalani dari tahun 1935-1937 di Girisonta dan setelahnya, diutus belajar bahasa
Latin, Yunani Kuno, Sejarah Kebudayaan Timur dan Barat sebagai persiapan studi Filsafat di tempat
yang sama (1937-1938). Masa studi filsafat ditempuhnya dari 1938-1941 di kolese St. Ignatius,
Yogyakarta. Setelah selesai, sebelum menjalani masa studi teologi di kolese Muntilan, beliau diutus ke
Girisonta untuk mengajar bahasa Latin selama satu tahun (1941-1942).
Saat beliau belajar teologi, pada bulan Juli 1943, kolese Muntilan tempat beliau belajar ditutup
oleh tentara Jepang dan beliau sempat tinggal untuk beberapa waktu di daerah Mendut. Namun karena
saat itu, Seminar Tinggi Yogyakarta membutuhkan staf pengajar filsafat dan beliau dianggap mampu,
selama tiga tahun dari 1943-1947, beliau menjadi dosen filsafat di Seminari tersebut, sambil belajar
teologi secara pribadi sebagai persiapan tahbisan imam.8
Pada tanggal 6 Januari 1947, beliau ditahbiskan menjadi seorang imam oleh Mgr. Alb.
Soegijapranata SJ di Semarang dan selanjutnya diutus studi teologi lanjutan di Maastricht, Belanda
(1947-1949). Menurut keterangan Rm. Danuwinata, berdasarkan surat dari M. van den Bercken SJ
(misionaris Belanda, dosen Seminari Tinggi Belanda, kolega Drijarkara setelah kembali dari Roma),
pada tahun-tahun di mana Drijarkara belajar di Belanda itu, para profesor di Maastricht mengaguminya
karena dalam waktu singkat mampu menguasai aliran-aliran pemikiran baru. Setelah menyelesaikan
studi teologi, beliau menjalani masa tersiat di Drongen, Belgia selama setahun (1949-1950) sebelum
ditugaskan belajar filsafat di Universitas Gregoriana (1950-1952). Beliau memperoleh gelar Doktor
filsafat dari Universitas Gregoriana, Roma setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang ditulis
dengan bahasa Latin secara utuh dan tanpa cela, “Theoria Participationis In Existentia Dei Percipienda
Secundum Nicolaum Malebranche”, tebal sekitar 300 halaman.9

6
Menurut penuturan Ganjar Prasetyowati (sesuai dengan yang pernah diceritakan ayahnya), Drijarkara adalah cucu
kesayangan Wirdjosendjojo dan karena bakat kecerdasan, beliau mendapatkan kesempatan sekolah yang lebih baik daripada
kakak-kakaknya.
7
Lih. Kata Pengantar dalam A. Sudiarja, dkk (ed), Karya Lengkap Driyarkara (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. xxiii-xxiv.
8
Lih. Sudiarja dkk (ed), Karya Lengkap, hlm. xxiv.
9
Disertasi ini mengacu pada pendapat filsuf dan teolog Kristen dari Prancis (1638-1715), Malebranche yang memiliki
proyek untuk memberi bukti kehadiran Allah yang sama dengan pernyataan mengenai partisipasi (pemikirannya
dipengaruhi Augustinus dan Descartes). Terhadap Malebranche, di satu sisi, Drijarkara mengagumi pemikirannya yang
digerakkan kepeduliaannya pada kebenaran sejati sampai ke pengakuan yang mengarah pada sumber inteligibilitas, Allah.
Di sisi lain, Drijarkara mengritik terutama karena Malebranche tidak mengatakan arti sesungguhnya intuisi langsung
(bagaimana munculnya ide-ide itu) dan ide partisipasi hanya diajukan untuk menentukan tempat ide-ide. Drijarkara juga
Drijarkara: Latar Belakang Pemikiran
Pertama, arah pemikiran filsafat saat Drijarkara belajar adalah bertumbuhkembangnya aliran
pemikiran yang mengarah pada penghargaan eksistensi manusia yang terus berproses di dalam dunia
(Eksistensialisme, Fenomenologi, Philosophy of Life, Philosophy of Action, Personalisme, dll).10
Aliran-aliran di atas muncul sebagai gelombang aliran baru sesudah Perang Dunia kedua di Eropa, yang
intinya ingin melancarkan kritik pada aliran filsafat modern. Inti kritiknya adalah aliran filsafat modern
terlalu mencita-citakan satu sistem kepastian dan kebenaran semesta yang akhirnya mengarah pada
totalitarianisme, yang memenjarakan perkembangan manusia di dalam dunia (manusia hanya
dipandang dari salah satu unsurnya saja yaitu kesadaran, padahal eksistensi manusia lebih luas daripada
satu unsur itu saja). Aliran baru yang muncul, lebih banyak bertitiktolak pada eksistensi sebagai
individu atau pribadi yakni mengenai dunia yang dihidupi (pikiran, perasaan, pengetahuan, dll). “Siapa
manusia, bagaimana kedudukannya dalam realitas, bagaimana harus menjalankan hidup” adalah
pertanyaan dasar untuk mendalami eksistensi manusia.
Dalam pemikiran Drijarkara mengenai manusia yang menjadi dasar bagi pemikiran lainnya, hal
di atas sangat terasa. Drijarkara menekankan bahwa manusia adalah persona yang dapat berdiri sendiri,
unik, bukan objek dan juga memiliki tanggung jawab moral pada manusia lain ataupun barang jasmani
lain. Oleh sebab itu, persona bukan konsep mati namun sesuatu yang berada dalam proses yang disebut
sebagai personisasi. 11
Selain itu, saat beliau belajar di Universitas Gregoriana, filsafat Thomas Aquinas, khususnya
yang telah diperbarui dengan pemikiran Joseph Maréchal SJ berkembang kuat.12 Inti pemikiran
Maréchal, “lewat Kant mengatasi Kant”. Kant merintis filsafat transendental dengan meneliti kondisi-
kondisi a priori manakah yang memungkinkan pengetahuan manusia. Namun, Kant baru melihat
kondisi a priori tersebut secara statis dan membatasi kondisi itu sehingga pikiran manusia tidak mampu
untuk menggapai metafisika. Maréchal menyempurnakan pemikiran Kant dengan memperlihatkan
adanya dinamisme intelektual dan kehendak manusia sehingga pikiran manusia terbuka kepada Yang
Mutlak. Itulah salah satu kondisi a priori yang memungkinkan pengetahuan manusia untuk
mengungkapkan pernyataan.

melihat tidak adanya kesatupaduan antara partisipasi dari sudut epistemologi dan ontologinya (sebagai tokoh yang
dipengaruhi corak rasionalisme, Malebranche menekankan pemisahan mutlak roh dan materi tetapi dalam ontologinya, dia
menekankan hubungan antara roh-materi untuk memahami Allah lewat partisipasi). Namun lebih dari segala kritik tersebut,
Drijarkara mengakui ada sumbangan berharga dari Malebranche untuk melihat dimensi rohani yang yang mendasari setiap
pengetahuan yang benar. (lih. Selengkapnya dalam, Karya Lengkap, hlm. 1387-1444).
10
C. Verhaak mengungkapkan sewaktu berkenalan dengan Drijarkara (1940-an), beliau dikenal sebagai orang Jawa muda
yang berminat pada filsafat barat dan sudah membaca banyak pemikiran dari beberapa tokoh aliran eksistensialisme
(Heidegger, Jaspers, Sartre, Marcel, Le Senne, Lavelle, Camus), tokoh yang menaruh perhatian pada sejarah dengan
dialektika perkembangan pikiran (Blondel), dan beberapa tokoh fenomenologi (Husserl, Scheler, Merleau-Ponty). Lih. Chist
Verhaak, “Gagasan Sentral dan Perkembangan Pemikiran Drijarkara,” dalam Bunga Rampai (Jakarta: STF Driyarkara,
1988), hlm. 12-26.
11
Dalam memaparkan manusia sebagai persona, Drijarkara bertitiktolak dari pemaparan Max Scheler. Scheler memberikan
definisi persona: Person is die konkrete, selbst wesen half Seinseinheit von Akten verschiedeneartigen Wessens. Drijarkara
menjelaskan maknanya: Jika kita bermenung mengenai manusia, yang tampak sebagai fenomen adalah adanya banyak dan
berbagai macam perbuatan. Meski demikian, hal itu memiliki kesatuan, semua adalah perbuatan dari satu subjek konkret.
Subjek itu dinamis; selalu berbuat dan berbuat. Subjek itu hidup dalam semua perbuatannya. Subjek itu berubah akan tetapi
tetap subjek juga, jadi identik. Berubah, akan tetapi toh tetap, berubah akan tetapi toh identik. Subjek ini namanya Persona.
(lih. Karya Lengkap, hlm. 1345-1359). Uraian ini berkelindan dengan makna Persona dari Marcel yang diambil Drijarkara
dari tulisan Roger Troisfontaines, De l’existence a l’etre, la philosophie de Gabriel Marcel (Paris, 1954) yang intinya
menegaskan subjek hanyalah subjek dalam bersama-sama dengan subjek lain [...] tidak ada subjek tersendiri. Selamanya
subjek adalah intersubjektif.
12
Tahun 1926, Marechal menerbitkan buku dalam bahasa Prancis yang dapat diterjemahkan Thomas Aquinas Meets Kant.
Buku tersebut banyak mendapat pertentangan dari para pemikir skolastik, namun cukup banyak mempengaruhi pemikir-
pemikir lain seperti Karl Rahner, Emeric Coreth, Otto Muck yang banyak mengembangkannya menjadi transcendental
method. Lih. John Cowburn, Personalism and Scholasticism (Milwaukee: Marquette University Press, 2005), hlm. 42-43.
Dalam pemikiran Drijarkara, terlihat beliau menekankan kondisi manusia yang terarah pada
Yang Mutlak sebagai kondisi dasariah yang memungkinkan manusia membuat pernyataan dan
beraktivitas. Maka, manusia (yang adalah persona) pada dasarnya mempunyai keterbukaan dan
keterarahan pada yang mutlak.
Dalam gereja Katolik, juga tumbuh benih-benih pemikiran mengenai penghargaan kedudukan
manusia dengan segala hak dasarnya dalam kesatuan. Drijarkara pernah menyarikan sabda Bapa Suci, 6
April 1951 kepada rombongan kongres pergerakan dunia dalam “Surat dari Roma”, “Federasi Sedunia
(1) dan (2) – Sabda Bapa Suci.”13 Dalam tulisan itu, dijelaskan mengenai evolusi dunia dan tanggapan
positif Gereja: manusia terarah pada kesatuan tetapi bukan ke-total-an. Kesatuan yang diharapkan
adalah kesatuan yang mengembangkan tiap pribadi dan setiap pribadi dapat saling mendukung dalam
kesatuan.
Dapat disimpulkan, pengaruh situasi pemikiran saat Drijarkara studi serta keterbukaan
Drijarkara pada pemikiran-pemikiran itu menjadi latar belakang pertama. Segala pemikiran dari para
ahli itu diserap dengan seksama, diolah, dikembangkan, serta dijelaskan dengan jalan pikir dan
penalaran yang sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Terhadap corak ini, C. Verhaak menamainya
fenomenologis berlingkaran dan Mudji Sutrisno menyebutnya kumparan renung.14
Kedua, suatu pemikiran kiranya semakin diresapi dan sungguh didalami bila dari diri sendiri
ada pengalaman eksistensial yang mempengaruhinya. Drijarkara dilahirkan dan tumbuh dalam
masyarakat Indonesia yang mengalami dan merasakan dinamika penjajahan dan perjuangan. Selain itu,
sebagai anggota masyarakat dunia, beliau juga merasakan akibat perang dunia kedua, khususnya perang
Pasifik yang banyak memakan korban. Dalam hal itu, Drijarkara memiliki pengalaman eksistensial
seorang manusia yang merindukan kedamaian dunia dan kerinduan itu menciptakan kepekaan hati pada
apa yang terjadi saat itu, baik di Indonesia maupun dunia secara luas.
Rm. Danuwinata SJ menuliskan, “Catatan-catatan harian yang ia buat sejak 1 Januari 1941
sampai 2 April 1950 menunjukkan bagaimana ia tidak pernah lepas dari pergulatan dengan masalah-
masalah yang dihadapi umat manusia pada umumnya dan rakyat Indonesia pada khususnya.” (KLD,
hlm. xxvi) Ia mengharapkan agar dari perang dunia timbul Asia Raya dan Indonesia Raya yang tentram
dan sejahtera (beliau banyak berkhayal perdamaian yang didasari cinta kasih yang memerdekakan).
Drijarkara sangat merindukan perdamaian, kesatuan dan situasi belajar di Belanda adalah situasi sulit
baginya (melihat rakyat Indonesia harus berjuang melawan penjajah). Namun dalam situasi sulit
tersebut, Drijarkara berani mempertanggungjawabkan pendapat dan sikap yang harus diambil.15
Kerinduan akan kemerdekaan bagi seluruh bangsa manusia sebagai persona16 itu memunculkan
harapan akan perdamaian bagi seluruh umat manusia. Drijarkara mengungkapkannya sebagai kesatuan
dunia yang tetap menghargai keragaman setiap pribadi (bukan totalitarian atau kosmopolitan).
Kesatuan itu diibaratkan sebagai gamelan: setiap bagian memiliki fungsinya masing-masing,
menyumbang sesuai kemampuannya, tidak saling meniadakan/menutupi yang lain sehingga gending

