Anda di halaman 1dari 13

Biografi Politik Kartosoewirjo

Oleh: Abdul Syukur

Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo adalah tokoh radikal Islam di Indonesia yang

paling utama dan berpengaruh hingga sekarang. Ia adalah konseptor dan sekaligus

pelaksana gagasannya tentang Negara Islam. Pada tanggal 7 Agustus 1949 ia

membacakan proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) di Kampung Cisampang, Desa

Cidugaleuin, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Tindakannya

menimbulkan perang saudara. Ia tertangkap pada tanggal 4 Juni 1962 dan menjalani

hukuman mati tiga bulan kemudian di sebuah pulau yang berada di sekitar teluk Jakarta.

Meski sudah meninggal dunia, namun gagasannya terus dilestarikan oleh para

pengikutnya yang melakukan gerakan bawah tanah selama kekuasaan Orde Baru.

Kartosoewirjo adalah musuh Republik Indonesia yang paling sulit dihancurkan.

Wilayah pengaruhnya sempat menyebar ke luar Jawa Barat, seperti Jawa Tengah, Aceh,

Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Pemerintah Republik Indonesia membutuhkan

waktu 13 tahun untuk menghancurkannya. Se ini menyebabkan biografinya layak untuk

ditulis

Gagasan-gagasannya terus dilestarikan oleh para pengikutnya. Sejak akhir 1920-

an, Kartosoewirjo sudah menuangkan opininya di beberapa surat kabar, seperti Fadjar

Asia dan Soeara MIAI. Di samping itu juga menulis sikap politik Partai Sarekat Islam

Indonesia (PSII) yang menolak ajakan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk

bekerjasama membangun negeri. Ia termasuk salah satu tokoh utama noncooperatif

paling radikal. Namun perjuangannya menentang penjajahan terhapus karena

memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) yang telah menyebabkan perang

saudara selama 13 tahun. Ia kalah, ditangkap, dan dihukum mati oleh Presiden Soekarno
pada tahun 1962. Kartosoewirjo menjalani dua peran sekaligus, yakni sebagai konseptor

dan pelaksana gagasan mendirikan Negara Islam. Untuk itu sangatlah penting memahami

pemikiran politiknya karena masih dijadikan pedoman oleh pengikutnya.

Sebagian besar pengikutnya telah ditangkap atau menyerahkan diri setelah

mengetahui pimpinnya tertangkap pada tahun 1962. Mereka lalu menjadi tawanan

Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi. Ada kesamaan antara keduanya, yakni

sama-sama memusuhi golongan komunis. Pihak Siliwangi memanfaatkan pengikut

Karosoewirjo untuk menghancurkan golongan komunis di Jawa Barat setelah peristiwa

pembunuhan pimpinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) oleh

Gerakan 30 September. Mereka juga dimanfaatkan untuk memenangkan Golkar dalam

Pemilihan Umum 1971. Perancangnya adalah Ali Moertopo, perwira intelijen

kepercayaan Presiden Soeharto yang saat itu memimpin Oprasi Khusus (Opsus) dan

pejabat tinggi Badan Koordinator Intelijen Negara (BAKIN). Moertopo ternyata

memanfaatkannya juga untuk kepentingan politik pribadinya sebagaimana tercermin

dalam kerusuhan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa ini lebih dikenal

sebagai Malapetaka 15 Januari (Malari). Soeharto lalu menghabisinya dengan cara

menangkapi para tokoh dan anggota pengikut Kartosoewirjo sepanjang tahun 1974-1980.

Selama dekade 1980-an dan 1990-an, mereka terpaksa menjadi gerakan bawah tanah dan

menghidupkan kembali cita-cita politik Kartosoewirjo untuk mendirikan Negara Islam.

Lingkungan tempat tinggal

Kartosoewirjo lahir 7 Januari 1905 di Cepu, sebuah kota kecil di perbatasan Jawa

Tengah dan Jawa Timur. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan sebuah

bengkel kereta api di Cepu. Kereta api menjadi alat transportasi utama saat itu.
Keberadaan bengkel kereta api memberi keuntungan tersendiri bagi penduduk setempat,

yakni mempermudah mobilitas mereka berhubungan dengan kota-kota yang lebih besar

seperti Surakarta dan Semarang di Jawa Tengah serta Surabaya di Jawa Timur. Namun

Kartosoewirjo tidak lama tinggal di Cepu. Pada usia 10 tahun, ia pindah ke arah utara di

Kota Rembang yang masih masuk kawasan Jawa Tengah. Rembang adalah sebuah kota

yang terletak di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Wilayah ini dihubungkan dengan kota-

kota sekitarnya dengan jalan kereta api. Kartosoewirjo tinggal di Rembang selama empat

tahun. Pada tahun 1919 pindah ke Bojonegoro yang berada di Jawa Timur. Kota ini

dilewati jalan kereta api lintas utara yang menghubungkan tiga kota besar, yaitu Jakarta-

Semarang-Surabaya. Kartosoewirjo tinggal selama empat tahun di Bojonegoro. Pada

tahun 1923 pindah ke Surabaya, sebuah kota pelabuhan terpenting di wilayah timur Pulau

Jawa. Surabaya menjadi pusat pemerintahan daerah, perdagangan, dan pendidikan. Tiga

aktivitas ini menyebabkan Surabaya menjadi kota yang ditempati beragam etnis,

meskipun budaya dominannya adalah Jawa. Surabaya ditinggalkan oleh Kartosoewirjo

pada tahun 1927. Ia pindah ke Jakarta yang saat itu masih bernama Batavia. Sejak abad

ke-17 Batavia telah menjadi pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Dua tahun

kemudian ia menetap di Malangbong yang masuk Kabupaten Garut, Jawa Barat. Secara

geografis Garut merupakan daerah pedalaman berdataran tinggi sekitar 300 meter di atas

permukaan laut. Kartosoewirjo menghabiskan hidupnya di Garut hingga tertangkap pada

tahun 1962.

Apabila dipetakan maka akan terlihat bahwa Kartosoewirjo menghabiskan masa

kecil, remaja, dan mudanya di daerah-daerah yang dominasi budaya Jawa pinggiran.

Cepu, Rembang, Bojonegoro, dan Surabaya adalah kota-kota yang berada jauh di luar
pusat budaya Jawa yang berada di Solo dan Jogjakarta. Di kedua wilayah ini feodalisme

Jawa sangat kuat. Pengaruh feodalisme Jawa semakin tipis dalam diri Kartosoewirjo

setelah tinggal di Surabaya dan Jakarta. Ia merasakan

Ia menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi Nederlandsch Indische Artsen

School (NIAS) di Surabaya, Jawa Timur. Namun, gagal menyelesaikan pendidikan

kedokterannya karena dikeluarkan oleh pimpinan NIAS pada tahun 1927 akibat terlalu

aktif mengikuti kegiatan politik menentang pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak

awal kuliah pada tahun 1923 Kartosoewirjo aktif di Jong Java dan sempat menjadi Ketua

Cabang Surabaya sebelum bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB) pada tahun

1925. Aktivitas di JIB membuatnya berkenalan akrab dengan para tokoh Partai Sarekat

Islam (PSI). Setelah dikeluarkan dari NIAS, ia menjadi sekretaris pribadi Haji Oemar

Said Tjokroaminoto, seorang tokoh utama PSI. Pemikiran politik Tjokroaminoto

mempunyai pengaruh yang besar terhadapnya. Kartosoewirjo sering menemani

Tjokroaminoto mengunjungi cabang-cabang PSI di beberapa daerah. Di antaranya PSI

Cabang Malangbong, Garut, Jawa Barat pimpinan Ardiwisatra, seorang ulama setempat

yang sangat berpengaruh. Kartosoewirjo lalu menikah dengan anak perempuan

Ardiwisastra. Perkawinan ini memperkuat pengaruhnya di wilayah Jawa Barat,

khususnya di kabupaten Garut dan sekitarnya. Memasuki dasawarsa 1930-an, ia sudah

menjadi tokoh utama dalam kepengurusan PSI yang menentang bekerjasama dengan

pemerintah kolonial Belanda.

Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), Kartosoewirjo membantu Jepang

dalam mendirikan organisasi-organisasi semi militer, terutama laskar-laskar Islam seperti


Hizbullah dan Sabilillah di Jawa Barat. Ia menjadi pendukung negara Republik

Indonesia. Meski lebih banyak aktif di Jawa Barat, namun ketokohannya masih diingat

orang sehingga dimasukan dalam kepengurusan Partai Islam Masjoemi yang berdiri 8

Nopember 1945 di Jogjakarta. Pimpinan Pusat Masjoemi menugaskannya untuk

membentuk kepengurusan cabang Jawa Barat.

Suasana perang melawan Belanda dan teknologi komunikasi yang masih sangat

rendah menyulitkannya berkonsultasi dengan pimpinan pusat Masjoemi, sehingga

mendorongnya untuk mandiri dalam berpolitik. Kartosoewirjo adalah tokoh

antiperundingan. Ia menentang keras Perundingan Renville yang ditandatangani 17

Januari 1948. Salah satu isi perjanjian adalah pengosongan wilayah Jawa Barat dari

seluruh pendukung Republik karena akan diserahkan kepada Belanda. Sikap politiknya

sangat berbeda dengan keputusan pimpinan pusat Masjoemi. Ia segera membubarkan

kepengurusan Masjoemi Cabang Jawa Barat beserta anak organisasinya dan membentuk

organisasi baru yang dikenal Gerakan Darul Islam. Dua laskar Masjomi, yakni Hizbullah

dan Sabilillah, dilebur menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Mereka langsung

mengambil alih sebagian besar wilayah yang ditinggalkan pasukan-pasukan Republik

Divisi Siliwangi.

Keberhasilan pasukan Belanda merebut ibu kota Jogjakarta dan menangkap

Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta beberapa pejabat tinggi

lainnya pada tanggal 19 Desember 1948 dimanfaatkannya untuk mengklaim sebagai

pewaris yang sah dari Republik. Ia mengeluarkan maklumat atas nama Pemerintah

Negara Islam Indonesia. Isinya memerintahkan perang rakyat melawan Belanda untuk
mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).1 Pendirian NII sendiri baru

diproklamasikannya 7 Agustus 1949 di Kampung Cisampang, Desa Cidugaleuin,

Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat.2

Keberadaan NII tidak diakui oleh sebagian besar tokoh politik Indonesia,

termasuk dari partai Masjoemi. Mereka lebih berkonsentrasi mempersiapkan perundingan

dengan pihak Belanda di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Perundingan berlangsung selama empat bulan (Agustus-Desember 1949) di Den Haag,

Belanda. Hasil perundingan adalah mengakhiri perang dengan pembentukan negara

Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagai konsekwensinya maka Indonesia terdiri dari

beberapa negara bagian. Untuk wilayah Jawa Barat berdiri Negara Pasundan.

Kartosoewirjo menolak hasil perundingan Den Haag dan membubarkan NII sebagaimana

desakan pemerintah RI maupun partainya. Sikap politiknya telah menciptakan perang

saudara di Jawa Barat selama 13 tahun. Pada 4 Juni 1962 ia tertangkap dan dijatuhi

hukuman mati. Sisa-sisa pengikutnya menjadi tahanan Kodam Siliwangi.

1
Teks asli Maklumat dikutik ulang oleh Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam
Indonesia S.M. Kartosoewirjo, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 555-556.
2
Ibid., h. 102.
Tinjauan Historiografi

Keberhasilan pemerintah menangkap Kartosoewirjo diberitakan seluruh media massa

nasional. Sebagian mengulas biografi singkatnya. Namun, ulasan tentang

Kartosoewirjo secara lebih mendalam dilakukan Pinardi. Ia adalah penulis biografi

Kartosoewirjo yang pertama.3 Penyusunan buku ini sarat kepentingan politik

pemerintah untuk memberikan gambaran negatif terhadap Kartosoewirjo beserta

aktivitasnya membentuk Gerakan Darul Islam dan memproklamasikan NII. Oleh

karenanya biografi Kartosoewirjo diteliti kembali oleh Holk H. Dengel dari

Universitas Heidelberg, Jerman. Penelitian dilakukan di Indonesia selama tiga tahun

(1981-1983). Hasil penelitian diterbitkan tahun 1985 dalam bahasa Jerman dengan

judul “Darul Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat Indonesien.4

Ia menyimpulkan bahwa Gerakan Darul Islam yang dibangun Kartosoewirjo tidak

bersifat kedaerahan.5

Kesimpulan berbeda diajukan Cornelis Van Dijk dalam penelitiannya.6 Guru

besar sejarah dari Universitas Leiden, Belanda, ini berpendapat sebaliknya, yakni salah

satu pendorong pemberontakan Gerakan Darul Islam Jawa Barat adalah masalah

sentimen daerah. Namun, daya tarik kedaerahan paling menonjol terlihat dalam kasus

Gerakan Darul Islam di Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Isyu utamanya

adalah menolak dominasi Jawa dalam birokrasi sipil maupun militer. Dijk mengutip

keterangan masa kolonial Belanda yang mengungkapkan sikap anti Jawa penduduk asli

3
Pinardi, Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo, (Jakarta: Aryaguna, 1964)
4
Karya Dengel diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan di Jakarta oleh Pustaka
Sinar Harapan pada tahun 1995 dengan judul “Darul Islam Dan Kartosoewirjo: Angan-Angan yang
gagal”.
5
Ibid, h. 222.
6
Karnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan di Jakarta oleh Pustaka Grafiti
Press dengan judul “Darul Islam: Sebuah Pemberontakan”. Hingga tahun 1995, buku ini sudah mengalami
empat kali cetak ulang. Cetakan pertama terbit pada tahun 1983.
Jawa Barat untuk memperkuat argumentasinya bahwa Gerakan Darul Islam Jawa Barat

juga bersifat kedaerahan.7

7
Cornelis van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan”, (Jakarta: Grafiti, 1995), h. 333-334.
Agak sulit menerima argumentasi Dijk mengingat Kartosoewirjo berasal dari

suku Jawa. Dijk telah mengabaikan fakta bahwa Kartosoewirjo juga menerima

keanggotaan dari suku Jawa, sehingga pengaruh Darul Islam sempat meluas ke beberapa

komunitas Jawa di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Bahkan banyak perwira maupun

prajurit Tentara Nasional Indonesia Divisi Dipenogoro yang berasal dari suku Jawa

memberikan dukungannya kepada gerakan Darul Islam Kartosoewirjo. Pertumbuhan dan

perkembangan Darul Islam di Jawa Tengah juga dibahas oleh Dijk. Ia juga membahas

gerakan Darul Islam di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh. Pokok bahasan

penelitian yang meluas mengurangi ketajamannya untuk mengamati sifat-sifat yang unik

dari masing-masing gerakan Darul Islam. Akibatnya ia terjebak memberikan generalisasi

latar belakang pemberontakan. Beberapa peneliti telah meneliti secara khusus, seperti

Nazaruddin Sjamsuddin dari Universitas Monash, Melbourne, Australia, yang meneliti

Darul Islam di Aceh, 8 Barbara Sillars Harvey dari Universitas Cornell, Amerika Serikat,

yang meneliti Darul Islam di Sulawesi Selatan, 9 dan Anhar Gonggong dari Universitas

Indonesia yang juga meneliti Darul Islam di Sulawesi Selatan.10 Khusus untuk Darul

Islam Jawa Barat diteliti oleh Karl D. Jackson dari Institut Tekonologi Massachusetts,

Amerika Serikat.11 Fokus penelitiannya berbeda dengan Pinardi maupun Dengel.

Keduanya lebih memfokuskan pada perjalanan hidup Kartosewirjo hingga membentuk

gerakan Darul Islam dan memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Sedangkan


8
Nazaruddin Sjamsuddin, The Republican Revolt: A Study of the Acehnese Rebelion, (Singapura:
Institute of Southeast Asian Studies, 1985). Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun
1990 oleh Pustaka Grafiti di Jakarta dengan judul Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam
Aceh.
9
Barbara Sillars Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakar: Dari Tradisi ke DI/TII, (Jakarta:
Grafiti).
10
Anhar Gonggong, Abdul Qohhar Mudzakkar: dari Patriot Hingga Pemberontak, (Jakarta:
Grasindo, 1992).
11
Karl D. Jackson, Tradisional Authority, Islam, and Rebellion, (Barkeley: University of California
Press, 1980). Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1990 oleh pustaka Grafiti
dengan judul Kewibawaan Tradisional, Islam, dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat.
Jackson lebih berfokus pada keputusan orang-orang biasa untuk bergabung dengan

gerakan Darul Islam pimpinan Kartosoewirjo. Jackson menyimpulkan bahwa keputusan

tersebut diambil berdasarkan budaya kepatuhan orang-orang biasa terhadap pimpinan

lokalnya. Budaya ini oleh Jackson disebut kewibawaan tradisional.

Pengetahuan tentang Kartosoewirjo dan gerakan Darul Islam Jawa Barat

bertambah dengan terbitnya karya Al Cahidar pada akhir tahun 1990-an.12 Ia

menyelesaikan pendidikan sarjananya dari jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tahun 1996. Buku ini termasuk karya “orang

dalam gerakan Darul Islam”. Al Chaidar telah aktif dalam gerakan bawah tanah Darul

Islam sejak tahun pertama kuliahnya. Penilaiannya terhadap sosok Kartosoewirjo sangat

bertolak belakang dengan hasil penilaian Pinardi yang menjadikannya sebagai tokoh

jahat. Sebaliknya, Al Chaidar menggambarkannya sebagai tokoh baik. Ia juga menolak

kesimpulan Pinardi, Dengel, Jackson, dan Dijk yang menyebut Kartosoewirjo sebagai

seorang pemberontak. Kartosoewrijo bagi Al Chaidar adalah seorang ulama besar dan

negarawan sejati.13 Meski menolak Dengel, namun ia memanfaatkan hasil rekonstruksi

perjalanan hidup Kartosoewirjonya sebagai bahan rujukan utama. Berbeda dengan karya

yang lainnya yang berhenti hingga tahun 1962 saat Kartosoewirjo ditangkap dan dijatuhi

hukuman mati, pembahasan Al chaidar terus berlanjut hingga Darul Islam menjadi

gerakan bawah tanah selama masa Orde Baru (1966-1998). Namun pembahasannya tidak

lebih baik dari yang sudah dilakukan oleh Heru Cahyono yang telah meneliti keterlibatan

12
Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo,
(Jakarta: Darul Falah, 1999).
13
Ibid. Lihat terutama bab VII.
sisa-sisa tokoh dan pengikut Darul Islam Jawa Barat dalam kerusuhan di Jakarta pada

tahun 1974 yang dikenang sebagai Malapeta Lima Belas Januari (Malari).14

Pokok Bahasan dan Sumber Data

Sejumlah penelitian di atas lebih berfokus pada pencarian faktor-faktor yang

melatarbelakangi pemberontakan Kartosoewirjo terhadap pemerintah Republik

Indonesia dengan mendirikan gerakan Darul Islam dan Negara Islam Indonesia.

Pinardi dengan psikoloanalisisnya berkesimpulan bahwa faktor utama terletak pada

kepribadian Kartosoewirjo, sedangkan Dengel menelusuri kegiatan politik

Kartosoewirjo sebagai faktor penjelasnya. Kesimpulan berbeda diajukan Jackson

yang lebih memusatkan perhatiannya pada pola hubungan antarpribadi penduduk

lokal, dan Dijk yang memperluasnya dengan memperhatikan perkembangan sosial,

politik dan ekonomi di Jawa Barat setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus

1945.

Penelitian yang akan dilakukan tidak berfokus pada latar belakang Kartosoewirjo

mendirikan gerakan Darul Islam dan Negara Islam Indonesia sebagaimana yang telah

diteliti Pinardi, Dengel, Jackson, maupun Dijk. Fokus penelitian adalah menjawab

sejumlah pertanyaan berikut:

14
Heru Cahyono, Peranan Ulama Dalam Golkar 1971-1980, (Jakarta: Sinar Harapan, 1992). Hasil
penelitiannya diperkuat oleh kesaksian Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro yang tersingkir setelah
Peristiwa Malari 1975 dalam karnyanya, Pangkopkamtib Jenderal soemitro dan Peristiwa 15 Januari
1974, (Jakarta: Sinar Harapan, 1998).
Pertama, mengapa Kartosoewirjo gagal memperoleh dukungan dari mayoritas

umat Islam di Indonesia ? Sungguh mengherankan bahwa Kartosoewirjo tidak

memperoleh dukungan dari Jawa Timur yang dikenal sebagai basis Islam tradisional

Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga tidak memperoleh sokongan dari komuniyas Islam

modernis seperti Persatuan Islam di Bandung, Jawa Barat dan Muhammadiyah yang

berbasis di Yogyakarta dan Sumatera Barat. Bukankah mereka juga menginginkan

Indonesia menjadi negara Islam ? Lantas kenapa mereka tidak memberi dukungan kepada

Kartosoewirjo ?

Kedua, bagaimana sesungguhnya tanggapan para tokoh partai maupun organisasi

Islam terhadap aktivitas Kartosoewirjo mendirikan Negara Islam ? Tanggapan mereka

bisa ditelesuri melalui penelitian terhadap berita media-media massa yang terbit antara

tahun 1945 hingga 1962. Hingga kini media-media massa tersebut tersimpan dalam rak-

rak Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta dan perpustakaan milik Koninklijk

Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde (KITLV) di Leiden, Belanda. Di samping itu

juga sejumlah arsip NII maupun hasil interogasi para tokoh maupun pengikut

Kartosoewirjo masih tersimpan di Perpustakaan Angkatan Darat di Bandung, Jawa Barat.

Di samping itu, sumber data akan dicari melalui wawancara terhadap para tokoh partai

maupun organisasi Islam yang mengalami, menyaksikan, maupun mengetahui

Kartosoewirjo mendirikan Negara Islam gerakan Darul Islam.


Fokus ketiga dalam penelitian ini adalah bagaimana alur pemikiran politik

Kartosoewirjo? Hal ini sangat penting mengingat ia telah berperan sebagai pelaksana dan

sekaligus konseptor Negara Islam. Beruntung sekali pemikiran politiknya terpublikasikan

melalui Surat Kabar Fadjar Asia, Soeara PSII, dan Soera MIAI. Sejak tahun 1927

Kartosoewirjo bekerja sebagai wartawan Fadjar Asia. Surat kabar ini milik Partai Sarekat

Islam Indonesia (PSII). Karirnya sangat bagus sehingga menjadi pimpinan utamanya.

Kartosoewirjo juga pernah memimpin Soera PSII dan Soera MIAI. Ketiga surat kabar

yang dipimpinnya bersifat sebagai corong partai untuk membentuk opini publik. Sikap

partai pada saat itu didominasi oleh pimpinan partai yang juga dijabat oleh

Kartosoewirjo. Pemahaman terhadap pemikiran politiknya juga akan dicari melalui

penelitian arsip-arsip PSII yang masih tersimpan di Arsip Nasional Indonesia di Jakarta.

asy

Anda mungkin juga menyukai