Anda di halaman 1dari 31

RASIONALISME DAN EMPIRISME

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas:


Mata Kuliah : Filsafat Umum
Dosen Pengampu : Riski Adrian Jasmi, S.Si, M.Si

Di susun oleh : Kelompok 3 :

1. 181420002 Hana Imtinan Salsabila


2. 181420028 Hofifah
3. 181420029 Putri Ayu Dewi Wulan
4. 181420031 Samsul
5. 181420033 Umi Alfilatiifah
6. 181420036 Windi Febrianti

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI & BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA


HASANUDDIN BANTEN 2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH SWT, karena atas nikmat dan hidayahnya kami
(penyusun) dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya, makalah
Filsafat Umum tentang Rasionalisme dan Empirisme.

Harapan kami dalam pembuatan makalah ini dapat membantu mahasiswa dalam
pembelajaran serta mampu memberi kontribusi yang lebih baik bagi mahasiswa
dan dosen. Kami menyadari bahwa baik dari isi maupun cara penyusunan
makalah ini belum sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk langkah penulisan berikutnya.

Demikianlah mudah-mudahan makalah ini berguna dan dapat dimanfaatkan


sebaik-baiknya.

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan masalah
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN

BAB III PENUTUP


Kesimpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menyibukkan diri dibidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang hanya


dilakukan oleh segelintir ahli saja. Dalam kehidupan sehari-hari manusia
dilindungi oleh aneka macam peristiwa yang langsung dialaminya, seperti bangun
tidur, mengenakan pakaian, bekerja, dan beristirahat atau yang tidak langsung
sampai kepadanya, namun juga dianggap biasa saja, seperti misalnya berita dalam
surat kabar atau radio mengenai perkembangan mutakhir dalam politik
internasional, bencana alam disalah satu negri nan jauh atau peristiwa-peristiwa
menakjubkan.

Ketika itu dunia barat telah biasa membagi tahapan sejarah pemikiran menjadi
3 periode yaitu : Ancient, Medieval, dan zaman modern. Zaman modern sangat
dinanti-nantikan oleh banyak pemikiran manakala mereka mengingat zaman kuno
ketika peradaban begitu bebas, pemikiran tidak dikekang oleh tekanan-tekan
diluar dirinya. Kondisi semacam itulah yang hendak dihidupkan kembali pada
zaman modern.

Pada abad ke 13 di Eropa sudah timbul system filsafat yang boleh disebut
merupakan keseluruhan. Sistem ini diajarkan disekolah-sekolah dan perguruan
tinggi. Dalam abad ke-14 timbulah aliran yang dapat dinamai pendahuluan filsafat
modern. Yang menjadi dasar aliran baru ini ialah kesadaran atas yang individual
yang kongkrit.

Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era filsafat
modern, dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abad ke-20, munculnya
berbagai aliran pemikiran,yaitu : Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, Idealisme,
Positivisme, Evolusionisme, Materialisme, Neo-Kantianisme, Pragmatisme,
Filsafat hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme,
Namun didalam pembahasan kali ini yang akan dibahas aliran Rasionalisme
(Descartes, Spinoza, Leibniz) dan Empirisme (Francis Bacon, Thomas Hobbes,
John Locke, Geogre Barkeley, David Hume, Herbert Spencer)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Rasionalisme?
2. Apa yang dimaksud dengan Empirisme?
3. Siapa saja filsuf pada era Rasionalisme?
4. Siapa saja filsuf pada era Empirisme?

1.3 Tujuan Penyusunan


1. Untuk mengetahui apa itu Rasionalisme
2. Untuk mengetahui apa itu Empirisme
3. Untuk mengetahui filsuf-filsuf pada era Rasionalisme
4. Untuk mengetahui filsuf-filsuf pada era Empirisme
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Rasionalisme

Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason)


adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes
pengetahuan. Lawan dari rasionalisme adalah empirisme, empirisme mengatakan
bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiris, maka
rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir.
Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.

Rasionalisme ada dua macam, yaitu : dalam bidang agama dan dalam
bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan autoritas, dalam
bidang filsafat rasionalisme adalah lawan dari empirisme.

Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik


ajaran agama, rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai teori
pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapaat bahwa
sebagian dan bagian penting dari pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh
yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika.

Penemuan-penemuan logika dan matematika begitu pasti. Kita tidak hanya


melihatnya sebagai benar, tetapi lebih dari itu kita melihatnya sebagai kebenaran
yang tidak mungkin salah, kebenaran universal.

Sejarah rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan


rasionalisme dalam filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-
orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya (Socrates, Plato, Aristoteles). Pada
zaman filsafat modern, tokoh rasionalisme pertama ialah Descartes yang
dibicarakan setelah ini. Bersamaan dengan itu akan dibicarakan juga tokoh besar
rasionalisme lainnya, yaitu Baruch Spinoza dan Leibniz. Setelah periode ini
rasionalisme dikembangkan secara sempurna oleh Hegel yang kemudian terkenal
sebagai tokoh rasionalisme dalam sejarah.
Rasionalisme dilihat terutama reaksi terhadap dominasi Gereja pada Abad
Pertengahan Kristen di Barat. Pada konteks itulah kepentingan Descartes
dibicarakan agak panjang-lebar. Descartes lebih diperhatikan karena ada
keistimewaan padanya, seperti keberanian melepaskan diri dari kerangkeng yang
mengurung filosof Abad Pertengahan.

Zaman modern dalam sejarah filsafat baiasanya dimulai oleh filsafat


Descartes. Pernyataan ini bermaksud untuk menyederhanakan permasalahan. Kata
modern disini hanya digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang
mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat
pada Abad Pertengahan Kristen. Corak utama filsafat modern yang dimaksud
ialah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada Yunani Kuno. Gagasan itu
disertai oleh argumen yang kuat, diajukan oleh Descartes. Oleh sebab itu, gerakan
pemikiran Descartes sering juga disebut bercorak renaissance. Apa yang lahir
kembali? Ya, Rasionalisme Yunani itu. Yang harus diamati di sini ialah apakah
konsekuensi rasionalisme pada masa yunani terulang kembali.

Descrates dianggap sebagai Bapak filsafat modern. Menurut Betrand


Russel, anggapan itu memang benar. Kata “Bapak” diberikan kepada Descartes
karena dialah orang pertama pada Zaman Modern itu yang membangun filsafat
yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan
akhliah. Dialah orang pertama di akhir abad pertengahan itu yang menyusun
argumentasi yang kuat, yang distinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat
haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, bukan yang lainya.

Menurut catatan, Descartes adalah orang Inggris. Pada tahun 1612


Descartes pergi ke Perancis. Ia taat mengerjakan ibadah menurut ajaran agama
katholik, tetapi ia menganut galileo yang pada waktu itu masih ditentang oleh
tokoh – tokoh Gereja.

Pengaruh keimanan yang begitu kuat pada Abad Pertengahan, yang


tergambar dalam ungkapan credo ut intedlliggam itu, telah membuat para pemikir
takut mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan pendapat tokoh Gereja.
Apakah ada filosof yang mampu dan berani menyelamatkan filsafat yang
dicengkram oleh iman Abad Pertengahan itu.

Descartes telah lama merasa tidak puas terhadap perkembangan filsafat


yang amat lamban dan banyak memakan korban. Amat lamban terutama bila
dibandingkan dengan perkembangan filsafat pada Zaman sebelumnya. Ia melihat
tokoh – tokoh Gereja yang mengatas namakan agama

2.2 Tokoh - Tokoh Rasionalisme

1. Descartes (1596 – 1650)


Descartes lahir pada tahun 1596 dan meninggal pada tahun 1650. Bukunya
yang terpenting di dalam filsafat murni ialah Discour de la methode (1637) dan
meditation (1642). Kedua buku ini saling melengkapi satu sama lain. Di dalam
buku inilah ia menuangkan metodenya yang terkenal itu, metode keraguan
Descartes (Carstian Doubt). Metode ini juga sering juga disebut cogito Descartes,
atau metode cogito saja.

Ia mengetahui bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh – tokoh Gereja


bahwa dasar filsafat haruslah rasio (akal). Tokoh – tokoh Gereja waktu itu tetap
yakin bahwa dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat di dalam jargon
credo ut intellogan dari Anselmus itu. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar
filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasi yang amat terkenal. Argumentasi
itu tertuang di dalam metode cogito tersebut.

Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan


(terlebih dahulu) segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula – mula ia mencoba
meragukan semua yang dapat diindera, objek yang sebenarnya tidak bisa
diragukan. Inilah langkah pertama metode cogito tersebut. Dia meragukan adanya
badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin kerena pada pengalaman mimpi,
halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman roh halus ada yang sebenarnya itu
jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu Seolah – olah
dalam keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi seolah – seolah sesorang
mengalami sesuatu yang sungguh – sungguh terjadi, persis tidak mimpi (jaga).
Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan kenyataan gaib. Tidak ada
batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descrates berkata “ Aku
dapat meragukan bahwa aku duduk di sini dalam pakaian siap untuk pergi ke luar;
ya, aku dapat meragukan itu karena kadang – kadang aku bermimpi persis seperti
itu, padahal aku berada di tempat tidur, sedang bermimpi.” Tidak ada batas yang
tegas antara mimpi (sedang mimpi) dan jaga. Tatkala bermimpi, rasa – rasanya
seperti bukan mimpi siapa yang dapat menjamin kejadian – kejadian waktu jaga
(kita katakan sebagai jaga ini) sebagaimana kita alami adalah kejadian – kejadian
yang sebenarnya, jadi bukan mimpi? Tidak ada perbedaan yang jelas anatara
mimpi dan jaga.

Benda – benda dalam halusinasi dan ilusi juga membawa kita kepada
pertanyaan: yang manakah sesungguhnya yang benar - benar ada , yang sungguh
– sungguh asli? Benda – benda dalam mimpi halusinasi, ilusi dan kejadian
dengan roh halus itu, bila dilihat dari sisi kita sedang jaga, itu tidak ada. Akan
tetapi, benda – benda itu sungguh – sungguh ada bila dilihat dari posisi kita dalam
mimpi, halusinasi, ilusi, dan roh halus. Dalam mimpi kita melihat dan mengalami
benda – benda itu; dalam mimpi itu sungguh – sungguh ada. Sekali lagi: adakah
beda yang tegas antara mimpi dan jaga? Begitulah jalan pikiran dalam metode
cogito.

Pada langkah pertama ini Descrates dapat (berhasil) meragukan semua


benda yang dapat diindera. Apa sekarang dapat dipercaya, yang sungguh –
sungguh ada? menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu ( mimpi, halusinasi,
ilusi, roh halus), juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada sesuatu
yang muncul , baik dalam jaga maupun dalam dalam mimpi. Yang selalu muncul
itu ialah gerak, jumlah, dan besaran (volume). Pada tahap kedua ini Descartes
mengajak kita berpendapat bahwa yang ketiga inilah yang lebih ada daripada
benda – benda. Ketiga macam ini lebih meyakinkan adanya. Mungkin ketiga ini
lah yang benar – benar ada.

Betulkah yang tiga ini (gerak, jumlah, besaran) benar – benar ada? Lalu
Descartes mengujinya. Kemudian ia pun meragukannya, yang ketiga macam itu
adalah matematika. Kata Descartes, matematika dapat salah. Saya sering salah
menjumlah (angka), salah mengukur (besaran), juga demikian pada gerak. Jadi,
ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan. Ilmu pasti lebih pasti dari pada benda,
tetapi saya masih dapat meragukannya. Jadi benda dan ilmu pasti diragukan.
Kalau begitu, apa sekarang yang pasti itu, yang distinct. Sampailah ia pada tahap
ketiga dalam metode cogito.

“Masih ada satu yang tidak dapat kuragukan” demikian katanya, bahkan
tidak ada satu setan yang licik pun dapat mengganggu aku, tak seorang skeptis
pun mampu meragukannya, yaitu saya sedang ragu. Jelas sekali, saya sedang
ragu. Tidak dapat diragukan bahwa saya sedang ragu. Begitu distinct saya sedang
ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya bayangan misalnya,
atau hanya seperti dalam mimpi, tapi mengenai “saya sedang ragu“ benar – benar
tidak dapat diragukan adanya.

Aku yang sedang ragu itu disebabkan oleh aku berfikir. Kalo begitu, aku
berfikir pasti ada dan benar. Jika aku berfikir ada, berarti aku ada sebab yang
berfikir itu aku. Cogito ergo sum, aku berfikir, jadi aku ada. Tahapan metode
Descartes itu dapat diringkaskan sebagai berikut :

Gerak, jumlah,
Benda inderawi Saya sedang
besaran (ilmu
tidak ada ragu, ada
pasti) tidak ada

Saya ragu
Jadi, saya
karena saya
berfikir ada
berfikir
Sekarang descartes telah menemukan dasar (basis) bagi filsafatnya.
Basisnya itu ialah aku yang berfikir. Pemikiranku itu lah yang pantas di jadikan
dasar filsafat karna aku yang berfikir itulah yang benar-benar ada, tidak
diragukan, bukan kamu atau pikiranmu. Disini kelihatan lah sifat subjektif,
individualistis, humanis dalam filsafat descartes. Sifat-sifat inilah, nantinya yang
mendorong perkembangan filsafat pada abad modern. Descartes memulai filsafat
dari metode keraguan itu bukan lah tujuannya. Tujuan metode ini bukanlah untuk
mempertahankan meragukan. Sebaliknya, metode ini bergerak dari keraguan
menuju kepastian. Keraguan descartes hanya ditujukan untuk menjelaskan
perbedaan sesuatu yang dapat diragukan dari sesuatu yang tidak dapat diragukan.
Ia sendiri tidak pernah meragukan bahwa ia mampu menemukan keyakinan yang
berada dibalik keraguan itu, dan menggunakannya untuk membuktikan suatu
kepastian dibalik sesuatu. Keyakinan itu begitu jelas dan pasti, clear and distinct,
dan menghasilkan keyakinan yang sempurna.

Dalam metode ini berjalan suatu deduksi yang tegas. Bila descartes telah
menemukan idea yang distinct, maka ia dapat menggunakannya sebagai premise
yang dari sana ia mendeduksi keyakinan lain yang juga distinct. Seluruh
penyimpulan itu terlepas dari data empiris ; keseluruhannya merupakan proses
rasional. Setelah pondasi itu ditemukan, mulailah ia mendirikan bangunan filsafat
diatasnya. Akal menjadi basis yang paling terpercaya dalam berfilsafat.

2. Spinoza (1632 – 1677)


Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada tahun
1677. Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah mengucilkan diri dari agama
Yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benictus De Spinoza. Ia hidup
dipinggiran kota Amsterdam.

Menurut Solomon (1981:71) cara terbaik mempelajari metafisika modern


ialah mempelajari karya-karya metafisika para filosof. Mempelajarinya jangan
terpisah-pisah, misalnya kosmologi lebih dahulu, kemudian ontologi. Untuk
pengantar mempelajari metafisika modern, Solomon menganjurkan mempelajari
metafisika pada abad ke-17 terlebih dahulu.Filosofnya ialah Spinoza dan yang
kedua Leibniz (1946-1716)

Spinoza memulai dengan meletakan definisi-definisi. Beberapa contoh


definisi yang digunakannya dalam membuat kesimpulan-kesimpulan dalam
metafisika.

Beberapa Definisi :

1. Sesuatu yang sebabnya pada dirinya, saya maksudkan esensinya mengandung


eksistensi, atau sesuatu yang hanya dipahami sebagai ada.
2. Sesuatu dikatakan terbatas bila ia dapat dibatasi oleh sesuatu yang lain ;
Misalnya tubuh kita terbatas, yang membatasinya ialah besarnya tubuh kita
itu.
3. Substansi ialah sesuatu yang ada dalam dirinya, dipahami melalui dirinya,
konsep dapat dibentuk tentangnya bebas dari yang lain.
4. Yang saya maksud dengan atribut (sifat) ialah apa yang dapat dipahami
sebagai melekat pada esensi substansi.
5. Yang saya maksud dengan mode ialah perubahan pada substansi.
6. Tuhan yang saya maksud ialah sesuatu yang tidak terbatas secara absolut
(mutlak).
7. Sesuatu yang saya sebut bebas ialah sesuatu yang ada sendirian, bukan
disebabkan oleh yang lain, dan tindakannya ditentukan olehnya sendiri,.
8. Yang saya maksud dengan Kekekalan (eternity) ialah sifat pada eksistensi itu
tadi.

Sama halnya dengan tatkala ia berbicara dalam astronomi, definisi selalu


diikuti oleh aksioma. Aksioma ialah sesuatu kebenaran yang tidak memerlukan
pembelaan. Dalam geometri, contoh aksioma ialah : jarak terdekat antara dua titik
ialah garis lurus. Cobalah lihat aksioma-aksioma yang dipasangnya dalam
metafisika sebagai berikut.

Aksioma-Aksioma :
1. Segala sesuatu yang ada, ada dalam dirinya atau ada dalam sesuatu yang lain.
2. Sesuatu yang tidak dapat dipahami melalui sesuatu yang lain harus dipahami
melalui dirinya sendiri.
3. Dari suatu sebab, tentu diikuti akibat ; bila tidak ada sebab, tidak mungkin
akan ada akibat yang mengikutinya.
4. Pengetahuan kita tentang akibat ditentukan oleh pengetahuan kita tentang
sebab.
5. Sesuatu yang tidak bisa dikenal umum tidak akan dapat dipahami, konsep
tentang sesuatu tidak melibatkan konsep tentang yang lain.
6. Idea yang benar harus sesuai dengan objeknya.
7. Bila sesuatu dapat dipahami sebagai tidak ada, maka esensinya tidak ada.

Beradasarkan definisi dan aksioma itu Spinoza mulai membuktikan proposisi-


proposisinya. Inilah beberapa proposisi yang disusunnya.

Proposisi :

Prop.I. Subtansi mesti mendahului modifikasinya.

Bukti Ini jelas dari definisi 3 dan 5

Prop II Dua substansi yang atributnya berbeda tidak akan memiliki persamaan.

Bukti Juga jelas dari definisi 3 karena sesuatu harus ada dalam dirinya sendiri
dan dipahami melalui dirinya sendiri. Dengan kata lain, konsep tentang
sesuatu tidak sama dengan konsep tentang sesuatu yang lain.

Sipnoza percaya kepada tuhan tetapi tuhan yang dimaksudkannya adalah


alam semesta ini. Tuhan menurut Spinoza itu tidak berkemauan, tidsak melakukan
sesuatu, tak terbatas (ultimate), tuhan itu tidak memperhatikan sesuatu, juga tidak
mempedulikan manusia. Inilah penjelasan logis tentang tuhan yang bahkan
Newton sampai terkejut oleh pernyataan itu. Ini tidak dapat diartikan bahwa
Spinoza itu materialis. Ia hanya mengatakan, itulah yang dapat diketahui tentang
tuhan. Akibatnya, tindakan manusia dan tuhan tidak bebas. Dimana-mana didalam
alam semesta ini pasti sebagaimana mestinya semuanya sudah ditentukan.

3. Leibniz (1646-1716)
Gotifried Wilhelm von Leibniz lahir pada tahun 1642 dan meninggal pada
1716. Dia lahir di Leipzig, Jerman. Pada usia 15 tahun ia sudah menjadi
mahasiswa Leipzig dan pada tahun 1666 ia sudah menerima ijazah doctor di
Universitas Altdorf dengan disertasi berjudul De casibus perplexis (On Complex
Cases at Law). Dan Universitas ia menolak mengakui gelar doctor nya karena
umurnya terlalu muda. Pada Januari-Maret 1973 Leibniz pergi ke London menjadi
atase politik. Tahun 1675 ia menetap di Hannover, dan ia bertemu dengan
Spinoza.

Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi


Spinoza, alam semesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab,
sementara substansi pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk
suatu tujuan. Penuntun prinsip filsafat Leibniz ialah “Prinsip akal yang
mencukupi”, yang secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyai
alasan”. Bahkan tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang
diciptakannya.

Sementara Spinoza berpendapat bahwa hanya ada substansi, Leibniz


berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu
monad. Setiap monad berbeda satu dengan yang lain, dan tuhan (sesuatu yang
supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-
monad itu. Maka karya Leibniz tentang ini diberi judul monadology (study
tentang monad) yang ditulisnya 1714. Ini adalah singkatan metafisika Leibniz.

1. Monad, yang kita bicarakan disini, adalah subtansi yang sederhana, yang
selanjutnya menyusun substansi yang lebih besar.
2. Harus ada substansi yang sederhana karena adanya susunan itu, karena
susunan tidak lain dari suatu koleksi substansi sederhana.
3. Sekarang, apapun yang tidak mempunyai bagian-bagian tentulah tidak
mempunyai ukuran, tidak berbentuk, tidak dapat dibagi. Monad itu adalah
atom yang sebenarnya pada sifatnya dan kenyataannya adalah unsur segala
sesuatu.
4. Kerusakan, karena itu, tidak akan terjadi pada ssubstansi itu, ya karena tidak
dapat dibagi itu, karena imaterial.
5. Dengan cara yang sama tidak ada jalan untuk memahami simpel subtance itu
dicipta (came into existence)karena monad tidak dapat di bentuk dengan
menyusun.
6. Kita hanya dapat menyatakan sekarang bahwa monad itu mulai dan berakhir
hanya satu kali. Monad muncul karena dicipta dan berakhir melalui peniadaan.
Yang tersusun mempunyai permulaan dan berakhir secara berangsur.
7. Tidak ada jalan untuk menjelaskan bagaimana monad – monad itu dapat
berubah dalam dirinya sendiri oleh sesuatu di luarnya karena tidak ada
kemungkinan sesuatu yang masuk ke dalamnya. Kitak tidak dapat pula
membayangkan di dalam dirinya ada gerakan yang dapat dihasilkannya
sebagaimana di dalam suatu composite ( gabungan monad).
8. Monad tidak mempunyai kualitas, karenanya mestinya mereka tidak akan
pernah ada. Dan jika substansi sederhana tidak dapat dibedakan satu dengan
yang lainnya, tidak berarti kita tidak dapat membayangkan perubahan
padanya. Apa pun yang tergabung dalam suatu susunan (composite) dapat
dikenai rusak hanya melalui unsur sederhana dan monad itu. Sekalipun
mereka tanpa kualitas sekalipun kuantitasnya tidak dapat dibedakan, tetap saja
dapat dibedakan satu dari lainnya. Misalnya, jika kita membayangkan sesutu
yang penuh oleh ruang di san setiap sesuatu hanya menerima ruang sebesar
dirinya,
9. Setiap monad harus dibedakan satu dengan yang lainnya karen tidak pernah
ada isi alam yang sama sekalipun kita tidak dapat mengetahui perbedaan itu.

Pemikiran Leibniz tentang Substansi, berbeda dengan Descartes maupun


Spinoza. Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak, ia menyebut substansi -
substansi itu monad (monos = satu, monad = satu unit). Dalam matematika ada
yang terkecil yaitu titik, dalam fisika yaitu atom, dan dalam metafisika yang
terkecil adalah monad, menurutnya. Yang dimaksud terkecil bukanlah ukuran.
Monad-monad bukanlah kenyataan jasmaniah, melainkan kenyataan mental, yang
terdiri dari persepsi dan hasrat, tidak material melainkan spiritual. Setiap monad
berbeda satu dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu -
satunya monad yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu. Karya
Leibniz tentang ini diberi judul Monadology (studi tentang monad). Kemudian,
bagaimana cara membedakan satu monad dengan monad yang lain?, menurut
prinsip akal mencukupi, tidak akan ada sesuatu yang mengada tanpa alasan yang
cukup. Bila ada monad yang sama, untuk apa Tuhan menciptakan yang sama,
karna satu saja cukup. Oleh karena itu, tidak akan ada dua monad yang sama.
Dalam menemukan hubungan antara satu substansi dengan substansi lainnya,
Descartes yang seorang dualisme saja, menemui kesulitan dalam menemukan
hubungan antara jiwa dan tubuh, bagaimana dengan Leibniz yang seorang
pluralis?, terlebih lagi ia menyatakan bahwa diantara monad-monad tidak ada
interaksi, karena ia menyatakan bahwa ―monad itu tidak mempunyai jendela,
tempat sesuatu keluar atau masuk‖. Leibniz menjawab bahwa Allah pada saat
penciptaan monad, mengadakan pre-established harmony yaitu suatu harmoni atau
keselarasan yang ditetapkan sebelumnya.

