Anda di halaman 1dari 16

ALIF SOSROKARTONO DAN AL-JILLI

[Telaah Esoterisme Simbolik dan Hermeneutis)


Oleh Aguk Irawan MN1

Abtraksi
Dalam huruf Alif Sosrokartono hadir sebagai situasi terpuncak, momen yang tak lazim, makna yang
sangat sakral. Hal ini membuat ia sangat berhati-hati dengan sulaman Alif—dalam karya
kaligrafinya. Alif bagi Sosrokartno tidak hanya dimaknai sebagai huruf pertama hijaiyah, Alif juga
tidak hanya seperti coretan angka satu yang berdiri, tetapi Alif menyimpan makna yang sangat
dalam, dan mungkin kita tidak pernah menyadari itu. Disana ada teori tasawuf-falsafi, sehingga
bertemulah dengan konsepsi Insan-Al-Kamil-nya Abdul Karim Al-Jilli. Tulisan sederhana ini
menggunakan dua pendekatan, yaitu teori interpestasi teks dari Jorge Gracia dan teori simbolisme
esoterisme yang berpijak dari Ferdinand de Saussure.

Keywords: Sosrokartono, Alif, Ahadiyah, Al-Jilli dan Insan al-Kamil

A. Pendahuluan
Mungkin tidak banyak yang mengenal sosok Raden Mas Panji Sosrokartono. Sosrokartono
merupakan kakak kandung RA Kartini yang menguasai sekitar 25 bahasa dunia dan 10 bahasa daerah
Nusantara, serta pemikirannya banyak mengandung ajaran filsafat moral. Dua tokoh bangsa yaitu
Soekarno dan Tan Malaka mengaku pernah belajar banyak hal kepada. Inti ajaran moral dari
Sosrokartono adalah keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan
sesama makhluk Tuhan. Manusia yang baik adalah manusia yang selalu memenuhi kewajibannya
yaitu mencintai, berbakti, serta mengabdi kepada Tuhan.
Adapun bentuk cinta, bakti, dan pengabdian manusia kepada Tuhan dilakukan dalam bentuk
kewajiban berperilaku mencintai, membantu, dan melayani sesama manusia yang membutuhkan
dengan ikhlas (leladi mring sesami). Ajaran moral adi luhung tersebut dipraktikan secara konsekuen
oleh Sosrokartono sendiri.
Beliau mengajarkan agar setiap manusia dalam hubungan spiritualnya kepada Allah harus
sejajar lurus dengan daya guna sebesar-besarnya bagi sesama manusia dan lingkungannya. Hal ini
terlihat pada ajaran yang menekankan pada kewajiban mencintai dan mengabdi kepada Tuhan melalui
perilaku leladi mring sesami sebagai dasar dari segala perbuatan. Kemudian, etika utama lainnya,
tampak pada ajaran yang sosok manusia ideal yang tercermin dalam konsepsi alif dan memiliki
kemanfaatan besar bagi sesamanya yang tercermin dalam simbol gelaran nama Sosrokartono yaitu
Mandor Klungsu dan Djoko Pring.

1
Disampaikan pada Seminar Tasawuf-Jawa: Ajaran dalam Seni dan Budaya, Program Studi Tasawuf dan
Psikoterapi, Fakultas Ushuluddin, UIN Surabaya, Jumat 11 Juli 2021.
Sedangkan etika teologi terletak pada penetapan tujuan dari setiap perilaku yaitu terwujudnya
ketenangan batin dan menyempurnakan hidup. Ajaran utama Sosrokartono adalah Ngawulo Marang
Kawulane Gusti (Mengabdi Allah dengan melayani hambaNya). Prinsip ini merupakan visi hidup
(ancasing gesang) Sosrokartono. Ajaran Sosrokartono yang kedua adalah Catur Murti. Prinsip ini ia
pegang teguh dalam melakukan aktivitas- aktivitas sosial dan kerja- kerja kemanusiaan. ketiga sugih
tanpo bondo (kaya tanpa harta), prinsip “sugih tanpo bondo” ini bagi Sosrokartono adalah kaya batin
atau kaya hati, yang kalau diperinci lagi adalah kaya ilmu dan budi pekerti. Keempat, yakni Nglurug
Tanpo Bala, prinsip ini bisa diartikan dengan berjuang tanpa mengandalkan bantuan orang lain.
Dengan kata lain ngelurug tanpo bolo merupakan cermin sikap mandiri; berani menanggung beban
berat dan pahitnya kehidupan sendiri.2
Sementara, para pakar menyebut Abdul Karim al-Jilli sebagai interpreter, penafsir terbaik
pemikiran Syeikh Muhyidin Ibn Arabi terkait konsepi insan al-Kamil yang secara besar punya
kemiripan dengan konsespi Alif Sosrokartono. Hal ini dipengaruhi oleh gurunya Syarafudin bin
Ismail al-Jabarti salah seorang penganut tasawuf falsafinya Ibnu Arabi. Karya-karya Al-Jilli juga
memancing banyak perdebatan.
Abdul Karim al-Jilli berpendapat, manusia berpotensi menjadi sejati atau unggul dan
sempurna dengan cara memaksimalkan potensi ruhhiyah atau spiritualnya. Untuk mengetengahkan
konsepsi itu, Al-Jilli menyinggung teks suci al-Quran (QS. Al-Hijr: 29 dan QS. Al-Thin: 4). Dalam
persepektifnya, manusia adalah makhluk sempurna disebabkan oleh fisiknya diciptakan dalam bentuk
lurus menyerupai alif sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Di samping itu, kesempurnaan manusia
disebabkan oleh potensi ruhhiyah-nya. Perpaduan jasad dan rohani itulah yang menempatkan manusia
sebagai miniatur Tuhan di bumi.3

B. Sekilas Biografi
Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono (lahir di Pelemkerep, Mayong, Jepara, 10 April 1877 –
meninggal di Bandung, Indonesia, 8 Februari 1952 pada umur 74 tahun) adalah wartawan perang,
penerjemah, guru, dan ahli kebatinan Indonesia. Sebagai putra dari R.M. Ario Sosrodiningrat, R.M.P.
Sosrokartono adalah kakak kandung R.A. Kartini, yang memberi inspirasi Kartini untuk menjadi
tokoh emansipasi wanita. Semenjak kecil ia telah menunjukkan kepandaiannya. Setelah tamat dari
Europeesche Lagere School di Jepara, Sosrokartono meneruskan pendidikannya ke H.B.S. di
Semarang.
Selanjutnya pada tahun 1898, Sosrokartono meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda
dengan masuk di Sekolah Teknik Tinggi Leiden. Namun demikian, karena merasa tidak cocok, ia pun

2
Millati Kamilah, Biografi Singkat Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono,
https://ulamanusantaracenter.com/biografi-r-m-p-sosrokartono/, diakses 2 Juni 2021
3 Abdul Karim al-Jilli, Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awail, (Beirut: Dar al-Fikr,

jilid II, tt,.), hal. 77-78


pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur sehingga lulus dengan menggenggam gelar
Doctorandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden. Beliau merupakan mahasiswa
Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda, yang pada urutannya disusul oleh
putra-putra Indonesia lainnya.4
Ayah Sosrokartono bernama R.M. Adipati Ario Sosroningrat, putra ketiga R.M.A.A.
Tjondronegoro IV, seorang Bupati Demak yang dikenal berpikiran progresif dan terbuka dengan
budaya modern. Sementara ibu Sosrokartono adalah M.A. Ngasirah, putri pasangan K.H. Modirono
dan Ny. Hj. Siti Aminah. Kiai Madirono ini merupakan seorang ulama yang memimpin sebuah
Pondok Pesantren di daerah Telukawur, Jepara sekaligus sebagai pedagang kopra di Pasar Mayong.
Di lihat dari silsilah ini, di dalam diri Sosrokartono sesungguhnya telah mengalir darah bangsawan
sekaligus darah ulama.
R.M.A.A. Sosroningrat tergolong sebagai anak yang beruntung karena menjadi keturunan
Tjondronegoro IV. Dengan posisinya sebagai anak Tjondronegoro IV yang dikenal berfikiran maju
dan tidak feodalistik itu, dirinya bisa mengecap pendidikan Belanda. R.M.A.A. Sosroningrat menikah
dengan Ajeng Ngasirah pada 1872. Saat dinikahi oleh Sosroningrat, usia Ajeng Ngasirah baru 14
tahun. Sosrokartono merupakan keturunan dari kaum bangsawan dan juga priyayi itu yang membuat
kepribadian seorang Sosrokartono menjadi sosok yang budiman yang tidak sombong atau angkuh.
Sebaliknya keluarga Sosrokartono dikenal bersikap rendah hati, humble, dan berbudi luhur.
Sebagai anak priyayi, Kartini menyebut abangnya, Raden Mas Panji Sosrokartono
mengenyam pendidikan yang memadai; dimulai di Europeesche Lagere School di Jepara, Hogere
Burger School di Semarang, RMP Sosrokartono tergolong murid yang cerdas dan pandai di sekolah,
beliau memang orang yang rajin dan sangat suka membaca. RMP Sosrokartono juga dikenal sebagai
orang yang rendah hati dan sopan di sekolahnya. Sewaktu di HBS RMP Sosrokartono sudah
mempunyai minat dan perhatian yang besar terhadap bahasa, bukan saja bahasa Belanda dan Jerman,
tetapi Cina, Latin, Sansekerta, dan lain- lain. Namun demikian, beliau tidak meninggalkan sastra dan
budaya Jawa.
Beliau lalu melanjutkan ke sekolah Teknik Tinggi di Delft. Merasa tidak cocok, Kartono
pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden. Sosrokartono adalah
generasi pertama orang Indonesia yang bersekolah di Negeri Belanda. Walaupun beliau adalah satu-
satunya mahasiswa dari pulau Jawa, namun berbekal penguasaan bahasa Belanda yang baik serta
perilakunya yang sopan, dan minatnya yang sangat besar terhadap bahasa dan budaya, RMP
Sosrokartono menarik perhatian para dosen di lembaga tersebut. hanya dalam waktu enam bulan
beliau mampu menguasai bahasa Yunani dan Latin dengan baik.5

4
Https://historia.id/politik/articles/pengembaraan-sosrokartono-P3e0k/, diakses tanggal 2 Juni 2021
Berkat ketekunan dan kesungguhannya beliau berhasil menyelesaikan studi bahasa dan
kesusastraan timur di Universitas Leiden dengan predikat summa cumlaude. Sehingga berhak
mempergunakan gelar “Doctoranduss In de Oesterche Talen” dari Universitiet Leiden. Pada 29
Agustus 1899, Sosrokartono diundang sebagai salah satu pembicara pada Kongres Bahasa dan Sastra
(Nederlands Taal-en Letterkundig Congres) ke-25 di Gent, Belgia. Pidatonya yang berjudul Het
Nederlandsch in Indie atau Bahasa Belanda di Hindia Belanda adalah tamparan keras terhadap
imperialisme.
R.M.P. Sosrokartono memiliki beberapa profesi karena kejeniusannya sehingga dia dijuluki
"Si Jenius dari Timur" dan "De Javanese Prins", diantaranya: Pertama sebagai wartawan Perang
Dunia I, dari harian New York Herald Tribune di Wina, Austria semenjak 1917. Dalam buku
"Memoir" tulisan Mohammad Hatta, dituliskan bahwa Sosrokartono memperoleh gaji sebesar USD
1250. Bahkan guna memudahkan pergerakannya selama Perang Dunia I, ia diberi pangkat Mayor oleh
Panglima Perang Amerika Serikat. Prestasinya yang lain, Sosrokartono adalah seorang wartawan
pertama di Indonesia yang bisa memotret kawah Gunung Kawi dari atas udara, tanpa menggunakan
pesawat terbang.
Dalam sejarah dunia, perundingan damai Perang Dunia ke I yang resmi berlangsung di kota
Versailles, Prancis. Ketika banyak wartawan yang mencium adanya 'perundingan perdamaian rahasia'
masih sibuk mencari informasi, New York Herald Tribune ternyata telah berhasil memuat hasil
perundingan perdamaian rahasia di hutan Champaigne, Prancis Selatan yang menggemparkan
Amerika dan Eropa. Penulisnya 'anonim', hanya menggunakan kode pengenal 'Bintang Tiga'. Kode
tersebut di kalangan wartawan Perang Dunia ke I dikenal sebagai kode dari wartawan perang R.M.P.
Sosrokartono.6
Dalam 'Memoir' juga ditulis bahwa R.M.P. Sosrokartono yang menguasai bahasa Basque,
menjadi penerjemah pasukan Sekutu kala melewati daerah suku Basque menjelang akhir Perang
Dunia I, diadakan perundingan perdamaian rahasia antara pihak yang bertikai. Suku Basque adalah
salah satu suku yang hidup di Spanyol. Pihak-pihak yang berunding naik kereta api dan berhenti di
hutan Compaigne di Prancis Selatan. Di dalam kereta api, pihak yang bertikai melakukan perundingan
perdamaian rahasia. Di sekitar tempat perundingan telah dijaga ketat oleh tentara dan tidak
sembarangan orang apalagi wartawan boleh mendekati tempat perundingan dalam radius 1 km.
Semua hasil perundingan perdamaian rahasia tidak boleh disiarkan, dikenakan embargo sampai
perundingan yang resmi berlangsung.
Kedua, sebagai penerjemah di Wina (Austria), dengan menguasai 24 bahasa asing dan 10
bahasa daerah di Nusantara. Tahun 1919 didirikan Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) atas
prakarsa Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson. Dari tahun 1919 sampai 1921, R.M.P.

6
Ki Sumidi Adisasmita, Djiwa Besar Kaliber Internasional Drs. Sosrokartono dengan Mono
Perjuangannya Lahir-Bathin yang Murni. (Yogyakarta: Pagujuban Trilogi, 1971), hal. 17
Sosrokartono menjadi anak bumiputra yang mampu menjabat sebagai Kepala penerjemah untuk
semua bahasa yang digunakan di Liga Bangsa-Bangsa. Bahkan dia berhasil mengalahkan para
poliglot (ahli bahasa) dari Eropa dan Amerika sehingga meraih jabatan tersebut. Liga Bangsa-Bangsa
kemudian berubah nama menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Organization) pada
tahun 1921.
Ketiga sebagai dokter, dikenal Belanda sebagai Dokter Air Putih, karena dapat mengobati
penyakit hanya dengan menggunakan media air putih. Dikisahkan bahwa Sosrokartono mendengar
berita tentang sakitnya seorang anak berumur lebih kurang 12 tahun. Anak itu adalah anak dari
kenalannya yang menderita sakit keras, yang tak kunjung sembuh meski sudah diobati oleh beberapa
dokter. Dengan dorongan hati yang penuh dengan cinta kasih dan hasrat yang besar untuk
meringankan penderitaan orang lain, saat itu juga beliau menjenguk anak kenalannya yang sakit parah
itu.
Sesampainya di sana, beliau langsung meletakkan tangannya di atas dahi anak itu dan
terjadilah sebuah keajaiban. Tiba-tiba si bocah yang sakit itu mulai membaik dengan hitungan detik,
dan hari itu juga ia pun sembuh. Kejadian itu membuat orang-orang yang tengah hadir di sana
terheran-heran, termasuk juga dokter-dokter yang telah gagal menyembuhkan penyakit anak itu.
Setelah itu, ada seorang ahli Psychiatrie dan Hypnose yang menjelaskan bahwa sebenarnya Drs.
R.M.P. Sosrokartono mempunyai daya persoonalijke magneetisme yang besar sekali yang tak disadari
olehnya.
Mendengar penjelasan tersebut, akhirnya beliau merenungkan dirinya dan memutuskan
menghentikan pekerjaannya di Jenewa dan pergi ke Paris untuk belajar Psychometrie dan
Psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di kota itu. Akan tetapi, karena beliau adalah lulusan
Bahasa dan Sastra, maka di sana beliau hanya diterima sebagai toehoorder saja, sebab di Perguruan
Tinggi tersebut secara khusus hanya disediakan untuk mahasiswa-mahasiswa lulusan medisch dokter.7
Kempat, sebagai aktivis dan cendekiawan. Sosrokartono turut menginisiasi berdirinya
Indische Vereeniging pada November 1908. Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) merupakan
sebuah organisasi mahasiswa Indonesia (saat itu namanya masih Hindia Belanda) di Negeri Belanda.
Sosrokartono bersama teman- temannya mendirikan organisasi ini 7 bulan paska dirinya berhasil
menyelesaikan kuliah sarjananya. Organisasi ini digunakan untuk mewadahi dan ajang pertemuan
para mahasiswa Indonesia (Hindia Belanda) yang belajar di Belanda saat itu. Namanya juga
tercantum dalam daftar dewan redaksi harian Bintang Timoer yang terbit di Belanda pada 1903,
pimpinan Drs. Abdoel Rivai.
Indische Vereeniging ini didirikan pada 15 November 1908 oleh sejumlah mahasiswa
Indonesia antara lain: Sosrokartono, Hoesein Djajadiningrat, R.N Noto Soeroto, Notodiningrat, Sutan
Kasyayangan Saripada, Sumitro Kolopaking, dan Apituley. Di awal berdirinya, organisasi ini

7
H. Arief Furchan, Studi Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2005, hal. 12.
menggunakan nama Belanda: Indische Vereeniging, lalu pada 1922 namanya berubah menjadi
Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) dan pada 1925 namanya diganti dengan bahasa
Indonesia (Melayu) menjadi Perhimpoenan Indonesia. Di antara organisasi yang dijadikan sebagai
partner perjuangan Indische Vereeniging ini adalah Budi Utomo. Kepada organisasi Budi Utomo itu,
Indische Vereeniging mengirimkan sebuah buku sebagai upaya turut serta menyumbangkan ide dan
gagasan bagi perjuangan bangsa Indonesia.
Lalu pada tahun berikutnya, tepatnya pada 3 Februari 1925, organisasi itu berubah namanya
menjadi “Perhimpoenan Indonesia”. Digunakan bahasa Indonesia menjadi nama organisasi itu
menunjukkan oleh para mahasiswa Indonesia di Belanda itu semakin menguat. Pada masa- masa
inilah, Sosrokartono juga tercatat sebagai salah satu seorang aktor yang turut menyemai pergerakan
nasional menuju kemerdekaan Indonesia. Harry A. Poeze, mencatatkan hikayat ini. Begini isi pidato
yang sudah diterjemahkan dalam bahsa Indonesia:
“Bangkitlah hai putra- putri Jawa. Serbulah bukit ilmu pengetahuan yang ada di depanmu.
Sungguh jauh dari maksud saya untuk menjadikan kamu menjadi orang Belanda. Pertama- tama
kamu harus menyadari bahwa kamu itu orang Jawa dan tetap orang Jawa. Kamu bisa saja
menguasai kemajuan orang Eropa, tanpa mengorbankan kepribadianmu dan sifat- sifatmu.8
Hingga tahun 1927 Sosrokartono memutuskan untuk keluar dari Taman Siswa dan
mendirikan Pesantren Darussalam. Di Padepokan atau Pesantren ini selain membimbing jamaah
kepada kehidupan spiritual juga melayani masalah kesehatan. Pada setiap pengobatan, Kartono
biasanya memberikan air putih dan secarik kertas bertulisan huruf Alif (singkatan dari Allah) kepada
pasien.
Pada 30 April 1930 ia mulai mengadakan penyembuhan spiritual dengan air putih yang
dilakukan di tempat tinggalnya di Jalan Pungkur Bandung (sekarang Jl Dewi Sartika), yang kemudian
disebut Darus Salam (Tempat Nan Damai). Orang Jawa yang berobat kepadanya menyebut beliau
‘Ndoro Sosro’, Orang Sunda menyebutnya ‘Dokter Cai’ atau ‘Juragan Dokter Cai Pengeran’ atau
Dokter Alif, Orang Belanda dan Indo Belanda menyebutnya ‘Oom Sos’ dan kalangan kedokteran
menyebutnya ‘Wonder Dokter’ (bahasa Belanda artinya dokter ajaib). Beliau tidak menikah, tidak
punya murid dan wakil.
Pada hari Jum’at Pahing, tanggal 8 februari 1952 di rumah Jl. Pungkur No. 19 Bandung, yang
terkenal dengan sebutan Dar-Oes-Salam, Drs. R.M.P. Sosrokartono kembali ke Sang Pencipta dengan
tenang. Presiden Soekarno memerintahkan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) untuk
mengantarkan jenazah RMP Sosrokartono dengan pesawat terbang militer ke kota Semarang.
Jenazahnya kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga Sedhomukti di kota Kudus.
Beberapa karya tulisnya diantaranya Serat saking Tanjung Pura, Laku Lan Maksudipun,
ratusan artikel dan berita di koran Amerika The New York Herald Tribune, lalu buku Sangkan