13
Dapat dilihat dalam Danuwinata (Peny.), Kumpulan Surat, hlm. 9-13 atau edisi revisinya, hlm. 12-19.
14
Fenomenologis berlingkaran: meneropong gejala yang mau diterangkan dari pelbagai sudut, tetapi bukan begitu saja
seakan-akan mengelilingi pokok atau gejala yang sedang dipelajari, melainkan ada unsur dialektis, tidak tegas atau dibuat-
buat tetapi spontan (Verhaak, “Gagasan Sentral,” hlm. 21). Kumparan renung: satu perenungan sebagai sumbernya,
dikembangkan dalam kumparan pembahasan, lalu maju lagi ke titik renung selanjutnya dengan cara yang sama. (Mudji
Sutrisno, Drijarkara-Filsuf yang Mengubah Indonesia (Yogyakarta: Galang Press, 2006), hlm. 26).
15
Dalam diarium-nya, beliau menulis bahwa orang Belanda lebih suka bicara tentang “aksi polisionil”; di Jakarta, orang
bicara tentang “aksi militer”. Terserahlah. Drijarkara tidak dapat menilai itu semua kecuali bahwa sebagai tindakan politik,
aksi itu picik dan bodoh. Dibandingkan TNI, Belanda jelas punya kekuatan militer yang kuat, namun tindakan itu di
kemudian hari akan terbukti merupakan kesalahan yang tolol. Kebencian yang berkobar dan kepahitan yang mendalam
sekarang pasti memenuhi hati bangsa Indonesia. (bdk. diarium 31-7-1947 tentang kejadian 20-7-1947).
16
Dalam tulisan “Kemerdekaan Manusia” (Karya Lengkap, hlm. 57-83), Drijarkara menuliskan kemerdekaan adalah
kemerdekaan yang terus-menerus mengalami dinamika (bukan hanya soal kemerdekaan politik dan material)
menjadi merdu dan enak didengar. Untuk harmonisasi ini, diperlukan penataan yang sedemikian rupa
sehingga ‘yang banyak’ tidak memungkiri ‘yang satu’ ataupun ‘yang satu’ mengganggu ‘yang
banyak’.17 Kesatuan tidak boleh menghilangkan keragaman atau sebaliknya keragaman tidak boleh
menolak kesatuan. Dengan itu, setiap warga dapat berkembang sesempurna mungkin. Dalam
pemaparan Pancasila, kerinduan ini tampak nyata. Namun sebelum sampai pada itu, baik kalau kita
meletakkan permenungan itu pada permenungannya tentang negara juga.

Permenungan Drijarkara tentang Negara


Permenungan Drijarkara tentang Negara tampak dalam tulisannya “Filsafat Kehidupan Negara”
(majalah Basis, tahun VI (April 1957), hlm. 217-223).18 Dalam tulisan tersebut, Drijarkara tidak bicara
secara langsung tentang kehidupan politik dalam negara (KLD, hlm. 604) ataupun bentuk negara seperti
lazimnya banyak dibahas dalam filsafat politik (KLD, hlm. 594). Beliau lebih menitikberatkan pada
kehidupan dalam negara. Permenungan tentang Negara lebih menegaskan permenungannya tentang
manusia sebagai persona yang harus dipersonisasikan dalam kehidupan masyarakat.19 Pertanyaan
dasarnya adalah “Apakah hakikat kehidupan negara? Bagaimanakah kehidupan itu harus dihadapi?”
(KLD, hlm. 604).
Setelah menjelaskan analogi percakapan untuk menggambarkan kehidupan negara,20 Drijarkara
menulis demikian, “[...] Kita yang me-negara dan pe-negara-an kita, itulah Negara!” (KLD, hlm. 607).
Apa maksudnya? Ada dua hal yang bisa dijelaskan.
Pertama, “Kita yang me-negara” adalah gerak aktif-dinamis yang dilakukan secara bersama-
sama oleh tiap anggota masyarakat (terkait dengan sikap hidup secara bersama). Negara dalam
kacapandang Drijarkara bukanlah konsep statis (bukan seperti baju yang tinggal pakai), namun aksi-
bersama yang dinamis, dalam arti bahwa negara adalah usaha bersama dalam kehidupan. Menurut
Drijarkara, lebih baik memakai kata menegara karena adanya negara ialah “karena dan selama manusia
beraktivitas bersama.” Kalau tindakan ini tidak ada, hilanglah negara (analoginya seperti menyanyi atau
mem-biola). Jadi, aspek yang ditekankan adalah aktivitas bersama (dengan dan karena berbuat). Maka,
negara tidak mungkin terwujud bila masyarakatnya tidak melakukan gerak aktif-dinamis untuk
mewujudkannya. Yang patut diingat, setiap usaha bersama itu adalah momen-momen yang berharga
dan tak memungkiri unsur kegagalan dalam perealisasiannya.
Kedua, “Pe-negara-an kita” menyatakan bentuk aktivitas itu sendiri. Negara yang awalnya
adalah proses (gerak bersama) menjadi suatu entitas. Entitas yang dimaksud adalah kesatuan warga
negara. Suatu gerak bersama-dinamis yang disebut menegara di atas akan “mengubah” ke-aku-an
menjadi ke-kita-an. Ada semacam kesatuan aksi yang disebabkan “kesatuan dalam dan karena
berbuat”. Jadi yang ditekankan di sini adalah suatu gerak dinamis bersama (menegara) menghasilkan
17
Lih. Danuwinata, Kumpulan Surat Rm. Drijarkara, hlm. 9-10 atau edisi revisinya, hlm. 13-14.
18
Tulisan dapat dibaca dalam KLD, hlm. 604-613.
19
Pandangan dasar Drijarkara tentang manusia adalah setiap orang adalah persona (subjek yang hanya akan menjadi subjek
bila ada dalam bersama-sama dengan subjek lain), namun dalam realitasnya, ia perlu terus disempurnakan dalam tiga
hubungan cinta kasih (alam jasmani, masyarakat, Tuhan). Analogi keadaannya sebagai persona adalah seperti putra raja
yang masih muda belia menggantikan kedudukan ayahnya yang mangkat sebagai raja. Dalam keadaan itu, putra tersebut
adalah raja hanya perlu proses terus untuk sungguh-sungguh menjadi raja.
20
Dalam percakapan, pikiran seseorang dijelmakan menjadi suara, menjadi kata-kata sehingga terdengar. Pikiran adalah
barang rohani tetapi dijasmanikan, dijadikan barang material (kata-kalimat) sehingga dapat ‘diukur’. Dalam percakapan,
kata yang ditangkap baru mempunyai arti bila dilanjutkan dengan kata lain yang berhubungan, begitu pula dengan kalimat
satu ke kalimat lain. Dengan kata lain, setiap kata/kalimat itu adalah momen-momen dalam suatu gerak, yang tidak bisa
berdiri sendiri dan terpisah dari kesatuan proses berkomunikasi. Juga, kesatuan proses itu tidak bisa dimengerti tanpa ada
setiap momen. Maka, yang terjadi dalam percakapan adalah realisasi dari momen ke momen. Dalam proses itu, pikiran
(yang ‘terjelmakan’ dalam kata/kalimat) terjadi, sekaligus bisa tidak terjadi. Maksudnya, setiap penjelmaan yang keluar itu
melaksanakan tetapi juga menutupi, membungkus, menyembunyikan pikiran (KLD, hlm 605). Jadi, setiap realisasi juga
mengandung unsur sebaliknya. Dalam percakapan, orang baru saling memahami bila “dalam dan dengan berbuat” (ada
kesatuan, partisipasi satu sama lain). Begitu pula dengan kehidupan bersama yang disebut negara.
cara dan bentuk yang disebut penegaraan, yang intinya adalah kesatuan dalam keberagaman (unity in
multiplicity). Yang perlu diingat: kesatuan seperti itu adalah kesatuan “dalam dan karena berbuat”, jadi
bukan totalitarian yang tidak menghargai keberagaman. Dalam kesatuan itu, setiap pribadi memiliki
peranannya dan hal ini memperkaya kesatuan, sebagaimana juga kesatuan tidak menolak keragaman
(analoginya seperti gamelan). Kita yang menengara dan penegaraan (bentuknya), itulah negara.
Apa yang menjadi dasar dan tujuan gerak tersebut? Dasar keaksian bersama adalah kesosialan
kita yang dilaksanakan dalam berbagai macam bentuk dan cara. Tujuannya adalah mengembangkan
setiap manusia menjadi manusia (persona) yang terus-menerus perlu dipersonisasikan. Karena
menegara itu aksi, jadi sebagai realisasi juga mengandung unsur kegagalan (bdk. KLD, 607) maka,
dalam realisasinya (untuk mewujudkan kesosialan itu), tidak disangkal perlu nilai-nilai yang berfungsi
sebagai orientasi bersama. Nilai bersama tersebut bisa dikatakan sebagai rangka dalam hidup bersama
dan berlaku sepanjang dilaksanakan dengan dan dalam kesatuan manusia. Jadi, batasnya jelas yaitu
sepanjang kemungkinan yang ada pada kesatuan manusia (bukan pada kepentingan satu kelompok
tertentu dalam aktivitas bersama untuk mewujudkan ambisi ideologisnya).21
Dari mana nilai-nilai itu? Menurut Drijarkara, nilai-nilai itu pada dasarnya sudah ada dalam
kodrat manusia sebagai ada-bersama-dengan-cinta-kasih. Bersyukurlah kodrat itu terumuskan dalam
Pancasila, dengan dasarnya adalah Ketuhanan dan hal ini semakin diteguhkan dengan disahkannya
UUD 1945 sebagai dasar negara. Maka bagi Drijarkara, Pancasila pertama-tama merupakan filsafat
tentang kodrat manusia, yang didalamnya termuat nilai-nilai universal manusia dalam hidup bersama
(hal ini tidak bertentangan dengan penggalian Soekarno akan Pancasila yang didasarkan pada realitas
dasar yang dialami manusia Indonesia pada khususnya). Drijarkara mengatakan,

Sebetulnya dasar seperti Pancasila lebih merupakan filsafat tentang kodrat manusia daripada undang-
undang sebab tidak menunjuk pelaksanaan yang konkret, justru karena sifat itulah maka dapat diterima
oleh seluruh masyarakat. Jika isinya dijadikan lebih konkret maka tidak mungkin menjadi dasar hidup
bersama sebab yang mengisikan itu tentunya hanya satu pihak; maka isi itu berupa paksaan terhadap yang
lain. Jadi justru karena sifatnya yang umum itu undang-undang dasar dan terutama fundamennya bisa
tetap. Dalam ruangan yang umum itu mengalirlah kehidupan negara [...].” (KLD, hlm. 612-613).

Karena menyadari bahwa kodrat tersebut tak dapat dipahami tanpa ada hubungan dengan alam
jasmani, sesama, dan akhirnya Tuhan, Drijarkara menjunjung tinggi personisasi manusia, dan dalam
aktivitas besar yang disebut negara, setiap orang menjalankan peranannya dalam kerjasama yang saling
mengembangkan manusia. Bagaimana mengembangkan hal itu? Seperti yang ditulis di depan, beliau
mengibaratkan menegara seperti percakapan. Dalam percakapan, orang saling memahami bila “dalam
dan dengan berbuat”. Percakapan yang dimaksud, dalam bahasa ketatanegaraan, dapat dikatakan seperti
ini: dalam badan perwakilan rakyat terjadi dialog, komunikasi antarelemen negara demi kepentingan
hidup rakyat dan terjaminnya hidup tiap warga negara.22
Yang patut kita ingat, dalam suatu komunikasi, ada unsur timbal balik entah sebelum atau
sesudah ada pernyataan bersama (jadi yang dituntut adalah partisipasi dan kekritisan). Drijarkara
menyarankan bahwa setiap warga negara senantiasa harus bersikap kritis. Mengapa? Karena setiap
keputusan/konsepsi diputuskan untuk menyalurkan kehidupan bersama atau suatu aspek dari kehidupan

21
Drijarkara memberikan penegasan: dalam pelaksanaan nilai-nilai, tidak semua urusan ditentukan oleh negara (dalam
artinya sebagai organisasi kesatuan). Pada umumnya, dalam lapangan jasmani (ekonomi, keamanan, sosial), kekuasaan
negara lebih mendalam tetapi dalam bidang-bidang seperti religi/ilmu pengetahuan, kekuasaan negara kurang. Religi/ilmu
tidak bisa didekte negara. Negara memang boleh dan harus mengadakan syarat-syarat supaya ilmu/religi berkembang
sejalan dengan tujuan negara; tetapi tidak bisa memaksa suatu ilmu untuk menelorkan dalil-dalil yang menguntungkan
ideologi negara, seperti yang sudah terjadi pada negara totaliter. (bdk. KLD, hlm. 609)
22
Bdk. Reza Wattimena, “Melampaui Negara Hukum Klasik: Sebuah Upaya Filosofis-Teoretis,” dalam Jurnal Driyarkara,
tahun XXVIII, no. 2 (2005), hlm. 60-63.
negara, tetapi ia bukanlah alat yang sepenuhnya memusnahkan segala persoalan yang dihadapi
manusia. Barangsiapa hendak menyodorkannya dengan intimidasi, pengabuan rakyat, atau dengan cara
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara manusiawi, itu pada prinsipnya sudah memperkosa hak
dan kewajiban sesama warga negara. (KLD, hlm. 613)
Namun, bukan berarti kekritisan bisa tanpa dasar (anarkis). Kekritisan perlu didasari oleh nilai
bersama tadi, yang dalam negara kita terumuskan dalam Pancasila. Singkatnya, ingin dikatakan
demikian: lima sila dalam Pancasila merupakan prinsip hidup bersama. Sebagai suatu prinsip, ia bukan
strategi (konsepsi). Ia menjadi penerang atas strategi-strategi yang perlu diambil dalam menyelesaikan
masalah. Oleh sebab itu, kekritisan pada strategi-strategi yang diambil berdasarkan prinsip bersama
bisa menjadi sikap hidup. Bila mau menggunakan ungkapan Drijarkara, dalam pelaksanaannya,
Pancasila lebih menunjuk sebagai kategori operatif daripada ide operasional. Oleh sebab itu, sekarang
kita akan melihat apa saja yang menjadi penekanan Drijarkara dalam Pancasila sebagai prinsip
menegara.

Permenungan Drijarkara tentang Pancasila


Seperti yang sudah ditulis di depan, bagi Drijarkara Pancasila merupakan filsafat tentang kodrat
manusia. Titik tolak permenungannya adalah eksistensi manusia sebagai manusia, lepas dari keadaan
tertentu pada konkretnya. Drijarkara menyatakan, “Dengan memandang kodrat manusia qua talis
(manusia sebagai manusia), kita akan sampai ke Pancasila sejati” (KLD, hlm. 834). “Apakah manusia
dan bagaimanakah kedudukannya dalam realitas?”23 itulah pertanyaan dasar untuk memahami manusia
qua talis dan Drijarkara yakin Pancasila sebagai dalil-dalil filosofis memuat jawabannya.
Dengan titik tolak itu, Drijarkara secara umum ingin memperlihatkan prinsip itu secara filosofis
bukan hanya dialami manusia Indonesia, tetapi juga semua manusia sebagai manusia (bdk. KLD, hlm.
834).24 Secara khusus, Drijarkara juga ingin menegaskan bahwa lima sila yang digali Soekarno dan
kemudian diterima sebagai dasar negara dengan disahkannya UUD 1945 oleh PPKI (18 Agustus 1945)
merupakan pusaka bangsa sehingga ia bisa menjadi prinsip teguh, tetap berdiri tegak terhadap segala
macam aliran dari luar dan sumber inspirasi terhadap berbagai kesulitan karena di dalamnya termuat
kebenaran fundamental yang kaya raya. Karena itu, “Dengan Pancasila, kita memiliki dasar yang
sebaik-baiknya bagi negara.” Karena dasar itu merupakan kebenaran, kita tidak perlu takut
memikirkannya. Justru karena dipikir, didasari alasan-alasannya, kedudukan, pertanggungjawabannya,
kebenaran menjadi kokoh sehingga dapat lebih dicintai. (KLD, hlm. 382) Oleh sebab itu,

Bermenung mengenai Pancasila berarti sesekali tidak bersangsi mengenai kedudukan dan nilai Pancasila
tetapi lebih menyelami kekayaan yang terdapat di dalamnya sehingga kita bisa menempatkannya sebagai
dasar yang tak tergoyahkan dan dapat berdiri tegak, bahkan ketika orang berani mengadakan konfrontasi
untuk memperdalamnya. (KLD, hlm. 382)

Permenungan filosofis Drijarkara tentang Pancasila yang berpijak pada realitas dasar manusia
bila dibaca dalam konteks sosio-politis yang berlangsung, memuat tiga hal, yaitu a). memahami hakikat
Pancasila b). membatinkan Pancasila, dan c). membangun hidup sehari-hari dalam terang Pancasila.

23
Itulah pertanyaan yang mengikat budi, hati Max Scheler. Yang diarah: bagaimanakah sebenarnya tempat manusia dalam
keseluruhan yang ada, keseluruhan dunia dan terhadap Tuhan? (KLD, hlm. 1346). Pengaruh pemikiran Eksistensialisme,
Personalisme, Fenomenologi yang berkembang saat beliau belajar memperkaya permenungannya.
24
Dalam salah satu kuliah di Universitas Regis College, Colorado, Drijarkara mengungkapkan bukan berarti dengan dakuan
(klaim) ini, Indonesia hebat di mata dunia tetapi hanya ingin memperlihatkan bahwa secara ideologi, Indonesia memiliki
dasar yang mendukung (dan juga berkehendak) untuk berpartisipasi dalam persaudaraan umat manusia.
Ketiga hal ini merupakan cara baca penulis terhadap pemaparan Pancasila berdasarkan konteks sosio-
politis 1959-1967 dengan unsur yang menyertainya (kognitif, afektif, prinsipiil praktis).25

