Anda di halaman 1dari 7

Soekarno

Ir. Soekarno atau yang biasa dipanggil Bung Karno yang lahir di Surabaya, Jawa Timur pada
tanggal 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dengan Ida Ayu Nyoman
Rai.Ayah Soekarno adalah seorang guru. Raden Soekemi bertemu dengan Ida Ayu ketika dia
mengajar di Sekolah Dasar Pribumi Singaraja, Bali. Soekarno hanya menghabiskan sedikit masa
kecilnya dengan orangtuanya hingga akhirnya dia tinggal
bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa
Timur.

Soekarno pertama kali bersekolah di Tulung Agung hingga


akhirnya dia ikut kedua orangtuanya pindah ke Mojokerto. Di
Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse
School. Di tahun 1911, Soekarno dipindahkan ke Europeesche
Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di
Hoogere Burger School (HBS). Setelah lulus pada tahun 1915,
Soekarno melanjutkan pendidikannya di HBS, Surabaya, Jawa Timur. Di Surabaya, Soekarno
banyak bertemu dengan para tokoh dari Sarekat Islam, organisasi yang kala itu dipimpin oleh
HOS Tjokroaminoto yang juga memberi tumpangan ketika Soekarno tinggal di Surabaya. Dari
sinilah, rasa nasionalisme dari dalam diri Soekarno terus menggelora. Di tahun berikutnya,
Soekarno mulai aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai
organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian Soekarno ganti menjadi Jong
Java (Pemuda Jawa) pada 1918. 

Di tahun 1920 seusai tamat dari HBS, Soekarno melanjutkan studinya ke Technische Hoge
School  (sekarang berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung) di Bandung dan
mengambil jurusan teknik sipil. Saat bersekolah di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji
Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Melalui Haji
Sanusi, Soekarno berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr
Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang diinspirasi dari
Indonesische Studie Club (dipimpin oleh Dr Soetomo). Algemene Studie Club  merupakan cikal
bakal berdirinya Partai Nasional Indonesia pada tahun 1927. Bulan Desember 1929, Soekarno
ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di Penjara Banceuy karena aktivitasnya di PNI. Pada tahun
1930, Soekarno dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari dalam penjara inilah, Soekarno
membuat pledoi yang fenomenal, Indonesia Menggugat. Soekarno dibebaskan pada tanggal 31
Desember 1931. Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo),
yang merupakan pecahan dari PNI.

Soekarno kembali ditangkap oleh Belanda pada bulan Agustus 1933 dan diasingkan ke Flores.
Karena jauhnya tempat pengasingan, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional
lainnya. Namun semangat Soekarno tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada
seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan. Pada tahun 1938 hingga tahun 1942
Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru benar-benar bebas setelah masa
penjajahan Jepang pada tahun 1942. Di awal kependudukannya, Jepang tidak terlalu
memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia hingga akhirnya sekitar tahun 1943 Jepang
menyadari betapa pentingnya para tokoh ini. Jepang mulai memanfaatkan tokoh pergerakan
Indonesia dimana salah satunya adalah Soekarno untuk menarik perhatian penduduk Indonesia
terhadap propaganda Jepang. Akhirnya tokoh-tokoh nasional ini mulai bekerjasama dengan
pemerintah pendudukan Jepang untuk dapat mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula
yang tetap melakukan gerakan perlawanan seperti Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin karena
menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.

Soekarno sendiri mulai aktif mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah


merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar-dasar pemerintahan Indonesia termasuk
merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Pada bulan Agustus 1945, Soekarno diundang
oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara ke Dalat, Vietnam.
Marsekal Terauchi menyatakan bahwa sudah saatnya Indonesia merdekan dan segala urusan
proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah tanggung jawab rakyat Indonesia sendiri. Setelah
menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada
tanggal 16 Agustus 1945. Para tokoh pemuda dari PETA menuntut agar Soekarno dan Hatta
segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena pada saat itu di Indonesia
terjadi kevakuman kekuasaan.

Ini disebabkan karena Jepang telah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno,
Hatta dan beberapa tokoh lainnya menolak tuntutan ini dengan alasan menunggu kejelasan
mengenai penyerahan Jepang. Pada akhirnya,Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional lainnya
mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Berdasarkan sidang yang diadakan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) panitia kecil untuk upacara proklamasi yang terdiri dari delapan orang
resmi dibentuk.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya. Teks proklamasi


secara langsung dibacakan oleh Soekarno yang semenjak pagi telah memenuhi halaman
rumahnya di Jl Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan
Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad
Hatta dikukuhkan oleh KNIP. Kemerdekaan yang telah didapatkan ini tidak langsung bisa
dinikmati karena di tahun-tahun berikutnya masih ada sekutu yang secara terang-terangan tidak
mengakui kemerdekaan Indonesia dan bahkan berusaha untuk kembali menjajah Indonesia.

Gencaran senjata dari pihak sekutu tak lantas membuat rakyat Indonesia menyerah, seperti yang
terjadi di Surabaya ketika pasukan Belanda yang dipimpin oleh Brigadir Jendral A.W.S Mallaby
berusaha untuk kembali menyerang Indonesia. Rakyat Indonesia di Surabaya dengan gigihnya
terus berjuang untuk tetap mempertahankan kemerdekaan hingga akhirnya Brigadir Jendral
AWS Mallaby tewas dan pemerintah Belanda menarik pasukannya kembali. Perang seperti ini
tidak hanya terjadi di Surabaya tapi juga hampir di setiap kota.  Republik Indonesia secara resmi
mengadukan agresi militer Belanda ke PBB karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar
suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati. Walaupun telah dilaporkan ke PBB,
Belanda tetap saja melakukan agresinya. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947
masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda rapat Dewan
Keamanan PBB, di mana kemudian dikeluarkan Resolusi No 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang
isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan. Atas tekanan Dewan Keamanan PBB,
pada tanggal 15 Agustus 1947, Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima
resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima
Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata dan pada 25 Agustus 1947 Dewan
Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan
Belanda. Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan
Kedaulatan), Presiden Soekarno kembali diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat
(RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Karena tuntutan dari seluruh
rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950,
RIS kembali diubah menjadi Republik Indonesia dimana Ir Soekarno menjadi Presiden dan
Mohammad Hatta menjadi wakilnya.
Slamet Riyadi

Salah satu Pahlawan Nasional Republik Indonesia, Ignatius Slamet Riyadi dilahirkan pada
tanggal 26 Juli 1927 di Solo, Jawa Tengah, Indonesia. Dia merupakan anggota TNI yang telah
menjabat hingga sebagai Brigadir Jenderal (Anumerta). Dia lah yang memelopori terbentuknya
Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Slamet Riyadi menimba ilmu di Hollandsch-Inlandsche School


(HIS) pada tahun 1940 dan kemudian ke MULO Afd B. Setelah
selesai, dia lanjut mengenyam pendidikan di Pendidikan Sekolah
Pelayaran Tinggi (SPT)  hingga meraih sebuah ijazah navigasi
laut setelah menjadi lulusan peringkat pertama dengan nilai
terbaik. Atas prestasi yang berhasil ia torehkan, Slamet Riyadi
kemudian menjadi navigator kapal kayu yang berlayar antar
pulau di Nusantara.

Ketika pasukan Jepang yang berniat menginvasi Indonesia telah mendarat di Merak, Indramayu,
dan Rembang pada tanggal 1 Maret 1942, mereka mendapatkan perlawanan dari pasukan
Hindia-Belanda. Namun, kekuatan pasukan Jepang yang lebih dari 100.00 orang  dengan
dipersenjatai peralatan tempur canggih tidak mampu dibendung oleh pasukan Hindia-Belanda
hingga akhirnya Solo berhasil dikuasai Jepang pada tanggal 5 Maret 1942. Tak hanya Solo,
bahkan kedigdayaan Jogjakarta akhirnya jatuh di tangan Jepang dengan mudah. Oleh karena
invasi dan perlakuan Jepang yang melahirkan kesengsaraan bagi Bangsa Indonesia, Slamet
Riyadi mulai terpanggil hatinya dan menjadi awal kiprah patrotismenya. Salah satu tindakan
heroik yang pernah ia kontribusikan untuk kemerdekaan bangsanya ketika ia berhasil melarikan
kapal kayu Jepang. Dia pun akhirnya menjadi buronan oleh Ken Pei tai (Polisi Militer Jepang),
namun para polisi tersebut tidak pernah bisa menangkapnya. Tak hanya itu, Slamet Riyadi
menggalang pasukan hingga setingkat batalyon yang terdiri dari para pemuda terlatih  eks.
Peta/Heiho/Kaigun. Pasukan yang ia galang tersebut dipersiapkan untuk merebut kembali
kekuasaan politik dan militer kota Solo dan Jogjakarta. Tindakan heroik yang telah ia lakukan itu
menjadikannya Komandan Batalyon Resimen I Divisi X.

Brigadir Jenderal TNI Anumerta Slamet Riyadi meninggal pada tanggal 4 November 1950.
Jenazahnya dimakamkan di Ambon, Maluku. Dia meninggalkan seorang istri bernama
Soerachmi. 

Riset dan analisis oleh: Giri Lingga Herta Pratama

PENDIDIKAN

 Hollandsch-Inlandsche School (HIS) (1940)


 MULO Afd B.
 Pendidikan Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT)

KARIR

 Navigator Kapal Kayu antar pulau Nusantara


 Prajurit Indonesia (Brigjen Anumerta)
Mohammad Hatta

Dr. H. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Pria yang akrab disapa dengan
sebutan Bung Hatta ini merupakan pejuang kemerdekaan RI yang kerap disandingkan dengan
Soekarno. Tak hanya sebagai pejuang kemerdekaan, Bung Hatta juga dikenal sebagai seorang
organisatoris, aktivis partai politik, negarawan, proklamator, pelopor koperasi, dan seorang wakil
presiden pertama di Indonesia.

Kiprahnya di bidang politik dimulai saat ia


terpilih menjadi bendahara Jong Sumatranen
Bond wilayah Padang pada tahun 1916.
Pengetahuan politiknya berkembang dengan
cepat saat Hatta sering menghadiri berbagai
ceramah dan pertemuan-pertemuan politik.
Secara berkelanjutan, Hatta melanjutkan
kiprahnya terjun di dunia politik. 

Sampai pada tahun 1921 Hatta menetap di Rotterdam, Belanda dan bergabung dengan sebuah
perkumpulan pelajar tanah air yang ada di Belanda, Indische Vereeniging. Mulanya, organisasi
tersebut hanyalah merupakan organisasi perkumpulan bagi pelajar, namun segera berubah
menjadi organisasi pergerakan kemerdekaan saat tiga tokoh Indische Partij (Suwardi
Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumu) bergabung dengan Indische
Vereeniging yang kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Di Perhimpunan Indonesia, Hatta mulai meniti karir di jenjang politiknya sebagai bendahara
pada tahun 1922 dan menjadi ketua pada tahun 1925. Saat terpilih menjadi ketua PI, Hatta
mengumandangkan pidato inagurasi yang berjudul "Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan
Kekuasaan".

Dalam pidatonya, ia mencoba menganalisa struktur ekonomi dunia yang ada pada saat itu
berdasarkan landasan kebijakan non-kooperatif. Hatta berturut-turut terpilih menjadi ketua PI
sampai tahun 1930 dengan perkembangan yang sangat signifikan dibuktikan dengan
berkembangnya jalan pikiran politik rakyat Indonesia.

Sebagai ketua PI saat itu, Hatta memimpin delegasi Kongres Demokrasi Internasional untuk
perdamaian di Berville, Perancis, pada tahun 1926. Ia mulai memperkenalkan nama Indonesia
dan sejak saat itu nama Indonesia dikenal di kalangan organisasi-organisasi internasional. Pada
tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda
dan berkenalan dengan aktivis nasionalis India, Jawaharhal Nehru.

Aktivitas politik Hatta pada organisasi ini menyebabkan dirinya ditangkap tentara Belanda
bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul madjid Djojodiningrat
sebelum akhirnya dibebaskan setelah ia berpidato dengan pidato pembelaan berjudul: Indonesia
Free. 

Selanjutnya pada tahun 1932, Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club
Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat
Indonesia dengan adanya pelatihan-pelatihan.

Pada tahun 1933, Soekarno diasingkan ke Ende, Flores. Aksi ini menuai reaksi keras oleh Hatta.
Ia mulai menulis mengenai pengasingan Soekarno pada berbagai media. Akibat aksi Hatta inilah
pemerintah kolonial Belanda mulai memusatkan perhatian pada Partai Pendidikan Nasional
Indonesia dan menangkap pimpinan para pimpinan partai yang selanjutnya diasingkan ke Digul,
Papua.

Pada masa pengasingan di Digul, Hatta aktif menulis di berbagai surat kabar. Ia juga rajin
membaca buku yang ia bawa dari Jakarta untuk kemudian diajarkan kepada teman-temannya.
Selanjutnya, pada tahun 1935 saat pemerintahan kolonial Belanda berganti, Hatta dan Sjahrir
dipindahlokasikan ke Bandaneira. Di sanalah, Hatta dan Sjahrir mulai memberi pelajaran kepada
anak-anak setempat dalam bidang sejarah, politik, dan lainnya.
Setelah delapan tahun diasingkan, Hatta dan Sjahrir dibawa kembali ke Sukabumi pada tahun
1942. Selang satu bulan, pemerintah kolonial Belanda menyerah pada Jepang. Pada saat itulah
Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada awal Agustus 1945, nama Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
berganti nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Soekarno sebagai
Ketua dan Hatta sebagai Wakil Ketua.

Sehari sebelum hari kemerdekaan dikumandangkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia


mengadakan rapat di rumah Admiral Maeda. Panitia yang hanya terdiri dari Soekarno, Hatta,
Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti tersebut merumuskan teks proklamasi yang akan dibacakan
keesokan harinya dengan tanda tangan Soekarno dan Hatta atas usul Soekarni.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 di jalan Pagesangan Timur 56 tepatnya pukul 10.00 kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Keesokan
harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia
dan Hatta sebagai Wakil Presiden.

Berita kemerdekaan Republik Indonesia telah tersohor sampai Belanda. Sehingga, Belanda
berkeinginan kembali untuk menjajah Indonesia. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, pemerintahan Republik Indonesia dipindah ke Jogjakarta. Ada dua kali perundingan
dengan Belanda yang menghasilkan perjanjian linggarjati dan perjanjian Reville. Namun, kedua
perjanjian tersebut berakhir kegagalan karena kecurangan Belanda.

Pada Juli 1947, Hatta mencari bantuan ke India dengan menemui Jawaharhal Nehru dan
Mahatma Gandhi. Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan melakukan protes
terhadap tindakan Belanda dan agar dihukum pada PBB. Banyaknya kesulitan yang dialami oleh
rakkyat Indonesia memunculkan aksi pemberontakan oleh PKI sedangkan Soekarno dan Hatta
ditawan ke Bangka. Selanjutnya kepemimpinan perjuangan dipimpin oleh Jenderal Soedirman.

Perjuangan rakyat Indonesia tidak sia-sia. Pada tanggal 27 desembar 1949, Ratu Juliana
memberikan pengakuan atas kedaulatan Indonesia kepada Hatta.

Setelah kemerdekaan mutlak Republik Indonesia, Hatta tetap aktif memberikan ceramah-
ceramah di berbagai lembaga pendidikan. Dia juga masih aktif menulis berbagai macam
karangan dan membimbing gerakan koperasi sesuai apa yang dicita-citakannya. Tanggal 12 Juli
1951, Hatta mengucapkan pidato di radio mengenai hari jadi Koperasi dan selang hari lima hari
kemudian dia diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia.
Gatot Subroto

Mengawali karir militer dengan menjadi anggota KNIL, tentara Hindia Belanda, setelah
sebelumnya sempat bekerja sebagai pegawai pemerintah yang hanya sebentar saja dilakoni,
Gatot Subroto dikenal sebagai tentara yang solider terhadap rakyat kecil meski tengah bekerja
sebagai tentara kependudukan Belanda dan Jepang. Ia merupakan contoh seorang pemimpin
yang layak diapresiasi berkat jasa-jasanya.

Bergabung dengan KNIL membuat Gatot Subroto paham dan


mengerti bagaimana seorang tentara harus bertindak. Sempat
menjadi sersan kelas II saat dikirim di Padang Panjang selama lima
tahun, Gatot Subroto kemudian dikirim ke Sukabumi untuk
mengikuti pendidikan lanjutan, pendidikan masose. 

Belanda berhasil didudukkan Jepang pada saat Perang Dunia II, tanpa komando Gatot Subroto
bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta), organisasi militer milik Jepang yang merekrut
tentara pribumi untuk berperang. Di sanalah karir Gatot Subroto mulai merangkak naik. Selepas
lulus dari pendidikan Peta, ia diangkat menjadi komandan kompi di Banyumas sebelum akhirnya
ditunjuk menjadi komandan batalyon.

Selama menjabat sebagai komandan kompi dan komandan batalyon, Gatot Subroto dinilai sering
memihak kepada rakyat pribumi. Hal itulah yang sering kali membuat ia ditegur oleh atasannya.
Namun, bukan berarti sering mendapat teguran dari atasan membuat Gatot Subroto kapok dan
patuh terhadap perintah. Justru hal itulah yang membuat Gatot Subroto mendapatkan egara segar
untuk sekedar ‘menakuti dan mengancam’ pihak Jepang. Saat itu, ia mengancam bahwa dirinya
mengundurkan diri sebagai komandan kompi dengan melemparkan atribut senjata perangnya.
Melihat tindakan berani Gatot Subroto, atasannya kemudian meluluskan apa yang dikerjakan
Gatot Subroto, yakni memihak pribumi terlebih rakyat kecil. Ia juga menentang Jepang jika
berbuat semena-mena dan kasar terhadap anak buahnya.

Setelah kemerdekaan Indonesia berhasil didapat, Gatot Subroto kemudian membentuk Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal nama TNI yang ada kini. TKR dipimpin
oleh Kol. Sudirman di mana saat itu Gatot Subroto menjabat sebagai Kepala Siasat dan berganti
menjadi Komandan Devisi dengan pangkat Kolonel setelah prestasinya yang dianggap gemilang
dalam pertempuran Ambarawa.

Pada tahun 1948 terdapat pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang didalangi Muso
(DI/ TII). Pemberontakan tersebut berada di wilayah Madiun, Jawa Timur, yang kemudian
berakhir diatasi dengan baik oleh TKR di bawah pimpinan Gatot Subroto. Saat melawan PKI,
Gatot Subroto melancarkan operasi militer agar dapat memulihkan keamanan.

Tak berbeda jauh dengan pemberontakan yang ada di Jawa, di Sulawesi Selatan juga terdapat
pemberontakan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh Kahar Muzakar
pada tahun 1952. Lagi-lagi karena dinilai pandai dalam memasang strategi, Gatot Subroto
diserahi untuk menumpas pasukan pemberontak dan kembali pulang dengan membawa
kemenangan. Tak hanya sekedar kemenangan, para pemberontak pun juga berhasil dibujuknya
agar kembali dalam barisan TKR. Berkat usahanya tersebut, Gatot Subroto diangkat menjadi
Panglima Tentara & Teritorium (T & T) IV Diponegoro di tahun yang sama.

Selama memimpin, Gatot Subroto dikenal sebagai pemimpin yang disiplin, tegas, berani, dan
membela kaum yang tertindas. Maka, pada tahun 1953, ketika terjadi kerusuhan di istana egara
akibat tuntutan rakyat atas pembubaran parlemen ditolak, Gatot Subroto yang dituduh sebagai
dalang kerusuhan tersebut langsung mengundurkan diri dari jabatannya sekaligus dari dinas
militer. Namun, ia kembali dipanggil pemerintah untuk duduk dan menjabat sebagai Wakil
Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) pada tahun 1956. Melalui tangannya, ia berhasil
melumpuhkan pemberontakan PRRI/ Permesta yang ada di Sumatera dan Sulawesi Utara.

Pada tanggal 11 Juni 1962, Gatot Subroto meninggal di usia 55 tahun. Pangkat terakhir yang
disandangnya adalah Letnan Jenderal. Pantas saja ia mendapatkan pangkat tertinggi dalam
bidang militer tersebut mengingat jasanya tak bisa dibilang kecil. Ia adalah penggagas
dibentuknya tentara gabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara yang
disebut AKABRI pada tahun 1965.

A.H Nasution

Jenderal Besar TNI Purn. Abdul Haris Nasution dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya
dalam perang melawan penjajahan Belanda yang tertuang dalam buku yang beliau tulis berjudul
"Strategy of Guerrilla Warfare". Buku yang kini telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing dan menjadi
buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk
sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat.

Meski pernah menuai kecaman atas perannya sebagai


konseptor Dwi Fungsi ABRI yang dikutuk di era reformasi,
jasa besar beliau tak dapat dilepaskan dari perjuangan
mempertahankan kemerdekaan RI hingga masa Orde Baru.
Dwi Fungsi ABRI akhirnya dihapus karena desakan gerakan
reformasi tahun 1998. Dwi Fungsi ABRI dianggap sebagai  legalitas tentara untuk campur
tangan dengan urusan politik di Indonesia sehingga memunculkan pemerintahan otoriter dan
represif.

Sejak kecil, Pak Nas senang membaca cerita sejarah. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini
melahap buku-buku sejarah, dari Nabi Muhammad SAW sampai perang kemerdekaan Belanda
dan Prancis. Lulus dari AMS-B (SMA Paspal) pada 1938, beliau menjadi guru di Bengkulu dan
Palembang. Tetapi kemudian beliau tertarik masuk Akademi Militer. Dalam Revolusi
Kemerdekaan I (1946-1948), beliau diberi wewenang untuk memimpin Divisi Siliwangi. Ketika
itulah muncul ide tentang perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Metode perang ini
dikembangkan setelah Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi
Kemerdekaan II (948-1949).

Tahun 1948, Pak Nas memimpin pasukan Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di
Madiun. Ia nyaris tewas bersama mendiang putrinya, Ade Irma yang tewas tertembak di
rumahnya ketika pemberontakan PKI (G-30-S) meletus kembali tahun 1965. Meskipun sangat
mengagumi Bung Karno, kedua tokoh besar itu nyatanya sering berselisih paham. Pak Nas
menganggap Bung Karno intervensi dan bias ketika terjadi pergolakan internal Angkatan Darat
tahun 1952. Dalam "Peristiwa 17 Oktober”, yang menuntut pembubaran DPRS dan pembentukan
DPR baru, Pak Nas dituding hendak melakukan kudeta terhadap presiden RI yang berujung
Bung Karno memberhentikannya sebagai KSAD.

Setelah akur kembali, Pak Nas diangkat sebagai KSAD pada tahun 1955 setelah meletusnya
pemberontakan PRRI/Permesta. Pak Nas dipercaya Bung Karno sebagai co-formatur
pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja. Keduanya tidak akur lagi usai pembebasan Irian
Barat lantaran sikap politik Bung Karno yang cenderung pro-PKI. Dia merupakan salah satu
tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi
korban adalah putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean

Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun duduk di posisi
kunci TNI ini, menepi dari panggung kekuasaan. pak Nas lalu menyibukkan diri menulis
memoar. Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan beliau telah
beredar. Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi
Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Selain itu beliau juga menulis buku dan
memoar berjudul Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan, Pokok-Pokok Gerilya, TNI
(dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid). Jenderal Besar Nasution menghembuskan
nafas terakhir di RS Gatot Subroto, pukul 07.30 WIB (9/9-2000), pada bulan yang sama ia
masuk daftar PKI untuk dibunuh.

Jendral yang merupakan salah satu dari tiga jendral yang berpangkat bintang lima di Indonesia
ini sedari kecil hidup sederhana, dan beliau tak mewariskan harta pada keluarganya, kecuali
kekayaan pengalaman dalam perjuangan dan idealisme. Rumahnya di Jalan Teuku Umar,
Jakarta, tetap tampak kusam, hingga kini tak pernah direnovasi.

Anda mungkin juga menyukai