8
Harry A Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, (Jakarta: KPG dan
KITLV-Jakarta, 2008), hal. 67.
Paraning Dumadi, buku ini sebenarnya nama penulisnya ‘anonim’, dengan menggunakan kode
pengenal ‘Bintang Tiga’, tetapi para pengikutnya tahu persis bahwa ini adalah karya tulis
Sosrokartono dan lain sebagainya.
Sementara Abdul Karim Al-Jilli nama lengkap Abdul Karim ibn Ibrahim ibn Abdul Karim
ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Ia lahir di Baghdad pada awal Muharam 782 H (sekitar
1355/1356 M) dan meninggal dunia di Zabid, Yaman utara. Namun, ada juga versi lain yang
menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 826 H (1421/1422 M). Al Jili masih memiliki pertalian
darah dengan Syaikh Abdul qadir Al-Jilani. Penisbatan sebutan Jili atau Jilani pada namanya
mengandung dua konotasi. Pertama, karena ia masih mempunyai hubungan darah dengan suku Arab
(suku Rabi'ah), yang bertempat tinggal di Jilan (Kilan), sebuah provinsi dalam wilayah Persia yang
terletak di sebelah selatan Laut Kaspia. Kedua, karena dia dilahirkan di distrik Jil yang berada di
wilayah kota Baghdad.9
Pada tahun 790 H ia berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya. Ketika berkunjung
ke India ini, Al-jili melihat tasawuf falsafi Ibn Arabi dan tarekat-tarekat antara lain Syisytiyah
(didirikan oleh Mu’in al-Din al-Shysyti, W. 623H di Asia Tengah), Suhrawardiyah (didirikan oleh
Abu Najib al-Suhrawardi, W.563 H,di Bagdad), Naqsyabandiyah (didirikan oleh Baha al-Din al-
Naqsyaband, W.791 H. di Bukhara) berkembang denagn pesat. Sebelum sampai ke India, ia berhenti
di Persia dan mempelajari bahasa Parsi. Di sanalah ia menulis karyanya Jannat-u al-Ma’arif wa
Ghayat-u Murid wa al-Ma’arif.
Pada akhir tahun 799 H ia berkunjung ke Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji,
namun dalam kesempatan ini ia sempat pula melakukan tukar pikiran dengan orang disana. Hal ini
menandakan bahwa kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan melebihi kecintaannya terhadap hal-hal
lain. Empat tahun kemudian, yakni tahun 803 H al-jili berkunjung ke kota Kairo. Dan disana ia
sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota
inilah ia menyelesaikan penulisan bukunya yang berjudul, Ghunyah Arbab al-Sama’ wa Kasyf al-
Qina’ an Wujud al-Istima.
Karya-karya Al-Jilli diantaranya, Al-Insan Al-Kamil Fi Ma’rifat-I ‘L-Awakhir Wa ‘L-Awa’il,
Al-Durrah Al-‘Ayniyah Fi L-Syawahid Al-Ghaybiyah, Al-Kahf Wa ‘L-Raqim Fi Syarh Bi Ism-I ‘L-Lah
Al-Rahman Al-Rahim, Lawami Al-Barq, Maratib Al-Wujud, Al-Namus Al-Aqdam dan lain sebagainya.
Al-Jili sangat populer dengan ajaran dan konsep tasawufnya tentang al Insan al Kamil (Manusia
Paripurna). Dalam pandangan al-Jili, al-insan al-kamil umumnya adalah kalangan wali yang telah
melalui ‘kontemplasi jiwa’ atau mujahadah nafs sehingga dzat Allah tadi bermanifestasi pada dirinya.
Meski manifestasi semacam ini tidak secara keseluruhan, namun demikian al-insan al-kamil adalah
sosok khalifat Allah fi al-ardl al-haqiqi (khalifah sejati di muka bumi). Sebagaimana Allah SWT
isyaratkan dalam surat al-baqarah ayat 30.

9
Oman Fathurrahman, dkk. Ensiklopedi Tasawuf. (Bandung:Penerbit Angkasa, 2008), hal. 13-17 Cet.1
Ada sebuah hikayat menarik tentang kitab Insan kamil karya Al-Jilli ini. Suatu saat seorang
faqih bernama Ibnu Amir menderita sakit satu setengah tahun. Berbagai obat telah dicoba namun
tidak kunjung sembuh. Sampai akhirnya ada seorang ahli fiqih datang menjenguknya dan membawa
kitab Insan Kamil. Kitab itu kemudian dibakar untuk memasak roti tawar. Anehnya penyakit ibnu
Amir sembuh karena membuat obat dengan menggunakan kedua kitab itu untuk memasaknya.
Menurut Al-Jilli puncak dari spiritual sesorang adalah jika ia telah sampai pada maqam
bertemunya roh para rasul yang terkristal pada diri Nabi Muhammad SAW. Hal itu bisa dimulai
dengan mengambil kebaikan dan kearifan para nabi. Al-Jilli pun merasa perlu menyebut kearifan
Nabi Adam dan Musa dan Isa AS, sampai para wali dan orang-orang saleh, sebagai refleksi atas
gambaran orang-orang yang sudah sampai maqam al-Kamil atau sariro tunggal.10
Pokok dan inti ajaran Al-Jilli dalam merumuskan konsep Insan al-Kamil adalah dengan
istilah Martabat al-Ghaib, yaitu seputar eksistensi manusia dan tingkatan-tingkatan dalam perjalanan
rohaninya 11. Ada beberapa tingkatan ma’rifat atau fana menurut Al-Jilli. Pertama, hamba yang fana
dari dirinya, sebab hadirnya hadirat Allah. Kedua, hamba yang fana dari Allah, sebab hadirnya
rahasia-rahasia af-al rububiyah. Ketiga, hamba fana yang bergantung pada sifat-sifat Allah, sebab
sudah bertemu dengan dzat Allah. Apabila seorang salik sudah sampai ketiga tingkat tersebut, maka ia
akan merasakan hadirnya Tuhan dalam dirinya, Al-Jilli menyebutnya sebagai Insan al-Kamil atau
ahlus sufi, yaitu wahdatul wujud.12

C. Kerangka Teori
Tulisan singkat ini adalah jenis kualitatif dengan menggunakan pendekatan dua jenis teori, yaitu
teori interpestasi teks dari Jorge Gracia dan teori simbolisme esoterisme yang berpijak dari Ferdinand
de Saussure. Menurut Jorge Gracia, dalam teks (bahasa verbal/sastra) terkandung enam hal: Entitas,
sign, specific meaning, intention, selection dan contec. Entitas: bagian-bagian yang membentuk teks.
Sign: tanda-tanda dalam teks. Specific meaning: makna khusus. Intention: Apa yang dimaksud oleh
pengucap/penulis. Selection: Pilihan kata yang digunakan. Contec: relasi dengan obyek.
Menurut Gracia lagi, bahwa interpretasi sebagai teks terdiri dari teks yang ditafsirkan
‘interpretandum’, keterangan-keterangan tambahan ‘interpretans’ dan mufassir. Tetapi, perlu disadari
bahwa komentar-komentar tambahan dari mufassir bukanlah interpretasi, melainkan gabungan antara
teks yang ditafsirkan dan teks tambahan dinamakan interpretasi. Sedangkan interaksi pembacaan oleh
pembaca terhadap interpretasi yang melahirkan sebuah pemahaman makna teks adalah understanding.

