Anda di halaman 1dari 20

1. Ir.

Soekarno

Biografi

Ir. Soekarno atau yang biasa dipanggil Bung Karno yang lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 6 Juni
1901 dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dengan Ida Ayu Nyoman Rai.

Ayah Soekarno adalah seorang guru. Raden Soekemi bertemu dengan Ida Ayu ketika dia mengajar di
Sekolah Dasar Pribumi Singaraja, Bali.

Soekarno hanya menghabiskan sedikit masa kecilnya dengan orangtuanya hingga akhirnya dia tinggal
bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.
Soekarno pertama kali bersekolah di Tulung Agung hingga akhirnya dia ikut kedua orangtuanya pindah
ke Mojokerto.

Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School. Di tahun 1911, Soekarno
dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger
School (HBS).

Setelah lulus pada tahun 1915, Soekarno melanjutkan pendidikannya di HBS, Surabaya, Jawa Timur. Di
Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para tokoh dari Sarekat Islam, organisasi yang kala itu
dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto yang juga memberi tumpangan ketika Soekarno tinggal di Surabaya.

Dari sinilah, rasa nasionalisme dari dalam diri Soekarno terus menggelora. Di tahun berikutnya,
Soekarno mulai aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai
organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian Soekarno ganti menjadi Jong Java
(Pemuda Jawa) pada 1918.

Di tahun 1920 seusai tamat dari HBS, Soekarno melanjutkan studinya ke Technische Hoge School
(sekarang berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung) di Bandung dan mengambil jurusan teknik
sipil.

Saat bersekolah di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat
Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Melalui Haji Sanusi, Soekarno berinteraksi dengan Ki Hajar
Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin
organisasi National Indische Partij.

Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang diinspirasi dari
Indonesische Studie Club (dipimpin oleh Dr Soetomo). Algemene Studie Club merupakan cikal bakal
berdirinya Partai Nasional Indonesia pada tahun 1927.
Bulan Desember 1929, Soekarno ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di Penjara Banceuy karena
aktivitasnya di PNI. Pada tahun 1930, Soekarno dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari dalam penjara
inilah, Soekarno membuat pledoi yang fenomenal, Indonesia Menggugat.

Soekarno dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931. Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung
dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI.

Soekarno kembali ditangkap oleh Belanda pada bulan Agustus 1933 dan diasingkan ke Flores. Karena
jauhnya tempat pengasingan, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional lainnya.

Namun semangat Soekarno tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru
Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan. Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke
Provinsi Bengkulu. Soekarno baru benar-benar bebas setelah masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Di awal kependudukannya, Jepang tidak terlalu memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia


hingga akhirnya sekitar tahun 1943 Jepang menyadari betapa pentingnya para tokoh ini. Jepang mulai
memanfaatkan tokoh pergerakan Indonesia dimana salah satunya adalah Soekarno untuk menarik
perhatian penduduk Indonesia terhadap propaganda Jepang.

Akhirnya tokoh-tokoh nasional ini mulai bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk
dapat mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang tetap melakukan gerakan perlawanan
seperti Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.

Soekarno sendiri mulai aktif mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan
Pancasila, UUD 1945 dan dasar-dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah
proklamasi Kemerdekaan.

Pada bulan Agustus 1945, Soekarno diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah
Asia Tenggara ke Dalat, Vietnam. Marsekal Terauchi menyatakan bahwa sudah saatnya Indonesia
merdekan dan segala urusan proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah tanggung jawab rakyat
Indonesia sendiri.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada
tanggal 16 Agustus 1945. Para tokoh pemuda dari PETA menuntut agar Soekarno dan Hatta segera
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena pada saat itu di Indonesia terjadi
kevakuman kekuasaan.

Ini disebabkan karena Jepang telah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta
dan beberapa tokoh lainnya menolak tuntutan ini dengan alasan menunggu kejelasan mengenai
penyerahan Jepang.

Pada akhirnya,Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional lainnya mulai mempersiapkan diri menjelang
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Berdasarkan sidang yang diadakan oleh Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) panitia kecil untuk upacara proklamasi yang terdiri
dari delapan orang resmi dibentuk.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya. Teks proklamasi secara
langsung dibacakan oleh Soekarno yang semenjak pagi telah memenuhi halaman rumahnya di Jl
Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan Presiden Soekarno
dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dikukuhkan oleh KNIP.