2.3 Pengertian Empirisme


Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahunan serta pengetahuan itu sendiri, dan
mengecilkan peranan akal. Istilah empirisisme diambil dari Bahasa Yunani
empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin,
emperisme adalah lawan rasionalisme. Untuk memahami isi doktrin ini perlu
dipahami lebih dahulu dua ciri pokok emperisme, yaitu mengenai teori tentang
makna dan teori tentang pengetahuan.

Teori makna pada aliran empirisme biasanya biasanya dinyatakan sebagai


teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau konsep. Pada Abad
Pertengahan teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil est in intellectu quod non
prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu didalam pikiran kita selain didahului oleh
pengalaman). Sebenarnya pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat
didalam bukunya, An Essay Concerning Human Understanding, yang
dikeluarkannya tatkala ia menentang ajaran idea bawaan (innate idea) pada orang-
orang rasionalis. Jiwa (mind) itu, tatkala orang dilahirkan, keadaannya kosong,
laksana kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada tulisannya diatasnya, dan
setiap idea yang diperolehnya mestilah datang melalui pengalaman; yang
dimaksud dengan pengalaman disini ialah pengalaman inderawi. Atau
pengetahuan itu datang dari observasi yang kita lakukan terhadap jiwa (mind) kita
sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut inner sense (pengindera dalam).

David Hume yang mempertegas teori ini dalam bab pembukaan bukunya
Treatisme of Human Nature (1793), dengan cara membedakan antara idea dan
kesan (impression). Semua idea yang kita miliki, demikian Hume, datang dan
kesan-kesan, dan kesan itu mencakup penginderaan, passion, dan emosi.

Sanggahan orang-orang rasionalis tampak jelas pada karya Descartes.


Descartes membedakan dua fungsi akal: pertama fungsi diskursif yang
menjadikan kita mampu membuat kongklusi dari premis, dan kedua fungsi intuitif
yang menjadikan kita mampu menangkap kebenaran terakhir dan menangkap
konsep secara langsung. Namun, memang banyak pengetahuan yang kita peroleh
lewat pengalaman indera, tetapi banyak pula idea lainnya, seperti idea tentang
jiwa, tentang substansi materi, yang mesti ditangkap dengan cara a priori yang
menggunakan intuisi rasional.

Pada abad ke-20 kaum emperisme cenderung menggunakan teori makna


mereka pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan dengan benar atau tidak,
bukan pada asal-usul pengetahuan. Salah satu contoh penggunaan emperisme
secara pragmatis ini ialah Charles Sanders Peirce dalam kalimat “Tentukanlah apa
pengaruh konsep itu pada praktek yang dapat dipahami kemudian konsep tentang
pengaruh itu, itulah konsep tentang objek tersebut”.

Filsafat emperisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran


positivisme logis (logical positivism) dan filsafat Ludwig Wittgenstein. Akan
tetapi, teori makna dan empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran
pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai
gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (pattern) jumlah yang
dapat diindera, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.

Teori yang kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai


berikut. Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti “setiap
kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip
dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal
dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme
menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua
kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi
ia kebenaran a posteriori. Sekarang mari kita pelajari seorang tokoh emperisme.

1. Francis Bacon (1210-1292 M)

Francis Bacon dikenal sebagai bapak metode induktif (empiris-


eksperimental). Ia belajar di Cambridge dalam usia yang sangat muda. Setelah
kuliah, ia menjadi diplomat, kemudian menjadi anggota parlemen. Pada usia 40
tahun, ia mulai menulis filsafat. Ia mendapat gelar bangsawan dan pernah
memberi kuliah tentang Aristoteles di Universitas Paris.

Menurut Francis Bacon, pengetahuan yang sebenarnya adalah


pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indrawi dan dunia fakta.
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah
dicapai dengan induksi. Kata Bacon selanjutnya bahwa kita sudah terlalu lama
dipengaruhi oleh metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan.
Menurut Bacon, ilmu yang benar adalah yang telah terakumulasi antara pikiran
dan kenyataan, kemudian diperkuat oleh sentuhan indrawi.

2. Thomas Hobbes (1588-1679 M)

Tokoh ini dilahirkan sebelum waktunya ketika ibunya tercekam rasa takut
oleh ancaman penyerbuan armada Spanyol ke Inggris. Ia belajar di Universitas
Oxfrod, kemudian menjadi pengajar pada suatu keluarga yang terpandang.
Hubungan dengan keluarga tersebut memberi kesempatan kepadanya untuk
membaca buku-buku, bepergian ke negeri asing dan berjumpa dengan tokoh-
tokoh penting. Simpatinya pada system kerajaan terjadi saat Inggris dilanda
perang saudara yang mendorongnya untuk lari ke Perancis. Di sanalah, ia
mengenal filsafat Descartes dan pemikir-pemikir Perancis lainnya. Karena sangat
terkesan dengan ketepatan sains, ia berusaha menciptakan filsafat atas dasar
matematika.

Hobbes menolak tradisi skolastik dalam filsafat dan berusaha menerapkan


konsep-konsep mekanik dari alam fisika kepada pikirannya tentang manusia dan
kehidupan mental. Hal ini mendorongnya untuk menerima materialisme,
mekanisme, dan determinisme. Karya utamanya dalam filsafat adalah Leviathan
(1651), mengekspresikan pandangannya tentang hubungan antara alam, manusia,
dan masyarakat. Hobbes melukiskan manusia-manusia ketika mereka hidup
didalam keadaan yang ia namakan state of nature (keadaan alamiah) yang
merupakan kondisi manusia sebelum dicetuskannya suatu negara atau masyarakat
beradab. Kehidupan dalam masa alamiah adalah buas dan singkat, karena
merupakan keadaan perjuangan dan peperangan yang terus-menerus. Karena
manusia menginginkan kelangsungan hidup dan perdamaian, ia mengalihkan
kemauannya pada kemauan negara dalam suatu kontrak social yang membenarkan
kekuasaan tertinggi yang mutlak.

Sebagaimana umumnya penganut emperisisme, Hobbes beranggapan


bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan. Pengenalan
intelektual tidak lain dari semacam perhitungan, yaitu penggabungan data-data
indrawi yang sama dngan cara berlain-lainan. Tentang dunia dan manusia, ia
dapat dikatakan sebagai penganut materialistis. Oleh karena itu, ajaran Hobbes
merupakan system materialistis yang pertama dalam sejarah modern. Berbeda
dengan Francis Bacon yang meletakkan eksperimen-eksperimen sebagai metode
penelitian, Hobbes memandangnya sebagai doktrin.

Hobbes juga tidak menyetujui pandangan Descartes tentang jiwa sebagai


substansi rohani. Menurut Hobbes, seluruh dunia, termasuk juga manusia,
merupakan suatu proses yang berlangsung dengan tida henti-hentinya atas dasar
hukum-hukum mekanisme saja. Adapun bagian ajaran Hobbes yang termasyhur
adalah pendapatannya tentang filsafat politik. Ia mengingkari bahwa manusia
menurut kodratnya adalah makhluk sosial. Satu-satunya kecendrungan kodrati
manusia ialah mempertahankan adanya. Hal tersebut mengakibatkan suatu egoism
radikal: homo homoni lupus (manusia adalah manusia bagi manusia). Akan tetapi,
dalam keadaan demikian, manusia justru tidak mampu mempertahankan adanya.
Itulah sebabnya, manusia mengadakan perjanjian, yaitu bahwa mereka akan
takluk pada suatu kewibawaan. Dengan demikian, negara pun timbul.

Namun, setelah negara itu timbul, perjanjian itu tidak lagi bisa dicabut,
sehingga dengan demikian negara mempunyai kekuasaan yang absolut terhadap
warga negara.

Filsafat Hobbes mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai


keterangan tentang “yang ada” secara mekanis. Dengan demikian, ia merupakan
seorang materialis di bidang ajaran tentang antropologi serta seorang absolut di
bidang ajaran tentang negara.

a. Filsafat Materialisme
Materialisme yang dianut Hobbes dapat dijelaskan sebagai berikut.
Segala sesuatu yang ada itu bersifat bendawi. Yang dimaksud dengan
bendawi adalah segala sesuatu tidak bergantung kepada gagasan kita.
Doktrin atau ajarannya menyatakan bahwa segala kejadian adalah gerak,
yang berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang bersifat
bendawi, yaitu yang tidak bergantung kepada gagasan kita, terhisab
didalam gerak itu. Dengan demikian, pengertian substansi diubah menjadi
suatu teori akualitas. Segera objektivitas didalam dunia luar bersandar
kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau
keluasan tidak memiliki “ada” sendiri. Ruang adalah gagasan tentang hal
yang berada itu sendiri. Waktu adalah gagasan tentang gerak. Berdasarkan
pandangannya itulah, ia melahirkan filsafatnya tentang manusia.

b. Manusia
Manusia tidak lebih dari suatu bagian dalam bendawi yang
mengelilinginya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terjadi pada diri
manusia pun dapat diterangkan seperti cara-cara yang terjadi pada kejadian
alamiah, yaitu secara mekanis. Manusia itu hidup selama beredar darahnya
dan jantungnya bekerja, yang disebabkan oleh pengaruh mekanis dari
hawa atmosfir. Dengan demikian, manusia yang hidup tiada lain adalah
gerak anggota-anggota tubuhnya. (Tentu saja, pendapat seperti ini jika
dibandingkan dengan Islam amat bertentangan, karena manusia itu-
walaupun secara fisik (mekanis) telah mati-jiwanya tetap hidup. Bahkan,
bagi seorang mukmin, kematian adalah lanjutan hidup yang kekal dan
abadi).

c. Jiwa
Ajaran Hobbes tentang jiwa itu pun sejalan dengan ajaran filsafat
dasarnya, sehingga jiwa baginya merupakan kompleks dari proses-proses
mekanis di dalam tubuh. Akal bukanlah pembawaan, melainkan hasil
perkembangan karena kerajinan. Ikhtiar adalah suatu awal gerak yang
kecil. Awal gerak yang kecil ini kalau diarahkan untuk menuju pada suatu
disebut dengan keinginan yang sama dengan kasih; jika diarahkan untuk
meninggalkan sesuatu disebut keenganan atau keseganan yang sama
dengan keinginan dan keengganan, tetapi hal yang sama dengan itu.
Namun, demikian, yang terkuat adalah jika terjadi bentrokan-bentrokan.
Oleh sebab itu, Hobbes merupakan orang yang tidak mengakui kehendak
bebas.
d. Teori Pengenalan
Sebagai penganut emperisisme, pengenalan atau pengetahuan
menurut Hobbes diperoleh karena pengalaman. Pengalaman adalah awal
dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang
diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala ilmu pengetahuan
diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah
yang memberi jaminan kepastian.
Berbeda dengan kaum rasionalise, Hobbes memandang bahwa
pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata
karena pengalaman dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan
dan pengurangan. Pengenalan dengan akal mulai dengan kata-kata
(pengertian-pengertian) yang hanya mewujudkan tanda-tanda yang
menurut adat saja, dan menjadikan roh manusia dapat memiliki gambaran
dari hal-hal yang diucapkan dengan kata-kata. Pengertian umum hanyalah
nama belaka, yaitu nama bagi gambaran-gambaran ingatan tersebut, bukan
nama bendanya. Nama-nama itu tidaklah mempunyai nilai objektif.
Pendapat atau pertimbangan adalah penggabungan antara dua nama,
sedangkan silogisme adalah suatu soal hitung, yakni orang bekerja dengan
tiga nama.

Yang dimaksud dengan pengalaman ialah keseluruhan atau


totalitas pengamatan yang disimpan didalam ingatan atau digabungkan
dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah
diamati pada masa lain. Pengamatan indrawi terjadi karena gerak benda-
benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak didalam indra kita.
Gerak ini diteruskan ke otak dan dari otak diteruskan ke jantung. Didalam
jantung, timbullah suatu reaksi, suatu gerak dalam jurusan yang
sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi
tadi.
Sasaran yang diamati adalah sifat-sifat indrawi. Pengindraan
disebabkan oleh tekanan objek atau sasaran. Kualitas di dalam objek-
objek, yang sesuai dengan pengindraan kita, bergerak menekan indra kita.
Warna yang kita lihat, suara yang kita dengar, bukan berada dalam
gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan, rasa
senang dan tidak senang dan segala gejala jiwa, bersandar semata-mata
pada asosiasi gambaran yang murni yang bersifat mekanis.
Untuk mempertegas pandangannya, Hobbes tampak sekali sebagai
penganut nominalisme. Ia menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang
universal, kecuali nama belaka. Konsekuensi pendapat ini ialah bahwa ide
dapat digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata,
ide tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa, tidak ada. Kebenaran atau
kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan “benar” atau “tidak benar” itu
hanya sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri
atau identitas-identitas di dalam bentuk pikiran orang.
Thomas Hobbes berpendapat bahwa pengalaman indrawi sebagai
permulaan segala pengenalan hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan
indralah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan intelektual (rasio) tidak
lain hanyalah merupakan penggabungan data-data indrawi belaka.
Pengikut Thomas Hobbes berpendapat bahwa pengalaman indrawi
sebagi permulaan segala pengenalan. Hanya ssuatu yang dapat disentuh
dengan indralah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan intelektual
(rasio) tidak lain hanyalah merupakan penggabungan data-data indrawi
belaka.
3. John Locke (1632-1704)
John Locke adalah filosof Inggris yang banyak mempelajari agama
Kristen. Ia lahir di Wrington, Somersetshire, pada tahun 1632. Tahun
1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652 ia memasuki Universitas
Oxford.

Filsafat Locke dapat dikatakan anti metafisika. Ia menerima


keraguan sementara yang diajarkan oleh Descartes, tetapi Ia menolak
intuisi yang digunakan oleh Descartes. Ia juga menolak metode deduktif
Descartes dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman
atau disebut dengan induksi. Bahkan, Locke menolak juga akal (reason). Ia
hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan
dengan metode induksi.
Locke termasuk orang yang mengagumi Descartes, tetapi ia tidak
menyetujui ajarannya. Bagi Locke, mula-mula rasio manusia harus
dianggap sebagai “lembaran kertas putih” dan seluruh isinya berasal dari
pengalaman. Bagi Locke, pengalaman ada dua : pengalaman lahiriah
(sensation) dan pengalaman batiniah (reflection). Kedua sumber
pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal. Roh manusia bersifat pasif
dalam menerima ide-ide tersebut. Namun demikian, roh mempunyai
aktivitas juga, karena dengan menggunakan ide-ide tunggal sebagai batu
bangunan, roh manusiawi dapat membentuk ide majemuk, misalnya idea
substansi. Locke kemudian menyatakan bahwa dalam dunia luar memang
ada substansi-substansi, tetapi kita hanya mengenai ciri-cirinya saja.
Pandangan Locke mengenai lembaran putih manusia mirip sekali
dengan teori fitrah dalam filsafat islam yang didasarkan atas pernyataan
Al-Qur’an, surat ke-30 Ar-Rum ayat ke-30. Fitrah adalah bawaan manusia
sejak lahir yang di dalamnya terkandung tiga potensi dengan fungsinya
masing-masing. Pertama, potensi ‘aql yang berfungsi untuk mengenai
Tuhan, mengesakan Tuhan, dan mencintai-Nya. Kedua, potensi syahwat
yang berfungsi untuk menginduksi objek-objek yang menyenangkan.
Ketiga, potensi qadhab yang berfungsi untuk menghindari segala segala
yang membahayakan. Ketika manusia dilahirkan, ketiga potensi ini telah
dimilikinya. Namun demikian, agar potensi-potensi tersebut beraktualisasi
perlu ada bantuan dari luar dirinya. Dalam filsafat islam, kedua orang tua
anak yang terlahir itulah yang pertama-tama berkewajiban memberikan
pengetahuan untuk mengoptimalisasikan potensi-potensi tersebut. Dengan
kata lain, orang tualah yang menggoreskan tulisan di atas lembaran putih si
anak yang terlahir itu.
Buku Locke, Essay Corcening Human Understanding (1689),
ditulis berdasarkan satu premis, yaitu semua pengetahuan datang dari
pengalaman. Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan idea atau konsep
tentang sesuatu yang berada di belakang pengalaman, tidak ada idea yang
diturunkan seperti yang diajarkan oleh Plato. Dengan kata lain, Locke
menolak adanya innate idea; termasuk apa yang diajarkan oleh Descartes,
Clear and distinc idea. Adequate idea dari Spinoza, truth of reason dari
Leibniz, semuanya ditolaknya. Yang innate (bawaan) itu tidak ada.
Adapun alasan-alasannya adalah bahwa :
1. Dari jalan masuknya pengetahuan, kita mengetahui bahwa innate
itu tidak ada. Memang, agak umum orang beranggapan bahwa
innate itu ada. Ia itu seperti ditempelkan pada jiwa manusia, dan
jiwa membawannya ke dunia ini. Sebenarnya, kenyataan telah
cukup menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu
datang, yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan
kesan-kesan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu
pengetahuan asli.
2. Persetujuan umum adalah argument yang terkuat. Tidak ada
sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate
idea justru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.
3. Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea.
4. Apa innate idea itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan
sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bikti yang mengatakan
ada innate idea justru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia
tidak ada.
5. Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak
idiot, ide yang innate itu tidak ada padahal anak normal dan anak
idiot sama-sama berpikir.

Ia mengatakan bahwa apa yang dianggapnya substansi ialah


pengertian tentang objek sebagai idea tentang objek itu yang dibentuk oleh
jiwa berdasarkan masukan dari indra. Akan tetapi, Locke tidak berani
menegaskan bahwa idea itu adalah substansi objek. Dalam hal ini,
Barkeley dan Hume termasuk filsof yang membicarakan persoalan
substansi metafisika.

4. George Barkeley (1665-1753)


Barkeley yang lahir di Irlandia ini menjadi uskup Anglikan di
Clyone (Irlandia). Sebagai penganut empirisme, Berkeley mencanangkan
teori yang dinamakan immaterialisme atas dasar prinsip-prinsip
empirisme. Jika Locke masih menerima substansi-substansi di luar kita,
Barkeley berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi
materiil, yang ada adanya pengalaman dalam roh saja. Esse estpercipi
(Being is being perceived), yang artinya bahwa dunia materiil sama saja
dengan ide-ide yang saya alami. Sebagaimana dalam bioskop, gambar-
gambar film pada layer putih dilihat para penonton sebagi benda-benda
yang real dan hidup. Demikian pul.a, menurut pemikiran Barkeley, ide-ide
membuat saya melihat suatu dunia materiil. Dan bagaimana saya sendiri?
Barkeley mengakui bahwa aku merupakan suatu substansi rohani. Ia juga
mengakui adanya Allah, sebab Allah-lah yang merupakan asal-usul ide-ide
yang saya lihat. Jika kita mengatakan bahwa Allah menciptakan dunia,
yang kita maksud bukan berarti ada suatu dunia di luar kita, melainkan
bahwa Allah memberi petunjuk atau mempertunjukkan ide-ide kepada
kita. Jika kita memahami perbandingan wujud ini dengan film seperti di
atas tadi, maka boleh kita teruskan bahwasannya Allah-lah yang memutar
film itu dalam batin kita.
5. David Hume (1711-1776)
Menurut para penulis sejarah filsafat, empirisme berpuncak pada
David Hume sebab ia menggunakan prinsip-prinsip empiristis dengan cara
yang paling radikal, terutama pengertian substansi dan kausalitas
(hubungan sebab akibat) yang menjadi objek kritiknya. Ia tidak menerima
substansi, sebab yang dialami ialah kesan-kesan saja tentang beberapa ciri
yang selalu terdapat Bersama-sama (misalnya: putih, licin, berat, dan
sebagainya). Akan tetapi, atas dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan
bahwa dibelakang ciri-ciri itu masih ada suatu substansi tetap (misalnya:
sehelai kertas yang mempunyai ciri-ciri tadi). Sebagai seorang empiris,
Hume tampak lebih konsekuen dari pada Berkeley.
Solomon menyebut Hume sebagaiultimate skeptic, skeptic tingkat
tertinggi. Ia dibicarakan disini sebagai seorang skeptis dan terutama
sebagai seorang empiris. Menurut Bertrans Russel, yang tidak dapat
diragukan lagi pada Hume ialah ia seorang skeptis.
Buku Hume, Treatise of Human Nature ( 1739 M), ditulisnya
tatkala ia masih muda, yaitu tatkala ia berumur dua puluh tahunan. Buku
ini tidak banyak menarik perhatian orang, karenanya Hume pindah ke
subjek lain, lalu ia menjadi seorang yang terkenal sebagai sejarawan.
Kemudian, pada tahun 1748 M, ia menulis buku yang memang terkenal,
An Enquiry Concerning Human Understanding. Baik Treatise maupun
Enquiry, kedua-duanya menggunakan metode empirisme, sama dengan
John Locke. Sementara Locke hanya sampai pada idea yang kabur yang
tidak jelas berbasis pada sensasi (khususnya tentang substansi dan Tuhan).
6. Herbet Spencer (1820-1903)
Filsafat Herbet Spencer berpusat pada teori evolusi. Sembilan
tahun sebelum terbit karya Darwin yang terkenal, The Origen of Species
(1859 M), Spencer sudah menerbitkan bukunya tentang teori evolusi.
Emperismenya terlihat jelas dalam filsafatnya tentang the great
unknowable. Menurut Spencer, kita hanya dapat mengenali fenomena-
fenomena atau gejala-gejala. Memang benar dibelakang gejala-gejala itu
ada suatu dasar absolute, tetapi yang absolut itu tidak dapat kita kenal.
Secara prinsip, pengenalan kita hanya menyangkut relasi-relasi antara
gejala-gejala. Dibelakang gejala-gejala ada sesuatu yang oleh Spencer
disebut yang tidak diketahui (the great unknowable). Sudah jelas, menurut
Spencer, metafisika menjadi tidak mungkin.
Apakah materi itu ? demikian Spencer bertanya. Kita mendeduksi
materi menjadi atom-atom, kemudian atom kita bagi menjadi lebih kecil
sampai akhirnya pada unsur yang tidak dapat dibagi lagi karena kecilnya.
Akan tetapi, bagian yang terkecil itu tidak dapat dipahami. Jadi, ruang dan
waktu pada akhirnya adalah dua objek yang tidak dapat kita ketahui. Gerak
pun demikian karena gerak itu berada di dalam ruang dan waktu. Jika kita
memikirkan terus materi, yang akan ditemukan pada akhirnya ialah tenaga
(force). Akan tetapi, apa tenaga itu? Berangkat dari objek fisik, menuju
kepada kejiwaan, lalu kita sampai pada jiwa dan kesadaran, di sini kita
menemui suatu teka-teki yang lebih besar dari pada sebelumnya.
Akhirnya, Spencer mengatakan bahwa idea-idea keilmuan pada akhirnya
adalah penyajian realitas yang tidak dapat dipahami, sehingga menjadi
teka-teki besar.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Di dalam era filsafat modern terdapat beberapa aliran pemikiran, di


antaranya: Rasionalisme dan Empirisme.

Aliran rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa


budi (akal) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Aliran
rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya
adalah akal. Metode yang digunakan pada aliran rasionalisme adalah metode
keragu-raguan untuk berfilsafat.

Aliran Emperisme adalah salah satu aliran dalam filosof yang


menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan, dan
mengecilkan akal. Aliran emperisme berpendapat bahwa pengetahuan yang
bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewan indera (empiri) dan
empirilah satu-satunya sumber pengetahuan aliran Empiris, bahwa pada
dasarnya budi dan empiri saling berkaitan.
DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Atang Abdul dan Saebani, Beni Ahmad. 2016. Filsafat Umum dari
Metologi Sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia

Tafsir, Ahmad. 2000. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Bandung: Remaja Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai