Anda di halaman 1dari 12

Bahasa indonesia pada dasarnya berasal dari bahasa melayu, pada zaman dahulu lebih tepatnya

pada zaman kerajaan sriwijaya bahasa melayu banyak digunakan sebagai bahasa penghubung
antar suku di plosok nusantara. Selain itu bahasa melayu juga di gunakan sebagai bahasa
perdagangan antara pedagang dalam nusantara maupun dari luar nusantara.

        Bahasa melayu menyebar ke pelosok nusantara bersamaan dengan penyebaran agama islam,
serta makin kokoh keberadaan nya karena bahasa melayu mudah diterima oleh masyarakat
nusantara karena bahasa melayu digunakan sebagai penghubung antar suku, antar pulau, antar
pedagang, dan antar kerajaan. 

      Bahas melayu mulai dipakai dikawasan Asia Tenggara sejak Abad ke-7. bukti-bukti yang
menyatakan itu adalah dengan ditemukannya prasasti di kedukan bukit karangka tahun 683 M
(palembang), talang tuwo berangka tahun 684 M (palembang), kota kapur berangka tahun 686 M
(bukit barat), Karang Birahi berangka tahun 688 M (Jambi) prasasti-prasasti itu bertuliskan huruf
pranagari berbahasa melayu kuno.

         Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong


tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa persatuan bangsa Indonesia, oleh karena itu para pemuda
indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa
Melayu menjadi bahasa indonesia menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa indonesia.
(Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928). 

        Dan baru setelah kemerdekaan Indonesia tepatnya  pada tanggal 18 Agustus Bahasa
Indonesia diakui secara Yuridis. Secara Sosiologis kita bisa mengatakan bahwa Bahasa
Indonesia resmi di akui pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Hal ini juga sesuai
dengan butir ketiga ikrar sumpah pemuda yaitu “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”  Namun secara Yuridis Bahasa Indonesia diakui pada
tanggal 18 Agustus 1945 atau setelah Kemerdekaan Indonesia.

Ada empat faktor yang menyebabkan bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia yaitu :

1. Bahasa melayu sudah merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan dan
bahasa perdangangan.
2. Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dielajari karena dalam bahasa melayu tidak
dikenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
3. Suku jawa, suku sunda dan suku suku yang lainnya dengan sukarela menerima bahasa
Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
4. Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan
dalam arti yang luas.

         Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan


kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa
Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun
daerah.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa;


 Sumber dari bahasa indonesia adalah bahasa melayu
 Bahasa Indonesia secara sosiologis resmi digunakan sebagai bahasa persatuan pada
tanggal 28 Oktober 1928. Namun secara Yuridis Bahasa Indonesia di akui setelah
kemerdekaan Indonesia yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945.
 Bahasa Melayu di angkat menjadi bahasa indonesia karena bahasa melayu telah
digunakan sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) di nusantara dan bahasa melayu
sangat sederhana dan mudah dipelajari serta tidak memiliki tingkatan bahasa.

Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia

1) Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum Merdeka


Pada dasarnya Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pada zaman Sriwijaya, bahasa
Melayu di pakai sebagai bahasa penghubung antar suku di Nusantara dan sebagai bahasa yang di
gunakan dalam perdagangan antara pedagang dari dalam Nusantara dan dari luar Nusantara.

Perkembangan dan pertumbuhan Bahasa Melayu tampak lebih jelas dari berbagai peninggalan-
peninggalan misalnya:

 Tulisan yang terdapat pada batu Nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun 1380
 Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang pada tahun 683.
 Prasasti Talang Tuo, di Palembang pada Tahun 684.
 Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada Tahun 686.
 Prasati Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada Tahun 688.

Dan pada saat itu Bahasa Melayu telah berfungsi sebagai:

1. Bahasa kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisia aturan-aturan hidup dan sastra.
2. Bahasa perhubungan (Lingua Franca) antar suku di indonesia
3. Bahasa perdagangan baik bagi suku yang ada di Indonesia maupun pedagang yang
berasal dari luar indonesia.
4. Bahasa resmi kerajaan.

Bahasa melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama


Islam di wilayah Nusantara, serta makin berkembang dan bertambah kokoh
keberadaannya karena bahasa Melayu mudah di terima oleh masyarakat Nusantara
sebagai bahasa perhubungan antar pulau, antar suku, antar pedagang, antar bangsa dan
antar kerajaan. Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan
mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa persatuan bangsa Indonesia, oleh
karena itu para pemuda indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara
sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa indonesia menjadi bahasa persatuan
untuk seluruh bangsa indonesia. (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
2) Perkembangan Bahasa Indonesia Sesudah Merdeka
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari
berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam rapat, para pemuda berikrar:

1. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air
Indonesia.
2. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
3. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.

Ikrar para pemuda ini di kenal dengan nama “Sumpah Pemuda”. Unsur yang ketiga dari
“Sumpah Pemuda” merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa indonesia merupakan bahasa
persatuan bangsa indonesia. Pada tahun 1928 bahasa Indonesia di kokohkan kedudukannya
sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia di nyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara
pada tanggal 18 Agustus 1945, karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 di sahkan
sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Di dalam UUD 1945 di sebutkan
bahwa “Bahasa Negara Adalah Bahasa Indonesia,(pasal 36). Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa
indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa indonesia di pakai oleh
berbagai lapisan masyarakat indonesia.

Peresmian Nama Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahas persatuan bangsa
indonesia. Bahasa indonesia di resmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerekaan
Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor
Leste, Bahasa Indonesia berposisi sebagi bahasa kerja. Dari sudut pandang Linguistik, bahasa
indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa
Melayu-Riau dari abad ke-19.

Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaannya sebagi bahasa kerja di


lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20.
Penamaan “Bahasa Indonesia” di awali sejak di canangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1928, untuk menghindari kesan “Imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu tetap di
gunakan.

Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang di
gunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, bahasa indonesia merupakan
bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun
penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Meskipun di pahami dan di tuturkan oleh lebih
dari 90% warga indonesia, bahasa indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya.
Sebagian besar warga indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di indonesia
sebagai bahasa Ibu. Penutur Bahasa indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari
(kolokial) atau mencampur adukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa Ibunya.
Meskipun demikian , bahasa indonesia di gunakan di gunakan sangat luas di perguruan-
perguruan. Di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum
publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa indonesia di gunakan oleh semua
warga indonesia. Bahasa Melayu dipakai dimana-mana diwilayah nusantara serta makin
berkembang dengan dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai
didaerah-daerah diwilayah nusantara dalam pertumbuhan dipengaruhi oleh corak budaya daerah.
Bahasa Melayu menyerap kosa kata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa sanskerta, bahasa
Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.

Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu diwilayah nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya
rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komikasi rasa persaudaraan dan persatuan
bangsa Indonesia. Komunikasi antar perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan
bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa
Indonesia dalam sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Untuk memperoleh bahasa nasionalnya,
Bangsa Indonesia harus berjuang dalam waktu yang cukup panjang dan penuh dengan tantangan.

Perjuagan demikian harus dilakukan karena adanya kesadaran bahwa di samping fungsinya
sebagai alat komunikasi tunggal, bahasa nasional sebagai salah satu ciri cultural, yang ke dalam
menunjukkan sesatuan dan keluar menyatakan perbedaan dengan bangsa lain.

Ada empat faktor yang menyebabkan Bahasa melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia, yaitu:

1. Bahasa melayu adalah merupakan Lingua Franca di Indonesia, bahasa perhubungan dan
bahasa perdagangan.
2. Sistem bahasa melayu sederhana, mudah di pelajari karena dalam bahasa melayu tidak di
kenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
3. Suku Jawa, Suku Sunda, dan Suku2 yang lainnya dengan sukarela menerima bahasa
melayu menjadi bahasa indonesia sebagai bahasa nasional.
4. Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk di pakai sebagai bahasa kebudayaan
dalam arti yang luas.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa
Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor
Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa
Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang) dari
abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai
bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal
abad ke-20. Penamaan “Bahasa Indonesia” diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928, untuk menghindari kesan “imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu
tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian
bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa
Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui
penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia
bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia
menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur
Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau
mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian,
Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra,
perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah
dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah. Dasar-dasar yang penting
untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-
bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak
abad-abad awal penanggalan modern.
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa
Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera
bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata
pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan
penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari
abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra,
kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.

Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical
Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang
perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di
kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Laporan
Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua
pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara
yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah
mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari
penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti
masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk,
dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa
Arab terus berlangsung hingga sekarang.

Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan
informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis
banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti
gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi
pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan
teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel
adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu,
akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat
diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan
sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19
menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting
di “dunia timur”. Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan
temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara
bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses
pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado,
Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan
varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang
terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa
Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa
Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.

Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-
Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat
itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan
bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang
terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu
yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta
bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat
dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Kata-kata pinjaman

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk
membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para
pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena
telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi
bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan
penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah “embrio” bahasa
Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.

Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di
tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada
tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris
mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu
(dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad
Taib Soetan Ibrahim.

Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur


(“Komisi Bacaan Rakyat” – KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka.
Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman
Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa
instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah
terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai “bahasa
persatuan bangsa” pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa
Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan,
dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
“Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya,
hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan
Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa
pergaulan atau bahasa persatuan.”
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh
sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir
Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak
mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.

Beberapa peristiwa dalam perkembangan bahasa Indonesia


• Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang
diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada
tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti
Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara
kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
• Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal
ini untuk pertama kalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa
Indonesia.
• Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu
menjadi bahasa persatuan Indonesia.
• Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai
Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
• Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
• Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil
kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
• Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu
pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
• Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van
Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
• Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di
Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus
menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan
sebagai bahasa negara.
• Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan
penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di
hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
• Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi
berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
• Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di
Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini
selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun
1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
• Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta.
Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55.
Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus
lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara,
yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
• Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di
Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh
Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura,
Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya
besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
• Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di
Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari
mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang,
Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa
Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
• Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel
Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.

Perkembangan Ejaan dalam Bahasa Indonesia


Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:

Ejaan van Ophuijsen


Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang
dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan
baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van
Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan
tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y
seperti dalam Soerabaïa.
2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer,
’akal, ta’, pa’, dsb.

Ejaan Republik
Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini
juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang
mendampinginya.

Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)


Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-
tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.

Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)


Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik
Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan
dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia semakin dibakukan.
Perubahan yang terjadi ({Bahasa Indonesia pra 1972/ Malaysia pra 1972/ sejak 1972}) yaitu
{tj/ch/c}, {dj/j/j}, {ch/kh/kh}, {nj/ny/ny}, {sj/sh/sy}, {j/y/y}, {oe*/u/u}.
Catatan: Tahun 1947 “oe” sudah digantikan dengan “u”.

Kata serapan dalam bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terbuka. Maksudnya ialah bahwa bahasa ini banyak
menyerap kata-kata dari bahasa lain. Adapun beberapa bahasa yang banyak diserap menjadi
bahasa antara lain : Belanda = 3.280 kata, Inggris = 1610 kata, Arab = 1495 kata, Sansekerta-
Jawa kuna = 677 kata, Tionghoa = 290 kata, Portugis = 131 kata, Tamil = 83 kata, Parsi 63 kata,
Hindi = 7 kata, dan lain-lain. Penyerapan juga dilakukan terhadap bahasa-bahasa daerah seperti
jawa, sunda, dll. Angka tersebut di atas dalam perkembanganya akan selalu mengalami
perubahan karena kebutuhan akan bahasa. Seringkali terjadi penambahan kosa kata yang diambil
dari bahasa lain karena pertukaran budaya bangsa.
Sumber: Buku berjudul “Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia” (1996) yang disusun
oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa).

Penggolongan
Indonesia termasuk anggota dari Bahasa Melayu-Polinesia Barat subkelompok dari bahasa
Melayu-Polinesia yang pada gilirannya merupakan cabang dari bahasa Austronesia. Menurut
situs Ethnologue, bahasa Indonesia didasarkan pada bahasa Melayu dialek Riau yang dituturkan
di timur laut Sumatra

Distribusi geografis
Bahasa Indonesia dituturkan di seluruh Indonesia, walaupun lebih banyak digunakan di area
perkotaan (seperti di Jakarta dengan dialek Betawi serta logat Betawi).
Penggunaan bahasa di daerah biasanya lebih resmi, dan seringkali terselip dialek dan logat di
daerah bahasa Indonesia itu dituturkan. Untuk berkomunikasi dengan sesama orang sedaerah
kadang bahasa daerahlah yang digunakan sebagai pengganti untuk bahasa Indonesia.

Kedudukan resmi
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:
1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
2. Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:
1. Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
2. Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)

Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia tidak terjadi dalam satu masa yang
singkat, tetapi mengalami proses pertumbuhan berabad-abad lamanya. Agaknya terlalu
sederhana untuk mengatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau. Orang-
orang lupa bahwa bahasa Melayu Riau hanyalah merupakan satu dialek di antara demikian
banyak dialek-dialek Melayu yang lain. Dan di atas semua ini sudah terkenal di seluruh
Nusantara suatu bahasa perhubungan, suatu ingua franca , yang disebut Melayu Pasar . Melayu
Pasar inilah yang menjadi factor paling penting untuk diterimanya Melayu Riau sebagai bahasa
pengantar di sekolah-sekolah,. Seandainya orang belum mengenal Melayu Pasar, tentulah sama
sulitnya pula menerima Melayu Riau menjadi bahasa pengantar, seperti halnya dengan bahasa
Jawa.

Untuk mengikuti pertumbuhan bahasa Indonesia dari awal mula terdapatnya fakta-fakta historis
hingga sekarang baiknya kita telusuri terlebih dahulu beberapa periode berikut:

1. Sebelum Masa Kolonial

Walaupun bukti-bukti tertulis masih sangat kurang, namun dapatlah dipastikan bahwa bahasa
yang dipakai oleh kerajaan Sriwijaya pada abad ke- 7 adalah bahasa Melayu.

Bukti-bukti tertulis pertama mengenai bahasa Melayu itu ditemukan di dalam prasasti-prasasti
sekitar tahun 680 M. Di Sumatera pada awal kerajaan Sriwijaya yaitu: di Kadukan Bukit
berangka tahun 683, di Talang Tuo (dekat Palembang) berangka tahun 684, di Kota Kapur
(Bangka Barat) berangka tahun 686, serta di Karang Birahi (antara Jambi dan Sungai Musi)
berangka tahun 688. lebih dari itu belum ditemukan bukti-bukti tertulis lainnya.

Sriwijaya adalah sebuah kerajaan maritime yang memiliki armada perkapalan untuk
perdagangan. Rakyatnya menjelajah seluruh pelosok tanah air, serta di mana-mana
memperkenalkan bahasa Melayu untuk mempermudah hubungan dagang dengan semua
penduduk Nusantara. Bukti-bukti tertulis untuk itu sulit ditemukan kecuali satu yaitu di Pulau
Jawa, di daerah Kedu. Di sana ditemukan sebuah prasasti yang terkenal dengan nama Inskripsi
Gandasuli dan berasal dari tahun 832. Berdasarkan penelitian Dr. J. G. de Casparis dinyatakan
bahwa bahasanya adalah bahasa Melayu Kuno. Inilah yang menjadi satu-satunya bukti tertulis
tentang luasnya penyebaran dan pemakaian bahasa Melayu pada waktu itu.

Walaupun bukti tertulis hampir tak ada, tetapi dengan adanya bermacam-macam dialek Melayu
yang tersebar di seluruh Nusantara seperti dialek Melayu Ambon, Larantuka, Kupang, Jakarta,
Manado, dan sebagainya, dapat dipastikan adanya penyebaran yang luas tersebut.

Dalam kesusasteraan Tiongkok terdapat berita-berita yang menceritakan tentang musafir-musafir


Tiongkok yang bertahun-tahun tinggal di kota-kota Indonesia . Mereka itu mempergunakan
bahasa anak negeri yang disebut Kwu’un Lun. I Tsing yang belajar di Sriwijaya pada akhir abad
ke-7 mempergunakan juga bahasa itu. Mengingat adanya prasasti-prasasti seperti yang telah
disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa Kwu’un Lun tidak lain adalah Bahasa
Melayu Kuno.

Beberapa abad kemudian, pada tahun 1356, ditemukan lagi suatu peninggalan yang cukup
berarti, berbentuk prasasti, bahasanya berbentuk prosa diselingi puisi. Hal ini menunjukkan
bahwa pemakaian bahasa Melayu pada waktu itu tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi
sehari-hari, tetapi telah dipakai pula sebagai bentuk ceritera panjang.

Begitu pula dari tahun 1380 di Minye Tujoh, Aceh, terdapat suatu batu nisan yang berisi suatu
model syair tertua. Sesudah tahun ini, antara abad ke-14 sampai ke 17 didapati banyak hasil
kesusasteraan lama dalam bentuk pelipur lara, hikayat, dongeng-dongeng dan sebagainya. Tentu
semuanya ini memerlukan masa perkembangan. Dalam masa perkembangan tersebut, baik
bahasa maupun isi ceriteranya menerima unsur-unsur dari luar untuk memperkaya dirinya, yaitu
dari bahasa Sansekerta dengan unsur-unsur Hindu, dan dari bahasa Arab-Persia dengan unsur-
unsur Islam.

2. Masa Kolonial

Ketika orang-orang Barat sampai di Indonesia pada abad ke-16, mereka menghadapi suatu
kenyataan, yaitu bahasa Melayu merupakan suatu bahasa resmi dalam pergaulan, bahasa
perantara dalam perdagangan. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa kenyataan berikut: seorang
Portugis bernama Pigafetta, setelah mengunjungi Tidore, menyusun semacam daftar kata-kata
pada tahun 1522; berarti sebelum itu bahasa Melayu telah tersebar sampai ke kepulauan Maluku.

Baik bangsa Portugis maupun bangsa Belanda yang datang ke Indonesia kemudian mendirikan
sekolah-sekolah. Mereka terbentur dalam soal bahasa pengantar. Usaha-usaha untuk memakai
bahasa Portugis atau Belanda sebagai bahasa pengantar selalu mengalami kegagalan.
Demikianlah pengakuan seorang Belanda yang bernama Danckaerts pada tahun 1631. ia
mengatakan bahwa kebanyakan sekolah di Maluku memakai bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar. Kegagalan dalam usaha memakai bahasa-bahasa Barat itu memuncak dengan
dikeluarkannya suatu keputusan dari Pemerintah Kolonial, K. B. 1871 No. 104, yang
menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumiputera diberikan dalam bahasa daerah,
selain bahasa Melayu.

3. Pergerakan Kebangsaan

Dengan timbulanya pergerakan kebangsaan, dirasakan perlu adanya suatu bahasa nasional untuk
mengikat bermacam-macam suku bangsa di Indonesia. Pergerakan yang besar dan hebat hanya
dapat berhasil jika semua rakyat diikutsertakan. Untuk itu mereka mencari bahasa yang dapat
dipahami dan digunakan semua orang.

Pada mulanya memang agak sulit untuk menentukan bahasa mana yang akan menjadi bahasa
persatuan. Tiap daerah tampaknya lebih senang mempergunakan bahasanya sendiri. Budi Utomo
misalnya, lebih menekankan kebudayaan dan bahasa Jawa. Tiap perhimpunan pemuda, baik Jong
Java, Jong Sumatera atau Jong Ambon lebih senang menggunakan bahasa daerahnya sendiri.
Hal-hal semacam ini dirasakan amat menghambat persatuan dan kesatuan yang hendak dicapai.
Pada tahun 1908, pemerintah colonial mendirikan suatu komisi yang disebut Comissie voor de
Volkslectuur , diketuai oleh Dr. G. A. J. hazeu. Kemudian komisi ini diubah namanya menjadi
Balai Pustaka pada tahun 1917. kegiatan badan ini antara lain membantu penyebaran dan
pendalaman bahasa MElayu dengan menerbitkan buku-buku murah berbahasa Melayu. Pada
tahun 1918, tanggal 25 Juni, dengan ketetapan Belanda, anggota-anggota Dewan Rakyat diberi
kebebasan untuk menggunakan bahasa Melayu dalam Volksraad . Kesempatan ini kemudian
ternyata tidak digunakan semestinya.

Mengingat kesulitan-kesulitan untuk mempersatukan pelbagai suku bangsa di Indonesia terus


ditemui, maka pada tahun 1926 Jong Java merasa perlu mengakui suatu bahasa daerah sebagai
media penghubung semua pemuda-pemudi Indonesia. Bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa
pengantar. Pemuda-pemuda di Sumatera sudah lebih dahulu menyatakan dengan tegas
memutuskan untuk menggunakan bahasa Melayu Riau, yang disebut juga Melayu Tinggi,
sebagai bahas persatuan. Walaupun terdapat keinginan yang kuat, sebagian majalah-majalah
Jong Java dan Jong Sumatranen Bond masih ditulis dalam bahasa Belanda.

Akan tetapi, di samping itu perlu pula disebut jasa-jasa beberapa surat kabar yang turut
menyebarluaskan bahasa Melayu, seperti Bianglala, Bintang Timur, Kaum Muda, Neratja, dan
lain-lain. Di samping besar sekali pengaruhnya dalam perkembangan bahasa Melayu, mereka
sekaligus menjadi media penghubung dan sarana latihan bagi putra-putri Indonesia untuk
mengutarakan berbagai macam masalah dan pendapat.

Dengan adanya bermacam-macam faktor seperti yang telah disebutkan di atas, akhirnya tibalah
tanggal 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda Indonesia di Jakarta. Sebagai hasil yang paling
gemilang dari kongres tersebut diadakan ikrar bersama yang terkenal dengan nama Sumpah
Pemuda :

Kami putra-putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia

Kami puta-putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Kami putra-putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Anda mungkin juga menyukai