Anda di halaman 1dari 4

Bahasa mencerminkan identitas suatu bangsa. Dan pula, bahasa pada dasarnya unik.

Bahasa yang satu


tentu berbeda dari bahasa yang lain, serta memiliki ciri khas sendiri sebagai bentuk keunikannya. Begitu
pula bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia juga dinamis, yang berarti terus menghasilkan kosakata baru,
baik melalui penciptaan ataupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing.

Sejarah bahasa Indonesia tidak lepas dari Bahasa Melayu. Ki Hajar Dewantara pernah mengemukakan
gagasannya yang berbunyi: “Yang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ yaitu bahasa Melayu yang sungguh
pun pokoknya berasal dari ‘Melayu Riau’, akan tetapi yang sudah ditambah, diubah atau dikurangi
menurut keperluan zaman dan alam baharu, hingga bahasa itu lalu mudah dipakai oleh rakyat di seluruh
Indonesia; pembaharuan bahasa Melayu hingga menjadi bahasa Indonesia itu harus dilakukan oleh
kaum ahli yang beralam baharu, ialah alam kebangsaan Indonesia”.

bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari berbagai
pelosok Nusantara berkumpul dalam kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang
satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.

Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia
merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia
dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945
karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah
bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari
bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua
franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.

Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan
itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang),
Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka
Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari
berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena
di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan
prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai :

1. Bahasa kebudayaan, yaitu bahasa masyarakat dalam kehidupan dan bersastra.


2. Bahasa perhubungan, yaitu bahasa penghubung antarsuku di Nusantara.
3. Bahasa perdagangan, yaitu bahasa antarpedagang dalam transaksi jual beli baik antarpedagang
dari dalam ataupun antarpedagang dari luar Nusantara.
4. Bahasa resmi kerajaan, yaitu bahasa yang digunakan di lingkungan kerajaan.

Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara
lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-
luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun
(Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang
dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu
bahasa Melayu.

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan
Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh,
berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah
Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di
wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa
perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena
bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.

Melalui hasil pemikiran para tokoh pergerakan pada masa penjajahan Belanda tentang bahasa persatuan
yang sangat diperlukan sebagai sarana komunikasi dan sarana pergaulan dalam kehidupan sehari-hari,
akhirnya dipilih bahasa Melayu dengan pertimbangan bahwa bahasa Melayu telah dikenal dan dipakai
sebagian besar rakyat Nusantara pada saat itu. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional
merupakan usulan dari Mohammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah.
Sponsors Link

Moh. Yamin mengatakan bahwa: “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di
Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan
yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan
menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan”.

Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi
oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari
bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun
dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya
rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit
pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam
perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia,
yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan
kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan
bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan
fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia
dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Penyempurnaan Ejaan Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia bersifat terbuka dalam hal menyerap kata-kata dari bahasa lain, baik itu bahasa
daerah maupun bahasa asing. Oleh karena itu, bahasa Indonesia mengalami banyak pembaruan dan
penyempurnaan terutama dalam ejaannya. Perjalanan ejaan yang telah dialami oleh bahasa Indonesia
meliputi:
 Ejaan Van Ophuijen (1901)

Pada masa penjajahan Belanda, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar. Untuk
memudahkan orang-orang Belanda di Nusantara pada saat itu berkomunikasi, dibuatlah pembakuan
ejaan yang dibuat oleh orang Belanda juga, yaitu Prof. Charles van Ophuijen dan dibantu oleh Engku
Nawawi gelar Sutan Makmur dan Moh. Taib Sultan Ibrahim. Ejaan ini digunakan untuk menuliskan tulisan
Melayu menurut model yang dimengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf Latin dan bunyi
yang mirip dengan tuturan bahasa Belanda, antara lain:

1. Huruf ‘j’ untuk menuliskan bunyi ‘y’, seperti pada kata-


kata jang  (yang), njata (nyata), sajang (sayang).
2. Huruf ‘oe’ untuk menuliskan bunyi ‘u’, seperti pada kata-
kata doeloe  (dulu), itoe  (itu), oemoer (umur).
3. Tanda koma ain untuk menuliskan bunyi sentak dan akhiran ‘k’, seperti pada kata-
kata ma’moer  (makmur), ‘akal (akal), ta’ (tak), pa’ (pak).

 Ejaan Republik/Ejaan Soewandi (19 Maret 1947)

Ejaan Republik ini juga dinamakan ejaan Soewandi yang merupakan Menteri Pendidikan pada masa
ejaan ini diresmikan. Ejaan Republik difungsikan untuk menggantikan ejaan dan menyempurnakan ejaan
sebelumnya, yaitu ejaan Van Ophuijen. Ciri-ciri ejaan ini, yaitu:

1. Huruf oe diganti dengan huruf u seperti pada kata doeloe  menjadi dulu.


2. Bunyi sentak ditulis k  setelah sebelumnya ditulis dengan menambahkan tanda koma ain seperti
pada kata ma’moer  menjadi makmur, dan kata pa’  menjadi pak.
3. Kata ulang boleh disingkat dengan angka 2 seperti kata rumah-rumah, negara-negara.
4. Kata depan di ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya, seperti kata di tempat, di
rumah, di sana.

 Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) (1972)

EYD diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia berdasarkan Putusan Presiden No. 57 Tahun 1972. 
EYD merupakan penyederhanaan serta penyempurnaan dari ejaan sebelumnya, yaitu ejaan
Republik. Hal-hal yang diatur dalam EYD antara lain:

1. Penulisan huruf, termasuk huruf kapital dan huruf miring


2. Penulisan kata
3. Penulisan tanda baca
4. Penulisan singkatan dan akronim
5. Penulisan angka dan lambang bilangan
6. Penulisan unsur serapan

Sponsors Link

 Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) (2015)

EBI diresmikan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Penyempurnaan pada EBI antara lain:
1. Penambahan huruf vokal diftong. Huruf diftong yang pada EYD hanya tiga yaitu ai, au, oi, pada
EBI, huruf diftong ditambah satu yaitu ei seperti pada kata survei
2. Penggunaan huruf kapital pada julukan
3. Penggunaan huruf tebal pada penulisan lema atau sublema dalam kamus dihapuskan

Bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang mudah dibentuk, melainkan bahasa yang dalam
pembentukannya mengalami perjalanan sejarah yang amat panjan. Ini merupakan suatu kebanggaan
bagi kita yang menggunakannya. Bahasa Indonesia juga dikenal unik oleh bangsa-bangsa lain.
Bayangkan saja, begitu banyaknya suku di Indonesia, tetapi hanya bahasa Indonesia yang menjadi
bahasa pemersatunya.

Anda mungkin juga menyukai