TESIS
TRADISI PEMIKIRAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
MODEREN DAN ALTERNATIF PASCAKOLONIALISME
Musa Maliki
6904080085
When I despair, I remember that all through history, the way of truth and
love has always won. There have been tyrants and murderers and for a
time, they can seem invisible, but in the end, they always fall.
Think of it!
(Mahatma Gandhi)
(Musa Maliki)
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
PROGRAM PASCA SARJANA
Tim Penguji
Tanggal: ______ Ketua Sidang
Zainuddin Djafar, Ph.D (___________)
Tanggal: ______ Sekretaris Sidang
Drs. Fredy B. L. Tobing, M.Si (___________)
Tanggal: ______ Pembimbing
Dra. Suzie Sudarman, MA (___________)
Tanggal: ______ Penguji Ahli
Kusnanto Anggoro, Ph.D (___________)
iii
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
PROGRAM PASCA SARJANA
Dosen Pembimbing
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
PROGRAM PASCA SARJANA
Musa Maliki
6904080085
ABSTRAK
Tesis ini berusaha menjelaskan tentang tradisi pemikiran hubungan
internasional (HI) modern (teori modern di HI) dan alternatif pascakolonialisme.
Tradisi pemikiran HI modern ini berisi tentang struktur pemikiran Barat yang
dirajut oleh jaringan footnote ilmuwan, filsuf, praktisi HI dari tradisi pemikiran
idealisme, realisme, saintisme/strukturalisme/rasionalisme dan beberapa tradisi
kritis yang mereformulasi atau merekonstruksi tradisi HI modern agar lebih
sempurna lagi. Sedangkan alternatif pascakolonialisme adalah studi baru yang
berusaha dicangkokkan ke dalam HI sebagai pilihan inspiratif akar tradisi
pemikiran Hubungan Internasional Indonesianis.
Pernyataan tesis ini berbunyi: Tradisi pemikiran HI modern
merupakan bentuk kolonialisasi (baca: penguasaan) wacana Barat terhadap
ontologi realitas epistemologi/metodologi dan aksiologi non-Barat, sehingga
studi hubungan internasional perlu merepresentasikan small narrative
(narasi kecil): wacana indigenous people atau komunitas lokal untuk
merayakan keberagaman wacana di dunia internasional. Atas dasar ini, maka
rangkaian argumentasinya sebagai berikut: pertama, wacana tradisi pemikiran HI
modern hanya sebuah will to power/knowledge: bentuk kuasa/pengetahuan
wilayah spasial Barat dalam menguasai realitas politik internasional atau politik
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Penulis ucapakan kepada Allah SWT karena karya ini telah
selesai dikerjakan atas Ridho-Nya. Karya ini terinspirasi oleh banyak hal di
sekeliling Penulis, terutama problematika tentang istilah Bhinneka Tunggal Ika
dan identitas bangsa Indonesia. Sebuah nama “Indonesia,” mengapa harus
diucapkan oleh Bangsa Belanda, bukan dari bangsa lain atau bangsa ini sendiri?
Mengapa bangsa ini susah memunculkan akar tradisi pemikiran yang cukup kuat
atau berinteraksi dengan tradisi pemikiran lainnya, padahal kita juga mempunyai
tradisi pemikiran seperti yang lainnya juga? Dan pertanyaan yang sangat
mengganggu saya adalah, apakah Indonesia benar-benar “[A]da”? huruf “A”
besar ini mempertanyakan tentang eksistensi (baca: identitas) bangsa Indonesia
sendiri secara lebih mendalam dan reflektif.
Tradisi pemikiran HI selama ini didominasi oleh kaum realis, idealis dan
beberapa lagi Marxis dan saintis—dominasi tradisi pemikiran saintifik Amerika
Serikat menguat pada abad ke-20/21 ini. Tradisi pemikiran HI ini tampaknya
memperoleh konsensus yang cukup valid dan terpercaya. Mereka juga tengah
memberikan sumbangsih yang begitu besar bagi keberlangsungan dunia
internasional. Namun pada abad yang sama juga hingga rencana dan bayangan
tentang masa depan, ilmuwan, filsuf dan beberapa intelektual mengalami
kegelisahan atas degradasi moral, norma, kekeringan, kehampaan dan kehilangan
makna kehidupan: nihilisme. Fenomena semacam ini adalah krisis ilmu
pengetahuan, khususnya sebuah konsekuensi logis atas dominasi saintifik di
wilayah Eropa dan beberapa wilayah Barat lainnya. Oleh sebab itu, muncul tokoh
fenomenologi, Edmund Husserl yang menyarankan suatu wajah baru dalam tradisi
pengetahuan, khususnya tentang kesadaran atas objek pengetahuan yang
viii
dapat dihindari. Hal ini mencegah ortodoksi HI sebagai dogma atau dokrin HI—
dokrin realisme, idealisme, dan lain-lain.
Tesis ini jangan dikira sebagai penyelesaian dari permainan teater wacana
penaklukan kajian Hubungan Internasional di pentas drama politik dunia. Jangan
dikonsepsikan juga bahwa sang Aku tengah memberikan permainan baru dalam
pertunjukan studi hubungan internasional. Penulis hanya berusaha melakukan
kontemplasi atas sang Aku tentang keilmuan studi hubungan internasional.
Torehan terakhirku hanya berusaha berkata: sebaiknya Anda tidak melihat karya
ini sebagai karya yang ‘ilmiah’ (baku). Studi sosial dan politik ini merupakan
kajian pre-ilmiah (becoming scientisation). Jadi maaf kalau Penulis tidak
menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD) dengan baik. Bahasa yang
digunakan juga cenderung subversif dan provokatif.
Juni 2006
Penulis
xi
Jurusan Pasca Sarjana Salemba dan di Jurusan Depok serta pada saat ujian tesis.
Penulis berterima kasih pada Sekretaris Jurusan Pasca Sarjana sekaligus Sekretaris
ujian tesis, Fredy B.L. Tobing yang telah berbaik hati meluangkan waktu di
tengah kesibukannya dan kebaikan hatinya untuk menyapaku, memberi tawaran
tumpangan gratis mobil Jazz birunya dari CSIS ke Depok, tetapi sayang...Penulis
membawa motor. Beliau juga memberikan perbaikan yang luar biasa dalam hal-
hal teknis penulisan tesisku di sela-sela kesibukannya sebagai PD I di UPN.
Dra. Suzie Sudarman, MA yang selalu membimbingku layaknya ibuku.
Penulis ucapkan terima kasih kepada Beliau yang tengah memberikan dukungan
moral, etis, mental, fisik dan fasilitas apapun juga. Membuka peluang baik
kesempatan untuk berimajinasi secara liberal dan mengikuti berbagai macam
aktivitasnya seperti seminar dan beberapa undangan lainnya. Beliau juga selalu
meluangkan waktu-tempatnya untuk berbagi kegelisahan tentang bangsa, dunia
dan penghayatan hidup ini. Ketika sidang tesis, Beliau memberikan sintesis luar
biasa atas kebuntuan Penulis dengan penguji, lalu memberikan percikan diskusi
reflektif tentang posisi ilmuwan dan praktisi hubungan internasional. Konteks ini
mengingatkan Penulis pada istilah edifying philosophy, yakni suatu pencerahan
dalam meneruskan suatu percakapan dalam diskusi, timpal-menimpali yang
progresif.
Kemudian ucapku kepada Mas Kusnanto Anggoro, Ph.D sebagai penguji
tesis yang selalu memberikan kesejukan nuansa, di sisi lainnya sebuah kondisi
bimbangku ‘tuk terus ingatkan Beliau dalam menyiapkan ujian tesisku, dan Beliau
pun mengirim pesan singkat: Ok. Tidurlah, c u bsk sore [26 Juni 06; 22:28:53].
Sungguh menyejukkan…Penulis juga selalu mengingat ucap Beliau ketika sidang
tesis: “Musa, apakah tesis kamu hanya ‘masturbasi’?” Gambaran Penulis tentang
situasi sidang tesis yang sebelumnya seram, nampaknya justru menggembirakan
dan lucu. Mas Kus sempat menghiburku dengan menyanyi tembang Macapat
beberapa bait, mendongengkan cerita Hubungan Internasional versi Jawa
(Mataram Kuno), memberikan kearifan hidup Jawa tentang konsep ngelmu,
mandala (wibawa), bekel, dan lain-lain. Nampaknya Beliau berhasil
menerbangkan imajiku ‘tuk mengarungi intelektualisasi keterpukauan atas tradisi
xiii
Wilayah Amerika yang berkenan memfasilitasi Penulis dengan Mba Suzie seperti
Mba Diana, Mba Farah, dan kawan-kawan.
Kawan satu angkatanku: Wendhi, Raka yang keduanya mendampingiku
ketika ujian tesis. Rizki! Thanks ya for all of your kindness, khususnya all about
my computer’s problem, terus berjuang ya! Ali yang membantu pindahan kosku,
sehingga Penulis bisa menyelesaikan tesis dengan tempat yang sejuk sedang.
Aryani yang selalu memberikan senyum dan dukungan SMS ketika ujian. Dodi
yang memberikan literatur ‘buku babon’ E.H. Carr jauh-jauh dari Bandung.
Penulis merasa sangat berterima kasih atas bantuannya, dan kawan lainnya yang
membantuku secara tak langsung. Maaf ya, nama kalian tak kusebut, mohon
dimaklumi keterbatasanku ini yah. Untuk kawan S2 HI, UI baik kakak kelas
seperti Iwan, dan kawan-kawan, thanks guys. Adik-adik kelasku yang Penulis
sangat hargai atas penghargaan dan kepercayaan mereka untuk kesempatan
berbagi pengetahuan kepada mereka tentang tradisi pemikiran HI dan mohon
dimaafkan, karena Penulis kurang maksimal.
Kawan S1 HI, UI angkatan 97, makasih Yuni atas semua curhatku yang
kau emban, memang Penulis ngebosenin, sebab curhatannya itu-itu saja. Kepada
Jule, yang membantuku awal kuliah di S2 HI UI, Itok yang mengisi ruang-ruang
diskusiku atas konstelasi dunia politik HI UI. Kawan S1 angkatan 98, yang
menemani diriku ketika bosan di kos, makasih ya Brili. Kamu seringkali
memberikan bantuan materiil dan meluangkan nuansa-nuansa keberadaanku.
Kepercayaanmu terhadapku sungguh suatu yang sangat berharga, sehingga
memberikan pijakku untuk berani mengais-ngais teori HI dan terus berani ‘tuk
hadapi hidup. Laila yang mengantarkan Penulis ke HI UI, mengenalkannya
kepada Mba Riris dan Mas Andi. Bagiku ini sangat berarti dalam perjalanan
hidupku ‘tuk menuju masa depan yang lebih lebar, luas dan lapang di Jakarta yang
absurd ini. Laila yang terus membuatku berkontemplasi dan berpikir akan diriku
yang lemah, terbatas, mudah dibodohi, dan banyak kekurangan, terima kasih ya
atas ritma pengarungan perasaan hatiku sendiri. Ardian yang sudah
mempercayaiku ‘tuk tempati kamar kosnya, mendengarkan curhatan perasaanku
yang tidak stabil dan temani kerinduanku atas seseorang. Akbar yang memacu
xv
diriku ‘tuk mengikuti jejakmu: You are the best of the best in International
Relations, sukses ya di Eropa. Kawan ‘98 lainnya yang Penulis tak bisa sebutkan
satu per satu. Kawan angkatan ‘99, Christian yang selalu menjadi kawan sinis,
curhat, debat, makan mie di Warung si Akang. Terima kasih juga akan semua
ramalanmu. Ternyata ada benarnya juga ya... kawan ‘99 lainnya yang Penulis
luput sasarannya, thanks ya.
Kawan angkatan ‘00, Irene, Jepri, Sayed, Ali, Rika, Dina, Meta, Vivi,
Ayu, Gd, Kikie, dan kawan-kawan yang menemaniku bermain ke karoke,
bercanda di kantin dan tempat nongkrong lainnya, sungguh bersama kalian
menjadikan dunia lebih berwarna-warni. Untuk sobatku Rinta yang memberikan
seperempat hidupnya bersamaku; bercerita tentang semua hal; melayani
bantahanku; berdebat bersamaku, sungguh kamu begitu tangguh ‘tuk Penulis
hadapi sebagai suatu penyangga sistem bipolar kehidupan; menyinariku dengan
kehangatannya; mengecek tesis terus menerus dengan telaten, sabar,
menggerakkan diriku ‘tuk terus menerus bergerak (obah) dalam hidup. Rinta yang
dalam bersahabat denganku justru meneguhkan hidupku, yang selama ini menuju
ketiadaan menjadi Ada—eksistensi mendahului esensi. Dalam persahabatan kita,
Rinta memberikan ruang bagi hidupku yang tengah terombang-ambing dalam
kapal berkeentahan…makasih ya untuk menerimaku apa adanya sobat;
memahamiku terus menerus, membahagiakan dengan nyanyianmu, suaramu,
senyummu dan semuanyalah, yang lain-lainnya juga, he3x...Sungguh
persahabatan yang begitu indah, imajinatif dan aga’-aga’ sedikit liar. Kawan-
kawan ’01: Donna, yang selalu membawa keceriaan dan membuatku selalu
terperangah melihat hidup; Supri, yang selalu menemaniku dalam diskusi warung
kopi-an, makasih ya wejangan-wejangan-nya; Icil, yang selalu menyapaku
dengan gembira dalam kesuntukan skripsi yang tak terselesai-selesaikan. Kawan-
kawan ’02: Oswind, terima kasih dialog tentang Atlantiknya, terus membuatku
mengkhayal ‘tuk buat corat coret tentang ruang Indonesia; Derry yang
mengatakan bahwa Penulis klo ngomong kok lucu. Makasih ya pujiannya Derry,
kamu juga lucu, ha3x; Ann yang judesnya justru Penulis suka, Senia, ‘jagoan
neon’ HI yang baru, aku sangat kagum akan kecerdasanmu.
xvi
Kepada Team of Global. Makasih Ima yang telah membantuku ‘tuk bisa
berorganisasi, dan lain-lain, Nurul yang selalu heboh bersamaku dan sumber
informasi gosip bersama Neda yang selalu mengoreksi bahasa provokatifku, klaim
rasisku dan bahasa Inggrisku serta memberikan kepercayaan kepadaku ‘tuk
bertemu mewawancarai Gus Dur. Ilmi yang meramaikan nuansa ketika rapat dan
menemaniku ketika wawancara dengan Gus Dur; Sofwan yang menemaniku
dalam berdiskusi dan anggota baru lainnya. Kalian adalah pelangi dalam hidupku
di sela-sela himpitan spasial Jakarta. Kehadiran sobatku, Nanang. You are the best
thing in my life Nang, and a part of my life; makasih power point HI-nya, political
cartoon-nya dan utang-utangnya, idenya, curahan waktumu, dan lain-lain. Nanang
mengajariku tentang semua hal, khususnya ketika akan presentasi tesisku,
sehingga Penulis merasa bahwa jalan dan prinsip hidupku tidak jauh-jauh berbeda
dengannya. Demikian juga Amri yang selalu mengajariku tentang arti hidup;
kesederhanaan dalam keseharian, sabar, tawadhu, priatin, punya rasa sosial tinggi,
solidaritas kawan, sehingga tesis ini adalah warna-warni dari curahan sikap dan
nuasa dirimu. Mas Taufik, dosen Ekonomi UGM yang terus membimbing
hidupku seperti kakakku sendiri dan selalu berbaik hati menemani debat tentang
kehidupan. Mas Taufik yang selalu mengayomiku bersama Amri dalam serpihan
hidupku selama ini. Abi yang siap stock pengetahuan sosiologis-nya, semoga
desertasi doktoralnya cepat selesai. Hakim sekeluarga yang memberikan modal
dalam kuliah S2-ku, semoga bisnis propertinya sukses ya…Fauzi yang selalu
menyediakan buku-bukunya, Afif yang baru saja menikah, sukses ya buat
anaknya, Genta sekeluarga yang selalu menyediakan rumahnya di Jogja untuk
tempat merenung, berkontemplasi. Hanafi Rais yang memberikan dukungan,
nasehat dan big support on my thesis, sukses ya untuk S2-mu. Keluarga kos-kosan
Kober yang tidak segan-segan memberikan jajanan ketika mengerjakan tesisku.
Kawan kos, Asep, Zaeni, Alfian yang terus menerus menanyakan kapan selesai
tesisku. Makasih ya...atas peringatannya dan keikhlasan kalian ‘tuk support my
thesis. Kawan-kawan lainnya yang terlupakan, maaf ya...Bersama kalian, Penulis
merasa tesis ini hanya sebuah torehan dari diri mereka semua. Tesis ini adalah
fenomenologi hidupku bersama mereka.
xvii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN i
LEMBAR PENGESAHAN TESIS ii
LEMBAR PERSETUJUAN TESIS iii
ABSTRAKSI iv
KATA PENGANTAR vi
UCAPAN TERIMA KASIH xi
DAFTAR ISI xvii
BAB I. PENDAHULUAN 1
I. 1. Latar Belakang Masalah 1
I.1.1. Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional:
Formula Pasca Perang Dunia II 4
I.1.2. Kontemplasi Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional:
Memikirkan Kembali Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional 26
I.1.3. Studi Pascakolonialisme di dalam Tradisi Pemikiran Hubungan
Internasional 29
I. 2. Pokok Permasalahan 40
I.3. Kerangka Pemikiran 40
I. 3.1. Tinjauan Pustaka 40
I.3.2. Kerangka Konseptual 42
I.4. Hipotesa 44
I.5. Tujuan Penelitian 44
I.6. Maksud Penelitian 45
I.7. Metode Penelitian 45
I.8. Sistematika Penelitian 46
xix
1
2
mempunyai peran yang cukup penting sebagai ruang bebas bagi berbagai macam
wacana untuk membaca dan memaparkan kondisi dunia internasional dan
konstelasi politik internasional, sehingga keterjebakan disiplin tubuh (ilmu) SHI
Timur yang terbayangkan oleh wacana kuasa/pengetahuan Barat yang
memberikan analisis ‘kaca mata kuda’ dan totaliter dapat terhapuskan, diganti
dengan pengetahuan dan analisis yang lebih beragam, plural, heterogen, dan dapat
mengatasi pengetahuan lokal-universal atau menyuarakan komunitas lokal di
tatanan global sebagai bentuk resistensi intertertekstualitas terhadap neo-
imperialisme—tradisi pemikiran HI modern. Tesis ini akan memberikan wacana
alternatif studi pascakolonialisme Indonesia dalam melihat kondisi dunia
internasional dan konstelasi politik internasional. Wacana saminisme merupakan
teks pengetahuan Indonesianis dengan strategi kuasa/pengetahuan melalui
permainan bahasa yang mereka gunakan sebagai wisdom outlook dunia
kehidupannya. Studi wacana saminisme merupakan kajian pascakolonialisme
Indonesia yang cukup menarik sebagai alternatif wacana modern Barat dalam
SHI. Selain menyuarakan kearifan lokal komunitas samin di Indonesia juga
menginspirasikan pijakan tradisi pemikiran HI Indonesia.
Tesis ini sama sekali bukan studi tentang perbandingan tradisi pemikiran
antara Barat dan Timur, tetapi memunculkan narasi kecil (smallnarrative) yang
telah terkubur, tersembunyi atau tenggelam dari narasi besar (metanarrative)
kuasa/pengetahuan Barat. Jadi penulis secara tegas memperjuangkan
egalitarianisme dan kemanusiaan yang beradab serta keadilan sosial wacana yang
sesunguhnya di politik dunia beragam dengan cara membongkar metanarrative
kuasa/pengetahuan Barat, sehingga wacana smallnarrative yang berakar dari
Indonesia: wacana saminisme yang selama ini dibungkam, disembunyikan dan
dibekukkan bisa dihadirkan di SHI. Implikasinya, muncul sebuah pemahaman
baru bahwa SHI setelah Perang Dingin bukan merupakan representasi kuasa
pengetahuan Barat ataupun istilahnya: foundationalism eksistensi Barat sebagai
satu-satunya kebenaran, keilmiahan sebuah disiplin ilmu, objektif dan bebas nilai,
tetapi hadirnya eksistensi dan representasi suara yang terbungkam yang
dipercikkan secara tidak linier dari local wisdom yang tersebar di seluruh dunia.
4
Jadi SHI pasca Perang Dingin terpancarkan melalui titik-titik tatanan ordo
komunitas lokal atau indigenous people secara acak, irasional, diskontinu dan
berserakan.
Sistematisasi bagian ini terdiri dari tiga bagian: pertama, memaparkan debat
besar sebagai dinamika tradisi pengetahuan dan pemikiran dalam SHI. Perdebatan
ini berlangsung dari awal mula studi ini berdiri di Eropa Kontinental hingga
rekonstruksi paling puncak melalui tradisi pemikiran Amerika Serikat. Kedua,
sebuah pemaparan kontemplatif, yakni menjelaskan kontemplasi (ketidakpuasan)
penulis terhadap semua pengetahuan HI yang sudah ada: idealisme/liberalisme,
tradisionalisme, saintisme, konstruktivisme dan teori internasional kritis. Semua
pengetahuan tersebut merupakan tradisi pemikiran partikular Yunani yang terus
direkonstruksi oleh pemikir Barat seperti Eropa Kontinental dan Amerika Serikat.
Ketiga, memaparkan alternatif baru berupa studi pascakolonialisme pengetahuan
Timur lokal yang tengah terbungkam, tenggelam dan tidak ilmiah (dalam klaim
Barat). Dari sekian banyak pengetahuan Timur lokal yang ada, penulis
menawarkan alternatif wacana saminisme sebagai wacana resistensi
intertekstualitas (non-violence resistance movement) terhadap neo-imperialisme—
tradisi pemikiran Barat. Dengan kata lain, gerakan perlawan tanpa kekerasan ini
diwujudkan salah satu bentuknya dalam gerakan strategis perjuangan teks-teks
permainan bahasa lokal yang direpresentasikan tesis ini ke dalam tradisi
pemikiran HI.
idealisme dikembangkan pada tahun 1923 oleh Merriam, yang pada dinamikanya
berpengaruh pada kebijakan publik dan perubahan sosial Amerika Serikat. Kahler
mengatakan bahwa pada saat itu, para kaum liberalis, realis dan saintis
menyebarkan sebuah program dalam rangka membawa “knowledge to power.”
Menurut Kahler, dalam perkembangannya, para kaum institusional liberalis
bertujuan untuk mempengaruhi opini publik dan sistem pendidikan lebih luas;
kaum saintis seringkali memfokuskan pada saran-saran kebijakan langsung.
Walaupun dunia pasca PD II (pasca 1945), kaum saintis benar-benar
mengalami peningkatan pamornya, tetapi ternyata mereka juga mengalami
menurunan (kritik) dalam ilmu politik dan SHI yang dilontarkan oleh pemikiran
tradisionalis seperti William Yandell Elliot dan Henry Kissinger. Ketika pamor
saintisme meningkat, ruang konferensi dan penelitian survey SHI dengan cepat
juga menampilkan perdebatan antara utopianism (idealisme) dan power politics
(realisme). Persaingan dari ketiga pemikiran tersebut, Kahler mengutip pernyataan
William Fox yang menyimpulkan pendapatnya bahwa saat itu, di antara
ketiganya, pemikiran realisme dan saintisme memperoleh kemenangan dalam
tradisi SHI. Kemudian realisme dan saintisme melanjutkan sebuah tuntutan baru
untuk mengakumulasi para pengikutnya, sebuah tuntutan yang menawarkan
dukungan terhadap institusi borjuis. Infrastruktur SHI yang tengah dikembangkan
pada tahun 1930an berkembang pesat pada pasca PD II, ketika pemerintah dan
yayasan-yayasan mendukung (meningkatkan) tuntutan mereka atas pengetahuan
yang mereka produksi dalam ‘membaca’ kepentingan global baru Amerika
Serikat. Keuntungan yang diperoleh pemikiran realisme tidak hanya dukungan
penuh dari mereka saja, tetapi pemikiran realisme juga memperoleh posisi teoritis
yang memadai (legitimate) akibat dari terjadinya reformasi pemerintah yang
menekankan pada komitmen internasional terhadap ancaman Soviet; pemikiran
realisme membuat nyaman para pengkaji, praktisi, ilmuwan HI dan pemerintah
dalam kondisi Perang Dingin. Relasi antara ilmuwan dan pemerintah keduanya
terjalin hubungan yang produktif dan akumulatif dalam menguatkan kepercayaan
dan legitimasi diri mereka. Namun Kahler kecewa terhadap hubungan ini, karena
kondisi itu dimaknai bahwa realis juga masih bermuatan filosofis daripada
10
bermuatan positivis. Komentar dari ilmuwan yang lain muncul dari seorang senior
dari kaum saintis, Quincy Wright mengatakan bahwa keduanya (realis&positivis)
mempunyai fungsi propaganda, dan Harold Lasswell menggambarkan politik
kekuasaan dari kaum realis tetap saja mempunyai terminologi yang sentimental.
Sebagaimana konsistensi pandangan Kahler bahwa SHI sebagai disiplin
ilmu tetap menggambarkan evolusi tradisi pemikiran HI, bukan dicirikan dalam
kerangka paradigma Kuhnian selama periode Perang Dingin; wilayah HI tetap
heterogen. Ketika SHI di bawah elaborasi pemikiran realisme dan saintisme
1930an, perkembangan evolusi perkembangannya cukup pesat, sehingga saat itu
juga muncul studi baru: international political economy—apakah yang
dipengaruhi oleh kaum liberalis ataupun dipengaruhi oleh kaum historical-
materialist yang beragam. Selain itu, studi organisasi internasional dan investigasi
integrasi regional yang dimulai pada tahun 1950an terus berjalan, tetapi studi
institusi internasional didefinisikan partikular, termasuk studi hukum
internasional. Kahler menegaskan kembali argumennya bahwa bagi kaum saintis,
individual dan kelompok adalah pusat unit analisis; bagi kaum realis, negara
dalam lingkungan internasional yang anarkhi adalah pusat unit analisisnya; kaum
idealis menekankan pada analisis institusi (internasional). Kahler memberikan
kesimpulan final atas aliansi antara kaum realis dan kaum saintis yang bagi
mereka berdua menolak analisis tentang perubahan internasional, karena
keduanya memang mempunyai persamaan dalam melihat ontologi realita dunia
politik. Dalam konteks statisme ini, argumen kaum realis berdiri pada pernyataan
bahwa regularitas melintasi ruang-waktu spasial politik kekuasaan; argumen
saintis berdiri pada pernyataan bahwa perilaku manusia dan perilaku nasional
suatu negara ditentukan oleh hukum alam dalam bentuk fakta yang
digeneralisasikan. Jadi analisis HI saat itu juga berpusat pada analisis statisme dan
equilibrium, sebuah masa depan yang menyerupai kondisi masa lalu dari sistem
balance of power dan perputaran naik-turunnya great-power.
Menurut Kahler, kebersamaan kaum realis dan kaum saintis, tidak
berlangsung lama, ketika kaum tradisionalis London School of Economics yang
diajar oleh Martin Wight seperti Hadley Bull muncul dengan mendebat kaum
11
realis dan kaum saintis. Walaupun Bull lebih mempunyai kecenderungan ke arah
neo-Grotian yang menekankan pada organisasi internasional di dalam masyarakat
internasional, tetapi pandangannya mengambil dari beberapa pemikiran realisme
juga. Dalam hal ini, Bull mewakili pemikiran realisme Eropa Kontinental yang
mengkritik pemikiran realisme Amerika Serikat. Saat itu, perubahan konstelasi
politik internasional tidak begitu signifikan, tetapi justru momen ini memberikan
peluang untuk merefleksikan kondisi statisme ini. Sebelum Perang Vietnam
memang konstelasi politik internasional cenderung dikuasai oleh dominasi
superpower dan kemenangan ekonomi Amerika Serikat, tetapi pasca Perang
Vietnam, Bull memulai menyerang klaim-klaim kaum saintis, khususnya seorang
saintis, Morton Kaplan tentang posisi teoritis dan analisis kebijakan. Serangan
Bull terhadap saintis menandai pencerahan kaum sejarawan HI. Nantinya,
serangan Bull terhadap pendekatan saintifik mirip dengan serangan kaum post-
modernism yang mengatakan bahwa pendekatan saintifik itu miskin self-
conscious dan miskin berpikir kritis terhadap teori HI mainstream. Menurut
Kahler, fenomena serangan ini merupakan kondisi melemahnya aliansi antara
kaum realis dan kaum saintis—pemikiran Amerika Serikat. Saat itu, banyak kaum
realis tradisionalis berbagi kegelisahan juga tentang arah masa depan SHI:
Morgenthau sendiri memposisikan dirinya sebagai seorang yang antibehavioral,
dan melontarkan serangan yang sangat gencar terhadap kerja kaum saintis seperti
Lasswell dan Kaplan dalam suatu review artikel. Kahler terus menonjolkan
konsistensinya bahwa bagi ilmu sosial-politik seperti SHI serangan ini bukan
merupakan perdebatan yang konfrontatif, tetapi justru sebuah proses evolusi
tradisi pemikiran SHI. Proses evolusi ini memberi kesan tentang momen keributan
antara pemikiran Amerika Serikat dan pemikiran Eropa Kontinental—yang sangat
membenci ethnocentrism Amerika Serikat. Menurut Kahler, perdebatan ini hanya
meruncingkan kepicikan di antara keduanya, sehingga sangat paradoks jika
dihadapkan dengan karakter tradisi pemikiran keilmuan SHI.
Pada kenyataannya, kekalahan pendekatan tradisional atau klasik dalam
debat kedua terlihat pada kemiskinan program yang empirik, yang dimenangkan
oleh perjuangan kaum saintis. Kemenangan kaum saintis ini memotong SHI dari
12
ruang perdebatan antar kaum saintis tentang kebijakan senjata nuklir. Studi ini
mengambil metodologi dari kaum saintis dan juga nilai-nilai kepercayaan liberal
bahwa dinamika kekerasan antar individu, antar kelompok dan antar negara-
bangsa menunjukkan kemiripan. Jika perkembangan teori deterrence, teori
permainan dan teori rational-choice adalah sebuah manifestasi awal dari kaum
neorealis, maka studi perdamaian ini merupakan manifestasi dan kebangkitan
awal bagi teoritisasi kaum neoliberalis yang sudah muncul selama kurun waktu
1960an. Studi perdamaian ini ditemukan banyak pendukung dan infrastruktur
penelitiannya di Eropa Kontinental. Saat itu, Eropa Kontinental sudah bisa
mengendalikan konflik nasionalisme dan mengadopsi eksperimentasi integrasi
regional, melengkapi dasar baru untuk menantang asumsi-asumsi kaum realis—
apakah dalam bentuk evolusi komunitas keamanan yang dikerjakan oleh Karl
Deutsch dan Bruce Russett, ataupun ledakan wilayah integrasi regional yang
dikerjakan oleh Ernst Haas, Leon Lindberg dan yang lainnya—yang mengajukan
model penjelasan neofungsionalisme. Berawal dari fenomena ini, menurut Kahler,
sekumpulan mahasiswa yang terintegrasi mengurangi dosis pembelajaran
pemikiran realisme yang berawal dari kemiskinan prediksi-prediksinya dalam
seleksi pertama pemahaman tentang perkembangan SHI, lalu menjelaskan
perkembangan SHI melalui proses studi perdamaian dengan mempelajari aktor di
luar negara.
Menurut Kahler, pemikiran neoliberalisme pada tahun 1960an dan 1970an
ditarik kepada implikasi dari perubahan ekonomi internasional. Kondisi pasca
perang menampilkan gambaran booming ekonomi, munculnya liberalisasi antar
negara-negara industri dan pertumbuhan yang stabil dalam arus finansial dan
perdagangan. Dalam skala yang luas, investasi Amerika Serikat di Eropa dan
Eropa sendiri yang kemudian bereaksi terhadap “tantangan Amerika Serikat”
diarahkan secara langsung ke publik dan menarik perhatian multinational
corporation (MNC) dan potensinya dalam membentuk kembali (rekonstruksi)
kontelasi politik internasional. Pertumbuhan perdagangan dan investasi lintas
batas merangsang kepentingan kaum saintis politik dan ekonomi untuk
melahirkan kembali studi ekonomi politik internasional. Organisasi internasional
14
sebagai salah satu arsitektur HI yang sempat terpencilkan, lalu sekarang bangkit
sebagai pelengkap dari elaborasi dirinya dengan manejemen hubungan ekonomi
internasional dalam wilayah pemikiran dan agenda kebijakan. Studi
interdependensi ekonomi pertama kali muncul dari kerja Richard Cooper.
Demikian juga Edward Morse yang menantang asumsi-asumsi state-centric dari
para kaum realis. Dia beragumen bahwa pertumbuhan interdependensi ekonomi
dan aktor-aktor transnasional secara fundamental telah mengubah sistem negara
Westphalia klasik. Kahler menyebut pemikir HI seperti Robert O. Keohane dan
Joseph Nye yang mempunyai formulasi interdependensi kompleks, meringkas
dekade dari pemikiran neoliberal, yang telah mengenalkan kembali hubungan
transnasional, interdependensi ekonomi, komunitas keamanan, organisasi
internasional, dan konsep yang lebih luas tentang rejim internasional.
Selain tantangan dari neoliberalisme, Kahler menjelaskan kemunculan teori
dependensia sebagai respon dari perubahan ekonomi internasional. Berbeda
dengan teori neoliberal, strukturalisme yang dipromosikan oleh Economic
Commission untuk Amerika Latin (ECLA)—Marxisme sebagai pusat pengaruh
teoritis teori dependensia. Kemunculan teori ini merupakan kritik terhadap
perkembangan kapitalisme di Amerika Latin. Kahler menyebutkan ilmuwan
seperti Henrique Cardoso sebagai kreator dari teori dependensia yang mengatakan
bahwa pencarian dan penemuan ide-ide baru pada awalnya optimis tentang teori-
teori pembangunan (modernisasi) pasca perang tengah berubah menjadi frustasi
yang amat sangat menggetirkan. Teori dependensia tidak jauh berbeda dengan
variannya seperti teori imperalisme (1968) yang dikreasi oleh Vladimir Illyich
Ulyanov Lenin. Kehadiran analisis sistem-dunia (1974) yang dimunculkan oleh
Immanuel Wallerstein masa itu mengambil beberapa terminologi dari
strukturalisme dan analisis dependensia, tetapi tidak mengadopsi dinamisasi
Marxis sebagai mesin perubah dunia. Dibandingkan dengan teori dependensia
yang berpusat pada hubungan sistemik antara core-periphery, analisis ini lebih
memfokuskan pada dan berakar pada evolusi kapitalisme internasional, bukan
pada sistem negara.
15
dari realisme dibalik. Secara partikular, pada level sistemik, sepertinya neoliberal
tidak nampak menghadirkan sebuah alternatif yang dapat bersaing dengan struktur
yang ditetapkan sebagai distribution of power tanpa memasukkan sebuah tujuan
dan instrumen kebijakan negara. Kahler menjelaskan lebih dalam bahwa elemen
lain dari teori neoliberal, seperti interdependensi dan rejim internasional dapat
diakomodasikan bersama neorealisme; dalam bentuk tertentu, mereka dipahami
sebagai kemunculan dari sintesis neorealisme.
Menurut Kahler, jika neoliberalisme dapat ditarik ke teoritisasi neorealisme,
maka teori dependensia tetap saja gagal dan mengalami kemunduran karena dua
anomali: pertumbuhan industrialisasi yang begitu cepat pada negara periphery
(khususnya negara industri baru) dan perkembangan demokratisasi di Amerika
Latin pada akhir tahun 1960an dan 1970an. Lebih mendalam lagi, kegagalan dari
teori dependensia ini justru pada bertambahnya variasi tingkatan antara lintasan
negara-negara berkembang—munculnya negara semi periphery. Menurut Kahler,
hal tersebut merupakan anomali utama dari sebuah teori yang menekankan pada
diterminasi sistem (pembangunan nasional)—hanya berkenaan dengan kelas core
dan periphery. Akar kegagalan teori dependensia berawal dari perubahan bukan di
tingkat sistem, tetapi justru di tingkat domestik. Dengan kata lain, teori ini
berhadapan dengan hadirnya tambahan variabel domestik, khususnya kapabilitas
negara dalam mendukung industrialisasi dan tawar-menawar dengan investor luar
negeri—Korea Selatan. Jika teori dependensia disejajarkan dengan neoliberalisme
dan neorealisme, maka semuanya dikategorikan sebagai teori struktural atau
pendekatan sistemik yang berbeda imaji saja.
Ditegaskan kembali oleh Kahler bahwa konstelasi tatanan ekonomi-politik
internasional (1970an) dan adaptasi kebijakan defensif dalam wajahnya yang
kacau telah berubah dari interdependensi ekonomi menuju prasyarat politik dari
tatanan ekonomi liberal. Robert Gilpin dan Charles Kindleberger mengamati
dasar-dasar teoritis yang menciptakan formulasi teori stabilitas hegemoni. Di saat
yang sama, neoliberal melakukan eksperimentasi Komunitas Eropa yang masih
mengalami kehampaan dari kejutan ekonomi eksternal. Seperti yang dituturkan
oleh Kahler, eksponen yang memimpin teori integrasi regional mempunyai
17
berakhirnya Perang Dingin menjadi titik tolak bagi Kahler untuk menegaskan
pendapatnya tentang kelemahan dan kemiskinan neorealisme dan variannya. Dia
mengatakan bahwa teori stabilitas hegemoni secara teoritis pun mengalami
penurunan dan secara empirik ditantang: sebuah variasi “kuat” dari teori yang
hanya bersandar pada distribusi hegemonic power tanpa mempertimbangkan
faktor independensi dalam acuan analisis hegemonic power. Berdasarkan pada
momen dramatis berakhirnya Perang Dingin, neorealisme juga dituntut dan
dipaksa untuk memberikan penjelasan empirik yang memadai dengan
menambahkan dimensi domestik. Hal ini memberikan bukti nyata bahwa
neorealisme yang mengedepankan dimensi sistemik telah gagal menjelaskan
konstelasi politik internasional. Kesederhanaan teoritisasi neorealisme (Waltz dan
Gilpin) dikorbankan untuk memperoleh serangan (pukulan) atas kelemahannya
dalam menjelaskan konstelasi politik internasional.
Menurut Kahler, kegagalan neorealisme ini memunculkan lawan baru yang
menghadirkan penemuan yang terpendam di dalam sejarah HI dan juga
menginjeksi teori sosial Eropa untuk meningkatkan kebencian yang luar biasa
terhadap wilayah HI yang teramerikanisasi. Walaupun Keohane mengelompokkan
kubu kritis ini ke dalam kaum refleksionis, tetapi jumlah mereka termasuk kurang
lebih mempunyai dua kecenderungan: kubu yang sangat radikal, yang
memusatkan kritiknya pada wilayah metode dan epistemologi (kaum post-
modernist) dan kubu (kaum sosiologis) yang tidak memperdulikan tentang proyek
saintifik dan kegelisahan metodologi positivisme, tetapi menolak premis
individualis dan state-centric neorealisme dan neoliberalisme. Serangan gencar
dari kaum post-modernist terhadap kaum saintis HI menghadirkan wajah balas
dendam realisme klasik. Kaum post-modernist seperti Richard Ashley
mentransformasikan irasionalisme dan posisi kritik berakar dari wajah asli Eropa
realisme menuju pada sikap skeptisme terhadap klaim-klaim saintifik. Walaupun
pendukung post-modernism (yang dilabelkan oleh Pauline Rosenau) mempunyai
wilayah yang luas dalam SHI, penemuan serangkaian elemen yang terpendam
yang tengah diabaikan sebelumnya oleh kaum post-modernist. Sedangkan kaum
sosiologis memusatkan kritiknya pada definisi neoliberal tentang institusi
20
2
Maja Zehfuss, Constructivism in International Relations: the politics of reality, (UK: Cambridge
University Press, 2002).
21
yang digambarkan sebagai bagian dari penerimaan politik luar negeri Jerman
untuk membantu PBB, tanggung jawab baru Jerman tentang aturan main militer
dunia dan beberapa kasus lainnya. Semua fenomena tersebut merubah posisi
politik luar negeri Jerman di tatanan politik internasional. Perubahan politik luar
negeri Jerman ini dipengaruhi oleh norma, di mana politik luar Jerman
mempunyai kewajiban membantu dan menciptakan perdamaian dunia
internasional. Mekanisme intersubjektivitas terjadi di pemerintahan Jerman dan
pemaknaan kembali tentang tafsir hukum Jerman dan kebijakannya terhadap
politik internasional merubah identitas politik luar negeri Jerman ke arah
militeristik, daripada sebelumnya non-militeristik. Kehadiran berupa intervensi
militerisme Jerman di politik internasional juga memberikan wajah baru politik
internasional.
Konstruktivisme mempunyai kelemahan yang susah untuk dilengkapi.
Dalam artikelnya Wendt, “Anarchy Is What States Make of It: The Social
Construction of Power Politics,” dalam International Organization: a Reader,3
penulis menekankan beberapa poin kelemahan: pertama, secara
metodologis/epistemologis, Wendt nampaknya belum menuturkan batasan yang
cukup jelas dan signifikan antara posisi epistemologinya dengan dua titik ekstrim
yang dia jembatani—rationalist-modernist dan reflectivist-postmodernist.
Epistemologi sangat penting untuk berpijak pada realitas politik internasional dan
metodologi HI. Jadi mekanisme berpikirnya konstruktivisme yang seharusnya
harus dibedakan dengan secara cukup mengesankan di sini. Wendt mengklaim
dirinya sebagai strong-liberalism seperti konstruktivisme yang lainnya
(Kratochwil, Ruggie, dan Onuf). Dalam karyanya, “Social Theory of
International Politics” (1999), dia menjelaskan di bab pertama bahwa dia masih
memposisikan epistemologi/metodologi konstruktivisme di dalam kaum rasionalis
atau kaum positivis. Dengan jelas, dia berkata: “I am a positivist.”4 Dalam
3
Alexander Wendt, “Anarchy Is What States Make of It: the social construction of power
politics,” dalam International Organization: a reader, (USA: Harpaer Collins College
Publications, 1994), hlm. 77-94.
4
Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, (UK: Cambridge University Press,
1999), hlm. 39.
23
konteks ini, pendapat Ole Waever cukup menarik, ketika Wendt sendiri berkata
bahwa analisis dirinya lebih baik daripada analisisnya Keohane.5
Nampaknya sudah jelas bahwa konstruktivisme mempunyai kelemahan
metodologis, epistemologis dan ontologis. Kelemahan metodologis dan
epistemologinya diserang oleh kaum post-modernismis seperti Ashley dan Der
Derian. Menurut mereka, konstruktivisme adalah pemikiran yang ambigu:
Rationalist mainstream is softened, opened to tolerating new kinds of questions, but
the more radical impulses of post-structuralist can now be outmaneuvered because
the mainstream can focus on the ‘good guys among the reflectivist and thereby
forget about the bad guys.6
5
Waever, “Figures of International Thought: introducting person instead of paradigms, dalam The
Future of International Relations, diedit oleh Iver B. Neumann dan Ole Waever, (USA: Routledge,
2001), hlm. 24.
6
Ibid.
7
Steans & Pettiford, op.cit., hlm. 101.
24
kebenaran teori abadi, teori yang universal, berlaku kapan saja—terlepas ruang-
waktu.
Menurut mereka berdua, teori internasional kritis berbeda dengan neo-
marxisme dan teori dependensia: pertama, para strukturalis mengkonsentrasikan
pemikirannya pada struktur kekinian (status quo) dan mekanisme sistem
kapitalisme. Sedangkan teori internasional kritis menekankan lebih pada
konstelasi budaya dan ideologi dalam melengkapi varian hubungan sosial atau
sebaliknya, menantang mereka. Kedua, pemikiran Marxis ortodoks memahami
masyarakat secara ilmiah (scientifically). Sedangkan teori internasional kritis
memahami masyarakat secara ideologis. Ketiga, teori dan praktik tidak berarti
apa-apa (meaningless) jika terpisah dari aktivitas nyata manusia (realms of human
activity). Hal ini yang membawa teori internasional kritis pada pembebasan
manusia (human emancipation). Keempat, teori internasional kritis memandang
tidak secara kaku dan deterministik (pasti) relasi antara sistem ekonomi dan sosial
atau dinamika perubahan sosial. Dengan demikian, teori internasional kritis
‘membaca’ relasi antara masyarakat dan negara sebagai elemen yang otonom.
Kelima, teori internasional kritis tidak melihat masyarakat sebagai kelas, tetapi
beragam komponen seperti individu (human being), ras, etnis, jender, agama,
kelas, dll. Teori internasional kritis berusaha menekankan pada aspek ‘good
society’ yang tidak terbatas pada konsep negara-bangsa (beyond nation-state),
tetapi ontologi era post-Westphalia.
Kemunculan teori internasional kritis merupakan puncak dari proyek
modernitas dalam SHI. Rekonstruksi pemikiran HI dari idealisme hingga
kemunculan teori internasional kritis bersandar pada konsep utama: rasionalitas
Barat, khususnya Eropa Kontinental. Sedangkan kerangka berpikir dari teori
internasional kritis berakar pada analisis normatif, sosiologi dan praxeology. Teori
internasional kritis berusaha menghadirkan totalitas pemikiran rasionalitas yang
berasal dari tradisi Eropa Kontinental, khususnya cenderung pada tradisi
pemikiran Jerman: neo-Kantian. Kelemahan dari tradisi ini adalah
keterjebakannya pada rasionalitas Eropa Barat. Di satu sisi, teori internasional
kritis menyodorkan pembebasan manusia dari berbagai macam ras, suku, etnis,
25
agama, kelas, dll, tetapi di sisi lainnya teori tersebut menggunakan tradisi
pemikiran rasionalisme Eropa yang dikontekskan sekarang, khususnya pada kasus
integrasi komunitas nasional seperti bentuk European Union. Dengan kata lain,
teori ini beserta variannya berusaha mewujudkan universalisme, demokrasi
kosmopolitan, multikulturalisme, keberagaman di bawah satu payung atau wadah,
yakni tradisi pemikiran rasionalisme Eropa Kontinental. Tradisi pemikiran ini
merupakan bentuk asli dari akar tradisi pemikiran Yunani Kuno: Hellenism. Kritik
imanen yang digencarkan oleh kaum teori internasional kritis sesungguhnya
merupakan penarik sejarah kembali ke nostalgia zaman Hellenic Kuno dalam
sistem demokrasi langsung dan berfungsinya public sphere sebagai dimensi
intersubjektivitas dan konsensus atau ide tentang progresifitas dari discourse ethic
teori internasional kritis.
Pemikiran post-modernism memberikan alternatif baru dalam tradisi HI.
Pemikiran post-modernism dan pemikiran post-structuralism memberi peluang
untuk menggunakan tradisi pemikiran rasionalisme yang bukan berasal dari tradisi
pemikiran rasionalisme Barat atas dasar permainan bahasa teks/intertektualitas.
Sebelumnya teori kritis internasional memberikan kesempatan kepada studi
politik internasional dalam unit analisis apapun juga, tanpa mempunyai
determinasi analisis kepada negara-bangsa, level analisis sistem atau struktur yang
statis, kelas sosial, dan perubahan konstruksi politik internasional. Teori
internasional kritis memberikan peluang bagi SHI untuk menganalisis human race
secara umum dalam konstelasi politik internasional. Namun karena kerangka yang
dipakai masih menggunakan kerangka tradisi berpikir ala modernisme seperti
empirisme, rasionalisme (positivisme), sosiologi, maka analisis bahasa dalam
bentuk teks hanya digunakan oleh kaum post-modernist dan post-structuralist
dalam fenomena melihat politik internasional pasca Perang Dingin. Analisis teks
tidak mengandaikan wilayah tempat, tetapi wilayah ruang atau spasial sebagai
pemain politik internasional. Jika politik internasional diangkat dalam bentuk
intertekstualitas dengan menempati ruang pemikiran atau wacana di dunia, maka
pemikiran yang tenggelam, terpinggirkan, terkubur, terselip, tertendang,
tersingkirkan dari ranah mainstream modernitas dalam SHI dapat dimungkinkan
26
pengetahuan yang spesialis, realitas yang subjektif, konstruktif atas realitas sosio-
historis waktu-ruang/wilayah tertentu (unik), dan melampaui oposisi biner
Barat/non-Barat, masuk akal/tidak masuk akal, rasionalitas/irasionalitas,
mulia/rendah, putih/hitam, tinggi/pendek, sehat/gila, karena setiap pengetahuan
mempunyai dasarnya sendiri-sendiri. Pengetahuan yang diusung dari tradisi
pemikiran rasionalisme Barat (modernitas) ataupun yang terekonstruksi dalam
bentuk teori internasional kritis adalah pengetahuan abad pencerahan Barat yang
merupakan rekonstruksi tradisi pemikiran Yunani Kuno: Hellenic.
Smith memaparkan kegagalan wacana teori internasional khususnya
berkaitan dengan proyek modernitas. Teori internasional gagal dalam
mengembangkan keterkaitan antara praktik-praktik sosial dan prasyarat-prasyarat
pengetahuan sosial. Teori internasional cenderung mengemukakan praktik-praktik
internasional seakan-akan atau seolah-olah klaim-klaim penemuan kebenaran
rasio pemahaman teoritis hanya menghadapkan atau memisahkan antara: rasional
dengan irasional, waras dengan gila tanpa kemudian direlevansikan dengan
praktik-praktik realitas sosial yang ada di dunia internasional.9 Dengan demikian,
implikasi kebenaran total terhadap realitas sosial-politik internasional tidak
terjadi, sebaliknya teori internasional di dalam tubuh SHI hanya berkutat pada
rasio oposisi biner: masuk akal/tidak masuk akal, rasional/irasional, sehat/gila,
nyata/abstrak, dll, tanpa melihat realitas yang sesungguhnya—wilayah spasial
rasional yang-bukan-Barat, yakni pengetahuan yang sama sekali berbeda dengan
praktik-praktik tradisi pemikiran HI sebelumnya: pengetahuan kelokalan tiap
daerah. Di dalam studinya, Smith berusaha menyuarakan tiap wacana SHI yang
tengah diam. Dengan kata lain, Smith menguak kategori-kategori representasi tiap
wacana SHI yang hadir sebagai pengetahuan dan penempatan posisi tiap formasi
wacana di jamannya. Hal ini sangat penting, karena beragamnya wacana
menandakan beragamnya realitas dunia internasional. Dengan kata lain, tradisi
pemikiran HI menjadi heterogen melalui tradisi tiap daerah, tiap wilayah, tiap
suku, etnis, dll dalam membaca realitas dunia internasional.
9
Ibid., hlm. 2.
28
10
Ibid. hlm. 30.
29
dari tradisi pemikiran HI. Alam konteks ini, tradisi pemikiran HI modern susah
dan nampaknya masih tidak mungkin mengusung wacana pengetahuan komunitas
lokal daerah, bentuk kearifan lokal yang lama terkubur, tidak terjamah sama sekali
oleh kerangka berpikir atau ranah koridor yang lazim, normal di dalam tradisi
pemikiran HI modern.
Studi pascakolonialisme seperti membahas tentang representasi
pengetahuan etnisitas, suku, otentisitas komunitas tertentu di wilayah non-Barat
yang bernuansa perlawanan terhadap baik kekerasan fisik maupun epistemologi
Barat, penyuaraan komunitas yang tengah lama terbungkam oleh tekanan
epistemologi Barat, terkolonialisasikan abstraksi pemikirannya, sehingga menjadi
bentuk semacam gerakan subaltern yang masih belum tersentuh oleh tradisi
pemikiran HI ala non-Barat. Gerakan ini bergerak dalam bentuk komunitas di
Indonesia seperti gerakan pengetahuan komunitas suku Papua yang akan semakin
hilang, rendahnya perhatian dunia internasional terhadap sistem pengetahuan
subak dan pengetahuan desa adat di Bali, belum tersuarakannya sistem nagari
yang telah dijalankan oleh masyarakat Sumatra.
Studi Noer Fauzi, Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga
(2005) menjelaskan kasus perlawanan pengetahuan komunitas lokal terhadap
kondisi gerakan epistemologi Barat yang sangat represif dan opresif terhadap non-
Barat. Resistensi terhadap epistemologi Barat bermunculan di daerah seperti
Thailand, India, Indonesia, Vietnam, Brazil, Mexico, Equador, Afrika Selatan, dan
Filipina. Wacana komunitas lokal sebagai gerakan strategi politik-budaya begitu
penting dalam politik global sekarang ini. Sebagaimana teori internasional kritis
membaca dunia pasca Perang Dingin bahwa dunia internasional sekarang ini tidak
lagi terkotak-kotakkan dalam petak negara-bangsa (G-G/IGO-IGO relations),
MNC, LSM, INGO, masyarakat sipil yang mengalami kesadaran terhadap
kegagalan modernitas Barat, tetapi sudah mencapai taraf ras, etnis, suku, agama,
dll. Kemunculan radikalisme agama, terorisme, gerakan subaltern di India dan
Bangladesh dapat dilacak melalui analisis wacana teks dan kajian tradisi budaya
pemikiran dalam studi Pascakolonialisme. Studi ini dapat melacak aksi-reaksi
mereka sebagai gerakan yang cukup signifikan dalam permainan politik global
31
11
Francis Wahono & Kenneth D. Thomas, “Globalisasi dan Inisiatif-Inisiatif Lokal, dalam
Pangan,” Kearifan Lokal & Keanekaragaman Hayati: pertaruhan bangsa yang terlupakan,
disunting oleh Francis Wahono, AB. Widyanta, Titus O. Kusumajati,dkk. (Yogyakarta, Cindelaras
& Satu Nama, 2001), hlm. 21-42.
32
12
Norena Heertz, “Hidup di Dunia Material: munculnya gelombang Neoliberalisme,” dalam
Neoliberalisme, diedit oleh I Wibowo & Francis Wahono, (Yogyakarta, Cindelaras, 2003), hlm.
16.
37
(public sphere). Yang menariknya lagi, tradisi pemikiran HI modern Barat selalu
mengusung pemahaman power dan etika abad pencerahan dengan mengadopsi
masyarakat Yunani kuno (Hellenic) sebagai rekonstruksi kegagalan demi
kegagalan masyarakat Barat, sehingga berusaha mewujudkan nostalgia masa
Hellenic berdasarkan pada pijakan kritik imanent dengan mewujudkan dunia
pasca Westphalia. Hal ini berbeda dengan wacana pengetahuan komunitas lokal
saminisme yang berpijak pada kondisi sosio-historis ruang-waktu
mewacanakannya—kondisional dan secara contingency Blora yang saat itu tengah
terjadi imperalisme Belanda. Wacana saminisme ini adalah teks pengetahuan
pascakolonialisme dalam dan terhadap tradisi pemikiran HI yang selama ini
mendominasi, menghomogenisasi analisis bacaannya terhadap ontologi realitas
dunia internasional. Ketiga, komunitas tersebut merupakan ikon gerakan
pascakolonialisme yang menggunakan teks permainan bahasa dan strategi politik-
budaya sebagai resistensi terhadap tradisi pemikiran HI modern Barat yang
nampaknya sudah tak terkendali, merusak, menindas, dengan mengubur dan
membungkam suara teoritisasi kelokalan lainnya. Dengan figur tokoh Samin,
wacana komunitas lokal saminisme menyuarakan pengetahuan dan nilai kelokalan
di tengah hiruk-pikuk politik dunia sebagai school of though tradisi pemikiran HI
Indonesia.
Studi ini akan membawa SHI pada studi pascakolonialisme, yakni
mengeksplorasi pengalaman penindasan, perlawanan (etnis, suku, agama, dll)
representasi, perbedaan, penyingkiran dan migrasi dalam hubungannya dengan
wacana-wacana penguasa modernitas Barat mengenai pengetahuan dunia
internasional, sejarah hubungan internasional, filsafat dan sejarah diplomasi, sains
dan linguistik. Studi ini sangat signifikan untuk mewarnai SHI ditengah
keterjebakkannya di dalam tradisi pemikiran HI modern Barat di wilayah studi
politik, ekonomi, ekonomi-politik, studi pembangunan, studi pengakajian strategi
keamanan, dan studi perdamaian, dll.
40
14
Jim George, Discourses of Global Politics: A Critical (Re) Introduction to International
Relations, (USA: Lynne Rienner Publishers, Inc., 1994), hlm. 30.
15
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2003), Sub-bab “Diskursus Posmodernisme.”
16
Ibid. hlm. 119. Dikatakan oleh Weedon bahwa diskursif adalah kata sifat dari bentuk diskursus.
43
17
Geff Danaher, Tony Schirota, dan Jen Webb, Understanding Foucault, (London: SAGE
Publications Ltd., 2000), ch. Glossary, hlm x.
18
Sara Mills, Discourse, (London: Routledge, 1997), hlm 17-22.
19
David Howarth, Discourse, (Philadelphia: Open University Press, 2000), hlm. 10
20
Ibid., hlm. 77-79.
44
I.4. Hipotesa
Wacana teori modernitas dalam studi hubungan internasional mengalami
kesulitan dalam menjelaskan fenomena perlawanan komunitas lokal dalam dunia
internasional. Argumen yang akan dilontarkan pada sudi ini: pertama, tradisi
pemikiran HI modern adalah kuasa/pengetahuan atas realitas politik dunia.
Mereka adalah metanarrative dalam SHI yang tidak akan pernah menarasikan
repsentasi tradisi-tradisi kelokalan atas HI. Kedua, SHI masih terjebak pada
ortodoksi epistemologi, sehingga yang terjadi hanyalah analisis metafisika
Hegelian tanpa menginjak pada realitas sosio-historis dunia internasional. Dasar
tradisi pemikiran ini adalah sifat partikularisme yang bisa dilacak melalui
konsistensi tradisi pemikirannya dalam menegakkan tradisi pagan Yunani Kuno,
khususnya tradisi pemikiran Hellenisme Ketiga, wacana tradisi pemikiran HI
modern: Ok! Tradisi pemikiran indigenous people atau komunitas lokal: Yes!
BAB II
SEJARAH WACANA
TRADISI PEMIKIRAN HUBUNGAN INTERNASIONAL MODERN
47
48
beragam untuk fleksibel memilih dan menciptakan diri kita lebih bijak. Hal ini
sangat penting agar kita selalu waspada terhadap dogma ilmu pengetahuan atau
disiplin ilmu yang kita pelajari dan terus mewaspadai atas will to power suatu
wacana tertentu. Selain itu, kita akan lebih waspada akan arogansi dan tradisi
penindasan, marginalisasi, pengucilan, penguburan dan penyembunyian wacana-
wacana unik, aneh, ganjil dan nampak tidak signifikan oleh fihak-pihak ilmuwan
tertentu, khususnya ilmuwan status quo yang susah untuk menerima wacan-
wacana baru.
Agar kita bisa bertengger di kepala pewacana tradisi pemikiran HI, maka
mereka akan dijelaskan dan diilustrasikan lebih luas dan tajam di bawah ini
sebagai suatu rangkaian reproduksi dan akumulasi wacananya. Di bawah ini
adalah sejarah tradisi pemikiran HI yang berusaha diteguhkan dan diteruskan oleh
para penerusnya dalam rangka berpijak pada fondasi-fondasi tradisi pemikiran HI
sebelumnya. Selain itu ilustrasi tersebut, bagian bab ini akan mengilustrasikan
arkeologi pengetahuan HI dan genealogi kuasa pengetahuan HI dari awal
berdirinya studi ini—yang dimulai dari wacana idealisme—hingga perkembangan
yang paling mutakhir: wacana teori internasional kritis (critical international
theory). Namun di bagian ini, pembahasan hanya sampai pada pendekatan neo-
positivisme atau strukturalisme dalam SHI. Sebab wacana teori internasional kritis
akan dibahas tersendiri pada bab selanjutnya.
pendapatnya Der Derian di bagian tertentu, di bawah ini lebih mendalam seperti
membahas tentang prosedur logosentris dan dekonstruksi dalam SHI.
II.1. 1. Konseptualisasi Arkeologi Pengetahuan
Pendekatan ini sangat berbeda dengan dialektika HI Hegelian yang
berusaha mencapai totalitas pengetahuan HI atau kebenaran yang absolut tentang
ilmu HI. Dengan bantuan karya Foucault, The Archeology of knowledge (1989),
bagian ini akan menjelaskan kerangka sejarah pengetahuan melalui pelacakan
wacana sejarah monumental atau peristiwa khusus. Arkeologi pengetahuan
merupakan pendekatan yang berusaha memunculkan bagaimana episteme21
bekerja dan ‘speak themselves’ melalui apa yang disebut dengan produksi
‘discursive formations’22 (formasi diskursif) atau orders of discourse’23 dengan
menghapus atau membuang (exclude) segala sesuatu yang berbeda dengannya.
Beberapa formasi diskursif merupakan prinsip episteme yang terorganisir. Mereka
bekerja untuk menggerakkan kemungkinan wacana, mengorganisir gagasan atau
21
Istilah episteme muncul dalam karya Foucault, The Order of Things (1973). Kata ini muncul,
ketika Foucault mengilustrasikan sejarah ide-ide di Eropa Barat selama kurang lebih 400 ratus
tahun. Istilah episteme ditemukan, ketika dia memahami bahwa sejarah hadir tidak melalui
keberlanjutan, progresif, keaslian, keajegan. Episteme mengorganisir pandangan-pandangan dunia
tentang mereka sendiri (periode sejarah yang bermacam-macam). Timbul-tenggelamnya episteme
tidak mengacu pada keaslian narasi yang murni, berkembang, berlanjut atau progresif. Episteme
bukan tubuh pengetahuan yang tunggal seperti penjelasan beberapa istilah tertentu dalam
terminologi ilmu pengetahuan. Episteme adalah produksi prinsip-prinsip yang terorganisir yang
berkaitan tentang sesuatu terhadap sesuatu yang lainnya dengan mengklasifikasi sesuatu dan
dengan mengalokasikan arti dan nilai-nilai mereka. Ruang episteme beroperasi dalam alam bawah
sadar –kita tidak memikirkan tentang sesuatu hal tentangnya atau mengacu kepadanya. Mereka
adalah dasar segalanya bagi kita dan kita taken for granted mereka. Seperti kita melihat film
animasi Jepang yang terkenal, One Peace. Kita dapat meraba episteme-nya melalui pemahaman
dibalik teks film tersebut. Foucault mengidentifikasi tiga episteme yang beroperasi selama 400
tahun dalam karyanya: abad pencerahan dunia ditentukan oleh Tuhan (God), Klasik –dunia
ditentukan oleh pendekatan saintifik (Nature) dan Modern –ditentukan oleh manusia (Man). Ada
kemiripan dengan pergeseran paradigmanya Thomas Kuhn, tetapi perbedaan yang signifikan
adalah Kuhn masih melihat alasan saintifik berkembang kurang-lebih dengan progres yang linier,
yaitu membangun suatu blok pada sesuatu yang sudah manjadi pakemnya, dan menambahkan
kebenaran baru untuk menghadirkan tujuh pengetahuan. Lihat Geoff Danaher, Tony Schirato dan
Jen Webb, Understanding Foucault, (London: SAGA Publications, 2000), hlm. 15-21.
22
Penulis merasa kesusahan menterjemahkan istilah discursive formations. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hlm. 269. Istilah discursive diartikan
dengan: 1). Sesuatu yang berkaitan dengan nalar: kemampuan; 2). Disimpulkan dengan logis:
pemikiran; 3). Hal: kecerdasan. Jika digabung dengan formations, maka dapat ditarsir formasi
pemikiran. Di atas, formasi pemikiran diartikan sama dengan orders of discourse.
23
Istilah order of discourse sama dengan formasi diskursif.
52
24
Danaher, Schirato dan Webb, op.cit.
53
25
Ibid., hlm. 22-23.
54
sejarah ini, maka dua ilmuwan terkenal realis, baik E. H. Carr maupun
Morgenthau mempunyai pengakuan kekuatan terhadap analisis sejarah dalam
memberikan penjelasan kejadian kekinian dan masa depan tentang perang-damai,
politik luar negeri, dll. Visualisasi pendekatan sejarah dalam HI merupakan proses
panjang yang ditentukan oleh ruang-waktu yang linier, berpola, berkelanjutan
yang progresif, bersambung, dan rasional.
Jika dipahami penjelasan di atas, maka pendekatan arkeologi dan
genealogi akan melihatnya berbeda. Melalui pendekatan ini, sejarah wacana HI
atau politik internasional merupakan sejarah yang unik, yang bekerja melalui
episteme tertentu –akumulasi formasi diskursif. Formasi diskursif yang hanya
digerakkan oleh mekanisme penjelajahan teks dan proses yang berlangsung tidak
ditentukan oleh tempat-waktu, tetapi oleh timbul-tenggelamnya wacana berupa:
konsep, istilah dan pernyataan-pernyataan (statement), sehingga prosesnya terjadi
secara tiba-tiba, diskontinu (patah-patah), memiliki arsitektur yang berbeda
dengan sebelumnya dan terkondisikan secara partikular di jaman tertentu. Setiap
kejadian sejarah seperti PD II merupakan peristiwa perubahan formasi diskursif
yang terdiri dari beberapa pernyataan seperti: adanya delusi institusi internasional,
LBB dalam menentukan tatanan politik internasional, hadirnya Hitler sebagai
kenyataan, penyerangan secara tiba-tiba Jepang terhadap kapal laut Amerika
Serikat di Pearl Harbour, dll. Pergeseran formasi ini disebabkan oleh pernyataan
dalam wacana tertentu yang disuarakan oleh pengarang seperti E.H. Carr dan
Morgenthau, sehingga konstelasi politik internasional berubah dari tenggelamnya
episteme idealisme/liberalisme ke timbulnya episteme yang berbeda dan unik saat
itu: realisme. Tindakan pergeseran (transisi) ini dinamakan sebagai the
epistemological acts and thresholds, yakni awal dari sebuah wacana tertentu
dalam tatanan episteme yang sedang mengalami kenaikan melalui produksi
formasi diskursif yang terputus dari peristiwa asli (sebelumnya), motivasi
terdahulu dan terhapuskannya keterlibatan imajinasi sebelumnya. Jadi dalam
kasus ini, perubahan formasi diskursif bergerak dari level praktik-praktik wacana
idealisme/liberalisme berubah menjadi praktek-praktek wacana realisme. Oleh
55
sebab itu, pendekatan sejarah monumental yang dijelaskan oleh Bull tidak relevan
dalam mengkonstruksi kontelasi politik internasional.
Foucault (demikian juga post-structuralist lainnya seperti Derrida)
memfokuskan pada studi praktek-praktek wacana dengan prosedur logocentric,
yakni studi pengetahuan yang memusatkan diri bukan pada alam, Tuhan, dan
manusia, tetapi memusatkan diri pada pengetahuan itu sendiri (episteme in itself)
melalui media bahasa dan ruang bawah sadar kita. Menurut pisau analisis mereka,
wacana telah mengambil alih dunia pengetahuan HI dewasa ini (post-modernism
epoch) melalui representasi bahasa percakapan, penuturan dan teks. Pada
umumnya, episteme dalam tatanan HI mengalami peristiwa penyisihan,
penindasan, perbedaan, dominasi dan marginalisasi suatu wacana tertentu. Oleh
karena itu, baik Foucault maupun Derrida mengistilahkannya dengan studi
pemahaman terhadap displacement dan placement wacana, yaitu suatu wacana
akan bersuara, ketika wacana yang lainnya justru terbungkam atau tersisihkan.
Selain itu, Foucault dan Derrida membantu pemahaman HI dalam memahami
teori hubungan internasional yang sudah terpisah dari peristiwa monumentalnya
dan terlepas dari praktek-praktek wacananya seperti praktik-praktik wacana
Yunani Kuno membaca praktik-praktik wacana PD II. Jadi mereka tidak mencari
keaslian dan kebenaran sejati, tetapi hanya menuturkan wacana yang tengah
berkuasa saja dalam bentuk pengetahuan. Karena pendekatan genealogi
memberikan pemahaman bahwa pengetahuan adalah kuasa terhadap konstruksi
dan penaklukan objek, baik objek yang dianalisis maupun objek data dalam
konteks penelitian.
Dengan memahami praktek-praktek wacana pengetahuan ilmu HI melalui
prosedur logosentris membuat wacana yang dominan atau diistilahkan sebagai
mainstream menjadi dipermasalahkan kembali sebagai sebuah entitas politis dan
bermuatan kekuasaan. Implikasi dari proses yang sudah taken for granted ini
disebut dengan pembongkaran atau istilahnya Derrida “Deconstruction”
(dekonstruksi). Dekonstruksi ini membawa pemahaman baru tentang sejarah: total
history dan general history. Total history merupakan wacana dominan seperti
idealisme, realisme, tradisionalisme, saintisme, modernisme dengan
56
objektif, bebas nilai, ilmiah, valid, dapat diterima dan mampu menjelaskan
fenomena politik internasional.
Tesis ini akan mengkritik, meruntuhkan wacana di atas dengan
menunjukkan bagaimana formasi diskursif dalam bentuk wacana tertentu menjadi
suatu wacana (pengetahuan) yang dominan dan otoritatif, menunjukkan
bagaimana politik internasional (hubungan internasional) diproduksi dan
diakumulasi dalam wacana (pengetahuan) politik (kuasa) tentang politik
internasional. Klasifikasi tentang tradisi, agama, etnis, ras, suku, politik, budaya,
ekonomi, ekonomi-politik seringkali menjadi variabel penjelas, tetapi belum
pernah menjadi variabel yang menjelaskan. Dengan kata lain, subjek penelitian
atau analisis HI belum menyentuh sama sekali atau menggunakan analisis berupa
klasifikasi tradisi, agama, etnis, ras, suku, politik, budaya, ekonomi, ekonomi-
politik.
Genealogi sebagai strategi sekaligus pendekatan yang satu paket dengan
pendekatan arkeologi akan memberikan fokus pada klasifikasi di atas sebagai
suatu penolakan terhadap pemberlakukan teori universal yang berlaku kapan dan
di mana saja, atau teori tentang suatu kepastian yang dapat membaca fenomena
politik internasional secara terus-menerus. Representasi realitas seperti fenomena
perang yang dikatakan oleh kaum realis bukan teori tentang perang, tetapi lebih
pada timbulnya pendekatan sejarah pemikiran tentang perang. Dalam pendekatan
arkeologi dan strategi genealogi, walaupun istilahnya perang, tetapi fenomena
tersebut merupakan representasi dari wacana tertentu dalam episteme (jaman)
tertentu dan bentuknya berasal dari pengetahuan yang terkait dengan kuasa
wacana tertentu. Contoh yang lainnya, kelompok konservatif Amerika Serikat
yang lebih memfokuskan pada strategi politik luar negeri mempunyai klasifikasi
tertentu, praktik-praktik wacana yang khas, pengetahuan yang unik, tentunya hal
ini tidak berlaku secara universal bagi teori dan data untuk menjelaskan sifat
hakekat manusia semacam dalih bahwa kelompok konservatif adalah kaum realis
(realisme). Ini namanya reduksionisme, yakni proses pemangkasan wacana lain,
selain wacana realisme yang dipopulerkan oleh kelompok konservatif.
58
26
Simon Philpott, Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity, terj
(Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 26.
59
27
Ibid., hlm. 27.
28
Danaher, Schirato dan Webb, op.cit., hlm. 24.
29
Michel Foucault, Power/Konoledge: selected interviews & other wrtings 1972-1977, terj (New
York: Pantheon Books, 1980), hlm. 81.
60
Foucault mengatakan bahwa fenomena tersebut memiliki dua hal yang penting:
pertama, mengacu pada konteks sejarah yang telah terkubur dan tersembunyi
dalam koherensi fungsionalis atau sistematisasi formal (sesuatu yang dianggap
ilmiah). Secara konkret, hal tersebut bukanlah sebuah semiologi hidup aman, dan
juga bukan sosiologi distortif yang telah membuat konteks sejarah menjadi
mungkin untuk memproduksi kritik yang efektif atas konteks sejarah
tersistematisasi secara formal. Kedua, mengacu pada pemahaman pengetahuan
yang naïf, berbeda, unik, aneh, terdiskualifikasi (low-ranking knowledges/popular
knowledge/le savoir des gens), karena dianggap mereka tidak berguna dalam
menganalisa yang terletak di bawah kesadaran pengetahuan yang diperlukan –
direndahkan oleh pengetahuan yang sudah mapan (high-ranking
knowledges/mainsteam knowledges) saat itu. Foucault yakin bahwa melalui
kemunculan kembali low-ranking knowledges yang tengah direndahkan,
terbungkam, termarginalkan mutunya, justru menghadirkan suatu pengetahuan
khusus, spesifik, lokal dan unik. Pengetahuan ini tidak mempunyai makna umum,
yakni suatu gaya atau ciri pemahaman yang dapat jatuh pada kondisi yang tidak
menguntungkan, tak berfungsi atau terpakai, yang sewaktu-waktu mereka tidak
dapat kokoh secara efektif dan eksplisit dalam mempertahankan dirinya. Jadi
pemahaman tentang insurrection of subjugated knowledges membuahkan suatu
kepedulian terhadap pengetahuan sejarah perjuangan (historical knowledge of
struggles).
Hadirnya perjuangan sejarah pengetahuan dapat dinamai sebagai genealogi
atau lebih baik dinamai dengan keberagaman penelitian genealogi yang
bermacam-macam, penemuan yang sungguh-sungguh dari perjuangan
pengetahuan bersama-sama dengan memori primitif yang hadir dalam konflik-
konfliknya. Banyak genealogi merupakan produk yang terkombinasi dari high-
ranking knowledge dan low-ranking knowledge yang belum pernah dicoba,
kecuali jika tirani wacana yang mengglobal (globalizing discourse) bersama
hirarkhi dan semua hak istimewanya terhadap teori-teori avant-garde dieliminasi
atau diruntuhkan. Jadi genealogi merupakan gabungan pengetahuan ilmiah dan
memori kelokalan yang memberikan kesempatan kepada kita untuk membangun
61
Oleh sebab itu, genealogi tidak berkaitan dengan kesadaran, persepsi, pandangan,
perspektif, paradigma, bentuk ideologi, melainkan berkaitan erat dengan taktik
dan strategi kekuasaan yang menyebar melalui penanaman, distribusi,
pembatasan, pengontrolan terhadap ruang (imajinatif) dan tempat (territorial).31
Selama ini, SHI mungkin mengklaim dirinya objektif, bebas nilai, netral, praktis-
operasional dan ilmiah, tetapi para pengarang (ilmuwan) karya-karya HI sebagian
besar ditentukan oleh tempat mereka tinggal, yakni konstelasi politik internasional
dan ruang imajinatif mereka. Bagaimanapun juga SHI sebagai disiplin ilmu lahir
30
Ibid., hlm. 117.
31
Ibid., hlm. 77.
62
di Wales, Inggris (1919) dan para pengarang karya tentang HI tidak menempati
ruang (spatial) kosong atau ruang hampa dalam membaca dan mendefinisikan
politik internasional, tetapi menempati spatial wacana Eropa dan tradisi Barat.
II.1.3. Intertekstualitas/Hubungan Internasional
Intertekstualitas/hubungan internasional merupakan bagian dari
pendekatan post-structuralism yang mempercayai realitas sebagai teks yang saling
bertemu. Pertemuan teks-teks menciptakan jaring-jaring teks dengan berisi
tentang makna terhadap ontologi politik internasional. Dalam konteks ini,
keterkaitan antara SHI dengan pendekatan post-structuralism—arkeologi
pengetahuan dan genealogi dengan istilahnya Der Derian:
intertekstualitas/hubungan internasional dapat dipahami lebih mudah melalui
karya James Der Derian, “The Boundaries of Knowledge and Power in
International Relations,” dalam International/Intertextual Relations (1989).
Dalam prologue-nya, Der Derian mengutip karya Friedrich Nietzsche, Thus Spake
Zarathustra: “power is it, this new virtue; a ruling thought is it, and around it a
subtle soul; a golden sun, with the serpent of knowledge around it.”32 Pernyataan
ini dapat dipahami bahwa pengetahuan HI melekat (embraced) dengan kuasa.
Keduanya merupakan satu kesatuan; pengetahuan adalah kuasa; dalam aspek
epistemologi pengetahuan hubungan internasional mempunyai kemampuan untuk
mendefinisikan (menentukan) dan menaklukan kebaikan, kendali pemikiran,
kelembutan jiwa dan kebenaran ontologi politik internasional.
Der Derian mengilustrasikan SHI bahwa hubungan internasional dimulai
dengan kehadiranya revolusi dan footnote. Genealogi hubungan formal antar
bangsa sebenarnya sudah ada sebelum Revolusi Perancis: perkembangan kuasa
yang selektif pada abad pertengahan Kristen (seperti Venice dan Konfederasi
Swiss); penolakan terhadap sistem monarkhi dengan mengadopsi republikanisme
oleh Belanda pada abad ke-16; doktrin yang berdasarkan pada perjanjian yang
datang dari kemenangan Revolusi Inggris pada abad ke-17; di Amerika Serikat
hadir institusionalisasi politik popular oleh Konggres Continental pada tahun
32
James Der Derian, “The Boundaries of Knowledge and Power in International Relations,” dalam
International/intertextual Relations, (Canada: Lexington Books, 1989), hlm. 1.
63
1776. Namun Der Derian menunjukkan bahwa kedaulatan yang sangat erat
dengan hubungan internasional dan sekaligus awal dari hubungan internasional
adalah Declaration of the Rights of Man (1789) yang berisi: “sovereignty resides
essentially in the nation.” Ironisnya, penyebaran doktrin oleh Napoleon ini sangat
efektif menandakan keberakhiran dari hubungan antar dinasti (interdynastic
relations) dan terlahirnya hubungan internasional.
Der Derian juga melacak terlahirnya teks asli internasional. Kata tersebut
muncul dalam karya seorang Liberalis, Jeremy Bentham, Principles of Morals
and Legislation dalam kalimat yang biasa saja, di mana Bentham membedakan
antara hukum “internal” dari hukum “internasional.” Der Derian menunjukkan
lebih lanjut tentang kemunculan istilah ini melalui teks internasional dalam
karyanya Oppenheim, Internatonal Law dan sebuah variasi baru seperti dalam
kreasi teks the International Working Men’s Association pada tahun 1864 yang
mencair sendiri pada tahun 1943 menjadi Third Communist International.
Menurut Der Derian, sebenarnya bersatunya teks hubungan dan teks
internasional susah dilacak seperti juga susahnya mencari asal usul disiplin
hubungan internasional dengan menggunakan teks nama hubungan internasional –
International Relations/IR (HI). Dengan kata lain, disiplin HI sekarang hanya
berupa ‘jejak kaki’ yang berasal dari akar jejak kaki-jejak kaki yang sumbernya
pun sudah menghilang, karena ketika dilacak ternyata tidak ditemukan. Dalam
konteks sejarah, kesadaran-diri (self-consciousness) teoritis tentang HI tidak
begitu mempermasalahkan perdebatan teks nama yang cocok dalam wilayah studi
ini. Der Derian menunjukan beberapa karya: sebuah antologi, A.J.Grant dalam An
Introduction to the Study of International Relations (1916) dan yang lainnya dari
D.P.Heeatley, Diplomacy and the Study of International Relations (1919). Istilah
hubungan internasional dikemudian hari menjadi semacam ritual untuk terus
dipakai dalam karya-karya berikutnya dengan cara salah satunya menggunakan
footnote. Teks hubungan internasional dalam pemakaiannya pun terkadang sering
kurang relevan, ketika substansi dari hubungan internasional dijelaskan melalui
aspek yang bermacam-macam (tidak hanya istilah nations, tetapi juga secara
politis, ekonomi, legal aktor, baik dalam dunia internasional maupun
64
power, there can be no law and no absolute means of adjudicating the truth-
claims of one international theory agaist another.” Selanjutnya Der Derian
meneruskan pernyataan Wight dengan sebuah kesimpulan: “with the decline and
death of a central epistemological authority: God, sovereignity, and now even
Rational Man, there persists a ‘war of all against all’ in international theory.”33
Dalam konstelasi konflik teoritis, esai Martin Wight berdiri sebagai pre-teks yang
sempurna untuk interpretasi teori internasional sebagai interteks, yang
dideskripsikan oleh ahli semiotik, Roland Barthes. Der Derian mengutip langsung
pernyataan Barthes tentang interteks: “a multi-dimensional space in which a
variety of writings, none of them original, blend and clash.”34 SHI membutuhkan
pendekatan intertekstualitas (post-structuralism) untuk penyelidikan kritis menuju
area pemikiran yang tidak ada kebenaran final, di mana makna diperoleh dari
hubungan antar teks dan power dilibatkan (terlibat) bersamanya melalui
permasalahan bahasa dan praktek-praktek signifikan lainnya. Oleh sebab itu,
menurut Der Derian terdapat aspek strategi dari intertekstualisme dalam
penyelidikannya: hal ini berkaitan dengan penyelidikan wilayah pertempuran
secara umum yang dideskripsikan dalam teori internasional. Bagi pemahaman Der
Derian, kemenangan tidak dinilai oleh kuasa teori untuk menentukan, menaklukan
dan memverifikasi fakta (data). Strategi intertekstualitas (dekonstruksi)
bermaksud untuk memahami timbul-tenggelamnya teori dan memunculkan
interpretasi wacana baru terhadap dunia teks dengan mengundang pertanyaan
tentang konstruksi determinasi menurut sejarah arkeologi menuju pemahaman
kita. Dengan demikian kita dapat menambahkan dimensi dan alternatif baru dalam
teori internasional tradisional (modernisme). Proses ini dimaksudkan untuk
menghadapi kaum modernis yang monological dan totalizing theory; post-
structuralism dan post-modernismism memposisikan dirinya heterological,
multipolar grids of knowledge dan sifatnya praktis. Strategi intertekstualitas
bukanlah sebuah konstruksi atau perbaikan teori internasional yang sudah usang,
tetapi menyelidiki sesuatu yang dianggap (diasumsikan secara umum) benar: why
33
Ibid., hlm. 5.
34
Ibid., hlm. 6
66
35
Ibid.
36
Hedley Bull, “Martin Wight and the Theory of Interntional Relations,” dalam Martin Wight,
International Theory: the Three Traditions, (New York: Holmes & Meier Publishers, Inc., 1992),
hlm. xxi.
67
filsafat sejarah (philosophy of history), walaupun dalam hal ini, Bull tidak puas
dengan pemikirannya Wight. Jadi penyelidikan HI mempunyai karakter yang
sifatnya filosofis, Wight menyebutnya: “international theory is the political
philosophy of international relations.”37 Karena mempunyai karakter tersebut,
maka penyelidikan HI sudah pasti multi tafsir, tidak pasti atau sifatnya sangat
relatif: “it does not lead to cumulative knowledge after the manner of nature
science.”38 Dengan demikian, penyelidikan HI berbeda dengan penyelidikan ilmu
politik dan ilmu lain seperti sosiologi. Mungkin ilmu politik dan sosiologi dapat
menggunakan pendekatan behavioralisme dan positivisme. Namun penyelidikan
ilmu HI justru lebih rumit dan kompleks serta keberadaannya dan sifatnya anti-
teori, tetapi mempunyai kecenderungan pada perspektif atau paradigma.39
Berpijak dari pengetahuan Wight, pendekatan intertekstualitas (post-
structuralism) menjadi relevan dalam SHI. Menurut Der Derian, pendekatan ini
merupakan langkah serius meta-teori (metatheory), yaitu teoritisasi tentang teori
politik internasional. Melalui interpretasi/pemaknaan (permainan bahasa), meta-
teori mengembangkan transfer teori dari konteks sejarah satu menuju pada
konteks sejarah yang lainnya; dari formasi diskursif menuju formasi diskursif
lainnya. Komitmennya adalah menjawab pertanyaan empiris melalui
intertekstualitas yang sifatnya perkiraan atau rabaan, bukan dengan teori-teori
yang pasti dan tepat yang sifatnya positivistik. Tepatnya mungkin dikatakan
sebagai penyelidikan teoritisasi yang tak akan kunjung selesai, sebab memang
mekanismenya bukan menciptakan teori yang pasti, absolut dan tepat, tetapi
proses teoritisasi sebagai cara mendekati dan memahami fenomena HI, tepatnya
konstelasi politik internasional. Jika hal ini tidak dilakukan, maka penyelidikan
teoritis mengalami kemunduran menuju metodologisme, yang telah membuat
usang dan stagnasinya teori hubungan internasional pada umumnya dan
terciptalah dogmatisme HI atau istilahnya Jim George: “ortodoksi HI.” Der Derian
dan penulis sendiri sepakat dengan pendapatnya Barthes yang menyatakan
argumen bahwa pada momen-momen tertentu penting bagi kita untuk melakukan
37
Ibid., hlm. 1.
38
Ibid.
39
Ibid. hlm xiii.
68
munculnya Amerika Serikat sebagai negara kuat (power) pada tahun 1920-an,
pengajaran pengetahuan SHI muncul sebagai studi yang terpisah. Saat itu,
Amerika Serikat hadir dalam tatanan ekonomi dunia, dan menduduki posisi yang
sangat penting, seperti halnya Inggris sudah menempati posisi itu pada tahun
1914. Amerika Serikat mempunyai posisi yang sama pentingnya dengan posisi
Jerman, Inggris dan Perancis. Posisi Amerika Serikat menjadi lebih penting,
ketika Amerika Serikat menggeser posisi finansial Inggris dalam tatanan ekonomi
global.40
Salah satu sarjana sekaligus sejarawan yang melontarkan dalih-dalih
moral-legalistik adalah Zimmern. Sebagaimana disinggung di atas, Zimmern
berdalih dengan pernyataan bahwa agar tidak terjadi kembali perang, maka dunia
pasca PD I sebaiknya mendirikan institusi internasional dan menegakkan hukum
internasional. Zimmern mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam
memberikan formasi diskursifnya, khususnya dalam perkuliahan tentang
pengetahuan etika, hukum, perjanjian dan konvensi internasional. Dalam konteks
perkuliahannya, karena Zimmern adalah ahli sejarah, maka cara pengajarannya
pun lebih mengarah pada metode verstehen, yakni pemahaman atau pengertian
tentang sebuah fenomena, di mana pengalaman dan pemahaman teoritis
bercampur aduk. Metode verstehen ini lebih memfokuskan pada pemahaman
tentang makna dan penafsiran teks yang selalu bermuatan nilai, baik pada teks-
teks yang tersembunyi maupun pada teks-teks sejarah hubungan internasional
yang nampak secara fenomenal. Akumulasi pengetahuan yang terus-menerus
direproduksi dalam bentuk elemen pernyataan-pernyataan selama tiga puluh tahun
ke depan ini (dalam studi mereka sampai dengan tahun 1997), Zimmern
mempunyai komitmen tinggi untuk terus merubah dunia agar lebih baik: damai
(tanpa perang).
Arkeologi hubungan internasional (HI) mempunyai pendekatan berbeda
dengan pendekatan Waltz dan Chandra dalam karya-karyanya yang membagi
berdasarkan periode dalam memahami politik internasional. Arkeologi hubungan
40
Steve Smith dan John Baylis, The Globalization of World Politics: an Introduction to
International Relations, diedit oleh Steve Smith dan John Baylis (New York: Oxford University
Press, 1997), hlm. 57.
73
internasional juga mempunyai sasaran objek analisis yang berbeda pula dengan
mereka. Arkeologi HI berusaha mengawali analisisnya dengan mengamati wacana
yang hadir dipermukaan SHI, sehingga ontologi politik internasional pun dapat
terlihat. Hal ini dapat dilihat ketika Zimmern melontarkan pengetahuan moral-
legalistik, institusi internasional dan hukum internasional dalam Jurnal The New
Europe, yang diedit oleh R.W. Seton Watson. Wacana Zimmern ditindaklanjuti
oleh Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson yang secara praktis
mengusulkan pernyataan empat belas pasal konsep perdamaian dengan aksioma
Wilson’s ‘Fourteen Points’. Usulan ini ditindaklanjuti dengan kelahiran wacana
baru HI berupa international diplomacy, yakni perjanjian terbuka (open covenant)
antar negara-bangsa. Wacana baru ini akan merubah praktik-praktik diskursif
diplomasi tertutup gaya lama, yang menciptakan hubungan pribadi antar negara-
bangsa menjadi praktik-praktik diplomasi terbuka. Selain itu, Wilson juga
mempercayai pernyataan Zimmern untuk melahirkan institusi internasional: LBB
(League of Nations) beserta perangkat aturannya atas dasar prinsip collective
security.41 LBB ini mengusung pendisiplin konstelasi politik internasional, yakni
hubungan atau interaksi antar bangsa bergerak dalam mekanisme hubungan
mutual-understanding dan self-understanding dengan mengikuti tradisi dan
sejarah nilai-nilai semacam norma, moralitas, dan hukum, perjanjian, konvensi
internasional ala Eropa. Semua nilai-nilai ini direproduksi melalui kebiasaan-
kebiasaan internasional yang terus-menerus dijalankan oleh aktor hubungan
internasional, para teoritisi, ilmuwan SHI penafsir teks-teks sejarah dan teks
hukum internasional terdahulu secara mendalam. Wacana ini mengarah pada salah
satu dalih dari formasi diskursif normatif: sebuah kondisi yang menempatkan
dirinya pada pandangan-pandangan yang seharusnya terjadi (what ought to be),
yakni pandangan yang berkomitmen untuk merubah dunia melalui sebuah
harapan, istilahnya “making the world a better place.”42 Berawal dari seorang
industrialis (kapitalis), sejarawan, disiplin filsafat sejarah, hukum internasional,
formasi diskursif HI pasca PD I dinamai dengan wacana idealisme/liberalisme.
41
LBB bertujuan: menjamin perdamaian dunia, menghindari peperangan, dan menaati hukum dan
perjanjian hukum internasional.
42
Smith dan Baylis, op.cit., hlm. 3.
74
43
Ibid., hlm. 25-26.
75
44
Ray Maghroori dan Bennett Ramberg, “Globalism versus Realism: A Reconciliation,” dalam
Globalism versus Realism International Relations Third Debate, diedit oleh Ray Maghroori dan
Bennett Ramberg, (USA: Westview Press, 1982), hlm. 225.
45
Charles W. Kegley Jr. dan Eugene R. Wittkopf, “World Politics, Trend and Transformation,”
dalam Rival Theoretical Interpretations of World Politics, (New York: Boston, edisi ke-7, 1999),
hlm. 26.
76
46
Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES,
1990), hlm. 14.
77
SHI seperti Normal Angell yang wacananya sangat dipengaruhi oleh John Stuart
Mill (1806-1873) ayahnya, James Mill adalah murid Bentham. Tokoh liberalisme
(idealisme) HI seperti Charles Beitz mengembangkan gagasan Kant melalui
pemikiran John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice (1971) tentang teori
keadilan. Konsep perdamaian Kant juga dikembangkan oleh Michael Doyle
dengan menemukan apa yang Kant ramalkan dan harapkan sebagai zona
perdamaian di antara negara-negara demokrasi liberal.
Teks yang dinamakan negara-bangsa merupakan negara modern yang
mengembangkan proses modernisasi dengan nilai-nilai liberalisme (idealisme).
Selain itu, jangan dilupakan bahwa hadirnya negara-bangsa merupakan awal dari
formasi modern dan sekulerisasi (sekulerisme) spatial dunia Barat akibat trauma
politisasi jaman abad pertengahan: skolastik (agama Kristen) sekaligus sebagai
anak kandung dari modernitas. Jadi dari genealogi formasi diskursif
idealisme/liberalisme telah mengakumulasi kuasa/pengetahuan disiplin HI,
arkeologi hubungan internasional pasca PD I menampakkan formasi diskursifnya.
Wacana ini tidak hanya teoritisasi SHI saja, tetapi sudah sekaligus praktek-praktek
diskursif para pelaku (actor) hubungan internasional saat itu dalam berinteraksi di
politik internasional.
Arkeologi hubungan internasional memunculkan wacana
idealisme/liberalisme karena praktik-praktik diskursif pasca PD I memang
menstrukturkannya seperti itu. Dengan demikian, pemahaman (analisis) sebab-
akibat era PD I secara determisnitik tidak relevan. Ketiadaan institusi
internasional yang menjalankan pratek moral-legalistik untuk menjaga
perdamaian dunia internasional menciptakan formasi diskursif baru, yakni
mengadakan institusi internasional dan membuat aturan moral-legalistik untuk
mendisiplinkan the rule of the game politik internasional. Genealogi wacana
idealisme/liberalisme menyimpulkan bahwa perjuangan sejarah pemikiran HI
memunculkan wacana idealisme/liberalisme sebagai pemenang di jaman pasca PD
I. Wacana tersebut tidak berada dalam ruang hampa, tetapi menempati ruang
pemikiran, ide, teori, pandangan tertentu di dunia politik internasional. Pengarang
wacana idealisme/liberalisme seperti Zimmern mempunyai kuasa pengetahuan
78
harus di bawah dari kepentingan nasional, dan dalam hal ini adalah mendapatkan
kekuasaan. 6). Sistem internasional yang alamiah ditentukan oleh kemampuan
militer untuk menghancurkan lawan-lawan potensial. 7). Aspek ekonomi cukup
relevan disamping pemberlakuan militer; perekonomian sangat penting sebagai
kekuatan nasional dan bergengsi, tetapi tidak dominan (8) Peningkatan aliensi
diperbolehkan sebagai kemampuan negara bangsa untuk melindungi diri sendiri,
tetapi loyalitas dan daya dukungnya tidak hanya sekedar asumsi saja, tetapi
merupakan sebuah keyakinan yang total dan final. 9). Negara-bangsa tidak
seharusnya mempercayai organisasi internasional untuk memproteksi diri atau
mempercayai aturan internasional, seharusnya menentang perilaku internasional
yang teratur. (10) Jika setiap negara-bangsa mencari kekuasaan maksimal,
kestabilan bisa tercipta melalui sistem balance of power, dipermudah dengan
sistem aliensi yang selalu berubah.47
Formasi diskursif di atas membaca dan mendefinisikan bahwa dalam
percaturan politik, ekonomi dan keamanan internasional, sasaran utama yang
seharusnya dikonsentrasikan adalah tindakan pembendungan musuh bersama atau
istilahnya “aliansi.” Pasca PD II, politik internasional, bermula dari pengetahuan
Barat, realisme dalam membaca dan mendefinisikan Uni Soviet sebagai suatu
kekuatan yang berbahaya. Dalam pendekatan genealogi, pengetahuan realisme
melihat bahwa Uni Soviet perlu dibendung fregmentasinya, demikian juga
sebaliknya. Akibat dari pengetahuan realisme, maka pemahaman politik
internasional dipahami sebagai hubungan yang konfliktual seperti hubungan
antara Barat-Timur. Di daratan Eropa ini, muncul teori hubungan internasional
realisme tentang perlunya “membendung” musuh –yang dilontarkan oleh
pengarang Barat Amerika Serikat, George F. Kennan. Dia berdalih bahwa sekutu
Barat perlu menahan perluasan pengaruh Timur, Soviet. Dengan kata lain,
reproduksi dan akumulasi wacana Kennan dalam SHI memunculkan dalih tentang
derajat “pembendungan” terhadap Uni Soviet. Dimulai dari pengetahuan ini, maka
lahirlah konsep hubungan yang bernuansa konfliktual seperti “Barat-Timur”,
“Keamanan Eropa”, “Negara Tirai Besi”, dan “Perang Dingin” serta “Tirai
47
Kegley dan Wittkopf, op. cit., hlm. 28-29.
80
48
Juwono Sudarsono dkk, “State of Art Hubungan Internasional: Mengkaji Ulang Teori Hubungan
Internasional,” dalam Perkembangan Studi HI dan Tantangan Masa Depan, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1996), hlm. 6.
49
Philpott, op.cit., hlm. 48-49.
81
50
Prakash Chandra, International Politics, edisi ke-2 (India: Vikas Publising house PVT LTD,
1995), hlm. 3-4.
51
Menurut John Spanier perbedaan sejarah dengan teori: historians focus on the descriptions of
specific events, which are unique to those times and places. While they can tell us how and why a
84
specific war happened, they do not tell us why wars occur more generally. A theory of
international politics would attempt to answer this question. Such a theory would not look at each
war as unique, but would analyze many wars. It would then specify from the data exactly which
conditions seem repeatedly to result in war. Lihat John Spanier, Games Nations Play, edisi VII,
(Florida: CQ Press, 1990), hlm. 9.
85
politik internasional dibaca dan didefinisikan oleh apa yang para pemikir jaman
Eropa pencerahan dulu bayangkan. Apa yang didiskripsikan dan direplikasi dari
suatu ontologi politik internasional pasca PD I adalah bagian dari suatu kenyataan
pemikiran, konsep, perspektif para pendahulunya, sebab pembaca dan pendefinisi
dari ruang realitas politik internasional adalah ‘sang pengarang’ yang mempunyi
relasi kuasa footnote atas otoritas teks-teks lama seperti teks dari filsafat sejarah
Yunani Kuno dan teks dari para pemikir abad pencerahan.
Misalnya ‘sang pengarang’ seperti Edward Hallett Carr yang merupakan
seorang realis, yang pertama kali mempercayai realisme politik seperti halnya
John Herz dan setelahnya, Morgenthau. Dalam karyanya, “The Twenty Years’
Crisis” (1939) E.H. Carr berusaha memperjuangkan apa yang dinamakan sebagai
pengetahuan realisme. Scott Burchill meringkas pengetahuan pemikiran E.H.
Carr. Carr berpendapat bahwa sangat berbahaya jika kita berpijak berdasarkan
dari karakter normatif, karena SHI akan mengarah pada bayangan tentang segala
hal yang seharusnya, bukan pada sesuatu yang ada. Penyerangan Jepang terhadap
Manchuria dan Italia menduduki Abisinia mengakhiri pamor dari kebangkitan
kaum idealis/liberalis. Menurut dia, apa yang kita butuhkan adalah pengetahuan
yang lebih tajam, di mana menekankan pada realitas kekuasaan politik dalam SHI,
dibandingkan dengan dengan studi dunia internasional yang terbayangkan dengan
apa yang seharusnya. Menurut dia, sistem politik internasional pasca perang telah
diciptakan oleh para pemenang perang, merupakan rancangan dari mereka yang
tetap mendapatkan keuntungan lebih, dari ekspansi kekuasaan ‘revisionist’.
Kemunculan realisme menciptakan suatu kemenangan baru dari suatu perjuangan
pemikiran sejarah Pasca PD I dan bentuk pemberontakkan atas wacana status quo
yang ada. Menurut dia, kaum idealis/liberalis seperti Zimmern dan Wilson telah
menjadi alat kepentingan bagi peguasa saat itu. Jika pengetahuan kaum utopia
diambil secara serius, maka masyarakat politik internasional menempatkan
kondisi ilusi kaum idealis/liberalis ini menjadi sesuatu yang lazim. Pada
kenyataannya, tatanan pasca PD II merefleksikan kepentingan spesifik dari suatu
87
kepuasan hasrat kekuasaan, dan sepertinya tidak dapat dirasakan oleh Jerman
yang telah mendapat hukuman perjanjian Versailles pada tahun 1918. 53
Apa yang diungkapkan di atas adalah sebuah mekanisme kuasa
pengetahuan dari Carr yang berusaha memperjuangkan pemikirannya. Sejarah
pemikiran yang dia adopsi dari para pemikiran filsafat menjadi sebuah footnote
sekaligus otoritas teks untuk menyangga bangunan argumentasinya. Wacana
tradisional yang digunakan oleh Carr berpijak pada identitas filsafat sejarah Eropa
abad pencerahan. Penulis melihat bahwa di sini tidak ada kemajuan dan progres
sama sekali, tetapi justru wacana tradisional hanya menguatkan kembalinya
pembacaan-pembacaan berdasarkan dalih-dalih teks masa lalu dan pemikiran
filsafat. Formasi diskursif yang timbul ini menaklukan, tidak hanya pemikiran
para ilmuwan HI, tetapi menaklukan konstelasi politik internasional, sehingga
mudah dikendalikan, diukur dan diraba-raba tingkat sensitivitasannya.
Kesimpulan yang ditangkap dari wacana tradisional, wacana ini dipahami sebagai
dalih-dalih dalam bentuk aksi bahasa. Wacana ini adalah jendela yang
menentukan arah pandang pemahaman kita terhadap cakrawala diri kita sendiri
untuk menentukan benar-salah, indah-suram, tepat-tidak tepat. Subjek sejarah
sebagaimana para Hegelian sebenarnya tidak ada pada wacana tradisional, yang
ada dan masuk akal oleh pemikiran orang-orang saat itu hanyalah wacana
tradisional yang menentukan dirinya. Mekanisme wacana-wacana dalam
perjuangan pemikiran menghasilkan kemunculan formasi diskursif tradisional.
Formasi ini yang menentukan arah epistemologi HI pasca PD I dengan
menciptakan realitas politik internasional.
II.2.4. Wacana Saintisme (Strukturalisme)
Sebagai mana disinggung di atas, SHI secara keilmuan sudah menjadi
disiplin ilmu dalam ruang lingkup nasional di ilmu sosial dan politik di Wales,
Inggris yang memfokuskan pada studi politik internasional. SHI masih
memfokuskan pada isu-isu yang sangat terbatas seperti perang-damai, sebab-
sebab perang, konvensi internasional, sejarah diplomasi, hubungan antar negara-
53
Scott Burchill, “Realism and Neo-realism,” dalam Theories of International Relations, (London:
MacMillan Press LTD, 1996), hlm. 67-73.
88
bangsa dan politik luar negeri. Implikasinya, SHI menjadi turunan dari disiplin
ilmu hukum internasional, disiplin ekonomi internasional, disiplin sejarah
internasional, dan disiplin politik (internasional).54 Dengan berjalannya dinamika
disiplin ilmunya, ketika konferensi Unesco (1948) berlangsung, SHI dalam
cakupan internasional disahkan secara legal-formal institusional dimasukkan
sebagai sub dalam ilmu politik. Walaupun pada abad ke-20, di universitas-
universitas dunia SHI menyinggung aspek hukum, sejarah dan ekonomi, legalitas
SHI sebagai disiplin ilmu sudah jelas masuk pada bagian tubuh ilmu politik.55
Namun sebagai ilmu, SHI masih belum cukup dipahami sebagai ilmu yang ilmiah
dan dinamai sebagai ilmu pengetahuan.
Dalam karya Open the Social Science (1996), Immanuel Wallerstein
menyoroti lebih mendalam tentang isu perubahan disiplin ilmu sosial. Dengan
mengutip Wolf, Wallerstein menyatakan bahwa menjelang PD I, ilmu-ilmu sosial
semakin menguat di lima negara: Inggris, Perancis, Italia, Jerman dan AS,
sehingga muncul lima studi ilmu sosial: ilmu sejarah, ilmu politik, ilmu ekonomi,
antropologi dan sosiologi. Saat itu, sejarah menjadi disiplin ilmu yang mandiri,
dan diakui bukan sebagai kajian spekulatif berarti memisahkan diri dari filsafat,
tetapi sebagai kajian empiris. Ilmu ekonomi juga merupakan istilah baru di abad
ke-19, sebelumnya ekonomi yang dibahas, ketika Adam Smith berupa studi
filsafat, moralitas dan ekonomi-politik Inggris. Ilmu sosiologi menjadi sebuah
ilmu sosial didisiplinkan sebagai sebuah studi ketika mengadopsi wacana
positivisme (Auguste Comte) sebagai pendekatan sekaligus metodenya. Terakhir
adalah studi tentang ilmu politik yang pada saat itu masih cenderung belum tegas
mengikuti kubu positivisme Auguste Comte secara setengah-setengah. Ilmu
tersebut masih menggunakan metode spekulasi dan filsafat, hingga pada akhirnya
terjadi perubahan formasi diskursif pasca 1945 di Amerika Serikat. Bermula dari
54
Chris Brown, Understanding International Relations, (London: MacMillan Press LTD, 1999),
hlm. 21.
55
Soelistyati Ismail Gani, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), hlm. 29.
89
56
Immanuel Wallerstein, Open the Social Science, (California: Stanford University Press
California), 1996 diterjemahkan oleh Oscar, Lintas Batas Ilmu Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1997).
90
57
SP. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hlm. 18-30.
91
58
David E. Apter, Introduction to Political Analysis, (Cambridge: Massachusetts, Winthrop
Publishers, Inc., 1977), hlm. 216-217.
92
59
Varma, op.cit., hlm. 313-314.
60
Mas’oed, op.cit., hlm. 65-67.Lihat juga penjelasan Nicholson yang mengilustrasikan wacana
behavioralisme sebagai pendekatan yang seringkali menggunakan data statistik dan metode
statistik. Lebih luas, mereka seringkali mengacu pada positivisme, lebih tepatnya dinamakan
93
sebagai empirisis. Mereka memusatkan perhatian pada dunia sosial yang dapat diuji dengan fakta-
fakta. Teori yang berhasil, adalah teori yang sesuai maupun selaras dengan kenyataan dan juga
dapat menjelaskan seperti kejadian sebab-sebab perang. Teori yang semacam inilah yang boleh
dikatakan sebagai teori yang memberikan sebuah kebenaran (tell the truth). Dalam Michael
Nicholson, International Relations: a Concise Introduction, (London: MacMillan Press LTP,
1998), hlm. 110.
61
Brown, op.cit., hlm. 36.
62
Sejarah positivisme digambarkan sangat jelas oleh Steve Smith di dalam ilmu sosial. Ada tiga
pokok varian kronologi positivisme dalam sejarah ilmu sosial (juga cukup relevan dalam studi
hubungan internasional): Perkembangan positivisme oleh Auguste Comte dan positivisme logis
serta varian yang lebih ekstrim lagi yaitu harus sesuai dengan prinsip-prinsip fisika, yang dibagi
empat varian: logisme; verifikasionisme empiris; perbedaan teori dan observasi; teori Humean
sebab-akibat. Lihat Steve Smith, “Positivism and Beyond,” dalam International Theory:
Positivism and Beyond, diedit oleh Steve Smith, Ken Booth dan Marysia Zalewski, (Britain:
Cambridge University Press, 1996).
94
turunan atau ontologis kaum behavioralis belum cukup kuat untuk mencitrakan
pendekatan sistem. Sebaliknya Kanneth Waltz adalah ilmuwan HI yang sangat
kuat menekankan pada epistemologi rasionalisme dan ontologi sistem. Menurut
Waltz, politik internasional seharusnya dilihat dari pendekatan sistemik sehingga
sifatnya tidak reduksionis, yakni menggunakan kasus-kasus tertentu untuk
membangun teori umum (grand theory). Waltz mengomentari wacana sistem
yang dihasilkan oleh kaum behavioralisme seperti David Easton. Menurut Waltz,
wacana sistem para behavioralis hanya sampai pada tahapan pembentukan sistem
berupa perilaku atau tindakan politik para aktor internasional saja. Sedangkan
wacana sistem yang berupa struktur sendiri belum dapat dijelaskan oleh kaum
behavioralis. Menurut Waltz, wacana sistem kaum behavioralis ini belum
dikatakan sebagai teori. Waltz meneruskan kerja teoritis dalam karyanya, Theory
of International Politics (1979). Waltz merupakan orang pertama yang
merumuskan teoritisasi sistemik dengan nama: neo-realism/structuralism realism.
Wacana ini bergulir pada tahun 1970an bersamaan dengan kemunculan wacana
lain yang sejenis dengannya seperti neo-liberalism dan neo-marxism. Mereka
semua merupakan kaum strukturalis yang saintistifik. Dalam memahami kaum
strukturalis ini, penulis hanya menunjukkan karyanya Kenneth Waltz saja.
Pertimbangan penulis: pertama, munculnya kaum neo-liberal dan neo-marxis
ternyata tidak jauh berbeda tatanan wacananya dengan Kenneth Waltz yang
disebut dengan neo-realisme. Ketiganya menggunakan pendekatan sistem dan
epistemologi rasionalisme. Kedua, pada tahun 1990an, Ole Waever, Naumann dan
Robert Keohane membagi dua kutub ekstrim yang saling berseturu: antara kubu
kaum rasionalis yang terdiri dari kamu neo-realis, noe-liberalis dan neo-marxis
dengan kubu kaum refleksionis yang terdiri dari kaum post-modernist, post-
structuralist dan kaum feminist. Berpijak dari posisi ini, penulis dapat melihat
dengan jelas bahwa kaum yang disebut juga kaum “neo-neo” merupakan kubu
rasionalisme. Ketiga, karya Waltz merupakan karya awal HI yang berusaha secara
serius merumuskan teori positivistik di HI. Waltz pun mengklaim dirinya telah
melakukan revolusi saintifik seperti apa yang dilakukan oleh Copernicus dalam
merubah secara revolutif pemikiran awal abad pencerahan tentang tatanan tata
95
surya. Jadi tidak ada satupun ilmuwan HI yang cukup mapan dan pantas selain
Waltz yang memasukkan pendekatan strukturalisme dan epistemologi
rasionalisme. Karya Waltz tersebut juga mempunyai kedekatan dengan
pemikirannya Karl R. Popper. Atas dasar ini, di bawah ini, penulis akan
menjelaskan pemikiran Kenneth Waltz dalam karyanya, Theory of International
Politics (1979).
Dapat dikatakan bahwa Kenneth Waltz merupakan pelopor neo-
positivisme dalam pendekatan (metodologi) hubungan internasional yang
merubah formasi diskursif wacana behavioralisme dan sekaligus tatanan formasi
diskursif realisme yang menurutnya bukanlah sebuah teori HI secara radikal, tidak
berfungsi sebagai disiplin yang ilmiah dan tidak dapat memprediksi fenomena
politik internasional. Waltz mempunyai wacana tersendiri yang ternyata
menenggelamkan wacana status quo saat itu. Tatanan pengetahuan saat itu sedang
dituntut untuk mengendalikan fenomena politik internasional yang susah
dipahami dan dikendalikan. Melalui gagasan wacananya Waltz, maka pendekatan
HI yang selama ini tidak jelas dapat mempunyai formasi diskursif yang jelas
batasan, ukuran, dan struktur keilmiahannya. Misalnya, konsep power dan konsep
balace of power realismenya Morgenthau yang masih susah dipahami oleh para
akademisi lainnya. Karena lemahnya epistemologi dan metodologi, maka Kenneth
Waltz berusaha mengadopsi neo-positivisme ke dalam HI dengan menjelaskan
bahwa konsep power dan balance of power sangat berkaitan dengan struktur
internasional. Dengan kata lain, konsep power dan dan balance of power di sini
dipahami melalui koridor siapa yang mengendalikan dan menempati posisi
struktur internasional paling tinggi dalam susunan hierarchy of power dengan
mekanisme distribusi kapabilitas.
Revolusi tatanan wacana tahun 1970an ini terdiri dari disposisi dataran
metodologi dan ontologi sistemik, yaitu pengetatan aspek epistemologi dan
ontologi realisme ke dalam cara-cara positivistik. Epistemologi dapat dilihat
dalam wacana Waltz tentang pemaparannya tentang definisi teori. Sedangkan
aspek ontologi, Waltz berusaha melakukan penyederhanaan realitas politik
internasional, yaitu memfokuskan pada sistem internasional yang melihat bahwa
96
malam pemilihan Ronald Reagan dan saat détente antara negara adidaya memberi
jalan pada ketegangan fase baru antara AS dan Uni Soviet, Waltz menerbitkan
buku yang disebut-sebut sebagai sumbangan SHI yang sangat ilmiah: Theory of
International Politics (1979). Karyanya ini berisi kurang lebih: Pembelaan Waltz
atas dominasi berkelanjutan negara adidaya sebagai penjaga terbaik bagi tatanan
dan stabilitas politik dunia, dan berisi tentang argumen Waltz bahwa dia telah
mencapai ‘revolusi Copernicus’ dalam bidang politik internasional dengan
mengurai masalah level analisis yang telah dikemukakan pada tahun 1950an.
Konsekwensi karyanya mengkonsepsikan balance of power adalah sebuah teori
yang patut dipertahankan.63 Pembelaan semacam ini dan rasionalisasi yang dibuat
oleh Waltz merupakan penampilan wacana sebagai pengetahuan sangat erat
dengan kekuasaan. Karya Waltz adalah legitimasi untuk mengkonstruksi dan
menaklukkan terhadap spatial kancah politik internasional. Waltz sebagai
pengarang memberikan penjelasan atas disiplin ilmu HI bersama negara tempat
dia tinggal sebagai institusi legitimasi juga terhadap dirinya. Antara pengarang,
disiplin ilmu HI dan institusi saling memberikan legitimasi agar proses konstruksi
dan penaklukan atas manusia di muka bumi ini dapat dinormalisasikan,
dinetralkan dan disifatkan alamiah. Padahal sesungguhnya hal tersebut adalah
kolonialisme wacana lain dan penindasan, marginalisasi kebebasan setiap manusia
untuk bersuara melalui cara mereka sendiri-sendiri. Adanya disiplin ilmu HI,
maka pengarang dalam tradisi keilmuan HI akan mengklaim terlebih dahulu
karyanya, lalu secara tidak langsung melakukan penaklukan dan kontrol atas
realitas yang ada. Jadi formasi diskursif Waltz ini membawa arus pada wacana
pengetahuan untuk mengkonstruksi wacana kita dengan terpatri anggapan bahwa
penaklukan AS dan Soviet terhadap negara-negara kecil seperti Vietnam, Korea,
dll dalam kancah politik internasional merupakan suatu kewajaran, normal,
alamiah dan lazim.
Di sini penulis memaparkan pemahaman Waltz tentang teori. Pemahaman
ini merupakan mekanisme pengetahuan dan power beroperasi. Dalam prosedur
ilmu pengetahuan (sains) yang diadopsi oleh ilmu sosial, kita sebatas bisa
63
Griffiths, op.cit., hlm. 64-69.
98
64
Kenneth Waltz, Theory of International Politics, (New York: Newbery Award Record Inc.,
1979), hlm. 1-17.
99
65
Ibid, hlm. 3.
100
66
Brown, op. cit., hlm. 46.
101
Teori menunjukkan mengapa hukum atau fakta empiris itu bisa berlaku. Setiap
deskripsi dalam hukum sangat terkait dengan observasi dan eksperimentasi.
Hukum hanya bisa valid, jika lulus melalui uji coba, observasi atau tes
eksperimetal. Teori terdiri dari gagasan-gagasan teoritis. Teori tidak terbentuk
hanya dengan induksi. Gagasan teoritisasi hanya bisa dimunculkan (invented),
tidak ditemukan (discovered). Aristoteles menggunakan kerja rasio untuk
menggerakkan eksperimentasi, Galileo menjaga jarak dengan dunia luar (real
world) untuk menjelaskan dunia tersebut. Jadi gagasan teoritisasi terlepas dari
kegiatan observasi dan eksperimentasi. Dengan kata lain, kita harus memutuskan
hubungan antara saya sebagai subjek peneliti dengan objek yang saya teliti. Ada
dinding yang harus kita buat, agar kita sendiri bisa membuat teori tanpa tercemar
dengan data empiris atau hukum yang akan kita teliti. Dengan kata lain, terdapat
pemisahan antara subjek peneliti dengan objek yang diteliti.
Gagasan teoritis bisa berupa konsep maupun asumsi. Tapi gagasan teoritis
atau bisa dikatakan dugaan teoritis belum mampu menjelaskan maupun
memprediksi apapun secara benar dan total. Isi hukum berupa benar dan salah–
are they true? Sedangkan teori menjelaskan seberapa dalam eksplanasi kita buat–
how great is their explanatory power? Hukum adalah observasi fakta-fakta;
sedangkan teori adalah spekulasi untuk menjelaskan hukum tersebut. Hasil
eksperimentasi permanen; teori hanya menyokongnya, dan bisa juga berubah; jadi
hukum itu tetap (remain), sedangkan teori berubah (come and go).67 Akhirnya,
kita bisa melihat pemahaman Waltz, bahwa teori sebenarnya menerangkan
hukum. Pendekatan Waltz ini sesuai dengan metodologi ilmu alam dan ilmu sosial
seperti ilmu ekonomi. Keunggulan eksplanasi tidak terlahir melalui gagasan yang
pasif atau seperti dukun menunggu wangsit. Eksplanasi diproduksi oleh kemauan
mengontrol data dari pada memprediksi. Prediksi diperoleh melalui peristiwa
yang reguler di dalam hukum. Teori terlebih dahulu akan menjelaskan dunia (a
priori), dan selalu menjaga jarak dengan dunia (remains distinct from that world).
Dalam hal ini, Waltz mengutip Albert Einstein yang berusaha menjelaskan
tentang jarak kita dengan apa yang kita jelaskan: “a theory can be tested by
67
Waltz, op. cit., hlm. 6.
102
68
Ibid., hlm.7.
69
Ibid., hlm.9.
103
macam hukum yang masih berupa fakta-fakta tak terhingga, lalu memilahkannya
dan mengambil faktor mana yang paling berpengaruh dan esensial.
Pembentukan teori tidak melalui metode induksi dan metode deduksi,
tetapi keduanya hanya membantu ketiga gagasan kreatif itu muncul. Jadi, kedua
metode tersebut dibutuhkan dalam mengkonstruksikan teori. Waltz menjelaskan
sebuah teori akan kelihatan lemah, ketika terjadi kontradiksi di dalamnya,
membahas banyak hal penting dengan argumentasi yang melebar, dan
menjabarkan konsep. Seperti blok Barat dioperasionalkan menjadi Amerika
Serikat lalu diturunkan lagi melalui kepentingan nasionalnya dan seterusnya.
Menurut Waltz, hal itu akan membawa kita kepada pernyataan hukum. Fakta
hanya mengikuti teori yang akan dimunculkan dari intuisi. Lebih spesifik Waltz
menjabarkan prosedur pengujian teori: 1). Ungkapkan pernyataan yang diuji
(intuisi), 2). Ajukan hipotesa, 3). Lakukan eksperimentasi atau tes observasi, 4).
Dalam melakukan kegiatan langkah nomor 2 dan 3, gunakan definisi yang
ditemukan dalam teori yang diuji (intuisi), 5). Kurangi atau kontrol variabel yang
membingungkan, tapi tidak termasuk teori yang sedang diuji, 6). Lakukanlah
pemilahan dan uji tes lagi sesuai dengan persyaratan di atas, (7) Jika gagal,
pertanyakan lagi, apakah teori itu gagal total, perlu perbaikan dan pengulangan
atau membutuhkan jangkauan yang lebih sempit dari klaim-klaim eksplanasi.
Pada akhirnya, Waltz mengungkapkan poin yang menurutnya sangat
penting. Menurut Waltz, pernyataan umum (fakta/hukum) perlu ditambahkan
dalam proses teoritisasi, jika terlalu banyak, maka sebaiknya hal itu dihilangkan
saja. Jika teori dinyatakan dalam pernyataan umum, maka ditakutkan akan
menciptakan banyak dugaan dengan jangkauan yang sulit diidentifikasi dan
melebar. Untuk menarik kesimpulan yang tepat dan bisa diuji secara
eksperimental, maka perlu menekankan pada bobot teori. Perlu diingat bahwa
pengujian yang ketat dari teori adalah latihan menggunakan metode dibandingkan
menguji teori. Selain, mengedepankan persyaratan uji teori, kita perlu
meruntuhkan teori yang miskin: falsification. Dengan kata lain, kita sekedar
menguji teori untuk diruntuhkan bukan malah dikuatkan atau menjadi potensial
104
teruji. Walaupun Waltz tidak secara langsung mengutip atau secara tegas
mengadopsi konsep falsifikasi, tetapi secara implisit Waltz menggunakannya.
Penjelasan Waltz di atas tentang segala macam teori adalah mekanisme
ilmu pengetahuan. Misalnya pecah PD III, maka Waltz akan mengatakan bahwa
sistem multipolar memang ternyata lebih rentan daripada yang bipolar. Jawaban
dari misalnya dukun yang akan menyebutnya bahwa iblis atau kekuatan jahat
menyelimuti konstelasi politik internasional tidak akan diakui dan diyakini atau
dipercayai. Penulis melihat hal tersebut adalah sebuah konstruksi dan kuasa ilmu
pengetahuan Waltz dalam menentukan mana yang salah dan yang benar, yang
dipercaya dan tidak dipercaya dan yang pasti dan yang tidak pasti. Penaklukan
wacana Waltz pada semua sarjana disiplin HI dan kontrol dia terhadap politik
internasional menciptakan episteme jaman Perang Dingin berimplikasi pada kuasa
AS yang tetap stabil sebagai superpower dan Uni Soviet sebagai major power
sama halnya Cina saat itu. Pada akhirnya pada tahun 1989, Uni Soviet runtuh,
sehingga AS menjadi satu-satunya kekuatan yang semakin kuat saja. Jadi yang
penulis berusaha jelaskan, wacana pengetahuan Waltz adalah artikulasi dan
akumulasi dari kebenaran kuasa AS terhadap konstelasi politik internasional.
Dalam tradisi pemikiran Foucault, kekuasaan tidak hanya mempunyai
mempunyai potensi untuk menaklukan, memarginalisasi, menindas dan
menghapus bayangan atau abstraksi tentang sesuatu, tetapi juga menghasilkan
sesuatu seperti menghasilkan kebenaran yang dibuat oleh Waltz. Padahal
kebenaran yang Waltz paparkan adalah kebenaran metodis yang sama sekali tidak
berkaitan dengan realitas konstelasi politik internasional. Dengan kata lain, Waltz
mempunyai bayangannya sendiri atas realitas politik internasional. Di jaman
Perang Dingin ini, negara Dunia Ketiga seperti Indonesia adalah bayangan proyek
lama, imajinasi, konstruksi dan penaklukan wacana yang dihasilkan oleh sarjana,
pengarang dan pengembara Eropa atau negara-negara Barat. Karya Waltz adalah
representasi dari pengarang Barat melalui mekanisme kuasa ilmu pengetahuan
untuk mengukuhkan atau mengakumulasi kebenaran yang sudah tercipta oleh
penakluk sebelumnya. Dalam konteks ilmu pengethaun kolonial seperti karya
Waltz dan pendahulunya, penulis perlu memaparkan argumen Philpott yang
105
70
Philpott, op.cit., hlm. 11-12.
71
Apter, op. cit., hlm. 410.
106
72
James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff, Jr., Contending Theories of International
Relations, (United State: Wesley Educational Publishers Inc., 1997), hlm. 15-16.
107
73
Burchill, op.cit., hlm. 86.
74
Nicholson, op. cit., hlm. 46.
108
75
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theeory: Realism, Pluralism,
Globalism, (New York: MacMillan Publishing Company, 1987), hlm. 48.
76
Charles W. Kegley Jr., Contraversies in International Relations Theory: Realism and The
NeoLiberalism Challenge, (New York: MacMillan Press LTD, 1995), hlm. 74.
109
keamanan mereka sendiri dan berjaga-jaga terhadap negara lain yang secara
potensial mengancam. Mereka harus terus-menerus menyesuaikan diri di dalam
lingkungan internasional dengan melihat kemampuan negara lain dan kemampuan
diri sendiri.77
Walaupun dalam hubungan internasional mempunyai banyak aspek yang
bisa membedakan kepentingan nasional tiap negara, tetapi semuanya tetap pada
hakikatnya ditentukan oleh sistem internasional. Sebagaimana dijelaskan oleh
Nicholson lebih lanjut bahwa “States and power are important but the economic
actors, though ultimately subordinate, all play their role although in a much more
tightly defined system. Because all states are persuing power”.78 Jadi walaupun
ada negara yang mempunyai faktor ekonomi hebat, tetapi perilakunya tetap saja
ditentukan oleh konteks sistem dunia internasional.
Pada bagian akhir ini, penulis mengarahkan pada pemahaman atas neo-
realis sebagai wacana yang melihat kontelasi politik internasional berjalan sesuai
dengan hukum mekanika Newtonian. Semuanya berjalan teratur dan positif serta
alamiah. Wacana neo-realisme melihat bahwa struktur internasional sangat
menentukan semua unit-unit negara, karena sistem internasional bersifat anarkhis.
Politik internasional akan terjadi kekacauan dan terkondisikan tidak stabil, jika
struktur internasional berjalan sesuai dengan polar yang beragam dan menyebar.
Maka dari itu, Waltz mengajukan sistem balance of power sebagai struktur
internasional yang final, stabil dan menentukan semua unit negara dalam
lingkungan yang anakhis dengan aman, karena power akan terkumpul pada dua
kekuatan saja sebagai timbangan berat power politik internasional. Kita bisa
melihat stabilitas balance of power pada kasus seperti keruntuhan rezim Shah
Iran, invasi Vietnam ke Kamboja (1978-1991), Perang Korea (1950-1953), Invasi
Soviet ke Afganistan, Perang Teluk (1990) dan Perang Irak-Iran. Power yang
terdistribusikan di seluruh dunia cukup memunculkan letupan kecil yang tidak
begitu signifikan daripada letupan besar seperti PD II. Balance of power adalah
sistem yang sangat bagus untuk menjaga stabilitas politik internasional agar tidak
77
Nicholson, op. cit., hlm. 47.
78
Ibid., hlm. 96-97.
110
79
Unipolar adalah struktur di dalam sistem Internasioonal dimana hanya ada satu negara yang
mendominasi sistem tersebut.
80
Aleksius Jemadu, Berbagai Kecenderungan Baru dalam Studi Hubungan Internasional Pasca
Perang Dingin dan Pemaknaanya bagi Pembangunan Negara-Bangsa Indonesia. (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1999).
111
BAB III
TRADISI PEMIKIRAN KRITIS
HUBUNGAN INTERNASIONAL MODERN
81
Wikipedia ensiklopedi, “critical international relations theory,”
http://en.wikipedia.org/wiki/Critical_international_relations_theory, diakses pada tanggal 10 Juni
2006, pukul 16.35 wib.
82
David Robinson, Nietzsche and Postmodernism, (UK: Totem Books, 1999).
111
112
sebab disamping sifatnya sangat variatif, tradisi ini juga susah dicari
konsistensinya terhadap keberlangsungan proyek modernisme.
Dengan demikian, sistematika tulisan ini: pertama, menjelaskan tentang
arkhealogi critical theory atau critical international theory sebagai alternatif
penyelesaian proyek modernisme. Namun hal tersebut tidak cukup, sebab
representasinya masih berputar-putar dalam tradisi Barat, terutama wilayah
wacana Eropa, sehingga bagian kedua akan memaparkan tentang problem
modernisme. Sedangkan alternatif tradisi pemikiran HI pascakolonialisme akan
dipaparkan di bagian bab selanjutnya.
independen dan faktual, karena pengetahuan adalah kuasa itu sendiri (power-free
knowledge cannot exist). Jadi tradisi pemikiran HI post-positivism tidak
bermaksud menjadi saintifik atau ilmu sosial. Namun mereka hanya bermaksud
untuk menceritakan sebuah peristiwa tentang hubungan internasional dengan
mengungkapkan pertanyaan yang relevan dalam menentukan relasi kuasa tertentu
antara peristiwa tertentu dengan tradisi pemikiran HI status-quo.
Masih dalam tradisi pemikiran HI post-positivism, dalam sub bagiannya
terdapat tradisi pemikiran HI Feminisme yang terdiri dari seri HI feminisme:
gelombang pertama, kaum feminis yang berusaha melibatkan wanita ke dalam
level sistem internasional. Gelombang kedua, kaum feminis yang berargumen
bahwa patriarchy (laki-laki sebagai pemimpin) adalah sebuah alasan bagi
subordinasi wanita. Ketiga, kaum feminis post-structuralist yang menganalisa isu-
isu gender dan seksualitas dengan membongkar definisi laki-laki dan wanita
dalam SHI. Mereka berargumen bahwa tradisi pemikiran HI selama ini masih
didominasi oleh laki-laki seperti studi diplomasi dan pahlawan. Tradisi pemikiran
HI masih belum mempertimbangkan aturan main wanita dalam studi politik dan
perang—dengan gendering war. Misalnya, proses pengambilan keputusan politik
luar negeri pasca Perang Dunia II yang ditentukan oleh laki-laki, tetapi dalam
proses pengambilannya sebaiknya menggunakan analisis yang dipengaruhi oleh
wanita. Studi HI feminisme yang cukup berpengaruh adalah kerja Cynthia Enloe
yang karyanya secara sistematis mengevaluasi SHI sebagai jalan yang bias
gender.
Tradisi pemikiran HI Pascakolonialisme menantang tradisi pemikiran HI
eropasentrisme, khususnya asumsi parokial bahwa pemikiran abad pencerahan
Barat adalah superior, prgresif dan secara universal bisa diaplikasikan ke seluruh
dunia. Tradisi HI Pascakolonialisme berargumen bahwa tradisi pemikiran HI
Barat mengkonstruksi liyan (the other) sebagai spatial yang irasional, terbelakang,
primitif, bodoh dan barbar. Tradisi HI pascakolonialisme berusaha mengekspos
asumsi parokial HI; misalnya konstruksi kulit putih melawan orang-orang kulit
berwarna. Misalnya cerita beban orang kulit putih terhadap pendidikan dan
pembebasan laki-laki dan wanita kulit berwarna, melindungi wanita kulit
116
83
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: diskursus filosofis tentang metode
ilmiah dan problem modernitas, (Yoyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 157-158.
118
mengkonstruksi dunia kehidupannya dari masa lalu, masa kekinian dan masa
depan dari perkembangan dunia internasional. Prinsip Immanuel Kant: sapere
aude! Adalah dasar dari setiap manusia untuk berani untuk berpikir. Keberanian
ini diaktualisasikan dalam istilah roh spirit yang dinarasikan oleh G.W.E. Hegel.
Dengan dialektika sejarah idealisme Hegelian ini, jaman bergerak ke arah totalitas
modernitas. Tradisi ini dilanjutkan oleh gagasan Karl Marx dengan sejarah
dialektika materialisme, yakni mengerakkan jaman ke arah konstruksi yang lebih
practical (praxiology), sehingga jaman pun benar-benar dirasionalisasikan secara
nyata dalam konteks kehidupan, khususnya dalam konsep kerja praktis ekonomis.
Modernitas tidak hanya berhenti dalam pemahaman Marxisme ini, tetapi filsuf
Jerman, Jürgen Habermas merekonstruksi kembali konsep dialektika sejarah
materialisme Marx, khususnya konsep kerja praktis yang ditafsirkan lebih jelas
lagi oleh Max Weber dengan memunculkan konsep rasionalitas-instrumental.
Mengambil gagasannya Weber, Habermas berusaha menyelesaikan proyek
modernitas yang belum selesai.84
Bab tiga ini, penulis memfokuskan pada problem keberlangsungan proyek
wacana modernisme hubungan internasional yang berusaha diselesaikan oleh
Andrew Linklater dalam karyanya, The Transformation of Political Community
(1998). Dalam konteks ini, critical international relations theory yang akan
dibahas adalah tradisi pemikiran critical theory, Frankfurt school. Tradisi
pemikiran ini adalah sebagian kecil dari studi-studi kritis di atas (Amerika Serikat
dan Perancis), karena akan berlebihan jika paparkan, dan tentunya keterbatasan
penulis dalam memperoleh pengetahuan, sehingga fokus kajiannya dikerucutkan
kepada tradisi pemikiran HI yang berakar dari tradisi pemikiran critical theory,
Jerman, khususnya berkaitan dengan proyek penyempurnaan modernitas yang
dirancang oleh Habermas dan pengkajinya dalam SHI yang dikembangkan oleh
Linklater. Kajian ini memaparkan karya Linklater tentang keberlangsungan
wacana hubungan internasional dari awal berdirinya departemen ini merupakan
produk dari modernisme dan dalam dinamikanya. Dia mengatakan bahwa proyek
84
Ben Agger, Critical Social Theories: an Introduction, terj (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003),
bagian Teori kritis mazhab Frunkfurt.
119
85
Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, terj (Jakarta: Paramadina,
2000).
121
86
Robert W. Cox, “Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations
Theory”, dalam Perspectives on World Politics, ed. Richard Littles dan Michael Smith, (London:
Routledge, 1991), hlm. 444-448.
122
88
Richard K. Ashley, “Political Realism and Humant Interests”, International Studies Quarterly
25 (1981), hlm. 208.
125
89
Andrew Linklater, Beyond Realism and Marxism: Critical theory and International Relations,
(London: MacMillan Press LTD, 1990).
126
90
Richard Devetak, “Critical theory”, dalam Theories of International Relations, ed. Scott
Burchill dan Andrew Linklater, (London: MacMillan Press LTD, 1996), hlm. 162-163.
91
Wilhelm Dilthey, seorang neo-Kantian meneruskan ide Windelband tentang pembagian ilmu
antara nomothitic sciences—menghasilkan hukum (nomos) dan ideographic sciences—melukiskan
(graphein), keunikan (ideos). Dia mengistilahkannya dengan geisteswissenschaften dan
naturwissenschaften. Perbedaan keduanya dapat signifikan dalam konteks relevansi nilai
(wertbeziehung), yakni perdebatan nilai (wertulteilsstreit). Dia membuka Habermas jalan untuk
refleksi historis dengan menunjukkan berakarnya ilmu pengetahuan pada konteks kehidupan
konkrit manusia. Dia memberikan refleksi historis bagi Habermas di bidang interaksi atau tindakan
komunikatif manusia—intersubjektif. Pemikirannya yang terkenal: philosophie des lebens, yakni
filsafat yang merefleksikan kehidupan sebagai keseluruhan produk manusia seperti seni, pranata-
pranata, agama, dan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya, karenanya, ilmu pengetahuan alam
juga memiliki kedudukan dalam konteks kehidupan dan tidak terpisah dari kehidupan itu.
Perbedaan epistemologi sangat kental dalam ilmu budaya dan ilmu alam, yakni bagaimana subjek
melihat objek dan sikapnya terhadap objek. Jika ilmu alam mengkonstruksi pengalaman:
menyusun teori untuk antisipasi peristiwa alamiah; ilmu budaya mentransposisi pengalaman:
memindahkan objektivasi-objektivasi mental kembali ke dalam pengalaman reproduktif atau
membangkitkan kembali pengalaman-pengalaman secara bersamaan. Dia menekankan pada
pemaknaan terhadap karya pengarang sebagai struktur-struktur simbolis (proses karya itu dibuat),
bukan struktur-struktur psikis (keadaan psikis tokoh sejarah). Metodenya adalah empati. Oleh
sebab itu penelitian model ini mengandaikan analisis kekinian menggunakan cara empati terhadap
penghayatan orang-orang masa lalu. Unit analisisnya melihat subjek peneliti dan objek yang
diteliti sebagai makluk atau entitas historis. Ketika dia terjebak pada objektivitas, maka dia
mengkaitkan ilmu budaya dengan hermenutika dalam studi otobiografi. Singkatnya dia berusaha
menunjukkan ilmu histris-hermenutika dengan praxis hidup manusia sehari-hari dengan
menghasilkan pengetahuan yang secara praktis bersifat efektif. Lihat F. Budi Hardiman, Kritik
Ideologi: pertautan pengetahuan dan kepentingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
127
92
Andrew Linklater, The Transformation of Political Community, (UK: Polity Press, 1998), hlm.
16.
93
David A. Baldwin, “Neoliberalism, Neorealism, and World Politics,” dalam Neorealisme and
Neoliberalisme: the Contemporary Debate, diedit oleh David A. Baldwin, (New York: Columbia
University Press, 1993). Lihat juga tema-tema yang lainnya seperti pada bab II tentang “Neoliberal
Challenge and Neorealist Respon.”
129
94
Martin Wight, International Theory: the Three Traditions, (New York: Holmes & Meier
Publishers, Inc., 1992).
130
justru lebih sulit dan mudah mengalami perubahan fundamental daripada saran-
saran neo-realisme.
Menurut Linklater, kunci dari gambaran penelitian sosiologi adalah
investigasi sosiologi yang mengidentifikasi benih-benih perubahan di masa depan
dalam konstruk tatanan sosial politik internasional baru. Pijakan dasar yang paling
utama dari penelitian sosiologi ini adalah sosiologi etisnya Immanuel Kant
tentang perpetual peace (perdamaian abadi). Kant percaya bahwa kemungkinan
hak legal yang tersebar luas tidak hanya berlaku bagi peningkatan kaum borjuis,
tetapi juga berlaku untuk semua anggota masyarakat lainnya, yang sudah menjadi
sifat dari masyarakat liberal bersama dengan ideologi yang dominan dari alas
prinsip kebebasan dan persamaan individu-individu. Kemunculan masyarakat sipil
transnasional membentuk sebuah kondisi, dimana setiap individu dapat
menghilangkan pandangan-pandangan mereka tentang orang-orang yang aneh,
ganjil, dan mempelajari mereka tentang bagaimana berasosiasi bersama mereka
dalam bentuk hubungan manusiawi yang teratur.
Dengan menjelaskan gagasannya Carr, Linklater menjelaskan bahwa hasil
krisis duapuluh tahun, pandangan kaum realis cukup bagus dalam memberikan
poin penting bahwa proyek radikal (kaum teori internasional kritis/revolutionism)
dari reformasi global telah gagal untuk menghargai kekuatan nasionalisme dan
ketahanan kuasa negara. Negara menyudahi perjanjian sebuah batas komunitas
moral pada bagian pertama abad duapuluh dengan menutup pintu atas orang-
orang asing, mengejar kebijakan politik luar negeri nasionalis dan mengikat
bentuk-bentuk praktik-praktik eksklusif dengan melawan minoritas melalui batas-
batas teritorial mereka. Analisis kritis gagal menganalisa kemungkinan bentuk
baru komunitas, dan juga miskin dari kepercayaan terhadap efek-efek globalisasi
yang disuarakan dalam tulisan-tulisan Kant dan Marx. Banyak berargumen bahwa
globalisasi menciptakan bentuk baru kuasa hegemoni, yang mengancam
perbedaan budaya.
Namun baru-baru ini hal seperti Carr jelaskan dan argumenkan di atas
justru membalik. Linklater berusaha menegasi proyek Carr yang selalu
mengunggulkan kuasa negara berdaulat dengan strategi teks merekonstruksi
132
dan kekerasan antar negara. Mirip dengan Kant, Marx membelokkan pemikiran
borjuis tentang kebebasan dan persamaan berhadapan dengan tekanan alamiah
dari relasi sosial kapitalis. Menurut Linklater, respon mereka menujukkan
terbatasnya tujuan-tujuan sosial dalam ambiguiti modernitas: kebebasan kaum
borjuis untuk satu segmen populasi dalam kasus Kant, dan dalam kasus Marx,
kebebasan proletarian mengambil sedikit isu-isu tentang korban rasis, etnisitas
dan ketimpangan gender. Analisis praxiologi modern harus bertujuan lebih luas
lagi, tetapi juga tetap berpijak pada pemikiran Kant dan Marx, khususnya proyek
yang mewarnai sikap-sikap moral yang dilengkapi dengan ide-ide modern berupa
kebebasan dan persamaan dengan maksud mengkritisi sistem eksklusif yang
timpang. Dalam konteks ini, teori sosial kritis merekonstruksi kecenderungan
Marxis Klasik yang selalu mengacu pada mode of production sebagai sesuatu
yang fundamental dalam rangkaian sejarah umat manusia bersama ruang moral-
kultural. Atas dasar ini, Linklater mengaitkan argumennya dengan
mengedepankan ide modernitas tentang kewarganegaraan (citizenship). Ide
modernitas ini: pertama, muncul ketika reaksi tentang peningkatkan kuasa negara
dan secara khusus sebuah respon apa yang disebut dengan proyek yang total
(totalising prject) sedang berjalan –proyek modernisasi. Proyek ini mengacu pada
usaha-usaha yang dibuat oleh pemerintah (kuasa negara berdaulat) untuk
mewujudkan komunitas nasional dan menonjolkan perbedaan antara warganegara
dengan pihak asing yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi perang antar
bangsa (inter-state war). Kedua, dari pihak yang berseberangan dalam rangka
peningkatan ketimpangan kapitalistis. Pihak ini memegang sumber moral yang
paling penting, yang telah diakumulasikan dalam perjuangnnya melawan
ekslusifitas. Pihak yang menentang ini memegang kunci masyarakat modern yang
mempunyai kewajiban untuk memperluas batas-batas moral komunitas politik
dalam rangka mengikat pihak asing ke dalam dialog yang dilengkapi dengan
komitmen terhadap kewarganegaraan yang ideal.
135
95
Linklater bersama kaum liberal sepakat untuk mengembangkan idenya ini di institusi European
Union (EU). Kasus dalam karyanya ditekakan pada multikulturalisme di Eropa. Ide ini sesuai
dengan gagasan para pemikir Eropa terdahulu sampai dengan sekarang, dari Kant hingga
Habermas dan pemikir HI Eropa dari tahun 1919 sampai dengan sekarang, dari Martin Wight
sampai dengan Linklater dan David Held. Semua itu adalah generasi yang mengakumulasi kuasa
tradisi pemikiran Eropa. Mereka yang menciptakan struktur pemikiran Eropa. Struktur itu
direkonstruksi terus sebagai teori survival, yakni alat untuk bertahan hidup sebagai subjek sejarah
penoreh peta sejarah umat manusia di dunia internasional. Dalam hal ini, penulis mempunyai
optimisme bahwa EU adalah sebuah institusi yang akan mengambil alih kuasa negara berdaulat di
era post-Westpharlia, khusunya superpower negara berdaulat seperti Amerika Serikat. Ini adalah
strategi teks jitu bagi pemikir HI Eropa dalam mengambil kuasa pengetahuannya dari kaum saintis
Amerika Serikat dan juga terus berusaha mendominasi dan memperteguh kuasa pengetahuanya ke
seluruh dunia internasional. Semua itu adalah tradisi Eropa yang berkiblat dari tradisi struktur
pengetahuan Hellenisme, Yunani Kuno. Demikian juga institusi EU yang sebenarnya konstruksi
dari polis-polis di era Hellenisme, Yunani Kuno.
136
pada ortodoks konsepsi Westphalia untuk berubah sedikit demi sedikit ke arah
egalitarianisme antara negara sebagai institusi yang memonopoli kuasa di tatanan
internasional dan komunitas lokal sebagai salah satu entitas yang baru akan hadir
di tatanan politik internasional. Perdebatan ini berlanjut sampai dengan
memuncuknya dua kubu: kaum refleksionis dan kaum rasionalis.
Melawan kaum realisme dan neo-realisme, di pihak kaum refleksionis,
Linklater optimis dengan idenya, suatu transformasi komunitas politik akan
mengangkat sebuah revolusi, karena saat ini masyarakat tidak lagi berhadapan
satu dengan yang lainnya sebagai lawan geopolitik dalam kondisi anarkhi. Namun
hubungan dialogis yang semakin sering dilakukan akan menghentikan atau
mengakhiri pemahaman seperti wacana kaum (neo) realis yang terus
mempertahankan konstruksi era Westphalia. Partisipasi dalam proyek ini bisa
bekerjasama untuk menghidupkan proses perubahan yang lebih luas melalui
jaminan penghormatan yang lebih terhadap pengaturan internasional terhadap
nilai-nilai pluralitas dan solidaritas. Sementara kerangka kerjasama post-
Westphalia sedang dibentuk, masyarakat yang berpartisipasi ini bisa bekerja untuk
pencapaian dua kerangka tambahan dalam arti persetujuan dan dialog mengubah
atau menggeser paksaan (force) dan dominasi negara berdaulat. Dalam konteks
ini, maka menjadi suatu kemungkinan untuk memperkirakan kerangka normatif
yang ideal atas sebuah komunitas komunikatif yang universal dan untuk
meyakinkan bahwa aturan main global harus mempunyai perjanjian bagian yang
lebih besar untuk kepentingan seluruh umat manusia (human race). Analisis
narmatif, sosiologis dan praxeology dari komunitas politik yang dikembangkan di
atas adalah orientasi dari karya Linklater secara keseluruhan.
Kerja Linklater terdiri dari bagian-bagian di dalam karyanya: argumen
pertama, pendekatan kritis memberikan kemungkinan yang secara signifikan bagi
keberlangsungan era ini. Era globalisasi dan fregmentasi yang menciptakan
kemungkinan dalam mereformulasikan bentuk komunitas yang secara simultan
lebih universalis dan lebih sensitif terhadap perbedaan budaya. Argumen kedua,
etika universalisme pada argumen pertama perlu dipahami sebagai moralitas
kosmopolitan sementara yang selalu dikritisi. Visi komunitas dialog ini terdiri
137
Teori kritis berawal dari eksistensi ortodoksi Marxisme yang terus mengisi
sejarah umat manusia. Kaum ortodoksi Marxisme ini tidak menyurutkan para
pengkritiknya di zaman itu. Berbagai macam kritik terhadap Marx disuarakan,
diantaranya para kritikus teori sosial seperti Goerg Lucaks (1885-1971), Karl
Korsch (1889-1961) Theodor W.Adorna dan Herbert Marcuse, Max Horkheimer
(1895-1973), Theodor W. Adorno (1903-1970), Herbert Marcuse (1898-1978).
Pada akhirnya generasi terakhir diteruskan oleh Jürgen Habermas (1929-…), juga
seorang filsuf Jerman dari generasi Frankfurt school.96
Penjelasan klasiffikasi di atas bisa dipaparkan bahwa Cox mengadopsi
akar filosofis critical theory dari Neo-Marxisme, Antonio Gramsci dengan
membil istilah hegemoni dan juga mengadopsi akar filosofis generasi I,
Horkheimer dalam karyanya, Dialectic of Enlightement, (1992) yang ditulis oleh
Theodor W. Adorna dan Max Horkheimer. Karya ini menunjukan kepesimitisan
mereka atas rasionalitas dan pencerahan: suatu teori yang dikembangkan oleh
mereka tentang patologi modernitas. Dilihat dari perspektif rasio dalam sejarah
yang secara empirik mengalami kecacatan atau problematik. Jadi di satu sisi,
manusia berusaha menggunakan rasio untuk menuju pada pencerahan yang
progresif, tapi di sisi lainnya menuju pada penghancurannya sendiri (self-
destructive). Cox menunjukkan filsuf semacam ini. Secara tajam, Adorna dan
Horkheimer ingin menunjukan lebih tajam: “the weakness of the modern
theoretical faculty.”97 Mereka mengatakan bahwa kelemahan teoritisasi era
modern telah muncul, dalam hal ini adalah kelemahan ilmu-ilmu sosial yang
mengadopsi ilmu alam. Dengan demikian SHI sebagai ilmu sosial sangat lemah,
sebab dalam konteks pendekatan (metodologi/epistemologi) ilmu alam, ilmu
sosial justru mendukung status quo, tidak menggunakan teorinya untuk
mendukung kaum yang tertindas atau termarginalisasikan.
96
David Held, Introduction to Critical theory: Horkheimer to Habermas, (UK: Polity Press,
1990). Lihat juga karya Craig Calhoun, Critical Social Theory, (US: Blackwell, 1995). Karya ini
menjelaskan lebih mengkhuskan ke tatanan politik dan budaya dunia. Dibandingkan dengan David
Held yang cenderung memaparkan kerangka filosofisnya dan silsilah lengkap dari critica theory,
Frankfurt Jerman.
97
Theodor W. Adorno & Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, (London: verso, 1979),
bagian The Concept of Enlightenment.
140
Istilah hegemoni yang diadopsi Cox hadir dari critical theory yang masih
belum tersistematisasikan dengan jelas dengan memfokuskan pada akar filosofis
kaum Neo-Marx. Akar pemikiran ini sejalan dengan wacananya Korsch dalam
karyanya, Marxismus und Philosophie (Marxian dan Filsafat, 1923), secara
sederhana, Korsch mengkritik Marx dari segi gerakannya. Sesungguhnya Marx
sebagai ideologi seharusnya mempunyai maksud-maksud praksis/praxis (moral,
etika, emansipatoris, aplikatif) bukan maksud revolusi yakni, pertumpahan darah
ataupun malah secara teoritis cenderung mendukung teori-teori bourgeois (kelas
status quo, kelas yang berkuasa).98 Jadi mereka berusaha mempertautkan teori dan
praxis. Jadi dari pijakn akar filosofis inilah Cox mempunyai ujaran: “Theory is
always for someone and for some purpose,”99 dan berpikiran tentang pemilahan
yang signifikan antara problem solving theory dan critical international theory
atau constituted theory itu sendiri dalam SHI.
Sedangkan wacana critical international theory kedua, Richard Ashley
secara sistematis dan komprehensif mengadopsi akar filosofis generasi II, Jürgen
Habermas tentang wacana pengetahuan (teori pengetahuan). Wacana Habarmas
yang diadopsi oleh Ashley berasal dari karya Habarmas, Knowledge and Human
Interests (1971)100 dan Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi, terj. (1990).101
Kedua karya tersebut menjelaskan tentang pautan antara pengetahuan dan
kepentingan. Menurut Habermas, terdapat tiga tipe ilmu pengetahuan: pertama,
ilmu empiris-analistis yang berkepentingan memperoleh informasi dan
mengontrol tindakan-tindakan yang sifatnya teknis. Pengetahuan ini disebut
dengan pengetahuan teknis. Dalam SHI, studi ini lebih cenderung pada
pendekatan behaviralisme dan positivisme. Kedua, ilmu historis-hermeneutis yang
berkepentingan mempertahankan dan memperluas intersubjektivitas, saling
pengertian antar manusia yang mengarah pada tindakan. Pengetahuan ini disebut
pengetahuan praktis. Dalam SHI, studi ini lebih cenderung pada pendekatan
98
Hardiman, op.cit., hlm. 38-39.
99
Selain membaca karya aslinya dan penjelasan sebelumnya, lihat juga karya Jackson dan
Sorensen, Introduction to International Relations, (UK: Oxford University Press, 1999), hlm.233.
100
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, (Boston: Beacon Press, 1971).
101
Jürgen Habermas, Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi, terj (Jakarta: LP3ES, 1990).
141
102
Jürgen Habermas, The Theory of Communication Action Volume I: Reason and The
Rationalization of Society, (Boston: Beacon Press, 1981), hlm.240-241. Lihat juga tafsir Hardiman
atas Habermas dalam Menuju Masyarakat Komunikatif, (Yogyakarta: Kanisius), hlm. 93-94.
142
103
Richard Devetak, “Critical theory,” dalam Theories of International Relations, (New York:
Palgrave, 1996), hlm. 157.
143
realis menjadi suatu yang konstruktif dan imajinatif.104 Tidak luput juga pemikir
lainnya seperti pengaruh hermeneutika Pierce dan Dilthey dan pengaruh idealisme
Fichte dalam memformulasikan rasio murni dengan rasio praktis.105 Semua itu
adalah kesadaran Eropa yang terus dikukuhkan dan dilegitimasi dalam bentuk
formasi struktur modernitas.106 Konstruksi ini aalah struktur paganisme Yunani
kuno yang sangat mutakhir, karena berusaha menyelesaikan proyek modernitas
dengan memberikan solusi dialog terbuka dan komunitas komunikasi
kosmopolitan. Bentuk konkrit dari arsitektur kesadaran rasio Yunani kuno ini
hadir dalam wajah baru: EU sekarang ini.107 EU ini tidak lebih dari formasi dari
polis-polis Yunani masa dulu yang menggunakan rasionalitas teori-praksis –yang
Habarmas bayangkan. Inilah partikularisme yang berusaha penulis tunjukan
dengan istilah Foucault the new history, sehingga metanarrative modernitas
adalah sebuah bentuk dari smallnarrative tradisi pagan Yunani yang diteruskan
oleh Eropa. Selain kesadaran Eropa yang tengah dibangun sebagai klaim
universal, modern, dan seolah-olah kosmopolitan, sebenarnya adanya keabsenan
dari spatial dunia lain (the others), yang mereka sendiri ciptakan, yakni dunia
yang disebut dengan Timur. Inilah yang berusaha dibongkar oleh penulis sebagai
seseorang yang mempunyai posisi berseberangan dengan spatial dunia Barat.
104
Ibid. hlm. 156.
105
Hardiman, op.cit.
106
Linklater, op.cit.
107
Loc.cit.
144
masih lemah sehingga tradisi kesadaran saat itu masih didominasi oleh kaum
paganis. Era/wacana teks Hellenisme ini kuat juga dipengaruhi oleh aliran
Aristotelianisme dan stoicism yang mengusung rasionalitas atau akal kepada
kelahiran kedokteran rasional, bukan kedokteran empiris. Kebudayaan pagan
Yunani, neo-Platonisme ini menyebar hingga ke daerah Latin. Neo-Platonisme
dan ajaran Stoicism cukup kuat mempengaruhi era kebudayaan Yunani-Romawi
yang dimanifestasikan dalam sifat spiritual seperti ajaran rendah hati, zuhud,
berakhlak sempurna, membersihkan diri, dan menahan hawa nafsu. Ajaran ini
cukup kuat mempengaruhi era Romawi. Meskipun Kristen dapat melakukan
epistemological break, tetapi saat itu ajaran baru tersebut belum kuat merubah
kesadaran Eropa yang didominasi kebudayaan Yunani-Romawi.
Kuatnya budaya agama pagan ini disebabkan oleh perbaruan dirinya
sendiri. Wacana teks Barat bersikap skeptisme dan melakukan pembersihan diri
terhadap ajaran-ajaran lama dengan mengatasnamakan ilmu yang anti-
dogmatisme. Dengan demikian, ajaran tradisi pagan justru semakin kokoh.
Tindakan mereka tidak lebih sebagai tindakan reflektif atau otokritik (self-
reflection). Inilah sumber kekuatan wacana Barat. Hanafi menerangkan juga
bahwa saat itu, ilmu seperti logika, gramatika, retorika, hitung, teknik arsitektur,
astronomi, dan musik telah dipelajari secara teknis oleh mereka. Inilah kedamaian
internal kesadaran Eropa yang telah diperoleh. Dengan pemahaman dan kesadaran
akan alam, kaum pagan saat itu telah memperoleh kedamaian internal. Dalam hal
ini, Hanafi cukup tajam mengatakan bahwa kedamaian internal yang final ini
mempunyai sifat negatif dan positif. Sifat yang negatif muncul ketika kesadaran
pagan tersebut telah final dan berakhir sehingga mereka tidak mempunyai
kesadaran selain kesadaran agama pagan. Sedangkan sifat yang positif muncul
ketika mereka menganggap bahwa kedamaian internal yang mereka peroleh
bukanlah kesadaran akan sebuah keyakinan final, tetapi awal dari keyakinan
agama baru dan keselamatan yang segera datang. Keyakinan agama baru dan
keselamatan inilah yang sampai sekarang masih belum diperoleh. Jadi sebuah
proses pergerakan becoming Eropa bukan being Eropa.
147
yang diwakili oleh Machiavelli dan Utopis yang diwakili oleh Thomas More dan
Campanella.
Pada masa kebangkitan ini, ilmu pengetahuan menjadi aliran utama.
Kehadiran ilmu pengetahuan memberikan bungkus teoritis alternatif dan untuk
menguasai realitas dengan teori-teori yang lebih akurat dari pengetahuan lama
yang secara empiris telah terbukti kesalahannya. Jadi argumennya adalah hanya
manusialah yang mempunyai kehendak untuk berteori bukan Gereja atau agama.
Dengan adanya kemunculan Pompanazzi yang melakukan pembacaan kembali
Aristotelianisme secara materialistik, yang berlawanan dengan filsafat Skolastik.
Adanya kemunculan Telesio yang meneguhkan kembali paham materialisme.
Munculnya astronomi modern yang diciptakan oleh Copernicus dan
pendukungnya Giordano Bruno dan sepemikiran dengan Nicolas de Cusa.
Penutupan inovasi ilmu pengetahuan diakhiri oleh Kepler yang bertema
matematika dan Galileo yang mengedepankan keilmiahan, mengubah ilmu
menjadi matematika, dan ide tentang pemisahan antara teologi dan ilmu. Masa
kebangkitan merupakan keberakhiran satu fase sekaligus dimulainya fase lain
dalam kesadaran Eropa. Akhir fase pendasaran dan awal fase keterbentukan. Masa
kebangkitan telah berhasil menciptakan keterputusan antara masa lalu dengan
masa sekarang; mengubah masa lalu menjadi masa depan; melakukan kritis dan
membebaskan diri dari pengaruh pengetahuan lama yang selama itu menjadi
sumber ilmu dan standar perilaku; teosentrisme berubah menjadi
antroposentrisme; pembahasan tentang keabadian ruh menjadi pembahasan
tentang kareakteristik dan pembentukan raga (materialistik). Sebuah masa
kelahiran fisiologi, biologi, anatomi, dan ilmu kedokteran modern. Kesadaran
Eropa dapat melakukan inovasi baru setelah meninggalkan pengetahuan lama.
Realitas dapat dilihat secara transparan. Bungkus teori yang selama ini
menghalangi pandangan ego terhadap alam telah disingkirkan. Bungkus teori baru
modern ini telah merubah secara radikal bangunan Gereja dengan bangunan baru
negara-bangsa yang bersandar dengan prinsip-prinsip ilmiah.
151
110
Leonard Hutabarat, “Kegagalan Referendum Konstitusi Eropa: ‘Quo Vadis’ Uni Eropa?” dalam
Jurnal Global, Vol. 8, No. 1, November 2005.
111
Milton J. Belasco & Patricia R. Reilly, Basic World History, (Inggris: Cambridge Book
Company), hlm. 127-143.
152
dalam bentuk dan wadah yang sama dan satu. Jadi totalitas ini akan membentuk
konvergensi budaya modern dunia internasional.112 Kritik kaum post-modernist
terhadap wacana modernitas memberikan sebuah kehancuran diri sendiri (self-
destruction). Kritik atas Rasionalitas Eropa (Barat) mengalami nihilisme, karena
melampaui rasionalitas merupakan hal yang mustahil bagi teoritisasi Barat. Salah
satu penginspirasi post-modern, Nietzsche sudah mengumandangkan kematian
Tuhan, kematian ilmu pengetahuan dan kematian bahasa, sehingga dia berbelok
ke mitos pagan Persia.113
Problematika wacana modernisme ini berusaha dipecahkan oleh kaum
post-modernist dan post-structuralist lainnya. Mereka berusaha memaparkan
kondisi dunia post-modern. Dunia ini menampilkan sebuah fenomena dunia
internasional yang absurd sekaligus reasonable, real sekaligus hiper-real, ada
sekaligus tiada, us sekaligus liyan (otherness). Mereka berusaha menampilkan
relasi oposisi biner114 yang berlangsung dalam satu dunia. Pemaparan ini
diungkapkan agar bisa keluar dari kerangka oposisi biner yang tengah menjebak
dunia internasional, sehingga implikasinya menciptakan dunia wilayah
pemahaman: Negara Utara sekaligus Negara Selatan, Negara terbelakang
sekaligus Negara Maju dan Negara Imperial sekaligus Negara Kolonial, Barat
sekaligus Timur, Oriental sekaligus Oksidental.
Jean-Francois Lyotard, dalam karyanya yang kontraversial di kalangan
ilmuwan Amerika dan Perancis, “The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge” (1992) menjelaskan bahwa dalam menghadapi narasi besar –
istilahnya metanarrative atau grand narrative atau master-narrative, kita harus
menciptakan atau memunculkan wacana narasi kecil –istilahnya smallnarrative.
Sebenarnya Jean-Francois Lyotard sudah sejak tahun 1980 menyeru tentang
“incredulity toward metanarratives”, yakni ketidakpercayaan terhadap narasi
112
Tradisi pemikiran ini adalah khas Kantian dan Hegelian yang merupakan salah satu dari
pelopor teori kritis. Sebelumnya sudah penulis jabarkan di sejarah teori kritis.
113
Robinson, op.cit.
114
Semua pemikiran post-structuralist dan post-modernist mengarah pada penjelasan opisisi biner
sebagai kerangka modernisme dan keluar dari modernisme yang berarti keluar dari oposisi biner.
Lihat karya Yasraf Amir Piliang, Hiper-Realitas: Kebudayaan, (Yogyakarta: LKiS, 1999) di
dalam karyanya ini, Yasraf memaparkan konsep dan istilah kaum post-modernist dan post-
structuralist, khususnya konsep oposisi biner.
153
115
Semenjak era filsuf Rene Descartes, Pasca-Copernicus sampai dengan tatanan ilmu
pengetahuan positivisme, tradisi Kantian, Hegelian, dan proyek modernitas puncak yang
ditindaklanjuti oleh kaum teori kritis dari mazhab Frankfurt Jerman.
116
Lihat beberapa karya Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Tractatus Logico-Philosophicus dan
Philosophical Investigations. buku pertamanya menjelaskan tentang pentingnya logika bahasa.
Struktur logika bahasa menentukan struktur realitas dunia. Karya keduanya melanjutkan karya
pertamanya dengan menekankan tentang tata permaian bahasa dan kontektualisasinya pada
realitas. Setiap realitas dan konteks mempunyai tatanan permainan bahasanya sendiri.
117
Robin Broad, Global Backlash: Citizen Initiatives for A Just World Economy, (Oxford:
Rowman&Little Publishers Inc, 2002), hlm. 2.
154
India –tepatnya Sentral Indian State of Madhya Pradesh memprotes Bank Dunia
dan WTO. Selain gerakan itu, representasi dari gerakan National Alliance of
People dan organisasi dari Orissa, Bihar, Uttar Pradesh, Maharashtra and aktivis
dari Delhi juga berpartisipasi dalam demonstrasi tersebut.118 Di Canada ratusan
organisasi telah bergabung dalam aliansi meneriakan Agenda Rakyat (a Citizen’s
Agenda) untuk merebut kembali kontrol-kontrol korporasi-korporasi internasional
terhadap pemerintah. Di Chile dengan Sustainable Chile berusaha melepaskan diri
dari diskursus metanarrative neoliberalisme. Di Cancun, Mexico, 10-14
September 2003, mobilisasi untuk melawan WTO pun sudah berproses sejak 15
Desember 2002. Di Mexico City pada tanggal 15 dan 16 of November dan
mengadakan strategi untuk mendiskusikan pendekatan kita pada pertemuan 5th
Ministerial Meeting of the World Trade Organization.
Semua gerakan anti metanarrative modernitas menentang kebijakan
metanarrative modernitas akhirnya menimbulkan kerugian bagi warga dunia
sendiri, karena begitu banyak korban yang jatuh dan tindakan kekerasan pun
kerap terjadi. Jadi premis yang muncul dari oposisi biner rasio modernitas:
semakin kuat gerakan-gerakan metanarrative modernitas menancapkan
wacananya di dunia internasional, semakin kuat pula gerakan metanarrative anti-
modernitas memprotes, menghujat, mendemo, dan mengkritisi wacana itu.
Peristiwa ini memberikan gagasan agar bisa keluar dari oposisi biner
metanarrative rasio modernitas. Oleh sebab itu, kasus wacana Community
Supported Agriculture (CSA) bisa memberikan alternatif yang dinamakan sebagai
smallnarrative, yakni komunitas pertanian di Amerika Serikat. Ilustrasi singkat
dari CSA adalah sebuah komunitas yang memanfaatkan potensi alam dan
bersahabat dengan alam, tanpa memeras, mengeksploitasi dan mengakapitalkan
alam.ruang lingkupnya terfokuskan paa aspek pertanian sebagai bentuk awal dari
peradaban. Wacana CSA memberikan pemahaman unik, khususnya
118
http://www.twnside.org.sg/title/delhi-cn.htm. Jika ingin menghubungi gerakan anti-globalisasi
hubungi suns@igc.org. diakses pada tanggal 7 Maret 2005, pukul 19.47 wib.
155
119
http://geologyandgeography.vassar.edu/projects/saed/Espar.htm, tanggal 9 Maret 2005, pukul
19.20 wib.Lihat juga Daniel Imhoff, Community Supported Agriculture: Farming With a Face on
It, dalam Jerry Mander dan Edward Goldsmith (ed) The Case Against The Global Economy and
For a Turn Toward The Local, (San Fransisco: Sierra Club, 1996) dan
http://www.nativityepiscopalchurch.org/scene/summer2003/july03_files/page0002.htm, diakses
pada tanggal 9 Maret 2005, pukul 19.20 wib.
156
Demikian pula kaum CSA yang tidak memposisikan dirinya sebagai kaum
kapitalis atau enterprener (subjek ekonomi) yang melakukan eksploitasi aset alam,
khususnya lahan pertanian, petani dan buruh, tetapi kaum CSA adalah ras manusia
seutuhnya. Kaum CSA memelihara aset tanah sebagaimana merawat dan
melestarikan tubuhnya sendiri, dan hubungan produser dengan konsumen pun
terjadi kesepakatan-kesepakatan dalam mengembangkan keanekaragaman hayati
sebagai prioritas utama atas dasar kesepakatan melalui proses saling tukar
menukar pengetahuan, self-understanding. Konsumsi CSA pun cukup
memberikan sumbangsih peranannya dalam menentukan produksi pertanian dan
terkait pula dengan konsekwensi-konsekwensi atas hasil panen. Sebaliknya
wacana metanarrative modernitas yang mengaklaim terhadap proses yang
progress, percaya terhadap kemajuan, perkembangan dan hidup yang lebih baik
justru jatuh pada kondisi yang tidak jelas, seperti tidak jelas orang yang
memproduksinya, tempat produksinya dan konsumen ditentukan oleh produser
yang tak nampak dan tak berhubungan langsung. Dalam diskursus metanarrative,
produser adalah subjek penentu pengetahuan dengan dualisme Cartesian yang
menutup kemungkinan konsumen untuk mengembangkan gagasan-gagasan
tentang produksi pertanian. Teks tersebut membawa wacana metanarrative ini
lebih mengutamakan faktor memenuhi standarisasi rejim internasional seperti
WTO. Arahnya pada ekspansi pasar dan ekspor-impor hasil panen untuk
menaikan data statistik perekonomian Negara, sehingga konpetisi tetap bergerak
ke arah yang menurut klaim mereka maju dan progresif menuju kebaikan
bersama. Berbeda dengan komunitas kaum CSA yang hanya bergerak dalam level
komunitas lokal dan meenuhi penghayatan kehidupan mereka, yakni harmonisasi
manusia dan alam. Distribusi hasil panen sebagian besar diputar dalam komunitas
CSA dan sebagian kecil dijual di supermarket terdekat. Distributor komunitas
CSA dapat dikatakan tidak ada, karena hubungan yang terjadi adalah hubungan
langsung antara petani dan konsumen. Hal ini berbeda dengan hubungan produsen
dan konsumen dalam kerangka liberalisme. Kerangka ini menjadikan faktor
produksi susah untuk diidentifikasikan oleh konsumen. Konsumen tidak melihat
faktor produksi itu diolah dan didistribusikan.
158
Narasi alternatif wacana CSA ini adalah teks yang berusaha keluar dari
mainstream metanarrative. Dari aspek pertanian, formasi diskursif CSA dapat
mengkritik tradisi pemikiran metanarrative di HI, seperti kritik terhadap formasi
diskursif strategisnya (neo) realisme, rasio instrumentalnya (neo) liberalisme,
rasio kritisnya (neo) marxisme, rasionalisme, konstruktivisme, teori internasinal
kritis dan kaum post-modernist nihilis. Semua pijakan mereka adalah formasi
diskursif Barat, khususnya wacana CSA yang masih mempunyai wajah Barat,
belum wajah Timur. Dengan kata lain, wacana CSA hanyalah sebuah teks kaum
komunitas Amerika Serikat yang berusaha melawan tanpa kekerasan gerakan
metanarrative (modernitas/anti-modernitas) yang ada Di bawah ini, penulis akan
menjelaskan tentang wacana alternatif seperti model CSA untuk keluar dari teks
opisisi biner: metanarrative modernitas dengan anti metanarrative modernitas,
tetapi dalam kerangka studi pascakolonialisme. Studi ini mempunyai keunikan
tersendiri, karena mengangkat kaum marginal, kaum terpinggirkan, kaum yang
diklaim atau dianggap gila, aneh, ganjil, irasional oleh kuasa dominan
pengetahuan di era sekarang ini dari wilayah yang selama ini terkoloni oleh kaum
imperalis di Barat. Nampaknya kaum kolonial ini, sekarang sedang berusaha
‘melukis’ dirinya, tanpa adanya campur tangan ‘pelukis’ dari Barat atau kaum
orientalis. Berdasarkan pijakan karya Edward Said, Orientalism (1979) dan
ilmuwan pascakolonialisme, bagian ini akan menjelaskan lebih mendalam tentang
studi pascakolonialisme.
Studi pascakolonialisme di bawah ini akan mengusung suara
terbungkamnya kaum saminis dari Timur, Negara Dunia Ketiga, Indonesia. Studi
ini adalah representasi dari wacana Negara Dunia Ketiga seperti Indonesia agar
akar wacananya dapat terrepresentasikan dan di masa depan mempunyai
kemungkinan menjadi sebuah landasan tradisi pemikiran HI Indonesia. Mungkin
juga tradisi school of thought HI Indonesia berusaha diawali dengan studi ini.
Studi ini berbeda dengan wacana CSA dan pascakolonialisme HI Amerika
Serikat, sebab otentisitas ke-Timur-an berusaha disuarakan, sehingga
partikularisme pemikiran HI Barat dapat diperlengkapi dengan partikularisme
pemikiran HI Negara Dunia Ketiga. Untuk dapat keluar dari opisisi biner Barat-
159
Timur, sebenarnya kita sudah melihat pluralisme dalam tradisi pemikiran HI,
seperti perbedaan formasi diskursif pemikiran HI Amerika Serikat dan Eropa yang
beragam, memperlihatkan kepada kita bahwa perbedaan antara Barat dan Timur
tidak beralasan. Dengan kata lain, keberagaman tradisi pemikiran HI tidak hanya
berakar dari tradisi Barat, tetapi tradisi pemikiran HI bisa muncul dari formasi
diskursif India, Cina, Islam, Malaysia dan Indonesia. Hal ini sangat penting agar
perkembangan tradisi pemikiran HI dapat terus bergejolak, bergerak, dinamis dan
terus berkreasi. Selain itu, tradisi ini memunculan solusi alternatif yang beragam,
bukan homogen seperti sekarang—yang didominasi oleh tradisi pemikiran
Amerika Serikat dan Eropa kontinental. Di bawah ini, penulis hanya akan
merepresentasikan salah satu wacana unik, yang mempunyai potensi bagi SHI di
Indonesia untuk berkembang. Selain perkembangan studinya, perkembangan
tradisi pemikirnya pun akan lebih terbuka wawasannya, sehingga partikularisme
tradisi pemikiran HI Amerika Serikat dan Eropa Kontinental dapat dipatah.
Dengan kata lain, smallnarrative tradisi pemikiran HI yang selama ini ditindas,
dibungkam, dikubur, dihegemoni dan didominasi oleh tradisi pemikiran HI
Amerika Serikat dan Eropa Kontinental bisa disepadankan atau posisinya menjadi
egeliter dengan tradisi-tradisi pemikiran HI lainnnya—yang baru dimunculkan
setelah sekian lama hilang, beku.
160
IV
ALTERNATIF STUDI PASCAKOLONIALISME
DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
160
161
120
Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,
2006), bagian keempat.
162
121
Gading Sianipar dkk., “Mendefinisikan Pascakolonialisme?” dalam Hermenutika
Pascakolonial, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 8.
163
122
Lubis , op.cit., hlm. 204.
164
modern yang belum selesai.123 Istilah post ini juga menandakan sebuah serangan
kaum seniman terhadap seni-seni modern yang mengklaim sebagai karya avant-
garde (1920an)—khususnya Dada dan surealisme, juga konstruktivisme, dkk.
Namun Scott Lash tidak mempercayai pandangan sejarawan kritis Peter Bürger di
atas ini. Argumen Lash justru sepakat dengan pemahaman Walter Benjamin di
mana semua seni mempunyai aura, tetapi berbeda-beda. Wilayah modern dan
wilayah post-modern mempunyai aura yang berbeda, tetapi tetap mempunyai
aura. Jadi tidak berarti seni modern bersifat tanpa aura atau mempunyai nilai seni
yang kering. Dengan kata lain, seni modern tidak berarti tidak unik dan hampa,
sedangkan seni post-modern menampilkan sebaliknya, tetapi mereka keduanya
sama-sama unik saja.124 Post dalam konteks pemaparan di atas mempunyai
implikasi luas dan praktik diskursif yang berbeda-beda. Lubis memaparkan
beberapa karya: Frederic Jameson, Postmodernism, or the Cultural Logic of Late
Capitalism (1984) dan pemikiran Anthony Appiah serta Seyle Benhabib sebagai
ilustrasi lebih luas tentang pemahaman istilah post. Jameson mengilustrasikan
bahwa budaya [post-] modern mempunyai konsekwensi kemajuan sekaligus
kehancuran. Appiah mengilustrasikannya dengan kemunculan problem tentang
permasalahan etis, politis, etnis, kuasa, norma, moral dan budaya, khususnya
menaruh perhatiannya pada persoalan historiografi dan pemahaman diri dalam
politik reprsentasi125 kebudayaan dengan variasinya masing-masing spasial. Seyla
Benhabib mempermasalahkan konsep etis dengan studi pascakolonialisme, sebab
problem etis akan terjadi ketika etika kolonial berbenturan dengan etika koloni.
Pertanyaan retorik yang dilontarkan: bagaimana post dalam pascakolonialisme?
Menurut Lubis, istilah post dalam pascakolonialisme berpijak model
berpikir dualis Barat. Pola berpikir ini sudah ada sejak Plato, jaman Yunani Kuno,
jaman abad pertengahan—publik vs privat; masyarakat vs individu; sains vs
agama; rasional vs irasional; laki-laki vs perempuan, lalu Descartes di jaman
123
I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: tantangan bagi filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996),
hlm. 24. Bambang juga menjalaskan lebih luas tentang kemunculan teks postmodernisme di hlm
25.
124
Scott Lash, the Sociology of Postmodernism, terj (London: Rout1edge, 1990), hlm. 64.
125
Proses denaturalisasi atau dedoxatization dengan mengadopsi beberapa ide dari ahli semiotik
Barthes. Lihat Linda Hutcheon, The Politics of Postmodernism, terj (Yogyakarta: Jendela, 2004).
165
pencerahan melontarkan ide: res cogitans vs res extensa. Model ini dipahami juga
sebagai model berpikir oposisi biner.126 Konsep ini semakin berkembang di
wilayah studi pascakolonialisme dengan mempertentangkan dua istilah: oriental
vs occidental, Timur vs Barat, Subjek vs Objek, pengamat vs yang diamati,
peneliti vs yang diteliti, teori vs praktik dan self vs the other. Edward Said sebagai
salah satu pencetus studi pascakolonialisme melalui pembongkaran karya
ilmuwan Barat seperti Eliot, Conrad, Mann, Proust, Woolf, Lawrence dan Joyce
dengan bantuan pendekatan Foucault. Lubis membacakan pemahaman Said
tentang tradisi pemikiran opsisi biner Barat. Said tidak menyepakati tradisi
pemikiran ini. Bagi Said, tradisi pemikiran ini justru merendahkan tradisi
pemikiran Timur sebagai konstruksi sosial-budaya dari will to power Barat (baca:
Eropa). Mereka menganggap bebas nilai dan objektif, tetapi dibalik teks karya
yang sifatnya bebas nilai dan objektif justru bermuatan will to power terhadap
spasial Timur.127 Pendekatan Said dipahami oleh Lubis berpijak dari tradisi
pemikiran Foucault, Derrida dan Gramsci sebagai dasar dari studi
pascakolonialisme-nya. Sikap ilmuwan Barat bagi Said tidak lebih sebagai sebuah
kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur. Said membongkar karya-karya
orientalis dengan menunjukkan ruang bias, ruang kepentingan, kekuasaan yang
terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan oleh tradisi pemikiran Barat.
Kaum pascakolonialisme menolak anggapan, klaim, tradisi pemikiran Barat yang
merendahkan masyarakat dan tradisi pemikiran Timur sebagai sikap Barat yang
narsis, hegemonik, naïf dan imperialis.128
Pemahaman “post” dan “colonial” bagi Sianipar tidak jauh berbeda
dengan Lubis. Sebagai penegasan aja, dia memaparkan terlebih dahulu istilah
colonial yang berasal dari bahasa Latin: colonia = tertanian; pemukiman. Dengan
langsung dan tegas, dia menafsirkan etimologi tersebut sebagai penaklukan dan
penguasaan atas tanah (lemah) dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang.
Sebagai contoh, kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol ke wilayah Nusantara
ini megakibatkan benturan, perseturuan dan peperangan antara penduduk asli
126
Lubis, op.cit., hlm. 208.
127
Edward Said, Orientalism, terj (Bandung: Pustaka, 1996).
128
Lubis, op.cit., hlm. 210.
166
dengan para pedagang atau pendatang. Hal ini menciptakan hubungan imajinatif
psikologis seperti trauma, ketakutan, kegelisahan dalam ruang-ruang sejarah
manusia, khususnya penduduk asli dan penduduk baru datang. Sejarawan dari
Australia menjelaskan tentang imajinasi ketakutan, trauma kegelisahan orang-
orang Australia terhadap bangsa Cina.129 Sianipar menegaskan tentang kolonialis
Cina, yakni saat itu adalah bangsa besar yang mempunyai wilayah luas dahulu
melebihi kekaisaran Eropa. Kuasa ini diukur salah satunya dengan pembayaran
upeti kepada kaisar. Dia juga mencontohkan kolonialis seperti Romawi, kerajaan
Incha dan kekaisaran Mongol sebagai kaum kolonialis.130
Di atas adalah penjelasan tentang istilah “post” dan “colonial/ism.”
Dalam karya Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon, Cultural Studies: for
beginners (2001)131 menjelaskan tentang istilah pascakolonialisme sebagai sebuah
“studi” pascakolonialisme yang cukup berbeda, karena studi ini ternyata susah
untuk berdiri sendiri, tetapi selalu melekat dengan/bersama dengan studi budaya.
Dengan kata lain, sebagai suatu studi, tentunya studi ini mempunyai suatu wadah
tertentu yang terinstitusionalisasi, sehingga dalam aktivitasnya, studi ini bisa
diakui sebagai objek kajian ilmu dan mempunyai nilai ilmiah. Dengan menjadi
bagian dari studi budaya, maka studi pascakolonialisme menjadi suatu kajian yang
baru, unik dan menarik dalam memahami realitas dunia. Dengan kata lain, mereka
melihat bahwa studi pascakolonialisme merupakan bagian dari studi budaya
(cultural studies) yang mempunyai objek kajian tertentu dan mempunyai
wlayahnya yang unik—tidak dimiliki oleh studi lainnya. Dengan demikian
menurut mereka, sebelum memahami studi pascakolonialisme setidaknya kita
perlu mengetahui studi budaya.
129
David Reeve, Seminar and Book Launching dalam sesi “People to People Relations,” Different
Societies, Shared Futures: Australia, Indonesia and the Religion, hari selasa, 4 Juli 2006.
130
Sianipar, op.cit., hlm. 9.
131
Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon, Cultural Studies: for beginners, terj (Bandung: Mizan,
2001). Lihat juga Chris Barker, Cultural Studies: theory and practice, terj (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2004). Dalam karya Barker ini nampak terlihat jelas pendekatan studi budaya memayungi
semua tradisi budaya pemikiran modern dan klasifikasinya. Pada pengantarnya, Paul Willis
mnejelaskan karya ini cukup bagus, karena menjabarkan ruang lingkup teoritis, metodologis,
pendekatan, fakta empirik yang mudah kita untuk memilih. Signifikannya adalah memahami dan
mempelajari basis-basis supra-disipliner dan menyodorkan anarkhisme teoritis dan intelektual.
Karyanya ini mengubah status keistimewaan semua disiplin ilmu di era modern. Karya ini adalah
revolusi pengetahuan atas strategi intelektual dalam melihat realitas dunia.
167
wilayah oriental, yakni ruang yang didefinisikan oleh kaum orientalis Barat. Maka
dari itu, karya Edward Said, Orientalism (1978) selalu menjadi rujukan. Figur
Said sangat kuat dalam karya-karya pascakolonialisme.
Berkaitan dengan studi pascakolonialisme yang begitu signifikan, identitas
adalah hal yang sangat penting dalam membahas kajian wilayah ini. Menurut
Said, Identitas suatu entitas adalah bentuk dari ekspresi eksistensi manusia.
Identitas memberikan perwujudan keseluruhan jiwa manusia: secara budaya,
secara politis, secara kejiwaan, dan semua faktor yang mengisi kehidupan
manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Menyinggung tentang
pengertian identitas, gagasan Gramsci dalam karyanya, Prison Notebooks
memberikan pengaruh cukup besar bagi Said, sehingga pernyataannya dikutipnya
sebagai berikut:
Titik tolak dari kerja kritik adalah kesadaran tentang siapa diri seseorang itu
sebenarnya, dan “menyadari diri sendiri” sebagai satu hasil dari proses sejarah
sampai detik-detik yang terakhir, yang telah mengedepankan dalam diri anda
suatu ketidakterbatasan jejak, tanpa meninggalkan inventaris. Oleh karenanya,
adalah kewajiban kita untuk sedini mungkin menghimpun inventaris seperti
itu.132
132
Said, op.cit., hlm. 33.
170
identitasnya, dengan alasan apa pun!”133 Walaupun Said terbentuk oleh Barat,
tetapi identitas ke-Timur-annya tetap masih juga diperjuangkan, dan walaupun
Said seorang Kristen yang cenderung mempunyai pengaruh tradisi pemikiran
Barat, khususnya abad pertengahan dan ‘perkawinannya’ dengan tradisi pemikiran
pagan Yunani-Romawi, tetapi perjuangan gigih membela hakekat ke-Timur-annya
sungguh poin yang sangat penting bagi kita–yang mengklaim Timur.
Ketika karya kaum post-modernist dan post-structuralist Barat mengalami
kebuntuan: nihilisme, maka alternatif solusi dari suatu tatanan dunia-kehidupan
umat manusia yang baru akan dibelokkan ke spasial non-Barat sebagai tradisi
pemikiran sekaligus tatanan dunia yang telah terkubur lama. Studi
pascakolonialisme ini merupakan representasi politis bagi suara-suara unik
(diklaim sebagai ganjil oleh Barat) yang sudah tengah lama terkubur, tetapi
berusaha memunculkan otentisitas dirinya—ontological everyday life. Dalam
konteks ini, Sardar dan Loon berusaha memberikan pengantar pemikir studi
pascakolonialisme dalam rangka keluar dari konstruksi pengetahuan/kuasa
imperialisme atau istilahnya Lubis di atas sebagai: “kekerasan epistemologi
Barat.”
Pemikir kaum pascakolonialis mempunyai karateristik unik seperti karya-
karyanya yang sangat subversif dan provokatif. Beberapa pemikir pascakolonialis
seperti seorang pascakolonialis dari India, Gayatri Chakravorty Spivak mengkritik
kaum sejarawan hegemonik dengan mengambil studi kasus sejarah India. Spivak
mengatakan bahwa konstruksi masa lalu India dan kehidupan kekinian India
adalah proses kontinuitas (kelanjutan) dari homogenisasi Eropa, yakni bentuk
homogen sistem negara berdaulat yang terdiri dari entitas kepala negara dan
pemerintahan dengan nuansa Inggris. Tujuan Spivak tidak hanya mendekonstruksi
sejarah imperial Inggris, tetapi juga menghancurkan rasionalitas sejarah kritis itu
133
Dikutip dari tulisan Haryanto Cahyadi, Keterlemparan Manusia dalam Dunia Ambigu:
Menimbang Gagasan Edward Said dalam Horizon Filsafat Martin Heidegger, dalam Mudji
Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.), op.cit.,. Lihat juga karya Amin Maalouf, In the Name of
Identity, terj (Yogyakarta: Resist Book, 2004). Karya ini sangat menarik ketika muncul pertanyaan
mendasar tentang identitas Maalouf ketika dia pindah dari Libanon ke Perancis: Apakah saya
seorang “lebih Perancis” atau “lebih Libanon”? Inilah pertanyaan yang mengusik keotektisitas
Maalouf.
171
136
Sianipar, op.cit., hlm. 9-10.
173
mempunyai sifat “paling atau unggul atau tinggi.” Dalam Oxford English
Dictionary (OED), imperial adalah sesuatu yang merujuk pada kemaharajaan,
yakni pemimpin seperti raja atau kaisar yang berkuasa absolut dan mutlak atas
segala hal yang dibutuhkannya—despotisme, absolutisme, totalitarianisme. Oleh
Lenin dan Kautsky, dalam karyanya Imperialisme, The Highest Stage of
Capitalism (1947), pengertian istilah imperialisme dihubungkan dengan
kapitalisme. Imperialisme dipahami sebagai tahapan tertinggi dari kapitalisme,
ketika modal semakin berlimpah, sementara sumber alam dan tenaga dalam negeri
semakin terbatas, sehingga kaum kapitalis mencarinya ke luar wilayahnya—
mencari keuntungan dari luar negerinya (negeri koloni). Sementara itu, di dunia
modern, imperialisme tidak memerlukan penguasaan atas lain secara langsung,
tetapi justru lebih luas lagi cakupannya—dengan menciptakan system yang global
sehingga penetrasi mudah dilakukan dalam wadah system perekonomian,
pengendalian pasar dan tekanan politik Negara maju terhadap negera miskin,
misalnya imperialisme Amerika atas negara-negara di dunia alam bidang
ekonomi, politik dan militer meskipun tidak mempunyai kendali politis secara
langsung.137 Dalam istilahnya G. John Ikenberry, Amerika Serikat di era pasca
Perang dingin seperti sekarang ini disebut dengan neo-imperialisme.138
Banyak hal yang diperoleh dalam studi pascakolonialisme, terutama relasi
antara lokal-global. Di bawah ini, penulis berusaha memberikan relasi interteks
antara lokal-global. Tarik-menarik dari lokal-global ini mempunyai pemahaman
baru bagi studi hubungan internasional (SHI). SHI terwarnai berbagai macam
disiplin ilmu yang berwadah dalam transdisipliner, sehingga ortofdoksi hubungan
internasional (HI) dapat meleleh dari kebekuannya selama ini. Di bawah ini
penulis lebih memfokuskan pada kajian tentang eksistensi komunitas lokal di
Indonesia, khususnya saminisme yang selama ini terbungkam dan tersembunyi,
ketika dihadapkan dengan wacana Barat. Wacana saminisme dipahami oleh tradisi
137
Ibid., hlm 17.
138
G. John Ikenberry, “Ambisi Imperial Amerika Serikat,” dalam Amerika dan Dunia, (Jakarta:
YOI, 2005), hlm. 433-455. Lihat juga Lubis, op.cit., hlm. 213 tentang pemahaman imperialisme
yang terbagi menjadi banyak aspek seperti ekonomi, penduduk, gagasan atau ide, ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan aspek lainnya.
174
139
Wawancara penulis dengan Gus Dur tentang perlawanan bangsa Indonesia menghadapi
imperialisme (Abdurrahman Wahid) di Kantor PB NU Keramat Raya, Jakarta Pusat, pada hari
Senin, 5 Juli 2006, pukul 12.15-13.50 wib.
175
Indonesia melalui tradisi pemikiran intelektual dan praktisi kritis lain seperti Agus
Salim, Natsir, Hatta, H.O.S, Cokroaminoto, para anggota organisasi Boedi
Oetomo, dkk. Mereka semua mempunyai pemikiran kritis internasional, tetapi
cenderung lebih kuat dalam tradisi penuturan daripada tradisi penulisan teks.
Berpijak dari tradisi pemikiran intelektual Indonesia ini, penulis berusaha
memposisikan dirinya dengan jelas. Mereka adalah akar dari tradisi pemikiran
pascakolonialisme Indonesia yang belum digali lebih mendalam ke dalam level
teoritisasi atau gaya bahasa tulis berbentuk interteks atau karya-karya ilmiah.
Pemahaman pascakolonialisme yang sudah penulis jelaskan di atas
mengajak kita pada pemahaman ke level lokal Indonesia (sebagai pijakan) dan
sikap kita terhadap tradisi pemikiran Barat di tatanan internasional. Namun
tampaknya, metanarrative modernitas di Indonesia terus bergerak terus—dari
dulu, ketika masuknya bangsa Barat, kolonialisme Belanda dan Jepang sampai
dengan pasca kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangannya, wacana yang
berkembang sangat kuat di Indonesia justru bukan tradisi pemikiran intelektual
kritis Indonesia sendiri, tetapi dalam kerangka tradisi pemikiran Barat (Eropa dan
Amerika Serikat). Wacana ini terkait dengan program proyek modernitas:
meneruskan proyek negara berdaulat Westphalia beserta idealisme tentang
konsepsi tentang warganegara (citizenship) dan kapitalisasi sistem ekonomi di
pemerintahan Soeharto. Metanarrative modernitas mengalami tantang dari
rivalnya, tetapi hanya menciptakan kritik yang sifatnya nihilistik–mengkritik
melalui acuan-acuan normatif atau metafisika (epistemologi: rasio). Sedangkan
problem lain di Indonesia adalah persoalan politik kewarganegaraan yang bisa
saja lebih rumit dibandingkan dengan apa yang terjadi sebelumnya, yakni
diantaranya ketercerabutan masyarakat Indonesia dari akarnya. Perseteruan antara
yang lokal dan yang berasal dari luar (Barat) diceritakan oleh Hikmat Budiman
dalam artikelnya, “Minoritas, Mutikulturalisme, Modernitas.”140 Hikmat
mengandaikan Gerakan Aceh Merdeka bisa dianggap sebagai bentuk artikulasi
kepentingan warga yang diterjemahkan ke dalam praktik-praktik perlawanan
140
Hikmat Budiman, “Hak Minoritas, Mulikulturalisme, Modernitas,” dalam Hak Minoritas:
dilemma multikulturalisme di Indonesia, diedit oleh Hikmat Budiman, (Jakarta: Yayasan
Interseksi).
176
RT/RW. Selain aspek pemerintahan, aspek agama pun harus diakui dan didanai
Negara demi kepentingan nasional (national interest). Dia mengatakan bahwa
eksistensi di luar bingkai semua itu berarti warganegara hanya manusia liar,
ganjil, abnormal, anomali, irasional. Toh jika mereka dilindungi dan dijaga,
tindakan itu pun hanya merupakan karena kepentingan nasional Indonesia yang
berusaha menyerap investor dan turis-turis asing belaka. Padahal komunitas To
Wana, tidak jauh berbeda dengan umat manusia lainnya, yang mampu bertahan
hidup dalam dunia jaman sekarang. Nampaknya penuturan Hikmat berusaha
mensuarakan komunitas To Wana bahwa mereka tidak mempunyai hak untuk
hidup bereksistensi atau hadir di dunia ini, khususnya di Indonesia. Mereka
terkotakkan ke dalam dimensi kehidupan irasional, sehingga studi tentang mereka
pun tidak ada. Mereka nampaknya dianggap dan diklaim oleh wacana
metanarrative modernitas tidak memberikan sumbangsih apa-apa terhadap tatanan
politik internasional dan eksistensi negara berdaulat dewasa ini. Oleh sebab itu,
ekspresi metanarrative modernitas dalam wujud negara berdaulat Indonesia justru
berusaha mengubur komunitas To Wana yang sedang bertahan hidup di era
sekarang ini dengan cara-cara tertentu–seperti intervensi ke dalam komunitasnya
oleh institusi pemerintah. Komunitas Ta Wana sebenarnya sudah memiliki pola
pemukiman, agama dan pranata sosial lainnya, yang mendukung dunia kehidupan
mereka, tanpa bantuan negara berdaulat dan pengakuannya sebagai warganegara
Indonesia. Obsesi negara berdaulat Indonesia tidak lain adalah bentuk
imperialisme wacana terhadap warganegaranya sendiri untuk menyederhanakan
dan menghomogenisasi spasial bhineka tunggal ika dan pola-pola kultural
komunitas di dalamnya–ruang dan wilayah geopolitiknya.
Di bawah ini akan menunjukkan bahwa komunitas yang telah terbungkam
dan ganjil begitu kuat bertahan hidup di dunia ini. Tatanan politik internasional
telah mengalami transformasi ke bentuk komunitas politik post-Westphalia,
sehingga mereka mempunyai hak untuk menjalankan tradisi budaya dan identitas
politik mereka. Linklater telah memberikan jalan bagi studi ini untuk mengakui
tradisi wacana Indonesia yang otentik: wacana saminisme. Wacana samin ini
adalah salah satu dari wacana komunitas politik Indonesia seperti Sunda, Jawa, dll
178
141
Ibid., hlm. 17-18.
180
142
Makere Stewart-Harawira, The New Imperial Order: Indigenous Respon to Globalization,
(London&New York: Huia Publishers, 2005).
181
politik desa. Dalam hal arsitektur rumah, meskipun mulai bermunculan bangunan
baru dengan gaya arsitektur modern, tetapi sebagian besar rumah Sedulur Sikep
masih mempertahankan rumah model Jawa dan berlantai tanah. Sebagian besar
dari mereka masih mempercayai peruntukan ruang di dalam rumah model Jawa,
khususnya ruang besar di bagian depan yang diperuntukkan untuk ruang tamu dan
tempat penyimpanan hasil panen dan pupuk. Penghasilan mereka memang bekerja
sebagai petani. Di desa itu, seorang pedagang dan penjual toko kecil, bukan
termasuk komunitas Sedulur Sikep. Cara bertani mereka unik–berbeda dengan
pertanian pada umumnya. Menurut Hasan yang dikutip oleh Uzair, pendamping
Serikat Petani Pati (SPP) dari Institute for Rural Development, masyarakat Sikep
memiliki tradisi dan pola pertanian khas yang menyumbang pada kemandirian
mereka vis-à-vis pemerintah. Menurut Hasan, setidaknya ada dua hal yang khas:
pertama, tidak memperdulikan atau membutuhkan PPL (petugas penyuluhan
lapangan); kedua, mengutamakan varietas/bibit lokal yang tahan lama. Selain itu,
pola pembagian hasil panen yang khas, yakni dibagi empat berdasarkan
pertimbangan wineh (benih), sandang, pangan, wong. Buruh yang dimintai
bantuan dalam ma panen akan mendapatkan bagian seperempat, karena dia
termasuk pertimbangan yang keempat. Fenomena ini adalah teks ideal komunitas
yang ternyata sudah semakin terhempas hilang. Mereka memiliki lumbung padai
sendiri yang mereka sisihkan dari hasil panen untuk konsumsi sehari-hari, sehigga
relatif tidak bergantung pada orang/pihak lain dalam hal pangan. Dengan
demikian, jika dilihat dari luar, tidak terdapat perbedaan antara petani yang
modern dengan petani komunitas saminis. Walaupun metanarrative modernitas
yang terwakili dari Negara berdaulat berusaha intervensi pendidikan, perkawinan
dan agama, tetapi mereka tetap mempertahankan tradisinya. Menurut lapoan
penelitian dari Lembaga Penelitian Sosial Budaya Universitas Diponegoro
(Undip) yang dikutip oleh Uzair, komunitas tersebut tak satu pun di antara
warganya bersekolah formal, tetapi tidak sedikit warga Sikep yang memiliki
kemampuan baca tulis. Dalam hal perkawinan, tak satupun dari warga ini
mencatat perkawinannya dipertemen Agama/Catatan Sipil. Sementara dalam hal
agama, mereka sebelumnya beragama budha, tetapi kemudian mereka menganut
184
agama Ada sebagai agama mereka. Fenomena ini membuat khawatir pihak negara
berdaulat, karena mereka belum menjadi atau tidak bisa dimasukkan sebagai
warganengara dalam pandangannya (pemerintah).
Akar sejarah saminisme, khususnya di dusun Bombong-Bacem ternyata
menganut ajaran Saminisme pertama kali yang tersebar dari daerah Randublatung
(bagian Selatan kabupaten Blora) oleh Samin Surontiko, seorang petani kelas
menengah, pada pertengahan 1890an. Pada awalnya, imperialis Belanda tidak
begitu peduli dengan gerakan ini, karena tidak memberikan ancaman dan
persoalan yang serius bagi pemerintah kolonial. Namun ketika gerakan ini mulai
menyebar pesat dan berhasil menarik pengikut sebanyak 3000 orang pada tahun
1904, dan mereka bersama-sama menarik diri dari kontrol imperalis Belanda,
pemerintah kolonial ini mulaimeningkatkan tindakan kewaspadaan dan
pengawasan terhadap gerakan ini. Kemudian dalam perkembangannya, peristiwa
penangkapan Samin Surontika, lalu diasingkan ke Padang pada tahun 1907.
Menurut para peneliti yang dikutip oleh Uzair, komunitas Samin ini
muncul ajaran dan gerakannya dipicu oleh dua hal: Pertama, kebijakan
pemerintah kolonial Belanda yang menjadikan hutan sebagai perusahaan Negara
(houtwesterijen) membuat petani di sekitarnya tidak lagi memiliki akses untuk
memanfaatkan hutan yang selama ini menghidupi mereka. Kedua, Menurut Uzair,
pengenalan sistem perekonomian uang ke seluruh komunitas tanpa kecuali
memperparah kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan. Sistem perekonomian
uang, yang diawali oleh politik pintu terbuka dan politik etis mendorong imperalis
menerapkan pajak sebagai ganti dari istilah upeti. Faktor kedua ini masih
diperburuk oleh sisa-sisa tradisi tanam paksa tidak memberikan waktu luang bagi
petani untuk menggarap tananya sendiri, karena waktu telah dihabiskan menjadi
kuli kecang. Pajak yang begitu memberatkan dan pengambilan waktu dan tenaga
untuk pada priyayi yang diterapkan di seluruh wilayah, mendatangkan kesulitan
bagi pengetahuan petani dan penduduk lokal saat itu. Metanarrative imperialisme
mempersulit pemahaman birokrasi bagi penduduk lokal dan sistem ekonomi
imperialisme justru menghimpit masyarakat saat itu, sehingga terjadi banyak
185
143
Ibid., hlm. 88-91.
189
sama sekali dari sebelumnya. Menurut wong samin, internalisasi ini adalah tahap
“pemurnian” yang diajarkan Samin kepada murid-muridnya.
Pemahaman kuasa Jawa mengalami suatu transisi dari gusti yang tunggal
menjadi berserakan menyebar ke setiap individu mendominasi sebagain besar
ajaran Saminisme. Berkuasanya kembali individu atas dirinya sendiri ini sekaligus
menegaskan prinsip pada kemandirian dan kemampuan usaha sendiri. Dalam hal
ini, Uzair memahami larangan-larangan (adeg-adeg) yang hingga kini masih
dipegang teguh oleh komunitas samin di mana pun juga, seperti drengki, srei,
dahwen, panasten, dan kemeren (demen, becik, rukun, seger, dan waras). Prinsip
hidup ini merupakan pijakan dasar bagi mereka. Jika diringkas prinsip hidup ini
menjadi: “tidak menginginkan milik orang lain.” Ajaran amin secara konseptual
menempatkan objek keinginan di dalam diri sendiri. Di sini ketertarikan dan minat
tidak ditujukan pada relasi kekuasaan antara diri sendiri dengan orang lain,
melainkan dibatasi pada diri sendiri atau pada hal-hal yang sudah menjadi
miliknya, sehingga juga menjadi bagian dari dirinya sendiri, termasuk keluarga
batin. Pusat kekuasaan itu ada di dalam diri sendiri dan keluarganya. Di sini tidak
ada atau tidak menghadirkan konsep negara sebagai unit politik. Hal itu
ditegaskanoleh komunitas Sedulur Sikep di Blora: “negoro iku yo keluargane
dhewe” (negara itu ya keluarga sendiri). Hal ini apat dilihat ketika mereka
mendapatkan perbedaan perilaku, tata cara dan pandangan hidup seorang Sedulur
Sikep. Mereka hamper selalu mengatakan bahwa hal itu merupakan urusan
pribadinya sendiri. Mereka cenderung merelatifkan sebuah sebuah pendapatnya
sendiri. Salah satu pemuka Sedulur Sikep, menurut Uzair menegaskan bahwa pada
dasarnya kebenaran yang disebutnya sebagai pajek (pangeran sing jejek/aturan
yang benar) selalu ada di tiap-tiap individu, sehingga ia tidak perlu dicari, atau
bahkan diminta dari orang lain. Maka dari itu konsep perwakilan relatif seperti di
DPR kita tidak berlaku di komunitas Sedulur Sikep, karena bentuk itu adalah
penghapusan manusia seutuhnya atau penghapusan otonomi diri sebagai manusia.
Keputusan-keputusan bersama selalu dilakukan dengan menggelar rapat akbar
yang semua individu kepala keluarga Sikep hadir. Di setiap undangan apapun juga
mereka selalu mengatakan bahwa dirinya mewakili dirinya sendiri, bukan
190
Peta Wacana:
Metanarrative dan Smallnarrative
BAB V
KESIMPULAN
192
195
abad modern sekarang. Masa ini adalah timbulnya revolusi terhadap masa lalu,
sebagai petanda bagi kemunculan masa datang, yakni era humanisme Barat. Masa
kebangkitan dapat diartikan sebagai kemampuan Eropa dalam memperoleh
temuan-temuan di bidang kemanusiaan, alam, dan agama dengan mengandalkan
upaya rasionalitas (akal) dalam mengontrol alam. Pada masa ini yang memicu ke
ranah perkembangan ilmu pengetahuan modern Barat yang melebar ke ilmu
politik atas dasar pada penolakan terhadap kuasa agama, perlunya sekulerisme dan
pembangunan masyarakat sipil sekuler yang modern (civil society/ civil religion).
Pemikiran politik di era modern mengambil dua bentuk: realis (realpolitik) yang
diwakili oleh Machiavelli dan Utopis yang diwakili oleh Thomas More dan
Campanella—seorang liberalis.
Pada masa kebangkitan (modern) ini, ilmu pengetahuan menjadi aliran
utama (mainstream). Kehadiran ilmu pengetahuan memberikan bungkus teoritis
alternatif dan untuk menguasai realitas dengan teori-teori yang lebih akurat dari
pengetahuan lama yang secara empiris telah terbukti kesalahannya. Jadi
argumennya adalah hanya manusialah yang mempunyai kehendak (will) untuk
berteori bukan Gereja atau agama. Masa kebangkitan (modern) telah berhasil
menciptakan keterputusan antara masa lalu dengan masa sekarang; mengubah
masa lalu menjadi masa depan; melakukan kritis dan membebaskan diri dari
pengaruh pengetahuan lama yang selama itu menjadi sumber ilmu dan standar
perilaku; pembahasan tentang keabadian ruh menjadi pembahasan tentang
kareakteristik dan pembentukan raga (materialistik). Wacana baru modern ini
telah merubah (displace) secara radikal bangunan Gereja dengan bangunan baru
negara-bangsa yang bersandar dengan prinsip-prinsip ilmiah dan sistem
kapitalisme. Jadi dominasi rasionalitas dalam epistemologi antroposentrisme
adalah kesadaran pagan Eropa. Kesadaran pagan ini merupakan payung dari ilmu
pengetahuan (sains), dominasi rasionalitas dari mitos dan agama, dan seluruh
bentuk kebudayaan yang berkaitan dengan proyek modernitas. Hal ini sesuai
dengan penjelasan Der Derian tentang tradisi HI modern yang mempunyai lokus
“rational man.”
196
klasik dan tradisi pendekatan positivisme. Pemahaman Linklater dalam karya, The
Transformation of Political Community (1998) berusaha merekonstruk proyek
modernitas yang belum selesai ini. Linklater membuat penulis sadar bahwa
dengan adanya departemen hubungan internasional di Wales, konsep negara-
bangsa masih terus stagnan dan statis, tetapi terus mempertahankan dirinya dalam
dunia politik modern. Adanya konsep yang stagnan dan statis ini mengakibatkan
semuanya terpusat pada satu identitas, yakni identitas nasional yang dianggap
sangat krusial dalam dunia sosial yang berhubungan dengan warganegara di
dalam komunitas politik ideal. Linklater memaparkan bahwa sentimen
kosmopolitan telah mengawasi kecenderungan untuk membatasi anggota
komunitas moral sesama warganegara di dalam konsep identitas nasional. Dalam
konteks ini, ternyata anggota masyarakat negara modern mempunyai dua
identitas: sebagai warganegara dan sebagai manusia, dan beberapa telah
mengkonstruksi diri mereka sebagai warga dunia (sama halnya sebagai mana
warga negara), karena adanya daya tarik dari keberlangsungan keyakinan
kosmopolitan. Gagasan tentang warga dunia biasanya mengacu pada hasrat untuk
humanisme.
Namun tradisi dominan teori politik seringkali mengkritisi usaha untuk
memasukkan konsep warganegara ke dalam dukungan aspirasi-aspirasi ini.
Mereka berargumen bahwa warga negara yang ideal dari partisipasi yang aktif
dalam politik hanya bisa dipahami dalam aturan yang mengikat antar bangsa atas
dasar pandangan hidup secara umum. Beberapa cabang teori politik membela
klaim Hegel bahwa sesuatu tindakan bodoh, jika membelokkan konsepsi warga
dunia melawan konsepsi negara-bangsa—sejak hal itu tetap merupakan satu-
satunya model organisasi politik yang mampu mewujudkan warga negara yang
ideal. Linklater mengutip lagi pandangan Hegel bahwa kunci dari tranformasi
hubungan internasional ke arah komunitas politik adalah mewakili tradisi yang
menekankan pada harmonisasi ruang kewajiban universal dan partikular satu
dengan yang lain. Pandangan ini merupakan keberhasilan terbesar negara modern.
Moral universal mempengaruhi negara melalui partisipasinya dalam masyarakat
internasional yang pluralis.
198
dengan keloyalan politik yang berlipat dan tanpa harus patuh pada kuasa
kedaulatan pusat. Kondisi loyalitas yang terbagi dan otoritas yang berlibat akan
berkembangbiak untuk memunculan kembali sebuah proyek yang menyeluruh
(totalising project). Proyek ini adalah kerja teori internasional kritis yang
membela norma ideal dari bentuk komunitas politik yang disadari secara potensial
untuk mencapai level universalitas dan perbedaan, semacam romatisme jaman
Hellenisme yang mengedepankan totalitas rasio untuk menangani partikularisme
dalam mewujudkan etika universal atau istilahnya Hegel komunitas etis yang
total.
Dalam hal ini, gagasan Linklater dalam mengembangkan pandangan Kant
memaparkan bahwa warga negara terlibat untuk menikmati hak sipil, politik,
sosial dan budaya, dan mempunyai tugas untuk menggeser penghalang apapun
untuk menciptakan anggota komunitas politik yang sederajat. Sebuah masyarakat
yang mempunyai ikatan untuk mewujudkan gagasan tentang warga negara
diwajibkan atas dasar keyakinan ini untuk mengajak pihak luar (asing) dalam
dialog terbuka tentang sesuatu yang mereka hargai bersama dari kerusakan
kepentingan mereka sendiri. Proses ini memerlukan jalan untuk melampaui
dikotomi anatra warga negara dan pihak luar (asing) dengan menciptakan sistem
aturan gabungan. Aturan post-Wesphalia di Eropa saat ini adalah eksperimentasi
yang paling elaboratif dalam kerjasama yang dekat untuk diwujudkan. Dengan
modal moral-etis yang sudah diakumulasikan dalam proses menciptakan hak dan
kewajiban warga negara nasional, membantu sebuah sumber daya untuk
rekonfigurasi masyarakat internasional ke dalam upaya norma yang ideal ini.
Bagi Linklater, karyanya ini tidak begitu mementingkan sebuah bentuk
tulisan filsafat sejarah, dibandingkan motifnya untuk menegaskan tentang
signifikansi jaringan komunikasi universal untuk merefleksikan sebuah visi
komunitas dialogi. Tugas warga negara kosmopolitan adalah untuk membuang
gagasan tentang warga negara nasional ke luar dari ruang hubungan internasional.
Fungsinya adalah untuk mempromosikan pencapaian komunitas komunikasi
universal (engan aturan rasio) dengan menekankan bahwa aturan pluralitas,
solidaritas, dan post-Westphalia menghargai prinsip persamaan derajat. Poin
200
Dengan perkiraan paling rendah abad kuno dimulai dari masa Humerus atau
Thales, Bapak filsafat Yunani hingga munculnya al-Masih. Sementara abad
pertengahan dimulai dari munculnya al-Masih hingga masa pencerahan
(renasissance). Abad ini berbatasan dengan abad kuno pada masa Hellenic serta
berbatasan dengan abad modern pada masa revitalisasi (abad ke-14) masa
reformasi agama (abad ke-15), dan pencerahan (abad ke-16), sedangkan abad
modern dimulai abad ke-17 hingga abad ke-20. Periodisasi tersebut
mengindikasikan beberapa hal yang signifikan: pertama, menyeragamkan seluruh
peradaban yang berpusat pada Yunani Kuno, sehingga sekarang kaum HI modern
berusaha mentotalkan proyek modernitas yang belum selesai atas dasar rasio
Yunani. Dengan kata lain, proyek ini adalah kesempurnaan dari paganisme
Yunani Kuno. Kedua, mengingkari peran peradaban lama Cina, India, Persia, dan
Mesir Kuno.
Dengan bantuan post-structuralism dan post-modernism, penulis sudah
berusaha menjelaskan bahwa semua tradisi HI modern adalah bentuk dari suatu
wacana partikular Barat yang berpijak dari rasionalitas Yunani. Struktur tradisi
Barat yang dikembangkan sejak abad modern (pencerahan) oleh Eropa dan
diteruskan oleh Amerika Serikat tidak pernah terputus tali pemikirannya dari
tradisi Yunani. Ketika tradisi ini meluas ke seluruh dunia internasional, maka
semua tradisi pemikiran di muka bumi ini seperti India, Cina, Islam ditindas,
dimarginalisasikan, dibungkam, dikubur dan dipinggirkan. Abad ini adalah
holocaust tradisi pemikiran di dunia oleh rasio Barat yang berpijak dari era
Hellenisme Yunani. Seluruh dunia dianggap, diklaim mempunyai rasio universal,
moral-etis universal, sehingga bias diajak untuk menciptakan dialog terbuka,
bekerjasama dan menciptakan masyarakat kosmopolitan. Dengan mengambil
studi kasus European Union sebagai bahan percobaan, kaum HI modern berusaha
melebarkan regionalisme ini menjadi kosmopolitanisme. Hal ini adalah proses
seperti dahulu ketika negara-bangsa (1648) menyebar ke seluruh dunia.
Permasalahannya, dunia post-modern terdiri dari komunitas yang unik, plural dan
kondisinya adalah perayaan keberagaman. Sedangkan secara spesifik lagi, yang
mengklaim dunia ini adalah kondisi pascakolonialisme, mereka mengklaim bahwa
202
jaman ini adalah representasi dan perlawanan teks terhadap imperalisme atau neo-
imperalisme; jadi mereka tidak sekedar merayakan keberagaman saja. Dalam
konteks ini, dialog terbuka tidak perlu rasionalitas tunggal seperti pandangan
Linlater atau tradisi pemikir teori kritis, tetapi apa yang dikatakan oleh seorang
post-modernist, Der Derian, bagaimana setiap wacana teks dihadirkan, kemudian
dikomunikasikan satu dengan yang lainnya. Jadi terpatok pada tradisi pemikian
besar sebagai payung atau drive terlebih dahulu, tetapi pandangan seorang post-
modernist, Lyotard menyarankan untuk merepresentasikan atau menghadirkan
smallnarrative yang tengah tertindas, terbungkam, terlindas, termarginalisasi
untuk bersuara mewakili dirinya sendiri. Dalam kerangka Foucault, penulis sudah
mengetahui bahwa pengetahuan dalam studi hubungan internasional selama ini
adalah kekuasaan (rasio) tradisi pemikiran Barat dalam perjuangannya, war all
against all, atas kuasa tradisi pemikiran non-Barat. Karena dalam kerangka
Derrida studi hubungan internasional tidak mempunyai esensi atau hakikat
keilmuan, maka atas bantuan Foucault, studi ini menjelaskan bahwa hakikat studi
hubungan internasional adalah kuasa pemikiran Barat untuk mengontrol dan
menguasai dunia internasional, khususnya membungkam, memarginalisasikan,
menindas, dan mengubur pemikiran non-Barat. Analisis intertekstualitas ini
sifatnya inter-teks, sehingga jika kuasa ini dipahami secara empiris, kita akan
kecewa. Penulis hanya menekankan penelitian dalam media inter-teks, sehingga
teks yang terbungkam dapat saya suarakan. Dalam konteks ini, saya menyuarakan
teks saminisme. Pengambilan studi budaya dan pascakolonialisme dalam
menjelaskan teks saminsime dimaksudkan karena wacana ini hadir di Negara
Dunia Ketiga, Indonesia sebagai komunitas tertindas, terbungkam oleh
imperalisme yang datang seperti Belanda dan Jepang. Negara berdaulat Indonesia
sekarang ini bagi kaum saminis adalah bentuk neo-imperalisme, sehingga jika
kaum saminis tidak cerdas dalam menghadapinya, maka mereka akan dikubur dan
dibungkam juga. Salah satu senjata dari kaum saminis adalah teks permainan
bahasa atau metaphor, yakni menuturkan teks yang dipahami secara umum, tetapi
menyembunyikan teks yang sesungguhnya. Hal ini adalah strategi politik-budaya
kaum saminis agar penghayatan hidup yang hakikinya tetap murni dan suci—
203
DAFTAR PUSTAKA
Internet
http://www.twnside.org.sg/title/delhi-cn.htm. & suns@igc.org. , diakses pada
tanggal 7 Maret 2005, pukul 19.47 wib.
http://geologyandgeography.vassar.edu/projects/saed/Espar.htm, diakses paa
tanggal 9 Maret 2005, pukul 19.20 wib.
http://www.nativityepiscopalchurch.org/scene/summer2003/july03_files/page000
2.htm, diakses pada tanggal 9 Maret 2005, pukul 19.20 wib.