Anda di halaman 1dari 14

Perkembangan Bahasa 

Indonesia
Filed under: Uncategorized — Leave a comment
October 18, 2009

Latar Belakang

Setiap hari pastinya kita menggunakan Bahasa Indonesia, sebagai bahasa sehari-hari kita. Baik
untuk berbicara, menulis, dan kegiatan sehari-hari lainnya. Tapi sekarang ini telah banyak
perubahan yang ada. Baik dari segi pengaruh luar yaitu perkembangan global dan juga dari
masyarakat Indonesia sendiri.

Sekarang ini pun dari bidang pendidikan, anak-anak playgroup sudah diajarkan menggunakan
bahasa luar negeri seperti Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin dan Bahasa Jepang dan masih
banyak yang lainnya. Belum lagi setelah tingkat SD, SMP, SMA dan seterusnya, makin banyak
bahasa-bahasa asing yang dipelajari.

Ini dianggap sebagai kebutuhan modal,  juga sebagai tolak ukur kemajuan individu-individu di
masa depan. Tapi ini mempunyai pengaruh secara langsung dan tak langsung, yaitu bahasa asing
menjadi bahasa sehari-hari agar terbiasa dan juga sebagai alat latih untuk memperlancar
pengucapan, pendengaran dan penulisan.

Cukup memprihatinkan, karena fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dari Warga Negara
Indonesia menjadi tergeser. Karena bahasa asing, menjadi bahasa pergaulan, menjadi jembatan
dalam persaingan global dan juga salah satu syarat dalam dunia pekerjaan.

Tak dipungkiri pentingnya mempelajari bahasa asing, tapi alangkah jauh lebih baik bila kita tetap
menjaga, melestarikan dan membudayakan Bahasa Indonesia. Maka dari itu untuk memperdalam
mengenai Bahasa Indonesia, kita perlu mengetahui bagaimana perkembangannya sampai saat ini
sehingga kita tahu mengenai bahasa pemersatu dari berbagai suku dan adat-istiadat yang
beranekaragam yang ada di Indonesia, yang termasuk kita didalamnya.

Asal Mula Bahasa Indonesia dari segi bahasa yang digunakan


Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu, sebuah Bahasa Austronesia yang digunakan sebagai
lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern, paling
tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah
Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan
toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa
yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan keluarga
kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena
penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam
keberadaan bahasa dan budaya Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa
Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh
Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah telanjur diambil oleh banyak pedagang yang
melewati Indonesia.
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan),
namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih
digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360).
Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada
tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah
penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan.
Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada
saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu
yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa
pertimbangan sebagai berikut:

1. Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan
merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik
Indonesia.
2. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada
tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda
dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa,
ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
3. Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, atau
Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan
pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun
lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca,
Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa
Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
4. Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945,
pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia,
Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa
Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti
Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme
negara-negara jiran di Asia Tenggara.

Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa
Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan.
Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu
(tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan
Jepang.

Perkembangan Bahasa Indonesia berdasarkan peristiwa-peristiwa penting


Perinciannya sebagai berikut:

1. Pada tahun 1901 disusunlah ejaan resmi Bahasa Melayu oleh Ch. A. van Ophuijsen dan
ia dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2. Pada tahun 1908 Pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang
diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian
pada tahun 1917 ia diubah menjadi Balai Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku novel
seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun
memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di
kalangan masyarakat luas.
3. Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan saat-saat yang paling menentukan dalam
perkembangan bahasa Indonesia karena pada tanggal itulah para pemuda pilihan
mamancangkan tonggak yang kukuh untuk perjalanan bahasa Indonesia.
4. Pada tahun 1933 secara resmi berdirilah sebuah angkatan sastrawan muda yang
menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir
Alisyahbana dan kawan-kawan.
5. Pada tarikh 25-28 Juni 1938 dilangsungkanlah Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari
hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat
itu.
6. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar RI 1945, yang
salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
7. Pada tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi)
sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
8. Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tarikh 28 Oktober s.d. 2 November 1954
juga salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus
menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan
ditetapkan sebagai bahasa negara.

Perkembangan Bahasa Indonesia berdasarkan prasasti-prasasti

Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi
(batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di
kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa
Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah:
(1) Kedukan Bukit (683 Masehi),

(2) Talang Tuwo (684 Masehi),

(3) Kota Kapur (686 Masehi),

(4) Karang Brahi (686 Masehi),

(5) Gandasuli (832 Masehi),

(6) Bogor (942 Masehi), dan

(7) Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24)

Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara
bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.

- Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Sedlatan, yang
bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama
Sriwijaya.

- Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi
bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang
keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan
berbagai doa untuk keselamatn raja.

- Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun
686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa
untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang
memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh,
taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.

Jika berbagai prasasti tersebut bertahun pada zaman Sriwijaya, bisa disimpulkan bahwa Bahasa
Melayu Kuno pada zaman itu telah berperan sebagai lingua franca. Atau, ada kemungkinan
sebagai bahasa resmi pada zaman Sriwijaya. Kesimpulan ini diperkiat oleh keterangan I Tsing
tentang bahasa itu bahwa bersama dengan Bahasa Sanskerta, Bahasa Melayu (diistilahkan Kw’en
Lun) memegang peranan penting di dalam kehidupan politik dan keagamaan di negara itu
(Sriwijaya).

Perkembangan Bahasa Indonesia berdasarkan catatan-catatan penting

Selain berbagai prasasti tersebut, terdapat pula beberapa catatan yang bisa dijadikan sumber
informasi tentang asal-usul bahasa Melayu. Sejarah kuno negeri Cina turut membuktikan tentang
keberadaan bahasa Melayu tersebut. Pada awal masa penyebaran agama Kristen, pengembara-
pengembara Cina yang berkunjung ke Kepulauan Nusantara menjumpai adanya berbagai lingua
franca yang mereka namai Kw’en Lun di Asia Tenggara. Salah satu di antara Kw’en Lun itu oleh
I Tsing diidentifikasi di dalam Chronicle-nya sebagai bahasa Melayu.

Untuk keperluan perkembangan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, Traktat London
(Perjanjian London) 1824 antara Pemerintah Inggris dan Belanda merupakan tonggak sejarah
yang sangat penting. Sebab, pada traktat itu antara lain berisi kesepakatan pembagian dua
wilayah, yaitu:

(1) Semenanjung Melayu dan Singapura besera pulau-pulau kecilnya menjadi kekuasaan
kolonial Inggris; dan

(2) Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar: pulau-pulau Sumatera, Jawa, sebagian
Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan Sunda kecil: pulau-pulau Bali, Lombok, Flores,
Sumbawa, Sumba, sebagian Timor , dan lain-lain; Kepulauan Maluku dan sebagian Irian)
menjadi kekuasaan kolonial Belanda.

Oleh karena itu, perkembangan bahasa Melayu ini dapat dikelompokkan menjadi dua periode,
yaitu

01.Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London

Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London ini dapat disistematisasikan ke dlam
beberapa era, sub-era, dan periode seperti berikut:

1)   Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi)

2)   Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):

1. Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13
Masehi)
2. Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
1. Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi)
2. Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)
3. Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)

3)   Era Pemisahan Tahun 1824

Perkembangan bahasa Melayu sebagaimana disitematisasikan tersebut sangat berkaitan dengan


perkembangan bahasa Melayu pasca Traktat London 1824, karena bahasa Melayu berkembanga
menjadi tiga arah, yaitu:

(a) di Indonesia menjadi Bahasa Indonesia;

(b) di Malaysia menjadi Bahasa Malaysia;

(c) di Brunei menjadi Bahasa Melayu Baku;


(d) di Singapura menjadi Bahasa Nasional.

Perkembangan Bahasa Indonesia di Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan
abad ke-11 Masehi)

Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami masa kejayaan relatif cepat oleh lokasinya yang
sangat strategis pada Selat Malaka, suatu pusat perdagangan yang penting selama berabad-abad
lamanya. Para saudagar dari timur dan barat serta dari Kepulauan Nusantara bertemu dan
mengadakan transaksi dagang. Tentu saja bahasa Melayu, atau semacam bahasa Melayu kuno,
menjadi bahasa para saudagar itu. Itulah sebabnya maka bahasa Melayu menjadi bahasa resmi
Kerajaan Sriwijaya. (Humaidy, 1973 dan Alisjahbana dalam Fishman, 1974).

Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kegiatan hajat manusia dan pusat
administrasi kerajaan dan daerah-daerah taklukannya. Sriwijaya juga merupakan pusat
pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Abas (1987) mengulangi apa yang pernah ditulis oleh
Gregoris F. Zaide, seorang ahli sejarah Filipina terkemuka, mengenai kejayaan Kerajaan
Sriwijaya pada era itu:

The Empire of Sriwijaya (Sri-Vishaya) emerged from the ashes of the maritime colonialism of
Pallawa from 8th ventury to 1377 AD. Founded by Hindunized Malays, it was basucally Malayan
in might, Hindunistic in culture, and Buddhistic in religion. The empire was so named after the
capital, Sri-Vishaya, Sumatra . At the height of its power under the Shailendra dynasty, it
included Malaya , Ceylon , Borneo, Celebes, the Philippines , and part of Formosa , and probaly
exercised sovereignty over Cambodia and Champa ( Annam ). (Zaide, 1950: 36)

Menurut Mees (1954) Sriwijaya mendirikan suatu perguruam tinggi Buddha yang mahasiswanya
datang dari semua penjuru kawasan yang dikuasainya. Beberapa dari mahasiswa bahka datang
dari kerajaan-kerajaan tetangga Champa dan Kamboja. Bahasa pengantar pada perguruan tinggi
itu dan pusat-pusat pendidikan lainnya adalah bahasa melayu kuno atau lingua franca Kw’en
Lun.

Perkembangan Bahasa Indonesia di Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai


dengan abad ke-19 Masehi):

Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Sansekerta telah mendominasi Kerajaan
Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada berbagai inskripsi batu bertulis yang ditemukan pada
berbagai tempat di Sumatra. Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu era Kerajaan-kerajaan Melayu
yang muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi, bahasa yang dipakai tidak lagi
dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Raja-raja yang berkuasa pada saat itu berketurunan Melayu.

Era ini dapat dibagi menjadi dua sub-era, yaitu sub-era Kerajan Bintan dan Tumasik, dan sub-era
Kerajaan Melayu Riau. Selanjutnya, sub-era Kerajaan Melayu Riau ini dibagi lagi menjadi tiga
periode, yaitu periode Kerajaan Malaka, periode Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan Riau dan
Lingga. Sekali lagi, pembagian menjadi periode-periode ini sangat penting karena berkaitan
dengan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia .
Pada era Kerajaan-kerjaan Melayu ini, penyebaran bahasa Melayu mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Kedatangan orang-orang Eropa yang ikut mempergunakana bahasa Melayu
sebagai lingua franca tidak hanya menmbantu penyebaran bahasa itu secara ekstensif melainkan
juga menaikkan statusnya sebagai bahasa yang memiliki “norma supraetnik”, melebihi norma
etnik bahasa-bahasa daerah lainnya yang ada di Kepulauan Nusantara.

Pigafetta yang mendampingi Magelhaens di dalam pelayarannya yang pertama mengelilingi


dunia, misalnya, berhasil menyusun glosari pertama Bahasa Melayu ketika kapalnya berlabuh di
Tidore tahun 1521 Masehi. Glosari Pigafetta yang sederhana ini menunjukkan bahwa Bahasa
Melayu yang berasal dari Indonesia bagian barat telah menyebar ke bagian timur Kepulauan
Nusantara pada waktu itu. Bahkan, pada tahun 1865 pemerintah kolonial Belanda mengangkat
Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua mendampingi Bahasa Belanda. Hal ini
mengisyaratkan bahwa peranan Bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak dapat diabaikan
begitu saja.

Pada tahun 1581, Jan Huygen van Linschoten, seorang pelaut Belanda yang berlayar ke
Indonesia, menulis di dalam bukunya Itinerarium Schipvaert naar Oost ofte Portugaels Indiens
bahwa Bahasa Melayu adalah bahasa yang dipergunakan oleh banyak orang timur, dan bahwa
barang siapa yang tidak mengerti bahasa itu akan berada dalam keadaan seperti orang Belanda
(dari zaman yang sama) yang tidak mengerti Bahasa Perancis. (Alisjahbana dalam Fishman,
1974: 393).

Pada akhir abad ke-17, sewaktu Francois Valentyn di Malaka, ia telah menulis buku berjudul
Oud en Nievw Oostindien II Del V tentang bahasa Melayu. Dalam buku tersebut dinyatakan
bahwa Bahasa Melayu telah terbukti menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi dan lingua
franca yang penting di Malaka. Valentyn seorang pendeta dan ahli sejarah berbangsa Belanda
dalam penulisan buku sebanyak enam jilid itu menjelaskan sejarah dan skenario kota pelabuhan
di Kepulauan Melayu. Sebagian penjelasannya adalah:

“Bahasa mereka, yaitu bahasa Melayu … bukan saja digunakan di pantai-pantai Tanah Melayu,
melainkan juga di seluruh India dan di negeri-negeri sebelah timur. Di mana-mana pun bahasa
ini dipahami oleh setiap orang. Bahasa ini bagaikan bahasa Perancis atau bahasa Latin di Eropa,
atau senacan bahasa perantara di Itali atau di Levent. OLeh karena banyaknya bahasa ini
digunakan,maka seseorang yang mampu bertutur dalam bahasaMelatu akan dapat dipahami
orang baik dalam negeri Persia maupun Filipina.”

Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12


sampai dengan abad ke-13 Masehi)

Segera setelah Kerajaan Bintan didirikan di Pulau Bintan keadaan memaksa raja memindahkan
ibu kota kerajaannya ke Pulau Tumasik, letak Singapura sekarang. Beberapa tahun kemudian,
Tumasik dikuasai oleh Kerajaan Majapahit dari Jawa. Ibu kota , sekali lagi, harus dipindahkan
lagi ke Malaka di Semenanjung Malaya . Daerah-daerah tempat perpindahan ini masih termasuk
daerah Riau. Bahasa Melayu dipergunakan di daerah itu sebagai bahasa ibu.
Diperkirakan bahwa perpindahan pusat kekuasaan itu terjadi antara tahun 1100 Masehi sampai
dengan tahun 1250 Masehi. Sayang sekali tak ada catatan tertulis yang dapat dijadikan sumber
acuan mengenai peran Bahasa Melayu selama sub-era Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah Bahasa
Melayu yang dipergunakan pada sub-era ini ada hubungannya dengan Bahasa Melayu pada era
Kerajaan Sriwijaya tidak dapat diketahui dengan pasti.

Banyak ahli bahasa dan orinentalis menganggap bahwa Bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya
adalah semacam Bahasa Melayu kuno seperti yang ditunjukkan oleh berbagai inskripsi batu
bertulis abad ke-7 Masehi. Junus (1969) bersikap agak ragu tentang hubungan antara bahasa
Melayu kuno dengan bahasa Melayu Riau. Tetapi, dengan adanya bahasa Melayu Bintan-
Tumasik yang merupakan suatu bentuk bahasa peralihan antara kedua bahasa itu, maka keraguan
Junus hilang dengan sendirinya. Lebih-lebih apabila diingat asumsi yang mengatakan bahwa
suatu bahasa kini merupakan perkembangan bahasa masa lampau. Dengan demikian, asumsi
bahwa ada hubungan antara Bahasa Melayu kuno dan Bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya
benar adanya.

Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Melayu Riau (abad ke-14 sampai
dengan abad ke-19 Masehi)

Untuk pembahasan ini kiranya perlu dibedakan dengan jelas antara bahasa Melayu era Kerajaan
Sriwijaya dan Bahasa Melayu dari sub-era Keraan Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa
Bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena sifat
kekunoannya itu, banyak ahli bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan Sriwijaya itu sebagai
bahasa Melayu Kuno. Sementara itu, bahasa Melatu pada sub-era Kerajaan Riau atau Kerajaan
Melayu Riau sama sekali tidak dipengaruhi oleh Bahasa Sansekerta dan memiliki ciri khas
tersendiri, yaitu Riau. Oleh sebab itu, bahasa ini disebut “Bahasa-bahasa Melayu Riau”. Terdapat
tiga periode dalam sub-era ini, seperti diuraikan berikut ini.

Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan
abad ke-15 Masehi)

Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Tumasik
yang memaksa pusat kekuasaannya dipindahkan ke Malaka di Semenanjung Malaya . Adat-
istiadat dan bahasa yang dibawa dari Tumasik dipertahankan, dan mulai saat itu dan seterusnya
bahasa Melayu Riau berkembang dan tersebar ke hampir seluruh penjuru Semenanjung Melaya.

Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100 tahun. Lokasinya yang berada di pintu gerbang
Selat Malaka, yaitu rute lalu lintas pelayaran yang ramai dan penting yang menghubungkan
antara Asia Timur dan Asia Barat, antara Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut
Cina Selatan, dan antara Samudra India dan Samudara Pasifik, Malaka merupakan pelabuhan
yang paling sibuk di kawasan Asia Tenggara pada waktu itu.

Pada peralihan abad ke-15, Malaka juga menjadi pusat penyebaran agama Islam. Menjelmanya
kota itu menjadi pusat penyebaran agama Islam. Winstedt (1917: 92) melukiskan sebagai
berikut:
“Perlak and Pasai in North Sumatra were the first Malay Centers for the propagation of the
Muhammadan faith and culture. At Pasai, in 1407 was buried Abdul’llah ibn Muhammad ibn
Abdul’l-Kadir ibn Abdul’l-Azis ibn Al-Mansur Abu Ja’far al-Abbasi al-Muntasir, a missionary
from Delhi of the house of the Abbasides who furnished Caliphs from the time of Prophet till it
was destroyed by the Turks in 1258. Pasai converted Malaka, a center greater than itself.”

Dengan demikian, Malaka menjadi pusat dua kegiatan, yaitu perkembangan dan penyebaran
Bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam. Sebenarnya, kedua kegiatan ini terlaksana
secara bersamaan, sebab para guru dan penganjur agama Islam, dalam melaksanakan misinya itu,
mengikuti perjalanan para pelaut dan pedagang, mempergunakan bahasa Melayu.

Pada tahun 1511, misionaris Portugis menyerang dan menaklukkan Malaka yang memaksa
dipindahkannya pusat kedua kegiatan tersebut. Pusat perkembangan dan penyebaran Bahasa
Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam pindah ke Johor.

Meskipun Malaka dijadikan oleh Portugis sebagai pusat penyebaran agama Kristen, namun peran
sebagai pusat pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu tetap berlangsung. Berkat orang
Portugis, penggunaan bahasa Melayu tidak terbatas hanya di kawasan Asia Tenggara saja,
melainkan meluas ke pusat-pusat perdagangan di India dan Cina Selatan. Sebagai bukti, Ar-
Raniri, seorang pengarang dan teolog Islam yang lahir dan besar di India telah menguasai Bahasa
Melayu dengan baik ketika ia tiba di Aceh tahun 1637. Hal ini hanya mungkin apabila Bahasa
Melayu telah banyak dipergunakan di Gujarat pada masa itu (Alisjahbana dalam Fishman, 1974:
394).

Bahasa Melayu merambah jalannya juga ke benua Eropa dalam abad ke-16. Karena bahasa
Malayulah yang dipergunakan oleh para raja atau pangeran Malayu ketika berkomunikasi
dengan raja Portugis. Pada waktu yang sama, St. Francis Xavier mempergunakan bahasa Melayu
untuk mengajak penduduk Maluku memeluk agama Kristen. Xavier sendiri mengatakan bahwa
bahasa Melayu merupakan bahasa yang dimengerti oleh hampir setiap orang.

Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan
abad ke-17 Masehi)

Dengan ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, kegiatan kerajaan itu
dipindahkan ke Johor, suatu daerah di sebelah selatan Malaka di Semenanjung Malaya.
Lokasinya tidak sebaik lokasi Malaka dalam hal pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu
dan ajaran agama Islam.

Meskipun demikian, periode Kerajaan Johor telah menyumbangkan sesuatu yang amat berharga,
yaitu mempertahankan bentuk Bahasa Melayu Malaka. Di Malaka, nama Bahasa Melayu Malaka
masih tetap dipergunakan, tetapi unsur-unsur bahasa Portugis banyak ditambahkan ke dalam
bahasa tersebut sehingga pantas disebut “bahasa pidgin”. Bahasa Melayu Malaka sebelum
penaklukan Portugis sangat berbeda dengan Bahasa Melayu Malaka setelah Malaka dikuasai
Portugis. Bahasa Malayu Johorlah yang mempertahankan ciri-ciri khas bahasa Melayu Malaka
sebelum penaklukan Portugis.
Bahasa Melayu Johor memegang peran penting di dalam penyebarluasan agama Islam ke bagian
timur Kepulauan Nusantara. Kesusastraan Melayu dari abad ke-16, dan bahkan sampai abadke-
17, sangat dipengaruhi oleh ajaran dan pemikiran Islam. Bahasa Melayu Johor sangat berjasa di
dalam penyebaran ajaran agama Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di kawasan Asia
Tenggara.

Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai


dengan abad-19 Masehi)

Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana Kerajaan Johor, dipaksa memindahkan pusat
kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau Bintan, salah satu pulau yang bergabung dalam Kepulauan
Riau. Pemindahan ini merupakan permulaan dari suatu periode dalam pengembangan dan
penyebaran bahasa Melayu, yaitu periode Kerjaan Riau dan Lingga. Dalamperiode inilah bahasa
Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal
bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil,
sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Selama keberadaan kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting
sekali bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali
Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul
Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan
Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul Ahmadiyah didirikan.

Pengoperasian percetakan Mathba’atul Riauwiyah ini sangat penting karena melalui buku-buku
dan pamflet-pamflet yang diterbitkannya, bahasa Melayu Riau tersebar ke daerah lain di
Kepulauan Nusantara. Yang lebih penting adalah usaha pembakuan bahasa Melayu Riau sudah
dimulai.

Selama perang antara Perancis dan Inggris yang berlangsung di Eropa, yang berakibat Negeri
Belanda sempat diduduki Perancis beberapa tahun, selama itu terjadi pula perang antara
kekuasaan Inggris di Asia Tenggara dan kekuasaan Belanda yang tunduk kepada {emerintah
Perancis di Kepulauan Nusantara.

Untuk beberapa tahun lamanya, 1819 – 1824, Pulau Jawa dan Pulau Sumatra diduduki Inggris.
Salah seorang administratur Inggris yang ulung, yang pernah menjadi Gubernur Jenderal di
Pulau Jawa dan Pulau Sumatra, yaitu Stamford Raffles, mendirikan Singapura pada bekas
kerajaan Tumasik pada tahun 1819.

Orang-orang Belanda datang pertama kali ke Indonesia bertujuan untuk berdagang. Pada tanggal
20 Maret 1602 mereka mendirikan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) untuk
melaksanakan perdagangan. VOC beroperasi di Indonesia selama hampir 200 tahun sampai
tahun 1799, menyusul perusahaan itu direorganisasikan menjadi suatu pemerintahan kolonial.
Belanda mulai menjajah Indonensia dengan memperoleh nama baru Nederlandsche Oost-Indie
(India Belanda).
Disinilah, Selat Malaka, di daratan Semenanjung Malaya, kekuasaan kolonial Inggris semakin
mencekamkan kukunya. Setelah jatuh ke tangan Portugis, daerah Malaka ini semakin penting
perannya sebagai pusat perdagangan. Tertarik oleh kekayaan yang melimpah yang
dipersembahkan oleh daerah ini kepada raja Portugis, perusahaan British East India, yang pada
saat itu masih beroperasi di anak Benua India, mulai meluaskan daerah perdagangannya ke Asia
Tenggara. Maka muncul konflik kepentingan di antara ketiga kekuasaan kolonial: Inggris,
Belanda, dan Portugis.

Dari sudut pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, konflik antara Inggris dan Belanda
sangat penting, karena konfrontasi antara kedua kekuasaan itu berakhir pada pembagian kawasan
Kepulauan Nusantara menjadi dua, berdasarkan variasi bahasa Melayu yang dipergunakan di
kawasan itu, yaitu bahasa Melayu Johor dan bahasa Melayu Riau.

Pada 2 Februari 1819, kurang lebih tiga abad setelah orang-orang Eropa tiba di Kepulauan
Indonesia, Stanford Raffles, ketika dia menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas
nama pemerintah kolonial Inggris mendirikan kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik)
yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Setelah benteng Singapura ini didirikan, Inggris dan
Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus karena berebut kepentingan. Segera
setelah perang Napoleon di Eropa mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan untuk
mengakhiri konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu
terkenal dengan nama London Treaty of 1824 (Traktat London 1824) yang membagi kawasan
Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan Indonesia berada di bawah pemerintahan
Kolonial Belanda dan Semenanjung Malaya dan Singapura berada di bawah kekuasaan Kolonial
Inggris. Dengan demikian, Kerajaan Riau dan Lingga menjadi bagian dai daerah pemerintahan
Kolonial Hindia Belanda, dan Kerajaan Johon dan sekitarnya menjadi bagian dari daerah
pemerintahan Kolonial Inggris. Mulai saat itu pula, perpisahan bahasa Melayu Riau dan Bahasa
Melayu Johor secara legal terjadi.

Bahasa Melayu Riau yang merupakan Bahasa ibu penduduk Kerajaan Riau dan Lingga dan
pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan sangat pesat, sesuai dengan
keperluan masyarakat yang bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak
berlakunya Persetujuan London atau Traktat London, Bahasa Melayu Riau mendapatkan status
yang baik dalam kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi nilainya
yang ditulis oleh penutur asli Bahasa Melayu Riau diterbitkan. Pada tahun 1857, misalnya, Raja
Ali Haji menerbitkan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah buku tatabahasa normatif
bahasa Melayu Riau. Buku tata-bahasa ini selama berpuluh-puluh tahun dipergunakan oleh
sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau dan Lingga, dan di Singapura. Pengarang-pengarang
lain yang sezaman dengan Raja Ali Haji, misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad
Adnan, dan lain-lain, juga menerbitkan karya mereka.

Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam
proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini
dijadikan buku acuan oleh ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang
berkembang pesat dan tumbuh dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa
Melayu Tinggi.
02.Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum Traktat London

Sesudah Traktat London ditandatangani antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan
antara Bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata. Bahasa Melayu versi Johor di
Semenanjung Malaya dan Singapura berkembang, tetapi tidak sepesat perkembangan versi
Bahasa Melayu Riau di Kepulauan Nusantara.

Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh
masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik yang mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di
samping itu, Bahasa Melayu yang sejak dulu menjadi lingua franca meningkat statusnya menjadi
bahasa yang memiliki norma supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang suka berlayar
atau bepergian ke mana-mana.

Beberapa peristiwa penting menyangkut perkembangan bahasa Melayu Riau dapat diungkapkan
di bawah ini.

1. Tahun 1865, bahasa Melayu Riau diangkat oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda
sebagai bahasa resmi kedua mendampingi Bahasa Belanda. Pranan ke-lingua franca-an
Bahasa Melayu semakin nyata dan penting.
2. Tahun 1901, Charles van Ophuijsen menerbitkan bukunya yang berjudul Kitab logat
Melajoe: Wondenlijst voor de Spelling der Maleische Taal yang berisi sistem ejaan
Bahasa Melayu mempergunakan huruf Latin yang bersifat fonemis. Sebelumnya bahasa
Melayu Riau mempergunakan Huruf Arab (bahasa diistilahkan huruf Jawi) yang bersifat
silabik sebagai sistem ejaan. Sistem ejaan van Ophuijsen dengan huruf Latin dianggap
lebih sesuai dengan Bahasa Melayu.
3. Tahun 1918, Bahasa Melayu mulai dipergunakan di dalam sidang-sidang Volksraad
(Dewan Rakyat). Dengan demikian status Bahasa Melayu meningkat menjadi bahasa
supraetnik melebihi bahasa-bahasa daerah lainnya.
4. Tahun 1920, Bahasa Melayu menjadi bahasa Balai Pustaka. Semua buku hasil penerbitan
Balai Pustaka mempergunakan bahasa Melayu. Penyebaran bahasa Melayu ke pelosok
Nusantara semakin intensif. Semua sekolah dasar di desa-desa mempergunakan bahasa
Melayu sebagai bahasa pengantar. Di samping itu, bahasa Melayu juga menjadi bahasa
para pejuang kemerdekaan Indonesia.
5. Pada tanggal 28 Oktober 1928, Bahasa Melayu dijadikan oleh para peserta Kongres
Pemoeda sebagai bahasa persatuan yang tertuang pada butir ketiga Soempah Pemoeda
yang diikrarkannya.
6. Pada tahun 1933, Bahasa Melayu menjadi bahasa Poedjangga Baroe sekelompok
pengarang yang menerbitkan berbagai majalah dan buku.
7. Pada tahun 1938, Kongres Bahasa Melayu (Indonesia) di Solo. Kongres ini meletakkan
dasar-dasar tentang pemakaian istilah Bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu lagi.
8. Tahun 1942 – 1945, Kepulauan Nusantara diduduki oleh balatentara Jepang. Bahasa
Melayu menjadi satu-satunya bahasa pengantar pada semua jenjang pendidikan.
9. Pada tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan ke
seluruh dunia dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Pasal … ayat … UUD 1945
memuat bahwa “Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan resmi negara.” Sejak itu
bahasa Indonesia menjadi bahasa Angkatan ‘45.
10. Tahun 1954, Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini dihadiri pula oleh
utusan dari Semenanjung Malaya dan Singapura.
11. Tahun 1972, antara Republik Indonesia dan Negara Malaysia tercapai persetujuan di
bidang kebudayaan. Masalah bahasa termasuk di dalamnya. Terbentuklah Majelis Bahasa
Indonesia dan Malaysia (MABIM).
12. Pada tanggal 16 Agustus 1972, diumumkan pemberlakuan Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan (EYD) di Indonesia dan di Malaysia. Kenyataan ini menjadikan Bahasa
Melayu sebagai norma supra-nasional.
13. Pada tanggal 30 Agustus 1975, diumumkan pula pemberlakukan tatacara pembentukan
istilah di Indonesia dan Malaysia. Hal ini semakin memperkuat MABIM sehingga Negara
Brunai Darussalam dan Republik Singapura tertarik untuk bergabung di dalam majelis
bahasa ini.
14. Kongres Bahasa Indonesia III dan seterusnya diselenggarakan secara teratur setiap lima
tahun. Kongres Bahasa Indonesia VI tahun 1993 menghasilkan berbagai keputusan yang
memperkuat kedudukan bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa persatuan, bahasa
nasional, bahasa negara, bahasa resmi, maupu sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek).
15. Kerja sama kebahasaan antara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Negara Malaysia,
Negara Brunei Darussalam, dan Republik Singapura semakin kokoh. Keadaan ini akan
mengantar Bahasa Melayu menjadi bahasa komunikasi luas di kawasan Asia Tenggara
untuk selanjutnya diharapkan menjadi salah satu bahasa dunia di dalam abad ke-21.

Perkembangan bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan Singapura tidak sepesat
dengan perkembangan bahasa Melayu versi Riau di Kepulauan Nusantara. Hal ini disebabkan
oleh berbagai faktor, di antaranya politik bahasa yang dianut oleh Inggris. Pemerintah Kolonial
Inggris mengakui adanya empat bahasa resmi, yaitu Bahasa Melayu, Bahasa Mandarin, Bahasa
Tamil, dan Bahasa Inggris. Keempat bahasa itu dipergunakan sebagai bahasa pengantar pada
lembaga-lembaga pendidikan. Umumnya, Bahasa Inggris paling dominan dipergunakan sebagai
bahasa pengantar.

Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di atas berlangsung sampai dengan terbentuknya


Negara Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1956. Peristiwa ini kemudian disusul dengan
terbentuknya Negara Malaysia, yang mencakup Serawak dan Sabah (North Borneo), yang
merdeka dan berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai, bahasa
Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai bahasa resmi, bahasa negara,
bahasa nasional, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat.

Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat ini Bahasa Melayu, baik yang sekarang menjadi
bahasa Indonesia di Indonesia, Bahasa Melayu di Malaysia, bahasa … di Brunei, dan bahasa …
di Singapura, tetap berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara
efektif. Bahkan, secara de facto telah berperan sebagai bahasa komunikasi luas di Asia Tenggara.
Yang diperlukan adalah pengakuan dari internasional (lewat PBB) bahwa Bahasa Melayu
merupakan salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa komunikasi internasional atau
dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara de jure Bahasa Melayu semakin mantap.

Pustaka Acuan
 Abas, Husen. 1987. Indonesian As a Unifying Language of Wider Communication: a
Historical and Sociolinguistic Perspectives.Canberra: Research School of Pasific Studies,
ANU.

 Alisjahbana, Sutan Takdir. 1974. “Language Policy, Language Engineering and Literacy
in Indonesia and Malaysia”. Dalam Fiherman, ed. 1974: 179-187.

 Fishamn, Joshuo A., ed. 1974. Advances in Language Planning. The Hague : Mouton.

 Hamidy, U.U. 1973. Bahasa Melayu Riau: Sumbangan Bahasa Melayu Riau kepada
Bahasa dan Bangsa Indonesia . Pekanbaru: Badan Pembina Kesenian Daerah Propinsi
Riau.

 Junus, Umar. 1969. Sedjarah dan Perkembangan Kearah Bahasa Indonesia dan Bangsa
Indonesia . Djakarta : Bhratara.

 Joyonegoro, Wardiman. 1995. “Pidato Pembukaan KIP BOPA III”. 28 Agustus 1995.

 http://muslich-m.blogspot.com/2007/04/sejarah-perkembangan-bahasa-
indonesia.html#comment-form

 http://kask.us/1014230/

Anda mungkin juga menyukai