Oleh :
Noor Albar
dan
Aramdhan Kodrat Permana
A. PENDAHULUAN
M Syahrur pernah mengatakan bahwa al-Quran sebagai sebuah
teks itu akan selalu tetap dan tidak berubah berbeda dengan
fenomena manusia yang dari masa ke masa akan selalu berubah,
Tsubutun al-Nufus wa harakah al-Muhtawa. Ali Ahmad Said atau yang
populer dengan sebutan Adonis dengan nada yang sama mengatakan
bahwa
al-Nusus
tsabitatun
wa
al-ahwalu
mutagayyiratun.
Dua
mushafi.
Terakhir,
tafsir
maudlui
menjadi
fenomena
yang
tidak
salah
darinyalah
kemudian
Quraish
Shihab
mengembangkan metode tafsir ini dalam bukunya Wawasan alQuran. Ini jika dilihat dari kacamata Sunni-nya. Dari kacamata Syiah
dengan melihat realitas perkembangan tafsir yang ada maka Baqir alShadr muncul seolah mewakili penafsir dari kalangan tersebut.
Dengan konsep maudlui-nya dia mengajak bagaimana tafsir maudlui
harus dijadikan sebuah pijakan serta harus bisa menjadi bahan dialog
antara teks dan realitas. Maka berangkat dari hal tersebutlah ia
kemudian menyebut proyeksi tafsirnya dengan min al-Waqi ila alNash. Lalu disisi manakah letak perbedaan serta persamaan tafsir
maudlui-nya Baqir al-Shadr dengan konseptor jenis tafsir ini? Lalu
apakah contoh aplikasinya sesuai dengan prosedur yang ia berikan
dan tawarkan secara sistematis pada metode maudluinya?
B. TAFSIR MAUDHULI DALAM REALITAS SEJARAH
1. Definisi Tafsir Maudlui
Kata maudlui berasal dari bahasa arab yaitu maudhu yang
merupakanisim
meletakkan,
madhi
mendustakan
wadhaa yang
dan
berarti
membuat-buat.
Arti maudlui yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul
atau topik atau sektor, sehingga tafsir maudlui berarti penjelasan
ayat-ayat
Al-Quran
pembicaraan
tertentu.
yang
Dan
mengenai
satu
judul/topik/sektor
berarti
yang
dengan
metode
tafsir
jenis
ini
adalah
tafsir
yang
tertentu,
dengan
memperhatikan
urutan
tertib
turunnya
diperbandingkannya
dengan
keterangan
berbagai
ilmu
Ibrahim
al-Fayumi,
membagi
metode
ini
menjadi
keseluruhan
dengan
menjelaskan
isi
kandungan
surah
dengan
al-Fayumi,
Quraish
Shihab
mengatakan
masalahnya
merupakan
satu
kesatuan
yang
tidak
terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayatayat al-Quran yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat
atau surat al-Quran dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan
urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayatayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Quran secara utuh tentang
masalah yang dibahas itu. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan
bahwa,
dalam
perkembangan
dua
bentuk
4 Quraish Shihab,
al-Quran
al-Karim.
Sedangkan tafsir
fi
al-Tafsir
al-Maudui:
Dirasah
Manhajiyah
bertambah di awal abad ke 20, baik tematik berdasarkan surah al-Quran maupun
tematik berdasar subyek/topik.
Menurut Dr. Al-Farmawy, pencetus dari metode tafsir ini adalah
Syeh Muhammad Abduh, kemudian ide-ide pokoknya diberikan oleh
Syeh Mahmud Syaltut, lalu diintroduksikan secara kongrit oleh Prof.
Dr. Sayyid Ahmad Kamal al-Kumi. Al-Kumi mengi4entroduksikan
metode tafsir jenis ini dalam bukunya yang berjudul Al-Tafsir alMaudlui. Mengenai tafsir ini al-Kumi, yang selanjutnya dikutip oleh Dr.
Ali Hasan al-Aridl, mengatakan:
Era dimana kita hidup adalah era ilmu dan kebudayaan; era
yang membutuhkan kepada metode mauduI yang dapat
mengantarkan kita untuk sampai kepada suatu maksud dan
hakekat suatu persoalan dengan cara yang paling mudah.
Terlebih-lebih pada masa kita sekarang ini telah banyak
bertaburan debu-debu terhadap hakekat agama-agama,
sehingga tersebar-lah doktrin-doktrin komunisme, atheisme dan
lain-lain, serta langit kehidupan manusia telah dipenuhi oleh
awan kesesatan dan kesamaran. Untuk menghadapi kondisi
yang demikian ini, tidak ada lain kecuali harus dipergunakan
suatu senjata yang kuat, jelas dan mudah, yang
memungkinkan bagi tokoh-tokoh agama untuk membela
telaga-telaga agama dan mempertahankan tiang-tiang
agama. Persoalan itu tidak mungkin bisa diatasi kecuali dengan
metode tafsir madlui yang dapat diterapkan untuk bermacammacam tema dalam al-Quran dan meliputi segala hal. 6
hidayah.
Baqir
al-Shadr
pun
menjadikan
nilai-nilai
ila
al-Nash
sebagai
sebuah
usaha
untuk
menjawab
problematika kemanusiaan.
Baqir al-Shadr secara ringkan menjelaskan bahwa metode tafsir
maudlui adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban alQuran
dengan
cara
mengumpulkan
ayat-ayat
al-Quran
yang
tertentu
selaras
dan
menertibkannya
dengan
sebab-sebab
sesuai
dengan
turunnya,
masa
kemudian
maudlui
tauhidi.
Menurutnya
itu
hanyalah
kajian
kesamaan.
Perbedaannya
mekanisme
pelaksanaannya.
Jika
hanya
al-Maudlui
terletak
adalah
pada
proses
eksplisit
menyebutkan
kesetujuaan
terhadap
aplikasi
mendasar
sebagai
pembuka
tafsir
sebab
itu
mufassir
harus
mampu
mendalami
teks-teks
keagamaan, dalam hal ini salah satunya adalah al-Quran, untuk bisa
membedakan mana yang baik dan tidak dari pada teori-teori yang
berkembang pada saat ini.14
2. Langkah Metodis Tafsir Maudlui
Sebagai seorang mufassir al-Farmawi berhasil membuat sebuah
langkah metodis dalam tafsir maudlui
langkah, yang hal ini belum pernah dilakukan oleh para ulama
sebelumnya;
a) Menetapkan masalah yang akan dibahas, b) menghimpun
seluruh ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tema yang
hendak dikaji, baik makkiyah maupun madaniyyah, c)
menentukan urutan-urutan ayat yang dihimpun itu sesuai
dengan masa turunnya, disertai dengan pengetahuan asbab alNuzulnya, d) menjelaskan munasabah atau korelasi antara ayatayat itu pada masing-masing suratnya dan kaitannya ayat-ayat
itu dengan ayat-ayat setelahnya, e) membuat sistematika
kajian dalam kerangka yang sitematis dan lengkap dengan
14 Baqir al-Shadr, al-Madrasat al-Quraniyyah, hlm. 41-42.
Baginya
penyebutan
mendalami
menetapkan
sebuah
secara
tema
obyektif
masalah
tetapi
bukan
bagaimana
permasalahan
hanya
seorang
yang
akan
dengan
mufassir
menjadi
tema
penafsiran
ditetapkan,
seorang
harus
bahwa
mufassir
maudhuI
tidak
cukup
hanya
10
Yang harus diperhatikan adalah bahwa prinsip min al-Waqi il alnash tidak hanya berkonsentrasi pada al-Waqi dan mengesampingkan
al-Quran sehingga seolah-olah sangat subyektif. Akan tetapi analisa
realitas tersebut diposisikan sebagai pengkayaan modal bagi mufassir
ketika berdialog atau menelusuri ayat-ayat terkait. Pembacaan
realitas bukan untuk mendukung asumsi subektif mufassir tetapi
justru untuk meningkatkan obyektifitas penafsiran karena mufassir
dengan sikapnya mempersilahkan al-Quran untuk berpendapat
sendiri dengan cara mengeluarkan sebanyak banyaknya ayat ayat
yang terkait. Langkah ini tentunya berbeda dengan yang dilakukan
oleh
Hassan
Hanafi
yang
lebih
cenderung
subyektifis
dalam
al-Shadr
menekankan
agar
penafsir
atau
peneliti
11
sini
dibutuhkan
kehati-hatian
dan
ketelitian
peneliti
dalam
dalam
metode
maudhui.
Menurut
Baqir
al-Shadr,
pakaian,
maka
munasabah
adalah
benang
yang
12
al-Nuzul
relasi
pun
dari
menjadi
setiap
ayat.
penting
Karena
setelah
mufassir
al-Quran
sendiri
13
inilah
yang
dimaksud
sebagai
asbab
al-Nuzul
oleh
Baqir
al-
25
adalah
pemilahan
antara
ayat-ayat
makkiyah
dan
pemisahan
ayat-ayat
makkiyah-madaniyyah
ini,
yang
27
14
a. Ayat serta surat yang pendek disertai suara yang sama pada
akhirnya
b. Mengajak pada dasar-dasar keimanan, khususnya pada Allah
serta hari akhir dan juga ilustrasi neraga dan surga.29
c. Dawah tentang penegakan akhlak yang mulia dan konsistensi
dalam melakukan perbuatan yang baik
d. Debat dengan masyarakat musyrik Mekkah
e. Penggunaan kata ayyuha.
Adapun karakteristik dari ayat serta surah madaniyah secara
global mencakup
a. Ayat serta panjangnya surat
b. Perincian bukti-bukti serta dalil dalil terhadap kebenaran agama
c. Debat dengan ahul kitab dan pelarangan terhadap mereka
untuk berlaku berlebih-lebihan dalam agama
d. Perbincangan tentang orang-orang Munafiq
serta
bentuk-
bentuknya
e. Perincian hukum hukum sosial.
Penggunaan teori ini menurut Baqir al-Shadr sangat penting,
contohnya ketika berbicara tentang peperangan, al-Harb. Dengan
menggunakan teori makkiyah-madaniyyah dapat diketahui bahwa
adanya peperangan sangat berhubungan erat dengan suatu sistem
kedaulatan yang itu hanya ada ketika Rasulullah berada di Madinah,
tepatnya setelah Hijrah.30 Oleh sebab itu diketahui bahwa perintah
perang bukan hanya berhubungan tentang agama an sich tetapi juga
kedaulatan.
Dari rangkaian langkah metodis ini nampak bahwa Baqir alShadr menginginkan mufassir agar lebih obyektif dengan tidak serta
meninggalkan horizon-historis mufassir ketika akan memulai aktivitas
penafsiran. Sehingga adagium min al-Waqi ila al-Nash bukanlah usaha
untuk menundukkan teks pada realitas tetapi lebih kepada usaha
dialog. Karena pada akhirnya ketika masuk pada upaya kedua, al29 Terkait hal ini Sayyid Quthb sudah memperbincangkannya panjang lebar
dalam karya monumentalnya Masyahidul Qiyamah.
30 Baqir al-Sadr, al-Madrasat al-Quraniyyah, hlm. 255.
15
16
sebuah
subyek
tertentu
dari
berbagai
masalah
yang
masalah
tersebut,
dengan
jurang
pemisah
di
antara
dalam
posisi
sebagai
seorang
pendengar
pasif
dan
dengan
gagasan-gagasan
dan
pandangan-
17
dengan
meletakkan
metode
warisan
yang
intelektual
kedua.
dan
Tafsir
maudhui
pengalaman
ialah
manusia
ekonomi,
pandangannya
tentang
hukum-hukum
yang
18
menjadi
bab
akhir
dari
karyanya
al-Madrasah
al-
ini
ia
kemudian
menurutnya
adalah
kebabasan
yang
dilandasai
dengan
19
Maka
manusia
disebut
manusia
apabila
ia
mampu
selalu
berupaya
mendialogkkan
nilai
moral
ayat-ayat
20
al-Shadr
yang
berlatarbelakangkan
Syiah
memberikan
21
secara
pembahasannya
maksimal,
tentang
setidaknya
al-Huriyyah
memperlihatkan subyektifitas
fi
tergambar
al-Quran,
yang
dari
masih
Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faramawi,
Abd
al-Hayy.
Al-Bidayah
fi
Tafsir
al-
22
23