INDONESIA
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison,
Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan
pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis
di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang
membonceng Sekutu (di bawah Inggris), meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di
Surabaya dan gugurnya Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby. Karena banyak provokasi di
Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik
Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil
presiden dan pejabat tinggi negara lainnya. Pada awal
masa penjajahan Jepang (1942–1945), pemerintah
Jepang sempat tidak memerhatikan tokoh-tokoh
pergerakan Indonesia terutama untuk
"mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini
terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu
dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi
kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerja sama dengan Jepang
sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri. Ia aktif dalam usaha
persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945,
dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi
Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni
Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung
oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga
tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan
Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga
Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi,
pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian
menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia
sendiri.
Peran Soekarno dalam Kemerdekaan Indonesia, dari PNI sampai Teks Proklamasi
Mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia.
Terang-terangan Menentang Imperialisme.
Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari
Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat
Payakumbuh, Sumatra Barat dan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi. Ia
lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902. Namanya, Athar berasal
dari bahasa Arab, yang berarti "harum". Athar lahir sebagai anak kedua, setelah Rafiah yang
lahir pada tahun 1900. Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Abdurrahman
Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari surau yang
bertahan pasca-Perang Padri. Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan pedagang.
Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.
Saat-saat mendekati Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan
dengan tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia.
Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Anggota lainnya Bung
Hatta, Mohammad Yamin, Achmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid
Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman
Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan hasil kerja
BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia.
Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi.
Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari dimana Bung
Karno bersama Bung Hatta diculik kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang
pimpinan PETA, Djiaw Kie Siong, di sebuah kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang,
Jawa Barat).
Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan
proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam
Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka menemui somabuco (kepala pemerintahan umum)
Mayjen Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepahaman sehingga tidak
adanya kesepahaman itu meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi
kemerdekaan itu tanpa kaitan lagi dengan Jepang.
Pada 17 Agustus
1945, hari yang
sangat ditunggu-
tunggu oleh seluruh
rakyat Indonesia dia
bersama Soekarno
resmi
memproklamasikan
kemerdekaan di Jalan
Pegangsaan Timur 56
Jakarta pukul 10.00
WIB. Dan keesokan
harinya pada tanggal
18 Agustus 1945, dia resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI yang pertama mendampingi
Presiden Soekarno. Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan dengan
nada sangat marah, menyelamatkan Republik dengan mempertahankan naskah Linggarjati di
Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari – 6 Maret 1947 dan
hasilnya Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
sehingga anggota KNIP menjadi agak lunak pada 6 Maret 1947.
Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, Hatta dapat meloloskan diri
dari kepungan Belanda dan pada saat itu dia masih berada di Pematangsiantar. Dia dengan
selamat bersama dengan Gubernur Sumatra Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi. Sebelumnya
pada 12 Juli 1947 Bung Hatta mengadakan Kongres Koperasi I di Tasikmalaya yang
menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi di Indonesia. Kemudian dalam Kongres
Koperasi II di Bandung tanggal 12 Juli 1953, Bung Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi
Indonesia.
Suasana panas waktu timbul Pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September 1948,
memuncak pada penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung
Hatta bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. Pada tahun yang
sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka. Beberapa waktu
setelah pengasingan karena mengalami adanya sebuah perundingan Komisi Tiga Negara
(KTN) di Kaliurang, di mana Critchley datang mewakili Australia dan Cochran mewakili
Amerika.
Ahmad Subarjo.
Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (lahir di Karawang, Jawa Barat, 23
Maret 1896 – meninggal di Jakarta, 15
Desember 1978 pada umur 82 tahun)
adalah tokoh pejuang kemerdekaan
Indonesia, diplomat, dan seorang
Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah
Menteri Luar Negeri Indonesia yang
pertama. Achmad Soebardjo memiliki
gelar Meester in de Rechten, yang
diperoleh di Universitas Leiden
Belanda pada tahun 1933.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan
Wikana, Shudanco Singgih, dan pemuda lain, membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke
Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh
oleh Jepang. Peristiwa ini dinamakan Peristiwa Rengasdengklok.
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para
pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda,
Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Achmad
Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka
diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Achmad
Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan
kemerdekaan. Bahkan Achmad Soebardjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawa bahwa
proklamasi kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945 selambat-
lambatnya pukul 11.30. Dengan adanya jaminan itu, Komandan Kompi Peta Rengasdengklok
Cudanco Subeno bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo di
rumah Laksamana Muda Maeda. Setelah selesai dan beragumentasi dengan para pemuda,
dinihari 17 Agustus 1945, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti Melik untuk
mengetik naskah proklamasi.Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai
Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali
menjabat menjadi Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga
menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam usia 82 tahun (15 Desember 1978)
di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia
dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat
almarhum sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009.
Sukarni
Sukarni lahir di Blitar, Jawa Timur, 14
Juli 1916 – meninggal di Jakarta, 7 Mei
1971 pada umur 54 tahun), yang nJoko
Widodo, pada 7 November 2014 kepada
perwakilan keluarga di Istana Negara
Jakarta
Sukarni lahir hari Kamis Wage di desa
Sumberdiran, Kecamatan Garum,
Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Namanya
jika dijabarkan berarti "Su" artinya lebih
sedangkan "Karni" artinya banyak
memperhatikan dengan tujuan oleh
orangtuanya agar Sukarni lebih
memperhatikan nasib bangsanya yang kala
itu masih dijajah Belanda. Sukarni
merupakan anak keempat dari sembilan
bersaudara.
Sukarni masuk sekolah di Mardisiswo di Blitar (semacam Taman Siswa yang dibuat oleh Ki
Hajar Dewantara). Di sekolah ini Sukarni belajar mengenai nasionalisme melalui Moh. Anwar
yang berasal dari Banyumas, pendiri Mardidiswo sekaligus tokoh pergerakan Indonesia.
nama lengkapnya adalah Soekarni Kartodiwirjo, adalah tokoh pejuang kemerdekaan dan
Pahlawan Nasional Indonesia. Gelar Pahlawan Nasional Indonesia disematkan oleh Presiden
Pada masa-masa di Bandung inilah, konon Sukarni
pernah mengikuti kursus pengkaderan politik
pimpinan Soekarno. Disinilah dia bertemu dan
mengikat sahabat dengan Wikana, Asmara Hadi dan
SK Trimurti.
Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya
yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun itu, ia sudah tertarik
membaca majalah Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di Kauman, Solo, ulama yang
berhaluan kiri. Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme
sebagai ideologi perjuangan untuk menentang penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar
Marxisme. Perkenalannya yang pertama dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada 1926.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk 7 Agustus 1945 dan diketuai oleh
Ir. Soekarno, menggantikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
dibubarkan cepat. Anggota awalnya adalah 21 orang. Selanjutnya tanpa sepengetahuan
Jepang, keanggotaan bertambah 6 orang termasuk didalamnya Sayuti Melik.
Sayuti Melik termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan
Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul
Saleh, Sukarni, dan Wikana, bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan
pemuda lain, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan)
dan Hatta, ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak
terpengaruh oleh Jepang.
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para
pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda,
Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad
Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka
diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka
menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo
berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan
kemerdekaan.
Konsep naskah
proklamasi disusun oleh
Bung Karno, Bung
Hatta, dan Achmad
Subardjo di rumah
Laksamana Muda
Maeda. Wakil para
pemuda, Sukarni dan
Sayuti Melik. Masing-
masing sebagai
pembantu Bung Hatta
dan Bung Karno, ikut
menyaksikan peristiwa
tersebut. Setelah selesai, dini hari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan
di hadapan para hadirin. Namun, para pemuda menolaknya. Naskah Proklamasi itu dianggap
seperti dibuat oleh Jepang.
Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar Teks Proklamasi
ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya
diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah
kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa Indonesia".
Setelah Indonesia Merdeka ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Pada tahun 1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, ia ditangkap oleh Pemerintah RI karena
dianggap sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan serta dianggap bersekongkol dan turut
terlibat dalam "Peristiwa 3 Juli 1946. Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, ia
dinyatakan tidak bersalah. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, ia ditangkap Belanda dan
dipenjarakan di Ambarawa. Ia dibebaskan setelah selesai KMB. Tahun 1950 ia diangkat
menjadi anggota MPRS dan DPR-GR sebagai Wakil dari Angkatan '45 dan menjadi Wakil
Cendekiawan.
Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Soekarno. Namun, ketika Bung Karno
berkuasa, Sayuti justru tak "terpakai". Dalam suasana gencar-gencarnya memasyarakatkan
Nasakom, dialah orang yang berani menentang gagasan Nasakom (nasionalisme, agama,
komunisme). Ia mengusulkan mengganti Nasakom menjadi Nasasos, dengan mengganti unsur
"kom" menjadi "sos" (sosialisme). Ia juga menentang pengangkatan Bung Karno sebagai
presiden seumur hidup oleh MPRS. Tulisannya, Belajar Memahami Sukarnoisme dimuat di
sekitar 50 koran dan majalah dan kemudian dilarang. Artikel bersambung itu menjelaskan
perbedaan Marhaenisme ajaran Bung Karno dan Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Ketika itu
Sayuti melihat PKI hendak membonceng kharisma Bung Karno.
B.M. DIAH
Burhanuddin Mohammad Diah (lahir di
Kutaraja, yang kini dikenal sebagai Banda
Aceh, 7 April 1917 – meninggal di Jakarta,
10 Juni 1996 pada umur 79 tahun) adalah
seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan,
diplomat, dan pengusaha Indonesia.
Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang dan kaya di lingkungannya. Namun
hidupnya boros, sehingga ketika ia lahir Burhanuddin tidak dapat menikmati kekayaan
ayahnya. Ditambah lagi karena seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia.
Ibunya kemudian mengambil alih tanggung jawab memelihara keluarganya. Untuk itu ia
terjun ke dunia usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun delapan tahun kemudian Siti
Sa'idah pun berpulang, sehingga Burhanuddin diasuh oleh kakak perempuannya, Siti Hafsyah.
Burhanuddin belajar di HIS, kemudian melanjutkan ke Taman Siswa di Medan. Keputusan ini
diambilnya karena ia tidak mau belajar di bawah asuhan guru-guru Belanda.
Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke Jakarta dan belajar di Ksatriaan Instituut
(sekarang Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh Dr. E.E. Douwes Dekker. Burhanuddin
memilih jurusan jurnalistik, tetapi ia banyak belajar tentang dunia kewartawanan dari pribadi
Douwes Dekker.
Burhanuddin sesungguhnya tidak mampu membayar biaya sekolah. Namun melihat tekadnya
untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus belajar dan bahkan memberikan kesempatan
kepadanya menjadi sekretaris di sekolah itu.
Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah Burhanuddin bertemu dengan Herawati, seorang
penyiar lulusan jurnalistik dan sosiologi di Amerika Serikat. Mereka berpacaran, dan tak lama
kemudian, pada 18 Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini dihadiri pula
oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Pada April 1945, bersama istrinya Herawati, Diah mendirikan koran berbahasa Inggris,
Indonesian Observer. Ia dinilai sebagai penulis editorial yang baik, seorang nasional pro-
Soekarno dan menentang militerisme. Ia pernah bertolak pandangan dengan pihak militer
setelah Peristiwa 17 Oktober, sehingga ia terpaksa berpindah-pindah tempat untuk
menghindari kejaran petugas-petugas militer.
Setelah Indonesia merdeka, pada 1959, B.M. Diah diangkat menjadi duta besar untuk
Cekoslowakia dan Hongaria. Dari sana kemudian ia dipindahkan ke Inggris, lalu ke Thailand
- semuanya untuk jabatan yang sama. Pada 1968 ia diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi
menteri penerangan. Belakangan Diah diangkat menjadi anggota DPR dan kemudian anggota
DPA. Pada usia tuanya, Diah mendirikan sebuah hotel di Jakarta, Hyatt Aryadutta, di tempat
yang dulunya merupakan rumah orang tua Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya
adalah sebagai Presiden Direktur PT Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT Hotel Prapatan-
Jakarta.
Karena perjuangan dan jasa-jasanya bagi negara, Diah dianugerahi tanda-tanda penghargaan
berikut:
Muwardi
Dr. Moewardi (Pati, Jawa Tengah, 1907 - Surakarta, Jawa Tengah, 13 Oktober 1948)
adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Moewardi adalah seorang dokter lulusan
STOVIA. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan Spesialisasi Telinga Hidung Tenggorokan
(THT). Selain itu ia adalah ketua Barisan Pelopor tahun 1945 di Surakarta dan terlibat dalam
peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam acara tersebut, ia juga turut memberikan
sambutan setelah Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu.
Di Solo, dr.Muwardi mendirikan sekolah kedokteran dan membentuk gerakan rakyat untuk
melawan aksi-aksi PKI. Pada peristiwa Madiun dia adalah salah satu tokoh yang dikabarkan
hilang dan diduga dibunuh oleh pemberontak selain Gubernur Soeryo.
Kini namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah Surakarta. Namanya
juga diabadikan sebagai sebuah nama jalan di Jakarta. 13 September yang patut dikenang
Alkisah pada tahun 1930 di daerah Tanah abang Jakarta ada seorang lelaki bernama Muwardi,
yang terkenal sebagai Dokter Muwardi atau biasa disebut Dokter Gembel. Karena dokter itu
senang bergaul dengan gembel daripada golongan atas.
Golongan masyarakat yang kebanyakan sangat miskin sekaligus orang-orang yang sangat
membutuhkan pertolongan. Pernah karena diminta pertolongan untuk mengobati seorang
gembel yang tinggal jauh dalam kampung dengan gang becek dan berlumpur yang hanya
kering saat hujan reda.Meskipun hanya gembel, namun gembel tersebut adalah orang yang
mempunyai rasa perikemanusiaan yang luhur.
Setamat dari ELS tahun 1921 ayahnya meminta Dr. Umar di Cilacap (Ayah angkat dari
Mayjen Ernest Julius Magenda, Direktur Intelejen ABRI era 1960-an) memberi rekomendasi
agar Moewardi dapat masuk ke STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandshe Aartsen) atau
Sekolah Dokyang dapat mengantarkan seseorang untuk menikmati pendidikan namun
diperlukan juga rekomendasi dari seseorang yang terpandang. Hampir 12 tahun waktu yang
diperlukan oleh Muwardi untuk dapat mendapatkan ijazah dokternya, bukan karena bodoh.
Muwardi menjadi asisten dari Dr. Hendarmin hingga saat ia meninggalkan kota Jakarta.
Muwardi akhirnya mendapat brevet yang mengakui keahliannya. Selama lima tahun Muwardi
bekerja sebagai dokter swasta. Muwardi pernah tinggal di Kebonsirih, di mana istrinya yang
pertama (Soeprapti) meninggal dunia. Dengan meninggalkan seorang puteri (Tjitjik) dan
seorang putera (Adi) yang masih bayi. Muwardi juga pernah berdiam di Tanahabang, dekat
jalan Kebayoran atau Palmerah.
Ditengah-tengah masyarakat gembel, yang menyebabkan dia mendapat julukan Dokter
Gembel dari kawan-kawan seprofesi nya, julukan ini terdengar merendahkan namun
sebenarnya menyiratkan kekaguman. Karena tak semua orang berani dan rela melakukannya,
bukan ?!. Merintis
kepanduan Indonesia Pada
masa belajar di STOVIA,
Muwardi, menunjukkan
minat yang besar terhadap
pergerakan pemuda. Ia
masuk Jong Java dan giat
dalam kegiatan kepanduan.
Pada masa-masa awal
belajar di STOVIA
Muwardi pernah menjadi
anggota Nederlansch
Indiche Padvinder
Vereneging (NIPV).
Perjalanan pendidikan dr Moewardi dimulai pada 1926, beliau tercatat sebagai mahasiswa
tingkat III School Tot Opleiding Voor Indische Arsten (STOVIA). dr Moewardi kemudian
melanjutkan belajar di Nederlandsch Indische Arts School (NIAS) hingga lulus sebagai dokter
padatahun1931.
Yang patut dibanggakan, dr Moewardi tak hanya aktif sebagai dokter, namun ia juga dikenal
pandai pencak silat dan aktif dalam bidang kepanduan. Dr Moewardi merupakan pemimpin
dikepanduanJongJavaPadvinderij.