Anda di halaman 1dari 32

Peter Kasenda

Drijarkara; Imam yang Merintis Studi Filsafat

Nama Drijarkara terukir di depan tembok Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara,


sebuah perguruan tinggi yang berlokasi di Jakarta Pusat. Sebuah lembaga filsafat
pendidikan yang dirintis oleh Sarekat Yesus dan Ordo Fratrum Minorum dengan
dukungan Keuskupan Agung Jakarta. Pendapat-pendapatnya dikutip banyak orang,
terutama ketika orang berbicara tentang pemikiran spekulatif itu, sebuah bidang ilmu
yang dianggap tidak praktis. Memang ilmu filsafat pernah menjadi ilmu yang universal,
payung segala ilmu positif. Tetapi ilmu-ilmu positif makin berkembang, makin
tersepesialisasi, selaras dengan pragmatisme kehidupan manusia. Ilmu filsafat pun
berkembang sebagai salah satu disiplin ilmu. Spekulasi tentang manusia kurang
mendukung sikap pragmatis, primum vivere deinde philosophari. Perkembangan ini tidak
merugikan filsafat, melainkan makin memberi ruang bagi ilmu filsafat memainkan peran
yang sebenarnya menangani pertanyaan-pertanyaan yang tak tersentuh oleh ilmu-ilmui
positif seperti pertanyaan tentang apa siapanya manusia (antropologi). apa siapanya ilmu
pengetahuan (epistemologi), apa siapanya alam semesta (kosmologi) dan apa siapanya
keberadaan (ontologi).

Lebih dari tiga puluh tahun lalu, Drijarkara mempertanyakan apa ada orang yang
mau belajar filsafat di Indonesia? Tiga puluh tahun kemudian, keraguan itu terjawab
dengan kenyataan bahwa semakin banyaknya analisis filsafat dipakai dalam memberi
penjelasan masalah. Satu dasawarsa terakhir ini semakin banyak orang Indonesia yang
menaruh minat terhadap analisis filsafat, terutama kalangan muda. Ada kecenderungan
orang memakai disiplin ilmu filsafat untuk mempertajam disiplin ilmu positip (ekonomi.
sosiologi, kedokteran dll). Filsafat lebih merupakan metode pendekatan daripada gudang
jawaban. Filsafat mau mendidik manusia untuk mendekati masalah–masalah yang dasar
yang dihadapinya secara terbuka, sistimatis, kritis dan tak berdasarkan apriori, atau
prasangka, dogmatis, dan ideologis, melainkan secara rasional dan argumentatif. Apa
yang berkembang kemudian memang tak bisa lepas dari jasa Nicolas Drijarkara untuk
menjawab tentang kerinduan adanya pengembangan studi ilmu filsafat. Berkat Drijarkara
ilmu filsafat di Indonesia bukan sebagai enklaf milik segelintir orang, melainkan menjadi
bagian dari kehidupan manusia. Filsafat yang menjadi hidupnya itu mendorong dia untuk
gigih berusaha menyadarkan masyarakat, bahwa filsafat adalah soal kedalaman hidup,
hidup yang bernas; dan kedalaman hidup itu merupakan suatu berlian terpendam yang
dmiliki bangsa Indonesia.1 Warisan karyanya terserak dalam 31 karangan dan 7 tulisan
mengenai Pancasila. Drijakara memang tidak pernah menulis menulis buku dalam arti
yang sebenarnya, kecuali disertasinya. Tulisannya yang paling panjang dan dilengkapi
dengan catatan-catatan kaki ialah pidato inagurasinya yang diucapkan pada peresmian

1
St Sularto, “ 75 Tahun Kelehiran Drijarkara - Yang Bertanya dan Memberi Makna , “Kompas, 13 Juli
1988 dan St Sularto, “Almarhum N Drijarkara 25 Tahun yang lalu, “Kompas, 11 Februari 1992 serta
St.Sularto, “25 Tahun STF Drijarkara “, Kompas, 12 Febaruari 1994.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 1
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

penerimaan jabatan guru besar luar biasa dalam ilmu filfasat pada Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia pada tanggal 30 Juni 1962 dengan judul “Sosialitas Sebagai
Eksistensial“. Namun tidak seorangpun menyangsikan karangan-karangan Drijarkara
mempunyai kadar filosofis yang mantap. Tulisan-tulisan yang ditulis lebih dari tiga puluh
tahun masih tetap aktual, orsinal dan mendalam. Tulisan-tulisannya itu merupakan
sumbangan penting bagi khanazah pustaka filsafat Indonesia aseli modern.2

Penggunaan nama Drijarkara pada Sekolah Tinggi Filsafat tersebut bukan berarti
bahwa lembaga pendidikan filsafat tersebut didirikan oleh Drijarkara atau karena
mengembangkan ajaran-ajarannya. Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara tidak seperti
Sekolah Frankfurt di Jerman atau Perguruan Taman Siswa. Drijarkara memang tidak
membangun sistem filsafat baru dan memang bukan itu yang diinginkan. Yang ingin
disajikan ialah suatu cara berpikir, suatu metode berfilsafat sebagai kegiatan manusia
yang hakiki dan terus-menerus. Alasan penggunaan nama Drijarkara bisa ditelusuri pada
kata sambutan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara dalam merayakan sewindu
berdirinya Sekolah Tinggi Filsafat tersebut. Dalam satu nafas dikemukakan olehnya
keprihatinan dasariah seorang yaitu Drijarkara, yang tak henti-hentinya berpikir secara
mendalam, kritis, kreatif, menganalisis latar belakang suatu masalah, mengungkapkan
pengandaian-pengandaian dasar, melihat implikasi–implikasi lebih lanjut, mengambil
sikap terhadap ideologi –ideologi, membentuk penilaian sendiri, dengan tak segan-segan
mengumuli masalah-masalah yang pernah direnungkan oleh pemikir-pemikir besar umat
manusia, mencoba mendalami apa yang hidup di lingkungan kebudayaan sendiri,
berusaha melihat, menghadapi dan mendekati masalah-masalah manusia dan masyarakat
di dalam gejolak zaman di mana ia sendiri ikut terlibat dan tidak sekedar sebagai
penonton ….itulah yang ingin diteruskan oleh Sekolah Tinggi Filsafat, yang ditandai
dengan nama Drijarkara.3

Masa Kecil
Nicolas Drijarkara dilahirkan pada tanggal 13 Juni 1913 di daerah pegunungan
Menoreh Di desa Kedunggubah, kurang lebih 8 km sebelah timur Purworejo, Kedu, Jawa
Tengah. Ia diberi nama Suhirman tetapi biasanya dipanggil Djentu (bahasa Jawa yang
berarti berbadan kekar dan gemuk). Dia dilahirkan sebagai anak bungsu dari keluarga
Atma Sendjaja. Ia mempunyai seorang kakak laki-laki dan sedangkan kakak yang
perempuan ada dua orang .

Sebagai seorang anak yang dibesarkan di tengah kebudayaan Jawa, dia mewarisi
sifat halus yang menjadi inti sari kebudayaan masyarakat Jawa. Hal ini tercermin dalam
cara bergaul Drijarkara yang sopan, ramah dan akrab, dari cara mengungkapkan gagasan-
gagasannya. Cara sedemikian rupa sehingga sekurang-kurangnya tidak ada yang
mengeluh. Kedekatannya dengan akar kebudayaannya telah mendorongnya untuk

2
F.X. Danuwinata SJ, “ Prof. N. Drijarkara SJ Pemikir Yang Terlibat Penuh Dalam Perjuangan
Bangsanya ,” A. Budi Susanto SJ (ed), Harta dan Surga – Perziahaan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa
Indonesia modern, (Yogyakarta : Kanisius , 1990), hal. 287 – 307.
3
Ibid.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 2
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

memperdalam pengetahuannya tentang Sastra Klasik Jawa dan menjadi warna dominan
dalam pemikiran –pemikian filosofisnya.4

Djentu masuk Volksschool tetapi kemudian pindah Vervolgschool di Cangkrep,


yang diteruskan dengan Hollands Indlanse School di Purworedjo dan Malang. Dari
rumahnya ke Cangkrep jaraknya ada sekitar 5 km, sedangkan ke Purworedjo ada sekitar 8
km. Kesemuanya harus ditempuhnya dengan berjalan kaki. Ketika masih tinggal di desa
Djentu sering membantu orang tuanya menyiram tanaman sirih merupakan tanaman
pokok di desa Kedunggubah. Wijasendjaya lurah desa Kedunggubah, paman Djentu
membantu membiayai sekolahnya.

Pada tahun l929, Djentu masuk Seminari Menengah, sebuah lembaga pendidikan
khusus calon Imam Katolik, setingkat SMP dan SMA atau Gymnasium A. Ketika berada
di kelas 4 Seminari Menengah (setingkat dengan kelas 1 SMA), Djentu menciptakan
nama majalah seminari “Aquila“ yang berarti “Garuda” yang sekaligus merupakan
akronim dari “ Augeamus Quam Impensissime Landem Altesoimi “. Tulisan dalam bahasa
Latin itu kalau diterjemahkan dalam bahasa Latin kira-kira artinya “ Marilah kita sekuat
tenaga menambah keluruhan Yang Mahatinggi “. Tahun berikutnya ia memenangkan
perlombaan untuk menterjemahkan kata-kata Latin “Salus Vestra Ego Sum“ ke dalam
bahasa Jawa. Kata–kata Latin itu diterjemahkan menjadi “Ija Ingsun Karahajonira“
yang berarti “Akulah Keselamatanmu“ sampai sekarang ditulis di bawah patung Hati
Kudus di muka gereja Pugeran di Yogyakarta. Pada saat bersamaan ia mengarang
sandiwara dalam bahasa Belanda dengan judul “Sutanta “. Naskah sandiwara itu diterima
baik oleh guru kesusasteraan bahasa Belanda dan malah pernah dipentaskan. Djentu
mengeyam pendidikan di seminari menengah itu selama 6 tahun. Ia selesai pada tahun
l935.5

Kemudian Drijarkara melanjutkan jenjang pendidikannya ke Novisiat Serikat


Yesus di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah. Sebuah tempat penggemblengan dasar bagi
seorang yang mau menginternalisasi semangat dan cara hidup serta spiritualitas tarekat
Sarekat Yesus. Ia mendalami Ascetika (kehidupan rohani) selama dua tahun dan sisanya
satu tahun dihabiskan untuk mempelajari humaniora (bahasa Latin dan Yunani Kuno)
sebagai propedeusis untuk filsafat. Setelah tiga tahun berada di sana di Girisonta,
Drijarkara dipercayakan sebagai bidel semacam ketua angkatan. Ketika itu Drijakara
satu-satunya calon Imam pribumi di tengah enam orang lainnya yang semuanya dari
negeri kincir angin itu.

Pada tahun 1939 Drijarkara melanjutkan studi filsafat selama tiga tahun pada
Sekolah Tinggi Filsafat (Ignantius Collge) di Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studi
filsafat, Driyarkara mengajar bahasa Latin selama 1 tahun. Sekitar tahun l942–l943
Drijarkara belajar lagi untuk memperluas pengetahuan filsafat, agama dan kebudayaan.
Selama masa pendudukan Jepang sampai awal-awal proklamasi kemerdekaan (tahun
1946) Drijarkara menjadi dosen filsafat pada Seminari Tinggi, Yogyakarta. Kendati

4
B.B. Triamoko SJ “Biografi Singkat“ dalam Sema – STF Drijarkara, Bunga Rampai Mengenang Prof.
Dr. Drijarkara SJ dan Pemikiran Filosofisnya, ( Jakarta : Senat Mahasiswa 1988 ), hal. .5 – 11 .
5
FX Danuwinata SJ, op.cit.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 3
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Drijarkara hanya seorang frater Serikat Yesus yang dianggap masih dalam tahap
pendidikan sudah mendapat tugas mengajar pada Seminari Tinggi antara tahun l943–
l946 untuk mengisi kekosongan karena tenaga-tenaga asing yang ditahan. Kenyataan ini
merupakan sebuah pengakuan resmi terhadap kemampuan Drijarkara. Mgr. Leo Soekoto
SJ almarhum (Uskup Agung Jakarta) yang menjadi salah satu muridnya, terkesan dengan
kebiasaan Drijarkara untuk setiap kali selesai memberi kuliah, Drijarkara menyobek-
nyobek bahan yang digunakan untuk mengajar. Dengan demikian Drijarkara selalu
didorong untuk berpikir terus dan menyusun kembali gagasan-gagasannya. Dalam
persiapan untuk ditabiskan menjadi Imam Katolik, Drijarkara banyak belajar teologi
sendiri. Pemberian izin pada Drijarkara untuk melakukan studi pribadi dalam teologi,
merupakan sesuatu hal yang tidak lazim, meskipun benar juga bahwa ketika itu adalah
waktu pancaroba bagi lembaga-lembaga yang gerejani.6

Gereja dan Politik


Perang Dunia II terutama Perang Pasifik sangat mempengaruhi renungan–
renungan Drijarkara. Sebagai rohaniawan dalam Gereja Katolik di Indonesia yang pada
waktu itu masih mengikuti pola-pola pendidikan gaya lama, di mana pandangan-
pandangan teologis masih cukup tradisional dan di mana peranan missionaris-missionaris
berkebangsaan Belanda masih sangat besar. Drijarkara mengalami pergumulan batin
yang tidak selalu mudah. Ia berkeyakinan bahwa seharusnya orang Belanda sudah jenuh
dengan situasi lama. Ia mengharapkan agar dari timbul Asia Raya dan Indonesia Raya
yang tentram dan sejahtera . Indonesia dibayangkan Drijarkara akan muncul dari perang
ini kendati ia tidak mengetahui bagaimana tatanan masyarakat dan sistim pendidikannya.
Ia sendiri mengaku banyak berkhayal mengenai hal ini. Pada awal tahun l943 ia membuat
catatan yang menyatakan tidaklah jelas siapa yang akan muncul sebagai pemenang
dalam Perang Pasifik itu. Drijarkara melihat secara jelas bahwa keseganan orang Timur
terhadap orang Belanda telah menjadi pudar untuk selama-lamanya.7

Pecahnya Perang Pasifik diawali dengan pengeboman Jepang terhadap Pearl


Harbour pada tanggal 7 Desember 1941. Dalam waktu yang sangat singkat Jepang
menduduki seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara. Di bulan Maret 1942 dalam waktu
satu minggu saja Jepang telah menduduki seluruh Jawa, mengusir Belanda dan berhasil
mengambil kontrol atas wilayah Hindia Belanda ini. Masa pendudukan Jepang di
Indonesia merupakan cobaan bagi Gereja Katolik di Indonesia yang mana ketika itu
semua misionaris Katolik Belanda dimasukkan oleh penguasa baru ke dalam kamp-kamp
tawanan. Dengan sejumlah pastor pribumi yang tak lebih dari dari sejumlah hitungan jari
manusia merupakan tantangan bagi Uskup Agung pertama pribumi Mgr. Soegijopranata
SJ untuk memelihara kehidupan jemaah Katolik di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya.
Uskup Agung Semarang ini terkenal gigih dalam mempertahankan gambaran bahwa
Gereja Katolik Indonesia bukanlah sekedar ‘boneka‘ (para misionaris) Belanda. Kendati
tidak selalu berhasil. Mgr. Soegijopranata berusaha kuat mempertahankan harta milik dan
bangunan milik misi Katolik yang akan direbut oleh penguasa baru ini. Satu-satunya
alasan dan baik yang sering dia pertahankan yaitu bahwa Gereja Katolik adalah sebuah
6
B.B. Triatmoko SJ, op.cit.
7
F.X. Danuwinata SJ, op.cit.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 4
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

lembaga ‘supra-nasional’. Bahkan dalam membela ‘kepentingan’ Gereja Katolik


berhadapan dengan pihak militer Jepang, tidak jarang dia sampai berani mengatakan
“Langkahi mayatku dahulu sebelum mengambil alih harta milik Gereja ini “. Nampaknya
bahwa pemerintah militer Jepang dalam masa pendudukan Jepang berusaha keras untuk
menghentikan terlaksananya pendidikan bagi para pemuda pribumi untuk menjadi Imam.8

Setelah pemerintah Hindia Belanda ambruk. Gereja Katolik di Indonesia


menghadapi tantangan yang sangat serius dengan adanya anggapan bahwa agama Katolik
adalah agama orang Barat, orang asing, dan seolah-olah orang Katolik dan Nasrani pada
umumnya adalah dari sendirinya kaki tangan musuh, kaum penjajah. Gereja Katolik
harus bisa membuktikan bahwa umat Katolik justru karena Katolik adalah patriot –patriot
yang sejati. Sekarang hal ini dianggap lumrah, taken for granted, tetapi pada ketika itu
hal tersebut masih harus diperjuangkan harfiah mati-matian. Untunglah umat awam
sangat paham dan bersonansi penuh dengan Uskup Agung Mgr. Soegijopranata. Dan
felix culpa (hal negatif tetapi menguntungkan), ketidakhadiran misionaris-misionaris dan
biarawan-biarawan asing sangat menolong dalam proses pelurusan pengertian salah
kaprah tersebut. Dan itu dalam suasana dengan yang tidak menyukai kaum Nasrani yang
seagama dengan musuh-musuh para penguasa baru serta pendukung pendukungnya yang
dapat dikatakan 90 persen penduduk.9

Menjelang hari Proklamasi Kemerdekaan ditulisnya bahwa di satu pihak


Drijarkara sangat mendambakan perdamaian tetapi di lain pihak ia juga cemas jangan-
jangan perdamaian akan berarti hancurnya kehidupan nasional bangsa Indonesia.
Beberapa hari sesudah Proklamasi Kemerdekaan dengan tegas Drijarkara menulis bahwa
tidak seorangpun boleh merampas kemerdekaan yang telah diperoleh bangsa Indonesia.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia memang bukan pilihan rakyat (melainkan
bentukan penguasa baru), tetapi yang jelas mereka menyuarakan keinginan bangsa
Indonesia dan didukung bangsa Indonesia. Drijarkara menandaskan bahwa bangsa
Indonesia tidak mau lagi diperintah oleh bangsa lain. 10

Ketika Proklamasi Kemerdekaan, Mgr. Albertus Soegijopranata telah siap dengan


Bendera Merah Putih di tangan untuk dikibarkan di muka barisan estafet guna
merealisasikan Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Seakan-akan Mgr.
Albertus Soegijopranata SJ berdiri di muka barisan estafet dan mengumandangkan aba-
abanya: “Saudara–saudara, anak-anakku sekalian, jangan jadi penonton, tetapi menjadi
pelaku. Jangan ada yang absen pada saat-saat yang menentukan ini. Jangan sampai
nasibmu dibicarakan tanpa kamu hadir di antara mereka. Maka dari itu mari semua lari.
AYO START!” Dan berlarilah barisan kecil terdiri dari umat Katolik besama-sama dengan
massa guna merealisir Proklamasi Kemerdekaan. Barisan kecil, terdiri dari kader-kader
lulusan Muntilan dan umat Katolik seluruhnya. Gereja Katolik hadir di barisan depan.
Pada lini ke dua tidak absen. Di garis belakang diwakili. Dan kehadiran Gereja Katolik
ini berlangsung selama Agresi Militer Pertama (1947) dan Agresi Militer Kedua (1948),
8
A. Budi Susanto SJ, “ Mgr. Soegijo dan Awal Masa Perjuangan Republik, “ dalam A. Budi Susanto (ed),
1990, op. cit., hal. 147 – 160 .
9
J.B. Mangunwijaya Pr, Mengenang Seorang Gerejawan yang Besar, “ dalam A. Budi Susanto SJ (ed),
op.cit., hal.165 – 191 .
10
F.X. Danuwinata SJ, dalam A. Budi Susanto SJ (ed), op.cit .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 5
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sampai pada Pengakuan Kedaulatan. Gereja Katolik hadir ketika bangsa Indonesia
mempertahankan kemerdekaan yang ingin direbut kembali oleh penguasa lama.
Keputusan yang berani ini telah menghadirkan Gereja Katolik di tengah masyarakat,
sehingga warga Gereja Katolik diterima sebagai warga negara sama dengan warga negara
lainnya, tidak dianggap sebagai warga klas dua.11

Pada tanggal 6 Januari l947 Mgr. Albertus Soegijopranoto mentabhiskan Nicolas


Drijarkara sebagai Imam Katolik. Adanya Persetujuan Linggarjati bulan Maret l947
menyebabkan Mgr. Soegijopranata mengira bahwa sengketa antara Republik Indonesia
dan Kerajaan Belanda pada prinsipnya sudah bisa diatasi sehingga Mgr. Soegijopranata
bersama dengan pimpinan Serikat Yesus menugaskan Drijakara (yang ketika itu sudah
mengajar selama 4 tahun tetapi tidak mempunyai gelar) untuk menyelesaikan studi
teologinya di Maastricht, Negeri Belanda dengan tujuan agar Drijarakra memperoleh
gelar. Penugasan yang diberikan kepada Drijarkara untuk melanjutkan studi di Negeri
Belanda diterima dengan berat hati. Hanya demi ketaatan kepada pembesar gerejani,
Drijarkara menerima penugasan itu. Drijarkara tetap berharap seandainya nanti pulang ke
Indonesia ia tidak langsung dari negeri kincir angin itu .

Drijarkara berangkat dari Jakarta menuju Belanda dengan kapal laut pada tanggal
24 Juli l947. Tiga hari setelah Belanda melancarkan Agresi Militer I yang mana telah
menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia. Pada tanggal 30 Juli 1947 Pemerintah India
dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah Indonesia segera dimasukan
dalam daftar acara Dewan Keamanan PBB. Permintaan itu diterima baik dan pada
tanggal 31 Juli dimasukan sebagai acara pembicaraan Dewan Keamanan. Tanggal 1
Agustus 1947 Dewan Keamanan memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah
pihak, yang dimulai pada tanggal 4 Agustus 1947. Ironisnya Drijarkara menginjak
kakinya di bumi Negeri Belanda tepat pada tanggal 17 Agustus l947, hari di mana bangsa
Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang kedua.“Bagaimana mungkin?“ tulis
Drijarkara dalam catatan hariannya. Sementara itu ketika ia mendengar bahwa pada
tanggal 21 Juli l947 “perang kolonial pecah“ Drijarakara menulis bahwa orang orang
Belanda lebih bicara tentang “aksi polisionil“, di Jakarta orang bicara tentang “aksi
militer“. Terserahlah. Hanya saja Drijarkara tetap tidak menilai itu semua kecuali
Drijarkara menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Belanda merupakan tindakan
yang picik dan bodoh. Drijarkara mengakui bahwa Belanda memiliki kekuatan militer
diatas apa yang dimiliki oleh TNI yang hanya bermodal senjata seadanya, tetapi Belanda
telah melupakan bahwa perbuatannya telah mengobarkan kebencian dan kepahitan yang
mendalam dan pasti akan memenuhi hati bangsa Indonesia. Drijarkara tidak bisa
membayangkan bagaimana jurang ini akan terjembatani di kemudian hari? Ketika terjadi
Agresi Belanda I pada tahun 1947 tersebut, Republik Indonesia kehilangan lebih dari
separuh daerah Jawa. Dari 46.000 orang Katolik di Jawa lebih dari 40.000 orang toh ikut
mengungsi ke daerah-daerah yang masih dkuasai Republik.12

11
Justinus Cardinal Darmoyuwono Pr, “ Mereka-mereka yang mewarnai Perkembangan dan Perwujudan
Gereja Indonesia, “ dalam A. Budi Susanto SJ (ed), op.cit., hal. 193 – 197 .
12
F.X. Danuwinata SJ, dalam A. Budi Susanto SJ (ed), op.cit.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 6
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Agresi Militer Belanda tersebut berakhir dengan ditandatangani oleh kedua belah
pihak tentang persetujuan gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik yang telah disetujui
bersama dengan disaksikan oleh Komisi Tiga Negara. Persetujuan tersebut dilakukan
diatas kapal US Renville milik Angkatan Laut Amerika Serikat pada tanggal 17 Januari
1948. Sementara itu, pihak Belanda terus bergerak maju dengan cara membentuk negara-
negara federal di wilayah-wilayah yang telah direbutnya tetapi hanya memperoleh sedikit
keberhasilan. Pada bulan Maret 1948 van Mook mengumumkan pembentukan suatu
pemerintahan sementara untuk Indonesia yang berbentuk federal dengan dirinya
bertindak sebagai presiden. Pada bulan Juli pihak Belanda membentuk Majelis
Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federale Overleg) yang terdiri dari para
pemimpin negara-negara federal. Mereka bermaksud membentuk suatu Negara Indonesia
Serikat yang berbentuk federal dengan atau tanpa persetujuan Republik pada akhir tahun
itu. Akan tetapi, di dalam negara-negara federal tersebut terdapat perasaan pro-Republik
yang begitu besar di kalangan elite dan dukungan tidak begitu besar terhadap federalisme
di kalangan rakyat. Oleh karena itu, pihak Belanda melangkah lebih jauh dalam
mempertimbangkan suatu penyelesaian terakhir secara militer. Pada tanggal 18 Desember
1948, Belanda melakukan aksi militernya yang kedua dan Yogyakarta ibukota RI berhasil
direbut dan diduduki dengan menggunakan pasukan payung. Sejumlah pemimpin politik
yang tidak menyingkir ditawan oleh tentara Belanda Jendral Soedirman berserta pasukan-
pasukannya mengundurkan diri dari kota Yogyakarta dan memimpin perang gerilya
secara total terhadap tentara Belanda.13

Sehubungan dengan serangan Belanda memasuki Yogyakarta pada tanggal l8


Desember l948, Drijarkara menyatakan buah pikirannya dalam catatan hariannya bahwa
kendati organisasi yang berupa Republik Indonesia dapat dilenyapkan, wilayahnya dapat
dijadikan lain, tetapi semangat Republik Indonesia tidak akan pernah padam dan selalu
berkobar di hati sanubari bangsa Indonesia. Cepat atau lambat Indonesia Merdeka akan
direbut kembali dari tangan pemerintah Belanda. Pada suatu saat rel akan berbalik.
Merdeka Indonesia.

Catatan-catatan macam ini diketemukan dimana-mana dalam buku harian


Drijakara. Dari situ jelas bahwa Drijarkara adalah orang yang sungguh mencintai tanah
airnya menginginkan kemerdekaan bagi bangsanya dan terus mengikuti perkembangan
perjuangan rakyatnya dalam mempertahankan kemerdekaan, meskipun ini semua
terpaksa dialami di Negeri Belanda, sebuah negeri menjadi sumber segala rintangan
kemerdekaan bangsanya. Tetapi justru situasi yang serba sulit ini, lingkungan yang
berlawanan dan suasana yang yang tidak mendukung sama sekali, memaksa Drijarkara
mempertanggung jawabkan pendapat–pendapat dan sikap-sikap yang ia ambil, dengan
argumen-argumen dan pemikiran-pemikiran yang dapat di pahami oleh orang lain.
Drijarkara berusaha keras menjaga keseimbangan intelektual sehingga tidak perlu
memperkosa pandangannya sendiri dan di lain pihak tidak memaksakan pandangannya
kepada orang lain. Ia dapat bergerak secara tenang di antara orang-orang yang
berpandangan lain dengan dia sendiri. Meskipun secara aktif ia sangat terlibat dalam
permasalahan yang dihadapi oleh bangsanya, Drijarkara tidak mau sekedar larut oleh

13
M.C. Riklefs, Sejarah Indonesia Modern, ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985 ), hal. 336
– 347.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 7
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

emosi belaka. Drijarkara dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa dirinya tidak
membenci pelaku-pelakunya melainkan sikap menjajah yang mendasar tindakan-
tindakan mereka.14

Buah Pikiran dan Ekspresi


Selama masa pendudukan Jepang dan awal-awal kemerdekaan, Drijarkara telah
menunjukkan kelebihannya dengan membaca lebih banyak seluruh aliran
eksistensialisme ketimbang misionaris asing yang bertugas di Nusantara. Karangan
Heidegger, Carl Jaspers, Jean Paul Sartre, Gabriel Marcel, Le Sense, Lavelle, Merleau-
Ponty, Albert Camus sudah dibacanya. Demikian halnya tokoh-tokoh yang
menggabungkan minat terhadap sejarah dengan dialektika perkembangan pikiran, dari
cara Hegel sampai dengan Blondel juga sudah dibacanya.15

Ketika di Negeri Belanda Drijarkara menunjukkan minat besar terhadap para


pengarang yang sedang top di kalangan Gereja Katolik saat itu seperti Sertillanges,
Danieelou, de Lubac, Newman, Blondel, Rousselot, Hans Urs von Balthasar, Karl
Rahner, Hugo Rahner dan pengarang-pengarang sejenisnya. Profesor di Maastricht di
mana Drijarkara belajar teologi mengagumimya karena dalam waktu singkat mampu
menguasai aliran aliran pemikiran baru. Drijarkara juga akrab dengan tulisan-tulisan
orang Indonesia seperti Soekarno, Moh. Hatta, Roeslan Abdulgani dan Ph. L Tobing. Ia
menekuni pula pepatah-pepatah dan kitab-kitab dari tradisi Jawa seperti Serat
Wedathama, Serat Wulangreh, Serat Cabolak dan serat-serat Suluk juga ia tekuni.
Tulisan-tulisan itu tidak hanya dibaca secara teliti, tetapi juga dicernakan sedemikian
rupa, sehingga dapat ia tuangkan dalam pemikiran-pemikiran yang sifatnya orsinal
khususnya dalam menanggapi masalah kontemporer dengan dilandasi oleh keprihatinan
yang mendasar.16

Kendati berada di dalam lingkungan perguruan dan gereja yang masih diwarnai
oleh arus aliran skolastik yang berpegang kepada ajaran-ajaran Thomas Aquino serta
alam Konsili Trente, akan tetapi kematangan intelektual Drijarkara mengungkapkan
wawasan mendasar dari gelombang arus yang berlainan. Pemikiran Drijakara
menampakan pengaruh yang kuat dari aliran Eksistensialisme, Personalisme,
Phenomenologi, dan kiranya juga aliran Philosophy of Life dan Philosophy of Action ,
sebagai gelombang aliran baru sesudah Perang Dunia Kedua di Eropa. Suatu era baru di
dalam sejarah filsafat dan kebudayaan telah timbul di Eropa sesudah perang dunia. Aliran
ini pada pokoknya merupakan reaksi terhadap aliran-aliran sebelumnya (yang dirasa
jenuh dan bahkan telah memenjara perkembangan manusia). Ciri-ciri pokok dari
gelobang baru ini antara lain adalah: (1) anti-intelektualisme; (2) anti-sistem; (3)
evolusioner dan (4) manusia menjadi titik pusat.

14
F.X. Danuwinata SJ, dalam A. Budi Susanto SJ (ed), op.cit.
15
C, Verhaak SJ, “ Gagasan Sentral dan Perkembangan Pemikiran Drijarkara, “ dalam Sema STF
Drijarkara, op. cit. hal. 12 – 28 .
16
F.X. Danuwinata S , dalam A. Budi Susanto SJ (ed), op.cit .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 8
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Berbeda dengan gelombang pemikiran sebelumnya (yang berawal sejak dari


Descartes, kemudian Kant, Hegel dan lain sebagainya dalam wujud arus-arus sistem
rasionalisme, empirisme, idealisme, positivisme, yang pada dasarnya merupakan
ungkapan dari gelombang intelektualisme dan determinisme, yang mencita-citakan
membangun suatu sistem kepastian dan keberanan semesta), maka gelombang baru
sesudah perang dunia ini tidak tumbuh sebagai upaya membangun sistem-sistem semesta.
Inilah yang menggejala di dalam Phenomenologi, Eksistensialisme, Personalisme,
terutama yang nantinya amat besar pengaruhnya terhadap gelombangnya Anthopologi
kefilsafatan. Tidak perlu saya kemuakan di sini betapa sukarnya memandang
Eksistensialisme sebagai suatu pemikiran semesta, demikian pula halnya dengan
Phenomologi. Walaupun demikian kita dapat merasakan bahwa Jaspers, Marcel,
Heidegger. Sastre dan Marleu Ponty misalnya adalah tokoh-tokoh dari gelombang
arusnya Eksistensialisme .

Drijarkara dalam kematangan intelektualnya, yang mewujudkan di alam aliran


kefilsafatan yang dipilihnya, menangkap gelombang baru ini, walaupun harus dikatakan
bahwa proses tersebut adalah suatu proses yang sifatnya kritikal dan mendasar. Drijakara
mampu (artinya dapat dan sekaligus juga berani karena kadang-kadang orang memiliki
keberanian akan tetapi kurang dilandasai kemampuan atau sebaliknya) mengambil
pilihan intelektual secara mendasar (hal yang harus dipandang sebagai progresif ) ditinjau
dari situasi Gereja dengan tradisi inteletualnya pada waktu itu. Namun harus pula dicatat
bahwa progresivitas dari Drijarkara bukanlah progresivitas yang agresif, revolusioner,
radikal, apalagi anarkis. Dari tulisannya nampak bahwa Drijarkara adalah anti-
anarkisme .Itulah salah satu latar belakang mengapa pemikiran mendasar mengenai
manusia dan kemanusiaan, sebagaimana menjadi tema sentral dari gelombang arus
Eksistensialisme, Personalisme dan Phenomenologi amat mewarnai gagasan kefilsafatan
Drijarkara.17

Setelah menyelesaikan studi teologi di Maastricht (Belanda) pada tahun 1949.


Drijarkara meneruskan pelajaran tentang kehidupan rohani di Gent, Belgia. Kemudian ia
melanjutkan studi filsafat pada Universitas Gregoriana (Roma) Di sana Drijarkara
berhasil memperoleh gelar doktor setelah mempertahankan disertasinya mengenai ajaran
seorang filsuf Perancis Nicolas Malebranche (l630–1715) dengan judul “Participationis
Cognitio In Existentia Dei Percipienda Secundum Malebranche Utrum Partem Habeat“
yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Drijarkara sendiri diterjemahkan:
“Peranan pengertian partisipasi dalam pengertian tentang Tuhan menurut
Malebranche.” Disertasinya itu seluruhnya dalam bahasa Latin, tepatnya menurut rumus
Malebranche, yang menjadi salah satu fokus disertasinya. La Vision en Dieu, Vision In
God, apakah manusia melihat segala-galanya seakan-akan “di dalam Allah“ karena ia
mengambil bagian di dalam-Nya. Dalam Pandangan Malebranche yang biasanya disebut
Ontologisme, Drijarkara menggali secara mendalam dan kritis pandangan Malebranche
tentang hubungan manusia dengan Alllah ditinjau dari sudut filsafat.18

17
AMW Pranark, “ Manusia sebagai Subyek Pembangunan, “ dalam Sema STF Drijakara, op.cit., hal. 51 –
66 .
18
C. Verhaak SJ, dalam Sema STF Drijarkara, op.cit .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 9
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Ijazah asli gelar doktor filsafatnya sekarang dipasang di tempat masuk sekretariat
Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara. Warisan Drijarkara berupa ratusan buku yang di sisi
kanan tertera huruf DR dalam pelbagai bahasa sampai dengan kamus besar bahasa
Sansekerta, tersimpan di perpustakaan Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara. Untuk
Drijakarta predikat dokor Filsafat tidak hanya sekedar penghargaan akademis yang
berhasil diraihnya, melainkan sudah menjadi hidupnya sendiri. Dia berfilsafat bukan
karena tuntutan predikat doktoralnya, melainkan karena dihayatinya sebagai penemuan
terus menerus ikatan cintanya dengan Sang Pencipta. Dengan indah Drijarkara mengutip
Serat Centhini dalam bukunya Percikan Filsafat

Gy patakur ing Hyang Sukma/ nalangsa minta apura/ saking kiparataing donya/ akeh kang dadya
gigila/ taksis langiping kawula/ alare’ kang bangsa riah/ kontrag karaos ing driya/ lupute’ tan ana
sela/ Katelu pisan mangkana/ ikraling nala nalangsa/ dadya samya nenggak waspa/, iseseg napas
ducungan/ ting salenggruk kawistara/ karuna tanpa karana/ karanane’ brangtanita/ maring Hyang
ingkang amurbai/ 19

(dan bermenunglah mereka dalam Tuhan, maka penuhlah mereka dengan rasa miskin-hina, dan
mohonlah mereka untuk diampuni dan dibebaskan dari kedurhakaan di dunia ini. Memang
banyaklah hal-hal yang mengerikan. Ingatlah mereka akan kelalaian dan kelemahan manusia sebagai
abdi, ingatlah mereka rintangan dari hati yang tidak jujr, dengan terkejut sadarlah mereka akan
kesalahaan-kesalahaan terus- menerus. Demikianlah pengakuan dosa yang keluar dari mereka
(ketiga) dengan rendah hati. Maka menangislah mereka dengan tersedu-sedu. Nampaklah mereka
sedih tanpa sebab. Akan tetapi sebabnya ialah cinta mereka kepada Sang Pencipta)

Bagi Drijarkara, sesudah manusia mempersoalkan hal-hal yang dialaminya, akan


timbul pula dorongan untuk mengerti sedalam-dalamnya hal-hal tersebut dengan cara
yang dapat dipertanggungjawabkan. Inilah dorongan untuk berfilsafat: dorongan untuk
mengerti sesempurna-sempurnanya. Apakah isinya? Dan apa yang menyebabkannya?
Sumbernya adalah jiwa rohani manusia yakni Roh yang mau mengatasi dan
menyempurna. Roh manusia ini pula yang mau mengerti diri sendiri, mengerti dasar
hidupnya dan adanya yang terakhir. Dengan Rohnya manusia terdorong untuk mengerti
tempatnya dalam lingkungan Yang Mutlak; justru karena ia itu relatif dan terbatas.
Dengan kata lain, manusia didorong untuk mengerti realitasnya yang sebernarnya (dalam
kaitan dengan Yang Mutlak itu) dan untuk hidup sesuai dengan kebenaran itu. Inilah
penyebab manusuia itu berfilsafat, mencari pandangan hidup, pegangan dan pedoman
hidup.

Dalam konteks ini Drijarkara kembali mengambil unsur tradisi Jawa guna memberi
isi pencarian realitas yang sebenarnya: apakah dia sebenarnya? Dalam tradisi Jawa ,
seperti mengerti manusia sebenarnya berarti mengerti Tuhan (Sing sapa wruh ing sarira/
yekti wruh ing Pangeran …..Dalam ikhtiar untuk mengerti diri sendiri, manusia
mempelajari juga seluruh realitas sampai ke dasar yang terdalam dari realitas itu yakni
Tuhan. Filsafat pada akhirnya merupakan perjalanan pengertian manusia yang berjalan ke
arah permenungan mengenai asalnya dan arah geraknya yakni Tuhan. Pengertian (karuh),
jati diri (sarira sejati) yang diziarahi membawa manusia sampai kepada pengertian
tentang Tuhan (wruh sira mring Hyang Widi). Dalam Suluk Wudjil ditulis :

19
B.B. Triatmoko SJ, dalam Sema STF Drijarkara, op.cit.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 10
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pengetingsun ing sira ra-Wudjil, den yatna uripira neg donya, ya sumambaraneng gawe, kawruh ana
den estu, sariranta pon dudu jati, kang jati dudu sira, sing sapa puniku, weruh rekeh ing sarira,
mangka saksat wruh sira maring Hyang Widi, iku marga utama.20

(Kuingatkan engkau Wudjil, berhati-hatilah dalam hidupmu di dunia ini, janganlah sembunyi dalam
perbuatanmu, ketahuilah betul-betul (bahwa) kamu bukanlah Yang Sejati dan Yang Sejati bukanlah
engkau: barangsiapa mengerti diri sendiri, itu seolah-olah mengerti kepada Tuhan. Itulah jalan yang
luhur).

Drijarkara menuangkan buah pikirannya pertama kali pada majalah berbahasa Jawa
PRABA. Karangan-karangan yang diberi judul “Serat Saking Roma“ (Surat dari Roma)
terbit secara agak teratur dalam majalah terbitan kota Yogyakarta. Surat-surat tersebit
dikirim Drijarkara dari Roma sejak awal tahun 1951 sampai pertengahan tahun 1952,
ketika ia sedang menyelesaikan disertasinya. Drijarkara menulis 12 surat yang dipenuhi
dengan gaya yang santai, personal dan di sana-sini dibumbui humor. Drijarkara banyak
bercerita tentang Gereja Katolik dengan Pausnya. Tetapi tidak jarang ia juga
menyinggung masalah-masalah umum seperti anak yang tak berdosa yang menjadi
korban perang, rakyat jelata yang makin miskin dan tertindas dalam kaitannya dengan
suburnya liberalisme, masalah kapitalisme dan komunisme yang membuat sengsara
dunia. Drijarkara mengupas masalah unitarisme dan federalisme pada taraf mondial
dengan cukup mendalam dengan gaya percakapan sehari-hari. Kadang kala ia juga
memberi sindiran terhadap keadaan di tanah air, misalnya dengan adanya perubahan
kabinet yang silih berganti ia menyindir “dapat dipamerkan karena sudah menyerupai
Perancis” .21

Ketika kembali ke Indonesia pada tahun 1952, Drijarkara mendapat tugas sebagai
dosen filsafat di Kolose St Ignatius, Yogyakarta. Selain itu Drijarkara tetap menulis
majalah yang sama. Drijakarta dengan samaran Pak Nala yang menurutnya kependekan
dari Naladjaja mengisi rubik “Warung Pojok“. Nama samaran itu mengingatkan orang
Jawa kepada tiga punakawan putra-putra Ki Lurah Semar. Tulisan Drijarkara diimulai 5
Oktober l952 sampai dengan 5 Juli l955. Drijarkara menulis karangan kecil sekitar 58
buah. Sebagai Pak Nala dalam karangan-karangan ini ia mencoba mewakili pemikiran
sehat dari rakyat biasa. Tulisan Drijarkara lugas, agak berani, kadangkala sembrono ala
pembicaraan warung kopi. Drijarkara membubuhi tulisan dengan gurauan-gurauan yang
segar, yang timbul dari rasa humornya. Gaya humornya selalu memikat karena tidak
pernah klise. Humor yang baik memang mengandaikan suatu ketajaman otak sekaligus
ketajaman analisa situasi; Dan itulah yang menjadi kekuatan Drijarkara sehingga
humornya selalu kena dan berkesan mendalam.

Seorang kakak angkatan Drijakara, yakni Romo Djajaatmadja SJ bahkan


mengatakan bahwa seandainya Drijarkara sekarang masih hidup, dia barangkali bisa
menjadi seorang pelawak profesional, suatu prestasi yang kiranya belum banyak dicapai
oleh pelawak-pelawak kita sekarang yang rata-rata hanya mengandalkan kemampuan
mempermainkan kata. Drijarkata bisa juga bersikap merelatifkan diri sendiri khususnya

20
F.X. Mudji Sutrisno SJ, “ Kunci Perenungan dan Warna Ke-Indonesia-an Pemikiran Drijarkara, “ dalam
Sema STF Drijarkara, op.cit., hal. 29 – 46.
21
F.X. Danuwinata S, dalam A. Budi Susanto SJ (ed , op. cit .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 11
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sebagai seorang filsof dan profesor. Misalnya ketika Pak Nala mengkisahkan
pengalamannya mengikuti ceramah guru besar tentang manusia – tentu saja yang
dimaksud ialah Drijarkara sendiri – demikian “Manusia adalah ruh (Geist) yang untuk
menemui diri sendiri dalam diri sendiri, dalam diri sendiri haruslah mengasingkan diri
sendiri dari diri sendiri dan hanya dalam pengasingan diri sendiri dari diri sendiri
menemui diri sendiri dalam diri sendiri? Maka waktu istirahat Pak Nala langsung
“mengasingkan diri sendiri dan menemui wedang ronde “.

Kejadian-kejadian tingkat nasional seperti DPR yang dicap sebagai warung kopi,
tuntutan pembubaran DPR, demonstrasi, korupsi, emansipasi, inflasi sampai kejadian-
kejadian sehari-hari yang hidup di kalangan orang kecil tidak luput dari perhatian
Drijarkara. Perhatiannya terhadap orang kecil kelihatan mengesankan dalam refleksinya
tentang penjual lemper dan lumpia goreng dengan setia menawarkan dengan suara
nyaring. Keadaan hati susah maupun gembira. Suara mereka tetap sama saja, baik hujan
maupun terang bulan, suara mereka tetap lantang berkumandang. Itu semua ia lakukan
demi tanggung jawab mereka terhadap anak dan istri. Tetapi mungkin banyak orang yang
tidak menghargai orang-orang seperti mereka itu, karena mereka hanyalah penjual lemper
dan lumpia goreng. Di dalam masyarakat kita orang cenderung melihat luarnya saja.
Orang cenderung lebih menghargai mereka yang berpangkat atau yang kaya daripada
orang seperti penjual lemper dan lumpia goreng itu. Tetapi apakah harga pribadi para
penjual sederhana itu memang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang
berpangkat dan kaya? tanya Drijarkara. Belum tentu? Jawabnya. Drijarkara memiliki
pendengaran yang peka terhadap suara dari masyakarat. khususnya dari rakyat kecil atau
orang kebanyakan. Suara mereka itu ia dengarkan, ia tampung, kemudian kalau perlu ia
koreksi, ia perdalam sampai lebih mendekati kebenaran, tanpa ada kesan ia menggurui.

Kelurusan cara berpikirnya tampak dalam menghadapi kritikan, misalnya ketika


Indonesia mendapat kritikan pedas dari pers luar negeri. Dikritiknya ( tahun l953 ) bahwa
Parlemen Indonesia itu “Childish“ pegawainya tidak cakap, tidak jujur terlalu banyak
korupsi dan sebagainya. Lewat tulisan Pak Nala, Drijarkara berbicara “Orang sini
mendengar kecenderungan kritik pedas semacam itu tidak boleh marah atau juga
tidak boleh tidur saja. Orang kalau dikritik lalu marah, membantah, tidak akan
memperbaiki tindakannya. Sebaliknya jika nekad, tidak peduli, ia akan celaka sendiri.
Kritik luar negeri memang keras. Moga-moga saja orang sini tidak keras kepala.” Dalam
salah satu karangan di Warung Pojok, Pak Nala juga melontarkan kritikan terhadap
pendapat “Puruhita” yang mulai di majalah BASIS. Nota bene, ”Puruhita“ adalah nama
samaran dari Drijarkara sendiri. Salah satu sub-judul yang berbunyi “Pruhita kontra Pak
Nala“ dalam karangan Warung Pojok berikutnya merupakan replik dari Puruhita dalam
suatu diskusi dengan Pak Nala di Warung Podjok. Drijarkara macam inilah yang dikenal
dikalangan Katolik dan pembaca berbahasa Jawa.22
Memperkenalkan filsafat
Terbitnya majalah bulanan BASIS untuk soal kebudayaan umum pada
pertengahan tahun l953 merupakan media bagi Drijakara untuk memperkenalkan ide-
idenya kepada khalayak ramai. Menurut redaksi nama BASIS yang mempunyai maksud
tujuan memberi – menyokongnya suatu dasar – kokoh – kuat kepada para pembacanya,
22
Ibid .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 12
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kepada perseorangan serta masyarakat, yang berada ditengah-tengah genangan persoalan


dan arus badai kehidupan, agar diatasnya mereka dapat membangun – mendirikan masa
depan dan kebahagiannya. Drijakara bukan menulis tetapi ia juga menjadi menjadi
gawang alias pemimpin redaksi dari majalah kebudayaan dalam arti seluas-luasnya .

Karangan pertama yang diturunkan oleh Drijarkara dengan nama lengkapnya


mengupas masalah “Gereja Katolik dan Poligami?, yaitu pada akhir tahun II majalah
BASIS. Meskipun karangan ini sifatnya polemik, namun kelihatan bagaimana sikap
Drijarkara jika terdapat perbedaan pendapat. Ia menulis “Disinggungnya suatu
pendirian , tidak boleh menjadi keberatan, sekali pendirian itu suci. Bahkan kita harus
dapat menerima dengan hati sabar dan besar, jikalau pendirian kita kita diserang!
Sebab kita hidup dalam zaman modern, zaman kemerdekaan berpikir dan
mengeluarkannya: Akan tetapi tiap-tiap orang yang mengemukakan pendirian lain,
harus dipaparkan sebagai diakui oleh pihak lain! Ini adalah tuntutan keadilan.
Keadilan terhadap pihak yang disinggung. Keadilan terhadap pihak khalayak umum.
yang kita beri penerangan“. Tulisan sebenarnya bermaksud selain memberi bantahan
sekaligus penerangan terhadap apa yang dikatakan oleh seorang diluar Gereja Katolik
yang menyatakan bahwa Injil tidak menetapkan apa-apa tentang poligami, Santo
Agustinus tidak menolak poligami, Paus Gregorius membela poligami dan Suatu konsiili
di Roma menetapkan ajaran yang merendahkan derajat wanita. Setelah menunjukkan
ketidakbenaran pernyataan itu, Drijarkara mengakhiri tulisannya dengan rumusan
pelajaran yang sebenarnya: Dari perkawinan yang sah timbullah antara antara suami
dan istri suatu pertalian yang menurut kodratnya untuk selama-lama dan menolak
pertalian lain (C.I.C.can 1110). Dan Sifat-sifat perkawinan yang pokok ialah: kesatuan
dan tak dapat diputuskan (C.I.C. can 1013 par 2).23

Karangan pertama ini agaknya lebih merupakan karangan pesanan yang semula
sudah muncul di PRABA pada bulan Agusutus l953. Baru sejak Januari l954 muncul
dengan nama samaran “Puruhita“ dan menyajikan karangan-karangannya yang sifatnya
filosofis. Diawali dengan renungan tentang “Selamat Tahun Baru.“ Drijarkara adalah
seorang pribadi pemikir yang tak henti-hentinya mengamati, mengupas dan mengolah
masalah-masalah sehingga apa yang tampak rutin belaka pun menjadi sesuatu yang
punya makna. Siapakah pernah mendengar bahwa tokoh ini pernah merenungi makna
yang terkandung dalam ucapan “Selamat Tahun Baru“? Peristiwa “rutin“ bagi banyak
manusia ini bagi Drijarkara merupakan suatu kejadian yang perlu direnungi maknanya.
Dalam tulisannya itu ia menyatakan dalam menyambut Tahun Baru sepatutnya manusia
saling mengucapkan selamat. Karena pada saat itu terdapat rasa gembira yang mana bisa
hidup sampai waktu itu tidak merupakan kecelakaan. Manusia bergembira karena masih
hidup yang berarti masih ada harapan. Tetapi ketika waktu terus berjalan berarti
menempuh bahaya. Inilah yang menimbulkan ras was-was. Peluk-memeluk atau
berjabatan tangan yang diiringi dengan ucapan “Selamat“ berarti saling mengharap dan
berdoa moga-moga jalan hidup kita menuju kearah bahagia.24

23
Drijarkara, “Drijarkara, “Gereja Katolik dan Poligami ,“ Basis, September 1953, Tahun II – 12.
24
Drijarkara, “ Selamat Tahun Baru, “ Basis, Januari 1954, Tahun III – 4.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 13
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kemudian “Puruhita“ berturut-turut muncul dengan percikan renungan atas


pribadi manusia yang diberi judul “Apa dan Siapa“ dalam empat karangan, disusul
dengan renungan atas “kemerdekaan manusia” dalam lima karangan yang kemudian
dilengkapi dengan empat karangan yang diberi judul menarik “Sayap yang Berluka“.
Puruhita “mengawali uraiannya dengan “ Sudah lima kali berturut-turut kami hidangkan
permenungan tentang kemerdekaan manusia. Dalam pandangan yang melanjutkan akan
diperlihatka , bahwa kemerdekaan kita itu seakan-akan merupakan saya, dengan mana
kita bisa membumbung ke atas …..Akan tetapi sayap itu adalah sayap yang sudah luka,
jika seekor burung menderita luka pada sayapnya – meskipun belum luka – luka parah,-
tidaklah ia mengalami kesukaran. Jika ia hendak terbang? Demikianlah juga kita!”
Dengan judul yang menarik, tetapi lebih–lebih dengan cara penyajian yang bergaya
percakapan, Drijarkara mampu membawa pembaca setapak demi setapak masuk dalam
permenungan yang ia sajikan.25

Dunia manusia yang dihadapi oleh Drijarkara adalah dunia yang kompleks
.Manusia itu adalah makhluk yang merdeka. Kemerdekaannya itu berfungsi sebagai
sayap yang akan membawanya ke status serta kondisi kemanusian yang lebih baik .
Namun sayanglah, seperti dilihat Drijarkara, sayap itu terluka. Ada beberapa pengaruh
dan kondisi yang membuat sayap itu terluka, seperti perang, perkembangan ilmu serta
tehnologi, nasionalisme kebangsaan, feodalisme dan sebagainya. Kondisi-kondisi itu
dimunculkan di sini karena hal itu secara historis menjadi topik sejarah di masa
Drijarkara menulis dan juga secara jelas mencoba melihat itu satu per satu, baiklah
disadari lebih dulu titik pangkal penglihatannya. Titik pangkal itu adalah tradisi
humanistik yang mencoba mau menempatkan nilai serta martabat manusia sebagai tolok
ukur bagi segalanya.26

Agaknya Drijarkara masih meneruskan renungan-renungannya dengan rangkaian


karangan berikutnya. Tetapi karangan masih dengan nama “Puruhita“ dengan judul
“Manusia dan Moral I“ (BASIS VI 1955–l956) ternyata tidak ada kelanjutannya. Inilah
terakhir kalinya Drijarkara menurunkan karangan dengan nama samaran “Puruhita“
Tulisan ini mencoba memberi pengertian yang lebih sempurna (tidak niscaya, akan tetapi
dapat) menjamin penyempurnaan perbuatan yang sudah lama dilakukan. Ia menganggap
bahwa seseorang yang ingin mengajarkan kesusilaan, sepatutnya memperoleh pengertian
yang cukup (disamping hidup baik sebagai contoh). Masalah moral perlu dibicarakan
karena dalam kehidupan sehari-sehari karena manusia senantiasa dihadapan pada
masalah moral (yang memandang perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik
atau buruk). Dalam akhir tulisannya ia menyatakan “bahwa kebaikan moral
(bagaimanapun juga isinya) kita anggap kebaikan yang sangat berharga, sangat tinggi,
lebih tinggi dari pada kebaikan lain-lainnya. Pernyataan ini nampak juga dalam
kejadian sehari-hari; tidak ada kejelekan yang kita anggap lebih merendahkan dari pada
kejelekan moral. Drijarkara juga menegaskan bahwa kerap kali orang melanggar moral
dan tidak akan melakukan pelanggaran itu di muka umum. Seringkali diketemukan orang

25
Puruhita, “Sajap jang Berluka,“ Basis, April 1955, Tahun IV – 7 .
26
T. Krisparwana Chayadi SJ, “Nilai-nilai Profetis Filsafat Drijarkara, “dalam Sema STF Drijarkara,
op.cit., hal. 96 – 113.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 14
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

yang menyembunyikan tindakannya yang tidak senonoh. Dengan demikian orang


tersebut yang melanggar, dalam hati kecilnya mengakui moral.27

Waktu untuk dapat menulis secara tenang bagi Drijakara tidak lagi tersedia. Di
samping masih menjadi dosen filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat di Yogyakarta, ia
juga menjadi pimpinan majalah BASIS (1953-1965) dan sejak pertengahan 1955
merangkap menjadi Dekan PTPG Sanata Dharma yang baru saja berdiri. Keadaan
memaksa Drijarkara selalu muncul sebagai figur publik, khususnya setelah ia menjadi
Dekan PTPG Sanata Dharma dan mengawali kariernya dengan suatu pidato
pertanggungjawaban ilmiah tentang kepentingan pendidikan guru sekolah menengah,
yang ia sampaikan pada tanggal 17 Desember 1955. Harian “Kedaulatan Rakyat“ di
Yogyakarta dalam tajuk rencananya tanggal 19 Desember 1955 memuji pidato Drijarkara
sebagai kata-kata yang amat bijaksana, yang patut diperhatikan oleh siapa saja yang
pegang tanggung jawab di bidang pendidikan. Sejak itu Drijarkara di samping sebagai
seorang filsuf, juga dikenal sebagai seorang pendidik. Dalam pidatonya yang berjudul
“Kepentingan Pendidikan Guru Sekolah Menengah“, Drijarkara menyatakan bahwa
sekolah menengah dan universitas tidak selalu merupakan suatu kontinuitas. Karena
banyak sekolah menengah yang sebenarnya tidak berfungsi sebagai persiapan untuk
universitas. Berdasarkan kenyataan itu, maka sukarlah dipertahankan, bahwa tenaga-
tenaga pengajar sekolah lanjutan harus diambil dari universitas dimana pengchususan
semacam itu tidak ada. Disamping itu dengan adanya vakprovincialisme dan
spsesialisasi-spesialisasi yang sangat meruncing dan heterogenitas yang harus dikejar
beberapa fakultas telah menyebabkan para sarjana baru jauh dari suasana pedagogis dan
didaktis yang diperlukan oleh sekolah menengah. Ia menegaskan betapa pentingnya
adanya pendidikan khusus untuk guru sekolah lanjutan menengah. Drijarkara
menyimpulkan betapa pentingnya pendidikan dalam sekolah menengah, “….ialah
pendidikan manusia muda dalam masa yang sangat genting dari pertumbuhannya.
Terutama dalam waktu itu proses pemasukan generasi muda kedalam masyarakat dan
pemasukan masyarakat kedalam generasi muda harus dijalankan. Kesadaran
kewarganegaraan, kebajikan-kebajikan sosial, kehalusan dan keadaban, pemilikan nilai-
nilai harus diperdalam, diperkokoh, disedarkan dan dipertanggungjawabkan. Kegagalan
dalam pendidikan menengah akan berarti kerugian besar bagi masyarakat” . Drijarkara
juga menyatakan bahwa timbul dan tenggelamnya suatu Bangsa, kemenangan dan
kemerosotannya, sebagian besar tergantung dari pendidikan di masa yang genting itu. 28

Karangan–karangan awal yang termuat dalam BASIS selama ia masih hidup agak
mirip dengan isi Percikan Filsafat . Bedanya terutama bahwa karangan itu untuk dibaca
maka pengulangan-pengulangan bersifat oratoris atau dikdaktis dalam Percikan Filsafat
itu hampir tidak ada lagi dalam karangan–karangan ini. Di BASIS karangannya ada yang
berdiri sendiri .Misalnya Selamat Tahun Baru , Rationalisme dan Irrasionalisme . Namun
ada yang terbit secara bersambung, seperti misalnya Apa dan Siapa, Percikan
Permenungan atas Pribadi Manusia, Sayap yang Berluka, Kemerdekaan kita sayap kita,
Kesenian dan Religi. Meskipun demikian agak awal juga dalam karangan–karangan ini
(Kemerdekaan, terlebih dalam Kehidupan Negara dari tahun 1957) masalah politik dalam

27
Puruhita, “Manusia dan Moral I,“ Basis, Oktober 1955, Tahun V – No. 1 .
28
Drijarkara, “Kepentingan Pendidikan Guru Sekolah Menengah,“ Basis, Januari 1956, Tahun – Nomor 9.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 15
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kehidupan bernegara Indonesia mulai disinggung. Nada yang agak tenang dan sejuk
berubah menjadi tegas, membicarakan hak azasi manusia yang termuat dalam undang-
undang dengan basisnya “yang berupa Pancasila: yang mempunyai ketetapan karena
sifatnya yang umum.” 29

Dalam masa yang sama, beberapa kali juga termuat dalam BASIS sejumlah
makalah yang sebelumnya telah dibawakan Drijarkara di depan pertemuan kecil dan
besar, dari pidato pembukaan IKIP Sanata Dharma akhir tahun l955 (Kepentingan
Pendidikan Guru Sekolah Menengah) dan makalah tentang Moral dan Pelanggaran
dipandang dengan norma Agama Katolik dari tahun yang sama sampai pada minat yang
terarah yang diungkapkan dengan judul Mencari Kepribadian Nasional dalam
Musyawarah yang diselenggarakan KODAM Jawa Tengah di Salatiga pada tahun l960.

Dalam pandangan dan analisanya terhadap kepribadian nasional, Drijakara


berpendapat bahwa sejarah hidup manusia muda hingga menjadi manusia permanen atau
sempurna, merupakan proses pembudayaan. Selanjutnya menurut pendapat Drijarkara
soal kepribadian nasional tidak dapat dipisahkan dengan, karena pendidikan merupakan
perbuatan fundamental yang ke luar dari kodrat manusia sendiri dan bersumber pada
sikap yang fundametal juga, yaitu sikap cinta, yang ingin membahagiakan dan
menyempurnakan yang dicintai, ingin mengangkat yang dicintai sampai taraf sejajar
dengan dirinya. Pendidikan sebagai proses kemanusian berarti juga memasukan dunia
nilai–nilai kerochanian/ kejiwaaan ke dalam jiwa anak. Dengan demikian anak akan
ditolong untuk melaksanakan dirinya sebagai manusia agar mejadi pribadi yang
sempurna, dan akhirnya terlaksana dalam memenuhi nilai-nilai yang paling pokok, yaitu
nilai moral dan keagamaan. Dalam garis yang sama kira dapat melihat cara pembahasan
Drijarkara tentang kepribadian nasional. Jika dalam pendidikan beliau mempergunakan
istilah pem-pribadian anak, maka dalam pandangan tentang kerpribadian nasional beliau
memakai istilah pem-pribadian manusia sebagai warga suatu negara dan harus berisi rasa
kebangsaaan dan kebudayaan dengan intisari adat istiadat dan tata susila bangsanya
dengan pengertian harus diambil sifat-sifat yang baik dari bangsanya. Kepribadian
nasional sebagai kepribadian bangsa, ialah cara khusus bangsa itu dalam kehidupan dan
pembangunan dirinya yang berdasarkan pada pandangan dan pendiriannya tentang alam
semesta. Karena kepribadian selalu berarti pem-pribadian, maka persentuhan dengan
kebudayaan asing merupakan syarat mutlak dalam bangsa dan pribadi.30

Dalam semua teks itu timbul keinginan untuk menerangkan pokok pembicaraan
dengan bertitik pangkal pada perkembangan manusia yang bebas berhadapan dengan
Tuhan yang mengembangkan masyarakat dan kebudayaannya, secara terinci di Indonesia
, maka berdasarkan Pancasila. Perumusan pandangan dan kaya akan masukan filsafat
hasil bacaaannya, dalam Pendidikan dan Peralihan Sosio-Budaya menjadi prasaran pada
suatu seminar Majelis Ilmu Luhur Indonesia di Bogor pada tahun 1961. Heidegger, Sastre
dan Marleau-Ponty “diikut sertakan“ untuk memeperlihatkan bahwa manusia muda harus
dididik agar mampu “mengartikan“ dunianya dengan bebas dan kreatif. Teks-teks paling

29
Chris Verhaak SJ dalam Sema STF Drijarkara, op.cit.
30
Drijarkara, “Mencari Kepribadian Nasional,” Basis, September 1960, Tahun II No. 12 .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 16
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

akhir yang dimuat dalam BASIS itu membicarakan mengenai Pancasila secara khusus
lagi.

Rangkaian karangan karangan Fenomena Pendidikan dan Kebudayaan dan


Kebebasan yang termuat dalam BASIS tahun l969–l971 sesudah Drijarkara meninggal,
memuat unsur-unsur dan gagasan-gagasan yang telah diungkapkan Drijarkara
sebelumnya. Dalam menggambarkan gejala- pendidikan, peranan keluarga dan terutama
oarang tua ditekankan berkebudayaan dan kebebasan digambarkan dalam konteks
masyarakat dengan kata penutup.

ke eksistensi ….. sebagai kesimpulan dapatlah kita katakan bahwa kekuasaan negeara itu
diciptakan oleh manusia, agar supaya dia sampai yang autentik artinya sampai ke kemerdekaan
yang selalu bergerak untuk memasuki Sein atau Ada itu . Kebudajaan yang tulen harus bebas,
tidak boleh dirintangi oleh kekuasaan mana pun oleh kebudayaan itu. Bagi kita ada norma yang
tertentu untuk menentukan ketulenan dari kebudayaan, yaitu: sesuai atau tidak sesuainya dengan
PANCASILA. Sekianlah!31

Usaha memperkenalkan filsafat yang sudah dirintis lewat BASIS. kemudian


diteruskan oleh Drijarkara lewat siaran RRI Yogyakarta dan Jakarta. Uraian-uraian
singkatnya antara tahun l958–l961 kemudian diterbitkan dalam bentuk kumpulan
karangan dengan judul Percikan Filsafat. Ceramah-ceramah itu dikumpulkan menjadi
lima bab, empat bab tentang filsafat (filsafat Kesusialaan, Eksistensialisme, Persona dan
Personisasi serta Fenomenologi) dan satu bab tentang psikologi agama dilatar belakangi
filsafat manusia yang membuka jalan menuju ketuhanan. Dalam kata pengantar buku
tersebut, Drijarkara menjelaskan bahwa penggunaan kata “percikan“ karena tulisan-
tulisannya tidak dimaksudkan sebagai kupasan yang lengkap (yang mencoba melihat
semua segi) mengenai hal-hal yang bersangkutan. Sedangkan penggunaan kata “filsafat“
merupakan menunjukkan ‘tabiat‘ dari percikan-percikan. Yang dimaksudkan filsafat
adalah pikiran manusia yang radikal, yang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian
dan pendapat-pendapat ‘yang diterima saja‘ mencoba memperlihatkan pandangan yang
yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap yang praktis .

Setiap bab terdiri atas sepuluh fasal sesuai dengan asalnya sebagai ceramah
pendek. Yang mencolok bagi saya ialah usahanya untuk membawa bahan dan gagasan
baru dalam setiap fasal, sambil menegaskan kesinambungan dari setiap rangkaian, yaitu
selalu mulai dengan mengulang secara singkat apa yang telah dijelaskan lebih dahulu dan
diakhiri dengan membuka persepektif baru untuk waktu berikutnya. Cara kerjanya dapat
Dalam setiap fasal atau ceramahnya dapat dikatakan fenemonologis berlingkar.
Maksudnya ialah meneropong gejala yang mau diterangkan itu dalam pelbagai sudut,
tetapi bukan begitu saja seakan-akan mengelilingi pokok atau gejala yang sedang
dipelajari, melainkan ada unsur dialektis, tidak tegas atau dibuat-buat tetapi agak spontan.
Misalnya mulai dengan kata-kata seperti “tetapi,” dari sudut “masukan“ baru,
umpamanya dari filsuf –filsuf barat kuno maupun modern, dan tentu saja dari sastra Jawa
dengan susunan bahasa Indonesia yang khas. Dua bab tentang filsafat sebagian berisikan
perkenalan dengan tokoh-tokoh filsafat modern, maka terutama bersifat informasi.
Sedangkan kedua bab yang lain menuntun pendengar atau pembaca untuk ikut berfilsafat.
31
Chris Verhaak SJ, dalam Sema STF Drijarkara, op. cit.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 17
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Misalnya tentang “Filsafat Kesusilaan“ dari “Persona dan Personisasi“ (yang terakhir
dengan redaksi definitif dari Dick Hartoko). Bab terakhir yaitu tentang psikologi agama,
menarik tidak hanya memakai banyak sumber (kali ini termasuk Bhagavad Gita dan teks
kitab suci), melainkan juga karena berusaha memberi pengertian (Hampir–hampir ke arah
“Keniscayaan“) tentang sejumlah praktek kongkrit dalam hidup beragama, seperti
berdoa, berpuasa, kesalahan dan dosa, membersihkan diri dan lain-lain.32

Ada tiga contoh dari tulisan Drijarkara yang berasal dari tugasnya sebagai
pengajar Pembimbing Ke Filsafat dan Logika Formal diterbitkan dalam bentuk stensilan
oleh“ Kursus B I–Ilmu Mendidik, Jajasan De Brito, Yogyakarta, dari masa sebelum IKIP
Sanata Dharma (tahunnya tidak dicantumkan). Bagian pengantar filsafat memuat segala
unsur dalam bidang metodik dan didaktik yang kini dipromosikan sebagai silabus, SAP,
TIK dan lain-lain. Terasa masih ada pergumulan dengan bahasa Indonesia untuk
menemukan kata dan perumusan yang dapat dimengerti lalu dijelaskan. Sesudah satu
alinea, karena penyusun sadar bahwa para pendengar dan pembaca berasal dari Jawa,
maka disajikannya kutipan dalam bahasa Jawa, di susul keterangan antara lain dengan
istilah Inggris maupun Belanda yang dianggap berguna untuk menerangkan faham Jawa
dalam bahasa Indonesia Uraian logika klassik, lengkap dengan silogisme disusun secara
teliti dan lengkap. Secara jelas bagi mereka yang hanya mempelajari filsafat sebagai mata
pelajaran sampingan dalam studi sebagai guru.

Buku stensilan yang berjudul Sejarah Filsafat Yunani dari tahun l959 (disusun
bersama Dr. A. Busch) lebih bersifat ilmiah. Buku itu diperuntukan pertama-tama bagi
mereka yang belajar filsafat selama dua atau tiga tahun. Ada dua catatan tentang buku
berbobot ini. Pertama, adalah usahanya untuk menangkap inti pokok dari filsuf besar.
Kedua adalah kerajinannya untuk mencari dan menemukan kata-kata Indonesia yang
cocok untuk menterjemahkan secara tepat bermacam-macam istilah Yunani. Misalnya
kata “adanya“ dalam konteks “adanya Tuhan“ (“the being of God“), atau
“Kelanggengan“ (juga “jaman yang kekal bagi “eternity“, sedangkan “yang ada“ itu dari
“on” Yunani dan “ens” Latin. Dalam Filsafat Aristoteles “Hyle” (“materia“) menjdi
“bakal “, “Morphe“ (“forma“) diartikan sebagai “bentuk“, “rupa“ malahan “cap” juga.
Satu contoh lagi “Manusia menangkap barang-barang fisik dalam sifat “ kesesuatuannya“
(“individuality”), yaitu melalui pengetahuan jasmani.

Buku ketiga yang memuat pengajaran Drijarkara ialah Filsafat Manusia yaitu
catatan-catatan yang dipakainya selama mengajar di IKIP Sanata Dharma. Buku itu
diterbitkan dua tahun sesudah Drijarakara meninggal, tahun l960. Yang menurut hemat
kami menarik dalam buku ini ialah bagian paling pertama. Dalam bagian itu suatu dasar
filsafat manusia dikemukakan sebagai berikut: “Manusia itu adalah makhluk yang
berhadapan dengan diri sendiri dalam dunianya“. Lalu unsur-unsur rohani, sosial,
jasmanai, historis dan masih banyak lain lagi ditunjukkan dan dikupas, karena sudah
termuat dalam ungkapan atau rumusan pertama tadi. Uraian seterusnya diarahkan secara
khusus ke suatu filsafat tentang hidup jasmani antara lain kesehatanan, makan, olahraga,
seksualitas, “decorum“, sekali lagi dengan kutipan-kutipan dari Serat Wulang Reh dan
Serat Centhini. Bagian kedua dari buku yang diberi judul “Manusia sebagai dinamika“
32
Ibid .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 18
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

secara singkat menganalisa isi dan susunan kegiatan manusia (tujuan Maurice Blondel
sejak L^action) menjadi triganda sebagai “pengertian“ (kini kita katakan “cipta“), “karsa”
dan “rasa”, dilengkapkan dengan fasal terakhir mengenai “Permainan sebagai aktivisasi
dinamika“, yakni menuju pembebasan manusia.33

Ciri Khas dan Motode


Membaca kembali sejumlah karangan Drijarkara, beberapa ciri khas menarik
perhatian. Pertama-tama mengenai bahan yang dikuasainya baik dalam bidang filsafat
maupun bidang lain. Ia tahu banyak, telah membaca banyak. Yang lebih mencolok lagi
yaitu meskipun sangat sibuk ia tidak berhenti membaca baik apa yang menyangkut
peristiwa-peristiwa di Indonesia dan psikologi dari pelbagai pengarang asing kuno dan
yang paling mutakhir sekali pun (umpamanya Marleau-Ponty). Ia sanggup menyajikan
bahan itu bagi sidang pembaca atau pendengar. Ia juga sanggup memasukkan pembaca
atau pendengar ke dalam dunia pemikiran dari umpamanya Husserl, Satre, Scheler,
Heidegger, James yang waktu itu sama barunya seperti bagi kita literatur terakhir dari
Habermas, Gadamer, Foucault, Derrida, Levinas. Di samping itu ia sering sekaligus
menjelaskan jalan pikiran dan penalarannnya dengan memakai sastra Jawa dan pepatah-
pepatah dari hidup sehari-hari.

Ciri lain yang mencolok ialah cara pengembangan pemikirannya yaitu pelan-
pelan dan tahap demi tahap. Amat sering bagian terakhir dari suatu kalimat sudah
membuat kalimat berikutnya, tanpa membosankan, meskipun pernah saya dengar bahwa
sayang sekali tidak pernah ada kejutan. Menurut saya, yang terakhir itu tidak benar lagi
kalau ia mulai membicarakan macam-macam gangguan atau penyelewengan yang
disaksikannya di dalam negerinya sendiri, khususnya menjelang akhir hidupnya.
Misalnya sehubungan dengan keadaan sosio-ekonomi di kota atau pun di desa, atau
kekurangan-kekurangan dalam bidang pendidikan.

Ciri berikut yang mencolok ialah usahanya untuk membantu pembaca atau
pendengar supaya pokok-pokok yang dianggapnya penting bisa dimengerti. Ia suka
menunjukkan unsur-unsur yang dilihatnya sebagai mutlak perlu atau niscaya (kata itu
sering muncul). Misalnya mutlaknya tuntutan etika dan moral tak terelakkan bagi suara
hati. (Nanti masih akan dikutip caranya untuk ‘mengerti‘ Pancasila). Irrasionalisme
merupakan musuh baginya, bukan hanya gaya Rousseau dengan tekanan pada rasa,
melainkan juga pragmatisme (meskipun ia dapat menghargai James) dan malahan
eksistensialisme, meskipun yang terakhir itu memuat banyak ajaran dan pendekatan yang
dihargainya.

Akhirnya, yang sering kali menarik perhatian dalam tulisan-tulisannya ialah usaha
Drijarkara untuk memperkaya dan mengembangkan bahasa Indonesia, sekaligus untuk
menggarap segala kemungkinan dan implikasi yang termuat dalam bahasa kita itu. Ia
menggunakan kata-kata seperti penangguhan (Epoche dari Husserl), keberangkalian
(probality yang dibedakan dengan kemungkinan possibility) , tetapi juga kata-kata seperti
membelum, menyedang, membadan, menegara, meng-aku (lain dengan mengaku),
33
Ibid.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 19
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mengkita, ber-kosa-kota dan masih banyak lagi. Oleh Prof. Dr. Fuad Hasan ciri ini dilihat
sebagai tanda kesenangan Drijarkara yang bertanya kepada sesama, bertanya kepada
masyarakat yang berbahasa, bertanya pada dirinya sendiri yang telah dibentuk oleh
pergaulan dengansesama melalui bahasa, yaitu “menanyai diri sendiri sebagai oknum
kemanusian ia bersemboyan Homo Homini Socius yang diresapi oleh penghayatan cinta
kasih“ (“manusia itu teman bagi manusia“ – lawan dari Homo Homini Lupus “manusia
itu serigala bagi manusia“ dari Thomas Hobbes).34

Dari judul-judul karangannnya, apa caranya mendekati pelbagai pokok


pembicaraan sampai pada umpamanya Pancasila, kita dapat melihat bahwa ia secara
spontan selalu bertitik-pangkal pada uraian falsafati tentang manusia. Dari seluruh bidang
filsafat manusia mungkin tidak ada satu pokok pun yang sedemikian ditandai ciri khas
penguraian Drijarkara seperti keberadaan manusia di dunia sebagai berjiwa-raga dan
dalam keadaan itu berpribadi. Pokok itu diuraikannya dengan nada ringan dan mendalam
dalam karangan tentang apa dan siapa: manusia itu apa yang ber-siapa, dan siapa yang
ber-apa. Tepat dan enak dibaca, kata orang. Yang langsung berhubungan dengan manusia
ialah uraiannya mengenai humanisme, dan mengenai jalan menuju filsafat ketuhanan
beradasarkan uraian yang tepat mengenai manusia. Seluruh bidang etika, kesusilaan
maupun pembicaraannya yang mendalam tentang kebebasan merupakan lanjutan filsafat
manusia. Bidang lain yang banyak disoroti ialah pendidikan, baik karena harapannya di
bidang pengajaran, maupun (dan lebih menarik) karenna keinginannya agar pendidikan
diminati dalam pembangunan Indonesia modern selama masa yang diwarnai pelbagai
peralihan. Akhirnnya Pancasila merupakan pokok yang banyak dibicarakan dalam
karangan-karangan paling menarik menjelang dan selama tahun 1965-1966.35

Periode awal dari karyanya ditandai dengan pendekatan yang lebih bersifat
spekulatif. Ini tampak dalam disertasinya tentang terori “partisipasi“ Malebranche. Di
sana Drijarkara menggali secara mendalam dan kritis paham Malebranche tentang
hubungan manusia dengan Allah, ditinjau dari sudut filsafat. Meskipun pokok pikiran
dalam periode ini tetap menjadi orienrtasi dasar bagi pengerrtian-pengertian selanjutnya,
namun pendekatan yang “murni“ filsafat ini dengan cukup cepat ditinggalkannya. Dia
kemudian beralih ke pendekatan yang kedua yang nampak jelas menguasai hampir
sebagian besar karya-karya sesudahnya .

Periode kedua ditandai dengan pendekatan yang bersifat fenemonolgis-dialektis.


Drijarkara sendiri mengakui bahwa filsafat harus menggunakan metiode itu sebagai
propedeutica atau persiapannya. Tentang metode ini Drijarkara mengatakan:
Berdasarkan keyakinan, bahwa sumber kebenaran itu harus dicari dalam persentuhan kita yang
asli dengan realitas, maka fenomenologi adalah metode berfikir yang menganjurkan supaya kita
menggali pengalaman kita, dengan maksud untuk berhadapan dengan unsur intuitif dari pengertian
kita. Unsur itu harus kita analisa, sehingga kita menemukan intisari dari dari barang-barang yang
kita alami.

34
Ibid.
35
Sutrisno Kutuyo, “Drijarkara,” dalam Surisno Kutoyo, Cendikiawan dan Kebudayaan, Jilid 8 (Jakarta:
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hal. 33-46.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 20
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dalam periode ini Drijarkara menggali dimensi-dimensi falsafi yang


diketemukannya dalam peristiwa-peristiwa hidup dan tugas-tugas yang mewarnai
perkembangan hidupnya. Dia bertitik tolak dari pengalaman eksistensialnya sebagai
manusia Jawa, pendidik, imam dan nasionalis Indonesia. Kemudian dari sana dia
mencoba menangkap inti-sari dari pengalaman-pengalamannya tersebut. Di sinilah letak
unsur fenemenologisnya. Inti-sari pengalamannya itu kemudian dicoba untuk
direnungkan, dikontemplasikan, dipertanggungjawabakan secara rasional dan akhirnya
dirumuskan; dan menjadi titik tolak pengalaman eksistensial berikutnya. Di sinilah letak
dialektika pendekatannya.36

Dari metode yang dipakainya dalam berfilsafat kita melihat bahwa Drijarkara
berhasil membuat filsafat menjadi suatu cara refleksi yang efektif atas kehidupan seharti-
hari yang kongkret, ’sederhana’ dan dialami oleh semua orang. Dia berfilsafat dalam
bahasa yang dimengerti oleh kebanyakan orang, juga yang tidak cukup terlatih dalam
disiplin filsafat yang ketat. Hal ini bisa kita mengerti mengingat bahwa tulisan-tulisan
Drijarkara memang ditujukan untuk konsumsi masyarakat. Di sini amat menonjol usaha
Drijarkara untuk mempopulerkan, istilah-istilah filosofis yang kompleks ke dalam istilah
sehari-hari, yang memang tidak umum dipakai namun maksudnya mudah diterka.

Masih berkaitan erat dengan tujuan dia menulis, yakni untuk memperkenalkan
filsafat kepada masyarakat luas, kita bisa melihat pula bahwa filsafatnya bukan filsafat
yang reaktif dalam arti agresif, yakni mau menyerang suatu ide atau pandangan tertentu
dan membangun argumen-argumen yang destruktif; dan juga tidak bersifat apologetis.
Filsafatnya lebih bersuasana analitis-kritis. Dia terbuka terhadap pandangan-pandangan
yang ada, menyaring dan menganalisanya lalu membangun filsafatnya sendiri
beradasarkan analisa tadi. Dilsafat secama ini tampaknya lebih mengena bagi orang-
orang Timur.37

Dia adalah seorang filsuf tetapi sekaligus juga pendidik dan rohaniawan.
Komitmennya yang tinggi pada tugasnya sebagai rihaniwan memberi warna khas dalam
tulisan-tulisannya. Banyak nilai-nilai luhur tentang manusia yang dicoba ditanamkan
pada diri pembacanya. Di satu pihak hal ini amat positif, tetapi di lain pihak
mengakibatkan satu sisi lemah dari karya-karyanya tentang manusia.

Pembaca yang kritis akan segera menemukan bahwa sulit dicari sistimitasi
pemikiran yang jelas dalam karya-karyanya tentang manusia itu. Drijarkara seolah-olah
begitu takut kalau–kalau filsafatnya disalahtafsirkan sehingga menyimpang dan mission
pendidikan. Berulangkali dengan cepat dia menyisipkan peringatan-peringatan etis yang
sebenarnya bisa ditunda penyampaiannya. Hal itulah yang kiranya paling mengganggu
sistematisasi pemikiran-pemikirannya.

Filsafat Drijarkara dapat dikatakan sebagai filsafat humanistik. Pusat perhatiannya


adalah manusia. Manusia itu diyakininya sebagai makhluk yang otonom, namun perlu

36
B.B. Triatmoko SJ, “Sistematisasi Pemikiran Drijarkara dalam ‘Filsafat’ nya ,“ dalam Sema STF
Drijarkara, op.cit., hal. 67– 77.
37
Ibid.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 21
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

diingat bahwa otonomi itu tidak dari dirinya sendiri. Dia punya kelekatan pada Tuhan.
Sebagai agamawan, aspek kelekatan ini memang seakan tak terbantahkan dalam dirinya.
Karena dirinya yang adalah agamawan itu pulalah aspek kelekatan tersebut tidak dilihat
sebagai kemandegan. Tuhan tidak dimengerti sebagai simbolisasi dari terminal akhir
batas pemikiran. Justru dalam diri Tuhan itulah manusia menemukan keheningan,
kebeningan menemukan kepenuhannya. Dan itu baginya jelas tampak dalam dinamika
rohani dari manusia itu sendiri.38

Pendasaran pada Tuhan itu seakan mengisyaratakan pada semacam “obsesi”


Drijarkara pada prinsip manusia utuh. Dia ingin mengembalikan manusia pada identita
dirinya yang utuh, sebagaimana diciptakan oleh Tuhan. Maka tak heranlah kalau
pendekatan ini membuat filsafat filsafat Drijarkara mempunyai bau etika moral yang
kuat. Ada bahkan yang lalu mempertanyakan, apa dengan begitu filsafat Drijarkara itu
tidak menjadi filsafat moralis? Untuk menjawab itu secara utuh tentu perlu dilihat
konteks pemikirannya. Namun jeyang jelas bagi Drijarkara omong kosong kalau dalam
kerangka pembangunan kemasyarakatan ini, kita hanya dihadapakan dengan berbagai
tulisan-tulisan dan pidato yang indah-indah, pun sia-sia pulalah kita membuat berbagai
macam rencana dan tindakan kalau tak ada pembangunan moralitas. Pembangunan punya
dua dimensi; humanisasi dan perubahan dehumanisasi. Humanitas yang ideal, seperti
dalam filsafat Drijarkara berhadapan dalam praksisnya dengan praktek dehumanisasi:
perampasan hak dan martabat kemanusiaan. Dari situlah muncul norma – norma etik.
Norma etik itu muncul karena tuntutan pendobrakan situasi dehumanisasi, dan tuntutan
perubahan struktur serta tatanan sosial yang menghambat humanitas itu. Dengan
demikian etika moral Drijarkara muncul karena humanismenya berhadapan dengan
praktek dehumanisasi dalam masyarakat .

Sehubungan dengan etika moral yang dipusatkan pada Tuhan sebagai sumber
kepenuhan utuh manusia, ada juga yang mempertanyakan apakah hal itu tidak berarti
pandangan dualistik? Manusia memang bergantung pada Tuhan, Namun ketergantungan
itu tidak berarti dualistik. Manusia itu adalah machluk jasmani-rohani, bukan dualisme
rohani dan jasmani. Ada aspek monistis dan integralitas. Tuhan itu memang dekat dalam
diri manusia, tapi sekaligus Dia itu jauh; bersatu tapi juga terpisahkan. Dengan demikian
masih ada otonomi, Aspek kesatuan manusia dengan Tuhan sebagai bentuk kepenuhan
itu pun menunjukkan kesatuan, karena kesatuan tersebut berwujud dalam realitas
manusia sebagai wahyu-jatmika.

Ada pula yang mempertanyakan sikap kebebasan berpikir Drijarkara, mengingat


bahwa prinsip Ketuhanan itu tidak bisa diganggu gugat lagi dalam dirinya. Kirannya hal
itu bisa dijawab dengan melihat aspek konsistensi diri Drijarkara. Tuhan baginya secara
konstitutif ada dan melekat dalam diri manusia. Maka disitulah letak kebebasannya.
Artinya dia bebas secara konsistensial. Sebagai pemikir, kalau dia mau konsisten dengan
dirinya sendiri, maka Tuhan harus diletakkan pula secara konsisten sebagai dasar.
Dengan kata lain, dia itu bebas tapi sekaligus juga konsisten dengan dirinya.
Inkonsistensi akan membuat buah-buah pemikirannya teralienasi dari dirinya sebagai
subyek pemikir.
38
Krispurwana SJ, loc. cit .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 22
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Begitulah, kita telah melihat bahwa melihat subyek pemikir menunjukkan bahwa
etika moral humanisme mau ditegakkan dan humanisme itu diletakkan pada Tuhan
sebagai dasarnya.39

Kendati Drijarakara seorang rohaniawan Katolik tetapi dalam mengajar Drijarkara


bisa menempatkan diri. Soe Hok Djin alias Arief Budiman yang pernah menjadi
muridnya ketika Drijarakara menjadi guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
menyatakan demikian: ”Pemikiran yang jernih tanpa hipokrisi ini membuat pater
Drijarkara bersikap dewasa terhadap agama, juga agama yang dianutnya. Setiap orang
yang masuk Fakultas Psychologi UI mula-mula akan merasa was-was melihat bahwa
filsafat diajarkan oleh seorang pastor. Tapi begitu mereka mengikuti kuliah-kuliah pater,
semua prasangka-prasangka ini akan lenyap. Tidak sedikit pun dalam kuliah-kuliah pater
Drijarkara memberikan hal-hal yang bersifat propagandistis. Saya sendiri bukan seorang
katolik dan saya memperhatikan benar soal ini. Segala-galanya diuraikan secara obyektif,
jujur tanpa pretensi apa-apa. Satu-satunya ke-katolik-an yang tampak ialah jubahnya.“40
Murid di kampus yang sama, Farida Lestira Subardja juga menceritakan bagaimana
Drijarkara menghayati filsafat yang mana terungkap lewat perumpaan kecil “…Suatu
malam, di tengah gerimis hujan aku berjalan sendirian. Aku berjalan terus di tengah
kegelapan itu. Pandangan mataku makin lama bertambah kabur dan hampir tidak melihat
apa-apa lagi. Aku heran dan berhenti sejenak. Ah….kaca mataku. Aku mencopot
kacamataku dan membersihkannya, lalu semuanya menjadi jelas kembali. Dan aku
meneruskan perjalananku.”41

Pancasila
Pada saat-saat yang sangat kritis, Driyarkara muncul dengan uraiannya tentang
Pancasila yang sangat besar dampaknya. Prasarannya tentang Pancasila dan Religi yang
ia ucapkan pada Seminar Pancasila di Yogyakarta pada tanggal 17 Februari l959
mendapat perhatian yang cukup besar sehingga sempat diterjemahkan dalam bahsa
Inggris oleh Departemen Penerangan dan disebarluaskan oleh keduataan-kedutaan Luar
Negeri Republik Indonesia. Seminar Pancasila I di Yogyakarta itu disetujui oleh Presiden
Soekarno karena mencari backing ilmiah untuk mendukung keputusan politik yang akan
diambilnya. Pramasarannya terdiri dari Muhammad Yamin berbicara tentang Trias
Politika: Pancasila, Golongan Fungsional dan Demokrasi Terpimpin; Roeslan Abdulgani
memberikan uraian mengenai Pancasila sebagai landasan Demokrasi Terpimpin;
Notonagoro memberikan prasaran menganai Panacasila sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia dan N. Drijarkara berbicara tentang Pancasila dan Religi.42

Makalah yang berjudul Pancasila dan Religi. Teks yang tebalnya 30 halaman.
Dengan bantuan bahan historis dan bahan sejarah kebudayaan bangsa, terutama dengan
berdasarkan pada uraian falsafi tentang manusia (“Apakah gerangan manusia itu?”),
39
Ibid.
40
F.X. Danuwinata SJ, dalam A. Budi Susanto SJ (ed), op.cit.
41
BB. Triatmoko SJ, dalam Sema STF Drijarkara, op.cit , hal. 5 – 11 .
42
AMW Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: CSIS , 1985), hal. 161-169.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 23
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Drijarkara menjabarkan Panasila dengan sila kemanusian sebagai akar (katakanlah)


dialektis dari suluruh Pancasila. Kemanusian ditafsirkan sebagai perikemanusian,
menyusullah sebagai biji bagi siila-sila yang lain yang diberi nama cinta kasih (keadilan
sosial), demokrasi (kerakyatan), tanah air (persatuan) sehubungan dengan nasionalisme
dan internasionalisme, lalu akhirnya ialah “mencari Tuhan“ (ketuhanan) sebagai puncak
kehidupan manusia yang menganut religi sebagai “tuntutan total“. Filsafat Pancasila itu
ditutupnya uraiannya Indonesia itu bukan negara agama dan bukan negara profan.
Makalah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Pantjasila and Religion
oleh Departemen Penerangan guna disebarluaskan ke luar negeri melalui paerwakilan-
perwakilan RI.Tulisan tersebut merupakan jawaban ketika kita sulit untuk keluar dari
lumpur debat mengenai Pancasila dan Agama, saat komunisme mau bersembunyi dibalik
Pancasila untuk tidak usah beragama.43

Hal lain yang ingin saya ungkapkan pula sebagai suatu kesan tersendiri adalah
sikap Drijarkara yang amat correct dan hati-hati di dalam hal hubungan antara filsafat di
satu pihak dengan theologi di lain pihak, serta theologi di satu pihak dengan ilmu
pengetahuan di lain pihak. Drijarkara nampaknya merasakan adanya perbedaan dan
pembedaan antara jenis-jenis pengetahuan tersebut. Drijarkara tidak mecampurbaurkan
ilmu dengan filsafat, atau pun filsafat dengan theologi. Ia melihat adanya batas antara
yang satu dengan yang lain, walaupun semuanya itu berada di dalam satu hartibaan yakni
manusia yang memanusia itu.

Sikap Drijarkara terhadap problematik antara agama dan sekularisme, atau


pemikiran keagamaan dan sekularisme adalah sangat menarik. Sebagai anak zamannya
Drijarkara nampaknya menyadari bahwa hal ini merupakan salah satu problem kultural
mendasar terutama di Eropa. Tidak perlu saya kemukakan pada kesempatan bagaimana
proses tersebut terjadi. Berawal dengan Renaissance dan Humanisme timbullah zaman
modern di Eropa yang terus berkembang dan menggelombang.

Pada makalahnya mengenai Pancasila dan Religi, di situ Drijarkara memberikan


ulasan mengenai hal tersebut. Mungkin ada kesan masih ada keraguan mengenai garis
yang harus dipilihnya, akan tetapi ia melihat bahwa kalau pun pemikiran keagamaan
(theokratisme keagamaan) adalah suatu jalan (yang dapat menjadi dogmatik dan
deterministik dan karena itu membawa kebuntuan dan absurditas), maka sekularisme
adalah jalan lain, yang sama juga masalahnya. Maka ada jalan ketiga, yaitu memandang
semua itu di dalam pola besarnya adalah kebudayaan sebagai jalan ketiga atau sebagai
elternatif terhadap pemikiran theokratisme keagamaan di satu pihak dan sekularisme di
lain pihak.44

Sifat seminar ini merupakan pencampuran antara pendekatan ideoligis-politis dan


pendekatan sistematis-akademis. Pemikiran pemikiran mengenai kembali ke Undang-
Undang Dasar l945, dengan demokrasi terpimpin dan golongan fungsional yang
merupakan bagian dari Konsepsi Presiden Sukarno, merupakan bagian ideologis-politis.
Pemikiran-pemikiran yang bersifat sistimatis-akademis di dalam seminar itu tampak

43
Chris Verhaak SJ, dalam STF Drijarkara, op.cit.
44
AMW Pranarka, dalam Sema STF Drijarkara, op.cit.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 24
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

anatara lain dari beberapa pendapat; (a) Pancasila adalah Staats-fundamental norm; (b)
bahwa Pancasila itu merupakan suatu formula filsafat tentang manusia; (c) bahwa
Pancasila itu tidak mengajarkan konsep negara theokrasi dan tidak pula mengajarkkan
konsep negara sekular. Kesimpulan dibuat oleh Seminar Pancasila itu dapat disebut
bersifat ideologis-politis. Karena itu seminar ini menampilkan berbagai pendekatan
intelektual terhadap Pancasila yang sifatnya tercampur ada pendekatan ideologis, ada
pendekatan ilmiah dan ada pendekatan filosofis.

Adapun kesimpulan dari Seminar Pancasila I itu memusatkan lima hal: (1)
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia tidak perlu diperdebatkan lagi; (2)
Demokrasi Terpimpin sebagai alat penyelenggaraan pemerintahan untuk merealisasi cita-
cita negara Proklamasi 17 Agustus l945; (3) Masuknya golongan fungsional dalam
badan-badan kenegaraan; (4) Asas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu sila
dalam rangka kesatuan Pancasila yang bisa menjamin adanya pemeliharaan dan
perkembangan keyakinan agama dan (5) Kembalinya secara prinsipil pada Undang-
Undang Dasar Proklamasi 17 Agustus l945.

Menghadapi krisis dan kemacetan yang terjadi di dalam Majelis Konsituante,


dengan mendapat dukungan dari sebagian partai-partai politik, kaum intelektual,
Angkatan Darat, pada tanggal 5 Juli l959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit, yang
isinya adalah membubarkan Konsituante, menyatakan berlakunya lagi Undang-Undang
Dasar l945, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit itu; tidak berlakunya Undang-
Undang Dasar Sementara l950; pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.45

Drijarkara adalah orang yang berani menentang ketidakbenaran. Hal ini


dibuktikan pada waktu ada larangan memberikan penafsiran tentang Pancasila, Drijarkara
mengeluarkan pendapatnya secara tajam tetapi hati-hati. Tulisannya yang Berjudul
“Pancasila sebagai Ideologi“ dimuat dalam majalah BASIS pada bulan September 1960.
Ketika Drijarkara menyusun daftar tulisan-tulisannya sewaktu ia diajukan untuk diangkat
menjadi Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia. Pada makalah yang berjudul
Pancasila dan Religi ditambahkannya catatan yang sampai sekarang masih ada dalam
arsip Fakultas Psikologi UI sebagai berikut:

Sesudah itu komentar/karangan tentang Pancasila dilarang, kita hanya


Boleh berpikir sendiri. Maka kami diam saja.46

Tulisan mengenai Pancasila diawali dengan tulisannya yang berjudul Pancasila


dan Religi. Kita masih ingat dalam prasarannya itu, Drijarkara mencoba mencari dasar-
dasar filosofis yang kemudian diperkembangkan dalam karya lainnya tentang Pancasila.
Pancasila merupakan refleksi pertama atas kenyataan hidup bangsa Indonesia. Usaha
Drijarkara dalam mencoba menggali Pancasila adalah usaha untuk memberi dasar flosofi

45
A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, op.cit.
46
Chris Verhaak, dalam Sema STF Drijarkara, op. cit .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 25
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dari Pancasila itu, baru setelah itu harus menjadi welatnscahung kembali, menjadi
pedoman hidup sehari-hari tetapi dengan kesadaran yang lebih mendalam.

Sesudah itu Drijarkara melanjutkan pengalian serta penelaahannya tentang


Pancasila dari bermacam-macam segi, antara lain: Pancasila dan pedoman hidup sehari-
hari; Pancasila sebagai ideologi dan Gambaran manusia Pancasila. Kegiatan
penelitiannya meningkat ketika Pancasila dipersoalkan, diragukan dan akan digantikan
dengan dasar filsafat lain. Menurut Drijarkara terjadinya penyelewengan terhadap
Pancasila sebenarnya menyangkut masalah pengertian dan sikap/mental yang dituntut
Pancasila. Penyelewengan mengenai pengertian Pancasila terjadi karena adanya
pengurangan, penambahan atau penggantian isi sila-sila Pancasila. Penyelewengan sikap
mental terjadi karena tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Maka
untuk kembali ke jiwa Pancasila, harus ada usaha menyiarkan pengertian tentang
Pancasila. Kekurangan pengertian terhadap suatu dasar kehidupan menyebabkan
terjadinya penyelewengan. Kita harus waspada terhadap penggantian isi Pancasila dengan
jalan berusaha menggali Pancasila itu sendiri. Akhirnya kita harus mencari jalan
bagaimana Pancasila itu harus diterapkan dalam jiwa tunas muda melalui pendidikan.

Setiap penyelewengan terhadap Pancasila dari siapapun juga harus ditentang,


lebih-lebih bagi pejabat yang tanpa kontrol. Dalam kesan pribadinya Prof. Dr. Slamet
Iman Santoso mengatakan “Sangat mengagumkan pula, pendapat dan analisa beliau
mengenai Pancasila yang sebenarnya merupakan analisa tentang soal kuno, spesifik
Indonesia. Untuk mengintegrasikan diri soal kuno ini dengan jaman modern sungguh
salah satu soal yang sulit . Akan tetapi berhasilkah beliau dalam usaha ini ,sehingga dapat
dikatakan bahwa beliau adalah penggali Pancasila yang murni dan modern.” Selanjutnya
Dr. Soedjatmoko mengatakan “Lantaran sifat cara berfilsafatnya itu beliau dengan segala
kesungguhan hati dan kadangkala novitasnya yang mengharuhkan telah dibawa langsung
ke tengah-tengah pengolahan dan perjuangan bangsa dan di dalam usaha bangsa kita
untuk menyelami dirinya dan mendudukkan diri sebagai bangsa di dalam dunia dan
sejarah. Dan demikianlah manusia reflektif untuk menjadi suatu pemikir yang engage
yang terlibat penuh di dalam perjuangan bangsanya.“47

Memang usahanya menggali Pancasila inilah merupakan salah satu


sumbangannya yang terpenting dan tidak dapat dipisahkan dengan ketekunannya
memikirkan persoalan negara dan bangsa Indonesia sesuai dengan bidangnya. Dengan
bergulat memikirkan Pancasila itulah akhirnya Drijarkara terlibat dalam persoalan bangsa
dan negara, yaitu soal demokrasi, negara, ideologi, revolusi, kekuasaan dan nasionalisme.

Tetapi tanggal 6 Mei l966 keadaan negara dan masyarakat sudah sedemikian
berubah sehingga dalam rangka simposium “Kebangkitan Angkatan ‘66“ ia diundangkan
menyajikan prasaran dengan judul Kembali ke Pancasila. Kita berada di tengah
perjuangan menuju Orde Baru. Penyelewengan-penyelewengan yang telah terjadi
disinggungnya, lalu para peserta diajak kembali ke Pancasila sesuai dengan maksud

47
Sutrisno Kutoyo dkk, “ Drijarkara,” dalam Sutrisno Kutoyo dkk dalam, Tokoh Cendikiawan dan
Kebudayaan, Jilid 8, (Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1977), hal. 33–46.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 26
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

semula. Pada kesempatan ini Drijarkara mengupas dan menegaskan bahwa kita boleh
“berpikir sendiri“ lagi. Uraiannya bernada filsafat, sama seperti Pancasila dan Religi,
tetapi sekarang bukan dalam arti pengupasan dialektis. Dasar falsafi dalam prasaran ini
ialah Pancasila menawarkan kepada kita lima kategori tematis, yang hendaknya kita
jadikan lima kategori operatif (malahan imperatif disebut juga). Asasnya sekarang
kekeluargaan, gotong royong yang diberinya nama juga sosialisme dalam kehidupan
negara. Asas itu dikembangkannya sebagai kebangsaan dan demokrasi dari satu sudut,
ketuhanan dan perikemanusiaan dari sudut penghayatan perseorangan. dan semuanya
bermuara menjadi keadilan sosial. Selanjutnya deviasi terhadap Pancasila sebagai
kategori tematis lalu sebagai kategori operatif. Seluruh teks tahun 1966 kurang tenang
dan mungkin juga kurang menyeluruh dan isinya belum mengedap dalam diri penyusun
karena situasi politik juga belum mengijinkan.48

Dengan tidak membedakan antara nilai dan arti, Drijarkara mengartikan nilai
sebagai hasil refleksi manusia akan “keberadaannya“. Nilai itu terkandung secara
eksplisit ataupun implisit dalam diri manusia dan mempunyai kemampuan untuk
menggerakkan kehidupannya. Seandainya nilai tadi dirumuskan secara bersama daan
dieksplisitkan sebagai milik bersama dalam aktivitas menegara, akan terlahir apa yang
sekarang kita sebut sebagai ideologi.

Kalau tadi disinggung bahwa ideologi akan ditempatkan seabagai orientasi nilai,
dan sebentar di atas tadi juga disinggung bagaimana nilai itu kemudian mernjadi sebuah
ideologi, kepada kita ditawarkan kategori tematis yang semuanya kita mengerti dengan
nama Pancasila. Kedudukannya sebagai kategori tematis mengharuskan Pancasila
dijadikan norma-norma dalam kehidupan menegara dan berbangsa. Tuntutan bahwa
norma-norma harus operatif, menjadikan Pancasila tidak sekdar sebagai tematis saja
melainkan operatif. Dalam kenyataan tersebut Pancasila harus tertanam sedemikian
dalam, sehingga meskipun tanpa disadari toh menentukan perbuatan-perbuatan kita
sebagai warga negara yang manusia. Perpaduan antara yang tematis dan oepartif,
sebagaimana tersurat dalam pernyataan terakhir di atas menampakkan adanya unsur das
Sollen dan das Sein yang menyatu dalam Pancasila. Tentu sebagai norma, das Sollen
selalu mengandaikan idea universal asasi kemanusiaan yang abadi sepanjang masa.
Sedangkan untuk das Sein hal itu lebih menampak dalam kekhasan ruang dan waktu,
sehingga tuntutan zaman yang relatif ini memungkin suatu yang fundamental, abadi,
universal tersebut dapat menjadi sesuatu yang operatif dan applicable.

Bertolak dari dimensi kedua yaitu das Sein dari Pancasila harus dimengerti dalam
batasan Indonesia. Pancasila hanya dapat diterima sebagai ideologi bangsa, negara
Indonesia. Maka Pancasila tidak dapat dikatakan semata-mata sebagai sama dengan
Wetanschaung. Pertanyaan siapakah yang memiliki Pancasila harus dijawa dengan
bangsa Indonesia dan diartikan sebagai sekelompok manusia yang melakukan aktivitas
menegara dalam Negara Indonesia.49

48
Chris Verhaak SJ, dalam A. Budi Susanto SJ (ed), op.cit .
49
Y.B. Heru Cahyadi SJ, ”Drijarkara sekitar Menegara dan Indeologi,“ dalam Sema STF Drijarkara,
op.cit., hal. 89–95.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 27
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Drijarka juga menyumbangan buah pikiran dalam gerakan kerasulan sosial. Untuk
memahami sumbangannya ada baiknya melihat jauh kebelakang. Setelah Pengakuan
Kedaulatan, bangsa Indonesia mulai menyadari kemiskinan menghampiri. Kendatipun
demikian ada harapan besar rakyat Indonesia bahwa semacam pembangunan harus
dimulai. Tentang pembangunan itu, banyak orang sudah memikirkan sebuah
pembangunan yang meyeluruh dan sampai pada penyelesaian masalah-masalah setempat,
yang acapkali dilupakan orang. Namun yang terjadi adalah bahwa unsur-unsur
manusiawi pembangunan, kesulitan-kesulitan setempat tidak dipahami dan lepas dari
perhatian. Memang terlalu banyak harapan diletakkan pada Presiden Soekarno dengan
pemerintahannnya. Ketika iti kegiatan politik lebih menonjol tetapi tidak pernah terjadi
sesuatu mengenai “pembangunan“ khususnya pada lapisan bawah. Tiga zaman yang
dilalui rakyat penuh dengan penderitaan. Zaman Hindia Belanda, selama pendudukan
Jepang dan perang kemerdekaan diwarnai dengan pengorbanan rakyat. Kesemuanya itu
telah menumbuhkan kerinduan rakyat untuk sebuah “pembangunan“. Tetapi semangat
perjuangan demi kemerdekaan tidak mudah diwujudkan dalam perjuangan pembangunan
masyarakat kecil oleh masyarakat kecil.

Mgr. Soegijopranata menganggap mengenai perlunya mengisi kekososngan


pengertian membangun sosial ekonomi dari bawah. Pertimbangannya bahwa
pembangunan sosial ekonomi yang dari atas tidak banyak terjadi atau belum mungkin
terjadi. Dalam masalah ini PKI tahu benar memanfaatkan situasi. Dengan banyak janji
kongkret kecil yang menarik rakyat miskin, PKI mampu membangun basis dan
“onderbouw“ partainya. Gelora antusiasme rakyat yang merdeka dimanfaatkan oleh PKI.
Kenyataan berbicara lain. PKI dengan segala argumentasi kemasyarakatannya toh tidak
mampu berbuat sesuatu yang relevan mengenai perkembangan sosial ekonomi rakyat
oleh rakyat sendiri. PKI tidak mempunyai strategi demikian. Adanya kekosongan yang
dalam, luas dan amat menyedihkan. Mgr. Soegijo dan Drijarkara, yang dapat membaca
tanda-tanda zaman mula banyak mengadakan refleksi dan penegasan sosial yang
di-“share” dengan umat dan rakyatnya. Di tengah pergulatan ini, John Dikstra SJ
memperoleh tugas untuk mulai berbuat sesuatu mengenai kerasulan sosial.

Pada waktu itu ada dambaan yang besar dari masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan jasmani dan rohaninya. Dan PKI melalui organisasi-organisasi
“onderbouw”nya mulai dengan hebatnya mengerjakan dan menjawab dambaan
masyarakat tersebut. Dambaan untuk memenuhi kebutuhan jasamani dan rohani rakyat,
pula bentuk kebutuhan-kebutuhan adalah sesuatu yang jelas. Namun cara untuk
memenuhi dan melayaninya tidak jelas. Padahal, kalau kita simak, garis pokok
cara pemenuhan kebutuhan rakyat itu sudah disediakan dalam Pancasila. Jutaan orang
Indonesia kehilangan banyak miliknya, menganggur, mencari kerja susah, maka mereka
mudah digoda-goda dengan janji-janji muluk PKI, yang memang mengandung
kebenaaran dan keadilan juga. Gereja merasa tertantang. Bagaimana Gereja akan
menangani soal raksasa itu, padahal kerinduan rakyat kecil jelas. Rupanya pendekatan
Drijarkara dan Soegiyopranoto cocok yakni mencari nilai-nilai yang hidup pada rakyat
terlebih dahulu. Nilai-nilai Pancasila. Apakah itu benar-benar hidup pada rakyat kecil?
Soekarno memakai pendekatan itu, namun lebih merupakan retorika dengan bahasa
efektif untuk melancarkan kerinduan rakyat dalam banyak kata. Oleh karena muluk-

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 28
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

muluk dan bombatis, yang pada dirinya menarik perhatian rakyat, akhirnya tidak
menawarkan jalan keluar bagaimana rakyat sendiri dapat bergerak. Tidak ada program
praktis, kongret, efektif sesuai dengan subyektivitas rakyat.

Soegijopranata dan Drijarkara benar-benar menegaskan kenyataan itu, Drijakara


sebagai rohaniwan sekaligus mahaguru Pancasila, Soegijopranata sebagai Uskup Agung.
Soegijopranata meminta John Dijkstra SJ sebagai pelaksana. Gagasan kedua tokoh
tersebut berakar pada nilai-nilai dan iman bersama rakyat, maka tentu ada juga praktik
abilitinya, mutu bergerak yang khas rakyat. Mutu bergerak sudah ada pada agama baik
katolik maupun non-katolik. Mereka telah bergerak bersama rakyat ala kadarnya dalam
semangat Pancasila. Misalnya saja dalam buruh katolik, guru katolik atau protestan dan
nasional. Hanya bobot gerakannya belum ada, sebab massa rakyat belum dijiwai oleh
gerakan tersebut. PKI lebih unggul dalam hal ini, kendati banyak janjinya yang kosong.
PKI mampu menangkap psikhe rakyat. Soegijopranata amat prhatin akan bahaya PKI
dan mendekati Soekarno. Presiden Soekarno malahan minta disediakan 1000 tenaga
“Pancasilais“ dari Gereja Katolik. Soegiyopranata yang melihat awam, umatnya dapat
menjadi garam gerakan tanpa harus mengambil alih gerakan atau menguasainya dengan
nama dan cap “Katolik“. Dengan demikian orang Katolik lantas tidak “sendirian”. Orang
Katolik bersama dengan orang non Katolik yang mampu dan bermotivasi Pancasila
secara utuh. Dapat pula dikatakan dijiwai “iman dasar bersama“ itulah yang menjiwai
manusia Indonesia. Dan itu diungkapkan begitu indah dalam nilai-nilai Pancasila, yang
bukan sekedar ideologi saja. Yang kita perbuat adalah mencari iman itu pada siapa saja,
menyertainya, meneguhkannya, membiarkannya muncul dalam musyawarah karya,
pelayanan, kehidupan dan perkembangan manusia Akhirnya awam katolik dicari dan
bersama teman-temannya yang tidak katolik memunculkan gagasan bahwa Gerakan
Pancasila diperlukan di antara buruh, tani, nelayan, bahkan di coba di antara usahawan
dan tenaga paramedis. Yang terakhir ini tidak dapat disetujui oleh para suster religius
yang bekerja di bidang medis, kecuali di Rumah Sakit Elisabeth, Semarang. Sampai para
suster tidak setuju, sebagai pada waktu yang sama diterima surat edaran dari Roma untuk
mengadakan organisasi paramedis yang khas katolik. Soegijopranata tidak setuju tetapi
apa boleh buat. Banyak Uskup pun takut untuk mengambil langkah lain. Ikatan-ikatan
Buruh, Tani, Nelayan Pancasila bergerak terus, apalagi dengan dukungan KUKSI .

Sejak awal mula nama gerakan sosial itu ”Pancasila“ sebab skopenya nasional,
dari dan untuk semua orang, buruh, tani, nelayan yang “beriman dasar bersama“ yang
sama; nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila mana dijelaskan dengan gamblang baik
oleh Drijarkara maupun Soegijopranoto, dengan sifat khususnya masing-masing. Saya
sendiri yakin bahwa Drijarkara, yang begitu peka mengenai pergolakan rakyat dengan
perjuangan PKI melalui macam-macam organisasi sosial “onderbouw”nya, sampai sakit
dan meninggal melihat bahwa PKI akan menang. Soegijopranata lebih optimis, tidak
pernah takut dalam hal ini. Memang, sejarah itu amat ruwet, semrawut, sulit melihat arah
rakyat yang begitu diombang-ambingkan antara macam-macam kekuaan politik;
Nasional, Islam, dan komunis. Berkat para awam kita, jalan socially feasible
diketemukan. Dalam hal itu sangat dijiwai, diilhami dan dieguhkan oleh Soegijopranata,

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 29
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

berdasarkan apa yang ada pada awam itu, yang begitu berakar pada apa yang hidup
tersembunyi pada rakyat kecil.50

Ikatan Buruh Pancasila didirikan tahun 1954. Ikatan Petani Pancasila didirikan
kurang lebih tahun 1958. Ikatan Nelayan Pancasila didirikan kurang lebih tahun 1964.
Pada tahun 1967, jumlah anggota Ikatan Buruh Pancasila sudah 300.000 orang yang
terdapat di kota-kota besar Jawa dan perkebunan-perkebunan Sumatra Utara. Pada tahun
1973 Ikatan ini digabungkan dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia. Pada tahun 1967
Ikatan Petani Pancasila mempunyai satu jutaan anggota, tersebar dari Flores, Timor,
Tanah Toraja, Minahasa, Tanah Batak dan Jawa Tengah. Sedangkan pada tahun yang
sama, terutama dari Bangka, Belitung, kepulauan Riau dan Jawa. Perangkat atau wadah
gerakan sosial yang ditandai dengan nama “Pancasila“ ini yang pada perjalanannya
merupakan dukungan besar dalam kerasulan sosial. Ikatan-ikatan itu tidak menjadi
onderbouw Partai Katolik, dan terbuka untuk orang dari berbagai agama, dengan syarat
menerima khususnya sila keadilan sosial berdasarkan ketuhanan, non partai politik, tapi
berpolitik aktif. Keindependen-an inilah yang kadang tidak disukai oleh Partai Katolik.
Mereka berjalan terus sampai dengan setelah Coup d’etat PKI yang gagal. Setelah semua
organsasi sosial demikian dibubarkan, hanya boleh ada satu organisasi buruh, tani dan
nelayan di bawah kuasa atap pemerintah. Sering pada mono-organisasi di bawah atap
pemerintah ini, seorang menteri yang berkepentingan menjadi ketuanya. Secara jujur,
semuanya de facto adalah “onderbouw“ dari Golongan Karya.51

Perlu dijelaskan dahulu bahwa atas usul PKI, Soekarno menetapkan bahwa semua
organisasi sosial “onderbouw“ partai politik harus hidup di tiga per empat jumlah
provinsi dengan sekian banyak anggota. Ikatan-ikatan Pancaila berhasil, maka di bawah
Presiden Soekarno mereka tetap selamat, Ikatan-ikatan Pancasila bukanlah “onderbouw“
partai politik, juga bukan dari Partai Katolik, yang tentunya sangat mengecewakan Partai
Katolik. Memang, awam maupun Soegijapranata melihat itu mustahil, sebab kurang lebih
90 persen anggotanya bukanlah pemeluk agama Katolik.

Perjalanan akhir
MPR baru sempat dibentuk sesudah UUD 1945 diberlakukan lagi (1959). Dengan
Penetapan Presiden no. 2/1959 dibentuk MPR(S) yang bersidang untuk pertama kalinya
di Bandung (10 November–7 Desember 1960). MPR(S) ini sebenarnya tidak sesuai
dengan kedudukan MPR seperti ditentukan UUD 1945, karena beberapa, antara lain (1)
Presiden yang menentukan jumlah dan ditambahkan kepada kepada anggota DPR dan
(2) Ketua dan Wakil Ketua yang menjadi menteri, artinya pembantu menteri; (3) Sumpah
jabaran diangkat dihadapan Presiden (atau wakilnya) dan (4) kemudian (1963) Presiden
dipilih untuk seumur hidup. Jadi, MPR(S) praktis dibawah Presiden dan tidak akan
melaksanakan kedaulatan rakyat, sehingga tidak masuk akal juga Presiden diangkat
sebagai mandataris MPR(S). Jadi, UUD 1945 yang baru diberlakukan lagi, tidak

50
F.Wahono Nitiprawira SJ, “ Kerasulan Sosial, Kerasulan Ber-Musyawarah Wawancara Dengan Paret
John Dijkstra SJ, dalam A. Budi Susanto SJ, op.cit., hal. 261–286.
51
Ibid.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 30
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

diindahkan pada penyusunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara – apalagi pada tigkat


yang lebih rendah.52

Ketika menjelang Peristiwa 11 Maret 1966, di mana ada larangan Pemerintah


untuk berdemontrasi maka Drijarkara mengemukakan bahwa demontrasi waktu itu perlu
sebagai uangkapan dari masyarakat terhadap penguasa. Drijarkara menulis karangan yang
menyadarakan dan memberi keberanian semua orang. Di situ diungkapkan hak para
pelajar dan mahasiswa untuk berdemontrasi sebagai hak azasi manusia dan berlandaskan
UUD 1945. Dalam hal ini Drijarkara menerangkan hal tersebut sebagai berikut:

Kritik sebagai unsur mutlak dalam demokrasi. Demokrasi mempunyai unsur-


unsur yang mutlak. Jika unsur-unsur itu tidak ada atau ditiadakan, maka di situ demokrasi
juga tidak ada atau sudah ditiadakan. Dalam kelompok unsur-unsur itu termasuk kritik,
sebab tanpa kritik tidak ada demokrasi. Kritik bukanlah tulisan, ucapan atau perbuatan
yang menjelekan, melainkan suatu penilaian yang sehat, berdasarkan alasan rasional,
tanpa sentimen dan sikap emosionil.

Masyarakat dalam alam demokrasi, setiap warganegara diakui dan diterima sebagai person, atau
pribadi, bukan sebagai kerbau yang dipekerjakan. Pemerintah demokrasi adalah pemerintah dari
rakyat untuk rakyat atau organ dari subyek bhineka tunggal untuk subyek itu juga. Sebab itu
pemerintah dalam alam demokrasi bertanggung jawab kepada rakyat dan rakyat wajib menilai
Pemerintahnya yang berarti memberikan kritik. Dengan demikian antara pemerintah dan rakyat
harus ada dialog atau wawanrembuk. Jika pemerintah menolak, berarti pemerintah diktaktur.
Walaupun kritik merupakan bentuk penilaian yang sering tajam dan demontrasi adalah bentuk
kritik yang luar biasa.53

Pada tahun 1965 Drijarkara diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan


Agung, tetapi lembaga negara ini sudah sejak bulan Januari 1965 tidak pernah
mengadakan rapat. Kendati terdapat persoalan-persoalan yang mahahebat setelah
terjadinya Peristiwa G-30-S/PKI, yang mana sewajarnya, bahwa dalam keadaan yang
genting itu didengarkan pertimbangan-pertimbangan dari lembaga negara ex officio
(menurut fungsinya) harus memberi pertimbangan itu. Setelah kejadian-kejadian sekitar
11 Maret 1966, Presiden Soekarno membentuk DPA (S) baru yang dianggap tidak sesuai
dengan ketentuan UUD 1945, yang hanya mengenal DPA bukan DPA (S). Terlebih-
lebih dalam pembentukan DPA (S), Presiden Soekarno tidak berkonsultasi dengan
Presidium kabinet Dwikora yang pada akhirnya menimbulkan reaksi penolakan terhadap
terbentuknya DPA (S) yang baru oleh dari KASI, KAMI dan GMKI. Drijarkara termasuk
18 orang yang menolak secara resmi pengangkatannya, dengan alasan bahwa selama
menjadi anggota DPA tidak pernah dimintai nasehat, ditambah pertimbangan bahwa
proses pengangkatan DPA (S) baru dinilainya berjalan diluar ketentuan-ketentuan yang
wajar. Dalam tulisan yang berjudul “Marilah Kita Blak-Blakan“, Drijarkara
menyimpulkan bahwa tantatangan-tantangan yang diarahkan kepada Presiden Soekarno
menunjukkan bahwa rakyat tidak bisa menerima kalau Presiden Soekarno bertindak
sendiri dan kewibawaannya sudah semakin menurun. Drijarkara menyatakan secara
tegas:

52
F.X. Danuwinata SJ, dalam A. Budi Susanto SJ (ed), op.cit.
53
Drijarkara, “Demokrasi – Mogok – Demonstrasi, “ Hidup, Tahun XX No. 13, 27 Maret 1966 .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 31
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tak ada gunanya kita dalam hal ini menipu diri kita sendiri. Menutup mata alias pura-pura dan
tiap-tiap hypokrisi dalam hal ini hanya akan merugikan dan membahayakan. Baiklah hal ini oleh
kita semua dan lebih-lebih oleh Bung Karno sendiri dihadap dengan sikap terbuka, dengan hati
yang jujur, dengan rasa tanggung jawab kepada Nusa dan Bangsa serta Tuhan Yang Maha Esa,
agar supaya kita bersama bisa memperbaiki apa yang harus dan bisa diperbaiki dan mengorbankan
apa yang harus dikorbankan, jika perlu. Bukan perseorangan melainkan keselamatan dan
kerahayuan seluruh Nusa dan Bangsalah yang harus jadi pedoman.54

Pada tanggl 11 Februari 1967 Drijarkara telah dipanggil Tuhan untuk selama-
lamanya. Usia 53 tahun 8 bulan memang bukan usia muda lagi bagi manusia, khususnya
manusia Indonesia, namun kepergiannnya toh dirasakan sebagai sesuatu yang agak
mendadak, hal mana diungkapkan oleh M. Siregar, Wakil Ketua MPRS sewaktu
pemakaman Drijarkara di Tanah Abang, Jakarta: “Justru pada saat negara dan bangsa
Indonesia menghadapi peristiwa yang sangat penting dengan sekonyong-konyong Tuhan
memanggil Saudara. Tidak sedikitlah Saudara memberikan sumbangan untuk
kepentingan negara dan bangsa. Dan buah pikiran Saudara banyak yang terwujud di
dalam ketetapan-ketetapan MPRS. Gereja dan umat Katolik Indonesia kehilangan
seorang rasul, seorang pelayan dan seorang saksi. Dalam kesalehan dan kesederhaan
Saudara telah berjuang sebagai rasul, sebagai pelayan dan sebagai saksi cinta kasih. Dan
di atas segala-galanya Saudara telah berjuang, dengan teladan hidup Saudara sendiri,
supaya cinta kasih menjiwai semua perjuangan.“55

Perjalanan anak manusia dari keluarga sederhana di pegunungan Menoreh sampai


peristirahatannya di Tanah Abang ini tidak tanpa bekas–bekas. Baik diketahui bahwa
beberapa tahun kemudian kuburan Drijarkara dipindahkan ke Girisonta di desa
Karangjati dekat kota kecil Ungaran yang berada di antara Semarang dan Bawen.
Disanalah ia di kubur di antara rekan-rekan Jesuit lainnya. Di sana pula ia pada tahun
1935 mulai hidupnya sebagai novis atau semacam cantrik selama dua tahun, menjalani
letihan-latihan dan mengalami tempaan-tempaan. Setelah lulus menjadi anggota Sarekat
Yesus atau Jesuit. Ia datang dalam kesederhanaan dan kembali untuk menetap selama-
lamanya dalam kesederhaan pula, tanpa banyak upacara. Ciptakaryanya belum selesai,
masih banyak kekayaan rochani yang dapat disumbangkan kepada orang-orang yang
ditinggalkan tetapi Tuhan yang menguasai hidup dan mati menganggap cukup.

Bagi kaum beriman hidup ini hanya dirubah tidak dimusnahkan dan sesudah tempat kediaman
mereka didunia ini hancur mereka akan menerima tempat kediaman kekal di surga.

54
Drijarkara, “ Marilah Kita Blak-Blakan ,” Hidup, Tahun XX,No. 13, 27 Maret 1868.
55
F.X. Danuwinata SJ, op.cit .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 32
Email: mr.kasenda@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai