Anda di halaman 1dari 6

R. M. P. Sosrokartono : si Jenius Kakak R. A.

Kartini

Raden Mas Panji Sosrokartono merupakan salah satu tokoh pergerakan


nasional yang namanya jarang diulas dalam penulisan sejarah Indonesia. R. M. P.
Sosrokartono lahir di Pelemkerep, Mayong, Kabupaten Jepara tanggal 10 April
1877 sebagai putra nomer tiga dari delapan bersaudara. Beliau dijuluki sebagai
“De Javanese Prins” atau seorang Pangeran dari Tanah Jawa. Beliau merupakan
anak kandung dari seorang R. M. Ario Sosrodiningrat yaitu seorang patih yang
diangkat menjadi bupati Jepara. R. M. P. Sosrokartono sendiri merupakan kakak
kandung dari seorang pahlawan pejuang emansipasi wanita, yaitu R. A. Kartini.
Raden Mas Kartono merupakan nama asli dari R. M. P. Sosrokartono. Ia
mengubah namanya menjadi R. M. P. Sosrokartono pada tahun 1908 saat ia
berhasil menyalesaikan pendidikannya di negeri Belanda. Sosrokartono
merupakan seorang yang asalnya dari kalangan bangsawan, hal ini yang
memungkinkannya ia diterima di sekolah yang hanya dikhususkan untuk anak-
anak orang Belanda dan turunan dari Indo-Belanda.
Sosrokartono merupakan orang yang jenius pada zamannya, hal ini
dibuktikan karena beliau berhasil menguasai 17 bahasa asing dengan baik dan
lancar. Kecakapannya dalam berbahasa dan bergaul menyebabkan banyak orang
asing cepat berteman dengan Sosrokartono. Bahkan, seorang sastrawan dan filsuf
Belanda Van Eden dalam buku hariannya 4 Mei 1915 menuliskan perihal
kekagumannya pada Sosrokartono.
Sosrokartono mengenyam pendidikan di sekolah milik Belanda yang
bernama ELS (Europesche Lagere School) yang ada di Jepara.1 Pada tahun 1892
ia tamat dari sekolah tersebut dengan memperoleh bahasa Belanda yang baik.
Setelah tamat dari Europesche Lagere School, Sosrokartono melanjutkan
pendidikannya di HBS (Hogere Burger School) yang ada di Semarang karena
kemampuannya yang baik dalam berbahasa Belanda. Selama menjadi siswa di
sekolah HBS, ia tinggal dengan teman ayahnya yang merupakan keluarga Belanda

1
Europesche Lagere School (ELS) pada awalnya hanyalah diperuntukkan untuk anak-anak dari
turunan Belanda saja. Anak pribumi dapat bersekolah ke ELS apabila masih terdapat bangku yang
kosong yang dapat di isi oleh anak-anak dari kalangan bangsawan.
asli. Cara ini dilakukan Sosrokartono supaya ia dapat mempelajari tata cara
kehidupan orang Belanda dan juga supaya kehidupannya bisa selaras dengan
pendidikannya di sekolah HBS.
Berkat kecerdasan yang dimilikinya, Ario Tjondronegoro IV dan juga
orang-orang dekatnya mengupayakan supaya ia dapat diberikan kesempatan untuk
bisa meneruskan pendidikannya di negeri Belanda. Pada akhirnya, setelah tamat
dari HBS Sosrokartono memutuskan untuk mengenyam pendidikan di negeri
Belanda dan ia pun berangkat ke Belanda atas persetujuan kedua orang tuanya
pada tahun 1897.
Sosrokartono datang ke negeri Belanda untuk menuntut ilmu di Sekolah
Tinggi Teknik di kota Delft (Polytechnische School Delft) dengan mengambil
jurusan pengairan atas saran Ir. Heining yang merupakan Kepala Dinas Perairan
Daerah Muria. Dengan mengambil jurusan tersebut harapannya ia bisa membantu
kemajuan penggunaan air untuk dapat memperbaiki pertanian yang ada di wilayah
Demak, yang pada saat itu Demak sebagai kabupaten penghasil beras di Pulau
Jawa.2 Namun, pendidikan Sosrokartono di sekolah ini tidaklah bertahan begitu
lama karena ia merasa tidak cocok dengan jurusan yang dimasukinya. Akhirnya ia
meninggalkan kota Delft dan menuju kota Leiden. Sosrokartono berpindah
jurusan ke Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden di Faculteit der
En Wijsbegeerte dan lulus dengan menyandang gelar Doctorandus in de
Oostersche Talen. Beliau merupakan mahasiswa yang berasal dari Indonesia
pertama yang meneruskan pendidikannya ke negeri Belanda, yang pada akhirnya
disusul oleh orang-orang Indonesia lainnya.
Di Leiden ia berkenalan dengan seorang guru besar, yaitu Prof. Dr. Johan
Hendrik Kern yang nantinya berperan cukup banyak dalam kehidupan
Sosrokartono. Sebagai mahasiswa yang masih muda dia banyak mendapatkan
kesempatan. Prof. Dr. Johan Hendrik Kern mencalonkan Sosrokartono menjadi
salah satu anggota Koninklijk Instiuut voor Taal-, land-en Volkenkunde (KITLV)3,
2
Hadi Priyanto, Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono Putra Indonesia yang Besar. Semarang:
Pustaka Jungpara, hlm. 14
3
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde, disingkat: KITLV Leiden didirikan pada
tahun 1851. KITLV mempunyai tujuan untuk kemajuan studi antropologi tersebut, ilmu sosial,
linguistik, dan sejarah Asia Tenggara, Karibia, dan Kawasan Pasifik. Penekanan khusus diletakkan
dan membantu organisasi tersebut untuk mempelajari mengenai tanah Jawa.
Pengetahuan Sosrokartono mengenai bahasa Jawa tidak diragukan lagi.
Pengetahuannya dalam bahasa Jawa berhasil membantu seorang G. P Rouffaer
dan H. H Junboll untuk menyusun karya standar De Batik-Kunst in Nederlandsch-
Indië en Haar Geschiedenis (Seni Batik di Hindia-Belanda dan Sejarahnya).4
Prof. Dr. Johan Hendrik Kern juga berusaha supaya Sosrokartono
diundang untuk ikut andil dalam memberikan ceramah dalam kongres tahunan
yang diadakan oleh Algemeen Nederlandsch Verbond (ANV).5 Hal ini dilakukan
oleh Prof. Dr. Johan Hendrik Kern karena beliau merasa bahwa seorang
Sosrokartono memiliki kemampuan dalam hal bahasa Belanda yang cukup baik
untuk seorang dari negeri yang terjajah. Ia juga memiliki hasrat untuk
menyampaikan aspirasinya yang belum terpenuhi dari pemerintah kolonial, yaitu
meminta pendidikan bagi Indonesia, khususnya Jawa. Pada tahun 1899 akhirnya
Sosrokartono berhasil menjadi orang Indonesia pertama yang mampu berpidato
dihadapan para ahli bahasa Belanda pada saat Kongres bahasa yang pada saat itu
diselanggarakan oleh ANV di kota Gent.6
Setelah cukup lama berada di negeri Belanda akhirnya Sosrokartono
mengikuti sebuah organisasi yang akhirnya nanti akan menjadi sebuah organisasi
yang mempunyai peran pada masa pergerakan nasional di Indonesia. Meskipun
pada awalnya organisasi ini hanya merupakan tempat untuk berkumpul,
bersenang-senang dan juga tempat menyampaikan inspirasi bagi sesama pelajar
yang berasal dari Indonesia. Namun organisasi ini bisa dikatakan berkembang
dengan baik di tangan para penerusnya. Soetan Casajangan Soripada dalam
Koloniaal Weekblaad menyatakan, sebenarnya ia sudah berencana mendirikan
organisasi serupa tahun 1906 namun gagal dikarenakan terlalu sibuk, maka ia
belum bisa merealisasikan rencana tersebut. Pada akhirnya di akhir tahun 1908 ia
baru berhasil mendirikan Indische Vereniging atas dorongan tuan J. H

pada koloni Belanda.


4
Harry A Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Jakarta: KPG,
2008, hlm. 32.
5
Ibid.
6
ANV ini didirikan pada tahun 1897 dengan tujuan menyatukan segala tenaga yang ada pada
bangsa Belanda di seluruh dunia dalam satu ikatan untuk menjaga kedaulatan dan bahasanya.
Abendanon. Bersama dengan RM Soemitro ia mengirimkan undangan kepada
semua orang Hindia yang belajar di Negeri Belanda untuk menghadiri rapat
pembentukan perhimpunan itu.
Pada 25 oktober 1908 pukul dua berkumpul 15 orang Hindia di sebuah
rumah di jalan Hoogewoerd 49 Leiden, dan ditempat itulah dilaksanakan rapat
untuk untuk pertama kalinya. Rapat ini dipimpin oleh ketua sementara yaitu
Soemitro dan R. Hoesein Djajadiningrat yang menjadi sekertaris sementara. Pada
rapat ini dipaparkan pokok dari anggaran dasar dari Indische Vereniging yang
nantinya disempurnakan oleh komisi penyusun anggaran yang didalamnya
terdapat Sosrokartono. Beliau merupakan salah satu pengurus aktif dari organisasi
pergerakan nasional yang mempunyai lambang kepala kerbau yaitu Perhimpunan
Indonesia atau Indische Vereeneging.7 Dalam organisasi Indische Vereeneging,
Sosrokartono bersama dengan R. Soetan C. S., R. M. Soemitro, dan R. Hoesein
Djajadiningrat tergabung dalam sebuah komisi yang bertugas untuk menyusun
AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) dari organisasi
Indische Vereeneging tersebut.
Pada tanggal 30 April 1909 ketika menyambut kelahiran Putri Juliana,
Sosrokartono mengusulkan agar membuat sebuah persembahan berbentuk
kaligrafi indah yang ditandatangani seluruh anggota dari Indische Vereeneging
yang berjumlah 23 orang. Anggota lain seperti Casajangan dan Noto Soeroto juga
memberikan hadiah berupa sajak dengan bahasa Melayu di Bandera Wolanda.
Setelah penampilannya yang terakhir ketika menyambut kelahiran Putri Juliana
tidak tampak lagi peran Sosrokartono secara pasti di Indische Vereeneging tapi
namanya masih tertera sebagai anggota sampai tahun1911.
Terbitlah buku “Soembangsih” dengan Redaksi Sosrokartono, Soewardi
Doerjoningrat dan Noto Soeroto. Kumpulan karangan yang terdapat dalam buku
“Soembangsih” memiliki berbagai arah pandangan. Masing-masing anggota boleh
menuangkan pemikirannya mengenai Jawa dan orang-orangnya. Buku ini
menggunakan gaya penerbitan majalah Nederlandsch-Indie Oud en Niew, penuh

7
Indische Vereeneging merupakan organisasi pergerakan nasional yang berdiri pada tahun 1908
yang merupakan suatu perkumpulan orang-orang Indonesia yang ada di Belanda.
ilustrasi. Daftar isinya juga memperlihatkan banyak orang terkenal yang
memberikan sumbangan tulisannya. Tercantum dalam penulisan buku
“Soembangsih” Inilah penampilan terakhir Sosrokartono dalam lingkup organisasi
Indische Vereeneging.
Sejak tahun 1917, nama seorang Sosrokartono menjadi terkenal di dunia
Internasional, setelah beliau terpilih menjadi seorang jurnalis perang dari surat
kabar ternama milik Amerika yang bernama “The New York Herald”. Menurut
Dr. Moh. Hatta, pada saat Sosrokartono menjadi jurnalis “The New York herald”
ia mendapat upah sebesar 1,250 US$ dalam satu bulannya. 8 Dengan upah yang
sebanyak itu, Sosrokartono bisa menikmati kehidupan yang mewah.
Tidak hanya sebagai seorang jurnalis saja, Sosrokartono mempunyai
keistimewaan dalam menguasai bahasa yang dapat menjadikannya sebagai ahli
bahasa dari blok Sekutu pada tahun 1918. Ia terpilih menjadi satu-satunya orang
yang mampu memenuhi beberapa syarat yaitu fasih berbahasa Slavia dan Rusia
serta dapat menguasai berbagai jenis bahasa-bahasa Eropa yang lainnya.
Selanjutnya Sosrokartono menunjukkan arti penting dan manfaat
pengetahuan bahasa Belanda untuk orang Indonesia. Dengan memiliki
pengetahuan bahasa, orang bisa memiliki wawasan dan pengertian mengenai
birokrasi di Belanda. Menurutya mempelajari bahasa Belanda juga akan
membangkitkan rasa cinta dan simpati antara kedua belah pihak seperti terjadi
diantara pengampu dan anak ampuannya.9 Sosrokartono juga berseru kepada
putra-putri Jawa bahwasannya ia menyuruh supaya putra-putri Jawa untuk berani
membela hak-hak mereka untuk membela rakyat dari belenggu-belenggu yang
memberatkannya, mencapai cita-cita dalam mengembangkan kercerdasan,
ketekunan, dan juga mengembangkan bakat putra-putri Jawa. Ia tambahkan pula
bahwa kemajuan itu tidak boleh dan tidak perlu dicapai dengan mengorbankan
identitas Jawa sendiri. Untuk mencapai keadaan yang lebih baik, menurutnya,
pertama orang Belanda di Indonesia perlu membuka diri bagi orang Jawa yang
berbicara bahasa Belanda dan mendorongnya bergaul secara bebas tanpa paksaan.
8
Mohammad Hatta, 1971, Memoir, Jakarta: Tinta Mas Indonesia, hlm. 119
9
Harry A Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Jakarta: KPG,
2008, hlm. 33
Rupanya tahun-tahun pertama hidupnya sebagai mahasiswa agak diwarnai
pesta-pesta, dan memang sebagai seorang “pangeran Jawa” ia mendapat cukup
banyak perhatian. Tapi di Leiden, ketika ia mempelajari bidang yang lebih
menarik hatinya, agaknya keadaan menjadi lain. Ia banyak melakukan surat-
menyurat dengan adiknya Kartini yang sangat akrab dengan dirinya. Ia
mendukung rencana kartini untuk belajar di Eropa dan juga melakukan persiapan-
persiapan yang diperlukan.10
Sosrokartono berkerja, mencari ilmu, dan mengembara di berbagai negara-
negara yang ada di Eropa selama kurang lebih 29 tahun, hingga pada akhirnya ia
memustuskan untuk kembali ke tanah air pada tahun 1925.11 Sosrokartono
langsung mendatangi ibunda tercinta Mas Ajeng Ngasirah untuk melepas rasa
rindu karena sudah lama mereka tidak berjumpa. Setelah ia pulang dari Eropa, ia
kemudian tinggal dan menetap di kota Bandung dan ia menjadi direktur Nasional
Middlebare School (Sekolah Menengah Nasional) dan juga perguruan Taman
Siswa yang dipimpin R. M. Suryodipuro yang merupakan adik dari Ki Hajar
Dewantara. Sosrokartono juga mendirikan paguyuban yang dinamai Dar-Oes-
Salam yang berarti rumah yang damai. Perkumpulan ini merupakan suatu
organisasi yang mempunyai sifat terbuka, artinya siapa saja dapat menjadi
anggota.
Pada akhirnya Sosrokartono menghadap kepada Sang Pencipta pada hari
Jumat Pahing, tanggal 8 Februari 1952 di Jl. Pungkur No. 19 Bandung
(Darussalam). Hal ini membuat seluruh bangsa Indonesia berduka atas kepergian
seorang putra bangsa tersebut.

10
Ibid, hlm. 34
11
Hadi Priyanto, Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono Putra Indonesia yang Besar, hlm. 55

Anda mungkin juga menyukai