1. Memahami Hakikat Pancasila


Saat menyampaikan permenungan tahun 1959, Indonesia mengalami masa akhir Demokrasi
Liberal (istilah Ricklefs: Percobaan Demokrasi). Pada masa itu, Pancasila mulai dilihat sebagai
knowledge system yang sifatnya sistematik dan perlu didekati secara rasional (bukan melulu belief
system) sehingga dapat menerangi periode selanjutnya. Penulis membaca unsur kognitif untuk
memahami hakikat Pancasila secara mendasar lebih banyak ditekankan Drijarkara.
Dalam merenungkan hakikat Pancasila, dipaparkan: dari penelusuran filosofis yang diawali
dengan pertanyaan, “Siapakah Manusia, bagaimanakah kedudukannya dalam realitas?” ditegaskan
“Manusia bisa dikatakan tidak bisa berdiri sendiri, terpisah dari segala sesuatu, ia bukanlah monad
tanpa hubungan dengan apa pun seperti yang diungkapkan Leibniz. Kita tidak bisa mengerti manusia
kecuali sebagai serba-terhubung-dalam-segala-galanya.” (KLD, hlm. 834). Karena manusia ada di
dunia, dunia adalah kondisi eksistensial manusia yang dapat menjadi pangkal tolak refleksi.
Dalam dunia itu, manusia terhubung (ada-bersama) dengan alam jasmani, manusia lain, dan itu
dipahami dalam hubungannya dengan Yang Mutlak. Ketiga hubungan ini merupakan satu kesatuan
yang dasarnya cinta kasih dari dan kepada Tuhan.26 Ringkasnya, realitas dasar manusia adalah ada-
bersama-dengan-cinta-kasih (gambaran manusia sebagai persona). Cinta kasih itu bukanlah rasa
romantis sesaat, tetapi pengertian yang muncul dari pengalaman mendalam dan bila disadari betul dapat
membentuk diri dan yang lain: cinta yang menyempurnakan (lih. KLD, hlm. 153-154). Cinta kasih ini
primer dalam hidup manusia, dan dari cinta kasih ini pula, dapat dilihat kait-kelindan antarsila, yang
akhirnya sila Ketuhanan sebagai dasar semua sila. Bila mau dirumuskan sebagai dalil-dalil filosofis:
1. Aku, manusia, mengakui adaku merupakan ada-bersama-dengan-cinta-kasih. Jadi, adaku harus
kujalankan sebagai wujud cinta kasih pula. Cinta kasih dalam kesatuanku dengan sesama manusia,
jika dipandang pada umumnya disebut Perikemanusiaan.
2. Perikemanusiaan harus kujalani dalam bersama-sama menciptakan, memiliki, dan menggunakan
barang-barang dunia yang berguna sebagai syarat-syarat, alat-alat, dan perlengkapan hidup.
Penjelmaan perikemanusiaan dalam sektor ini: Keadilan Sosial.
3. Perikemanusiaan harus kulaksanakan juga dalam memasyarakat. Memasyarakat berarti
mengadakan kesatuan-karya. Agar kesatuan karya itu betul-betul merupakan pelaksanaan dari
perikemanusiaan, setiap anggota harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama haknya.
Cara melaksanakan perikemanusiaan dalam sektor ini (pembentukan kesatuan-karya) kita sebut
demokrasi. Cara ini harus dijalankan baik dalam masyarakat-kecil (kooperasi, dsb) maupun dalam
masyarakat besar.

25
Tulisan yang secara langsung membahas Pancasila adalah “Pancasila dan Religi” (prasaran Seminar Pancasila I, 17
Februari 1959), “Kembali ke Pancasila” (prasaran simposium Kebangkitan Angkatan ’66: Menjelajah Tracee Baru, 6-9 Mei
1966), tiga karangan serial dalam majalah Hidup Katolik yang merupakan penjelasan lebih lanjut prasaran simposium:
“Pancasila dan Hidup Sehari-hari” (5 Juni - 28 Agustus 1966), “Pancasila dan Ideologi Negara” (25 September – 13
November 1966), “Gambaran Manusia Pancasila” (27 November 1966-12 Februari 1967). Antara tahun 1959 dan 1966,
Drijarkara tidak menulis secara langsung tema Pancasila, namun di sana-sini tidak jarang Drijarkara memasukkan
gagasannya tentang Pancasila, entah dalam karangan tentang Pendidikan ataupun Sosialitas. Hal ini lebih disebabkan situasi
sosio-politis yang tidak memungkinkan berpikir sendiri tentang Pancasila.
26
Manusia tahu cinta kasih ini karena adanya jiwa rohani dalam kodrat manusia (manusia “terletak” seperti barang jasmani
lain (ia “apa”) tetapi karena aspek pengertian, rohaninya (cipta, karsa atau budi, kehendak), manusia mengerti ia bukan
hanya “apa” tetapi juga “siapa”; ia bukan saja ada tetapi mengerti bahwa ia ada sehingga dapat berdiri-sendiri (berdaulat).
Dengan kata lain, manusia dapat mengadakan refleksi diri. Dari refleksi ini, orang tahu bahwa dirinya terbatas, tidak mutlak
dan adanya itu disebabkan oleh Yang Mutlak (adanya cinta kasih yang hidup kekal dan menghidupi).
4. Perikemanusiaan harus juga kulaksanakan dalam hubunganku dengan kesatuan, yang dalam proses
lambat laun ditimbulkan oleh sejarah, keadaan tempat, keturunan, kebudayaan, peradaban bersama
dan faktor lain. Kesatuan itu ikut serta menentukan dan membentuk diriku sebagai manusia yang
konkret dengan perasaannya, semangatnya, pikirannya, dan sebagainya. Ada bersama pada
konkretnya berupa hidup dalam kesatuan itu. Jadi hidupku dalam kesatuan itu harus merupakan
pelaksanaan dari perikemanusiaan. Kesatuan yang besar itu, tempat aku pertama harus
melaksanakan perikemanusiaan disebut kebangsaan.
5. Aku mengakui adaku itu ada bersama, serba terhubung, serba tersokong, serba tergantung. Jadi,
adaku itu tidak sempurna, tidak atas kekuatan sendiri. Jadi, aku bukanlah sumber dari adaku.
Semua hal yang ada dengan terbatas, justru karena terbatasnya (sama dengan aku) tidak mungkin
merupakan sumber adaku, tidak mungkin memberi keterangan yang terakhir dari adaku. Yang
dapat merupakan sumber adaku pada akhirnya hanyalah Ada yang Mutlak, Sang Maha-Ada. Sang
Maha-Ada itu bukanlah sesuatu, melainkan Pribadi yang Mahasempurna, Tuhan Yang Mahaesa
Implikasi dari hal ini cukup besar, karena idea-idea asasi itu universal, maka Pancasila sebagai
dalil-dalil filsafat bersifat universal (dapat diterima oleh semua orang). Rumusan filsafat Pancasila ini
baru menjadi pendirian hidup (Weltanschauung) ketika orang melaksanakannya dengan kesungguhan
hati (kehendak, keputusan, tekad). Drijarkara menyatakan, “Mengakui Pancasila berarti meminta cara-
cara konkret untuk pelaksanaannya. Jika orang bertekad sungguh-sungguh, ia tentu akan mencari cara-
cara itu. Yang membawa kesukaran mungkin sila ketuhanan. Akan tetapi, dalam hal ini, manusia yang
bertekad sungguh-sungguh akan mencari jalannya.” (KLD, hlm. 858) Maksudnya, walaupun orang
berada di luar agama, ia akan mencari jalannya untuk terikat pada Yang Mutlak.
Sebagai dasar negara, Pancasila mengkhususkan artinya bagi bangsa Indonesia (orang luar
Indonesia tidak bisa menjadikan Pancasila sebagai dasar negara mereka dan tidak terikat ketentuan-
ketentuan dalam UUD). Karena ia dasar negara, maka ia menjadi dasar hidup kita sebagai bangsa, dasar
hidup kita sebagai masyarakat, dan dasar hidup kita masing-masing sebagai warga negara. Artinya, ia
menuntut sikap hidup baik bersama atau pribadi.
Secara lebih luas lagi, Drijarkara menegaskan karena tujuan yang tercantum pada UUD 1945
adalah kesejahteraan bersama dan kesejahteraan ini dasarnya adalah ketuhanan, maka negara yang
berdasarkan Pancasila bukan negara agama atau negara profan.
Dalam pernyataan negara Pancasila bukan negara agama, bukan berarti Drijarkara ingin
menyatakan negara bisa acuh atau tidak mengakui kedudukan religi (konkretnya agama) dalam
menegara. Justru sebaliknya, berdasarkan Pancasila, negara berhasrat menentukan hubungan sebaik-
baiknya dengan religi sehingga tidak terjadi campur aduk kepentingan dan kekosongan. Negara yang
hanya mengakui empat sila, tanpa sila ketuhanan, tidak mempunyai dasar kerohanian dalam berpijak. Ia
bisa maju, tetapi memuat kontradiksi dan akhirnya, mengarah pada pelanggaran demokrasi dan
perikemanusiaan. Sebaliknya, bila negara dijadikan satu dengan religi, ada campur aduk kepentingan
antara dua hal berlainan dan akhirnya, kemacetan pada keduanya. Dalam hubungan itu, terlihat pula
bahwa negara Pancasila bukan negara profan (tidak peduli pada religi dan memusuhinya). Negara
Pancasila, walaupun bukan penjelmaan religi, tetap mengakui ketinggian, kesucian hidup karena
seluruh hidup manusia merupakan gerak pada Tuhan dan apa yang diselenggarakan dengan menegara,
pada akhirnya untuk melaksanakan ada kita sebagai cinta kasih kepada Tuhan (bdk. KLD, hlm. 863-
865). Di sini, ingin ditunjuk perlunya pemilahan negara dan agama, tetapi bukan seperti yang
dianjurkan beberapa negara Barat yang memisahkan ekstrim negara dan agama. Adanya pengaturan
wilayah (pemilahan) berguna karena kalau terlalu erat, religi bisa dipakai sebagai alat politik ataupun
sebaliknya, negara bisa diperalat religi untuk melaksanakan ‘ketentuan-ketentuannya’; bila keduanya
terpisah secara ekstrim, antara keduanya tidak ada hubungan yang saling melengkapi dan
kecenderungan untuk saling meniadakan yang satu dari yang lain cukup besar. Pendapat ini berbicara
ketika melihat konteks di mana perdebatan antara kaum agamis dan nasionalis dalam tubuh
konstituante begitu kuat dan tidak kunjung menghasilkan kata sepakat dalam menentukan konstitusi
dan bentuk negara yang akan dijalankan.
Itulah hakikat Pancasila sebagai ada-bersama-dengan-cinta-kasih-kepada-Tuhan. Sebagai dalil-
dalil filsafat, ia merumuskan realitas manusia dalam semesta realitas sebagai persona; sebagai dasar
negara, ia merumuskan realitas manusia dalam negara yang berdasar Pancasila sehingga negara
Indonesia (yang memiliki tujuan langsung: kesejahteraan umum dan tujuan tidak langsung:
penghargaan akan kesucian hidup yang mengarah pada Tuhan) bukan negara agama dan bukan negara
profan, tetapi negara yang mampu menentukan hubungan yang sebaik-baiknya antara yang agamis dan
yang profan.

2. Membatinkan Pancasila dalam Pendidikan


Saat menyampaikan permenungan tahun 1960-1965, Indonesia sudah berada dalam periode
aktif Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu, Pancasila masih menjadi landasan idiil, namun kurang
diresapkan sungguh karena nilai asasinya banyak terlindas praktik indoktrinasi untuk menanamkan
semangat Manipol-USDEK yang didengung-dengungkan Soekarno dalam revolusi. Drijarkara
mengakui pada masa itu, pemikiran mengenai Pancasila secara sendiri banyak dilarang, hanya bisa
terima text, sehingga beliau tidak banyak bicara secara langsung mengenai Pancasila. Beliau lebih
berupaya membatinkan hakikat Pancasila yang direnungkan sebelumnya pada beberapa aspek
kehidupan, salah satunya adalah pendidikan. Maka, penulis membaca bahwa pada tahun 1960-1965,
unsur afektif (dalam arti pembatinan) lebih banyak dimunculkan.
Pada bagian ini, dipaparkan Pancasila adalah kepribadian nasional yang harus diperjuangkan
dan dibangun terus-menerus. Bagaimana hal itu bisa diresapi? Pendidikan bisa menjadi salah satu
sarana untuk meresapi hakikat Pancasila yang menjadi corak terpokok kepribadian nasional.
Pendidikan adalah fenomena fundamental kehidupan yang di dalamnya termuat tiga unsur yang tak
terpisahkan: pemanusiaan, pembudayaan, penanaman-pelaksanaan nilai-nilai. Pendidikan sebagai
humanisasi berlandaskan Pancasila, sehingga prosesnya pun perlu dijiwai olehnya dalam visi, orientasi,
proses, prinsip pelaksanaan, dasar dan tujuan akhir pendidikan. Penulis membaca bahwa dalam hal
yang disebutkan di atas, ada usaha dari Drijarkara untuk membatinkan setiap sila. Bila mau
dirumuskan:
1. Sila Perikemanusiaan bermakna menjunjung tinggi manusia sebagai persona. Dalam kaitannya
dengan pendidikan, sila ini dapat dilihat sebagai visi filsafat pendidikan: Humanisme. Humanisme
yang dimaksudkan adalah proses penyempurnaan diri manusia sebagai persona: memanusiakan
manusia (humanismus).27 Atau bila menggunakan istilah Drijarkara, ”Pendidikan sebagai

27
Istilah humanismus digunakan Drijarkara untuk menunjukkan sisi yang tertinggi dari taraf human. Humanismus atau
humanisme berarti perkembangan kebudayaan yang lebih tinggi [...] humanismus atau humanisme mempunyai arti yang
lebih luas yaitu kehidupan manusia dan masyarakat yang sempurna karena cocok dengan tuntutan dan cita-cita manusia.
(KLD, hlm. 368). Hal yang bisa dicatat pula, dalam pengantar masuk buku kedua KLD: Homonisasi dan Humanisasi,
dikatakan sebetulnya istilah yang lebih tepat dan kini lebih lazim digunakan dalam pendidikan kemanusiaan yang lebih jauh
adalah humaniora. Akhiran “-ior” dalam istilah humaniora menunjuk pada proses komparatif yang menuju sifat atau
keadaan yang “lebih” [...] maka humaniora memperlihatkan proses pendidikan yang terus-menerus mengarah pada
kesempurnaan, semakin manusiawi. (KLD, hlm. 265). Hal tersebut juga dipertegas lagi oleh A. Sudiarja dalam tulisannya,
“Driyarkara: Pendidikan Kepribadian Nasional,” dalam Basis No. 07-08, tahun ke-56 (Juli-Agustus, 2007), hlm. 6 yang
menyebut visi humaniora dalam pendidikan menurut Drijarkara. Menurut penulis, hal ini semakin melengkapi pernyataan
Drijarkara. Humanismus atau humanisme adalah titik tertinggi dari perkembangan manusia, namun dalam realitas hidup,
Homonisasi (proses ‘penjadian manusia’ pada tingkat fundamental niscaya: fisik, psikologis) dan
Humanisasi (proses perkembangan pada tingkat kemampuan manusia untuk membudaya
bersama).” (lih. KLD, hlm. 366-375)
2. Sila Keadilan Sosial bermakna menghendaki kemakmuran, kebahagiaan bersama dalam memiliki
dan menggunakan barang-barang dunia untuk hidup bersama. Dalam pendidikan, sila ini bisa
dibaca sebagai orientasi konkret pendidikan: manusia tidak hanya menjadi homo (manusia) tapi
juga humanus (manusiawi), berkebudayaan tinggi (membudaya dan memasyarakat).
3. Sila Demokrasi bermakna sebagai prinsip yang menyebabkan para warga saling memandang
sehingga dapat bertindak sebagai subjek untuk kepentingan bersama. Dalam pendidikan, sila ini
bisa dibaca sebagai proses mewujudkan pendidikan yang bersifat dialogis. Proses itu mencakup
komunikasi subjek dengan subjek antara pendidik dan anak didik.28 Karena dalam komunikasi,
eksistensia mengungkapkan diri, maka yang harus dikomunikasikan sekaligus yang harus
mengomunikasikan diri, yakni eksistensia yang autentik, manusia dengan nilai-nilai asasinya.
Nilai-nilai asasi itu mengarahkan orang menjadi persona (nilai itu ada dalam Pancasila). Dengan
mengomunikasikan nilai-nilai asasi itu, pribadi turut membentuk masyarakat. (KLD, hlm. 286)
Dengan itu, kebudayaan terbentuk dan orientasi di atas dapat terpelihara.
4. Sila Kebangsaan bermakna sebagai prinsip ada bersama yang konkretnya berupa hidup dalam
kesatuan menegara. Dalam pendidikan, sila ini dapat dibaca sebagai prinsip pengikat agar
komunikasi terjaga dan jurang perubahan sosiobudaya teratasi. Perubahan sosiobudaya dapat
membawa keretakan dari segi yang dikomunikasikan dan yang mengomunikasikan. Dalam
menjembatani jurang keretakan itu, Drijarkara mengajukan satu prinsip dasar yang patut
diperhatikan, yakni bahwa pendidik dan anak didik harus merupakan kesatuan bhinneka-tunggal
seperti dalam keluarga.29
5. Sila Ketuhanan bermakna sebagai dasar semua sila sehingga memampukan manusia menjadi
pribadi yang merdeka, seorang persona. Dalam pendidikan, sila ini menjadi dasar dan tujuan
akhir pendidikan: cinta kasih dan humanitas integral. Pendidikan sebagai humanisasi bersumber
dari cinta kasih.30 Hanya dengan cinta kasih itu, manusia sungguh menjadi pribadi yang
integral/utuh (mandiri dengan kodrat rohani), bukan sekadar menjadi ahli. “Tanpa manusia susila,
tidak mungkin ada demokrasi, ada negara teratur, ada ekonomi sehat, tidak mungkin ada teknik
tinggi yang digunakan untuk kemakmuran bersama. ‘Pintar’ tanpa kesusilaan hanya akan menjadi
minteri (KLD, hlm. 351)”, kata Drijarkara yang ingin memperlihatkan kaitan erat antara daya
kognitif, afektif, psikomotorik, dan kerohanian.
Hal ini akan berbicara banyak ketika memperhatikan situasi di mana revolusi begitu jumawa
dan secara praktis, hal tersebut diwujudkan dengan proses indoktrinasi Manipol-USDEK. Dalam arti
tertentu, Drijarkara hendak menjernihkan dari dalam makna revolusi (sebagai proses pembangunan

puncak tersebut tidak terjadi di dunia ini sehingga proses pendidikan adalah Humaniora (tingkat yang lebih tinggi dari
tingkat minimal manusia dan itu terjadi terus-menerus).
28
Karena komunikasi tidak sendiri, itu mengandaikan subjek lain sebagai partner komunikasi. Mempribadi dan
memasyarakat itu dua aspek dari satu hal. Tentu dalam prosesnya selalu ada konflik. Karena itulah kepribadian selalu
merupakan suatu tugas. Tugas itu dijalankan dalam communion dengan pribadi yang lain dan Pribadi Mutlak menjadi
sumber segala pribadi dan kepribadian. Bdk.KLD, hlm. 285.
29
Dalam lingkup yang lebih mendasar, Kebhinekatunggalan ayah-ibu-anak dapat menjadi ‘wadah’ pendidikan sehingga
proses pemanusiaan, pembudayaan, pelaksanaan nilai-nilai bisa mewujudkan manusia purnawan. Partisipasi dan komunikasi
menjadi kata penting dalam “pola” kebhinekatunggalan ini. (lih. Karya Lengkap, hlm. 376-397). Dalam lingkup yang luas
(negara), Drijarkara sangat menekankan pentingnya kesatuan guru dengan murid. Usulan konkret beliau adalah perlunya
pendidikan bagi guru pendidikan menengah. (lih. Karya Lengkap, hlm. 314-321)
30
Cinta kasih yang dimaksud adalah Cinta Mendidik, yaitu cinta yang mau turun ke bawah dari pendidik ke anak didik
untuk mengangkat yang muda menjadi subjek dewasa. Bdk. Mudji Sutrisno, Drijarkara, hlm.16
terus-menerus) dan menegaskan pentingnya pembatinan nilai-nilai Pancasila dari hal yang sangat
fundamental yaitu pendidikan.

3. Membangun Hidup Sehari-hari yang Diterangi Nilai-Nilai Pancasila


Saat menyampaikan permenungan tahun 1965-1966, Indonesia berada dalam periode transisi
dari Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru. Situasi “kebangkitan” untuk menjelajah “arah baru” bergema
kuat. Hal itu menunjuk pada keinginan melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai
reaksi atas deviasi (penyelewengan) Pancasila pada masa sebelumnya. Namun, Drijarkara
mengingatkan bahwa hal tersebut perlu diterangi terlebih dahulu dengan refleksi mendalam akan
Pancasila (bdk. KLD, hlm. 867). Maka pada masa ini, terlihat unsur yang ingin ditekankan Drijarkara:
bagaimana Pancasila perlu dilihat dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari sehingga orang
bisa membangun hidup yang diterangi olehnya. Penulis membacanya sebagai unsur prinsipiil praksis
karena Drijarkara tidak memberikan programatik untuk melaksanakan Pancasila tetapi hanya
menunjukkan secara prinsipiil sikap-sikap yang diterangi oleh Pancasila dan bagaimana sikap itu perlu
diperjuangkan ke arah gambaran manusia Pancasila.
Pada bagian ini, dipaparkan: Pancasila berhubungan dengan hidup sehari-hari bila ia menjadi
pedoman perbuatan sehari-hari. Suatu pedoman dimengerti dengan betul-betul bila ada idea-idea asasi
yang meneranginya. Dalam pelaksanaan Pancasila secara bersama, pedoman sehari-hari akan dipahami
dan dilaksanakan bila melihat ideologi yang riil (realis) yang terlihat dari masing-masing silanya.
Dengan terang itu, sikap-sikap dalam pedoman digerakkan olehnya. Secara keseluruhan, isi sikap
global Pancasila adalah humanisme religius-sosialistis. Sikap global ini menunjukkan arah pada
gambaran manusia yang luhur. Humanisme berarti pandangan yang melihat dan mengakui manusia itu
adalah makhluk yang memiliki struktur sendiri dalam dunia ini dan karenanya harus menuju ke status
dan cara hidup yang sesuai dengan struktur itu (KLD, hlm. 886-887). Humanisme seperti itu menuntut
penyempurnaan manusia dalam hidupnya, dalam kondisi-kondisinya sehingga ia bisa berkembang,
berkebudayaan, dapat menikmati hidup layak, merasakan kebahagiaan, menikmati keindahan dari
kesenian, dan akhirnya bisa hidup dan bergerak dengan merdeka. (KLD, hlm. 887). Maka, bila kita
memperhatikan titik tolak permenungan Drijarkara mengenai human existence yang mengarah pada
persona, humanisme yang dimaksud adalah bersifat religius serta sosialistis (KLD, hlm. 886).31
Berdasarkan struktur eksistensi manusia yang berdasar dan mengarah pada Tuhan, humanisme
ini bersifat mengakui adanya Tuhan, meskipun di luar agama, tetapi tidak membuat orang lantas
menjadi fanatik. Berdasarkan struktur eksistensinya yang terdorong bersatu dengan orang lain,
humanisme ini tidak bisa tidak sosialistis. Ia memandang manusia dan hendak menyempurnakannya
(menghumanisasikan) sesuai tuntutan kodratnya. Humanisme ini menuntut struktur masyarakat (dan
juga ekonomi) sedemikian rupa sehingga di dalamnya tidak timbul macam-macam struktur yang
menyebabkan manusia dijadikan alat oleh yang lain (KLD, hlm. 888). Dengan itu, Drijarkara
menantang masyarakat untuk kritis pada berbagai macam jargon tetapi hasilnya mendeviasikan isi
Pancasila.32

31
Dengan pernyataan ini, Drijarkara sadar bahaya humanisme sebagai –isme. Bahaya itu menyangkut humanisme yang bisa
bersifat a-religius ataupun in-human. Sebagai tinjauan lebih jauh, F. Budi Hardiman menggali dengan sangat menarik
sejarah humanisme seperti ini dalam bukunya Humanisme dan Sesudahnya – Meninjau Ulang Gagasan Besar tentang
Manusia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012).
32
Dalam gerak zaman Indonesia saat itu, humanisme yang dipaparkan Drijarkara ini ditujukan untuk mengkritik praktik
komunisme yang tidak mengakui unsur rohani (ketuhanan) pada diri manusia dan cenderung menjadikan manusia sebagai
objek bagi yang lain. (lih. Sudiarja dkk, Karya Lengkap, hlm. 888-889)
Sebagai gambaran sikap yang digerakkan oleh Pancasila yang isinya secara global adalah
humanisme religius-sosialistis, penulis meringkasnya demikian (berdasarkan KLD, hlm. 886-911):

Isi global sikap Pancasila: Humanisme Religius-Sosialistis (Humanisme Lentur)


Perikemanusi Keadilan Demokrasi: Kebangsaan: Ketuhanan:
aan: Sosial: Memperlakukan Mengutamakan Mengakui
Mengakui Mengakui dan sesama sebagai kepentingan bersama kedaulatan
martabat mengangkat partner/koopera di atas kepentingan Tuhan,
manusia, hak sesama sebagai tor dengan berani individualistik, menyerahkan
Sikap yang
asasi, socius dan alam mengritik dan melaksanakan tugas diri, meluhurkan
digerakkan
kebebasan budaya sebagai dikritik, sesuai peran masing- Tuhan dalam
bagian diri menyatakan apa masing dengan seluruh hidup,
yang benar bertanggungjawab toleransi saling
mengembang-
kan human
person dengan
kebebasannya.
Sila-sila Pancasila dapat ditambah unsur baru, dikurangi dengan dihilangkannya beberapa kalimat
penjelas dan juga diganti artinya atau diberi nuansa yang berubah
Perikemanusi Keadilan Demokrasi: Kebangsaan: Ketuhanan:
Deviasi yang aan: Egoisme, Sosial: sikap mitos pendewaan Korupsi, feodalisme Intoleransi,
bisa terjadi keserakahan, main kuasa dan raja dan sikap pencampur
politik untung- korupsi feodalistis adukan
rugi kepentingan
negara-agama

Bukan berarti dengan menunjukkan sikap-sikap sebagai pedoman sehari-hari, Pancasila dapat
difiksasikan. Sebagai ideologi yang riil, ia senantiasa menuntut adanya dialektika dalam realisasinya
karena tidak disangkal ada bentuk deviasi yang dapat muncul (seperti yang ditunjukkan dalam tabel).
Dialektika adalah usaha penyempurnaan menuju gambaran manusia Pancasila.
Dengan kata lain, dalam pelaksanaannya, Pancasila tidak boleh dipersempit atau secara
konkret, orang tidak boleh hanya diajari mem-beo33 (KLD, hlm. 886). Pancasila yang bergerak dari
ideologi riil ke pedoman sehari-hari haruslah dipandang secara dialektik yaitu menuntut kekritisan dan
perluasan dari berbagai pihak sesuai dengan perkembangan realitas manusia. Pancasila yang memuat
idea asasi manusia, senantiasa perlu dibahas dan berdialog dengan pemikiran-pemikiran baru. Secara
prinsipiil praktis, Drijarkara mengajukan beberapa usul:
a. Penyelewengan-penyelewengan berasal dari kurangnya pengertian, maka harus ada penerangan
terhadap Pancasila (KLD, hlm. 879). Dengan ini, Drijarkara mengusulkan agar Pancasila
senantiasa dibahas dan berdialog dengan pemikiran-pemikiran baru.
b. Deviasi juga datang dari kemauan yang jahat. Kemauan jahat bisa tampak dalam usaha dari pihak
tertentu untuk memaksakan ideologi lain di dalam Pancasila dan mengklaim ideologinya ada
dalam Pancasila. Hal ini disebut Drijarkara sebagai pemalsuan ide, subtitusi. Penyelewengan
terhadap Pancasila seperti ini tidak akan kita biarkan terjadi lagi. Kita harus berani angkat bicara
memerangi deviasi ini secara ilmiah dan membuat uraian populer yang dapat dikonsumsi

33
Mem-beo adalah istilah Drijarkara untuk menunjukkan Pancasila tidak boleh dijadikan alat untuk mengajari seseorang
seperti burung beo yang hanya ikut-ikut saja tanpa ada kekritisan dan dialog pada pelaksanaannya. Bagi Drijarkara
pengertian fundamental akan sila-sila itu pokok, namun praktiknya bisa lain, sehingga di sini butuh dialektika.
khalayak ramai. Dengan ini, dapat dikatakan perlunya kekritisan terhadap ide atau jargon yang
dapat populer dalam khalayak tetapi mendeviasikan dasar menegara (bdk. KLD, hlm. 879).
c. Seminar Pendidikan dan Pancasila perlu dilakukan untuk menemukan jalan integrasinya dalam
pendidikan kaum muda. Dengan demikian, generasi mendatang menjadi pribadi yang Pancasilais.
(bdk. KLD, hlm. 880)
d. Tindakan tegas terhadap pemerintahan yang diktator atau semi diktator perlu dilakukan. Bila
penguasa sudah tidak sejalan dengan Pancasila, perjuangan dapat diarahkan pada penggantian
beliau-beliau ini. (bdk. KLD, hlm. 880)
e. Kebebasan pers, dialog dan argumentasi di mimbar, kebebasan untuk mengritik dan dikritik
secara bertanggungjawab perlu diperjuangkan terus. (bdk. KLD, hlm. 880)
Seperti yang sudah dituliskan di depan, segala bentuk dialektika dan sikap-sikap yang
ditunjukkan di atas mengarah pada gambaran manusia Pancasila yang dicita-citakan (berdasarkan
kodrat manusia sebagai ada bersama dengan cinta kasih). Sebagai gambaran ringkasnya, Drijarkara
menunjukkan gambaran manusia Pancasila (lih. KLD, hlm. 938-959):

Secara Global: Manusia sebagai kesatuan dengan alam jasmani, sesama,


dan akhirnya Tuhan.
Gambaran Perikemanusiaan: Keadilan Demokrasi: Hidup Kebangsaan: Ketuhanan:
Ideal Memandang Sosial: bersama dalam Melihat diri sebagai Manusia luhur,
Manusia manusia sebagai Terbuka dan keluarga, bagian dari rendah hati
makhluk humanis menyatu berpartisipasi dalam keseluruhan dan
Pancasila
rasional dan ikut dengan alam musyawarah cinta membangun,
menyempur- jasmani dan memperbaiki
nakan sesama

Sumbangan Pemikiran yang Berharga


Pertama, Drijarkara merefleksikan Pancasila berdasarkan realitas dasar yang dialami oleh
manusia yang masih berupa dinamika. Dengan itu, beliau lebih mengajak kita untuk memandang dan
menempatkan manusia dalam kedudukannya sebagai persona yang harus terus berproses dalam tiga
suasana (alam jasmani, kemasyarakatan dan kebangsaan, cinta kasih Tuhan). Komunikasi yang saling
mengembangkan dan kesatuan yang tidak meniadakan keragaman (keunikan) adalah konsekuensi dari
cara kita memandang diri manusia sebagai persona yang berupa dinamika. Dalam kehidupan negara,
komunikasi dan kekritisan ini sangat penting dalam prosesnya.
Kedua, karena Pancasila menggambarkan realitas dasar manusia sebagai persona yang harus
berproses menuju kesempurnaannya, maka perlu nilai dan pendasaran bagi sikap-sikap yang
digerakkan oleh Pancasila (baik secara global atau masing-masing sila) sehingga dalam hidup pribadi
ataupun bersama ada orientasi yang perlu diarah. Dalam hal ini, Drijarkara memberikan sumbangan
yang berharga bagi setiap manusia Indonesia untuk mengarah pada gambaran manusia Pancasila dan
bagi kehidupan menegara di Indonesia untuk mewujudkan tujuan langsung negara (kesejahteraan
umum) dan tak langsung negara (penghargaan akan kesucian hidup yang mengarah pada Tuhan)
sehingga bila mau dikatakan bentuknya, negara Pancasila bukan negara agama ataupun negara profan.
Nilai, sikap, dan tujuan ini perlu senantiasa dikembangkan dalam pembudayaan (salah satunya
pendidikan).
Ketiga, karena menyadari bahwa nilai dan sikap itu perlu diinternalisasikan dan dikembangkan
dalam pendidikan, maka Drijarkara menunjukkan pendidikan sebagai humanisasi “manusia Pancasila”
(kepribadian nasional) dengan dasarnya cinta kasih dan terwujud dalam komunikasi antarpersona dalam
kesatuan bhinneka-tunggal antara pendidik dan anak didik sehingga terarah pada humanitas integral.
Keempat, karena melihat kemungkinan deviasi (penyelewengan) Pancasila dalam hidup
menegara yang penuh dengan keragaman itu besar, Drijarkara mengajak orang untuk kritis (tidak hanya
membeo) pada suatu konsepsi, jargon-jargon, dan sistem yang berusaha membuang atau merusak
Pancasila secara langsung atau tidak langsung. Dalam upaya itu, Drijarkara pertama-tama mengajak
kaum intelektual untuk berani menyelami kekayaan Pancasila, bersedia berdialog dengan pemikiran-
pemikiran baru dan akhirnya, ikut serta dalam usaha menerangi banyak orang untuk memahami
Pancasila sesuai tuntutan zaman. Peranan pers, seminar yang memiliki independensi (lepas dari campur
tangan pihak-pihak yang ingin berkuasa dan punya uang untuk “membeli”) untuk menjadi “corong”
penerangan sangat besar, selain bahwa mereka bisa menjadi “teropong” yang bisa digunakan untuk
mencermati secara detail kinerja pemerintah yang mengemban amanat rakyat.
Kelima, visi humanisme religius-sosialistis yang termuat dalam rumusan Pancasila (atau dalam
bahasa lain humanisme lentur) menjadi visi mencerahkan yang perlu dilihat kembali pada zaman
sekarang ini, khususnya bagi kaum muda ataupun orang-orang yang mengalami phobia akan fiksasi
Pancasila Orde Baru yang sangat menjemukan dan men-depersonalisasi-kan manusia. Visi yang
ditawarkan tersebut dapat membawa kita kembali untuk melihat Pancasila yang merupakan ideologi
terbuka milik bersama dan menentukan hubungan yang sebaik-baiknya antara agama dan negara, yang
tujuannya adalah setiap manusia dapat menjadi persona. Sebagai sebuah visi, ia tentu menunjuk pada
hal-hal umum. Namun justru itu, kita perlu memahaminya karena kalau tidak, orang hanya berhenti
pada ketentuan/aturan-aturan yang mencengkram begitu saja tanpa ada kekritisan. Inilah bedanya
antara permenungan Drijarkara mengenai Pancasila dalam hidup sehari-hari dengan pelaksanaan
Pancasila dalam Orde Baru.
Orde Baru terlalu menekankan bahwa Pancasila harus dipahami “seperti ini” supaya
penyelewengan tidak terjadi, maka dibuat ketentuan yang mengharuskan segala sesuatu di-Pancasila-
kan. Ketentuan-ketentuan ini yang malah abadi, bukan ide asasi Pancasila atas ketentuannya. Hasilnya
tidak berbeda dengan indoktrinasi Manipol dari Soekarno saat Demokrasi Terpimpin (hanya beda
bentuk luarnya dan lebih parah akibatnya ketika terungkap). Permenungan Pancasila dari Drijarkara
yang memiliki visi humanisme lentur itu lebih mengutamakan pemahaman dasar kita akan suatu ide
asasi yang menjiwai pelaksanaan sehingga sikap-sikap yang diteranginya pun adalah sikap-sikap umum
dalam hidup bersama (tidak menjadi ketentuan praktis) sehingga pelaksanaan tak menolak kritik bila
menyimpang dari ide asasinya. Mengapa? Karena ketentuan praktis itu hanyalah pancaran (ide
operasional) dari ide asasi dan hal ini perlu senantiasa didialogkan dengan pemikiran baru yang
muncul, situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat ataupun pribadi. Dengan kata lain, ide asasi
tetap abadi tetapi pelaksanaan praktis yang diterangi olehnya bisa menyesuaikan dengan kondisi zaman,
dengan tetap mempertahankan apa yang menjadi cita-cita bersama. Hanya dengan itu, Pancasila tetap
dapat meng-arus tetapi tidak hanyut dalam terpaan zaman.

Catatan Kritis
Pertama, di luar segala nilai-nilai luhur yang ditawarkan, uraian Drijarkara masih sangat
konseptual sehingga mungkin saja bila seorang praktisi mencari jawaban praktis atas uraian Drijarkara,
ia akan banyak kecewa. Hal positif dari cara ini adalah beliau senantiasa mengajak kita berdialog,
berefleksi untuk menentukan hal-hal praktis yang bisa dibuat. Namun, tentunya ini mengandaikan
orang “satu level”. Pertanyaan yang bisa diajukan adalah bila orang sungguh-sungguh buta akan
Pancasila atau “dibutakan” dan situasi menuntut pelaksanaan segera hal-hal praktis, apakah dialog akan
efektif sungguh? Satu hal yang bisa dipastikan, tawaran Drijarkara bukan tawaran instan tetapi
membutuhkan latihan terus-menerus (kiranya ini yang memang diarah Drijarkara).
Kedua, penulis melihat komitmennya sebagai seorang pendidik dan rohaniwan (imam)
memberikan warna khas dalam uraian-uraiannya, apalagi hal ini dipadu dengan aliran pemikiran yang
mempengaruhinya dan kerinduannya sebagai manusia yang mengalami pengalaman eksistensial
merindukan kedamaian dan persatuan. Sesuatu yang bisa positif tetapi juga bisa menjadi titik lemah.
Hal yang positif adalah ditunjukkannya nilai-nilai etis dan moral yang sebaik-baiknya, sisi lemahnya
adalah beliau dengan cepat menyisipkan peringatan-peringatan etis yang sebenarnya bisa ditunda
penyampaiannya, sehingga mungkin bila ada orang yang secara sistematis ingin meneliti setepat-
tepatnya (rigorous) pemikirannya, orang merasa seolah-olah ada ketakutan kalau filsafatnya
disalahtafsirkan. Kalau memang ada pendapat seperti ini, penulis hanya bisa memberikan catatan: bila
dilihat dari situasi saat itu (1959-1967), kondisi “ketakutan” yang mungkin disinyalir itu bisa
dimaklumi dan memang kultur filsafat belum banyak berkembang saat itu sehingga tidak mungkin
secara radikal membawa model gaya barat dalam masyarakat yang belum memahami polanya.
Selain itu, secara metodologis, bila orang ingin melihat secara kaku (rigid), ia akan kecewa
dengan Drijarkara karena cara yang dipakai bukan mengikuti pakem metodologi tertentu. Ia hanya
mengambil intisari dari suatu metode dan kemudian mengembangkannya. Di satu sisi, ada sisi
lemahnya di sisi lain, ini menunjukkan suatu metode berfilsafat yang ingin mengajak orang untuk terus
bermenung. Kiranya, ungkapan Soedjatmoko dalam Kompas, 13 Februari 1967 tepat, “[...] Beliau
bukan pembawa sistem filsafat baru. Memang bukan itu yang diusahakannya. Yang disajikannya dan
senantiasa ditekankan ialah suatu cara berpikir, metode berfilsafat sebagai suatu keaktifan manusia
yang hakiki, yang tidak pernah selesai [...]”
Ketiga, “obsesi” Drijarkara akan kesatuan umat manusia yang digambarkan sebagai harmonisasi
gamelan dan caranya berfilsafat dengan mengajak orang untuk menyelami realitas yang penuh misteri,
di satu sisi akan mengantar kita sebagai pribadi untuk berani menghadapi diri dengan segala
pergulatannya dan memahami bahwa sebagai pribadi, aku memiliki peran dalam suatu keharmonisan,
tetapi di sisi lain, hal itu bisa mengarah pada suatu kenaifan yang mengharukan, bila seruannya hanya
dianggap berdiri sendiri tanpa dialog praktis.
Keempat, hal yang masih kurang dari apa yang disampaikan Drijarkara adalah beliau tidak
mengungkapkan Pancasila sebagai prinsip politik, padahal bila dilihat dari sisi “lahirnya Pancasila”,
Pancasila adalah jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh ketua BPUPK, KRT Rajiman
Widiodiningrat dalam rapat BPUPK I (29 Mei-1 Juni 1945), “Negara yang akan kita bentuk itu apa
dasarnya?”. Maka, pertama-tama Pancasila adalah prinsip politik yang dimaksudkan untuk
menciptakan dan mengkondisikan semua aspek kehidupan di dalam suatu negara yang akan dibentuk
(Indonesia), bukan prinsip kodrat manusia. Dalam menjawab pertanyaan ketua BPUPK, pada pidato 1
Juni 1945, Soekarno mengajukan lima prinsip dasar bagi pembentukan Negara Republik Indonesia,
yang kemudian disebut Pancasila. Soekarno pun, sebelum mengungkapkan lima prinsip itu,
menafsirkan pertanyaan ketua BPUPK sebagai berikut,
Menurut anggapan saya, yang diminta oleh paduka tuan ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda:
“Philosophisce grondslag” daripada Indonesia Merdeka. Philosophisce grondslag itulah fundamen,
filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan
gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.” Selanjutnya, setelah menjelaskan arti merdeka, beliau
menjelaskan, “Paduka tuan ketua minta dasar, minta Philosophisce Grondslag, atau jikalau kita boleh
memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan ketua yang mulia meminta suatu
“Weltanschauung”, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia.34
Dengan kata lain, dasar yang dimaksudkan Soekarno, sesuai yang diminta ketua BPUPK,
adalah prinsip-prinsip fundamental yang memberi arah pada pembentukan corak negara dan bangsa,
institusi-institusi yang terkait dengan itu, termasuk perangkat hukumnya yaitu Konstitusi dan peraturan
perundangan lainnya. Dasar tersebut disebut pula sebagai “Weltanschauung” atau pandangan hidup
tetapi pandangan hidup yang dimaksud adalah prinsip atau wawasan dasar dalam kehidupan bernegara
dan berbangsa. Maka, dasar berpolitik Indonesia tersebut adalah Pancasila yang kemudian diterima
sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, saat disahkannya UUD 1945 oleh PPKI. “Dasar
negara” dapat disebut juga “ideologi negara” seperti yang diungkap Mohammad Hatta, “Pembukaan
UUD, beserta dua pernyataan lainnya yang menjadi bimbingan pula bagi politik negeri seterusnya,
dianggap sendi daripada hukum tatanegara Indonesia. Undang-Undang adalah pelaksanaan daripada
pokok itu dengan Pancasila sebagai penyuluhnya, adalah dasar mengatur politik negara dan perundang-
undangan negara, supaya terdapat Indonesia Merdeka seperti dicita-citakan: merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.”35
Singkatnya, Pancasila pertama-tama sebagai dasar negara adalah prinsip politik dalam arti
prinsip yang mendasari pembentukan dan pengembangan Negara dan Bangsa Indonesia. Sebagai
prinsip politik, ia bukan prinsip teologis ataupun prinsip kodrat, sehingga memang ada unsur
kompromistis di dalamnya untuk merangkul semua pihak dalam gerak dan arah yang sama. Jadi,
Pancasila bukanlah “doktrin” yang lengkap, yang begitu saja dapat dijabarkan dalam tindakan, tetapi
suatu orientasi yang memberikan arah ke mana bangsa dan negara harus dibangun atau suatu dasar
rasional, yang merupakan hasil konsensus mengenai asumsi-asumsi tentang negara dan bangsa yang
akan dibangun ... Filsafat politik bertugas untuk mencerahi makna berpolitik dan mengeksplisitkan
nilai-nilai etis dalam politik yang didasarkan atas Pancasila.36 Proses dari kelahiran Pancasila dan
makna Pancasila sebagai prinsip politik tersebut yang tidak nampak dalam pemaparan Drijarkara
mengenai Pancasila. Drijarkara lebih mengajak semua orang untuk menjadi “manusia Pancasila” dari
dalam karena ini adalah kodrat manusia, tetapi efeknya adalah ada unsur kontradiktif. Misalnya sila
ketuhanan dalam gerak menegara. Di satu sisi, Drijarkara menekankan unsur “kesatuan dalam gerak
menuju yang mutlak” tetapi di sisi lain, ia kesulitan menjelaskan bagaimana orang yang tidak mengakui
Tuhan harus berada dalam kodrat seperti itu. Memang akhirnya Drijarkara mengungkapkan, “orang-
orang seperti itu pasti akan mencari ikatannya dengan yang mutlak dalam caranya sendiri.” Namun
kiranya yang perlu dipahami adalah dengan sila Ketuhanan Yang Mahaesa, Soekarno memaksudkan:
pertama, menggalang persatuan semua pemeluk agama untuk membangun Indonesia Merdeka; kedua,
sebagai jalan kompromi antara pihak yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dan mereka yang
menghendaki dasar negara adalah kebangsaan dan tidak ada satupun agama yang mendapatkan
previlegi; ketiga, negara mengakui eksistensi agama-agama di Indonesia; keempat, pengakuan atas hak
kebebasan beragama. Keempat hal ini yang tidak masuk dalam analisis Drijarkara mengenai sila
Ketuhanan, walaupun implikasi etisnya sama yaitu negara mengakui dan melindungi kemajemukan
agama di Indonesia.

34
Lih. Aryoso (ed), “Pidato, 1 Juni 1945” dalam Tjamkan Pantjasila, hlm. 9-16. Atau Saafroedin Bahar dkk (Penyunting),
Risalah Sidang Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia, cetakan kedua (Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia,
1992), hlm. 55-60.
35
Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila (Jakarta: Idayu Press, 1977), hlm. 1; sebagaimana dikutip oleh Todung Mulya
Lubis, “Pancasila, Globalisasi, dan Hak Asasi Manusia,” dalam Restorasi Pancasila, hlm. 332.
36
M. Sastrapratedja, “Pancasila sebagai Dasar Negara, Asas Etika Politik, dan Acuan Kritik Ideologi” dalam Kongres
Pancasila – Pancasila dalam Berbagai Perspektif , 30 Mei-1 Juni 2009 (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2009), hlm. 67, 69.
Penutup
Bagi penulis, refleksi Drijarkara akan Pancasila yang lebih merupakan filsafat kodrat manusia
daripada konsepsi politis tertentu membuka cakrawala pemahaman akan Pancasila, sekaligus harapan
berarti untuk berproses dalam cita-cita Indonesia. Sebagai rumusan filosofis kodrat manusia, ia adalah
dasar yang sebaik-baiknya bagi negara, ia bukan pertama-tama strategi praktis untuk menyelesaikan
segala masalah. Dengan kata lain, lima sila dalam Pancasila itu merupakan prinsip teguh yang dapat
tetap berdiri tegak terhadap segala macam aliran dari luar dan sumber inspirasi terhadap berbagai
kesulitan karena di dalamnya termuat kebenaran fundamental yang kaya raya. Sebagai suatu prinsip, ia
bukan strategi. Ia menjadi penerang atas strategi yang perlu diambil dalam menyelesaikan masalah.
Maka, ia harus disertai nilai-nilai asasi yang secara eksplisit atau implisit ada di dalamnya sehingga
segala pranata dan kebijakan publik punya orientasi bersama dan hal tersebut harus didukung sikap-
sikap yang diterangi nilai-nilai yang ada dalam tiap sila. Itu yang penulis maksudkan bahwa refleksi
Drijarkara akan Pancasila membuka cakrawala baru, karena seringkali penulis (dan mungkin
kebanyakan orang) terjebak pada seruan bahwa segala permasalahan harus diselesaikan dengan kembali
pada Pancasila tanpa tahu makna terdalam Pancasila bagi manusia dan secara cepat menentukan
konsepsi pencangkokan. Kalau begitu pemahamannya, penerapan Pancasila pada Orde Baru dapat
terjadi lagi dan phobia semakin menjadi-jadi. Sekali lagi, perlu ditekankan refleksi Drijarkara adalah
salah satu pemahaman yang perlu didialogkan dalam praksisnya.
Drijarkara memang tidak menawarkan programatik untuk melaksanakan Pancasila, namun
sumbangan refleksi Drijarkara masih sangat relevan terutama mengenai nilai-nilai kemanusiaan apa
saja yang perlu dipertimbangkan dalam keputusan-keputusan yang akan diambil. Selain itu, penekanan
Drijarkara pada bidang pendidikan kepribadian nasional sebagai bagian internalisasi menjadi relevan
untuk zaman sekarang karena pendidikan adalah aspek dasariah dalam hidup manusia, namun sayang
situasi pendidikan di Indonesia lebih mengutamakan “status”, “standar Internasional”, “melulu
kurikulum” daripada kualitas manusia yang bisa mengarah pada gambaran manusia Pancasila, suatu
kepribadian bangsa yang di dalamnya termuat keberagaman yang sangat kaya raya.
Cita-cita Indonesia dapat dipupuk sejak dini lewat aktivitas fundamental yang disebut
pendidikan dan juga lewat dialog kritis dari para kaum intelektual, kaum muda, seluruh bangsa
Indonesia yang memiliki cara pandang zaman, pemikiran baru yang diharapkan dapat membumikan ide
asasi Pancasila serta mengamati pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan demi
kepentingan golongan, bukan demi kepentingan individualistik, tetapi demi kepentingan manusia yang
hidup bersama. Bila dipandang seperti itu, maka Pancasila masih memberikan harapan pada kita, pada
setiap keputusan untuk menyelesaikan masalah yang ada di Indonesia: sebuah harapan yang harus
selalu menerobos mendung gelap karena Pancasila sendiri seringkali kurang dipahami secara
mendalam; sebuah harapan yang tidak akan terlaksana bila tidak dilakukan secara bersama-sama.

“[…] Jangan lupa, Pancasila adalah soal perjuangan […] Pancasila adalah soal keyakinan
dan pendirian yang asasi […] Negara kita tidak akan menjadi negara Pancasila jika kita tidak
membuatnya terus-menerus.” (KLD, hlm. 880-881)
Daftar Pustaka

Aryoso, Amin (Penyunting). “Pidato, 1 Juni 1945”, dalam Tjamkan Pantjasila. Pancasila sebagai
falsafah negara –edisi khusus memperingati 100 tahun Bung Karno-. Jakarta: Yayasan Kepada
Bangsaku, 2001.
Bahar, Saafroedin dkk (Penyunting). Risalah Sidang Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia,
cetakan kedua. Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia, 1992.
Budi Hardiman, F. Humanisme dan Sesudahnya – Meninjau Ulang Gagasan Besar tentang Manusia.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.
Danuwinata, F (penyunting). Kumpulan Surat Romo Drijarkara SJ. Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan
Pancasila, 2010.
Feith, Herbert. Sukarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin, diterjemahkan oleh Tim Pustaka
Sinar Harapan (PSH). Jakarta: Sinar Harapan, 1995.
Latif, Yudi. Negara Paripurna. Jakarta: Gramedia, 2011.
Ledge, John. D. Sukarno: Biografi Politik, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Sinar Harapan (PSH).
Jakarta: Sinar Harapan, 1972.
Pranarka, A.M.W. Sejarah Pemikiran tentang Pancasila. Jakarta: CSIS, 1985.
Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia since c. 1200, Edisi ke-3. Hampshire: Palgrave, 2001.
Sudiarja, A dkk (ed). Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta: Gramedia, 2006.
Sutrisno, Mudji. Drijarkara: Filsuf yang Mengubah Indonesia. Yogyakarta: Galangpress, 2006.
Hari Cahyadi, YB. “Drijarkara sekitar Menegara dan Ideologi,” Bunga Rampai – Mengenang Prof. Dr.
N. Drijarkara SJ . Jakarta: STF Driyarkara, 1988: hlm. 89-95.
Hassan, Fuad. “Tjatatan-Tjatatan Pribadi tentang Prof. Dr. N. Drijarkara sebagai Pemikir”, Driyarkara
II no. 1 (1972): hlm. 2-10.
Pranarka, A.M.W. “Manusia sebagai Subjek Pembangunan,” dalam Bunga Rampai – Mengenang Prof.
Dr. N. Drijarkara SJ . Jakarta: STF Driyarkara, 1988, hlm. 51-77.
Sastrapratedja, M. “Pancasila sebagai Dasar Negara, Asas Etika Politik, dan Acuan Kritik Ideologi”
dalam Kongres Pancasila – Pancasila dalam Berbagai Perspektif, Yogyakarta 30 Mei-1 Juni
2009. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hlm. 65-74
Sudiarja, A. “Driyarkara: Pendidikan Kepribadian Nasional,” dalam Basis, No. 07-08 Tahun ke-56
(Juli-Agustus, 2007): hlm. 4-13.
Sudriyanto, Y dan C. Priyanta. “Filsafat Pancasila Driyarkara” dalam majalah Driyarkara, tahun VIII
no. 1 (1991/1992) : hlm. 30-43.
Tokan, Stef dan Thomas Suwarta, “Driyarkara, Pendidik yang Mempraktikkan Pendidikan (Wawancara
dengan Rm. F.X. Danuwinata SJ),” dalam Hati Baru, No. 05. Tahun XII (Mei, 2009): hlm. 22-23.
Triatmoko, B.B. “Biografi Singkat” dalam Bunga Rampai – Mengenang Prof. Dr. N. Drijarkara SJ.
Jakarta: STF Driyarkara, 1988, hlm. 5-11.
Verhaak, C. “Gagasan Sentral dan Perkembangan Pemikiran Drijarkara,” dalam Bunga Rampai –
Mengenang Prof. Dr. N. Drijarkara SJ . Jakarta: STF Driyarkara, 1988, hlm. 12-28.
Wattimena, Reza“Melampaui Negara Hukum Klasik: Sebuah Upaya Filosofis-Teoretis,” dalam Jurnal
Driyarkara, tahun XXVIII, no. 2 (2005), hlm. 60-69.

Anda mungkin juga menyukai