10
Abdul Karim al-Jilli, Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awail, (Beirut: Dar al-Fikr, jilid II,
tt,.), hal. 58, 74-78. Lihat juga Abdul Karim al-Jilli, Al-Isfar al-Gharib Natijat al-Safar al-Qarib, (Kairo; Al-
Masyhad-al-Husain, tt.) hal.3-7
11
Abdul Karim al-Jilli, Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awail, (Beirut: Dar al-Fikr, jilid II,
tt,.), hal. 77-78
12
Abdul Karim al-Jilli, Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awail, (Beirut: Dar al-Fikr, jilid I,
tt,.), hal. 38
Gracia memberikan penekanan-penekanan terhadap fungsi interpretasinya, terutama fungsi
historis dan pemaknaan. Fungsi historis, dia lebih menekankan dengan langkah seimbang pemahaman
atau principle of proportional understanding. Sedangkan fungsi pemaknaan, dia lebih menekankan
dalam fungsi kebudayaan yang dimiliki oleh teks dari pada fungsi kebahasaan yang dimiliknya.13
Relevansi gagasan interpretasinya dalam studi metodologi pemaknaan manuskrip adalah;
pertama, hakikat teks sebagai interpretandum memberikan penegasan bahwa pemahaman teks tak
bisa dilepaskan dengan penggunaan makna gramatikal pada saat itu, sehingga layak untuk kajian
komparasi manuskrip kedua; prinsip pemahaman proporsional yang ditawarkannya juga dapat
dipertimbangkan sebagai metodologi memahami makna teks secara historis; ketiga, fungsi
kebudayaan yang dimiliki teks pada fungsi pemaknaan memberikan acuan baru dalam memaknai dua
manuskrip yang berbeda zaman. Karena itu telaah seputar terma Ma’rifat Alif ini disandarkan
sepenuhnya pada pemahaman dan interprestasi atas teks-teks dari karya Sosrokartono dan Abdul
Karim Al-Jilli.
Sementara teori simbolisme esoterisme dalam wujud nyatanya adalah bagian dari irisan produk
budaya dan merupakan fenomena simbolik. Simbol sendiri merupakan bagian dari praktek tanda-
tanda. Apa yang disebut dengan tanda ini jika merujuk pada pendapatnya Ferdinand de Saussure
(1974), terdiri atas dua unsur utama: penanda (siginifer) dan petanda (signified). Penanda, yang
merupakan unsur material yang menandai, sementara petanda adalah isi/makna yang ditandai.
Penanda karenanya akan selalu merujuk pada petandadan petanda sendiri kemudian merujuk pada
realitas.14
Dalam perspektif Sausurian tersebut bisa dipahami, bahwa esoterisme sebagai bagian dari
wilayah theologi, metafisika dan mistitisme, yang dalam obyek kajian terma Ma’rifat Alif ini adalah
fenomena simbolik yang di dalamnya mengandung makna. Penggunaan simbol Alif merupakan
penanda (signifer) yang merefleksikan makna atau isi (signified) tertentu. Tentu saja makna yang
terkandung dalam simbolisme esoterisme ini dibangun berdasarkan konvensi, dalam pengertian
bahwa makna dalam simbolisme esoterisme itu pada posisi yang disepakati oleh komunitas atau
kelompok masyarakat tertentu.
Maka dengan bahasa lain, dalam sistem pertandaan yang dilontarkan oleh Saussure ini, makna
dalam sebuah esoterisme tiada lain merupakan sebuah kesepakatan sosial di antara komunitas para
pengguna bahasa.15 Makna yang terkandung di dalam bentuk-bentuk esoterisme itu, tentu saja tidak
mesti searah, tapi ada dialektika antara kelompok sosial dengan kelompok sosial lain, atau antara
individu dengan dengan individu lain, dalam hal ini antara Sosrokartono dengan Abdul Karim Al-Jilli.
Masyarakat, yang menurut Saussure hanya sebagai pengguna tanda yang telah tersedia, banyak yang

13
Jorge J.E. Gracia, Theory Of Textuality: The Logic. And Epistemology (Albany: State. University Of
New ... Press, 1995), hal. 147. 8.
14
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
(Yogyakarta:Jalasutra, 2003), hal.158
15
Jonathan Culler, Saussure, (Fontana Press, 1976), hal.19
telah melakukan reinterpretasi terhadap makna simbol yang ada dalam sejumlah esoterisme sehingga
masing-masing komunitas bisa secara bebas melakukan pertukaran tanda (sign exchange), pertukaran
makna, bahkan deologi.16
Selain itu, tanda dalam kerangka simbolik ini juga mempunyai fungsi untuk komunikasi.
Simbol atau tanda merupakan alat untuk menyampaikan pesan. Pesan inilah yang menjadi makna dari
simbol atau tanda tersebut. Umberto Eco juga menyatakan bahwa sebuah tanda atau simbol dalam
konteks semiotika komunikasi diletakkan atau ditempatkan dalam mata rantai komunikasi, karenanya
simbol atau tanda ini merupakan unsur yang vital dalam aktivitas dan praktek komunikasi. Bagi Eco,
proses interpretasi tanda ini berjalan terus menerus. Proses yang tak pernah putus dalam proses
interpretasi tanda inilah yang oleh Eco disebut dengan semiosis: sebuah interpretasi tanda atau simbol
yang tak berhingga.17
Mengenai simbolisme esoterisme sebagai wujud dari berlakunya sistem pertandaan ini, dalam
konteks Indonesia, diwujudkan dengan hadirnya beragam simbolisme lokal, seperti Pring, Lidi atau
Sapu Lidi bagi Sosrokartono yang bentuknya menyerupai Alif sebagai suatu pengetahuan yang
ditemukan melalui kumpulan pengalaman dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya
dan keadaan alam suatu tempat.18

D. Pembahasan
Pengalaman spiritual atau religio dimulai dari hening dan sebuah saat yang dahsyat. Dalam
kategori William James, keadaan “mabuk Tuhan” yang memukau seperti itu akhirnya selalu dicoba
untuk diabadikan dengan sesuatu yang kukuh—dalam term semiotik disebut simbol—tentang yang
kekal dan ketidak-jangkauan atau yang terjangkau—yang sebenarnya tentang yang luhur. Atau
tentang yang indah memesona. Pengalaman itu boleh jadi buah rindu. Buah Cinta. Ia tanda damba dan
takjub. Dalam keadaan itulah R.M.P Sosrokartono punya “Alif”, sesuatu yang juga lazimnya dialami
oleh para asketis lainnya.
Dalam huruf Alif itulah, Sosrokartono hadir sebagai situasi terpuncak, momen yang tak lazim,
makna yang sangat sakral. Hal ini membuat ia sangat berhati-hati dengan sulaman Alif—dalam karya
kaligrafinya. Sosrokartono mengatakan, bahwasannya “memasang Alif harus dengan upaya laku,
tidak boleh digantungkan begitu saja dan kemudian ditinggalkan, seperti menjemur baju”. Perkataan

16
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika.....hal.258
17
Dalam penjelasannya soal pendapat Eco ini, Yasraf Amir Piliang menjelaskan bahwa sistem tanda
yang mengalami semiosis itu tidak bisa dipandang dalam sistem oposisi biner. Ada sebuah pemikian atau
pendapat yang keliru bahwa seolah-olah seseorag atau sebuah komunitas masyarakat tidak bisa memadukan
atau mengintegrasikan antara doktrin tanda dengan doktrin semiosis sebagai wujud aktivitas interpretasi yang
tanpa batas. Padahal menurut Eco sendiri, tanda atau simbol sendiri merupakan sebuah asal-usul dari proses
semiosis, karenanya terdapat hubungan yang sifatnya timbal balik antara semiotika signifikasi dan semiotika
komunikasi, lihat ibid, hal.267
18
A.S.Padmanugraha, ‘Common Sense Outlook on Local Wisdom and Identity: A Contemporary
Javanese Natives’ Experience’ Paper Presented in International Conference on “Local Wisdom for Character
Building”, (Yogyakarta: 2010), h. 12
ini memberi pengertian bahwa ia tidak menginginkan seseorang memasang Alif sembarangan, orang
yang boleh memasang Alif adalah orang yang sudah menjalani laku, karena Alif mempunyai makna
yang dalam bagi kehidupan manusia di Dunia.19
Ketika seseorang mengalami kehadiran sesuatu yang Maha Lain, yang Numinous,
sebagaimana dialami Sosrokartono yang menjadikan Alif sebagai simbol, maka dalam
ketidaksadaran dan sadarnya, ia juga akan menyukai yang serba lurus dan jejeg, misalnya, ia
menyukai Pring dan Lidi.20
Dalam ilmu Psikologi, kesukaan seseorang itu mempengaruhi perilaku dan pemikirannya. Hal
ini juga merupakan faktor yang mempengaruhi dalam pemikiran Sosrokartono. Di abad ke-5, atau
500 tahun sebelumnya, Santo Agustinus mengucapkan perasaan yang mirip Sosrokartono:
“Sepanjang waktu aku gemetar sendiri, seperti sebatang bambu di tepi sungai.”
Alif bagi Sosrokartno tidak hanya dimaknai sebagai huruf pertama hijaiyah, Alif juga tidak
hanya seperti coretan angka satu yang berdiri, Alif menyimpan makna yang sangat dalam, dan
mungkin kita tidak pernah menyadari itu. Diantara makna Alif bagi Sosrokartono itu adalah Alif
menggambarkan keesaan dalam kenyataan atau kasunyatan, yang merupakan perpaduan dan kesatuan
empat fa’al Jiwa yaitu Catur Murti.
Alif merupakan kiasan kekuatan ghaib, antara lain untuk menyembuhkan penyakit. Alif
merupakan sarana fokus konsentrasi ke arah tercapainya situasi keterbukaan Jiwa untuk menerima
unsur-unsur dari luar. Alif sebagai pengganti kata Aku, dan Alif menggambarkan Jumbuhing Kawulo
Gusti.
Alif Keesaan
Bagi Sosrokartono, dalam kata Allah, terdiri dari lima huruf yang jamid, yaitu alif, lam, lam,
alif dan ha. Masing-masing huruf punya filosifinya, tetapi semua terkumpul dan tertumpu pada yang
utama yaitu Alif yang Esa. Kenapa pada Alif? Karena alif mengandung tauhid-dzati yaitu al-
Ahadiyah, yang berarti semua yang wujud ini tiada, atau akan sirna kecuali al-Ahad-al-Haq (Ar-
Rahman, 26-27). Tetapi semua yang wujud itu juga Esa, terdiri dari sukma, jiwa, raga dan jagad raya.
Empat wujud ini menurut Sosrokartono simbol dari laku Catur Murti yaitu bersatunya empat
fa’al, yaitu perasaan, pikiran, perkataan, dan perbuatan. Berawal dari perasaan maka timbullah
pikiran, kemudian berkata dan terakhir berbuat. Dengan bersatunya empat fa’al tersebut maka
manusia akan menemukan kenyataan (Jawa: Kasunyatan) dari kenyataan ini akan menemukan
Keeasan.21
Pengertian Sosrokartno mengenai Alif Ahadiyah ini senada dengan konsep Alif menurut sufi
besar Abdul Karim Al-Jilli (1365-1421). Menurutnya, huruf Alif di awal kalimat Allah, mengantarkan

19
Abdullah Ciptoprawiro, Pengertian Huruf Alif dalam Paguyuban Sosrokarton (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), hal. 58.
20
R.M.P. Sosrokartono, Serat saking Tanjung Pura. (Langkat, 26 Oct. 1931) Dokumen
21
R.M.P. Sosrokartono, Laku Lan Maksudipun, (Binjei, 12 November 1931). Dokumen.
kepada pengetahuan tentang Dzat Mutlak, yaitu al-Ahad, sebagai cermin dan washilah bagi segala
yang wujud. Apabila seorang hamba mampu bercermin melalui rahasia Alif, atau tauhid dzati ini
maka akan terbuka takbir yang memisahkan antara makhluk dan khaliq. Diri manusia sebagai khalifah
Allah dan Allah, ibarat dua cermin alif yang saling berhadapan yang satu sama lainnya dan bisa saling
memandang.22
Alif Kekuatan
Menurut Sosrokartono dalam kalimat Allah, ada kata alif kedua, ia tak terlihat, juga tak
tertulis, tetapi pasti diucapkan, yaitu alif yang sempurna, yang dalam tajwid bacaannya dipanjangkan.
Tidak tertulisnya huruf Alif ini menunjukkan ada kekuatan gaib dalam huruf Alif. Di dunia ini ada
yang tak terlihat, juga, tak terperhatikan, tetapi wujudunya nyata, itulah Sang Alif, huruf Alif kedua
dalam kalimat Allah.
Alif ini adalah isyarat kekuatan gaib yang selalu tak terhindarkan. Hal ini disebabkan, selain
Allah adalah dzat dan wujud yang paling nyata, dalam Alif pertama. Allah juga, wujud dan dzat
paling abstrak dalam Alif kedua.
Dua hal itu adalah kehendak Allah. Kewujudan-Nya yang terang benderang bisa dikenali
melalui indra-rasio, dan keabstrak-annya harus dikenali melalui usaha maksimal spiritual manusia, al-
hasil dari upaya spiritual manusia menghasilkan jiwa yang siap menerima rahasia tajalli-Nya. Dengan
demikian manusia akan bisa menyerap kekuatan maha gaib dari Allah.
Dalam salah satu upaya menuju ke sana, Sosrokartono menunjukkan jalan itu, sebagaimana
yang terkenal dalam salah satu postulatnya: Langgeng tanpo susah, tanpa seneng, antheng mantheng,
sugeng jeneng… (Tegak lurus, tanpa bahagia tanpa duka, tenang di tengah tidak goyah dan menjaga
nama). Rahasia jiwa untuk menerima rahasia tajalli dan kekuatan-Nya itu diperkenalkan oleh
Sosrokartono, diantaranya dengan bersikap tegak-lurus seperti huruf Alif. Tegak di tengah, berarti
kita jangan sampai miring ke kiri atau ke kanan, atau condong ke atas atau kebawa, tetapi tetap di
tengah.
Dalam term geometri posisi ini mungkin seperti dua garis lurus yang saling menyilangkan,
dan di tengahnya terdapat angka 0. Angka 0 ini jika miring sedikit saja, maka akan bergeser menjadi
minus satu (negatif) atau tambah satu (positif) dan seterusnya. Angka 0 berbeda dengan kosong atau
nihil. Maka posisi ideal memang menjadi Alif-washati. Garis keatas simbol nafs-ruhiyah (jiwa), garis
kebawa simbol nafsaniah (hawa-nafsu), garis ke kanan al-aql (rasio) dan garis ke kiri khyali (fantasi).
Terkait terma Alif-kekuatan gaib, ini sejajar dengan konsep Abdul Karim dalam terma Alif
ahl al-Ghaib. Huruf kedua dari kalimat Allah ini juga menunjukkan bahwa ada eksistensi lain dari
kesederhanan tubuh-manusia, yaitu eksistensi ahl al-Ghaib, yang ia sebut sebagai ‘wadah’ insan al-
Kamil, karena terpilih untuk bisa mendekati-Nya dan menerima tajali-Nya.

22
Abdul Karim al-Jilli, Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awail, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz
I), hal. 26
Menurut Al-Jilli, bahwa, anna dzat Alallahuta’ala ghaib al-Ahadiyah allati kullu yara
musthafiyah lima’atin la waqiah ‘alaiha…(dzat Allah adalah ghaib al-Ahadiyah, yang tiap ungkapan
yang mencoba mendiskripsikannya dari berbagai sisi tidak akan sesuai dengan kenyataan, tetapi ia
bisa dipahami koheren, karena kekuatannya. Untuk memberi penjelasan tentang dzat esensi Alif yang
gaib ini al-Jilli menganalogikan dengan dzat seokor burung quds yang terbang di angkasa yang
hampa, tetapi punya kekuatan.23

Alif Kemarifatan
Alif kemarifatan berarti gabungan antara Alif yang nyata dan yang tak nyata, tetapi terbaca
itu. Sosrokartono lalu mentesakan antara “Aku (wujud kasar) + Aku wujud al-ghaib“= Kema’rifatan.
Alif nyata berarti Jumbuhing Kawulo Gusti. Sementara Alif yang tak kasat mata berarti
Manunggaling Kawulo Gusti. Kedua terma dia atas, yaitu jumbuhing dan Manunggaling Kawulo
Gusti mempunyai makna yang sama yaitu kemarifatan bersatunya manusia (alam) dengan Tuhan,
yang membedakan hanya lafadz dan pelafalannya saja.
Menurut Sosrokartono jagad raya ini hanyalah jumbuhing, atau wadah kasar bagi tajalli atu
manuggaling-Nya. Maka dalam pengetahuan-kemarifitan segala yang ada di alam raya ini tidak ada
arti kecil maupun besar, tinggi maupun rendah. Karena semuanya pada hakikatnya adalah mir’ah dari
Alif Ahadiyah.
Konsekwensi dari pemikiran itu, meniscayakan bahwa tidak ada eksistensi yang hakikat dari
sekadar wadah-kasar, seperti status kaya-miskin, kawula-ningrat, atau rakyat-penguasa. Semua adalah
sama secara hakikat (alif kedua), meski begitu tiap posisi (alif pertama) memberi nilai dan peluang
pada makna: “Ngawula dateng kawulaning Gusti lan memayu ayuning urip, …” (mengabdi kepada
abdinya Tuhan dan memperbaiki keindahan hidup).
Diungkapkan bahwa Sosrokartono memiliki tiga buah Alif, yaitu: Sang Alif warna hitam,
dengan dasar putih. Sang Alif warna putih, dengan dasar biru muda, dan Sang Alif warna putih,
dengan dasar merah. Menurut Sosrokartono, sebelum Tuhan bertajali dan dikenali oleh makhluknya,
Tuhan dalam keadaan ‘amma atau tidak dikenal, simbol ini berwarna hitam, dengan dasar putih. Lalu
al-‘amma menerima al-Ahadiyah, Tuhan dalam keadaan ini bertajalli bagi diri-Nya atau penampakan
dirinya pada Dzat yang Esa, Tuhan dalam keadaan ini masih belum bisa disifati, simbol ini alif
berwarna putih, dengan dasar biru muda.
Kemudian Tuhan menampakkan Dzat-Nya (Iniyyah) pada alam-raya. Iniyyah adalah isyarat
bagi munculnya Tuhan dengan segala kesempurnaan dari sisi bathin-Nya. Di posisi ini Sang Alif
warna putih, dengan dasar merah, sebagai puncak dari kemarifatan seorang hamba dengan Tuhan.
Terma simbol warna-warni di atas juga dimunculkan oleh al-Jilli berdasarkan hubungan timbal-balik;

23
Abdul Karim al-Jilli, Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awail, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz
I, tt,.) hal. 22 dan 26
Tuhan ingin dikenal oleh makhluknya dan mahluk atau ciptaan ingin mengenal Tuhannya, maka
terjadilah suatu kepentingan bersama yang menjadi keinginan masing-masing.
Lalu manusia menadapatkan tingkatan kemarifatan secara berjenjang dari perbuatan, nama,
sifat, sampai dzat Tuhan secara lengkap, dalam hal ini kemarifatan sempurna adalah posisi menjadi
insan al-Kamil setelah melalui empat fase, yaitu tajjali pada af-‘al, tajjali pada sifat-Nya, tajalli pada
asma-Nya dan dan tajalli pada Dzat-Nya. Hal ini bisa terjadi karena manusia mempunyai nous Tuhan
yaitu, nafs, ruh dan qulb.24

E. Penutup
Bagi al-Jilli setiap orang bisa mengalami proses spiritual seperti yang digambarkan
Sosrokartono tersebut (Alif warna hitam, dengan dasar putih. Alif warna putih, dengan dasar biru
muda, dan Alif warna putih, dengan dasar merah) karena pada diri manusia dibekali kekuatan rohani
(ruhhiyah)25. Setelah semua tahapan berhasil dilalui, dan manusia sampai pada tingkatan tertinggi atau
puncak itu, maka Tuhan akan ber-tajalli (menampakkan diri). Jenis penampakkan ini melalui tiga
tahapan tanazul (turun), yaitu Ahadiyah, Huwiyah dan Iniyyah.
Pertama, dengan Ahadiyah, Tuhan nampak pada hamba dengan perbuatan-Nya. Maka fana’-
lah (lenyap) perbuatan hamba, dan yang nampak khariqul adat (nampak aneh) dari sifat af’al baqa’
(perbuatan kekal) Tuhan. Kedua, Huwiyah, Tuhan nampak salah satu dari sifat nama-Nya kepada
hamba-Nya. Maka fana’-lah hamba karena nur asma-Nya (cahaya Agung Nama-Nya). Nama yang
pertama turun adalah al-Maujud (Yang Maha Ada) dan yang terakhir al-Qayyum (Yang Maha
Berdikari). Ketiga, Iniyyah, Tuhan menampak dalam sifat dan Dzat hamba-Nya. Tahapan ini disebut
al-abd al-Shifah (miniatur Tuhan, Insan al-Kamil, karena sifat dan dzatnya). Maka fana’-lah hamba,
dan yang keluar adalah karomah-karomah yang luar biasa.26
Sebenarnya konsepsi Alif dalam Manunggaling Kawula Gusti dan Insan al-Kamil, secara
implisit sudah sering dibahas jauh sebelum Sosrokartono dan al-Jilli hidup, di Jawa masyhur dua
nama penting, yaitu Kanjeng Sunan Kalijaga dan Syaikh Siti Jenar, sementara di Arab ada al-Ghazali
dalam kitabnya al-Misykah al-Anwar, dengan menghadirkan konsepsi ”aku” menjadi figur atau
individu ”al-Mutha” (figur yang harus dipatuhi).27 Yang dimaksud al-Ghazali dengan figur yang harus
dipatuhi itu tidak lain adalah bagaimana cara seseorang menemukan dirinya yang sejati, sehingga
makna diri akan terpenuhi (menemukan al-insaniyah/individualistik), dan manusia bisa sampai
kepada konsep ”Manunggaling Kawula Gusti.”

24
Abdul Karim al-Jilli, Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awail, (Beirut: Dar al-Fikr, Jus
I, tt,.) hal. 56
25
Al-Taftazani, Madkhal Ila Tashawuf al-Islami (Kairo; Darul Saqifah Nasryri’ wa al-Tauwzi’, 1979)
hal. 9- 15
26
Al-Syarqowi, Al-fadzh al-Shufiyah wa Ma’aniha (Kairo; Darul Kutub al-Kubra al-Jami’ah, 1975)
hal. 194-198. Pembahasan lebih komperhensip, bisa ditelusur dalam karya al-Jilli, Insan al-Kamil, bagian
tersendiri Fi Tajjalli al-Shiffat.
27
Al-Ghazali, Misykat al-Anwar, (Mesir: Maktabah, al-Jundi, 1970) hal. 33
Dengan demikian teori tasawuf yang begitu rumit konsepsi Al-Jilli atau Al-Ghazali tersebut
berhasil diterjemahkan atau dipadatkan menjadi simbol Alif. Sehingga istilah manunggaling kawulo
Gusti ini kemudian estafet dan dipegangi oleh sebagian besar sufi di Nusantara, seperti Syekh
Nurrudin Ar-Raniri, seorang sufi yang hidup pada abad ke-16 yang memberikan pengertian yang
sama terhadap konsep wahdatul wujud.28Wallahu’alam bishawab.

E. Daftar Pustaka
Arief Furchan, Studi Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)

A.S.Padmanugraha, ‘Common Sense Outlook on Local Wisdom and Identity: A


Contemporary Javanese Natives’ Experience’ Paper Presented in International Conference on “Local
Wisdom for Character Building”, (Yogyakarta: 2010)

Abdullah Ciptoprawiro, Pengertian Huruf Alif dalam Paguyuban Sosrokarton (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), hal. 58.

Al-Ghazali, Misykat al-Anwar, (Mesir: Maktabah, al-Jundi, 1970)

Al-Taftazani, Madkhal Ila Tashawuf al-Islami (Kairo; Darul Saqifah Nasryri’ wa al-Tauwzi’,
1979)
Al-Syarqowi, Al-fadzh al-Shufiyah wa Ma’aniha (Kairo; Darul Kutub al-Kubra al-Jami’ah,
1975)
Beaty, Andrew, Variaties of Javanese Religion, An Antrophological Account, (Australia,
Cambridge, 1999)

Harry A Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, (Jakarta:
KPG dan KITLV-Jakarta, 2008)

Jonathan Culler, Saussure, (Fontana Press, 1976)

Jorge J.E. Gracia, Theory Of Textuality: The Logic. And Epistemology (Albany: State.
University Of New ... Press, 1995)
Karim al-Jilli, Abdul Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awail, (Beirut: Dar al-
Fikr, jilid II, tt,.)
Karim al-Jilli, Abdul Al-Isfar al-Gharib Natijat al-Safar al-Qarib, (Kairo; Al-masyhad-al-
Husain, tt.)

28
Zoetmulder, Manggungaling Kawula Gusti; Patheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, terj.
Dick Hartoko, (Gremedia. Jakarta 1991), hal. 88
Karim al-Jilli, Abdul Syarh Musykilat Futuhat al-Makiyah, tahqiq Yusuf Zaidan, (Kairo; Dar
Su’ad al-Shahabah, 1991)
Keddie, Nikii Islam and Society in Minangkabau and in the Middle East: Coparative
Reflections, dalam Sojourn, Volume 2, No. 1 Tahun 1987)
Ki Sumidi Adisasmita, Djiwa Besar Kaliber Internasional Drs. Sosrokartono dengan Mono
Perjuangannya Lahir-Bathin yang Murni. (Yogyakarta: Pagujuban Trilogi, 1971)
Millati Kamilah, Biografi Singkat Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono,
https://ulamanusantaracenter.com/biografi-r-m-p-sosrokartono/, diakses 2 Juni 2021
Musthafa Abu al-‘Ala, Muhammad al-Qhusur al-Awail (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1970, Jus
II)
Oman Fathurrahman, dkk. Ensiklopedi Tasawuf. (Bandung:Penerbit Angkasa, 2008)
R.M.P. Sosrokartono, Serat saking Tanjung Pura. (Langkat, 26 Oct. 1931) Dokumen.
R.M.P. Sosrokartono, Laku Lan Maksudipun, (Binjei, 12 November 1931). Dokumen.
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsito, (Jakarta, UI Press, 1998)
Serat Chentini, Jilid V, (Depdikbud, Jakarta, 1981)
Wibatsu Sumbaga, Harianto Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, (Yogyakarta,
Soemodidjojo, 1975 dan 1994)
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
(Yogyakarta:Jalasutra, 2003)
Zoetmulder, Manggungaling Kawula Gusti; Patheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk
Jawa, terj. Dick Hartoko, (Gremedia. Jakarta 1991).

Anda mungkin juga menyukai