2. Masa kolonial
Ketika orang-orang barat sampai di Indonesia pada abad ke-16, mereka
menghadapi suatu kenyataan, yaitu bahasa Melayu merupakan suatu bahasa
resmi dalam pergaulan, bahasa perantara dalam perdagangan. Hal ini dapat
dibuktikan dari beberapa kenyataan berikut: seorang Portugis bernama
Pigafetta, setelah mengunjungi Tidore, menyusun semacam daftar kata-kata
pada tahun 1522; berarti sebelum itu bahasa Melayu telah tersebar sampai ke
kepulauan Maluku.
3. Pergerakan Kebangsaan
Dengan timbulanya pergerakan kebangsaan, dirasakan perlu adanya suatu
bahasa nasional untuk mengikat bermacam-macam suku bangsa di Indonesia.
Pergerakan yang besar dan hebat hanya dapat berhasil jika semua rakyat
diikutsertakan. Untuk itu mereka mencari bahasa yang dapat dipahami dan
digunakan semua orang. Pada mulanya memang agak sulit untuk menentukan
bahasa mana yang akan menjadi bahasa persatuan. Pada tahun 1908,
pemerintah kolonial mendirikan suatu komisi yang disebut Comissie voor de
Volkslectuur , diketuai oleh Dr. G. A. J. hazeu. Kemudian komisi ini diubah
namanya menjadi Balai Pustaka pada tahun 1917. Kegiatan badan ini antara
lain membantu penyebaran dan pendalaman bahasa Melayu dengan
menerbitkan buku-buku murah berbahasa Melayu. Pada tahun 1918, tanggal 25
Juni, dengan ketetapan Belanda, anggota-anggota Dewan Rakyat diberi
kebebasan untuk menggunakan bahasa Melayu dalam Volksraad . Kesempatan
ini kemudian ternyata tidak digunakan semestinya. Tahun 1926 Jong Java
merasa perlu mengakui suatu bahasa daerah sebagai media penghubung semua
pemuda-pemudi Indonesia. Bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa pengantar.
Pemuda-pemuda di Sumatera sudah lebih dahulu menyatakan dengan tegas
memutuskan untuk menggunakan bahasa Melayu Riau, yang disebut juga
bahasa Melayu Tinggi, sebagai bahasa persatuan. Tetapi majalah-majalah Jong
Java dan Jong Sumatranen Bond masih ditulis dalam bahasa Belanda. Dengan
adanya bermacam-macam faktor seperti yang telah disebutkan di atas, akhirnya
tibalah tanggal 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda Indonesia di Jakarta,
sebagai hasil yang paling gemilang dari kongres tersebut diadakan ikrar
bersama yang terkenal dengan nama Sumpah Pemuda.
4. Setelah Kemerdekaan
Pada tanggal 18 Agustus 1945 penandatanganan UUD 1945, pasal 36:
Penetapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara. Tanggal 19 Maret 1947
peresmian Penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) penganti ejaan van
Ophuysen yang berlaku sebelumnya.
Ejaan van Ophuysen, huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai
akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan dipotong seperti
mulaï dengan ramai, huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang,
dsb. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb. Tanda
diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata
ma’moer, ’akal. Ejaan Soewandi, huruf oe diganti dengan u. Bunyi hamzah
dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata tak Kata ulang boleh
ditulis dengan angka 2, seperti anak2. Awalan di- dan kata depan di kedua-
duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di
pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.
16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan
Bahasa Indonesia dan pembentukan Istilah. Peresmian ejaan baru itu
berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Ejaan Bahasa Indonesia
yang disempurakan (EYD)