Anda di halaman 1dari 17

Sekarmadji

Maridjan
Kartosoewirjo
tokoh Islamis Indonesia

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (7


Januari 1905 – 5 September 1962)
adalah seorang tokoh Islam Indonesia
yang mendirikan gerakan Darul Islam
untuk melawan pemerintah Indonesia
dari tahun 1949 hingga tahun 1962,
dengan tujuan mendirikan Negara Islam
Indonesia berdasarkan hukum syariah.
Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo

Imam Negara Islam Indonesia

Masa jabatan
7 Agustus 1949 – 4 Juni 1962

Pendahulu posisi dibentuk

Pengganti posisi dihapuskan

Informasi pribadi

Lahir 7 Januari 1905


Cepu, Blora,
Keresidenan
Rembang, Hindia
Belanda

Meninggal 5 September 1962


(umur 57)
Pulau Onrust,
Kepulauan Seribu,
Jakarta, Indonesia

Suami/istri Dewi Siti Kalsum

Anak 12 anak

Tanda tangan

Kehidupan awal
Sekarmadji Maridjan adalah satu dari
sepasang anak Kartosoewirjo, seorang
mantri candu. Kartosoewirjo adalah
salah satu dari 7 anak Kartodikromo,
seorang lurah di Cepu. Salah satu adik
Kartosoewirjo yang bernama Marco
Kartodikromo adalah seorang penulis
anti-Belanda berhaluan kiri. Ayah
Kartodikromo sendiri adalah lurah Merak,
Panolan, Cepu yang bernama
Ronodikromo, yang masih keturunan Arya
Penangsang, adipati Jipang di abad ke-
16.

Pada tahun 1901, Belanda menetapkan


politik etis (politik balas budi). Penerapan
politik etis ini menyebabkan banyak
sekolah modern yang dibuka untuk
penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah
salah seorang anak negeri yang
berkesempatan mengenyam pendidikan
modern ini. Hal ini disebabkan karena
ayahnya memiliki kedudukan yang cukup
penting sebagai seorang pribumi saat
itu.[1]

Pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk


ke sekolah Inlandsche School der
Tweede Klasse (ISTK). Sekolah ini
menjadi sekolah nomor dua bagi
kalangan bumiputera. Empat tahun
kemudian, ia masuk ELS di Bojonegoro
(sekolah untuk orang Eropa). Orang
Indonesia yang berhasil masuk ELS
adalah orang yang memiliki kecerdasan
yang tinggi. Di Bojonegoro, Kartosoewirjo
mengenal guru rohaninya yang bernama
Notodiharjo, seorang tokoh Islam
modern yang mengikuti alur pemikiran
Muhammadiyah. Ia menanamkan
pemikiran Islam modern ke dalam alam
pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran
Notodiharjo ini sangat memengaruhi
sikap Kartosoewirjo dalam meresponi
ajaran-ajaran Islam.[2]

Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923,


Kartosoewirjo melanjutkan studinya di
Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands-
Indische Artsenschool. Pada masa ini, ia
mengenal dan bergabung dengan
organisasi Syarikat Islam yang dipimpin
oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Ia sempat
tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia
menjadi murid sekaligus sekretaris
pribadi H. O. S. Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto sangat memengaruhi
perkembangan pemikiran dan aksi politik
Kartosoewirjo. Ketertarikan
Kartosoewirjo untuk mempelajari dunia
politik semakin dirangsang oleh
pamannya yang semakin
memengaruhinya untuk semakin
mendalami ilmu politik. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila nanti
Kartosoewirjo tumbuh sebagai orang
yang memiliki integritas keIslaman yang
kuat dan kesadaran politik yang tinggi.
Tahun 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan
dari Nederlands-Indische Artsenschool
karena ia dianggap menjadi aktivis politik
serta memiliki buku sosialis dan
komunis.[2]

Karier
Kartosoewirjo juga bekerja sebagai
Pemimpin Redaksi Koran harian Fadjar
Asia. Ia membuat tulisan-tulisan yang
berisi penentangan terhadap bangsawan
Jawa (termasuk Sultan Solo) yang
bekerja sama dengan Belanda. Dalam
artikelnya tampak pandangan politiknya
yang radikal. Ia juga menyerukan agar
kaum buruh bangkit untuk memperbaiki
kondisi kehidupan mereka, tanpa
memelas. Ia juga sering mengkritik pihak
nasionalis lewat artikelnya.[1]
Kariernya kemudian melejit saat ia
menjadi sekretaris jenderal Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII). PSII
merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam.
Kartosoewirjo kemudian bercita-cita
untuk mendirikan negara Islam (Daulah
Islamiyah). Di PSII ia menemukan
jodohnya. Ia menikah dengan Umi
Kalsum, anak seorang tokoh PSII di
Malangbong. Ia kemudian keluar dari PSII
dan mendirikan Komite Pembela
Kebenaran Partai Sarekat Islam
Indonesia (KPKPSII).

Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai


yang berdiri di luar lembaga yang
didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia
menuntut suatu penerapan politik hijrah
yang tidak mengenal kompromi.
Menurutnya, PSII harus menolak segala
bentuk kerja sama dengan Belanda tanpa
mengenal kompromi dengan cara jihad.
Ia mendasarkan segala tindakkan
politiknya saat itu berdasarkan
pembedahan dan tafsirannya sendiri
terhadap Al-Qur’an. Ia tetap ngotot pada
pendiriannya, walaupun berbagai
rintangan menghadang, baik itu rintangan
dari tubuh partai itu sendiri, rintangan dari
tokoh nasionalis, maupun rintangan dari
tekanan pemerintah Kolonial.[1]
Masa perang kemerdekaan
Pada masa perang kemerdekaan 1945-
1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi
sikap kerasnya membuatnya sering
bertolak belakang dengan pemerintah,
termasuk ketika ia menolak pemerintah
pusat agar seluruh Divisi Siliwangi
mundur ke Jawa Tengah. Perintah
mundur itu merupakan konsekuensi dari
Perjanjian Renville yang sangat
mempersempit wilayah kedaulatan
Republik Indonesia. Karena semua
perjanjian yang dibuat pemerintah
Belanda menyengsarakan rakyat
Indonesia, perjanjian-perjanjian semuanya
hanya untuk mengelabui orang orang
penting agar mereka taat kepada Hindia
Belanda. Maka dari itu Kartosoewirjo
menolak mentah mentah semua
perjanjian yang diadakan oleh Belanda.

Kartosoewirjo juga menolak posisi


menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin
yang saat itu menjabat Perdana Menteri.
Pada waktu itu, Sugondo Djojopuspito,
yang kenal baik dengan Kartosoewirjo
dan Amir Sjarifuddin ketika peristiwa
Sumpah Pemuda 1928 di Batavia,
membujuk Kartosoewirjo: Wis to Mas,
miliho menteri opo wae asal ojo Menteri
Pertahanan utowo Menteri Dalam Negeri
(Sudahlah Mas, pilih jadi menteri apa
saja, tetapi jangan Menteri Pertahanan
atau Menteri Dalam Negeri).
Kartosoewirjo menjawab: Emoh, nek
dasar negoro ora Islam (Tidak mau, kalau
dasar negara bukan Islam).

Negara Islam Indonesia

Berkas:Karto copy.jpg
Peristiwa Penangkapan Kartosuwiryo

Kekecewaannya terhadap pemerintah


pusat semakin membulatkan tekadnya
untuk membentuk Negara Islam
Indonesia. Kartosoewirjo kemudian
memproklamirkan NII pada 7 Agustus
1949. Tercatat beberapa daerah
menyatakan menjadi bagian dari NII
terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan
dan Aceh. Pemerintah Indonesia
kemudian bereaksi dengan menjalankan
operasi untuk menangkap Kartosoewirjo.
Gerilya NII melawan pemerintah
berlangsung lama. Pemberontakan
Kartosoewirjo berakhir ketika aparat
keamanan menangkapnya setelah
melalui perburuan panjang di wilayah
Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4
Juni 1962. Pemerintah Indonesia
kemudian menghukum mati
Kartosoewirjo pada 5 September 1962 di
Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Keluarga
SM. Kartosoewirjo menikah dengan Dewi
Siti Kalsoem (1913-1998), yang
merupakan puteri dari Ajengan
Kartawisastra, ulama asal Malangbong,
Garut dan Raden Roeboe Asijah. Dewi Siti
Kalsoem adalah sepupu dari ibu kandung
penyanyi Mulan Jameela. Pernikahan SM.
Kartosoewirjo dan Dewi Siti Kalsoem
dikaruniai 12 anak, di mana 3 anak
terakhir lahir saat Kartosoewirjo
bergerilya di hutan:

Tati, meninggal saat bayi.

Tjoekoep (1935-1951), meninggal


karena tertembak di hutan.
Dodo M. Darda

Rohmat, meninggal pada usia 10 tahun

Sholeh, meninggal saat bayi.

Tahmid Rahmat Basoeki

Abdoellah, meninggal saat bayi.

Tjoetjoe, menderita kelumpuhan.

Danti

Ika Kartika

Komalasari

Sardjono (1957-kini)

Lihat pula
Negara Islam Indonesia
Referensi
1. Chaidar, Al. 1999. Pemikiran Politik
Proklamator Negara Islam Indonesia S.
M. Kartosoewirjo. Jakarta. Darul Falah.

2. Dengel, Holk H., 1995. Darul Islam dan S.


M. Kartosoewirjo. Jakarta. Pustaka Sinar
Harapan.

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Sekarmadji_Maridjan_Kartosoewirjo&oldid=
22280791"

Halaman ini terakhir diubah pada 11 Desember


2022, pukul 05.03. •
Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali
dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai