BAHASA INDONESIA
DISUSUN OLEH:
JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS RIAU
2020
Sejarah dan Perkembangan Bahasa Indonesia
Hal tersebut dibuktikan oleh adanya beberapa prasasti yang ditemukan di daerah-
daerah yang bahasa sehari-hari penduduknya bukan bahasa Indonesia atau Melayu. Tentu
saja ada juga ditemukan di daerah yang bahasa sehari-hari penduduknya sudah menggunakan
bahasa Indonesia atau Melayu. Sejarah perkembangan bahasa ini dapat dibuktikan dengan
adanya prasasti Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuo (684 M), Kota Kapur (686 M), Karah
Barahi (686 M).
Dari hari ke hari kedudukan bahasa Melayu sebagai lingua franca semakin kuat,
terutama dengan tumbuhnya rasa persatuan dan kebang saan di kalangan pemuda pada awal
abad ke-20 sekalipun mendapat rintangan dari pemerintah dan segolongan orang Belanda
yang ber usaha keras menghalangi perkembangan bahasa Melayu dan berusaha menjadikan
bahasa Belanda sebagai bahasa nasional di Indonesia. Para pemuda yang bergabung dalam
berbagai organisasi, para cerdik pandai bangsa Indonesia berusaha keras mempersatukan
rakyat Mereka sadar bahwa hanya dengan persatuan seluruh rakyat bangsa Indonesia dapat
menghalau kekuasaan kaum penjajah dari bumi Indonesia dan mereka sadar juga ?hanya
dengan bahasa Melayu mereka dapat berkomunikasi dengan rakyat Usaha mereka
mempersatukan rakyat, terutama para pemudanya memuncak pada Kongres Pemuda di
Jakarta pada tanggal 28 oktober 1928
tanggal 28 Oktober merupakan hari yang amat penting yang merupakan hari
pengangkatan atau penobatan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau sebagai bahasa
nasional. Pengakuan dan pernyataan yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 itu tidak
akan ada artinya tanpa diikuti usaha untuk mengembangkan bahasa Indonesia, meningkatkan
kemampuan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.Persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia diikrarkan melalui butir-butir Sumpah pemuda sebagai berikut.
Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah
Indonesia.
Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Pada ketiga ikrar tersebut terdapat perbedaan ikrar antara ikrar ketiga dengan ikrar
pertama dan kedua yaitu pada kata mengaku dan menjunjung. Ikrar pertama dan kedua
menyatakan ”mengaku bertumpah darah yang satu dan mengaku berbangsa yang satu”.
Artinya, tanah air dan bangsa kami hanya satu yaitu Indonesia. Berbeda dengan ”menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Ikrar ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia
merupakan bahasa yang digunakan dalam mempersatukan bangsa Indonesia. Tidak berarti
bahwa, bahasa daerah dihapuskan. Bahasa daerah tetap harus dijaga dan dilestarikan sebagai
kekayaan budaya bangsa. Jadi, sangatlah keliru jika ada warga daerah yang malu
menggunakan bahasa daerahnya dalam berkomunikasi
Setelah Proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 bahasa Indo nesia semakin mantap
kedudukannya. Perkembangannya juga cukup pesat. Sehari sesudah proklamasi
kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus ditetapkan Undang-undang Dasar 1945 yang di
dalamnya terdapat pasal, yaitu pasal 36, yang menyatakan bahwa
Pada awal tahun 2004, Dewan Bahasa dan Pustaka (Malaysia) dan Majelis Bahasa
Brunei Darussalam - Indonesia - Malaysia (MABBIM) mencanangkan Bahasa Melayu
dijadikan sebagai bahasa resmi ASEAN dengan memandang lebih separuh jumlah penduduk
ASEAN mampu bertutur dalam bahasa Melayu. Walaupun demikian, gagasan ini masih
dalam perbincangan.
Berikut ini beberapa perubahan ejaan bahasa indonesia serta ciri ciri nya untuk
mendukung penggunaan bahasa indonesia:
Pencetus sistem ejaan itu bernama Charles Adriaan van Ophuijsen Pada tahun 1896 ia
diberi tugas Pemerintah Belanda untuk menstandardisasikan aksara Latin untuk Bahasa
Melayu (dibantu oleh Engku Nawawi gl. St. Makmur dan M. Taib St. Ibrahim) dan hasilnya
adalah Kitab Logat Melajoe(terbit pada tahun 1901). Tahun 1901 menjadi penanda dari
pemberlakuan Ejaan van Ophuijsen hingga tahun 1947
Khusus Ejaan van Ophuijsen, sejumlah bunyi dapat ditandai, antara lain, bunyi [u]
ditulis oe, bunyi [j] ditulis dj, bunyi [y] ditulis j, bunyi [c] ditulis tj, sebagaimana yang tertera
dalam Gambar 1 sampai dengan Gambar 7. Selain itu, pada masa berlakunya Ejaan van
Ophuijsen, kita mengenal kosakata-kosakata Indonesia yang khas pada masa itu, seperti
perhatiken, kwaliteit, pakerdjahan, perboeroehan,permintahan, dan soeroe. Kita juga
mengenal kosakata-kosakata Indonesia yang diserap dari bahasa Belanda, seperti
hydrualisch,versnelling, dan veer
2. Ejaan soewandi
Tanggal 17 maret 1947 menteri pengajaran pendidikan dan kebudayaan saat itu, yaitu
raden soewandi menggantikan ejaan ophuijsen perubahan sistem ejaan Ophuysen kepada
ejaan Soewandi 1m bersesuaian dengan hasrat Kongres Bahasa Indonesia (1938) agar bahasa
Indonesia lebih banyak diintemasionalkan' dan beberapa hal yang kurang praktis dapat segera
disempumakan.
Sistem ejaan soewandi vokal [oe] digantikan vokal u seperti soekoe menjadi suku, goeroe
jadi guru, laoet jadi laut, loepa menjadi lupa, oelang menjadi ulang
3. Ejaan melindo
Ejaan Melindo merupakan bentuk penggabungan aturan penggunaan huruf Latin di
Indonesia dan aturan penggunaan huruf latin oleh Persekutuan Tanah Melayupada tahun
1959. Ejaan melindo dapat dikenali dari 6 ciri berikut:
Ejaan Yang Disempurnakan atau dikenal dengan EYD mengalami beberapa perubahan
dari masa ke masa, yaitu tahun 1972, tahun 1988, dan tahun 2009. Berikut ciri khusus EYD
tahun 1972 :
a) Huruf diftong oi hanya ditemukan di belakang kata, misalnya oi pada kata amboi
b) Masih menggunakan dua istilah yaitu huruf besar dan huruf kapital.
c) Penulisan huruf hanyamengatur dua macam huruf yaitu huruf besar atau huruf kapital
dan huruf miring.
d) Penulisan angka untuk menyatakan nilai uang menggunakan spasi antara lambang
dengan angka, misalnya Rp 500,00
e) Tanda petik dibedakan istilah dan penggunaannya menjadi dua, yaitu tanda petik
ganda dan tanda petik tunggal.
f) Terdapat tanda ulang berupa angka 2 biasa (bukan kecil di kanan atas [2] atau juga
bukan di kanan bawah [2]) yang dapat dipakai dalam tulisan cepat dan notula untuk
menyatakan pengulangan kata dasar, misalnya dua2, mata2,dan hati2.ata amboi.
Terdapat lima ciri khusus dalam PUEYD tahun 1988. Berikut kelima ciri tersebut:
a) Penggunana huruf kapital dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan
terdapat catatan tambahan yaitu: (1) bila terdiri dari kata dasar maka tulisan
disambung, misalnya Tuhan Yang Mahakuasa; (2) bila terdiri dari kata berimbuhan
maka penulisan dipisah, misalnya Tuhan Yang Maha Pengasih.
b) Huruf kapital sebagai huruf pertama nama orang diberi keterangan tambahan, yaitu:
jika nama jenis atau satuan ukuran ditulis dengan huruf kecil, misalnya mesin diesel,
10 volt, dan 5 ampere.
c) Huruf kapital yang digunakan sebagai nama khas geografi diberi catatan tambahan,
yaitu: (1) istilah geografi bukan nama diri ditulis dengan huruf kecil, misalnya
berlayar ke teluk; (2) nama geografi sebagai nama jenis ditulis dengan huruf kecil,
misalnya, gula jawa.
d) Huruf kapital yang digunakan sebagai nama resmi badan dan dokumen resmi terdapat
catatan tambahan, yaitu jika tidak diikuti nama maka ditulis dengan huruf kecil,
misalnya sebuah republikdan menurut undang-undangyang berbeda dengan Republik
Indonesiadan Undang-Undang Dasar 1945.
e) Penulisan angka untuk menyatakan nilai uang menggunakan spasi antara lambang
dengan angka terdapat catatan tambahan, yaitu: (1) untuk desimal pada nilai mata
uang dolar dinyatakan dengan titik, misalnya $3.50; (2) angka yang
a) Huruf diftong oi ditemukan pada posisi tengah dan posisi akhir dalam sebuah kata,
misalnya boikot dan amboi.
b) Bentuk kh, ng, ny, dansydikelompokkan menjadi gabungan huruf konsonan
c) Penulisan huruf masih tetap mengatur dua macam huruf, yaitu huruf besar atau huruf
kapital dan huruf miring.
d) Tanda garis miring terdapat penggunan tambahan, yaitu tanda garis miring ganda
untuk membatasi.
5. Ejaan PUEBI
Berikut ciri khusus PUEBI yang penulis temukan pada Permendikbud Nomor 50 tahun 2015
a) Pada hurufvokal, untuk pengucapan (pelafalan) kata yang benar digunakan diakritik
yang lebih rinci, yaitu (1) diakritik (é) dilafalkan [e] misalnya Anak-anak bermain di
teras(téras); (2) diakritik (è) dilafalkan [Ɛ] misalnya Kami menonton film seri(sèri);
(3) diakritik (ê) dilafalkan [Ə] misalnya Pertandingan itu berakhir seri(sêri).
b) Pada huruf konsonan terdapat catatan penggunaan huruf qdan x yang lebih rinci,
yaitu: (1) huruf q dan x khusus digunakan untuk nama diri dan keprluan ilmu; (2)
huruf x pada posisi awal kata diucapkan [s].
c) Pada huruf diftong terdapat tambahan yaitu diftong eimisalnya pada akata eigendom,
geiser, dan survei.
d) Pada huruf kapital aturan penggunaan lebih diringkas (pada PUEYD terdapat 16
aturan sedangkan pada PUEBI terdapat 13 aturan) dengan disertai catatan.
e) Pada huruf tebal terdapat pengurangan aturan sehingga hanya dua aturan, yaitu
menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis miring dan menegaskan bagian
karangan seperrti judul buku, bab, atau subbab.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bahasa
persatuan bangsa Indonesia, sudah banyak sejarah yang terjadi di dalam bahasa ini mulai dari
bahasa melayu sdan dampai saat ini. Untuk menjaga eksistensi bahasa Indonesia, telah
diadakan 10 kali kongres bahasa Indonesia yang bertujuan untuk memelihara dan menjaga
eksistensi bahasa Indonesia di dalam perkembangan globalisasi dan modernisasi, dan dari
kongres tersebut juga mendukung perubahan perubahan ejaan bahasa indonesia sampai saat
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sukirman Nurdjan, S. M. (2016). BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI. Makassar: Aksara
Timur.
Sudaryanto, S., Rahayu, A., & Wakhidah, S. (2019). Ejaan van Ophuijsen (1901—1947) dalam Iklan
Tempo Doeloe dan Kebermaknaannya dalam Pengembangan Bahasa Indonesia. Jurnal
Lentera (Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Bahasa Indonesia), 2(2), 154-166.
Mijianti, Y. (2018). PENYEMPURNAAN EJAAN BAHASA INDONESIA. BELAJAR BAHASA: Jurnal Ilmiah
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 3(1).
Repelita, T. (2018). SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA (Ditinjau dari Prespektif Sejarah
Bangsa Indonesia). Jurnal Artefak, 5(1), 45-48.