Anda di halaman 1dari 18

1.Ir.

Suekarno

Ir. Soekarno (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur
69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia
memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia
adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan
Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya
- berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat - menugaskan Letnan Jenderal
Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan.
Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah pertanggung jawabannya
ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun
1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa
MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.

Latar belakang dan pendidikan

Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi
Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari
Buleleng, Bali

Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun,
seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di
Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat
Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam,
organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi
Jong Java (Pemuda Jawa).

Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di
Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto
Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National
Indische Partij.

Masa pergerakan nasional

Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi
cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI
menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang
fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.

Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan
pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores.
Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara
seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad
Hassan.

Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.Soekarno baru
kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Masa penjajahan Jepang


Soekarno bersama Fatmawati dan Guntur

Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan
tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini
terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu
populer.

Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan


tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-
organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam
berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh
tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut
dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah
pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan
gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah
fasis yang berbahaya.

Soekarno diantara Pemimpin Dunia

Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi
kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya
kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila,
UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi
Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.

Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni
Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh
Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh
Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang
terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang
sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat
wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi
kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.

Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh
oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.

Masa Perang Revolusi

Ruang tamu rumah persembunyian Bung Karno di Rengasdengklok.

Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi


kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari
sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.

Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada
tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk
menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang
membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar
Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di
Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan
Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu
kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan
moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat
itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan
turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada
tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden
dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno
dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah
peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang
masih bersenjata lengkap.

Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison
akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan
Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun
akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah
Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S
Mallaby.

Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan
Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi
negara lainnya.

Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala
pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi
kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden
Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan.
Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan
November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara
yang lebih demokratis.

Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden
Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat
Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta
dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia
internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin
Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-
Belanda.

Masa kemerdekaan

Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan),


Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta
diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr
Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat
Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali
berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat
sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya
kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan
pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.

Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan
terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal
sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem
multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun
tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya
kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.

Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional.


Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak
untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil
inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung
dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan
negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan
dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-
badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden
Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu,
(Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan
Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh
kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan
sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara
kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa
akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.

Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno
mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya
adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba),
Mao Tse Tung (RRC).

Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh. Hatta, pada
tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan
sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya,
pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-
cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.

Sakit hingga meninggal

Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah mengalami
pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini
menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan
dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.

Peninggalan

Pada tanggal 19 Juni 2008, Pemerintah Kuba menerbitkan perangko yang bergambar Soekarno dan
presiden Kuba Fidel Castro. Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan
peringatan "kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba".

Penamaan

Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo. Ketika masih kecil, karena sering
sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang Jawa; oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno.
Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi
Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap
menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda
tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah.
Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.

Achmed Soekarno

Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi
karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-
tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat
di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah
bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun
terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark,
bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol.

Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji.

Dan dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno,
dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam
upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
(Wikipedia)

2.Prof. Mr. Dr supomo

Soepomo

Prof. Mr. Dr Soepomo (EYD: Supomo; Sukoharjo, 22 Januari1903–Jakarta, 12 September 1958)


adalah seorang pahlawannasional Indonesia.

Soepomo dikenal sebagai arsitek Undang-undang Dasar 1945, bersama dengan Muhammad Yamin
dan Sukarno (lihat Marsillam Simanjuntak, "Pandangan negara integralistik : sumber, unsur, dan
riwayatnya dalam persiapan UUD 1945" sebagai acuan tambahan tentang peran Soepomo dalam
penyusunan UUD 1945).

BIOGRAFI
Berasal dari keluarga aristokrat Jawa, kakek Soepomo dari pihak ayah adalah Raden Tumenggung
Reksowardono -ketika itu menjabat sebagai Bupati Anom Sukoharjo- dan kakek dari pihak ibu adalah
Raden Tumenggung Wirjodiprodjo, Bupati Nayaka Sragen. Sebagai putra keluarga priyayi, Soepomo
berkesempatan meneruskan pendidikannya di ELS (Europeesche Lagere School) di Boyolali (1917),
MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Solo (1920), dan menyelesaikan pendidikan tingginya
di Bataviasche Rechtsopleidingschool di Batavia pada tahun 1923. Ia kemudian ditunjuk sebagai
pegawai negeri pemerintah kolonial yang diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri Sragen
(Soegito 1977).

Antara tahun 1924 dan 1927 Soepomo mendapat kesempatan melanjutkan pendidikannya
ke Rijksuniversiteit Leiden di Belanda di bawah bimbingan Cornelis van Vollenhoven, profesor
hukum yang dikenal sebagai "arsitek" ilmu hukum adat Indonesia. Thesis doktornya yang
berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta (Reorganisasi sistem
agraria di wilayah Surakarta) tidak saja mengupas sistem agraria tradisional di Surakarta, tetapi juga
secara tajam menganalisis hukum-hukum kolonial yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah
Surakarta (Pompe 1993). Ditulis dalam bahasa Belanda, kritik Soepomo atas wacana kolonial tentang
proses transisi agraria ini dibungkus dalam bahasa yang halus dan tidak langsung, menggunakan
argumen-argumen kolonial sendiri, dan hanya dapat terbaca ketika kita menyadari bahwa
subyektifitas Soepomo sangat kental diwarnai etika Jawa (lihat buku Frans Magnis-Suseno "Etika
Jawa" dan tulisan-tulisan Ben Anderson dalam "Language and Power" sebagai tambahan acuan
tentang etika Jawa untuk memahami cara pandang dan strategi agency Soepomo.)

Hampir tidak ada biografi tentang Soepomo, kecuali satu yang dikerjakan berdasarkan proyek
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1977 (Soegito 1977). Simanjuntak berpendapat
bahwa Soepomo adalah sumber dari munculnya fasisme di Indonesia. Soepomo mengagumi sistem
pemerintahan Jerman dan Jepang. Negara "Orde Baru" ala Jenderal Soeharto adalah bentuk negara
yang paling dekat dengan ideal Soepomo.

WAFAT

Soepomo meninggal dalam usia muda akibat serangan jantung di Jakarta pada tahun 1958. Beliau
dimakamkan di Solo.

3.Prof. Dr Muhammad Yamin


Latar Belakang
Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. (lahir di Talawi,Sawahlunto, Sumatera
Barat, 24 Agustus 1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur
59 tahun) adalah sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum
yang telah dihormati sebagaipahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah
satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus
"pencipta imaji keindonesiaan" yang mempengaruhi sejarah persatuan
Indonesia.

Ia merupakan putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah
yang masing-masing berasal dari Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya
memiliki enam belas anak dari lima istri, yang hampir keseluruha nnya kelak
menjadi intelektual yang berpengaruh. Saudara-saudara Yamin antara lain :
Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang
wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps diplomatik
Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh
pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche


School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare
School (AMS)Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah
purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani,Latin, dan Kaei. Namun setelah
tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda harus
diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani
kuliah di Recht Hogeschool (RHS yang kelak menjadi Fakultas Hukum
Universitas Indonesia), Jakarta dan berhasil memperoleh gelarMeester in de
Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.

Kesusastraan
Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-
an semasa duniasastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya
pertamanya ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera,
sebuah jurnal berbahasa Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya
masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan
puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya
yaitu Minangkabau di Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern
Melayu pertama yang pernah diterbitkan.

Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28


Oktober 1928. Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena pada wak tu
itulah Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaanmemutuskan untuk
menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang
tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa,
muncul juga pada tahun yang sama.

Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya


dari literatur Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa
dalam puisi-puisinya, ia masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa
Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Ia
juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah, dan puisi. Ia juga
menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar)
dan Rabindranath Tagore.

Politik

Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta.


Ketika itu ia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond [3] dan
menyusun ikrah Sumpah Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II.
Dalam ikrar tersebut, ia menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal
dariBahasa Melayu, sebagai bahasa nasional Indonesia. Melalui organisasi
Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai
alat persatuan. Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi
bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan Indonesia.

Pada tahun 1932, Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian


bekerja dalam bidang hukum di Jakarta hingga tahun 1942. Di tahun yang
sama, Yamin tercatat sebagai anggota Partindo. Setelah Partindo bubar,
bersama Adenan Kapau Gani dan Amir Sjarifoeddin, ia mendirikan Gerakan
Rakyat Indonesia (Gerindo). Tahun 1939, ia terpilih sebagai
anggota Volksraad.

Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat Tenaga


Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah
Jepang. Pada tahun 1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI, Yamin
banyak memainkan peran. Ia berpendapat agar hak asasi manusia dimasukkan
ke dalam konstitusi negara. [4] Ia juga mengusulkan agar wilayah Indonesia
pasca-kemerdekaan, mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor
Portugis, serta semua wilayah Hindia Belanda. Soekarno yang juga merupakan
anggota BPUPKI menyokong ide Yamin tersebut. Setelah kemerdekaan,
Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama, dan Yamin
dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.

Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara


lain anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri
Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan(1953–1955), Menteri Urusan Sosial
dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional(1962), dan Ketua
Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).

Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan tahanan


politik yang dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi dan remisi, ia
mengeluarkan 950 orang tahanan yang dicap komunis atau sosialis. Atas
kebijakannya itu, ia dikritik oleh banyak anggota DPR. Namun Yamin berani
bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Kemudian di saat menjabat
Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin banyak mendorong
pendirian univesitas-universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia.
Diantara perguruan tinggi yang ia dirikan adalah Universitas
Andalas diPadang, Sumatera Barat.

Keluarga

Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari, putri
seorang bangsawan dari Kadingalu, Demak, Jawa Tengah. [5] Mereka dikaruniai
satu orang putra, Dang Rahadian Sinayangish Yamin (Dian). Pada tahun 1969,
Dian melangsungkan pernikahan dengan Gusti Raden Ayu Retno Satuti, putri
tertua dari Mangkunegoro VIII.

Karya-karyanya

 Tanah Air (puisi), 1922

 Indonesia, Tumpah Darahku, 1928

 Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama), 1932

 Ken Arok dan Ken Dedes (drama), 1934

 Sedjarah Peperangan Dipanegara, 1945

 Tan Malaka, 1945


 Gadjah Mada (novel), 1948

 Sapta Dharma, 1950

 Revolusi Amerika, 1951

 Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951

 Kebudayaan Asia-Afrika, 1955

 Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, 1956

 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1958

 Naskah Persiapan Undang-undang Dasar, 1960, 3 jilid

 Ketatanegaraan Madjapahit, 7 jilid


 Penghargaan

 Bintang Mahaputra RI, tanda penghargaan tertinggi dari


Presiden RI atas jasa-jasanya pada nusa dan bangsa

 Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta


lambang Gajah Mada dan Panca Darma Corps

 Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya


menciptakan Petaka Komando Strategi Angkatan Darat

4.Raden Ajeng Kartini

Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden
Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu
kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari
diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan
Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di
Jepara dan Rembang.

Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya.
Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah
lahir menjadi manusia seutuhnya.

Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam
berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum
diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali
karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-
temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan
keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini
sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana
kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.

Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar.
Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat
kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus
menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.

Merasakan hambatan demikian, Kartini remaja yang banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar
membaca buku khususnya buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli “Max Havelaar”
dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila
dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama wanita Eropa.

Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal
dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak
pernah disekolahkan sama sekali.

Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah
untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia
mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut
diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa
memungut bayaran alias cuma-cuma.

Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan
maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun
telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya.
Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden
Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.

Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih
mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa
yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah
Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.

Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman. Dia mempunyai banyak teman baik di dalam negeri
maupun di Eropa khususnya dari negeri Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada
para sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya memajukan wanita negerinya.
Kepada teman-temannya yang orang Belanda dia sering menulis surat yang mengungkapkan cita-citanya
tersebut, tentang adanya persamaan hak kaum wanita dan pria.

Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku
yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang
terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi
tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.

Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin
akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang panjang
kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal
17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya.

Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno,
Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun
1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus
menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian
dikenal sebagai Hari Kartini.
sumber : Koran Anak Indonesia

5.Dr. K.R.T Radjiman Wedyodningrat

Radjiman Wedyodiningrat yang lahir di Yogyakarta pada 21 April 1879 merupakan salah satu tokoh pendiri
Republik Indonesia. Ia merupakan Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Lambertus Nicodemus Palar (LN Palar) adalah tokoh yang lahir di Rurukan, Tomohon, Sulawesi Utara, pada 5
Juni 1900. Ia menjabat sebagai wakil Republik Indonesia dalam beberapa posisi diplomatik di Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).

Adapun TB Simatupang, yang lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, pada 28 Januari 1920, merupakan tokoh
militer di Indonesia. Saat ini namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan besar di kawasan Cilandak,
Jakarta Selatan.Hingga saat ini pemerintah sudah menetapkan 156 pahlawan nasional dengan 32 di antaranya
dari kalangan TNI dan Polri. Kepada setiap pahlawan nasional, pemerintah memberikan tunjangan sebesar Rp
1,5 juta setiap bulan dan bantuan kesehatan Rp 3 juta setiap tahun bagi ahli waris.
6.Alimin

Alimin bin Prawirodirdjo (Solo, 1889-Jakarta, 24 Juni 1964)[1] adalah seorang tokoh
pergerakan kemerdekaan Indonesia serta tokoh komunisIndonesia. Berdasarkan SK Presiden
No. 163 Tahun 1964 tertanggal 26 – 6 - 1964, Alimin tercatat sebagai salah satu Pahlawan
Nasional Indonesia. [2]

Sejak remaja Alimin telah aktif dalam pergerakan nasional. Ia pernah menjadi anggota Budi
Utomo, Sarekat Islam, Insulinde, sebelum bergabung dengan PKI dan akhirnya menjadi
pimpinan organisasi tersebut. Ia juga adalah salah seorang pendiri Sarekat Buruh Pelabuhan
(dulu namanya Sarekat Pegawai Pelabuhan dan Lautan).

Pada awal 1926, sebagai pimpinan PKI Alimin pergi ke Singapura untuk berunding dengan Tan
Malaka dalam rangka menyiapkan pemberontakan. Tapi sebelum Alimin pulang, pemberontakan
sudah meletus 12 November 1926. Alimin dan Musso ditangkap oleh polisi Inggris.

Setelah ia keluar dari penjara, Alimin pergi ke Moskow dan bergabung dengan Komintern. Alimin
tidak lama di sana karena bertemu dengan Ho Chi Minh dan diajak ke Kanton (Guangzhou).
Pada saat itu ia terlibat secara ilegal untuk mendidik kader-kader komunis di Vietnam, Laos,
danKamboja untuk melawan penjajah dan merebut kemerdekaan dari jajahan Perancis.

Ketika Jepang melakukan agresi terhadap Cina, Alimin pergi ke daerah basis perlawanan di
Yenan dan bergabung bersama tentara merah di sana. Ia pulang ke Indonesia pada tahun 1946,
yaitu setelah Republik Indonesia diproklamasikan. Dia kembali bergabung dengan PKI, sebagai
tokoh senior. Sempat menjadi anggota konstituante di era Orde Lama.[3]

Ketika DN Aidit mendirikan kembali PKI secara legal pada awal tahun 1950-an dan kemudian
menjadi Ketua Komite Sentralnya, Alimin termasuk tokoh komunis yang tidak diindahkannya.
Namun Alimin masih banyak didatangi oleh para pengikutnya sampai dengan saat meninggalnya
pada tahun 1964
7.Dr. Muhammad Hatta

Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah
Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal
ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah
anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan.
Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen
Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.

Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya
perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya
mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung
jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda


Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di
Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti
nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda
itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai
dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia
Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia
bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada
tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan
hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang
politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17
Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische
Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia
mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan
kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah
kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik
yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan
Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional
yang berada di Eropa.

PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa
dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin
delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke
Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi,
"Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia
Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang
Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels
tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin
pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi
negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey
(Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita
Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie
et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta
dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den
Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta
mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur
dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai
buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk
majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya
pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air


Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan
kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah
menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan
politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip
non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah
Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada
tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi
Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda
mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai
Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya
berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari
kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel,
mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara
Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua).
Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk
pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke
daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada
harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah
kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak
perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan.
Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-
kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta
sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan
pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat.
Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain,
"Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat
pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke
Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di
Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi
pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang


Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942,
Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan
Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta
mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang
akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada.
menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan
Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia
Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis
itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang
selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September
1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di
Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan
banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia
terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan
kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka
melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang
kembali."

Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti
dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan
Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh
Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan
proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada
pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta,
Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks
proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta
menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu
selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno
dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh
8.K.H. A Wahid Hasyim

Pada 15 Juli 1945, KH Wahid Hasyim (ayahanda Gus Dur) mengusulkan agar presiden wajib
beragama Islam. Usulan tersebut mendapat sambutan dari KH Masjkur, yang mengatakan, jika ada
kewajiban menjalankan syariat Islam, maka presiden haruslah seorang Muslim. Usul ini awalnya
ditolak oleh Soekarno, dengan alasan bisa merusak kesepakatan yang sudah ditandatangani pada 22
Juni tersebut.

Penolakan oleh Soekarno membuat Abdul Kahar Muzakkir, salah seorang penandatangan Piagam
Jakarta berang. Sambil menggebrak meja, ia mengatakan, “Supaya dari permulaan pernyataan
Indonesia merdeka sampai kepada pasal di dalam Undang-Undang Dasar itu yang menyebut-nyebut
agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal itu!” sindirnya.

Selain Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo yang merupakan tokoh Muhammadiyah juga menyemprot
Soekarno karena menolak usulan “presiden wajib beragama Islam”. Ki Bagus mengatakan, ”Saya
berlindung kepada Allah dari setan yang merusak. Tuan-tuan, dengan pendek sudah kerapkali
diterangkan di sini, bahwa Islam itu mengandung ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan
dari Islam. Jadi saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Muzakkir tadi. Kalau ideologi Islam tidak
diterima, tidak diterima! Jadi nyata negara ini tidak berdiri di atas Islam dan negara akan netral,”
tegasnya.

Perdebatan hari itu berlangsung buntu. Sampai keesokan harinya, Soekarno yang mengaku tak bisa
tidur lantaran itu, meminta kepada kalangan Kristen untuk menerima usulan dari tokoh-tokoh Islam.
”Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara (kalangan
Kristen, pen) menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita,” pinta Soekarno sambil
mengatakan bahwa hal ini mungkin sangat berat bagi orang Kristen, karena mengorbankan
keyakinan mereka. Kesepakatan akhirnya dicapai bulat. Diterima semua pihak. Usul agar presiden
adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam dan kewajiban menjalankan syariat Islam
disepakati.

Anda mungkin juga menyukai