Anda di halaman 1dari 17

KLIPING SEJARAH

INDONESIA

NAMA : MUHAMMAD FARID AFIF YUDHATAMA


NO.ABS : 22
KELAS : XI MIPA 4
Ir . Suekarno

Soekarno atau Bung Karno lahir di


Surabaya, 6 Juni 1901 dan wafat pada 21 Juni 1970,
dimakamkan di Blitar. Aktif dalam berbagai
pergerakan sejak menjadi mahasiswa di Bandung.
Pada 1927, Soekarno bersama kawan-kawannya
mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Ia
sering keluar masuk penjara akibat perjuangan
melawan penjajah.

Pada zaman pendudukan Jepang, Soekarno pernah


menjadi ketua organisasi Putera, Chuo Sangi In dan
PPKI, serta pernah menjadi anggota BPUPKI.
Soekarno lahir dengan nama Kusno yang diberikan
oleh orangtuanya.Akan tetapi, karena ia sering sakit
maka ketika berumur sebelas tahun namanya diubah
menjadi Soekarno oleh ayahnya. Nama tersebut
diambil dari seorang panglima perang dalam kisah
Bharata Yudha yaitu Karna. Nama "Karna" menjadi
"Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a"
berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su"
memiliki arti "baik".

Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi


kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi),
Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.

Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok


pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda
untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air (PETA) Rengasdengklok. Tokoh
pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para
pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang
sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh
menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang.

Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison,
Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan
pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis
di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang
membonceng Sekutu (di bawah Inggris), meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di
Surabaya dan gugurnya Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby. Karena banyak provokasi di
Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik
Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil
presiden dan pejabat tinggi negara lainnya. Pada awal
masa penjajahan Jepang (1942–1945), pemerintah
Jepang sempat tidak memerhatikan tokoh-tokoh
pergerakan Indonesia terutama untuk
"mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini
terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu
dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.

Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang


memerhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh-
tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta,
dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan
lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk
Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi
seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera),
BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno,
Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, dan
lain-lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif.
Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerja sama
dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada
pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena
menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.

Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi
kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerja sama dengan Jepang
sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri. Ia aktif dalam usaha
persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945,
dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi
Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok.

Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni
Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung
oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga
tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan
Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga
Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi,
pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian
menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia
sendiri.

Peran Soekarno dalam Kemerdekaan Indonesia, dari PNI sampai Teks Proklamasi
 Mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia.
 Terang-terangan Menentang Imperialisme.

 Aktif Memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.


 Merumuskan Naskah Proklamasi Kemerdekaan.
Drs. Mohammad Hatta
Dr. (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta
(populer sebagai Bung Hatta; lahir dengan nama
Mohammad Athar di Fort de Kock, Hindia
Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di
Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun)
adalah negarawan dan ekonom Indonesia yang
menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia
pertama. Ia bersama Soekarno memainkan
peranan sentral dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus
memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia
pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam
Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Pada 1956, ia
mundur dari jabatan wakil presiden karena
berselisih dengan Presiden Soekarno.

Hatta dikenal akan komitmennya pada


demokrasi. Ia mengeluarkan Maklumat X yang menjadi tonggak awal demokrasi Indonesia.
Di bidang ekonomi, pemikiran dan sumbangsihnya terhadap perkembangan koperasi
membuat ia dijuluki sebagai Bapak Koperasi.

Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari
Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat
Payakumbuh, Sumatra Barat dan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi. Ia
lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902. Namanya, Athar berasal
dari bahasa Arab, yang berarti "harum". Athar lahir sebagai anak kedua, setelah Rafiah yang
lahir pada tahun 1900. Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Abdurrahman
Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari surau yang
bertahan pasca-Perang Padri. Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan pedagang.
Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.

Saat-saat mendekati Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan
dengan tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia.
Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Anggota lainnya Bung
Hatta, Mohammad Yamin, Achmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid
Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.

Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman
Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan hasil kerja
BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia.
Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi.
Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari dimana Bung
Karno bersama Bung Hatta diculik kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang
pimpinan PETA, Djiaw Kie Siong, di sebuah kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang,
Jawa Barat).
Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan
proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam
Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka menemui somabuco (kepala pemerintahan umum)
Mayjen Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepahaman sehingga tidak
adanya kesepahaman itu meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi
kemerdekaan itu tanpa kaitan lagi dengan Jepang.

Pada 17 Agustus
1945, hari yang
sangat ditunggu-
tunggu oleh seluruh
rakyat Indonesia dia
bersama Soekarno
resmi
memproklamasikan
kemerdekaan di Jalan
Pegangsaan Timur 56
Jakarta pukul 10.00
WIB. Dan keesokan
harinya pada tanggal
18 Agustus 1945, dia resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI yang pertama mendampingi
Presiden Soekarno. Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan dengan
nada sangat marah, menyelamatkan Republik dengan mempertahankan naskah Linggarjati di
Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari – 6 Maret 1947 dan
hasilnya Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
sehingga anggota KNIP menjadi agak lunak pada 6 Maret 1947.

Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, Hatta dapat meloloskan diri
dari kepungan Belanda dan pada saat itu dia masih berada di Pematangsiantar. Dia dengan
selamat bersama dengan Gubernur Sumatra Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi. Sebelumnya
pada 12 Juli 1947 Bung Hatta mengadakan Kongres Koperasi I di Tasikmalaya yang
menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi di Indonesia. Kemudian dalam Kongres
Koperasi II di Bandung tanggal 12 Juli 1953, Bung Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi
Indonesia.

Kemudian, Bung Hatta dengan kewibawaannya sebagai Wakil Presiden hendak


memperjuangkan sampai berhasil Perjanjian Renville dengan berakibat jatuhnya Kabinet
Amir dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada era Kabinet Hatta yang dibentuk pada 29
Januari 1948, Bung Hatta menjadi Perdana Menteri dan merangkap jabatan sebagai Menteri
Pertahanan.

Suasana panas waktu timbul Pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September 1948,
memuncak pada penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung
Hatta bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. Pada tahun yang
sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka. Beberapa waktu
setelah pengasingan karena mengalami adanya sebuah perundingan Komisi Tiga Negara
(KTN) di Kaliurang, di mana Critchley datang mewakili Australia dan Cochran mewakili
Amerika.
Ahmad Subarjo.
Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (lahir di Karawang, Jawa Barat, 23
Maret 1896 – meninggal di Jakarta, 15
Desember 1978 pada umur 82 tahun)
adalah tokoh pejuang kemerdekaan
Indonesia, diplomat, dan seorang
Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah
Menteri Luar Negeri Indonesia yang
pertama. Achmad Soebardjo memiliki
gelar Meester in de Rechten, yang
diperoleh di Universitas Leiden
Belanda pada tahun 1933.

Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk


Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal
23 Maret 1896. Ayahnya bernama
Teuku Muhammad Yusuf, masih
keturunan bangsawan Aceh dari Pidie.
Kakek Achmad Soebardjo dari pihak
ayah adalah Ulee Balang dan ulama di
wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku
Yusuf adalah pegawai pemerintahan
dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah
Teluk Jambe, Kerawang. Ibu Achmad
Soebardjo bernama Wardinah. Ia
keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan
anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan
Wikana, Shudanco Singgih, dan pemuda lain, membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke
Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh
oleh Jepang. Peristiwa ini dinamakan Peristiwa Rengasdengklok.

Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para
pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda,
Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Achmad
Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka
diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Achmad
Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan
kemerdekaan. Bahkan Achmad Soebardjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawa bahwa
proklamasi kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945 selambat-
lambatnya pukul 11.30. Dengan adanya jaminan itu, Komandan Kompi Peta Rengasdengklok
Cudanco Subeno bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.

Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo di
rumah Laksamana Muda Maeda. Setelah selesai dan beragumentasi dengan para pemuda,
dinihari 17 Agustus 1945, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti Melik untuk
mengetik naskah proklamasi.Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai
Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali
menjabat menjadi Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga
menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.

Dalam bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah


Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas
Indonesia.

Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam usia 82 tahun (15 Desember 1978)
di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia
dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat
almarhum sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009.
Sukarni
Sukarni lahir di Blitar, Jawa Timur, 14
Juli 1916 – meninggal di Jakarta, 7 Mei
1971 pada umur 54 tahun), yang nJoko
Widodo, pada 7 November 2014 kepada
perwakilan keluarga di Istana Negara
Jakarta
Sukarni lahir hari Kamis Wage di desa
Sumberdiran, Kecamatan Garum,
Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Namanya
jika dijabarkan berarti "Su" artinya lebih
sedangkan "Karni" artinya banyak
memperhatikan dengan tujuan oleh
orangtuanya agar Sukarni lebih
memperhatikan nasib bangsanya yang kala
itu masih dijajah Belanda. Sukarni
merupakan anak keempat dari sembilan
bersaudara.

Ayahnya adalah Kartodiwirjo, keturunan


dari Eyang Onggo, juru masak Pangeran
Diponegoro. Ibunya bernama Supiah, gadis
asal Kediri. Keluarga Sukarni bisa
dikatakan berkecukupan jika dibanding
penduduk yang lain. Ayahnya membuka toko daging di pasar Garum dan usahanya sangat
laris.

Sukarni masuk sekolah di Mardisiswo di Blitar (semacam Taman Siswa yang dibuat oleh Ki
Hajar Dewantara). Di sekolah ini Sukarni belajar mengenai nasionalisme melalui Moh. Anwar
yang berasal dari Banyumas, pendiri Mardidiswo sekaligus tokoh pergerakan Indonesia.

Perkenalan Sukarni dengan dunia pergerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan


Indonesia dimulai ketika usia masih remaja, 14 tahun, saat dia masuk menjadi anggota
perhimpunan Indonesia Muda tahun 1930. Semenjak itu dia berkembang menjadi pemuda
militan dan revolusioner. Selain itu ia juga sempat mendirikan organisasi Persatuan Pemuda
Kita. Ketika di MULO, Sukarni dikeluarkan dari sekolah karena mencari masalah dengan
pemerintah kolonial Belanda. Bukannya surut, semangat belajarnya malah semakin membara.
Dia bersekolah ke Yogyakarta, dan kemudian ke Jakarta pada sekolah kejuruan guru. Atas
bantuan Ibu Wardoyo (kakak Bung Karno), Sukarni disekolahkan di Bandung jurusan
jurnalistik.

nama lengkapnya adalah Soekarni Kartodiwirjo, adalah tokoh pejuang kemerdekaan dan
Pahlawan Nasional Indonesia. Gelar Pahlawan Nasional Indonesia disematkan oleh Presiden
Pada masa-masa di Bandung inilah, konon Sukarni
pernah mengikuti kursus pengkaderan politik
pimpinan Soekarno. Disinilah dia bertemu dan
mengikat sahabat dengan Wikana, Asmara Hadi dan
SK Trimurti.

Tahun 1934 Sukarni berhasil menjadi Ketua Pengurus


Besar Indonesia Muda, sementara itu Belanda mulai
mencurigainya sebagai anak muda militan. Tahun
1936 pemerintah kolonial melakukan penggerebekan
terhadap para pengurus Indonesia Muda, tetapi
Sukarni sendiri berhasil kabur dan hidup dalam
pelarian selama beberapa tahun.

Tidak lama sebelum Jepang masuk, Sukarni


tertangkap di Balikpapan dan kemudian dibawa ke
Samarinda. Namun, setelah Jepang masuk, Sukarni
berserta beberapa tokoh pergerakan lain seperti Adam
Malik dan Wikana malah dibebaskan oleh Jepang.
Awal-awal pendudukan Jepang, Sukarni sempat
bekerja di kantor berita Antara yang didirikan oleh
Adam Malik (yang kemudian berubah jadi Domei).
Pada masa Jepang ini, Sukarni juga bertemu dengan
Tan Malaka. Tan Malaka-lah yang menjadi otak pembentukan partai Murba dan dia jugalah
yang menyarankan kepada anggota Murba lainnya agar Sukarni yang menjadi Ketua Umum.
Mendengar berita kekalahan Jepang, kelompok pemuda dengan kelompok bawah tanah di
bawah pimpinan Sutan Syahrir, bersepakat bahwa inilah saat yang tepat untuk
memproklamirkan kemerdekaan. Sukarni, Wikana dan kelompok pemuda lainnya mendesak
Soekarno dan Hatta, tetapi mereka berdua menolak. Akhirnya terjadilah perdebatan sengit
yang berakhir dengan penculikan kedua tokoh tersebut, dengan tujuan menjauhkan Soekarno-
Hatta dari "pengaruh" Jepang. Kedua pemimpin itu "diasingkan" ke Rengasdengklok oleh
kelompok pemuda yang dipimpin olehnya.Akhirnya semua pihak kemudian bersepakat bahwa
proklamasi kemerdekaan akan segera dilakukan pada 17 Agustus 1945. Selanjutnya, Sukarni
mengemban amanat kemerdekaan serta bahu membahu bersama kelompok pemuda lainnya
dalam meneruskan berita tentang kemerdekaan ini. Sukarni membentuk Comite Van Aksi
(semacam panitia gerak cepat) pada 18 Agustus 1945 yang tugasnya menyebarkan kabar
kemerdekaan ke seluruh Indonesia. Khusus untuk para pemudanya dibentuk API (Angkatan
Pemuda Indonesia) dan untuk buruh dibentuk BBI (Barisan Buruh Indonesia) yang kemudian
melahirkan laskar buruh dan laskar buruh wanita.

Di zaman RI berkedudukan di Yogyakarta, Sukarni menjabat sebagai Sekretaris Jenderal


Persatuan Perjuangan (PP) di bawah ketua Tan Malaka. PP beroposisi dengan pemerintah dan
menolak perundingan pemerintah terhadap Belanda. Aksi PP ini membuat Sukarni
dijebloskan ke penjara pada tahun 1946. Selanjutnya Sukarni juga mengalami penahanan di
Solo, Madiun dan Ponorogo (daerah komunis Muso) pada masa pemerintahan Amir
Syarifudin
Sayuti melik
Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal
sebagai Sayuti Melik (lahir di Sleman, Yogyakarta,
22 November 1908 – meninggal di Jakarta, 27
Februari 1989 pada umur 80 tahun), dicatat dalam
sejarah Indonesia sebagai pengetik naskah
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dia
adalah suami dari Soerastri Karma Trimurti,
seorang wartawati dan aktivis perempuan di zaman
pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan.

Dilahirkan pada tanggal 22 November 1908, anak


dari Abdul Mu'in alias Partoprawito, seorang bekel
jajar atau kepala desa di Sleman,
Yogyakarta.Sedangkan ibunya bernama Sumilah.
Pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro
(Setingkat SD) di desa Srowolan, sampai kelas IV
dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di
Yogyakarta.

Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh


ayahnya kepada Sayuti kecil. Ketika itu ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah
Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau.

Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya
yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun itu, ia sudah tertarik
membaca majalah Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di Kauman, Solo, ulama yang
berhaluan kiri. Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme
sebagai ideologi perjuangan untuk menentang penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar
Marxisme. Perkenalannya yang pertama dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada 1926.

Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan ia ditahan berkali-kali oleh Belanda. Pada


tahun 1926 ditangkap Belanda karena dituduh membantu PKI dan selanjutnya dibuang ke
Boven Digul (1927-1933). Tahun 1936 ditangkap Inggris, dipenjara di Singapura selama
setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris ditangkap kembali oleh Belanda dan dibawa ke
Jakarta, dimasukkan sel di Gang Tengah (1937-1938).

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk 7 Agustus 1945 dan diketuai oleh
Ir. Soekarno, menggantikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
dibubarkan cepat. Anggota awalnya adalah 21 orang. Selanjutnya tanpa sepengetahuan
Jepang, keanggotaan bertambah 6 orang termasuk didalamnya Sayuti Melik.

Sayuti Melik termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan
Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul
Saleh, Sukarni, dan Wikana, bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan
pemuda lain, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan)
dan Hatta, ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak
terpengaruh oleh Jepang.
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para
pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda,
Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad
Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka
diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka
menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo
berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan
kemerdekaan.

Konsep naskah
proklamasi disusun oleh
Bung Karno, Bung
Hatta, dan Achmad
Subardjo di rumah
Laksamana Muda
Maeda. Wakil para
pemuda, Sukarni dan
Sayuti Melik. Masing-
masing sebagai
pembantu Bung Hatta
dan Bung Karno, ikut
menyaksikan peristiwa
tersebut. Setelah selesai, dini hari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan
di hadapan para hadirin. Namun, para pemuda menolaknya. Naskah Proklamasi itu dianggap
seperti dibuat oleh Jepang.

Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar Teks Proklamasi
ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya
diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah
kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa Indonesia".

Setelah Indonesia Merdeka ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Pada tahun 1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, ia ditangkap oleh Pemerintah RI karena
dianggap sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan serta dianggap bersekongkol dan turut
terlibat dalam "Peristiwa 3 Juli 1946. Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, ia
dinyatakan tidak bersalah. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, ia ditangkap Belanda dan
dipenjarakan di Ambarawa. Ia dibebaskan setelah selesai KMB. Tahun 1950 ia diangkat
menjadi anggota MPRS dan DPR-GR sebagai Wakil dari Angkatan '45 dan menjadi Wakil
Cendekiawan.
Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Soekarno. Namun, ketika Bung Karno
berkuasa, Sayuti justru tak "terpakai". Dalam suasana gencar-gencarnya memasyarakatkan
Nasakom, dialah orang yang berani menentang gagasan Nasakom (nasionalisme, agama,
komunisme). Ia mengusulkan mengganti Nasakom menjadi Nasasos, dengan mengganti unsur
"kom" menjadi "sos" (sosialisme). Ia juga menentang pengangkatan Bung Karno sebagai
presiden seumur hidup oleh MPRS. Tulisannya, Belajar Memahami Sukarnoisme dimuat di
sekitar 50 koran dan majalah dan kemudian dilarang. Artikel bersambung itu menjelaskan
perbedaan Marhaenisme ajaran Bung Karno dan Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Ketika itu
Sayuti melihat PKI hendak membonceng kharisma Bung Karno.
B.M. DIAH
Burhanuddin Mohammad Diah (lahir di
Kutaraja, yang kini dikenal sebagai Banda
Aceh, 7 April 1917 – meninggal di Jakarta,
10 Juni 1996 pada umur 79 tahun) adalah
seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan,
diplomat, dan pengusaha Indonesia.

Nama asli B.M. Diah yang sesungguhnya


hanyalah Burhanuddin. Nama ayahnya
adalah Mohammad Diah, yang berasal dari
Barus, Sumatra Utara. Ayahnya adalah
seorang pegawai pabean di Aceh Barat
yang kemudian menjadi penerjemah.
Burhanuddin kemudian menambahkan
nama ayahnya kepada namanya sendiri.

Ibunya, Siti Sa'idah (istri pertama Diah)


adalah wanita Aceh yang menjadi ibu
rumah tangga. Burhanuddin, anak bungsu
dari 8 bersaudara, juga mempunyai dua
orang saudara tiri dari istri kedua ayahnya.

Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang dan kaya di lingkungannya. Namun
hidupnya boros, sehingga ketika ia lahir Burhanuddin tidak dapat menikmati kekayaan
ayahnya. Ditambah lagi karena seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia.
Ibunya kemudian mengambil alih tanggung jawab memelihara keluarganya. Untuk itu ia
terjun ke dunia usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun delapan tahun kemudian Siti
Sa'idah pun berpulang, sehingga Burhanuddin diasuh oleh kakak perempuannya, Siti Hafsyah.
Burhanuddin belajar di HIS, kemudian melanjutkan ke Taman Siswa di Medan. Keputusan ini
diambilnya karena ia tidak mau belajar di bawah asuhan guru-guru Belanda.

Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke Jakarta dan belajar di Ksatriaan Instituut
(sekarang Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh Dr. E.E. Douwes Dekker. Burhanuddin
memilih jurusan jurnalistik, tetapi ia banyak belajar tentang dunia kewartawanan dari pribadi
Douwes Dekker.

Burhanuddin sesungguhnya tidak mampu membayar biaya sekolah. Namun melihat tekadnya
untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus belajar dan bahkan memberikan kesempatan
kepadanya menjadi sekretaris di sekolah itu.

Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah Burhanuddin bertemu dengan Herawati, seorang
penyiar lulusan jurnalistik dan sosiologi di Amerika Serikat. Mereka berpacaran, dan tak lama
kemudian, pada 18 Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini dihadiri pula
oleh Bung Karno dan Bung Hatta.

Pada akhir September 1945, setelah diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik


Indonesia, Diah bersama sejumlah rekannya seperti Joesoef Isak dan Rosihan Anwar,
mengangkat senjata dan berusaha merebut percetakan Jepang "Djawa Shimbun", yang
menerbitkan Harian Asia Raja. Meskipun
Jepang telah menyerah kalah, teman-teman
Diah ragu-ragu, mengingat Jepang masih
memegang senjata. Namun kenyataannya
malah sebaliknya. Tentara Jepang yang
menjaga percetakan tidak melawan, bahkan
menyerah. Percetakan pun jatuh ke tangan
Diah dan rekan-rekannya.

Pada 1 Oktober 1945 B.M. Diah mendirikan


Harian Merdeka. Diah menjadi pemimpin
redaksi, Joesoef Isak menjadi wakilnya, dan
Rosihan Anwar menjadi redaktur. Diah
memimpin surat kabar ini hingga akhir
hayatnya, meskipun belakangan ia lebih
banyak menangani PT Masa Merdeka,
penerbit Harian "Merdeka".

Ketika baru berdiri Diah menjadi Pemimpin


Redaksi, Isak sebagai Wakil, dan Rosihan
sebagai Redaktur. Belakangan Joesoef Isak,
seorang Soekarnois, terpaksa diberhentikan
atas desakan pemerintah Orde Baru.
Sementara Rosihan Anwar mendirikan surat kabarnya sendiri, Harian "Pedoman".

Pada April 1945, bersama istrinya Herawati, Diah mendirikan koran berbahasa Inggris,
Indonesian Observer. Ia dinilai sebagai penulis editorial yang baik, seorang nasional pro-
Soekarno dan menentang militerisme. Ia pernah bertolak pandangan dengan pihak militer
setelah Peristiwa 17 Oktober, sehingga ia terpaksa berpindah-pindah tempat untuk
menghindari kejaran petugas-petugas militer.

Setelah Indonesia merdeka, pada 1959, B.M. Diah diangkat menjadi duta besar untuk
Cekoslowakia dan Hongaria. Dari sana kemudian ia dipindahkan ke Inggris, lalu ke Thailand
- semuanya untuk jabatan yang sama. Pada 1968 ia diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi
menteri penerangan. Belakangan Diah diangkat menjadi anggota DPR dan kemudian anggota
DPA. Pada usia tuanya, Diah mendirikan sebuah hotel di Jakarta, Hyatt Aryadutta, di tempat
yang dulunya merupakan rumah orang tua Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya
adalah sebagai Presiden Direktur PT Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT Hotel Prapatan-
Jakarta.

Karena perjuangan dan jasa-jasanya bagi negara, Diah dianugerahi tanda-tanda penghargaan
berikut:

 Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto (10 Mei 1978)


 Piagam penghargaan dan Medali Perjuangan Angkatan '45 dari Dewan Harian
Nasional Angkatan '45 (17 Agustus 1995)
SUWIRYO
Raden Suwiryo (lahir di Wonogiri, Jawa Tengah,
17 Februari 1903 – meninggal di Jakarta, 27 Agustus
1967 pada umur 64 tahun) adalah seorang tokoh
pergerakan Indonesia. Ia juga pernah menjadi Wali
kota Jakarta dan Ketua Umum PNI. Ia juga pernah
menjadi Wakil Perdana Menteri pada Kabinet
Sukiman-Suwiryo.
Suwiryo menamatkan AMS dan kuliah di
Rechtshogeschool namun tidak tamat. Suwiryo
sempat bekerja sebentar di Centraal Kantoor voor de
Statistik. Kemudia ia bergiat di bidang partikelir,
menjadi guru Perguruan Rakyat, kemudian
memimpin majalah Kemudi. Menjadi pegawai pusat
Bowkas "Beringin" sebuah kantor asuransi. Pernah
juga menjadi pengusaha obat di Cepu.
Pada masa mudanya Suwiryo aktif dalam
perhimpunan pemuda Jong Java dan kemudian PNI.
Setelah PNI bubar tahun 1931, Suwiryo turut mendirikan Partindo. Pada zaman
kependudukan Jepang, Suwiryo aktif di Jawa Hokokai dan Putera.
Proses Suwiryo menjabat sebagai wali kota dimulai pada Juli 1945 pada masa pendudukan
Jepang. Kala itu dia menjabat sebagai wakil wali kota pertama Jakarta, sedangkan yang
menjadi wali kota seorang pembesar Jepang (Tokubetsyu Sityo) dan wakil wali kota kedua
adalah Baginda Dahlan Abdullah. Dengan kapasitasnya sebagai wakil wali kota, secara diam-
diam Suwiryo melakukan nasionalisasi pemerintahan dan kekuasaan kota.
Pada 10 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu setelah bom atom dijatuhkan di kota
Hiroshima dan Nagasaki. Berita takluknya Jepang ini sengaja ditutup-tutupi. Tapi Suwiryo,
dengan berani menanggung segala akibat menyampaikan kekalahan Jepang ini pada
masyarakat Jakarta dalam suatu pertemuan. Hingga demam kemerdekaan melanda Ibu Kota,
termasuk meminta Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan.
Perpindahan kekuasaan dari Jepang dilakukan tanggal 19 September 1945 dan Suwiryo
ditunjuk jadi Wali kota Jakarta tanggal 23 September 1945.
Ketika kedua pemimpin bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan, Suwiryo-lah salah
seorang yang bertanggungjawab atas terselenggaranya proklamasi di kediaman Bung Karno.
Semula akan diselenggarakan di Lapangan Ikada (kini Monas) tetapi karena balatentara
Jepang masih gentayangan dengan senjata lengkap, dipilih di kediaman Bung Karno.
Suwiryo dari PNI pada 17 September 1945 bersama para pemuda ikut menggerakkan massa
rakyat menghadiri rapat raksasa di lapangan Ikada (Monas) untuk mewujudkan tekad bangsa
Indonesia siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan. Rapat raksasa di Ikada ini dihadiri
bukan saja oleh warga Jakarta tetapi juga Bogor, Bekasi, dan Karawang.
Ketika pasukan Sekutu mendarat yang didomplengi oleh pasukan NICA (Nederlands Indies
Civil Administration), pada awal 1946, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden, Hatta hijrah ke
Yogyakarta. Suwiryo yang tetap berada di Jakarta menginstruksikan kepada semua pegawai
pamongpraja agar tetap tinggal di tempat menyelesaikan tugas seperti biasa. Pada 21 Juli
1947 saat Belanda melancarkan aksi militernya, Suwiryo diculik oleh pasukan NICA di
kediamannya di kawasan Menteng pada pukul 24.00 WIB. Selama lima bulan dia disekap di
daerah Jl Gajah Mada, dan kemudian (Nopember 1947) diterbangkan ke Semarang untuk
kemudian ke Yogyakarta.
Di kota perjuangan, wali kota
pertama Jakarta ini disambut
besar-besaran oleh Panglima
Besar Sudirman yang datang
ke stasion Tugu. Di sana
Suwiryo ditempatkan di
Kementrian Dalam Negeri RI
sebagai pimpinan Biro
Urusan Daerah Pendudukan
(1947-1949). Pada September
1949, Suwiryo kembali ke
Jakarta sebagai wakil
Pemerintah RI pada Republik
Indonesia Serikat (RIS).
Pada 17 Februari 1950 Presiden RIS, Sukarno mengangkatnya kembali sebagai Wali kota
Jakarta Raya. Pada 2 Mei 1951, Suwiryo diangkat jadi Wakil PM dalam Kabinet Sukiman-
Suwirjo (April 1951 - April 1952). Jabatan wali kota diganti oleh Syamsurizal (Masyumi).
Setelah berhenti menjadi Wakil PM, kemudian Suwiryo diperbantukan beberapa saat di
Kementrian Dalam Negri. Setelah itu Suwiryo menjabat sebagai Presiden Direktur Bank
Umum merangkap Presiden Komisaris Bank Industri Negara (BIN) yang kemudian dikenal
dengan Bapindo. Suwiryo meninggalkan dunia perbankan setelah terpilih menjadi Ketua
Umum PNI. Lepas dari kegiatan partai, Suwiryo menjadi anggota MPRS dan kemudian
menjadi anggota DPA.
Enam tahun terakhir masa hayatnya, Suwiryo berjuang melawan penyakit yang tidak dapat
dilawannya, akhirnya ia meninggal pada 27 Agustus 1967 dan dimakamkan di Taman makam
Pahlawan Kalibata.

Muwardi
Dr. Moewardi (Pati, Jawa Tengah, 1907 - Surakarta, Jawa Tengah, 13 Oktober 1948)
adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Moewardi adalah seorang dokter lulusan
STOVIA. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan Spesialisasi Telinga Hidung Tenggorokan
(THT). Selain itu ia adalah ketua Barisan Pelopor tahun 1945 di Surakarta dan terlibat dalam
peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam acara tersebut, ia juga turut memberikan
sambutan setelah Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu.

Di Solo, dr.Muwardi mendirikan sekolah kedokteran dan membentuk gerakan rakyat untuk
melawan aksi-aksi PKI. Pada peristiwa Madiun dia adalah salah satu tokoh yang dikabarkan
hilang dan diduga dibunuh oleh pemberontak selain Gubernur Soeryo.

Kini namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah Surakarta. Namanya
juga diabadikan sebagai sebuah nama jalan di Jakarta. 13 September yang patut dikenang
Alkisah pada tahun 1930 di daerah Tanah abang Jakarta ada seorang lelaki bernama Muwardi,
yang terkenal sebagai Dokter Muwardi atau biasa disebut Dokter Gembel. Karena dokter itu
senang bergaul dengan gembel daripada golongan atas.

Golongan masyarakat yang kebanyakan sangat miskin sekaligus orang-orang yang sangat
membutuhkan pertolongan. Pernah karena diminta pertolongan untuk mengobati seorang
gembel yang tinggal jauh dalam kampung dengan gang becek dan berlumpur yang hanya
kering saat hujan reda.Meskipun hanya gembel, namun gembel tersebut adalah orang yang
mempunyai rasa perikemanusiaan yang luhur.

Setamat dari ELS tahun 1921 ayahnya meminta Dr. Umar di Cilacap (Ayah angkat dari
Mayjen Ernest Julius Magenda, Direktur Intelejen ABRI era 1960-an) memberi rekomendasi
agar Moewardi dapat masuk ke STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandshe Aartsen) atau
Sekolah Dokyang dapat mengantarkan seseorang untuk menikmati pendidikan namun
diperlukan juga rekomendasi dari seseorang yang terpandang. Hampir 12 tahun waktu yang
diperlukan oleh Muwardi untuk dapat mendapatkan ijazah dokternya, bukan karena bodoh.

Keaktifannya di dunia mahasiswa dan kepanduanlah yang menyebabkan Muwardi harus


menunda-nunda kelulusannya. Meski dirasa berat dan membutuhkan waktu yang cukup lama
(baru lulus 1 Desember 1933), namun seharusnya ijazah tersebut sudah dua tahun terdahulu
(1931) diberikan kepada Muwardi. Kecerdasan Moewardi masih diingat oleh para gurunya di
STOVIA. Seorang gurunya bahkan menawarkan jabatan sebagai Beroeps-Assistant atau
Asisten Proffesor pada Geneeskundige Hoge School (Sekolah Tinggi Kedokteran bagian
Hidung, Kerongkongan dan Telinga).

Muwardi menjadi asisten dari Dr. Hendarmin hingga saat ia meninggalkan kota Jakarta.
Muwardi akhirnya mendapat brevet yang mengakui keahliannya. Selama lima tahun Muwardi
bekerja sebagai dokter swasta. Muwardi pernah tinggal di Kebonsirih, di mana istrinya yang
pertama (Soeprapti) meninggal dunia. Dengan meninggalkan seorang puteri (Tjitjik) dan
seorang putera (Adi) yang masih bayi. Muwardi juga pernah berdiam di Tanahabang, dekat
jalan Kebayoran atau Palmerah.
Ditengah-tengah masyarakat gembel, yang menyebabkan dia mendapat julukan Dokter
Gembel dari kawan-kawan seprofesi nya, julukan ini terdengar merendahkan namun
sebenarnya menyiratkan kekaguman. Karena tak semua orang berani dan rela melakukannya,
bukan ?!. Merintis
kepanduan Indonesia Pada
masa belajar di STOVIA,
Muwardi, menunjukkan
minat yang besar terhadap
pergerakan pemuda. Ia
masuk Jong Java dan giat
dalam kegiatan kepanduan.
Pada masa-masa awal
belajar di STOVIA
Muwardi pernah menjadi
anggota Nederlansch
Indiche Padvinder
Vereneging (NIPV).

Perjalanan pendidikan dr Moewardi dimulai pada 1926, beliau tercatat sebagai mahasiswa
tingkat III School Tot Opleiding Voor Indische Arsten (STOVIA). dr Moewardi kemudian
melanjutkan belajar di Nederlandsch Indische Arts School (NIAS) hingga lulus sebagai dokter
padatahun1931.

Setelah 5 tahun berpraktik sebagai dokter, dr Moewardi kembali memperdalam ilmunya


dengan mengambil spesialisasi Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) di Geneeskundig
Hoogeschool (GH) Salemba dan menjadi asisten pada rumah sakit CBZ, yang kini berubah
nama menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ia resmi menjadi dokter spesialis
padatahun1939.

Yang patut dibanggakan, dr Moewardi tak hanya aktif sebagai dokter, namun ia juga dikenal
pandai pencak silat dan aktif dalam bidang kepanduan. Dr Moewardi merupakan pemimpin
dikepanduanJongJavaPadvinderij.

Pada era persiapan Proklamasi Kemerdekaan RI, dr Moewardi turut mempersiapkan


pelaksanaan acara pembacaan teks proklamasi yang dilakukan di rumah Soekarno.

Setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, dr Moewardi ditunjuk sebagai Ketua Umum


Barisan Pelopor (kemudian berubah nama menjadi Barisan Banteng), menggantikan Bung
Karno yang diangkat menjadi presiden. Pada awal tahun 1946, dr Moewardi memindahkan
Barisan Banteng dari Jakarta ke Solo akibat semakin memanasnya situasi politik dan
keamanan di Jakarta saat itu.

Anda mungkin juga menyukai