Kemerdekaan yang telah didapatkan ini tidak langsung bisa dinikmati karena di tahun-tahun berikutnya
masih ada sekutu yang secara terang-terangan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan bahkan
berusaha untuk kembali menjajah Indonesia.

Gencaran senjata dari pihak sekutu tak lantas membuat rakyat Indonesia menyerah, seperti yang terjadi
di Surabaya ketika pasukan Belanda yang dipimpin oleh Brigadir Jendral A.W.S Mallaby berusaha untuk
kembali menyerang Indonesia.

Rakyat Indonesia di Surabaya dengan gigihnya terus berjuang untuk tetap mempertahankan
kemerdekaan hingga akhirnya Brigadir Jendral AWS Mallaby tewas dan pemerintah Belanda menarik
pasukannya kembali. Perang seperti ini tidak hanya terjadi di Surabaya tapi juga hampir di setiap kota.
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB karena agresi militer
tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.

Walaupun telah dilaporkan ke PBB, Belanda tetap saja melakukan agresinya. Atas permintaan India dan
Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam
agenda rapat Dewan Keamanan PBB, di mana kemudian dikeluarkan Resolusi No 27 tanggal 1 Agustus
1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.

Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947, Pemerintah Belanda akhirnya
menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi
Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan
membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda.

Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan),


Presiden Soekarno kembali diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad
Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS.

Karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada
tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali diubah menjadi Republik Indonesia dimana Ir Soekarno menjadi
Presiden dan Mohammad Hatta menjadi wakilnya.

Pemberontakan G30S/PKI melahirkan krisis politik hebat di Indonesia. Massa dari KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan
menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan.

Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena menilai bahwa tindakan tersebut
bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme).
Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik. Lima
bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatangani oleh
Soekarno dimana isinya merupakan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil
tindakan yang perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden.

Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat
untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang. MPRS pun mengeluarkan dua
Ketetapannya, yaitu TAP No IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No
XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat
bisa menjadi presiden apabila presiden sebelumnya berhalangan.

Pada 22 Juni 1966, Soekarno membacakan pidato pertanggungjawabannya mengenai sikapnya terhadap
peristiwa G30S. Pidato pertanggungjawaban ini ditolak oleh MPRS hingga akhirnya pada 20 Februari
1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka.

Hari Minggu, 21 Juni 1970 Presiden Soekarno meninggal dunia di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat) Gatot Subroto, Jakarta. Presiden Soekarno disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan kemudian
dimakamkan di Blitar, Jawa Timur berdekatan dengan makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai.
Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.

Ir Soekarno adalah seorang sosok pahlawan yang sejati. Dia tidak hanya diakui berjasa bagi bangsanya
sendiri tapi juga memberikan pengabdiannya untuk kedamaian di dunia. Semua sepakat bahwa Ir
Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu
satu abad. Ir Soekarno adalah bapak bangsa yang tidak akan tergantikan.

2. Drs. H. Mohammad Hatta


Biografi

Dr. H. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Pria yang akrab disapa dengan sebutan
Bung Hatta ini merupakan pejuang kemerdekaan RI yang kerap disandingkan dengan Soekarno. Tak
hanya sebagai pejuang kemerdekaan, Bung Hatta juga dikenal sebagai seorang organisatoris, aktivis
partai politik, negarawan, proklamator, pelopor koperasi, dan seorang wakil presiden pertama di
Indonesia.

Kiprahnya di bidang politik dimulai saat ia terpilih menjadi bendahara Jong Sumatranen Bond wilayah
Padang pada tahun 1916. Pengetahuan politiknya berkembang dengan cepat saat Hatta sering
menghadiri berbagai ceramah dan pertemuan-pertemuan politik. Secara berkelanjutan, Hatta
melanjutkan kiprahnya terjun di dunia politik.
Sampai pada tahun 1921 Hatta menetap di Rotterdam, Belanda dan bergabung dengan sebuah
perkumpulan pelajar tanah air yang ada di Belanda, Indische Vereeniging. Mulanya, organisasi tersebut
hanyalah merupakan organisasi perkumpulan bagi pelajar, namun segera berubah menjadi organisasi
pergerakan kemerdekaan saat tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan
Tjipto Mangunkusumu) bergabung dengan Indische Vereeniging yang kemudian berubah nama menjadi
Perhimpunan Indonesia (PI).

Di Perhimpunan Indonesia, Hatta mulai meniti karir di jenjang politiknya sebagai bendahara pada tahun
1922 dan menjadi ketua pada tahun 1925. Saat terpilih menjadi ketua PI, Hatta mengumandangkan
pidato inagurasi yang berjudul "Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan".

Dalam pidatonya, ia mencoba menganalisa struktur ekonomi dunia yang ada pada saat itu berdasarkan
landasan kebijakan non-kooperatif. Hatta berturut-turut terpilih menjadi ketua PI sampai tahun 1930
dengan perkembangan yang sangat signifikan dibuktikan dengan berkembangnya jalan pikiran politik
rakyat Indonesia

Sebagai ketua PI saat itu, Hatta memimpin delegasi Kongres Demokrasi Internasional untuk perdamaian
di Berville, Perancis, pada tahun 1926. Ia mulai memperkenalkan nama Indonesia dan sejak saat itu
nama Indonesia dikenal di kalangan organisasi-organisasi internasional. Pada tahun 1927, Hatta
bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda dan berkenalan dengan
aktivis nasionalis India, Jawaharhal Nehru.

Aktivitas politik Hatta pada organisasi ini menyebabkan dirinya ditangkap tentara Belanda bersama
dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul madjid Djojodiningrat sebelum akhirnya
dibebaskan setelah ia berpidato dengan pidato pembelaan berjudul: Indonesia Free.

Selanjutnya pada tahun 1932, Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club
Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia
dengan adanya pelatihan-pelatihan.

Pada tahun 1933, Soekarno diasingkan ke Ende, Flores. Aksi ini menuai reaksi keras oleh Hatta. Ia mulai
menulis mengenai pengasingan Soekarno pada berbagai media. Akibat aksi Hatta inilah pemerintah
kolonial Belanda mulai memusatkan perhatian pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia dan
menangkap pimpinan para pimpinan partai yang selanjutnya diasingkan ke Digul, Papua.

Pada masa pengasingan di Digul, Hatta aktif menulis di berbagai surat kabar. Ia juga rajin membaca buku
yang ia bawa dari Jakarta untuk kemudian diajarkan kepada teman-temannya. Selanjutnya, pada tahun
1935 saat pemerintahan kolonial Belanda berganti, Hatta dan Sjahrir dipindahlokasikan ke Bandaneira.
Di sanalah, Hatta dan Sjahrir mulai memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang
sejarah, politik, dan lainnya.

Setelah delapan tahun diasingkan, Hatta dan Sjahrir dibawa kembali ke Sukabumi pada tahun 1942.
Selang satu bulan, pemerintah kolonial Belanda menyerah pada Jepang. Pada saat itulah Hatta dan
Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada awal Agustus 1945, nama Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan berganti
nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Soekarno sebagai Ketua dan Hatta
sebagai Wakil Ketua.

Sehari sebelum hari kemerdekaan dikumandangkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia


mengadakan rapat di rumah Admiral Maeda. Panitia yang hanya terdiri dari Soekarno, Hatta, Soebardjo,
Soekarni, dan Sayuti tersebut merumuskan teks proklamasi yang akan dibacakan keesokan harinya
dengan tanda tangan Soekarno dan Hatta atas usul Soekarni.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 di jalan Pagesangan Timur 56 tepatnya pukul 10.00 kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Keesokan harinya,
pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hatta sebagai
Wakil Presiden.

Berita kemerdekaan Republik Indonesia telah tersohor sampai Belanda. Sehingga, Belanda berkeinginan
kembali untuk menjajah Indonesia. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia,
pemerintahan Republik Indonesia dipindah ke Jogjakarta. Ada dua kali perundingan dengan Belanda
yang menghasilkan perjanjian linggarjati dan perjanjian Reville. Namun, kedua perjanjian tersebut
berakhir kegagalan karena kecurangan Belanda.
Pada Juli 1947, Hatta mencari bantuan ke India dengan menemui Jawaharhal Nehru dan Mahatma
Gandhi. Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan melakukan protes terhadap tindakan
Belanda dan agar dihukum pada PBB. Banyaknya kesulitan yang dialami oleh rakkyat Indonesia
memunculkan aksi pemberontakan oleh PKI sedangkan Soekarno dan Hatta ditawan ke Bangka.
Selanjutnya kepemimpinan perjuangan dipimpin oleh Jenderal Soedirman.

Perjuangan rakyat Indonesia tidak sia-sia. Pada tanggal 27 desembar 1949, Ratu Juliana memberikan
pengakuan atas kedaulatan Indonesia kepada Hatta.

Setelah kemerdekaan mutlak Republik Indonesia, Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di
berbagai lembaga pendidikan. Dia juga masih aktif menulis berbagai macam karangan dan membimbing
gerakan koperasi sesuai apa yang dicita-citakannya. Tanggal 12 Juli 1951, Hatta mengucapkan pidato di
radio mengenai hari jadi Koperasi dan selang hari lima hari kemudian dia diangkat menjadi Bapak
Koperasi Indonesia.

Hatta menikah dengan Rachim Rahmi pada tanggal 18 November 1945 di desa Megamendung, Bogor,
Jawa Barat. Pasangan tersebut dikaruniai tiga orang putri yakni Meutia, Gemala, dan Halida.

Pada tanggal 14 Maret 1980 Hatta wafat di RSUD dr. Cipto Mangunkusumo. Karena perjuangannya bagi
Republik Indonesia sangat besar, Hatta mendapatkan anugerah tanda kehormatan tertinggi "Bintang
Republik Indonesia Kelas I" yang diberikan oleh Presiden Soeharto.

3. Fatmawati Soekarno
Biografi

Fatmawati, wanita asli pribumi ini lahir di


Bengkulu pada tanggal 5 Februari 1923 dengan nama asli Fatimah. Nama Fatimah merupakan
pemberian dari kedua orang tuanya. Fatmawati merupakan keturunan dari pasangan Hassan Din dan Siti
Chadijah yang mana kedua orangtuanya adalah keturunan Puti Indrapura atau biasa disebut seorang
keluarga raja dari kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Ayah Fatmawati juga terkenal
sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah di Bengkulu. Fatmawati dididik dan dibesarkan kedua
orangtuanya di Bengkulu.

Ketika beranjak dewasa, Fatmawati menikah dengan Presiden Indonesia Pertama Soekarno pada tanggal
01 Juni 1943, saat itu Fatmawati berusia 20 tahun. Dari pernikahan tersebut, secara otomatis Fatmawati
menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967.
Fatmawati merupakan istri yang ketiga dari Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Pasangan Pemimpin
Negara Indonesia tersebut dikaruniai lima orang putra dan putri, di antaranya adalah Guntur
Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan
yang terakhir Guruh Soekarnoputra.

Ibu Negara Indonesia Pertama ini terkenal sebagai wanita yang berjasa dalam menjahit bendera Sang
Saka Merah Putih yang dengan tegas dikibarkan pada upacara pertama Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia di Jakarta tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Fatmawati meninggal pada tanggal 14 Mei 1980 pada usia 57 tahun di Kuala Lumpur, Malaysia karena
serangan jantung ketika dalam perjalanan pulang umroh dari Mekkah. Fatmawati dimakamkan di Karet
Bivak, Jakarta. Saat ini nama Fatmawati dijadikan sebuah nama Rumah Sakit di Jakarta, nama Fatmawati
Soekarno juga dijadikan sebuah nama Bandara Udara di Indonesia tepatnya di Bengkulu, kota kelahiran
Fatmawati.

4.Achmad Soebardjo

Biografi

Dia adalah Achmad Soebardjo, salah satu


tokoh yang memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, terlebih menjelang proklamasi
kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Selain itu, dia juga pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri
RI pertama setelah merdeka.
Achmad Soebardjo dianggap sebagai salah satu tokoh berpengaruh, sehingga dia terpilih sebagai
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang kemudian berganti
menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Keresidenan Batavia, pada 23 Maret 1896.
Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf,[1] masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek
Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan
Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe,
Karawang. Ibu Achmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis,[1] dan merupakan anak
dari Camat di Telukagung, Cirebon.

Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya nama Achmad
Soebardjo.[1] Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara
Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".[2]

Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada
tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh
ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada
tahun 1933.

Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada
bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta dan para ahli
gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang Imperialisme dan
Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama
itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika.[3]
Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada tanggal 16 Agustus 1945 Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana,
Shudanco Singgih, dan pemuda lain, membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya
adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.[4] Peristiwa ini dinamakan
Peristiwa Rengasdengklok.
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah
siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.[5] Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua,
yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Achmad Soebardjo menyetujui untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.[6] Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar
Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Achmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk
tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.[7] Bahkan Achmad Soebardjo memberikan
jaminan dengan taruhan nyawa bahwa proklamasi kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17
Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 11.30. Dengan adanya jaminan itu, Komandan Kompi Peta
Rengasdengklok Cudanco Subeno bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet
Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali menjabat menjadi Menteri Luar Negeri sekali
lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland
antara tahun-tahun 1957 - 1961.

Dalam bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan
Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.

Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam usia 82 tahun (15 Desember 1978) di Rumah
Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia dimakamkan di rumah
peristirahatnya di Cipayung, Bogor.[2] Pemerintah mengangkat almarhum sebagai Pahlawan Nasional
pada tahun 2009.
5.Sukarni

Biografi

Sukarni lahir hari Kamis Wage di desa Sumberdiran, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Namanya jika dijabarkan berarti "Su" artinya lebih sedangkan "Karni" artinya banyak memperhatikan
dengan tujuan oleh orangtuanya agar Sukarni lebih memperhatikan nasib bangsanya yang kala itu masih
dijajah Belanda. Sukarni merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara.

Urutan saudara

Sunting

Hono Karto Dihardjo

Soekarmilah (Ny. H. Sopran)

Soekardi

Soekarlim

Soekarni

Soekarti (Ny. Sastro Roesdi)

Karmijem (Ny. Parto Widjono)

Endang Sartini (Ny. Muslimin)

Soekarpo (Endi Soekarto)

Soekarjo
Ayahnya adalah Dimoen Kartodiwirjo, keturunan dari Eyang Onggo, juru masak Pangeran Diponegoro.
Ibunya bernama Pidjah, gadis asal Kediri. Keluarga Sukarni bisa dikatakan berkecukupan jika dibanding
penduduk yang lain. Ayahnya membuka toko daging di pasar Garum dan usahanya sangat laris.

Sukarni masuk sekolah di Mardisiswo di Blitar (semacam Taman Siswa yang dibuat oleh Ki Hajar
Dewantara). Di sekolah ini Sukarni belajar mengenai nasionalisme melalui Moh. Anwar yang berasal dari
Banyumas, pendiri Mardidiswo sekaligus tokoh pergerakan Indonesia.

Sebagai anak muda, Sukarni terkenal kenakalannya karena sering berbuat onar. Dia sering berkelahi dan
hobi menantang orang Belanda. Dia pernah mengumpulkan 30-50 orang teman-temannya dan mengirim
surat tantangan ke anak muda Belanda untuk berkelahi. Lokasinya di kebun raya Blitar, dekat sebuah
kolam. Anak-anak Belanda menerima tantangan itu dan terjadilah tawuran. Kelompok Sukarni
memenangkan perkelahian itu dan anak Belanda yang kalah dicemplungkan ke kolam.

Perkenalan Sukarni dengan dunia pergerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
dimulai ketika usia masih remaja, 14 tahun, saat dia masuk menjadi anggota perhimpunan Indonesia
Muda tahun 1930. Semenjak itu dia berkembang menjadi pemuda militan dan revolusioner. Selain itu ia
juga sempat mendirikan organisasi Persatuan Pemuda Kita.

Ketika di MULO, Sukarni dikeluarkan dari sekolah karena mencari masalah dengan pemerintah kolonial
Belanda. Bukannya surut, semangat belajarnya malah semakin membara. Dia bersekolah ke Yogyakarta,
dan kemudian ke Jakarta pada sekolah kejuruan guru. Atas bantuan Ibu Wardoyo (kakak Bung Karno),
Sukarni disekolahkan di Bandung jurusan jurnalistik.

Pada masa-masa di Bandung inilah, konon Sukarni pernah mengikuti kursus pengkaderan politik
pimpinan Soekarno. Disinilah dia bertemu dan mengikat sahabat dengan Wikana, Asmara Hadi dan SK
Trimurti.

Tahun 1934 Sukarni berhasil menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda, sementara itu Belanda
mulai mencurigainya sebagai anak muda militan. Tahun 1936 pemerintah kolonial melakukan
penggerebekan terhadap para pengurus Indonesia Muda, tetapi Sukarni sendiri berhasil kabur dan
hidup dalam pelarian selama beberapa tahun.
Tidak lama sebelum Jepang masuk, Sukarni tertangkap di Balikpapan dan kemudian dibawa ke
Samarinda. Namun, setelah Jepang masuk, Sukarni berserta beberapa tokoh pergerakan lain seperti
Adam Malik dan Wikana malah dibebaskan oleh Jepang. Awal-awal pendudukan Jepang, Sukarni sempat
bekerja di kantor berita Antara yang didirikan oleh Adam Malik (yang kemudian berubah jadi Domei).
Pada masa Jepang ini, Sukarni juga bertemu dengan Tan Malaka. Tan Malaka-lah yang menjadi otak
pembentukan partai Murba dan dia jugalah yang menyarankan kepada anggota Murba lainnya agar
Sukarni yang menjadi Ketua Umum.

Tahun 1943, bersama Chairul Saleh, dia memimpin Asrama Pemuda di Menteng 31. Di tempat itu
Sukarni makin giat menggembleng para pemuda untuk berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Seperti
diketahui, pada kurun selanjutnya, Menteng 31 dikenal sebagai salah satu pusat penting yang
melahirkan tokoh Angkatan 45.

Mendengar berita kekalahan Jepang, kelompok pemuda dengan kelompok bawah tanah di bawah
pimpinan Sutan Syahrir, bersepakat bahwa inilah saat yang tepat untuk memproklamirkan
kemerdekaan. Sukarni, Wikana dan kelompok pemuda lainnya mendesak Soekarno dan Hatta, tetapi
mereka berdua menolak. Akhirnya terjadilah perdebatan sengit yang berakhir dengan penculikan kedua
tokoh tersebut, dengan tujuan menjauhkan Soekarno-Hatta dari "pengaruh" Jepang. Kedua pemimpin
itu "diasingkan" ke Rengasdengklok oleh kelompok pemuda yang dipimpin olehnya.

Akhirnya semua pihak kemudian bersepakat bahwa proklamasi kemerdekaan akan segera dilakukan
pada 17 Agustus 1945. Selanjutnya, Sukarni mengemban amanat kemerdekaan serta bahu membahu
bersama kelompok pemuda lainnya dalam meneruskan berita tentang kemerdekaan ini. Sukarni
membentuk Comite Van Aksi (semacam panitia gerak cepat) pada 18 Agustus 1945 yang tugasnya
menyebarkan kabar kemerdekaan ke seluruh Indonesia. Khusus untuk para pemudanya dibentuk API
(Angkatan Pemuda Indonesia) dan untuk buruh dibentuk BBI (Barisan Buruh Indonesia) yang kemudian
melahirkan laskar buruh dan laskar buruh wanita.

Di zaman RI berkedudukan di Yogyakarta, Sukarni menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan


Perjuangan (PP) di bawah ketua Tan Malaka. PP beroposisi dengan pemerintah dan menolak
perundingan pemerintah terhadap Belanda. Aksi PP ini membuat Sukarni dijebloskan ke penjara pada
tahun 1946. Selanjutnya Sukarni juga mengalami penahanan di Solo, Madiun dan Ponorogo (daerah
komunis Muso) pada masa pemerintahan Amir Syarifudin (1947/1948)
Sukarni meninggal dunia pada tanggal 7 Mei 1971, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta.

6.sayuti melik

Biografi

Sayuti Melik merupakan seorang pahlawan nasional yang


dikenal sebagai tokoh yang mengetik teks proklamasi.
Sayuti Melik lahir di Sleman, Yogyakarta, pada 25
November 1908. Setelah kemerdekaan Indonesia, ia sempat dipenjara oleh Amir Syarifudin karena
dicurigai dekat dengan Persatuan Perjuangan. Di era Orde Baru, Sayuti Melik diangkat menjadi anggota
MPR dan DPR sebagai wakil dari Golongan Karya.

Sayuti Melik memiliki nama lengkap Mohammad Ibnu Sayuti. Ia lahir di Kadisobo, Rejodani, Sleman,
Yogyakarta, pada 25 November 1908. Sayuti Melik merupakan anak dari Abdul Muin alias Partiprawiro
dan Sumilah. Sayuti Melik memulai pendidikannya di Sekolah Ongko Loro yang setara dengan Sekolah
Dasar (SD) di Desa Srowolan.
Ia kemudian melanjutkan pendidikanya di Sekolah Guru di Solo. Sejak saat itu, ia mulai mempelajari
nasionialisme. Akan tetapi, ia tertangkap Belanda karena dicurigai tergabung dalam kegiatan politik
bawah tanah. Sejak saat itu, Sayuti Melik lebih memilih belajar mandiri. Setelah kemerdekaan Indonesia,
Sayuti Melik melanjutkan pendidikanya di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia. Nasionalisme
dalam diri Sayuti Melik didapat dari didikan bapaknya, yang saat itu menentang kebijakan Belanda
terkait penanaman tembakau di sawah milik mereka.

Sayuti Melik turut menjadi saksi penyusunan teks proklamasi kemerdekaan yang dilakukan di ruang
makan rumah Laksamana Maeda. Dalam hal ini, ia mewakili golongan pemuda bersama Sukarni. Ketika
proses penyusunan naskah proklamasi, Sayuti Melik membantu Ir Soekarno. Ada juga riwayat yang
mengatakan bahwa Sayuti Melik turut mengusulkan agar naskah proklamasi ditandatangani oleh Ir.
Soekarno dan Mohammad Hatta. Setelah mengusulkan terkait penandatanganan tersebut, Sukarni
segera mengumumkan bahwa teks proklamasi hanya perlu ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta atas
nama bangsa Indonesia.

Kemudian, Soekarno meminta Sayuti Melik untuk mengetik naskah proklamasi yang telah disusun
sebelumnya.

Bersama BM Diah, Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi di ruang bawah tanah rumah Laksamana
Maeda. Saat pengetikan tersebut, ia melakukan perubahan tiga kata, yakni kata 'tempoh' diganti
menjadi 'tempo'. Sementara itu, kata 'wakil-wakil Bangsa Indonesia' diubah menjadi 'Atas Nama Bangsa
Indonesia'. Selain itu, ada juga pengubahan tulisan bulan dan hari dalam teks proklamasi hasil ketikan
Sayuti Melik.

Pada 1946, Sayuti Melik ditangkap oleh pemerintah Indonesia atas perintah Amir Syarifudin.
Penangkapan ini terjadi karena Sayuti Melik dianggap sebagai pihak yang berhubungan dengan
Persatuan Perjuangan. Persatuan Perjuangan adalah organisasi yang dibentuk di Purwokerto pada 1946
oleh Tan Malaka. Adapun Persatuan Perjuangan dibentuk untuk menciptakan persatuan di antara
organisasi-organisasi yang ada untuk mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia. Selain itu, ia juga
dianggap bersekongkol dan ikut terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946. Namun, akhirnya ia dinyatakan
tidak bersalah oleh Mahkamah Tentara. Sayuti Melik juga pernah ditangkap oleh Belanda ketika Agresi
Militer II. Ia kemudian dipenjara di Ambarawa. Setelah KMB (Konferensi Meja Bundar) selesai dilakukan,
ia dibebaskan pada 1949.

Pada 1950, Sayuti Melik diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR serta menjadi Wakil Cendikiawan.
Pada 1961, ia menerima Bintang Maha Putera Tingkat V. Lalu, oada 1973, Sayuti Melik menerima tanda
Bintang Mahaputra Adipradana II dari Presiden Soeharto. Pada 1971 hingga 1977, Sayuti Melik diangkat
menjadi anggota MPR dan DPR sebagai perwakilan Golongan Karya. Selain di bidang politik, Sayuti Melik
juga sempat menjadi seorang jurnalis. Ia pernah berkarier sebagai wartawan di Eropa Barat, Eropa
Timur, Amerika Serikat, dan Australia

Pada 23 Desember 1982, Sayuti Melik mendapat penghargaan Satya Penegak Pers dari PWI (Persatuan
Wartawan Indonesia) Pusat. Sayuti Melik meninggal dunia pada 2 Maret 1989 di Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai