Anda di halaman 1dari 24

“Periodesasi Pemberian Tanda Baca Mushaf Al-Qur’an”

Makalah dibuat sebagai salah satu Tugas Mata Kuliah


Ulumul Qur’an 1

Disusun Oleh :
Bunga Eveena Elvaretta (22320105)
Rahmatin Aisyah Yosi (22320108)
Dosen Pembimbing :
Ibu Nur Izzah, MA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


(PIAUD)
INSTITUT ILMU AL- QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
Jl. Ir H. Juanda No.70, Pisangan, Kec. Ciputat Tim., Kota
Tangerang Selatan, Banten 15419
Tahun Ajaran 2022M / 1444
KATA PENGATAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan
tugas penulisan makalah mata kuliah Ulumul Qur’an 1 tepat
waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurah kepada
Rasulullah SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulisan makalah berjudul “Periodesasi Pemberian Tanda Baca
Mushaf Al-Qur’an” dapat diselesaikan karena bantuan banyak
pihak. Kami berharap makalah tentang Periodesasi Pemberian
Tanda Baca Al-Qur’an dapat menjadi referensi bagi pihak yang
tertarik.
Penulis menyadari makalah ini masih memerlukan
penyempurnaan, terutama pada bagian isi. Kami menerima segala
bentuk kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan makalah.
Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami
memohon maaf.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat bermanfaat.Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh

Depok, 15 September 2022


Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
A. Latar Belakang..............................................................................
B. Rumusan Masalah.........................................................................
C. Tujuan Penulisan..........................................................................
BAB II PENJELASAN...................................................................................
A. Sejarah perkembangan dan motivasi pemberian tanda
baca pada masa Ustmani...............................................................
B. Pemberian Tanda I’rab (Naqthul – I’rab)/Titik Pada
Masa Abu Al-Aswad Al-Duali.....................................................
C. Pemberian Tanda Baca Pembeda Huruf (Naqthul-
Ijam)/Harakat Pada Masa Hajjaj Al-Tsaqofi/Nash bin
Ashim............................................................................................
D. Pemberian Harakat Pada Masa Al-Khalil bin Ahmad..................
E. Penyempurnaan Tanda Baca: Tasydid, Saktah, Sajdah,
Nomor Ayat, Imalah, Tashil, Juz, Rubu’ Tsumun........................
BAB III PENUTUP..........................................................................................
A. Kesimpulan ................................................................................
B. Saran...........................................................................................
Daftar Pustaka.......................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar  Belakang
Pada mulanya mushaf Al Qur’an ditulis oleh para sahabat
tidak dilengkapi dengan pencantuman tanda bantu baca. Oleh
karena itu para Sahabat dan para tabi’in adalah orang-orang yang
fasih bahasa arab, yaitu bahasa yang menjadi standar penulisan
Al Qur’an. Oleh karenanya hal ini tidak menimbulkan masalah.
Namun seiring dengan makin tersiarnya agama islam diantara
bangsa-bangsa non arab, timbul kekhawatiran akan terjadinya
kesalahan pembacaan Al Qur’an.
Kesalahan pembacaan ini mempunyai resiko terjadinya
perubahan arti atau pengertian. Oleh karenanya, pada massa
dinasti muawiyah, Abul Aswad Ad Duali berinisiatif untuk
mencantumkan tanda bantu baca yang dituliskan dengan tinta
yang berbeda warnanya dengan tulisan Al Qur’an. Usaha ini
kemudian dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya. Oleh
karena makin lama tanda bantu baca ini makin sama warna
dengan tulisan Al Qur’an, maka justru menyulitkan pembacanya,
sehingga perlu dilakukan penyederhanaan tanpa mengurangi
maksud. Kemudian Al Kalil berinisiatif memperbaharui tanda
bantu baca tersebut. Usaha ini terus berlanjut, tanda bantu baca
mengalami proses penyempurnaan menuju bentuk tanda bantu
baca seperti yang ada pada masa kini.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan dan motivasi
pemberian tanda baca pada masa Utsmani.
2. Proses pemberian tanda baca I’rab (naqthul-I’rab)/
titik pada masa Abu Al Aswad Al Duali.

3. Proses pemberian tanda baca pembeda huruf


(naqthul-I’jam) / harakat pada masa Hajjaj Al-
Tsaqofi/Nash bin Ashim.
4. Proses pemberian harakat pada masa Al-Khalil bin
Ahmad.
5. Proses penyempurnaan tanda baca: Tasydid,
Saktah,Sajadah,Nomor
Ayat,Imalah,Tashil,Juz,Rubu’,Tsumun,dll.

C.Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan dan


motivasi pemberian tanda baca pada masa Utsmani.
2. Untuk mengetahui proses pemberian tanda baca
I’rab (naqthul-I’rab)/ titik pada masa Abu Al
Aswad Al Duali.
3. Untuk mengetahui proses pemberian tanda baca
pembeda huruf (naqthul-I’jam) / harakat pada masa
Hajjaj Al-Tsaqofi/Nash bin Ashim
4. Untuk mengetahui proses pemberian harakat pada
masa Al-Khalil bin Ahmad.
5. Untuk mengetahui proses penyempurnaan tanda
baca: Tasydid, Saktah,Sajadah,Nomor
Ayat,Imalah,Tashil,Juz,Rubu’,Tsumun,dll.
BAB II

PERKEMBANGAN PEMBERIAN TANDA BACA AL-


QUR’AN

A. Sejarah perkembangan dan motivasi pemberian


tanda baca pada masa Ustmani

Setelah panitia penulisan mushaf al-Qur’an yang ditunjuk


dan diawasi langsung oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a.
selesai menunaikan tugasnya, beliau kemudian melakukan
beberapa langkah penting sebelum kemudian mendistribusikan
mushaf-mushaf itu ke beberapa wilayah Islam1. Langkah-langkah
penting itu adalah:
[1] Membacakan naskah final tersebut di hadapan para
sahabat. Ini dimaksudkan sebagai langkah verifikasi, terutama
dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti ‘Umar r.a. 2
[2] Membakar seluruh manuskrip al-Qur’an lain. Sebab
dengan selesainya mushaf resmi tersebut, keberadaan pecahan-
pecahan tulisan al-Qur’an dianggap tidak diperlukan lagi. Dan itu
sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat. Ali bin
Abi Thalib r.a. menggambarkan peristiwa itu dengan
mengatakan, “Demi Allah, dia (‘Utsman) tidak melakukan apa
yang ia lakukan terhadap mushaf-mushaf itu kecuali (ia
melakukannya) di hadapan kami semua3.Setelah melakukan dua
langkah tersebut, ‘Utsman bin ‘Affan r.a kemudian mulai
melakukan pengiriman mushaf al-Qur’an ke beberapa wilayah
Islam. Para ulama Islam sendiri berbeda pendapat tentang jumlah
1
Lihat The History of The Qur’anic Text, hal.105-106.
2
Lihat Tafsir Ibn Katsir 7/450
3
Kitab al-Mashahif, hal. 22 sebagaimana dalam The History of The Qur’anic
Text, hal. 106.
eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada waktu itu.
Al-Zarkasyi misalnya menggambarkan ragam pendapat itu
dengan mengatakan, “Abu ‘Amr al-Dany menyatakan dalam
kitab al-Muqni’.Mayoritas ulama berpandangan bahwa ketika
‘Utsman menuliskan mushaf-mushaf itu ia membuatnya dalam 4
(eksemplar), lalu mengirimkan satu eksemplar ke setiap wilayah:
Kufah, Bashrah dan Syam, lalu menyisakan satu eksemplar di
sisinya. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau menuliskan
sebanyak 7 eksemplar. (Selain yang
telah disebutkan) ia menambahkan untuk Mekkah, Yaman, dan
Bahrain. (Al-Dany) mengatakan: “Pendapat pertamalah yang
paling tepat, dan itu dipegangi para imam”4.

Sementara al-Suyuthi menyebutkan pendapat lain disamping


pendapat diatas yang menurutnya masyhur, bahwa jumlah mushaf
itu ada 5 eksemplar5 Semua naskah itu ditulis di atas kertas,
kecuali naskah yang dikhususkan ‘Utsman bin‘Affan r.a untuk
dirinya yang kemudian dikenal juga dengan al-Mushaf al-
Imam-.Sebagian ulama mengatakan ditulis di atas lembaran kulit
rusa6.Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli al Rasm kemudian
diberi nama sesuai dengan kawasannya.Naskah yang
diperuntukkan untuk Madinah dan Mekkah kemudian dikenal
dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan untuk Kufah
dan Bashrah disebut sebagai Mushaf ‘Iraqy, dan yang dikirim ke
Syam dikenal dengan sebutan Mushaf Syamy7.

4
Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, 1/334.
5
Lihat Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (1/132). Sementara al-A’zhamy
mendukung pendapat Profesor Syauqi
Dhaif bahwa ada 8 eksemplar mushaf telah dibuat. Ia juga mengutip pendapat
al-Ya’qubi, seorang ahli
sejarah Syiah yang berpendapat bahwa jumlah eksemplarnya adalah sembilan.
Lihat juga TheHistory of
The Qur’anic Text, hal.105.
6
Lihat Al-Mushaf al-‘Utsmany, hal.5
7
Lihat Al-Mushaf al-‘Utsmany, hal.5
Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya
yang juga tidak lupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Yaitu
menyertakan seorang qari’ dari kalangan sahabat Nabi saw
bersama dengan mushaf-mushaf tersebut.Tujuannya tentu saja
untuk menuntun kaum muslimin agar dapat membaca mushaf-
mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah kepada
Rasul-Nya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah
mushaf ‘Utsmani tersebut hanya mengandung huruf-huruf
konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik. Tanpa adanya para
qari’ penuntun itu, kesalahan baca sangat mungkin terjadi. Ini
sekaligus menegaskan bahwa pewarisan pembacaan al-Qur’an
yang juga berarti pewarisan al-Qur’an itu sendiri- sepenuhnya
didasarkan pada proses talaqqi, bukan pada realitas rasm yang
tertuang pada lembaran-lembaran mushaf belaka8.
Tentu saja, pasca pendistribusian naskah-naskah mushaf
‘Utsmani tersebut,kaum muslimin telah memiliki sebuah mushaf
rujukan –karena itulah ia disebut sebagai al-mushaf al-imam-.
Sejak saat itu, mulailah upaya-upaya penulisan ulang naskah Al-
Qur’an berdasarkan mushaf ‘Utsmani untuk memenuhi
kebutuhan kaum muslimin akan mushaf al-Qur’an. Dalam kurun
yang cukup panjang, yaitu pasca kodifikasi Khalifah ‘Utsman r.a.
hingga sekarang terdapat banyak perkembangan baru dalam
perbanyakan naskah tersebut.

B. Pemberian Tanda I’rab (Naqthul – I’rab)/Titik Pada Masa


Abu Al-Aswad Al-Duali

Menurut sumber-sumber terpercaya, Amirul Mu‟minin Ali ibn


Abi Thaliblah yang menginstruksikan kepada Abu al-Aswad ad-
Du‟ali untuk merumuskan tanda-tanda pada

8
Lihat Manahil al-‘Irfan, (1/330), dan The History of Qur’anic Text, hal.107.
tulisan. Sasaran pengolahan pertamanya adalah mushaf-mushaf
al-Qur‟an, karena di sinilah letak kekhawatiran salah baca seperti
yang sering terjadi9.
Ada lagi riwayat yang menyebutkan, bahwa sejarah perumusan
tandatanda yang dikerjakan oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali
tersebut terjadi pada permulaan Bani Umayyah di masa
kepemimpinan Mu‟awiyah ibn abi Sufyan (41-60 H/661-683 M).
Ziyad ibn Abihi, seorang gubernur Basrah (55 H), telah meminta
kepada Abu al-Aswad ad-Du‟ali untuk menciptakan syakal yang
berfungsi membuktikan adanya huruf hidup. Diriwayatkan oleh
Abu Abbas: “Bahwa orang yang pertama kali memperkenalkan
tanda titik (i‟jam) ke dalam naskah al-Quran adalah seorang
tabi‟in yang bernama Abu al-Aswad ad-Du‟ali, kemudian
perbaikan diikuti oleh al-Hasan al-Basri, Yahya bin Ya‟mar, dan
Nasr bin Ashim al-Laitsi.”10.
Awalnya Abu al-Aswad ad-Du‟ali tidak mau mengungkapkan
apa saja yang dia pelajari dari Ali ibn Abi Thalib sehingga Ziyad
ibn Abihi mengirimkan direktif yang meminta Abu al-Aswad ad-
Du‟ali untuk mempersiapkan pekerjaan yang akan membantu
orang-orang memahami kitab Allah SWT. Abu al-Aswad ad-
Du‟ali meminta agar dibebaskan dari tugas tersebut. Ziyad ibn
Abihi lalu memberikan kehormatan itu kepada seorang
pengikutnya untuk meneruskan tugas mengikuti cara yang
ditempuh oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali. Akan tetapi, ketika
seorang lelaki itu mendekatinya (Abu al-Aswad ad-Du‟ali) lelaki
itu dengan sengaja (suruhan dari Ziyad ibn Abihi) membuka
suara dan membaca surah at-Taubah ayat ke-3 dengan meng-
kasrah-kan lam menjadi “Rasulihi” membuat Abu al-Aswad ad-
Du‟ali terkejut dan terus-menerus menyalahkannya sambil
berkomentar “Maha suci Allah untuk terlepas dari rasul-Nya”
saat itu juga Abu al-Aswad ad-Du‟ali bergegas menemui Ziyad

9
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 64.
10
D. Sirojuddin AR, Kuliah Seni Kaligrafi Islam, 64.
ibn Abihi. Abu al-Aswad ad-Du‟ali berkata, “Saya telah
menjawab seruan yang Tuan tanyakan dan saya berpikir untuk
segera memulai membuat tanda baca al-Quran, dampingilah saya
oleh seorang sekretaris (juru tulis )“ Ziyad ibn Abihi
menghadirkan 30 juru tulis.Kemudian Abu al-Aswad ad-Du‟ali
memilih salah seorang dari mereka yaitu Abdi al-Qais yang
sesuku dengannya (Abu al-Aswad ad-Du‟ali). Abu al-Aswad-
adDu‟ali memberi isyarat ke Abdi al-Qais11.
”Ambillah al-Quran dan cairan yang berbeda dengan warna
tinta.”
1. Apabila saya (Abu al-Aswad ad-Du‟ali) buka mulutku
(Fathah), buatlah (Abdi al-Qais) satu titik di atas huruf.
2. Apabila saya (Abu al-Aswad ad-Du‟ali) pecahkan mulutku
kebawah (kasrah), buatlah (Abdi al-Qais) satu titik di bawah
huruf.

3. Apabila saya (Abu al-Aswad ad-Du‟ali) kedepankan mulutku


(dhammah), buatlah (Abdi al-Qais) satu titik di depan huruf.
4. Apabila saya ikuti ghunnah, yakni tanwin (an,in,un) dari
harakat-harakat
tersebut, buatkanlah dua titik.
Abu al-Aswad ad-Du‟ali membacakan al-Quran dengan
perlahan-lahan sementara Abd al-Qais menaruh titik, dan setiap
kali Abd al-Qais menamatkan satu lembar Abu al-Aswad ad-
Du‟ali kembali memeriksa sehingga mushaf terisi tanda-tanda
seluruhnya,.Sementara sukun ditinggalkan tanpa tanda12.
Abu al-Aswad ad-Du‟ali berhasil mewariskan sistem penempatan
“titik-titik” tinta berwarna merah berfungsi sebagai syakal yang
menunjukkan pada unsur-unsur kata Arab yang tidak terwakili

11
Kamil al-Baba. Dinamka Kaligrafi Arab, Penj. D. Sirajuddin AR (Kepustakaan
Pesantren LEMKA Sukabumi, 1989) h. 37.
12
Kamil al-Baba. Dinamka Kaligrafi Arab, Penj. D. Sirajuddin AR (Kepustakaan
Pesantren Sukabumi, h. 39.
oleh huruf-huruf.Penempatan titiktitik seperti yang telah
dikemukakan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tanda fathah dilambangkan dengan satu titik di atas huruf ( a ).
2. Tanda dhammah dengan satu titik di tengah kiri huruf ) u ).
3. Tanda kasrah dengan satu titik di bawah huruf ( i ).
4. Tanda tanwin dengan dua atau double titik (an-in-un)13
Hal itu dilakukan oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali hingga ujung
mushaf.

C. Pemberian Tanda Baca Pembeda Huruf (Naqthul-


Ijam)/Harakat Pada Masa Hajjaj Al-Tsaqofi/Nash bin Ashim
Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan
memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur
Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap
‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih
Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab
keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at.14
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu
memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-
i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang
memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-
i’jam15.Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-
i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah
sebagai berikut:

a. untuk membedakan antara (‫ )د‬dengan (‫)ذ‬, (‫ )ر‬dengan (‫)ز‬, (


‫ )ص‬dengan (‫)ض‬, (‫ )ط‬dengan (‫ )ظ‬serta (‫ )ع‬dengan (‫)غ‬, maka
huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik

13
, Ulumu AlQur‟an, (Kairo: Al-Mukhtaru al-Islmi, 1707), h. 59.
14
Wafayat al-A’yan, 2/32.
15
Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal. 2
(al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik
di atasnya (al-i’jam).

b. untuk pasangan (‫ )س‬dan (‫ )ش‬huruf pertama tanpa titik,


sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan
karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’ dan pemberian satu titik saja
diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun.
Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik
berbeda pada huruf (‫)ب‬, (‫)ت‬, (‫)ث‬, (‫ )ن‬dan (‫)ي‬.

‫سشبتثنيجحخفقا‬
c. untuk rangkaian huruf  (‫)ج‬, (‫ )ح‬dan (‫)خ‬,huruf pertama dan
ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.

d. sedangkan pasangan  (‫ )ف‬dan (‫)ق‬, seharusnya jika mengikuti


aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang
kedua diberikan satu titik di atasnya. Hanya saja kaum muslimin
di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas
untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum
muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka
memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk
qaf.

D. Pemberian Harakat Pada Masa Al-Khalil bin Ahmad


Sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H).
Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil
yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk
huruf ya’ kecil dibawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf
waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan men-
double-kan penulisan masing-masing tanda tersebut. Alif yang
dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan warna merah.
Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan
warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba’
di beri tanda iqlab berwarna merah dan sebelum huruf tekak
(halaq) di beri tanda sukun. Nun dan tanwin tidak diberi tanda
apa-apa ketika idgham dan ikhfa. Setiap huruf yang harus dibaca
sukun atau mati diberi tanda sukun dan huruf yang di idghamkan
tidak diberi tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda syaddah.

E. Penyempurnaan Tanda Baca: Tasydid, Saktah, Sajdah,


Nomor Ayat, Imalah, Tashil, Juz, Rubu’ Tsumun.
1. Tanda Baca Tasydid
Orang yang pertama kali membuat tanda tasydid dalam Al-Quran
ialah Al-Kholil bin Ahmad, ia memberikan tanda untuk huruf
yang di syaddah sebuah tanda seperti busur. Tanda baca tasydid
dalam bahasa Arab  disebut juga dengan Syiddah atau Syaddah,
yaitu tanda baca yang menyatakan dua huruf yang sama atau
rangkap. Bentuk lambangnya tanda tasydid seperti angka 3 di
balik ke atas.

2. Tanda Baca Saktah .


Tanda saktah adalah huruf sin kecil di atas.
3. Sajdah
Tanda ‘Sajdah’ terdapat pada ayat-ayat sajadah. Dalam AL-
Qur’an ayat-ayat sajdah ditandai dengan simbol seperti bentuk
sajadah.

4. Imalah
Imalah ditandai dengan titik besar di bawah kata.
5. Tashil
Tashil ditandai dengan titik besar di bawah kata.

6. Nomor Ayat
Ayat merupakan sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam
sebuah surah dalam Al-Qur’an sedangkan surah merupakan
himpunan yang berisi sejumlah ayat Al-Qur’an yang
mempunyai permualaan dan kesudahan. Tertib atau urut ayat-ayat
al-qur’an ini adalah tauqify, ketentuan dari rasululla atas perintah
allah swt. Adapun tanda ayat berbentuk lingkaran bulat sebagai
pemisah ayat dan dengan mencantumkan nomor ayat.
7. Juz , Tsumun, Rubu’
Hal-hal baru yang mulanya tidak disukai para ulama,kemudian
dianggap baik adalah bid’ah penulisan tanda-tanda pada tiap
kepala surah, peletakan tanda yang memisahkan ayat, pembagian
Al-Qur’an menjadi juz-juz, dari juz-juz dibagi lagi
menjadi ahzab (kelompok ayat) dan dari ahzab dibagi lagi
menjadi arba’ (perempatan). Secara Keseluruhan tiap-tiap juz
terbagi menjadi 8 bagian yang disebut “Tsumun” yang artinya 1/8
dalam 1 juz. 
8. Waqaf
Kemudian secara bertahap pula orang-orang mulai meletakan
nama-nama surah dan bilangan ayat, dan rumus-rumus yang
menentukan kepala ayat dan tanda-tanda waqaf. Tanda
waqaf lazim adalah mim( ‫)م‬  ,waqaf mamnu (‫ )ال‬, waqaf ja’iz (‫)ج‬
yang boleh waqaf atau tidak, waqaf ja’iz  tetapi washalnya lebih
utama (‫لي‬hh‫)ص‬, yang ja’iz tetapi waqafnya lebih utama (‫قلي‬ ),
waqaf mu’anaqoh ynag bila telah waqaf pada satu tempat tidak
dibenarkan waqaf ditempat lain diberi tanda(:. .:) selanjutnya
pembuatan tanda juz, tanda hizb dan penyempurnaan-
penyempurnaan lainnya.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1.Setelah panitia penulisan mushaf al-Qur’an yang ditunjuk dan
diawasi langsung oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. selesai
menunaikan tugasnya, beliau kemudian melakukan beberapa
langkah penting sebelum kemudian mendistribusikan mushaf-
mushaf itu ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri
berbeda pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis
dan disebarkan pada waktu itu. Al-Zarkasyi misalnya
menggambarkan ragam pendapat itu dengan mengatakan, “Abu
‘Amr al-Dany menyatakan dalam kitab al-Muqni’.Mayoritas
ulama berpandangan bahwa ketika ‘Utsman menuliskan mushaf-
mushaf itu ia membuatnya dalam 4 (eksemplar), lalu
mengirimkan satu eksemplar ke setiap wilayah: Kufah, Bashrah
dan Syam, lalu menyisakan satu eksemplar di sisinya. Ada pula
yang mengatakan bahwa beliau menuliskan sebanyak 7
eksemplar. (Selain yang telah disebutkan) ia menambahkan untuk
Mekkah, Yaman, dan Bahrain. Semua naskah itu ditulis di atas
kertas, kecuali naskah yang dikhususkan ‘Utsman bin‘Affan r.a
untuk dirinya yang kemudian dikenal juga dengan al-Mushaf al-
Imam-.Sebagian ulama mengatakan ditulis di atas lembaran kulit
rusa..Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli al Rasm kemudian
diberi nama sesuai dengan kawasannya.Naskah yang
diperuntukkan untuk Madinah dan Mekkah kemudian dikenal
dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan untuk Kufah
dan Bashrah disebut sebagai Mushaf ‘Iraqy, dan yang dikirim ke
Syam dikenal dengan sebutan Mushaf Syamy.
Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting
lainnya yang juga tidak lupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan
r.a. Yaitu menyertakan seorang qari’ dari kalangan sahabat Nabi
saw bersama dengan mushaf-mushaf tersebut.Tujuannya tentu
saja untuk menuntun kaum muslimin agar dapat membaca
mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah
kepada Rasul-Nya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-
naskah mushaf ‘Utsmani tersebut hanya mengandung huruf-huruf
konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik.

2. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan, bahwa sejarah


perumusan tandatanda yang dikerjakan oleh Abu al-Aswad ad-
Du‟ali tersebut terjadi pada permulaan Bani Umayyah
di masa kepemimpinan Mu‟awiyah ibn abi Sufyan (41-60 H/661-
683 M). Kemudian Abu al-Aswad ad-Du‟ali memilih salah
seorang dari mereka yaitu Abdi al-Qais yang sesuku dengannya
(Abu al-Aswad ad-Du‟ali) untuk membantunya. Abu al-Aswad-
adDu‟ali memberi isyarat ke Abdi al-Qais.
”Ambillah al-Quran dan cairan yang berbeda dengan warna
tinta.”
1. Apabila saya (Abu al-Aswad ad-Du‟ali) buka mulutku
(Fathah), buatlah (Abdi al-Qais) satu titik di atas huruf.
2. Apabila saya (Abu al-Aswad ad-Du‟ali) pecahkan mulutku
kebawah (kasrah), buatlah (Abdi al-Qais) satu titik di bawah
huruf.
3. Apabila saya (Abu al-Aswad ad-Du‟ali) kedepankan mulutku
(dhammah), buatlah (Abdi al-Qais) satu titik di depan huruf.
4. Apabila saya ikuti ghunnah, yakni tanwin (an,in,un) dari
harakat-harakat
tersebut, buatkanlah dua titik.
Abu al-Aswad ad-Du‟ali berhasil mewariskan sistem penempatan
“titik-titik” tinta berwarna merah berfungsi sebagai syakal yang
menunjukkan pada unsur-unsur kata Arab yang tidak terwakili
oleh huruf-huruf.Penempatan titiktitik seperti yang telah
dikemukakan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tanda fathah dilambangkan dengan satu titik di atas huruf ( a ).
2. Tanda dhammah dengan satu titik di tengah kiri huruf ) u ).
3. Tanda kasrah dengan satu titik di bawah huruf ( i ).
4. Tanda tanwin dengan dua atau double titik (an-in-un)

3. Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan


memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqa. Al-Hajjaj
pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi
ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan
qira’at. Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu
memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-
i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang
memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-
i’jam.Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam
adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah
sebagai berikut:
a. untuk membedakan antara (‫ )د‬dengan (‫)ذ‬, (‫ )ر‬dengan (‫)ز‬, (
‫ )ص‬dengan (‫)ض‬, (‫ )ط‬dengan (‫ )ظ‬serta (‫ )ع‬dengan (‫)غ‬, maka
huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik
(al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik
di atasnya (al-i’jam).

b. untuk pasangan (‫ )س‬dan (‫ )ش‬huruf pertama tanpa titik,


sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan
karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’ dan pemberian satu titik saja
diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun.
Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik
berbeda pada huruf (‫)ب‬, (‫)ت‬, (‫)ث‬, (‫ )ن‬dan (‫)ي‬.

‫سشبتثنيجحخفقا‬
c. untuk rangkaian huruf  (‫)ج‬, (‫ )ح‬dan (‫)خ‬,huruf pertama dan
ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.

d. sedangkan pasangan  (‫ )ف‬dan (‫)ق‬, seharusnya jika mengikuti


aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang
kedua diberikan satu titik di atasnya. Hanya saja kaum muslimin
di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas
untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum
muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka
memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk
qaf.
4. Sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170
H). Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif
kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan
bentuk huruf ya’ kecil dibawahnya dan dhammah dengan bentuk
huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan
men-double-kan penulisan masing-masing tanda tersebut. Alif
yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan warna
merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah
dengan warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum
huruf ba’ di beri tanda iqlab berwarna merah dan sebelum huruf
tekak (halaq) di beri tanda sukun. Nun dan tanwin tidak diberi
tanda apa-apa ketika idgham dan ikhfa. Setiap huruf yang harus
dibaca sukun atau mati diberi tanda sukun dan huruf yang di
idghamkan tidak diberi tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda
syaddah.

5.
 Tanda Baca Tasydid

Orang yang pertama kali membuat tanda tasydid dalam Al-Quran


ialah Al-Kholil bin Ahmad, ia memberikan tanda untuk huruf
yang di syaddah sebuah tanda seperti busur. Tanda baca tasydid
dalam bahasa Arab  disebut juga dengan Syiddah atau Syaddah,
yaitu tanda baca yang menyatakan dua huruf yang sama atau
rangkap. Bentuk lambangnya tanda tasydid seperti angka 3 di
balik ke atas.

 Tanda Baca Saktah .

Tanda saktah adalah huruf sin kecil di atas


 Sajdah
Tanda ‘Sajdah’ terdapat pada ayat-ayat sajadah. Dalam AL-
Qur’an ayat-ayat sajdah ditandai dengan simbol seperti bentuk
sajadah.
 Imalah

Imalah ditandai dengan titik besar di bawah kata.


 Tashil
Tashil ditandai dengan titik besar di bawah kata.
 Nomor Ayat
Adapun tanda ayat berbentuk lingkaran bulat sebagai pemisah
ayat dan dengan mencantumkan nomor ayat.
 Juz , Tsumun, Rubu’
Secara Keseluruhan tiap-tiap juz terbagi menjadi 8 bagian yang
disebut “Tsumun” yang artinya 1/8 dalam 1 juz. 
 Waqaf

Kemudian secara bertahap pula orang-orang mulai meletakan


nama-nama surah dan bilangan ayat, dan rumus-rumus yang
menentukan kepala ayat dan tanda-tanda waqaf. Tanda
waqaf lazim adalah mim( ‫)م‬  ,waqaf mamnu (‫ )ال‬, waqaf ja’iz (‫)ج‬
yang boleh waqaf atau tidak, waqaf ja’iz  tetapi washalnya lebih
utama (‫لي‬hh‫)ص‬, yang ja’iz tetapi waqafnya lebih utama (‫قلي‬ ),
waqaf mu’anaqoh ynag bila telah waqaf pada satu tempat tidak
dibenarkan waqaf ditempat lain diberi tanda(:. .:) selanjutnya
pembuatan tanda juz, tanda hizb dan penyempurnaan-
penyempurnaan lainnya.
B. SARAN
Tentunya penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan
makalah diatas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari
kata sempurna.Adapun nantinya penulis akan segera
melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan
menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang
bisa membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
AL MURABBI Volume 2, Nomor 2, Januari 2016 ISSN 2406-
775X

Sumber dari Internet


https://hahuwa.blogspot.com/2018/05/sejarah-pemberian-tanda-
baca-titik.html#:~:text=tanda%20waqaf.%20Tanda-,waqaf,-lazim
%20adalah%20mim
https://www.republika.co.id/berita/33026/sejarah-pemberian-
tanda-baca-dan-tajwid#:~:text=tak%20bisa
%20dibayangkan-,bagaimana,-sulitnya%20membaca%20Alquran
https://islami.co/sejarah-pemberian-titik-dan-harakat-pada-huruf-
al-quran/#:~:text=yang%20kedua%20diabaikan.-,Sedangkan,-
pasangan%20fa%E2%80%99

Anda mungkin juga menyukai