Anda di halaman 1dari 230

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
PROGRAM PASCA SARJANA

TESIS
TRADISI PEMIKIRAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
MODEREN DAN ALTERNATIF PASCAKOLONIALISME

Musa Maliki
6904080085

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGAIN


PERSYARAKATAN GUNA MEMPEROLEH GELAR
MASTER SAINS DALAM ILMU HUBUNGAN
INTERNASIONAL
SALEMBA
2006
Persembahan
untuk intelektual studi hubungan internasional
yang memperjuangkan kemanusiaan
Mereka adalah orang-orang yang bila kami beri kekuasaan yang teguh di
muka bumi, niscaya menegakan sholat dan membayar zakat dan menyuruh
(manusia) berbuat kebaikan serta mencegah kejahatan; dan bagi Allah sajalah
kembalinya segala urusan (Al-Hajj:41)

When I despair, I remember that all through history, the way of truth and
love has always won. There have been tyrants and murderers and for a
time, they can seem invisible, but in the end, they always fall.
Think of it!
(Mahatma Gandhi)

The art of knowledge:


Unity of man and knowledge
Knowledge exist in one’s hand
To bring peace to all mankind in praxis
(Musa Maliki)
i

Tesis ini adalah karya sendiri,


baik seluruh sumber yang dikutip
maupun yang dirujuk telah saya nyatakan benar

(Musa Maliki)
ii

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
PROGRAM PASCA SARJANA

LEMBAR PENGESAHAN TESIS

Nama : Musa Maliki


NPM : 6904080085
Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional
Judul : Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional Modern
dan Alternatif Pascakolonialisme

Tesis ini telah dipertahankan di hadapan Sidang Penguji Tesis Program


Pasca Sarjana Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, pada pukul 16.00-17.30 WIB,
hari selasa tanggal 27 Juni 2006 dan dinyatakan: LULUS.

Tim Penguji
Tanggal: ______ Ketua Sidang
Zainuddin Djafar, Ph.D (___________)
Tanggal: ______ Sekretaris Sidang
Drs. Fredy B. L. Tobing, M.Si (___________)
Tanggal: ______ Pembimbing
Dra. Suzie Sudarman, MA (___________)
Tanggal: ______ Penguji Ahli
Kusnanto Anggoro, Ph.D (___________)
iii

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
PROGRAM PASCA SARJANA

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS

Nama: Musa Maliki


NPM: 6904080085
Judul: Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional Modern dan
Alternatif Pascakolonialisme

Dosen Pembimbing

(Dra. Suzie Sudarman, MA)


iv

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
PROGRAM PASCA SARJANA

Musa Maliki
6904080085

Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional Modern dan Alternatif


Pascakolonialisme
xix halaman + 208 halaman + 88 buku + 4 Jurnal + 3 sumber internet

ABSTRAK
Tesis ini berusaha menjelaskan tentang tradisi pemikiran hubungan
internasional (HI) modern (teori modern di HI) dan alternatif pascakolonialisme.
Tradisi pemikiran HI modern ini berisi tentang struktur pemikiran Barat yang
dirajut oleh jaringan footnote ilmuwan, filsuf, praktisi HI dari tradisi pemikiran
idealisme, realisme, saintisme/strukturalisme/rasionalisme dan beberapa tradisi
kritis yang mereformulasi atau merekonstruksi tradisi HI modern agar lebih
sempurna lagi. Sedangkan alternatif pascakolonialisme adalah studi baru yang
berusaha dicangkokkan ke dalam HI sebagai pilihan inspiratif akar tradisi
pemikiran Hubungan Internasional Indonesianis.
Pernyataan tesis ini berbunyi: Tradisi pemikiran HI modern
merupakan bentuk kolonialisasi (baca: penguasaan) wacana Barat terhadap
ontologi realitas epistemologi/metodologi dan aksiologi non-Barat, sehingga
studi hubungan internasional perlu merepresentasikan small narrative
(narasi kecil): wacana indigenous people atau komunitas lokal untuk
merayakan keberagaman wacana di dunia internasional. Atas dasar ini, maka
rangkaian argumentasinya sebagai berikut: pertama, wacana tradisi pemikiran HI
modern hanya sebuah will to power/knowledge: bentuk kuasa/pengetahuan
wilayah spasial Barat dalam menguasai realitas politik internasional atau politik
v

dunia. Kedua, jika dilacak genealogi dan formasi diskursifnya, klaim-klaim


metanarrative seperti universalisme, kebenaran tunggal, kemutlakan tradisi
pemikiran rasionalisme dan metodologi/epistemologi yang integral-tunggal
merupakan partikularisme tradisi pemikiran Barat. Sifat partikularisme ini bisa
dilacak melalui konsistensi tradisi pemikiran mereka dalam menegakkan tradisi
pagan Yunani Kuno, khususnya tradisi pemikiran Hellenisme. Ketiga, jika
memang tradisi pemikiran HI modern itu partikular, maka klaim-klaim
metanarrative pun secara logis menjadi smallnarrative, sehingga wacana
smallnarrative lainnya dalam bentuk wacana komunitas lokal bisa disuarakan dan
direpresentasikan.
Dalam konteks di atas, alternatif studi pascakolonialisme bisa mencairkan
kebuntuan ini dengan memperlihatkan fenomena terbungkam dan terkuburnya
tradisi pemikiran tertentu: wacana saminisme adalah salah satu dari sekian banyak
formasi diskursif unik yang semakin tertindas, terpinggirkan, termarginalisasikan,
bahkan sampai terbungkam dan terkubur, sehingga tesis ini berusaha
menyuarakan dan merepresentasikan suara-suara bungkam itu. Representasi ini
bisa menjadi titik tolak tradisi pemikiran HI Indonesia untuk berkembang menuju
ke akar tradisinya sendiri sebagai titik tolaknya. Tesis ditulis dengan berkomitmen
penuh terhadap egalitarianisme dan keberagaman wacana, keadilan sosial bagi
umat manusia (human race), kemanusiaan yang beradab, dan kepercayaan atas
wacana tradisi pemikiran (filosofis) yang bersuara atas nama eksistensi dan
representasi diri sebagai wahana wacana dan nilai-nilai indigenous world atau
local community world. Hal ini adalah keharusan bagi kesadaran seluruh bagian
dari keutuhan manusia di dunia yang bertumpu pada diri manusianya sendiri
untuk bertanggung jawab melindung dan mengangkat derajat dan harga diri
mentalitas, budaya, pengetahuan, perbedaan ekologis dan biologis bangsa setiap
bangsa, khususnya bangsa kita (Indonesia) yang beragam—Bhinneka Tunggal
Ika, sebagai bagian dari kontingensi tatanan dunia internasional untuk
keberlangsungan hidup kita dan anak cucu kita.
vi

KATA PENGANTAR

Sebuah pengantar, ‘tuk haturkan secercah cahaya, menebarkan fragmentasi


jiwa menuju pencarian jati diri, kesadaran akan “Aku” dan kepercayaan diri atas
kemampuannya yang terbatas. Sebelum pengantar ini Penulis tuturkan, tampaknya
kepalaku terus terngiang-ngiang suara burung yang berujar: Akankah dunia ini
akan berubah dan mengkristal oleh narasi tertentu? Dunia yang seharusnya,
ataukah dunia yang apa adanya? Ketika spirit roh ini melayang, badanku tetap tak
beranjak dari sentuhanku dengan tanah kusam. Penulis berujar: Apakah sang Aku
seperti zombi yang sedang menuju ke ruang berkeentahan…jiwa ini meronta
dicabik mimpi. Ruang bergema:
Ada dan tiada, tetap [A]da
Setetes embun saja tetap menyejukan jiwa
Yach! Setetes saja sudah cukup, dinda
Benih kerinduan, benak bumi bangkit tuk capai hangat mentari pagi
Kehidupan
Semua iri, aku merasa matahari meraihku, memeluk dan, wah...sangat hangat
Mampukah aku seperti Kau...Matahari!

Studi hubungan internasional merupakan panggung sandiwara para


pengais fiksi politik dunia. Di dalamnya terjadi timbul-tenggelamnya anarkisme
wacana: penaklukan, keperangahan, keangkuhan atas nama keamanan,
kemakmuran, perdamaian, cinta dan kepentingan bersama. Proses ini mengkristal
menjadi turbulence anarchism dan brutalism di panggung sandiwara parodi yang
semakin absurd. Irama musik para politisi dunia sesungguhnya suatu kebangkitan
hasrat, gairah cinta akan diri mereka. Ada suatu ironi: aroma serbuk kasturi
(karya, sains, ilmu pengetahuan & teknologi) menguatkan, memudahkan hidup
umat manusia, sebuah kondisi pun tercipta, yakni melemahnya, meluruhnya,
naluri dan sensitivitas kemanusiaan mereka, eksistensi dan penghayatan hidup
mereka. Dengan kata lain, selain ada malaikat yang menjaga kesucian
kemanusiaan, ada saja zombi dan setan (démon) berjingkrak di kancah
perpolitikan dunia serta kawanan iblis, belis merenggut roh kemanusiaan sang
Aku. Mereka menutup pintu nur Ilahi untuk tetap beku dalam dingin-sepi. Segala
proses kemanusiaan bersanding dengan anti-kemanusiaan yang terus-menerus
vii

menaklukkan. Terus dan terus tanpa hentinya—berguling, mengeliat, memercikan


kilatan kekuasaan atas nama kebenaran—padahal ini adalah suatu kuasa—will to
power/knowledge. Pada saat ini, aku memuntahkan semua kegelisahanku.
Kegelisahanku atas Hubungan Internasional:
Mbok yao…Hubungan Internasional itu yo ra bebas nilai. Lah wong apa yang
kita tonton dudu sandiwara biasa kok! Apa yang kita komentari tidak terjadi di
luar diri kita kok! We are in Guys!

Alhamdulillah Penulis ucapakan kepada Allah SWT karena karya ini telah
selesai dikerjakan atas Ridho-Nya. Karya ini terinspirasi oleh banyak hal di
sekeliling Penulis, terutama problematika tentang istilah Bhinneka Tunggal Ika
dan identitas bangsa Indonesia. Sebuah nama “Indonesia,” mengapa harus
diucapkan oleh Bangsa Belanda, bukan dari bangsa lain atau bangsa ini sendiri?
Mengapa bangsa ini susah memunculkan akar tradisi pemikiran yang cukup kuat
atau berinteraksi dengan tradisi pemikiran lainnya, padahal kita juga mempunyai
tradisi pemikiran seperti yang lainnya juga? Dan pertanyaan yang sangat
mengganggu saya adalah, apakah Indonesia benar-benar “[A]da”? huruf “A”
besar ini mempertanyakan tentang eksistensi (baca: identitas) bangsa Indonesia
sendiri secara lebih mendalam dan reflektif.
Tradisi pemikiran HI selama ini didominasi oleh kaum realis, idealis dan
beberapa lagi Marxis dan saintis—dominasi tradisi pemikiran saintifik Amerika
Serikat menguat pada abad ke-20/21 ini. Tradisi pemikiran HI ini tampaknya
memperoleh konsensus yang cukup valid dan terpercaya. Mereka juga tengah
memberikan sumbangsih yang begitu besar bagi keberlangsungan dunia
internasional. Namun pada abad yang sama juga hingga rencana dan bayangan
tentang masa depan, ilmuwan, filsuf dan beberapa intelektual mengalami
kegelisahan atas degradasi moral, norma, kekeringan, kehampaan dan kehilangan
makna kehidupan: nihilisme. Fenomena semacam ini adalah krisis ilmu
pengetahuan, khususnya sebuah konsekuensi logis atas dominasi saintifik di
wilayah Eropa dan beberapa wilayah Barat lainnya. Oleh sebab itu, muncul tokoh
fenomenologi, Edmund Husserl yang menyarankan suatu wajah baru dalam tradisi
pengetahuan, khususnya tentang kesadaran atas objek pengetahuan yang
viii

sebenarnya tidak ada pemisahan antara subjek pengetahuan dan objek


pengetahuan. Pandangan Husserl dielaborasikan dengan filsuf eksistensialis
Jerman, Nietzsche dan filsuf analitik bahasa, Wittgenstein tentang penekanan atas
permainan bahasa (language games) dalam karyanya yang mutakhir,
Philosophycal investigations. Tiga serangkai ini memberikan wajah baru bagi
wilayah epistemologi pengetahuan Barat agar krisis ilmu pengetahuan bisa diatasi,
istilah Weber: kecantikan dunia bisa dihadirkan kembali (re-enhancement of the
world).
Berpijak dari tiga serangkai di atas, muncul tradisi pemikiran kritis di
Amerika Serikat, Jerman, Perancis dan Inggris serta beberapa wilayah lainnya
seperti India. Tradisi pemikiran kritis adalah respon positif (afirmatif) bagi
dinamika pengetahuan dan khususnya krisis pengetahuan akibat semakin rakusnya
para kapitalis dan menindasnya sistem klasik negara-bangsa atas dasar negara
berdaulat, yakni sebuah proses ideologisasi ilmu pengetahuan sebagai mana kritik
ideologi generasi Frankfurt I dan II. Ideologisasi ini menciptakan ilmu
pengetahuan pro status quo, baik pro sistem kapitalisme (neo-liberal) maupun pro
sistem Westphalia, negara-bangsa (neo-realist). Dalam konteks ini, padahal
ilmuwan seperti Peter Drucker, David Korten, David Held, Andrew Linklater, dan
kawan-kawan mengklaim bahwa perkembangan dunia internasional justru
mengarah pada the decline of nation-state or sovereignty dan the appeared of
postmodern epoch, artinya konsep negara-bangsa dan konsep dunia kapitalis
semakin ditinggalkan menuju transformasi yang lebih unik lagi. Dengan
demikian, peran tradisi pemikiran kritis di wilayah Barat pun terus
mengakumulasi pengetahuannya agar terjadi auto-critic. Proses ini adalah
rekonstruksi diri atau pembaharuan diri, sehingga terdapat suatu kemungkinan
bahwa sistem kapitalistik dan negara-bangsa pun akan terus bertahan, hingga
sikap dan daya kritis itu hilang.
Namun demikian, respon tradisi pemikiran kritis di atas hanya
berkembang di Barat, lalu diusung dan dibawa ke Timur seperti Indonesia,
sehingga negara ini tetap menjadi konsumen atau ‘pemamah biak’ pengetahuan
Barat, tanpa mengunyahnya, merefleksikannya, atau tepatnya mengolahnya, tanpa
ix

menelannya mentah-mentah. Proses kontemplasi semacam ini sangat penting agar


kita tidak selalu didikte atau dikontrol hardware dan software oleh Barat.
Indonesia dalam konteks ini mempunyai hak untuk bersuara, bangkit dari kubur
dan merepresentasikan dirinya sendiri sebagai pemilik tradisi pemikiran yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika. Kita sebagai bangsa ini kaya akan wacana tradisi
pemikiran, sehingga bagi kita, tradisi pemikiran HI yang selama ini kita pelajari
pun kita bisa diklaim sebagai tradisi pemikiran partikular Barat saja—tidak
universal, objektif dan tunggal. Jika hal tersebut digunakan sebagai alat baca
wilayah ini, atau pijakan kita untuk mengartikulasikan politik luar negerinya, atau
alat baca terhadap politik internasional, kita tidak perlu menggunakan kacamata
Barat atau mengambil alat teoritik Barat, tetapi kita bisa mengembangkan tradisi
pemikiran kita sendiri dan kita gunakan dalam membaca fenomena politik
internasional dan politik luar negeri serta praktik-praktik diplomasi Indonesia,
khususnya yang dimiliki oleh tiap suku, etnis, agama, adat yang kita miliki.
Dengan demikian, dialog antar tradisi pemikiran pun bisa terjadi. Implikasinya,
misalnya hukum internasional dimungkinkan berisi nilai-nilai ke-Indonesia-an,
Ke-India-an, Ke-Cina-an, dan lain-lain.
Tesis ini adalah rangkaian footnote yang tersusun untuk menopang dan
menyangga argumennya, sekaligus mengaktualisasikan sebuah pandangan tentang
egalitarianisme dan keberagaman wacana tradisi pemikiran HI atas dasar akar
tradisi pemikiran wilayahnya masing-masing, khususnya menyuarakan suara
terbungkamnya Indonesia. [K]ebenaran di sini adalah kebenaran-kebenaran saja,
atau subjektivitas bagi beberapa gelintir orang yang mendialogkan wacana tradisi
pemikirannya, bukan mendialogkan problematika politik internasional atau
peristiwa internasional atas dasar aturan main universal dan metodologi tunggal
serta kebenaran absolut. Jika proses ini terjadi, maka dinamika semacam ini tidak
lebih dari sebuah holocaust wacana tradisi pemikiran saja. Semoga karya ini bisa
berguna dan menjadi pemacu bagi semua pembaca dan Penulis pribadi untuk terus
berkontemplasi HI (doing IR/praxis IR) secara mendalam agar stagnasi dan
arogansi para ilmuwan HI dan wacana tradisi pemikirannya tidak terjadi atau
x

dapat dihindari. Hal ini mencegah ortodoksi HI sebagai dogma atau dokrin HI—
dokrin realisme, idealisme, dan lain-lain.
Tesis ini jangan dikira sebagai penyelesaian dari permainan teater wacana
penaklukan kajian Hubungan Internasional di pentas drama politik dunia. Jangan
dikonsepsikan juga bahwa sang Aku tengah memberikan permainan baru dalam
pertunjukan studi hubungan internasional. Penulis hanya berusaha melakukan
kontemplasi atas sang Aku tentang keilmuan studi hubungan internasional.
Torehan terakhirku hanya berusaha berkata: sebaiknya Anda tidak melihat karya
ini sebagai karya yang ‘ilmiah’ (baku). Studi sosial dan politik ini merupakan
kajian pre-ilmiah (becoming scientisation). Jadi maaf kalau Penulis tidak
menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD) dengan baik. Bahasa yang
digunakan juga cenderung subversif dan provokatif.

Juni 2006
Penulis
xi

UCAPAN TERIMA KASIH

Tesis ini jangan dipahami sebagai penyelesaian dari semua tradisi


pemikiran Hubungan Internasional. Jangan dikonsepsikan juga bahwa Penulis
memberikan solusi absolut bagi problem studi hubungan internasional. Penulis
selalu menekankan pada kerja kontemplasi atas keilmuan Hubungan Internasional.
Kontemplasi ini adalah petualangan jaring-jaring footnote intertekstualitas
Hubungan Internasional.
Pada kesempatan ini Penulisan ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan Penulis pencerahan
dan penyelesaian tugas skripsi ini. Tetapi Penulis tekankan bahwa ini merupakan
awal dari pencerahan. Ucapan terima kasih Penulis kepada:
Allah SWT yang telah memudahkan jalanku dalam pekerjaaan berat ini
dan memberikan keberanian untuk berteriak di padang pasir penuh kesunyian,
tapa ing rame. Nabi Muhammad SAW junjunganku, panutan utamaku dalam
menempuh penghayatan hidupku, mengajari semua hal dalam mengarungi hidup
serta memberikan keberanianku untuk menyeru suara: amar ma’ruf nahi munkar
sebagai kebiasaan adzanku di Jogja. Ku terus mengingat Beliau ketika berusaha
bersuara kepada bangsa Jahiliyah, kaum Arab melemparinya dengan batu, kotoran
binatang, dan lain-lain, hingga Beliau bercucuran darah dan melarikan diri ke
sebuah wilayah untuk beristirahat. Aku juga selalu mengingat peperangan Beliau
yang selalu berada di garis depan. Ini sangat berbeda dengan strategi Sun Tzu
yang tanpa maju perang memperoleh kemenangan dan stategi bangsa Romawi
yang pemimpinnya selalu mengomandani dari belakang. Muhammad tidak jauh
berbeda dengan Kenshin Himura yang menokohkan animasi Samurai X. Kenshin
selalu mengajak berdialog terlebih dahulu lawan-lawannya untuk sadarkan diri
dan berkontemplasi bersama sang Aku.
Ketua Jurusan sekaligus Ketua Sidang Tesis, Zainuddin Djafar, Ph.D yang
telah memberikan kemudahan administrasi dan birokratis dalam penulisan karya
ini. Beliau juga memberikan arahan, petunjuk, dan wawasan yang menyejukkan
Penulis dalam penulisan tesis ini di sela waktu Beliau, seperti ketika bertemu di
xii

Jurusan Pasca Sarjana Salemba dan di Jurusan Depok serta pada saat ujian tesis.
Penulis berterima kasih pada Sekretaris Jurusan Pasca Sarjana sekaligus Sekretaris
ujian tesis, Fredy B.L. Tobing yang telah berbaik hati meluangkan waktu di
tengah kesibukannya dan kebaikan hatinya untuk menyapaku, memberi tawaran
tumpangan gratis mobil Jazz birunya dari CSIS ke Depok, tetapi sayang...Penulis
membawa motor. Beliau juga memberikan perbaikan yang luar biasa dalam hal-
hal teknis penulisan tesisku di sela-sela kesibukannya sebagai PD I di UPN.
Dra. Suzie Sudarman, MA yang selalu membimbingku layaknya ibuku.
Penulis ucapkan terima kasih kepada Beliau yang tengah memberikan dukungan
moral, etis, mental, fisik dan fasilitas apapun juga. Membuka peluang baik
kesempatan untuk berimajinasi secara liberal dan mengikuti berbagai macam
aktivitasnya seperti seminar dan beberapa undangan lainnya. Beliau juga selalu
meluangkan waktu-tempatnya untuk berbagi kegelisahan tentang bangsa, dunia
dan penghayatan hidup ini. Ketika sidang tesis, Beliau memberikan sintesis luar
biasa atas kebuntuan Penulis dengan penguji, lalu memberikan percikan diskusi
reflektif tentang posisi ilmuwan dan praktisi hubungan internasional. Konteks ini
mengingatkan Penulis pada istilah edifying philosophy, yakni suatu pencerahan
dalam meneruskan suatu percakapan dalam diskusi, timpal-menimpali yang
progresif.
Kemudian ucapku kepada Mas Kusnanto Anggoro, Ph.D sebagai penguji
tesis yang selalu memberikan kesejukan nuansa, di sisi lainnya sebuah kondisi
bimbangku ‘tuk terus ingatkan Beliau dalam menyiapkan ujian tesisku, dan Beliau
pun mengirim pesan singkat: Ok. Tidurlah, c u bsk sore [26 Juni 06; 22:28:53].
Sungguh menyejukkan…Penulis juga selalu mengingat ucap Beliau ketika sidang
tesis: “Musa, apakah tesis kamu hanya ‘masturbasi’?” Gambaran Penulis tentang
situasi sidang tesis yang sebelumnya seram, nampaknya justru menggembirakan
dan lucu. Mas Kus sempat menghiburku dengan menyanyi tembang Macapat
beberapa bait, mendongengkan cerita Hubungan Internasional versi Jawa
(Mataram Kuno), memberikan kearifan hidup Jawa tentang konsep ngelmu,
mandala (wibawa), bekel, dan lain-lain. Nampaknya Beliau berhasil
menerbangkan imajiku ‘tuk mengarungi intelektualisasi keterpukauan atas tradisi
xiii

pemikiran bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Nampaknya kegelisahan


kita berdua sama atas tradisi keilmuan di Indonesia, di sisi lainnya, realitas
menekankan kita untuk survive dalam hidup, sehingga aktivitas survival ini sudah
menguras energi otak kita terlebih dahulu. Kita juga sama-sama gelisah pada
beberapa ilmuwan yang masih seperti katak dalam tempurung. Selain itu, kita juga
gelisah terhadap ilmuwan di luar Indonesia ternyata sudah jauh mengais-ngais
teori ke bulan sedangkan kita masih berjalan di lingkaran hermenutika. Kita
sungguh tertinggal jauh, dan oleh karenanya, kita akan mudah dan terus semakin
dibodohi, jika tidak mengejarnya ke bulan. Dalam konteks ini, penulis tidak mau
terjebak dengan alur modernitas yang progresif, tetapi hal ini hanyalah metafor
saja yang menekankan pada pemikiran bahwa setiap titik budaya mempunyai
pijakan kemajuannya sendiri. Mereka maju, mengapa kita tidak maju dengan tetap
berpijak dari kaki kita sendiri? Terima kasih kepada Mas Andi Widjajanto, MS.,
M.Sc yang sudah lama Penulis ‘rampok’ buku-bukunya. Belum ada satu pun
dosen yang sebaik Beliau meminjamkan bukunya sekepenake dewe’ semau
Penulis pinjam dan memberikan saran serta sumbangsih ide tentang tradisi
pemikiran Eropa Kontinental.
Kepada Ketua Departemen, Mas Hariyadi yang selalu menyapaku,
memberikan senyumnya, ngobrol denganku, gratisan Mas atas makan siang
sekenyangnya, koreksi terhadap pengetahuanku atas Gandhi, dan keberaniannya
tuk menantangku jadi vegetarian ;) Kepada Ketua Jurusan S1, Mba Nurul yang
memberi lontaran-lontaran ide dalam pembuatan tesisku ini. Dosen Hubungan
Internasional lainnya seperti Mas Syamsul yang terus memberikan ruang-ruang
spiritual beserta kru Cires-nya, makasih ya atas ruang yang kalian sediakan
untukku. Mba Inung yang terus memberikan senyum, ketika Penulis memasuki
ruangan jurusan Depok dan perhatian kepadaku. Mba Mita yang terus menegur
kemanjaanku, sehingga proses Mündigkeit (pendewasaan) terus bergulir serta
beberapa dosen yang tidak mempengaruhiku secara langsung. Para pegawai HI,
UI seperti Bang Udin, Mba Yuli, Mba Unun, Pak Budi, dan kawan-kawan yang
bergerak teratur sesuai dengan sistem-sistem tradisi HI UI, tanpanya tentu Penulis
lebih bersusah payah mengurus administrasi dan birokrasi. Pegawai Pusat Kajian
xiv

Wilayah Amerika yang berkenan memfasilitasi Penulis dengan Mba Suzie seperti
Mba Diana, Mba Farah, dan kawan-kawan.
Kawan satu angkatanku: Wendhi, Raka yang keduanya mendampingiku
ketika ujian tesis. Rizki! Thanks ya for all of your kindness, khususnya all about
my computer’s problem, terus berjuang ya! Ali yang membantu pindahan kosku,
sehingga Penulis bisa menyelesaikan tesis dengan tempat yang sejuk sedang.
Aryani yang selalu memberikan senyum dan dukungan SMS ketika ujian. Dodi
yang memberikan literatur ‘buku babon’ E.H. Carr jauh-jauh dari Bandung.
Penulis merasa sangat berterima kasih atas bantuannya, dan kawan lainnya yang
membantuku secara tak langsung. Maaf ya, nama kalian tak kusebut, mohon
dimaklumi keterbatasanku ini yah. Untuk kawan S2 HI, UI baik kakak kelas
seperti Iwan, dan kawan-kawan, thanks guys. Adik-adik kelasku yang Penulis
sangat hargai atas penghargaan dan kepercayaan mereka untuk kesempatan
berbagi pengetahuan kepada mereka tentang tradisi pemikiran HI dan mohon
dimaafkan, karena Penulis kurang maksimal.
Kawan S1 HI, UI angkatan 97, makasih Yuni atas semua curhatku yang
kau emban, memang Penulis ngebosenin, sebab curhatannya itu-itu saja. Kepada
Jule, yang membantuku awal kuliah di S2 HI UI, Itok yang mengisi ruang-ruang
diskusiku atas konstelasi dunia politik HI UI. Kawan S1 angkatan 98, yang
menemani diriku ketika bosan di kos, makasih ya Brili. Kamu seringkali
memberikan bantuan materiil dan meluangkan nuansa-nuansa keberadaanku.
Kepercayaanmu terhadapku sungguh suatu yang sangat berharga, sehingga
memberikan pijakku untuk berani mengais-ngais teori HI dan terus berani ‘tuk
hadapi hidup. Laila yang mengantarkan Penulis ke HI UI, mengenalkannya
kepada Mba Riris dan Mas Andi. Bagiku ini sangat berarti dalam perjalanan
hidupku ‘tuk menuju masa depan yang lebih lebar, luas dan lapang di Jakarta yang
absurd ini. Laila yang terus membuatku berkontemplasi dan berpikir akan diriku
yang lemah, terbatas, mudah dibodohi, dan banyak kekurangan, terima kasih ya
atas ritma pengarungan perasaan hatiku sendiri. Ardian yang sudah
mempercayaiku ‘tuk tempati kamar kosnya, mendengarkan curhatan perasaanku
yang tidak stabil dan temani kerinduanku atas seseorang. Akbar yang memacu
xv

diriku ‘tuk mengikuti jejakmu: You are the best of the best in International
Relations, sukses ya di Eropa. Kawan ‘98 lainnya yang Penulis tak bisa sebutkan
satu per satu. Kawan angkatan ‘99, Christian yang selalu menjadi kawan sinis,
curhat, debat, makan mie di Warung si Akang. Terima kasih juga akan semua
ramalanmu. Ternyata ada benarnya juga ya... kawan ‘99 lainnya yang Penulis
luput sasarannya, thanks ya.
Kawan angkatan ‘00, Irene, Jepri, Sayed, Ali, Rika, Dina, Meta, Vivi,
Ayu, Gd, Kikie, dan kawan-kawan yang menemaniku bermain ke karoke,
bercanda di kantin dan tempat nongkrong lainnya, sungguh bersama kalian
menjadikan dunia lebih berwarna-warni. Untuk sobatku Rinta yang memberikan
seperempat hidupnya bersamaku; bercerita tentang semua hal; melayani
bantahanku; berdebat bersamaku, sungguh kamu begitu tangguh ‘tuk Penulis
hadapi sebagai suatu penyangga sistem bipolar kehidupan; menyinariku dengan
kehangatannya; mengecek tesis terus menerus dengan telaten, sabar,
menggerakkan diriku ‘tuk terus menerus bergerak (obah) dalam hidup. Rinta yang
dalam bersahabat denganku justru meneguhkan hidupku, yang selama ini menuju
ketiadaan menjadi Ada—eksistensi mendahului esensi. Dalam persahabatan kita,
Rinta memberikan ruang bagi hidupku yang tengah terombang-ambing dalam
kapal berkeentahan…makasih ya untuk menerimaku apa adanya sobat;
memahamiku terus menerus, membahagiakan dengan nyanyianmu, suaramu,
senyummu dan semuanyalah, yang lain-lainnya juga, he3x...Sungguh
persahabatan yang begitu indah, imajinatif dan aga’-aga’ sedikit liar. Kawan-
kawan ’01: Donna, yang selalu membawa keceriaan dan membuatku selalu
terperangah melihat hidup; Supri, yang selalu menemaniku dalam diskusi warung
kopi-an, makasih ya wejangan-wejangan-nya; Icil, yang selalu menyapaku
dengan gembira dalam kesuntukan skripsi yang tak terselesai-selesaikan. Kawan-
kawan ’02: Oswind, terima kasih dialog tentang Atlantiknya, terus membuatku
mengkhayal ‘tuk buat corat coret tentang ruang Indonesia; Derry yang
mengatakan bahwa Penulis klo ngomong kok lucu. Makasih ya pujiannya Derry,
kamu juga lucu, ha3x; Ann yang judesnya justru Penulis suka, Senia, ‘jagoan
neon’ HI yang baru, aku sangat kagum akan kecerdasanmu.
xvi

Kepada Team of Global. Makasih Ima yang telah membantuku ‘tuk bisa
berorganisasi, dan lain-lain, Nurul yang selalu heboh bersamaku dan sumber
informasi gosip bersama Neda yang selalu mengoreksi bahasa provokatifku, klaim
rasisku dan bahasa Inggrisku serta memberikan kepercayaan kepadaku ‘tuk
bertemu mewawancarai Gus Dur. Ilmi yang meramaikan nuansa ketika rapat dan
menemaniku ketika wawancara dengan Gus Dur; Sofwan yang menemaniku
dalam berdiskusi dan anggota baru lainnya. Kalian adalah pelangi dalam hidupku
di sela-sela himpitan spasial Jakarta. Kehadiran sobatku, Nanang. You are the best
thing in my life Nang, and a part of my life; makasih power point HI-nya, political
cartoon-nya dan utang-utangnya, idenya, curahan waktumu, dan lain-lain. Nanang
mengajariku tentang semua hal, khususnya ketika akan presentasi tesisku,
sehingga Penulis merasa bahwa jalan dan prinsip hidupku tidak jauh-jauh berbeda
dengannya. Demikian juga Amri yang selalu mengajariku tentang arti hidup;
kesederhanaan dalam keseharian, sabar, tawadhu, priatin, punya rasa sosial tinggi,
solidaritas kawan, sehingga tesis ini adalah warna-warni dari curahan sikap dan
nuasa dirimu. Mas Taufik, dosen Ekonomi UGM yang terus membimbing
hidupku seperti kakakku sendiri dan selalu berbaik hati menemani debat tentang
kehidupan. Mas Taufik yang selalu mengayomiku bersama Amri dalam serpihan
hidupku selama ini. Abi yang siap stock pengetahuan sosiologis-nya, semoga
desertasi doktoralnya cepat selesai. Hakim sekeluarga yang memberikan modal
dalam kuliah S2-ku, semoga bisnis propertinya sukses ya…Fauzi yang selalu
menyediakan buku-bukunya, Afif yang baru saja menikah, sukses ya buat
anaknya, Genta sekeluarga yang selalu menyediakan rumahnya di Jogja untuk
tempat merenung, berkontemplasi. Hanafi Rais yang memberikan dukungan,
nasehat dan big support on my thesis, sukses ya untuk S2-mu. Keluarga kos-kosan
Kober yang tidak segan-segan memberikan jajanan ketika mengerjakan tesisku.
Kawan kos, Asep, Zaeni, Alfian yang terus menerus menanyakan kapan selesai
tesisku. Makasih ya...atas peringatannya dan keikhlasan kalian ‘tuk support my
thesis. Kawan-kawan lainnya yang terlupakan, maaf ya...Bersama kalian, Penulis
merasa tesis ini hanya sebuah torehan dari diri mereka semua. Tesis ini adalah
fenomenologi hidupku bersama mereka.
xvii

Keluargaku, mamah dan abah yang memberikan hidup mereka untukku,


segalanya, adikku Jordan yang selalu menyeru tentang cakrawala hidupku yang
tak jelas, entah kemana...ini membuatku terus berpikir dan obah dalam hidup.
Terima kasih semua yang telah hadirkan Penulis di dunia ini menjadi sang diri ini
semakin hidup dan hidup.
xviii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN i
LEMBAR PENGESAHAN TESIS ii
LEMBAR PERSETUJUAN TESIS iii
ABSTRAKSI iv
KATA PENGANTAR vi
UCAPAN TERIMA KASIH xi
DAFTAR ISI xvii
BAB I. PENDAHULUAN 1
I. 1. Latar Belakang Masalah 1
I.1.1. Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional:
Formula Pasca Perang Dunia II 4
I.1.2. Kontemplasi Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional:
Memikirkan Kembali Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional 26
I.1.3. Studi Pascakolonialisme di dalam Tradisi Pemikiran Hubungan
Internasional 29
I. 2. Pokok Permasalahan 40
I.3. Kerangka Pemikiran 40
I. 3.1. Tinjauan Pustaka 40
I.3.2. Kerangka Konseptual 42
I.4. Hipotesa 44
I.5. Tujuan Penelitian 44
I.6. Maksud Penelitian 45
I.7. Metode Penelitian 45
I.8. Sistematika Penelitian 46
xix

BAB II. SEJARAH WACANA TRADISI PEMIKIRAN HUBUNGAN


INTERNASIONAL MODERN 47
II.1. Arkeologi Pengetahuan dan Genealogi
dalam Studi Hubungan Internasional 50
II.1.1. Konseptualisasi Arkeologi Pengetahuan 51
II.1.2. Konseptualisasi Genealogi 56
II.1.3. Intertekstualitas/Hubungan Internasional 62
II.2. Tatanan Episteme Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional Modern 70
II.2.1. Wacana Idealisme/Liberalisme 71
II.2.2. Wacana Realisme 78
II.2.3. Wacana Tradisionalisme 82
II.2.4. Wacana Saintisme (Strukturalisme) 87
BAB III. TRADISI PEMIKIRAN KRITIS
HUBUNGAN INTERNASIONAL MODERN 111
III.1. Tradisi Pemikiran Kritis Hubungan Internasional Amerika 112
III.2. Tradisi Pemikiran Kritis Hubungan Internasional Eropa Kontinental 116
III.2.1.Wacana Critical International Theory
(Critical Theory/Frankfurt School) 119
III.3. Problem Modernisme 143
BAB IV. ALTERNATIF STUDI PASCAKOLONIALISME
DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL 160
IV.1. Konseptualisasi Studi Pascakolonialisme 161
IV.2. Studi Pascakolonialisme di Indonesia 174
IV.3. Wacana Saminisme 180
BAB V. KESIMPULAN 194
DAFTAR PUSTAKA 204
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Signifikansi studi ini adalah mengkritik wacana tradisi pemikiran hubungan
internasional (HI) modern atau istilahnya bisa dipertukarkan dengan “wacana
modernitas” di dalam studi hubungan internasional (SHI) melalui pemahaman
post-structuralism dan post-modernism. Kritik ini merupakan pembongkaran dari
beberapa gagasan, ide, perspektif, dan pandangan HI modern: berawal dari
kemunculan studinya hingga masa kontemporer sekarang ini, yakni awal wacana
HI idealisme hingga wacana HI teori hubungan internasional kritis (critical
international relations theory) yang berusaha menyelesaikan proyek modernitas
dan beberapa tradisi mengkritiknya secara total. Pembongkaran tradisi pemikiran
HI modern di dalam SHI ini difokuskan pada sejarah diskontinuitas wacana HI
yang terjebak dan stagnan pada disiplin ilmu (pendisiplinan tubuh pengetahuan
SHI). Dengan demikian tradisi pemikiran HI modern ini bisa dikembangkan lebih
lanjut lagi untuk memperluas studinya ke tatanan problem ontologi penyuaraan
dan representasi eksistensi budaya indigenous people atau komunitas lokal.
Pembongkaran atas tradisi pemikiran HI modern membuka selubung
formasi diskursif pengetahuan (epistemologi) sebagai suatu yang berkaitan secara
inheren dengan power (kuasa) pengetahuan tradisi pemikiran HI modern terhadap
realitas politik internasional atau politik dunia dan eksistensi tradisi pemikiran
yang tengah terpinggirkan, terbungkam dan terkubur sejak sistem Westphalia.
Dalam konteks ini, tesis ini perlu ditegaskan bahwa SHI sebagai disiplin ilmu
merupakan bagian dari kuasa terhadap objek studi atau kontrol terhadap konstelasi
politik internasional dan marginalisasi tradisi pemikiran non-Barat. Dengan kata
lain, hal ini dilakukan oleh para pengarang, ilmuwan dan filsuf HI modern yang
sesungguhnya berasal dari Barat (baca: Eropa, Inggris dan Amerika). Tesis ini
tidak akan ‘membaca’ dan memaparkan realitas (empirik) dunia internasional atau
konstelasi politik internasional, tetapi justru memfokuskan pada strategi meta-
teori (meta-theory), yakni akan ‘membaca’ dan memaparkan apa yang pengarang,

1
2

ilmuwan, filsuf HI modern pikirkan, ketahui, dan jelaskan tentang dunia


internasional dan konstelasi politik internasional dalam prosedur intertekstualitas.
Dengan strategi meta-teori, tulisan ini berargumen bahwa tradisi pemikiran HI
modern merupakan bentuk kolonialisasi pengetahuan Barat terhadap realitas dunia
internasional, konstelasi politik internasional dan juga tradisi pemikiran Timur
(baca: Negara Dunia Ketiga, Indonesia). Adanya pembacaan dan pemaparan
pengetahuan Barat terhadap dunia internasional atau konstelasi politik
internasional membuat Indonesia tidak mempunyai hak apapun juga untuk
membaca dan memaparan kondisi dunia internasional dan konstelasi politik
internasional melalui wacana tradisi pemikirannya sendiri, tetapi justru
terhomogenisasi dan terkolonialisasi pengetahuannya dengan pengaruh-pengaruh
pengetahuan Barat. Mekanisme ini adalah bentuk marginalisasi, pemangkasan,
pembungkaman dan penguburan tradisi pemikiran berupa gagasan, pemikiran,
kreatifitas Timur yang dilakukan Barat dalam memahami dan menjelaskan dunia
internasional dan konstelasi politik internasional. Mekanisme ini terus
terbayangkan sekaligus selalu dikendalikan, dikuasai dan dikontrol oleh Barat,
ketika melakukan aktivitasnya di dunia internasional dan konstelasi politik
internasional. Jika Timur berusaha membaca dan memaparkan kondisi dunia
internasional dan konstelasi politik internasional melalui pengetahuannya sendiri,
klaim-klaim kebenaran ilmiah dari pengetahuan Barat akan berargumen bahwa
mereka itu tidak ilmiah, tidak sistematis, logis, rasional dan termasuk pemahaman
yang barbar dan primitif.
Pembongkaran yang penulis maksud bukan merupakan proses penghancuran
klaim-klaim kebenaran sebuah disiplin ilmu Barat dengan memunculkan
pengetahuan sebagai kuasa—will to power, tetapi tesis ini justru memberi pintu
keluar untuk membuahkan wacana alternatif Timur: studi pascakolonialisme
dalam rangka stagnasi tradisi pemikiran HI modern yang belum bisa menjelaskan
indigenous people dan komunitas lokal. Dengan kata lain, wacana ini dibuka
melalui pintu wacana post-structuralism dan post-modernism yang peduli pada
keberagaman pengetahuan dan pendekatan (approach) multidisipliner. Setelah
melewati pintu wacana post-structuralism dan post-modernism ini, wacana SHI
3

mempunyai peran yang cukup penting sebagai ruang bebas bagi berbagai macam
wacana untuk membaca dan memaparkan kondisi dunia internasional dan
konstelasi politik internasional, sehingga keterjebakan disiplin tubuh (ilmu) SHI
Timur yang terbayangkan oleh wacana kuasa/pengetahuan Barat yang
memberikan analisis ‘kaca mata kuda’ dan totaliter dapat terhapuskan, diganti
dengan pengetahuan dan analisis yang lebih beragam, plural, heterogen, dan dapat
mengatasi pengetahuan lokal-universal atau menyuarakan komunitas lokal di
tatanan global sebagai bentuk resistensi intertertekstualitas terhadap neo-
imperialisme—tradisi pemikiran HI modern. Tesis ini akan memberikan wacana
alternatif studi pascakolonialisme Indonesia dalam melihat kondisi dunia
internasional dan konstelasi politik internasional. Wacana saminisme merupakan
teks pengetahuan Indonesianis dengan strategi kuasa/pengetahuan melalui
permainan bahasa yang mereka gunakan sebagai wisdom outlook dunia
kehidupannya. Studi wacana saminisme merupakan kajian pascakolonialisme
Indonesia yang cukup menarik sebagai alternatif wacana modern Barat dalam
SHI. Selain menyuarakan kearifan lokal komunitas samin di Indonesia juga
menginspirasikan pijakan tradisi pemikiran HI Indonesia.
Tesis ini sama sekali bukan studi tentang perbandingan tradisi pemikiran
antara Barat dan Timur, tetapi memunculkan narasi kecil (smallnarrative) yang
telah terkubur, tersembunyi atau tenggelam dari narasi besar (metanarrative)
kuasa/pengetahuan Barat. Jadi penulis secara tegas memperjuangkan
egalitarianisme dan kemanusiaan yang beradab serta keadilan sosial wacana yang
sesunguhnya di politik dunia beragam dengan cara membongkar metanarrative
kuasa/pengetahuan Barat, sehingga wacana smallnarrative yang berakar dari
Indonesia: wacana saminisme yang selama ini dibungkam, disembunyikan dan
dibekukkan bisa dihadirkan di SHI. Implikasinya, muncul sebuah pemahaman
baru bahwa SHI setelah Perang Dingin bukan merupakan representasi kuasa
pengetahuan Barat ataupun istilahnya: foundationalism eksistensi Barat sebagai
satu-satunya kebenaran, keilmiahan sebuah disiplin ilmu, objektif dan bebas nilai,
tetapi hadirnya eksistensi dan representasi suara yang terbungkam yang
dipercikkan secara tidak linier dari local wisdom yang tersebar di seluruh dunia.
4

Jadi SHI pasca Perang Dingin terpancarkan melalui titik-titik tatanan ordo
komunitas lokal atau indigenous people secara acak, irasional, diskontinu dan
berserakan.
Sistematisasi bagian ini terdiri dari tiga bagian: pertama, memaparkan debat
besar sebagai dinamika tradisi pengetahuan dan pemikiran dalam SHI. Perdebatan
ini berlangsung dari awal mula studi ini berdiri di Eropa Kontinental hingga
rekonstruksi paling puncak melalui tradisi pemikiran Amerika Serikat. Kedua,
sebuah pemaparan kontemplatif, yakni menjelaskan kontemplasi (ketidakpuasan)
penulis terhadap semua pengetahuan HI yang sudah ada: idealisme/liberalisme,
tradisionalisme, saintisme, konstruktivisme dan teori internasional kritis. Semua
pengetahuan tersebut merupakan tradisi pemikiran partikular Yunani yang terus
direkonstruksi oleh pemikir Barat seperti Eropa Kontinental dan Amerika Serikat.
Ketiga, memaparkan alternatif baru berupa studi pascakolonialisme pengetahuan
Timur lokal yang tengah terbungkam, tenggelam dan tidak ilmiah (dalam klaim
Barat). Dari sekian banyak pengetahuan Timur lokal yang ada, penulis
menawarkan alternatif wacana saminisme sebagai wacana resistensi
intertekstualitas (non-violence resistance movement) terhadap neo-imperialisme—
tradisi pemikiran Barat. Dengan kata lain, gerakan perlawan tanpa kekerasan ini
diwujudkan salah satu bentuknya dalam gerakan strategis perjuangan teks-teks
permainan bahasa lokal yang direpresentasikan tesis ini ke dalam tradisi
pemikiran HI.

A.1. Tradisi pemikiran Hubungan Internasional:


Formulasi Pasca Perang Dunia II
Untuk mengetahui tradisi pemikiran HI pasca Perang Dunia II, penulis perlu
memaparkan penjelasan karya Miles Kahler, Inventing International Relations:
International Relations Theory After 1945.1 Kahler berusaha menguji ulang jalan
wilayah baru HI dalam menghadapi masalah perubahan kondisi dunia
internasional setelah tahun 1945. Oleh karena itu, Kahler memaparkan sejarah HI
1
Miles Kahler, “Inventing International Relations: International Relations Theory After 1945,”
dalam New Thinking in International Relations Theory, editor Michael W. Doyle dan G. John
Ikenberry, Amerika Serikat, (USA: Westview Press, 1997).
5

yang menggambarkan evolusi HI dengan tiga tujuan: pertama, mereproduksi


aktivitas intelektual sepanjang masa dengan menggali alternatif teoritisasi yang
tengah diasingkan dari yang lainnya. Kedua, pemahaman kita tentang sejarah HI
akan sangat berpengaruh terhadap garis lurus masa depan wilayah studi ini;
pemahaman kolektif masa lalu adalah suatu faktor penentu dari arah kita di HI.
Ketiga, penjelajahan masa lalu kita (tradisi para pemikir HI) memberikan
pemahaman yang lebih baik untuk keluar dari perasaan ketidakpuasan kita
sekarang ini; kita dapat memahami tidak hanya mengapa kita harus berbuat apa
yang kita telah perbuat, tetapi juga mengapa kita, di mana kita. Sejarah penuturan
evolusi HI yang Kahler berusaha jelaskan ini berpusat pada wilayah Amerika
Serikat, Inggris dan Eropa Kontinental.
Menurut Kahler, peristiwa “Perdebatan Besar” dalam SHI merupakan
bagian dari fenomena sejarah pemikiran HI. “Debat Besar Pertama” ini
berlangsung antara kubu pemikiran idealisme yang mengawinkan entitas hukum
legal dengan entitas institusi, dengan menafikan adanya politik kekuasaan, dan
kubu pemikiran realisme yang diperlengkapi dengan fondasi seperti berpijak pada
hukum alamiah alam, aksi negara beserta konteks sejarah yang membaca kondisi
perang dalam hubungan internasional. Menurut Kahler, “Debat Besar Kedua“
berlangsung antara pemikiran saintifik dengan pemikiran tradisionalisme pada
tahun 1960an. Pemikiran tradisionalisme HI berasal dari tradisi Inggris (British)
yang menekankan pada aspek hukum, filsafat, dan sejarah diplomasi. Namun
tradisi ini menjadi semakin tenggelam dengan adanya pemikiran saintifik yang
juga biasa dinamai dengan behavioralisme sosial sains. Kemudian “Debat Besar
Ketiga,” berawal dari tuntutan berbagai macam pemikir kritis yang menyerang
pemikiran mainstream HI seperti pemikiran saintifik HI. Serangan ini mengkritik
bahwa pemikiran saintifik HI mempunyai pretensi dan bias-bias normatif.
Serangan yang paling keras berasal dari pemikiran post-modernism. Pemikir
mainstream HI puas dengan kemajuan (progress), sedangkan pemikir kritis
pesimis dan skeptis terhadapnya. Di bawah ini Kahler menuturkannya dengan
lebih luas dan mendalam dengan mengutip para pemikir HI yang berkonfrontasi.
6

Menurut Kahler, Debat Besar dalam tubuh SHI justru mengembangkan


tradisi pemikiran dan teoritisasi SHI. Kahler menunjukkan Debat Besar Pertama
ini dengan menjelaskan tentang salah satu gagasan kaum idealis, Norman Angell
dalam bukunya, The Great Illusion (1912) yang menyatakan dalam membentuk
perilaku negara-bangsa, entitas ekonomi merupakan aspek yang signifikan.
Penekanan pada signifikansi aspek ekonomi cenderung menghapus pemikiran
tentang kemungkinan perang antara negara-bangsa. Peristiwa ini mengakibatkan
meningkatnya perekonomian, khususnya negara-negara industri Eropa yang justru
mempunyai gagasan untuk menciptakan penaklukan teritorial yang
menguntungkan pada era sebelum PD I. Karya Angell ini dikritik oleh argumen
Kahler yang menegasi klaim tentang pemikiran idealisme dengan menyebut
Angell justru sebagai pemikir materialisme. Argumen Kahler ini berdasarkan pada
fenomena sistem negara-bangsa saat itu dan kompetisi nasionalismenya yang
ternyata sangat miskin dengan aspek realitas ekonomi.
Kahler juga mengutip pemikir liberal Canada, James T. Shotwell yang
membawa kita pada kondisi abad ke-19, di mana kaum liberalis melihat
perkembangan ilmu pengetahuan dan pertumbuhan ekonomi yang independen,
menciptakan jaringan baru antar umat manusia. Saat itu kerja Shotwell mengikuti
program propaganda pemerintah Amerika Serikat dalam PD I, mempersiapkan
Paris Peace Conference, dan menekan Amerika Serikat untuk bergabung dengan
League of Nations dan the Kellogg-Briand Pact (1828). Namun karena Dokrin
Monroe, Amerika Serikat tidak menjadi anggota LBB. Sebagai ilmuwan HI,
selain studi sejarah yang dia tekuni, dia juga mengembangkan studi dampak-
dampak industrialisasi dan revolusi saintifik terhadap perdamaian. Komentar
Kahler terhadap dua pemikir HI tersebut sebenarnya mencirikan mereka sebagai
kaum liberalis dan institusionalis, tetapi mereka sangat idealis. Namun karena
kondisi dunia saat itu terjadi perang, maka mereka lebih pantas dicirikan sebagai
kaum liberal-materialis daripada sebagai kaum idealis. Selain dua pemikir
tersebut, Kahler menceritakan juga bahwa saat itu, banyak pemikir dan praktisi HI
yang lain seperti Arnold Wolfers, Frederick Dunn dan sejarawan Chicago,
7

Frederick Schuman yang menegaskan bahwa pemikiran idealisme saat itu


memang mendominasi selama perang (1930an).
Lawan pemikiran liberalisme Anglo-American adalah pemikiran realisme
yang merupakan transplantasi luas dari Eropa Kontinental. Para ilmuwan HI
sekaligus imigran dari Eropa seperti Hans Morgenthau, Nicholas Spykman dan
John Herz memperkenalkan tradisi Eropa Kontinental dan sifat pesimistis politik
kekuasaan (power politics) ke dalam wilayah HI Amerika Serikat. Ketika saat
kondisi berubah saat itu, pemikiran idealisme mulai diklaim salah menafsirkan
realitas. Berawal dari konteks tersebut, maka menjadi sangat penting bagi kita
untuk memfokuskan pada pemikir pesimisme para kaum realis. Kehadiran
pemikiran realisme tidak menjadi suatu fenomena normal di Amerika Serikat –
yang saat itu didominasi oleh kaum saintifik, sehingga mereka juga bermusuhan
dengan pemikiran rasionalisme (positivisme). Sebelum datang ke Amerika
Serikat, Morgenthau sempat mengkritik “rationalistic pretenses” Karl Marx dan
Sigmund Freud saat kuliah filsafat di Frankfurt (1920an). Seperti kaum realis
yang lainnya, Morgenthau merefleksikan sebuah belokan dan pesona
irasionalisme yang mencirikan budaya Eropa setelah PD I. Menurut Kahler, hal
ini merupakan momen ironi, ketika pemikiran realisme yang ditransplantasikan
dari Eropa ini berelaborasi dengan rational choice dalam sintesis kaum neorealis
Amerika Serikat, di mana praktik-praktik saintifik studi politik internasional di
Amerika Serikat itu juga tidak disepakati oleh seorang realis seperti George
Kennan.
Menurut Kahler, momen pasca 1945 secara kontingen memunculkan
pemikiran “scientists” dalam SHI. Pemikiran ini merupakan wilayah akademik
yang masih muda, tertinggal jauh dari ilmu sosial dan sejarawan dalam proses
institusionalisasi dan profesionalisasinya. Tradisi pemikiran idealisme dan
realisme secara tidak sengaja dipakai sebagai tumpuan kaum saintifik dalam
proses pengembangan profesionalisasiannya. Proses ini merupakan momen
pendewasaan SHI. Pusat pemikiran dan gerakan kaum saintis ini berpusat di
Chicago school yang menyebar luas dalam rangka mentransformasikan ilmu
politiknya selama tahun 1920an dan 1930an. Ilmuwan politik seperti Charles
8

Merriem, Harold Lasswell dan Quincy Wright memberikan kontribusi pemikiran


saintisme dalam studi dunia politik sebagai bagian dari keluasan analisis power
dan aktor-aktor politik: unit analisis individu, kelompok dan unit pemerintah
nasional. Dengan mengutip William Fox, Kahler mengatakan bahwa saat itu
studinya terfokus pada konsep power dalam arti yang sangat luas, seperti yang
dikerjakan oleh para kaum realis. Sebelum mereka berelaborasi dengan
pendekatan saintifik, SHI merupakan kajian yang melekat dengan analisis politik
yang sangat luas. Elaborasi keduanya berpijak pada argumen dasar mereka
terhadap ontologi politik internasional yang ternyata memang mempunyai
kedekatan dengan kaum realis: menganggap bahwa studi politik internasional
dipelajari sebagai “apa adanya” bukan “apa seharusnya.” Namun selebihnya
pemikiran mereka sangat berbeda sama sekali, seperti perbedaan argumen kaum
saintis yang antinormatif terhadap kaum realis yang sangat normatif dan subjektif.
Sedangkan ketidaksepakatan dan skeptismenya kaum realis terhadap kaum saintis
adalah visi meliputi model pemikiran positivisme tentang pengadopsian ilmu
alam. Perbedaan yang lainnya adalah unit analisisnya: kaum saintis berawal
analisisnya dari domestic politics, sedangkan kaum realis mengawalinya dari
international anarchy dan security dilemma. Jadi perbedaan dan pertentangan
antara kaum saintis dan kaum realis akan terus berlangsung sampai datangnya
sintesisnya: pemikiran neorealisme.
Kahler terus konsisten dengan argumennya bahwa akumulasi pemikiran
saintisme bukan debat antara kaum realis dan kaum idealis, tetapi fenomena
kemunculannya merupakan evolusi perkembangan pemikiran HI dalam SHI yang
sangat signifikan. Ketika seorang tradisionalis, Morgenthau datang ke Universitas
Chicago, Amerika Serikat, dia berkonfrontasi dengan seorang senior saintis,
Quincy Wright. Konfrontasi itu terjadi karena dalam kondisi saat itu terdapat
pemikiran bahwa politik kekuasaan adalah kotor dan kata itu dilarang di wilayah
tradisi keilmuan Chicago. Walaupun terjadi pertentangan di Chicago antara
keduanya, kaum saintis justru mempunyai kedekatan dengan kaum realis daripada
liberalis, karena alasan persamaan tentang ontologi realitas dunia politik.
Penelitian dan infrastruktur pemikiran saintisme yang memayungi realisme dan
9

idealisme dikembangkan pada tahun 1923 oleh Merriam, yang pada dinamikanya
berpengaruh pada kebijakan publik dan perubahan sosial Amerika Serikat. Kahler
mengatakan bahwa pada saat itu, para kaum liberalis, realis dan saintis
menyebarkan sebuah program dalam rangka membawa “knowledge to power.”
Menurut Kahler, dalam perkembangannya, para kaum institusional liberalis
bertujuan untuk mempengaruhi opini publik dan sistem pendidikan lebih luas;
kaum saintis seringkali memfokuskan pada saran-saran kebijakan langsung.
Walaupun dunia pasca PD II (pasca 1945), kaum saintis benar-benar
mengalami peningkatan pamornya, tetapi ternyata mereka juga mengalami
menurunan (kritik) dalam ilmu politik dan SHI yang dilontarkan oleh pemikiran
tradisionalis seperti William Yandell Elliot dan Henry Kissinger. Ketika pamor
saintisme meningkat, ruang konferensi dan penelitian survey SHI dengan cepat
juga menampilkan perdebatan antara utopianism (idealisme) dan power politics
(realisme). Persaingan dari ketiga pemikiran tersebut, Kahler mengutip pernyataan
William Fox yang menyimpulkan pendapatnya bahwa saat itu, di antara
ketiganya, pemikiran realisme dan saintisme memperoleh kemenangan dalam
tradisi SHI. Kemudian realisme dan saintisme melanjutkan sebuah tuntutan baru
untuk mengakumulasi para pengikutnya, sebuah tuntutan yang menawarkan
dukungan terhadap institusi borjuis. Infrastruktur SHI yang tengah dikembangkan
pada tahun 1930an berkembang pesat pada pasca PD II, ketika pemerintah dan
yayasan-yayasan mendukung (meningkatkan) tuntutan mereka atas pengetahuan
yang mereka produksi dalam ‘membaca’ kepentingan global baru Amerika
Serikat. Keuntungan yang diperoleh pemikiran realisme tidak hanya dukungan
penuh dari mereka saja, tetapi pemikiran realisme juga memperoleh posisi teoritis
yang memadai (legitimate) akibat dari terjadinya reformasi pemerintah yang
menekankan pada komitmen internasional terhadap ancaman Soviet; pemikiran
realisme membuat nyaman para pengkaji, praktisi, ilmuwan HI dan pemerintah
dalam kondisi Perang Dingin. Relasi antara ilmuwan dan pemerintah keduanya
terjalin hubungan yang produktif dan akumulatif dalam menguatkan kepercayaan
dan legitimasi diri mereka. Namun Kahler kecewa terhadap hubungan ini, karena
kondisi itu dimaknai bahwa realis juga masih bermuatan filosofis daripada
10

bermuatan positivis. Komentar dari ilmuwan yang lain muncul dari seorang senior
dari kaum saintis, Quincy Wright mengatakan bahwa keduanya (realis&positivis)
mempunyai fungsi propaganda, dan Harold Lasswell menggambarkan politik
kekuasaan dari kaum realis tetap saja mempunyai terminologi yang sentimental.
Sebagaimana konsistensi pandangan Kahler bahwa SHI sebagai disiplin
ilmu tetap menggambarkan evolusi tradisi pemikiran HI, bukan dicirikan dalam
kerangka paradigma Kuhnian selama periode Perang Dingin; wilayah HI tetap
heterogen. Ketika SHI di bawah elaborasi pemikiran realisme dan saintisme
1930an, perkembangan evolusi perkembangannya cukup pesat, sehingga saat itu
juga muncul studi baru: international political economy—apakah yang
dipengaruhi oleh kaum liberalis ataupun dipengaruhi oleh kaum historical-
materialist yang beragam. Selain itu, studi organisasi internasional dan investigasi
integrasi regional yang dimulai pada tahun 1950an terus berjalan, tetapi studi
institusi internasional didefinisikan partikular, termasuk studi hukum
internasional. Kahler menegaskan kembali argumennya bahwa bagi kaum saintis,
individual dan kelompok adalah pusat unit analisis; bagi kaum realis, negara
dalam lingkungan internasional yang anarkhi adalah pusat unit analisisnya; kaum
idealis menekankan pada analisis institusi (internasional). Kahler memberikan
kesimpulan final atas aliansi antara kaum realis dan kaum saintis yang bagi
mereka berdua menolak analisis tentang perubahan internasional, karena
keduanya memang mempunyai persamaan dalam melihat ontologi realita dunia
politik. Dalam konteks statisme ini, argumen kaum realis berdiri pada pernyataan
bahwa regularitas melintasi ruang-waktu spasial politik kekuasaan; argumen
saintis berdiri pada pernyataan bahwa perilaku manusia dan perilaku nasional
suatu negara ditentukan oleh hukum alam dalam bentuk fakta yang
digeneralisasikan. Jadi analisis HI saat itu juga berpusat pada analisis statisme dan
equilibrium, sebuah masa depan yang menyerupai kondisi masa lalu dari sistem
balance of power dan perputaran naik-turunnya great-power.
Menurut Kahler, kebersamaan kaum realis dan kaum saintis, tidak
berlangsung lama, ketika kaum tradisionalis London School of Economics yang
diajar oleh Martin Wight seperti Hadley Bull muncul dengan mendebat kaum
11

realis dan kaum saintis. Walaupun Bull lebih mempunyai kecenderungan ke arah
neo-Grotian yang menekankan pada organisasi internasional di dalam masyarakat
internasional, tetapi pandangannya mengambil dari beberapa pemikiran realisme
juga. Dalam hal ini, Bull mewakili pemikiran realisme Eropa Kontinental yang
mengkritik pemikiran realisme Amerika Serikat. Saat itu, perubahan konstelasi
politik internasional tidak begitu signifikan, tetapi justru momen ini memberikan
peluang untuk merefleksikan kondisi statisme ini. Sebelum Perang Vietnam
memang konstelasi politik internasional cenderung dikuasai oleh dominasi
superpower dan kemenangan ekonomi Amerika Serikat, tetapi pasca Perang
Vietnam, Bull memulai menyerang klaim-klaim kaum saintis, khususnya seorang
saintis, Morton Kaplan tentang posisi teoritis dan analisis kebijakan. Serangan
Bull terhadap saintis menandai pencerahan kaum sejarawan HI. Nantinya,
serangan Bull terhadap pendekatan saintifik mirip dengan serangan kaum post-
modernism yang mengatakan bahwa pendekatan saintifik itu miskin self-
conscious dan miskin berpikir kritis terhadap teori HI mainstream. Menurut
Kahler, fenomena serangan ini merupakan kondisi melemahnya aliansi antara
kaum realis dan kaum saintis—pemikiran Amerika Serikat. Saat itu, banyak kaum
realis tradisionalis berbagi kegelisahan juga tentang arah masa depan SHI:
Morgenthau sendiri memposisikan dirinya sebagai seorang yang antibehavioral,
dan melontarkan serangan yang sangat gencar terhadap kerja kaum saintis seperti
Lasswell dan Kaplan dalam suatu review artikel. Kahler terus menonjolkan
konsistensinya bahwa bagi ilmu sosial-politik seperti SHI serangan ini bukan
merupakan perdebatan yang konfrontatif, tetapi justru sebuah proses evolusi
tradisi pemikiran SHI. Proses evolusi ini memberi kesan tentang momen keributan
antara pemikiran Amerika Serikat dan pemikiran Eropa Kontinental—yang sangat
membenci ethnocentrism Amerika Serikat. Menurut Kahler, perdebatan ini hanya
meruncingkan kepicikan di antara keduanya, sehingga sangat paradoks jika
dihadapkan dengan karakter tradisi pemikiran keilmuan SHI.
Pada kenyataannya, kekalahan pendekatan tradisional atau klasik dalam
debat kedua terlihat pada kemiskinan program yang empirik, yang dimenangkan
oleh perjuangan kaum saintis. Kemenangan kaum saintis ini memotong SHI dari
12

filsafat politik, sejarah diplomasi dan hukum internasional. Namun periode


berikutnya, pendekatan saintifik dikeluarkan dari departemen ilmu politik, dan
bahkan hingga SHI muncul kembali dalam studi institusional pada tahun 1970an,
nilai empirik dari studi legal nampak tetap tidak dikenali. Saat Bull menyerang
kaum realis, dia memberi saran bahwa studi keamanan—yang studi ini berperan
sangat penting—juga sebaiknya keluar dari program penelitian yang ditetapkan
oleh sayap saintifik. Wilayah studi keamanan juga mengalami transformasi dan
pembagian saat itu, suatu kajian yang sedikit saling bertabrakan di dalam tubuh
kaum saintis sendiri. Hal ini memberikan pemahaman bahwa terdapat dua kubu
dalam “studi keamanan.” Lebih lanjut Kahler menjelaskan tentang pengembangan
studi keamanan berupa perkembangan “teori deterrence gelombang pertama“
pada tahun 1950an dan 1960an. Teori ini merupakan suatu contoh kolaborasi studi
interdisipliner yang asli, sebuah batas penelitian yang maju secara berulang-ulang.
Selain itu dalam waktu yang cepat teori ini berpengaruh pada “studi kebijakan
nasional,” khususnya di dalam wilayah “studi strategi nuklir” dan studi
“perlucutan senjata” (arms control). Kemudian kemunculan tuntutan kebijakan
komunitas yang berkaitan dengan birokrasi keamanan nasional dapat menjelaskan
kemunculan “gelombang kedua teori deterrence” pada tahun 1950an yang sangat
berpengaruh besar pada momen PD II daripada teori deterrence gelombang
pertama. Tahap perkembangan selanjutnya, sebuah metode baru dari “teori
permainan” (game theory) menempati posisi utama di dalam kemajuan teori
deterrence; elemennya seperti “rational-choice microfoundations” berguna di
dalam menjelaskan interaksi yang strategis, menandai langkah pertama menuju
sintesis neorealis pada tahun 1980an. Penjelasan Kahler ini merupakan evolusi
tradisi pemikiran saintifik HI.
Berkaitan dengan teori deterrence gelombang kedua dan pemerintahan
Amerika Serikat, kaum realis tergerak untuk tidak menyepakati studi spesialis
seperti penelitian tentang “studi perdamaian.” Studi ini hadir sebagai tuntutan baru
dari pemerintah Amerika Serikat dalam kondisi realis yang cair, bersama
kehadiran senjata nuklir. Studi ini hadir pertama kali oleh seorang liberal saintis,
Quincy Wright dalam Journal of Conflict Resolution (1957). Studi ini merupakan
13

ruang perdebatan antar kaum saintis tentang kebijakan senjata nuklir. Studi ini
mengambil metodologi dari kaum saintis dan juga nilai-nilai kepercayaan liberal
bahwa dinamika kekerasan antar individu, antar kelompok dan antar negara-
bangsa menunjukkan kemiripan. Jika perkembangan teori deterrence, teori
permainan dan teori rational-choice adalah sebuah manifestasi awal dari kaum
neorealis, maka studi perdamaian ini merupakan manifestasi dan kebangkitan
awal bagi teoritisasi kaum neoliberalis yang sudah muncul selama kurun waktu
1960an. Studi perdamaian ini ditemukan banyak pendukung dan infrastruktur
penelitiannya di Eropa Kontinental. Saat itu, Eropa Kontinental sudah bisa
mengendalikan konflik nasionalisme dan mengadopsi eksperimentasi integrasi
regional, melengkapi dasar baru untuk menantang asumsi-asumsi kaum realis—
apakah dalam bentuk evolusi komunitas keamanan yang dikerjakan oleh Karl
Deutsch dan Bruce Russett, ataupun ledakan wilayah integrasi regional yang
dikerjakan oleh Ernst Haas, Leon Lindberg dan yang lainnya—yang mengajukan
model penjelasan neofungsionalisme. Berawal dari fenomena ini, menurut Kahler,
sekumpulan mahasiswa yang terintegrasi mengurangi dosis pembelajaran
pemikiran realisme yang berawal dari kemiskinan prediksi-prediksinya dalam
seleksi pertama pemahaman tentang perkembangan SHI, lalu menjelaskan
perkembangan SHI melalui proses studi perdamaian dengan mempelajari aktor di
luar negara.
Menurut Kahler, pemikiran neoliberalisme pada tahun 1960an dan 1970an
ditarik kepada implikasi dari perubahan ekonomi internasional. Kondisi pasca
perang menampilkan gambaran booming ekonomi, munculnya liberalisasi antar
negara-negara industri dan pertumbuhan yang stabil dalam arus finansial dan
perdagangan. Dalam skala yang luas, investasi Amerika Serikat di Eropa dan
Eropa sendiri yang kemudian bereaksi terhadap “tantangan Amerika Serikat”
diarahkan secara langsung ke publik dan menarik perhatian multinational
corporation (MNC) dan potensinya dalam membentuk kembali (rekonstruksi)
kontelasi politik internasional. Pertumbuhan perdagangan dan investasi lintas
batas merangsang kepentingan kaum saintis politik dan ekonomi untuk
melahirkan kembali studi ekonomi politik internasional. Organisasi internasional
14

sebagai salah satu arsitektur HI yang sempat terpencilkan, lalu sekarang bangkit
sebagai pelengkap dari elaborasi dirinya dengan manejemen hubungan ekonomi
internasional dalam wilayah pemikiran dan agenda kebijakan. Studi
interdependensi ekonomi pertama kali muncul dari kerja Richard Cooper.
Demikian juga Edward Morse yang menantang asumsi-asumsi state-centric dari
para kaum realis. Dia beragumen bahwa pertumbuhan interdependensi ekonomi
dan aktor-aktor transnasional secara fundamental telah mengubah sistem negara
Westphalia klasik. Kahler menyebut pemikir HI seperti Robert O. Keohane dan
Joseph Nye yang mempunyai formulasi interdependensi kompleks, meringkas
dekade dari pemikiran neoliberal, yang telah mengenalkan kembali hubungan
transnasional, interdependensi ekonomi, komunitas keamanan, organisasi
internasional, dan konsep yang lebih luas tentang rejim internasional.
Selain tantangan dari neoliberalisme, Kahler menjelaskan kemunculan teori
dependensia sebagai respon dari perubahan ekonomi internasional. Berbeda
dengan teori neoliberal, strukturalisme yang dipromosikan oleh Economic
Commission untuk Amerika Latin (ECLA)—Marxisme sebagai pusat pengaruh
teoritis teori dependensia. Kemunculan teori ini merupakan kritik terhadap
perkembangan kapitalisme di Amerika Latin. Kahler menyebutkan ilmuwan
seperti Henrique Cardoso sebagai kreator dari teori dependensia yang mengatakan
bahwa pencarian dan penemuan ide-ide baru pada awalnya optimis tentang teori-
teori pembangunan (modernisasi) pasca perang tengah berubah menjadi frustasi
yang amat sangat menggetirkan. Teori dependensia tidak jauh berbeda dengan
variannya seperti teori imperalisme (1968) yang dikreasi oleh Vladimir Illyich
Ulyanov Lenin. Kehadiran analisis sistem-dunia (1974) yang dimunculkan oleh
Immanuel Wallerstein masa itu mengambil beberapa terminologi dari
strukturalisme dan analisis dependensia, tetapi tidak mengadopsi dinamisasi
Marxis sebagai mesin perubah dunia. Dibandingkan dengan teori dependensia
yang berpusat pada hubungan sistemik antara core-periphery, analisis ini lebih
memfokuskan pada dan berakar pada evolusi kapitalisme internasional, bukan
pada sistem negara.
15

Menurut Kahler, neoliberal dan radikal (neomarx) keduanya menantang


hegemoni realis dalam SHI. Kedunya menekankan pada sistem ekonomi daripada
terminologi politik kekuasaan; keduanya menolak state-centric yang ditekankan
oleh realisme. Namun pada perkembangan selanjutnya pendekatan yang bersifat
neoliberalisme dimaknai jauh dari interdependensi kompleks menuju versi state-
centric yang lebih cocok dengan realisme. Sedangkan teori dependensia
mengalami kegagalan teoritis. Menurut K.J. Holsti yang dikutip oleh Kahler, pada
tahun 1980an, pemikiran realisme tetap masih merupakan pandangan yang
dominan dalam SHI tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi di semua negara.
Kemunculan dari pemikiran neoliberal dan teori dependensia pasca 1970 tidak
begitu besar pengaruhnya. Kahler menunjukkan karya Kenneth Waltz, Theory of
International Politics (1979) sebagai generasi baru yang menarik dalam teori
mutakhir, elaborasi puncak saintisme dan realisme: neorealisme; usaha Waltz
adalah mengubah semua hal yang bersifat kabur, bias atau kurang pasti dari
realisme klasik menuju sebuah bentuk yang lebih bisa diterima ke dalam wilayah
mainstream saintifik. Pada tahun yang sama (1980an), tidak hanya neorealisme
yang mengklaim posisi sentral dalam studi keamanan internasional, tetapi bentuk
teori stabilitas hegemonik pun mengklaim sebagai sentral studi ekonomi-politik
internasional sebagai pusat alternatif teoritisasi dalam SHI.
Menurut Kahler, kemunculan neorealisme (1980an) dan memudarnya
analisis neoliberal dan radikal (dependensia) tidak membingungkan pemikir
neorealis; pembangunan teoritisasi HI dalam wadah neorealisme menjadi lebih
sederhana—mudah dimengerti secara nalar. Walaupun neorealisme dibentuk dari
evolusi teori permainan dan teori rational-choice, tetapi keduanya hanya
berdasarkan pada premis rasional-individualis yang berkebalikan dengan
neorealisme yang tertarik pada tampilan strukturalnya. Menurut Kahler, Waltz
sendiri mengatakan bahwa pendekatannya tidak memerlukan elemen rationalist
microfoundations. Berkaitan dengan konteks ini, dalam karyanya, Power and
Interdependence, Keohane dan Nye berargumen bahwa konsep interdependensi
kompleks tidak dirancang sebagai bangunan sebuah teori, tetapi sebuah
eksperimentasi pemikiran tentang seperti apakah bentuk politik jika asumsi dasar
16

dari realisme dibalik. Secara partikular, pada level sistemik, sepertinya neoliberal
tidak nampak menghadirkan sebuah alternatif yang dapat bersaing dengan struktur
yang ditetapkan sebagai distribution of power tanpa memasukkan sebuah tujuan
dan instrumen kebijakan negara. Kahler menjelaskan lebih dalam bahwa elemen
lain dari teori neoliberal, seperti interdependensi dan rejim internasional dapat
diakomodasikan bersama neorealisme; dalam bentuk tertentu, mereka dipahami
sebagai kemunculan dari sintesis neorealisme.
Menurut Kahler, jika neoliberalisme dapat ditarik ke teoritisasi neorealisme,
maka teori dependensia tetap saja gagal dan mengalami kemunduran karena dua
anomali: pertumbuhan industrialisasi yang begitu cepat pada negara periphery
(khususnya negara industri baru) dan perkembangan demokratisasi di Amerika
Latin pada akhir tahun 1960an dan 1970an. Lebih mendalam lagi, kegagalan dari
teori dependensia ini justru pada bertambahnya variasi tingkatan antara lintasan
negara-negara berkembang—munculnya negara semi periphery. Menurut Kahler,
hal tersebut merupakan anomali utama dari sebuah teori yang menekankan pada
diterminasi sistem (pembangunan nasional)—hanya berkenaan dengan kelas core
dan periphery. Akar kegagalan teori dependensia berawal dari perubahan bukan di
tingkat sistem, tetapi justru di tingkat domestik. Dengan kata lain, teori ini
berhadapan dengan hadirnya tambahan variabel domestik, khususnya kapabilitas
negara dalam mendukung industrialisasi dan tawar-menawar dengan investor luar
negeri—Korea Selatan. Jika teori dependensia disejajarkan dengan neoliberalisme
dan neorealisme, maka semuanya dikategorikan sebagai teori struktural atau
pendekatan sistemik yang berbeda imaji saja.
Ditegaskan kembali oleh Kahler bahwa konstelasi tatanan ekonomi-politik
internasional (1970an) dan adaptasi kebijakan defensif dalam wajahnya yang
kacau telah berubah dari interdependensi ekonomi menuju prasyarat politik dari
tatanan ekonomi liberal. Robert Gilpin dan Charles Kindleberger mengamati
dasar-dasar teoritis yang menciptakan formulasi teori stabilitas hegemoni. Di saat
yang sama, neoliberal melakukan eksperimentasi Komunitas Eropa yang masih
mengalami kehampaan dari kejutan ekonomi eksternal. Seperti yang dituturkan
oleh Kahler, eksponen yang memimpin teori integrasi regional mempunyai
17

kemungkinan berelaborasi dengan teori neoliberal. Namun kondisi kehampaan


dalam Komunitas Eropa muncul dalam bentuk kekecewaan tentang ketiadaan
federasi, perilaku negara-bangsa yang keras kepala dan kuno, dan nampaknya
kemunculan model ‘supranasional’ yang nampaknya terlihat seperti pelebaran
birokrasi regional yang besar menuju konferensi intergovernmental di dalam
bentuk sidang permanen di Eropa. Integrasi ekonomi dalam ekonomi internasional
bergerak cepat, khususnya di dalam wilayah liberaliasi finansial dan globalisasi
pasar. Kahler menjelaskan tentang kemunculan bentuk baru investasi
multinasional dan keterkaitan baru perusahaan-perusahaan internasional.
Peristiwa di atas memberikan pertimbangan alternatif teori menuju
neorealisme. Kebencian nasional dalam wilayah HI berkombinasi dengan
keberlangsungan posisi sentral untuk mendukung agenda-agenda neorealisme,
sebuah agenda yang berkaitan dengan penanggulangan atas kegelisahan orang-
orang Amerika. Implikasi dari penurunan hegemoni (jika penurunan dapat
ditampilkan) dikendalikan oleh agenda kaum neorealis di ekonomi-politik
internasional. Tampilan nasional mempunyai efek: model rasional-individualis
yang mempunyai daya tarik luar biasa di ilmu sosial-politik Amerika Serikat.
Dalam konteks ini, Dorothy Ross yang dikutip oleh Kahler berargumen bahwa
mereka sebaik mungkin memasukkan sifat individualistik dan premis ahistoris
nilai-nilai liberal exceptionalism. Dengan kata lain, Kahler ingin mengatakan
bahwa neorealisme adalah the final stage of the Americanization of realism.
Permintaan dari peneliti pembuat kebijakan HI memacu awal mula
pembangunan teoritisi, khususnya teori deterrence gelombang kedua. Permintaan
yang berkaitan dengan popularitas neorealisme, tetapi akademisi neorealisme
(termasuk Waltz dan Gilpin) mempunyai sedikit waktu untuk mengembangkan
pandangan Perang Dingin konservatif Amerika; pandangan neorealis secara
eksplisit mengalami kondisi kritis pada kebijakan luar negeri dan pertahanan
administrasi Reagan. Antikomunisme yang ditampilkan oleh Reagan dinilai
sebagai kebangkitan kompetisi ideologi dengan Uni Soviet. Kemenangan kaum
neokonservatif dari pertempuran ideologi mempunyai waktu sedikit dalam
kecocokkannya dengan kaum realis seperti Henry Kissinger dan kaum neorealis
18

akademis. Walaupun pemikiran realisme melayani legitimasi Amerika Serikat


yang bersaing dengan Uni Soviet pada tahun 1940an dan 1950an, tetapi neorealis
akademis mengatur dan mengeraskan kompetisi keduanya tahun 1980an.
Penelitian universitas menjadi terputus dari kebijakan, karena Perang Vietnam dan
inovasi institusional pada tahun 1970an: pemikir pengambilan kebijakan utama
Washington dalam pencarian saran kebijakan luar negeri atau agenda baru tidak
membutuhkan bantuan dari pihak universitas—mereka sering melakukannya pada
tahun 1950an. Nampaknya pemikir dan ilmuwan HI tidak begitu peduli pada
pengambilan keputusan luar negeri Amerika saat itu.
Kahler kembali menegaskan argumen awal bahwa momen Debat Besar
sepanjang 1980an antara neoliberal, neorealis, teori dependensia tidak muncul,
tetapi peristiwa di atas lebih bisa dikatergorikan sebagai bentuk evolusi tradisi
pemikiran SHI sebagai sebuah perkembangan teoritisasi HI. Pada akhir tahun
1980an pertunjukan teoritikal mungkin akan berkurang ke arah ketidaksepakatan
terhadap state-centric, model rasional hubungan internasional. Sedangkan
perbedaan yang sangat menyolok antara neoliberal institusionalisme dan
neorealisme adalah prinsip kalkulasi antar bangsa tentang absolute gains dan
relative gains.
Menurut Kahler, pada tahun 1990an kombinasi ketidakpuasaan internal
dengan agenda penelitian yang lebih dekat ke arah progrsif, peristiwa dramatis
yang tidak terduga di dunia internasional seperti berakhirnya Perang Dingin
bercampur aduk, lalu prosesnya mengarahkan pada dataran debat teoritis, seperti
yang sudah dilakukan di masa lalu. Peristiwa dramatis berakhirnya Perang Dingin
memberikan perubahan fundamental di tatanan politik internasional dari kondisi
bipolar menjadi unipolar. Hal ini memberikan sebuah tantangan baru bagi
pemikiran mainstream HI neorealisme. Peristiwa dramatik ini menunjukkan
kemenangan pendekatan reduksionisme yang dikritik Waltz. Dominasi realisme
struktural dan agenda penelitiannya telah pergi dari penantangnya (level-
sistem)—interdependensi kompleks dan teori dependensia. Momen keberakhiran
Perang Dingin mengakibatkan kekuatan penjelas dari variabel struktural yang
dipahami sebagai the distribution of power menjadi sangat lemah. Momen
19

berakhirnya Perang Dingin menjadi titik tolak bagi Kahler untuk menegaskan
pendapatnya tentang kelemahan dan kemiskinan neorealisme dan variannya. Dia
mengatakan bahwa teori stabilitas hegemoni secara teoritis pun mengalami
penurunan dan secara empirik ditantang: sebuah variasi “kuat” dari teori yang
hanya bersandar pada distribusi hegemonic power tanpa mempertimbangkan
faktor independensi dalam acuan analisis hegemonic power. Berdasarkan pada
momen dramatis berakhirnya Perang Dingin, neorealisme juga dituntut dan
dipaksa untuk memberikan penjelasan empirik yang memadai dengan
menambahkan dimensi domestik. Hal ini memberikan bukti nyata bahwa
neorealisme yang mengedepankan dimensi sistemik telah gagal menjelaskan
konstelasi politik internasional. Kesederhanaan teoritisasi neorealisme (Waltz dan
Gilpin) dikorbankan untuk memperoleh serangan (pukulan) atas kelemahannya
dalam menjelaskan konstelasi politik internasional.
Menurut Kahler, kegagalan neorealisme ini memunculkan lawan baru yang
menghadirkan penemuan yang terpendam di dalam sejarah HI dan juga
menginjeksi teori sosial Eropa untuk meningkatkan kebencian yang luar biasa
terhadap wilayah HI yang teramerikanisasi. Walaupun Keohane mengelompokkan
kubu kritis ini ke dalam kaum refleksionis, tetapi jumlah mereka termasuk kurang
lebih mempunyai dua kecenderungan: kubu yang sangat radikal, yang
memusatkan kritiknya pada wilayah metode dan epistemologi (kaum post-
modernist) dan kubu (kaum sosiologis) yang tidak memperdulikan tentang proyek
saintifik dan kegelisahan metodologi positivisme, tetapi menolak premis
individualis dan state-centric neorealisme dan neoliberalisme. Serangan gencar
dari kaum post-modernist terhadap kaum saintis HI menghadirkan wajah balas
dendam realisme klasik. Kaum post-modernist seperti Richard Ashley
mentransformasikan irasionalisme dan posisi kritik berakar dari wajah asli Eropa
realisme menuju pada sikap skeptisme terhadap klaim-klaim saintifik. Walaupun
pendukung post-modernism (yang dilabelkan oleh Pauline Rosenau) mempunyai
wilayah yang luas dalam SHI, penemuan serangkaian elemen yang terpendam
yang tengah diabaikan sebelumnya oleh kaum post-modernist. Sedangkan kaum
sosiologis memusatkan kritiknya pada definisi neoliberal tentang institusi
20

internasional sebagai ekspresi secara mendalam dari kepentingan nasional. Kahler


menunjukkan kasus institusi “fundamental,” di mana kaum sosiologis berargumen
bahwa institusi terkonstitusi dengan praktik-praktik negara; sebuah institusi
merupakan prakondisi dari negara kedaulatan dan sebuah makna dari aksi negara
yang signifikan daripada sebuah hasil bentukan manusia. Walaupun pemikiran
liberal institusionalis Amerika Serikat berjalan seiring dengan pemikiran sosiologi
kontemporer, tetapi secara partikular, teori strukturasi Anthony Giddens dan
institusionalisme barunya John Meyer—yang mengangkat kembali neo-Grotian
dan pandangan tradisionalis, telah menggeser (membuang) HI Amerika setelah
debat besar kedua. Pemikiran sosiologi tetap memfokuskan pada analisis teoritis
system-level, sedangkan neorealisme lebih cenderung berbelok ke arah penjelasan
power di tatanan analisis teoritis level politik domestik.
Kesimpulan dari penjelasan evolusi tradisi HI, Kahler menguraikan poin
penting: pertama, model Kuhnian dari revolusi saintifik tidak membelokkan ke
arah evolusi teori HI. Kedua, neorealisme asli berasal dari tradisi pemikiran
Yunani Klasik. Paradigma tidak menumbangkan dan menghancurkan musuh
lama, meskipun kemampuan realisme untuk menenggelamkan riwayat idealisme
mempunyai kecenderungan dekat dengan model Kuhnian. Ketiga, timbul dan
tenggelamnya alternatif teoritisasi HI sepanjang waktu dikendalikan oleh ritma
momen internasional: selama momen internasional tidak aman, maka tradisi yang
hadir adalah realisme; jika momen internasional aman, maka stabilitas
internasional memunculkan kreasi teoritisi liberal (1920an dan 1960an). Jadi
anomali peristiwa lebih menentukan teoritisasi HI daripada konfrontasi antar
pemikiran. Keempat, peristiwa dramatis berakhirnya Perang Dingin meningkatkan
keamanan warga dunia. Hal ini memberikan variasi teoritisasi lebih luas lagi.
Teoritisasi HI yang lebih luas dihadirkan dalam perseteruan antara rasionalis
dan refleksionis, dalam karya Maja Zehfuss, Constructivism in International
Relations: the politics of reality (2002)2 menjelaskan bahwa konstruktivisme
merupakan studi politik internasional yang peduli dengan ontologi konstruksi

2
Maja Zehfuss, Constructivism in International Relations: the politics of reality, (UK: Cambridge
University Press, 2002).
21

realitas sosial internasional yang berkaitan dengan SHI. Konstruktivisme


menempati wilayah ‘middle ground’ dengan membangun jembatan diantara
rasionalisme dan refleksionisme atau relativisme. Konstruktivisme menantang
rasionalisme yang menganggap bahwa realitas adalah kondisi alamiah yang
ditafsirkan sebagai apa adanya. Zehfuss menunjukkan pemahaman Alexander
Wendt yang terkenal: “what states make of it” untuk mengkritik pemahaman
rasionalisme. Pemahaman yang pada awalnya melihat realitas politik internasional
sebagai given berubah menjadi constructed. Bagi kaum konstruktivis, kepentingan
nasional mereka bisa saja tetap, tetapi identitas mereka bisa berubah. Norma-
norma sosial dapat menentukan praktik-praktik internasional dalam bentuknya
yang signifikan. Dalam menggerakkan mekanisme norma dan identitas, eksplorasi
makna-makna yang dikreasi dari intersubjektivitas sangat penting untuk
diperhitungkan. Dengan kata lain, konstruktivisme membaca politik internasional
dengan menafsirkan makna dan meraih pengaruh dari praktik-praktik perubahan
internasional atas dasar intersubjektivitas, daripada membaca politik internasional
dengan penjelasan validitas empirik dari mekanisme yang netral, objektif, terlepas
dari kondisi sosio-historis politik internasional yang sedang berjalan.
Walaupun di dalam tubuh konstruktivisme juga mempunyai banyak varian,
tetapi fokus dari konstruktivisme HI adalah analisis teoritis tentang signifikansi
makna dan eksistensi realitas a priori. Menurut Zehfuss, kerja Jeffrey Checkel dan
Wendt yang berusaha mensintesis antara konstruktivisme dan rasionalisme
memberikan pemahaman bahwa konstruktivisme lebih dekat dengan rasionalisme
daripada pemikiran yang lainnya. Tiga kunci pemikir konstruktivisme berada pada
kerja Alexander E. Wendt, Friedrich V. Kratochwil, Nicholas Greenwood Onuf.
Menurut Zehfuss, Kratochwil dan Onuf mempunyai kecenderungan untuk
membahas teori, sedangkan Wendt mengambil tradisi sosiologi berkaitan dengan
identitas.
Studi kasus yang menegaskan dan menguatkan teoritisasi konstruktivisme
adalah perubahan konstelasi politik internasional, khususnya peristiwa dratis
berakhirnya Perang Dingin. Dunia pasca 1990an diramaikan oleh peristiwa
Perang Teluk (1991), peristiwa Yugoslavia-Serbia (1998), operasi militer Jerman
22

yang digambarkan sebagai bagian dari penerimaan politik luar negeri Jerman
untuk membantu PBB, tanggung jawab baru Jerman tentang aturan main militer
dunia dan beberapa kasus lainnya. Semua fenomena tersebut merubah posisi
politik luar negeri Jerman di tatanan politik internasional. Perubahan politik luar
negeri Jerman ini dipengaruhi oleh norma, di mana politik luar Jerman
mempunyai kewajiban membantu dan menciptakan perdamaian dunia
internasional. Mekanisme intersubjektivitas terjadi di pemerintahan Jerman dan
pemaknaan kembali tentang tafsir hukum Jerman dan kebijakannya terhadap
politik internasional merubah identitas politik luar negeri Jerman ke arah
militeristik, daripada sebelumnya non-militeristik. Kehadiran berupa intervensi
militerisme Jerman di politik internasional juga memberikan wajah baru politik
internasional.
Konstruktivisme mempunyai kelemahan yang susah untuk dilengkapi.
Dalam artikelnya Wendt, “Anarchy Is What States Make of It: The Social
Construction of Power Politics,” dalam International Organization: a Reader,3
penulis menekankan beberapa poin kelemahan: pertama, secara
metodologis/epistemologis, Wendt nampaknya belum menuturkan batasan yang
cukup jelas dan signifikan antara posisi epistemologinya dengan dua titik ekstrim
yang dia jembatani—rationalist-modernist dan reflectivist-postmodernist.
Epistemologi sangat penting untuk berpijak pada realitas politik internasional dan
metodologi HI. Jadi mekanisme berpikirnya konstruktivisme yang seharusnya
harus dibedakan dengan secara cukup mengesankan di sini. Wendt mengklaim
dirinya sebagai strong-liberalism seperti konstruktivisme yang lainnya
(Kratochwil, Ruggie, dan Onuf). Dalam karyanya, “Social Theory of
International Politics” (1999), dia menjelaskan di bab pertama bahwa dia masih
memposisikan epistemologi/metodologi konstruktivisme di dalam kaum rasionalis
atau kaum positivis. Dengan jelas, dia berkata: “I am a positivist.”4 Dalam

3
Alexander Wendt, “Anarchy Is What States Make of It: the social construction of power
politics,” dalam International Organization: a reader, (USA: Harpaer Collins College
Publications, 1994), hlm. 77-94.
4
Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, (UK: Cambridge University Press,
1999), hlm. 39.
23

konteks ini, pendapat Ole Waever cukup menarik, ketika Wendt sendiri berkata
bahwa analisis dirinya lebih baik daripada analisisnya Keohane.5
Nampaknya sudah jelas bahwa konstruktivisme mempunyai kelemahan
metodologis, epistemologis dan ontologis. Kelemahan metodologis dan
epistemologinya diserang oleh kaum post-modernismis seperti Ashley dan Der
Derian. Menurut mereka, konstruktivisme adalah pemikiran yang ambigu:
Rationalist mainstream is softened, opened to tolerating new kinds of questions, but
the more radical impulses of post-structuralist can now be outmaneuvered because
the mainstream can focus on the ‘good guys among the reflectivist and thereby
forget about the bad guys.6

Konstruktivisme tidak dapat melepaskan diri dari kerangkeng besi positivisme


atau rasionalisme, sedangkan determinisme unit analisis state-centric merupakan
kelemahan ontologi konstruktivisme.
Berakhirnya Perang Dingin tidak hanya memunculkan konstruktivisme yang
berusaha lepas dari positivisme atau rasionalisme dan berusaha memahami
konstelasi politik internasional yang sudah berubah. Pemikiran baru muncul di
dataran Eropa Kontinental. Pemikiran baru dalam SHI ini dinamakan teori kritis
atau teori internasional kritis. Jill Steans & Llord Pettiford menjelaskan secara
sederhana tentang teori internasional kritis dalam SHI. Teori internasional kritis
dipahami pada kerangka pemaknaan atas dunia dari akarnya Karl Marx:
“philosophers have understood the world; the point is to change it,”7yakni
merubah dunia dan adanya relasi antara teori dengan praktik—kondisi sosio-
historis (theory as practice) merupakan kata kunci bagi pemikiran teori
internasional kritis. Menurut teori internasional kritis pengetahuan yang benar
adalah pemahaman atas pengetahuan teori yang terkait dengan ruang-waktu sosio-
historis masyarakat dunia. Dengan demikian, intelektual, filsuf, dan para teoritisi
seharusnya melakukan refleksi terhadap kondisi sosio-historis dunia, bukan
mengais-ngais teori yang abstrak untuk memperoleh dan berusaha mencapai

5
Waever, “Figures of International Thought: introducting person instead of paradigms, dalam The
Future of International Relations, diedit oleh Iver B. Neumann dan Ole Waever, (USA: Routledge,
2001), hlm. 24.
6
Ibid.
7
Steans & Pettiford, op.cit., hlm. 101.
24

kebenaran teori abadi, teori yang universal, berlaku kapan saja—terlepas ruang-
waktu.
Menurut mereka berdua, teori internasional kritis berbeda dengan neo-
marxisme dan teori dependensia: pertama, para strukturalis mengkonsentrasikan
pemikirannya pada struktur kekinian (status quo) dan mekanisme sistem
kapitalisme. Sedangkan teori internasional kritis menekankan lebih pada
konstelasi budaya dan ideologi dalam melengkapi varian hubungan sosial atau
sebaliknya, menantang mereka. Kedua, pemikiran Marxis ortodoks memahami
masyarakat secara ilmiah (scientifically). Sedangkan teori internasional kritis
memahami masyarakat secara ideologis. Ketiga, teori dan praktik tidak berarti
apa-apa (meaningless) jika terpisah dari aktivitas nyata manusia (realms of human
activity). Hal ini yang membawa teori internasional kritis pada pembebasan
manusia (human emancipation). Keempat, teori internasional kritis memandang
tidak secara kaku dan deterministik (pasti) relasi antara sistem ekonomi dan sosial
atau dinamika perubahan sosial. Dengan demikian, teori internasional kritis
‘membaca’ relasi antara masyarakat dan negara sebagai elemen yang otonom.
Kelima, teori internasional kritis tidak melihat masyarakat sebagai kelas, tetapi
beragam komponen seperti individu (human being), ras, etnis, jender, agama,
kelas, dll. Teori internasional kritis berusaha menekankan pada aspek ‘good
society’ yang tidak terbatas pada konsep negara-bangsa (beyond nation-state),
tetapi ontologi era post-Westphalia.
Kemunculan teori internasional kritis merupakan puncak dari proyek
modernitas dalam SHI. Rekonstruksi pemikiran HI dari idealisme hingga
kemunculan teori internasional kritis bersandar pada konsep utama: rasionalitas
Barat, khususnya Eropa Kontinental. Sedangkan kerangka berpikir dari teori
internasional kritis berakar pada analisis normatif, sosiologi dan praxeology. Teori
internasional kritis berusaha menghadirkan totalitas pemikiran rasionalitas yang
berasal dari tradisi Eropa Kontinental, khususnya cenderung pada tradisi
pemikiran Jerman: neo-Kantian. Kelemahan dari tradisi ini adalah
keterjebakannya pada rasionalitas Eropa Barat. Di satu sisi, teori internasional
kritis menyodorkan pembebasan manusia dari berbagai macam ras, suku, etnis,
25

agama, kelas, dll, tetapi di sisi lainnya teori tersebut menggunakan tradisi
pemikiran rasionalisme Eropa yang dikontekskan sekarang, khususnya pada kasus
integrasi komunitas nasional seperti bentuk European Union. Dengan kata lain,
teori ini beserta variannya berusaha mewujudkan universalisme, demokrasi
kosmopolitan, multikulturalisme, keberagaman di bawah satu payung atau wadah,
yakni tradisi pemikiran rasionalisme Eropa Kontinental. Tradisi pemikiran ini
merupakan bentuk asli dari akar tradisi pemikiran Yunani Kuno: Hellenism. Kritik
imanen yang digencarkan oleh kaum teori internasional kritis sesungguhnya
merupakan penarik sejarah kembali ke nostalgia zaman Hellenic Kuno dalam
sistem demokrasi langsung dan berfungsinya public sphere sebagai dimensi
intersubjektivitas dan konsensus atau ide tentang progresifitas dari discourse ethic
teori internasional kritis.
Pemikiran post-modernism memberikan alternatif baru dalam tradisi HI.
Pemikiran post-modernism dan pemikiran post-structuralism memberi peluang
untuk menggunakan tradisi pemikiran rasionalisme yang bukan berasal dari tradisi
pemikiran rasionalisme Barat atas dasar permainan bahasa teks/intertektualitas.
Sebelumnya teori kritis internasional memberikan kesempatan kepada studi
politik internasional dalam unit analisis apapun juga, tanpa mempunyai
determinasi analisis kepada negara-bangsa, level analisis sistem atau struktur yang
statis, kelas sosial, dan perubahan konstruksi politik internasional. Teori
internasional kritis memberikan peluang bagi SHI untuk menganalisis human race
secara umum dalam konstelasi politik internasional. Namun karena kerangka yang
dipakai masih menggunakan kerangka tradisi berpikir ala modernisme seperti
empirisme, rasionalisme (positivisme), sosiologi, maka analisis bahasa dalam
bentuk teks hanya digunakan oleh kaum post-modernist dan post-structuralist
dalam fenomena melihat politik internasional pasca Perang Dingin. Analisis teks
tidak mengandaikan wilayah tempat, tetapi wilayah ruang atau spasial sebagai
pemain politik internasional. Jika politik internasional diangkat dalam bentuk
intertekstualitas dengan menempati ruang pemikiran atau wacana di dunia, maka
pemikiran yang tenggelam, terpinggirkan, terkubur, terselip, tertendang,
tersingkirkan dari ranah mainstream modernitas dalam SHI dapat dimungkinkan
26

hadir mewakili wacana yang terkolonialisasi. Dengan demikian, tradisi pemikiran


rasionalisme Barat yang mengkolonialisasi rasionalitas yang-bukan-Barat dapat
tersingkap partikularismenya.

I.1.1. Kontemplasi Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional:


Memikirkan Kembali Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional
Tradisi pemikiran HI yang selama ini mengalami evolusi merupakan
proyek modernitas (modernisme) jaman pencerahan. Tradisi ini mempunyai
signifikansi visi: pengetahuan, teori, metodologi yang bersifat universal-tunggal,
menciptakan teori-teori mainstream yang menentukan kebenaran dalam membaca
realitas politik internasional, teori-teori ini berlaku kapan dan di mana saja. Dalam
dinamikanya berlangsung proses dialektika kuasa roh metafisika Hegelian untuk
mencapai totalitas teori atau totalitas pengetahuan yang dianggap benar.
Impikasinya tercipta suatu perubahan dunia agar lebih baik (progress) melalui
instrumen rasionalitas Barat abad pencerahan. Atas dasar ini, Steve Smith
menyodorkan hal yang berbeda, sekaligus mengkritik wacana modernitas tersebut
dalam artikelnya yang berjudul: “The Self-Images of a Disipline: A Genealogy of
International Relations Theory” (1995).8 Smith mempunyai kecenderungan pada
analisis post-structuralism dan post-modernism. Wacana SHI dari idealisme
hingga teori internasional kritis tidak memberikan ruang wacana lainnya untuk
bersuara atas ontologi konstruksi realitas sosial-politik internasional, tetapi hanya
berusaha mengkonstruksi pengetahuan yang universal-tunggal, total, linier dan
nomothetic. Di dalam koridor post-structuralism, setiap debat antar pemikiran
sebenarnya bukan merekonstruksi ke ranah kebenaran tunggal-universal melalui
cara berpikir lurus linier: evolusi tradisi pemikiran HI seperti Kahler jelaskan di
atas, tetapi dalam koridor memiliki atau mempunyai wacananya sendiri-sendiri di
setiap jamannya ketika membaca ontologi realitas sosial-politik internasional,
sehingga setiap wacana yang hadir di dalam SHI justru secara partikular
merepresentasikan self-images-nya sendiri. Oleh karena itu, yang ada hanyalah
8
Steve Smith, “The Self-Images of a Discipline: A Geneology of International Relations Theory,
dalam International Relations Theory today diedit oleh Ken Booth dan Steve Smith, (The
Pennsylvania State University Press: USA, 1995).
27

pengetahuan yang spesialis, realitas yang subjektif, konstruktif atas realitas sosio-
historis waktu-ruang/wilayah tertentu (unik), dan melampaui oposisi biner
Barat/non-Barat, masuk akal/tidak masuk akal, rasionalitas/irasionalitas,
mulia/rendah, putih/hitam, tinggi/pendek, sehat/gila, karena setiap pengetahuan
mempunyai dasarnya sendiri-sendiri. Pengetahuan yang diusung dari tradisi
pemikiran rasionalisme Barat (modernitas) ataupun yang terekonstruksi dalam
bentuk teori internasional kritis adalah pengetahuan abad pencerahan Barat yang
merupakan rekonstruksi tradisi pemikiran Yunani Kuno: Hellenic.
Smith memaparkan kegagalan wacana teori internasional khususnya
berkaitan dengan proyek modernitas. Teori internasional gagal dalam
mengembangkan keterkaitan antara praktik-praktik sosial dan prasyarat-prasyarat
pengetahuan sosial. Teori internasional cenderung mengemukakan praktik-praktik
internasional seakan-akan atau seolah-olah klaim-klaim penemuan kebenaran
rasio pemahaman teoritis hanya menghadapkan atau memisahkan antara: rasional
dengan irasional, waras dengan gila tanpa kemudian direlevansikan dengan
praktik-praktik realitas sosial yang ada di dunia internasional.9 Dengan demikian,
implikasi kebenaran total terhadap realitas sosial-politik internasional tidak
terjadi, sebaliknya teori internasional di dalam tubuh SHI hanya berkutat pada
rasio oposisi biner: masuk akal/tidak masuk akal, rasional/irasional, sehat/gila,
nyata/abstrak, dll, tanpa melihat realitas yang sesungguhnya—wilayah spasial
rasional yang-bukan-Barat, yakni pengetahuan yang sama sekali berbeda dengan
praktik-praktik tradisi pemikiran HI sebelumnya: pengetahuan kelokalan tiap
daerah. Di dalam studinya, Smith berusaha menyuarakan tiap wacana SHI yang
tengah diam. Dengan kata lain, Smith menguak kategori-kategori representasi tiap
wacana SHI yang hadir sebagai pengetahuan dan penempatan posisi tiap formasi
wacana di jamannya. Hal ini sangat penting, karena beragamnya wacana
menandakan beragamnya realitas dunia internasional. Dengan kata lain, tradisi
pemikiran HI menjadi heterogen melalui tradisi tiap daerah, tiap wilayah, tiap
suku, etnis, dll dalam membaca realitas dunia internasional.

9
Ibid., hlm. 2.
28

Smith mengilustrasikan sepuluh perdebatan dan posisi formasi wacana


SHI yang tentunya mempunyai ontologi realitas sosial internasional yang berbeda-
beda: International Theory versus Political Theory, Communitarian versus
Cosmopolitan Thought, The Three Rs, The Great Debates, The Inter-Paradigm
Debate, State-Centrism versus Transnationalism, Neo-Realism dan Neo-
Liberalism, the Post-Positivist Debate, Constitutive versus Explanatory Theory,
Foundationalist dan Anti-Foundationalist International Theory. Kritik yang
muncul melalui alat bantuan konsep Foucault dan Bauman, Smith berusaha
menunjukkan poin kritis penting dalam SHI, yakni “international relations theory
today is that these ten readings of that theory offer different accounts of what
international theory is about, and what should rightly be its concern.”10 Dalam
konteks ini, setiap wacana SHI yang hadir mempunyai peran penting bagi
kekayaan wacana SHI dalam membaca fenomena dunia internasional. Smith
berusaha menekankan pada pengetahuan SHI yang tidak didominasi atau
disuarakan oleh hanya satu wacana besar modernitas atau mainstream HI:
idealisme (utopia), realisme, tradisionalisme (sejarah, filsafat, dan hukum
internasional), saintisme (positivisme, rasionalisme, empirisme), neorealisme
(structural realism), neoliberalisme (liberal institusionalisme), neomarxisme (teori
dependensia), teori sistem dunia, konstruktivisme, teori internasional kritis, tetapi
Smith berusaha menggambarkan dan menunjukkan kepada setiap ilmuwan HI
tentang pluralisme pengetahuan SHI dan multidisipliner di dalam SHI, sehingga
tidak terjadi apa yang dikhawatirkan oleh Smith—dengan mengutip istilahnya
Bauman: “Holocaust International Relations,” yakni teori hubungan internasional
yang hanya disuarakan oleh satu suara saja, sehingga ketika menyentuh pada area
(spasial) massif dari ontologi kenyataan sosial-politik internasional, subjek
pengetahuannya akan bersifat homogen, tunggal, dan absolut kebenarannya
sekaligus menindas pengetahuan lainnya yang tersingkirkan, terkalahkan dan
terbungkam serta tenggelam dari realitas tradisi pemikiran HI. Dalam konteks ini,
Smith menamai fenomena ini sebagai: “the silences of international theory.”

10
Ibid. hlm. 30.
29

Walaupun dunia pasca Perang Dingin didominasi oleh mainstream HI


modern: idealisme sampai dengan teori internasional kritis, tetapi suara-suara
yang terbungkam dan pengetahuan yang terkolonialisasi dengan adanya kekerasan
epistemologi mulai bangkit dari kuburnya. Berdasarkan unit analisis yang
diberikan teori internasional kritis dan peluang pluralisme wacana pengetahuan
dari post-modernism dan post-structuralism, maka studi kearifan atau
pengetahuan lokal di tiap daerah atau wilayah dunia ini dapat berkontestasi dan
bersaing dengan pengetahuan mainstream HI modern yang sifatnya partikular dari
Barat (Eropa Kontinental dan Amerika Serikat). Perhatian teori internasional kritis
yang mengupas tentang komunitas budaya otonom di dalam SHI masih berkisar
dalam wilayah Eropa.

A.3. Studi Pascakolonialisme di dalam Tradisi Pemikiran Hubungan


Internasional
Studi pascakolonialisme di dalam tradisi HI sebenarnya bermaksud
mengatasi ranah tradisi pemikiran yang sama sekali belum disertakan sampai saat
ini dalam SHI yang kita kenal dan pelajari sampai saat ini. Ilmuwan HI Wight
menyinggung sedikit tentang ranah yang unik ini, yakni mengembangkan tradisi
pemikiran HI yang bersumber dari tradisi pemikiran Islam dan India dalam
karyanya International Theory (1991). Tradisi pemikiran HI dari idealisme hingga
yang paling puncak, teori internasional kritis sebagai penyempurna dari proyek
modernitas hanya mengacu dan berpijak pada tradisi pemikiran rasionalisme Barat
(Eropa dan Amerika Serikat) yang berawal dari jaman pencerahan. Dengan slogan
filsuf Jerman Immanuel Kant: “Beranilah berpikir,” rekonstruksi rasio Barat ini
terus berkembang dari filsuf Inggris David Hume, Thomas Hobbes, Immanuel
Kant, G.W.F.Hegel, Karl Marx, Max Weber, tradisi teori kritis sampai dengan
rekonstruksi akhir yang dikreasi oleh filsuf Jerman, Jürgen Habermas. Tradisi
pemikiran Barat ini justru sifatnya sangat partikular, ketika mentotalkan
proyeknya, sementara di daerah spasial lainnya masyarakat yang belum diwanai
dan mengenal tradisi tersebut belum dan tidak mungkin dihadirkan, tetapi justru
tertindas, termarginalkan, terbudakkan, tersingkirkan dan akhirnya terbungkam
30

dari tradisi pemikiran HI. Alam konteks ini, tradisi pemikiran HI modern susah
dan nampaknya masih tidak mungkin mengusung wacana pengetahuan komunitas
lokal daerah, bentuk kearifan lokal yang lama terkubur, tidak terjamah sama sekali
oleh kerangka berpikir atau ranah koridor yang lazim, normal di dalam tradisi
pemikiran HI modern.
Studi pascakolonialisme seperti membahas tentang representasi
pengetahuan etnisitas, suku, otentisitas komunitas tertentu di wilayah non-Barat
yang bernuansa perlawanan terhadap baik kekerasan fisik maupun epistemologi
Barat, penyuaraan komunitas yang tengah lama terbungkam oleh tekanan
epistemologi Barat, terkolonialisasikan abstraksi pemikirannya, sehingga menjadi
bentuk semacam gerakan subaltern yang masih belum tersentuh oleh tradisi
pemikiran HI ala non-Barat. Gerakan ini bergerak dalam bentuk komunitas di
Indonesia seperti gerakan pengetahuan komunitas suku Papua yang akan semakin
hilang, rendahnya perhatian dunia internasional terhadap sistem pengetahuan
subak dan pengetahuan desa adat di Bali, belum tersuarakannya sistem nagari
yang telah dijalankan oleh masyarakat Sumatra.
Studi Noer Fauzi, Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga
(2005) menjelaskan kasus perlawanan pengetahuan komunitas lokal terhadap
kondisi gerakan epistemologi Barat yang sangat represif dan opresif terhadap non-
Barat. Resistensi terhadap epistemologi Barat bermunculan di daerah seperti
Thailand, India, Indonesia, Vietnam, Brazil, Mexico, Equador, Afrika Selatan, dan
Filipina. Wacana komunitas lokal sebagai gerakan strategi politik-budaya begitu
penting dalam politik global sekarang ini. Sebagaimana teori internasional kritis
membaca dunia pasca Perang Dingin bahwa dunia internasional sekarang ini tidak
lagi terkotak-kotakkan dalam petak negara-bangsa (G-G/IGO-IGO relations),
MNC, LSM, INGO, masyarakat sipil yang mengalami kesadaran terhadap
kegagalan modernitas Barat, tetapi sudah mencapai taraf ras, etnis, suku, agama,
dll. Kemunculan radikalisme agama, terorisme, gerakan subaltern di India dan
Bangladesh dapat dilacak melalui analisis wacana teks dan kajian tradisi budaya
pemikiran dalam studi Pascakolonialisme. Studi ini dapat melacak aksi-reaksi
mereka sebagai gerakan yang cukup signifikan dalam permainan politik global
31

pasca Perang Dingin. Wacana tradisi pemikiran HI beserta teori-teori mainstream


HI modern sebelum Perang Dingin selesai kurang begitu peduli atau belum
menyentuh pengetahuan teoritis, konseptual yang mengangkat studi perlawanan
budaya pemikiran dan pengetahuan (counter-discourse) komunitas lokal ini. Isu
yang mempunyai muatan budaya dan analisis wacana ini sangat penting karena
Smith secara tegas sudah menjelaskan di atas bahwa dunia internasional sekarang
ini ditentukan oleh self-images dirinya sendiri dalam membaca ontologi dunia
internasional, sehingga kondisi dunia tersebut berwajah macam-macam—
tergantung pada teks yang dituturkan oleh pengetahuan budayanya masing-masing
sebagai self-images-nya sendiri.
Dalam kasus yang lainnya, misalnya kasus komunitas pertanian di Gunung
Kidul, Jogjakarta dan Pacitan yang diteliti oleh Francis Wahono dan Kenneth D.
Thomas.11 Penelitian yang berbentuk artikel ini membantah dua dalih: pertama,
konstelasi politik internasional dalam wujud globalisasi telah memberi peran dan
sumbangsih dalam penindasan, eksploitasi, penderitaan, kerusakan, ketidakadilan
serta kelaparan, ketimpangan dan keserakahan sebagian manusia demi
kemakmuran dirinya sendiri. Kedua, layaknya perang gerilya, gerakan perlawanan
yang paling efektif (baik) di era pasca Perang Dingin ini hanya dapat ditempuh
melalui strategi pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat dan inisiatif-
inisiatif lokalnya yang kemudian diglobalkan ke level internasional agar dapat
berjuang juga bersama yang lainnya. Akan epistemologi barat yang terbayangkan
dalam ontologi modernitas dalam rias wajah globalisasi ini meneguhkan
kemunculan teknologi yang tidak jelas nilainya (karena prinsip objektivisme) dan
tiadanya kontrol etika yang menghadirkan budaya konsumerisme yang
dikendalikan oleh mesin-mesin hasrat. Dengan bantuan pijak argumen dari
pemikir sosial populis seperti Seers, Ul Haq, Schumacher, mereka berdua
mengajukan suatu pendekatan alternatif yang berorientasi pada inisiatif
masyarakat lokal-regional, yakni pemberdayaan umat manusia oleh manusia.

11
Francis Wahono & Kenneth D. Thomas, “Globalisasi dan Inisiatif-Inisiatif Lokal, dalam
Pangan,” Kearifan Lokal & Keanekaragaman Hayati: pertaruhan bangsa yang terlupakan,
disunting oleh Francis Wahono, AB. Widyanta, Titus O. Kusumajati,dkk. (Yogyakarta, Cindelaras
& Satu Nama, 2001), hlm. 21-42.
32

Melalui strategi alternatif yang menyangkup dua spektrum: spektrum vertikal


(distribusi alat-alat produksi) dan sprektum horisontal (kekuatan jaringan
kerjasama lokal-regional-global), mereka menyontohkan wacana alternatif yang
berinisiatif lokal-regional tersebut. Misalnya, keberhasilan wacana komunitas
miskin di Bangladesh dengan mengadakan Bank Grameen. Keberhasilan Bank ini
menginspirasikan India, Nepal, Malaysia, dan Pilipina untuk menjalankan tepinya
sendiri; gerakan komunitas Siwa dari wanita-wanita miskin di India; gerakan
komunitas pertanian organik ala Fukuoka dan penelitian Cindelaras yang
dijalankan di Gunung Kidul, Jogjakarta dan Pacitan, Jawa Tengah. Semua tradisi
perlawan tersebut merupakan penyuaraan dari “the silences of international
theory” yang tengah terbungkam dan tersingkirkan sebagai suatu yang liar,
irasional, barbar dan ganjil. Selain praktik-praktik yang tengah terjadi, maka
teoritisasi pengetahuan semacam ini perlu disuarakan pula di dalam tradisi
pemikiran HI yang mewakili daerah Timur, khususnya Indonesia sebagai school
of thought baru dalam ranah tradisi pemikiran HI Timur.
Kasus lainnya, kita dapat penjelasan Wahono dan Thomas dalam
karyanya, “Kasus Gunungkidul: Membebaskan diri dari Kemiskinan dengan
Kehormatan-Diri” yang mengilustrasikan sebuah gerakan komunitas
Gunungkidul, wilayah tandus dataran tinggi Jogjakarta ini melakukan perlawanan
terhadap spirit Barat atau modernitas. Mereka menolak program-program modern
yang diusung dari LIPI dan departemen Pertanian Indonesia. Dengan sedikit
bantuan dari gerakan kelompok Cinderalaras, komunitas Gunungkidul tersebut
berusaha dibangkitkan kepercayaan dirinya, mentalitasnya, kemauannya melalui
acara kenduri (peringatan untuk mengenang kematian atau menandai tahap-tahap
perjalanan hidup). Sarana semacam diskusi-diskusi dalam forum pertemuan
seperti kenduri, slametan, dan acara lainnya di Gunungkidul ini, komunitas di
daerah ini mulai bisa mengembangkan usaha dengan pengetahuannya sendiri
seperti saat India, ketika pertama kali digerakkan oleh Mahatma Gandhi untuk
memintal sendiri dan melawan wacana dan praktik-praktik kolonialisme Inggris
dengan ikon garam. Sedangkan komunitas Gunungkidul ini melakukan
perlawanan dengan pengetahuannya sendiri untuk mandiri, yakni membuat bubur
33

kacang ijo hasil karya pengetahuan lokalnya di lingkungan mereka, menciptakan


formasi paguyuban Campursari, dan sub organisasinya seperti paguyuban Bulak
yang memfokuskan pada pengembangan pengetahuan pertanian sayur-mayur;
paguyuban tukang kayu yang memfokuskan pada pengetahuan pertukangan,
paguyuban rosari yang memfokuskan pada pengetahuan industri rumah tangga.
Komunitas Gunungkidul juga menolak arahan dan program modern dari LIPI
tentang penanaman papaya di musim yang tepat dan program modern dari
departemen pertanian tentang penanaman petai (fragrant bean). Komunitas
Gunungkidul mempunyai wacananya sendiri dalam bertani dan bercocok tanam.
Cara-cara gerakan epistemologi modern Barat yang disusung oleh institusi
modern justru ditolaknya, karena terbukti tidak memperoleh hasil yang
diharapkan (gagal). Keberhasilan yang dicapai melalui wacana komunitas
Gunungkidul: hasil panen yang baik, harga yang memenuhi standar hidup,
pengembangan peternakan, semakin banyaknya macam tanaman sayur-mayur,
pengembangan metode monokulturisasi, dan mempertahankan makanann
tradisional mereka: tiwul berdasarkan atas pengetahuan kelokalan mereka yang
sudah ada sejak nenek moyang mereka. Makanan ini merupakan hasil jerih payah
komunitas Gunungkidul dalam bidang penyiasatan kebutuhan primer. Tiwul
(berasal dari ketela pohon) adalah makanan keseharian yang sama dengan nasi,
roti ataupun gandum. Jadi tiwul mempunyai posisi egaliter dengan roti, keju dan
yang lainnya sebagai makanan pokok.
Selain wacana pengetahuan di atas, Wahono dan Thomas juga
menceritakan kasus wacana pengetahuan komunitas Pacitan. Mereka menjelaskan
tentang organisasi masyarakat seperti layaknya sistem irigasi terasering. Penelitian
partisipatoris yang dilakukan oleh organisasi komunitas (CO-PAR) Cindelaras
dengan metode FGD (focus group discussion) membuahkan hasil yang cukup
bagus, yakni masyarakat dusun ternyata dapat memetakan sendiri permasalahan
yang dihadapi berdasarkan data yang ada, dan kepala dusun Plapah seperti Basuki
memberikan inspirasi dan semangat bagi masyarakat di dusunnya. Hasilnya, Pak
Basuki dan Pak Muridno mulai melestarikan pengetahuan umbi-umbian lokal
(uwi, gembili), hortikultura (blestru, trememes) dan pisang. Selain itu, mereka
34

menjalankan pertanian organik dengan menggunakan pupuk kompos dan kotoran


ternak daripada buatan pabrik, pestisida kimia, dan herbaria. Uniknya, mereka
menolak pola-pola wacana modernitas Barat dengan menggunakan kalender
pertanian Jawa Kuno. Ini adalah bentuk dari tradisi pemikiran Jawa yang
sesunggunya signifikan didiskusikan dalam tradisi pemikiran HI dalam membaca
fenomena dunia internasional pasca Perang Dingin.
Mereka juga menanam padi lokal daripada padi hibrida. Mereka
mempunyai prinsip: “bertani seperti layaknya yang dilakukan oleh nenek moyang
kami.” Dalam sistem bertani, mereka membangun lumbung padi. Benih padi lokal
yang akan ditanam kembali tidak diperjualbelikan, tetapi untuk dibagi-bagikan:
mereka menyebutnya sebagai benih kehidupan. Dengan prinsip kejawen, Pak
Basuki yang pekerjaannya sebagai dalang selalu menolak dibayar dengan tunai,
tetapi justru diganti dengan berbagai macam: benih-benih padi, tunas-tunas pohon
pisang, umbi-umbian, atau benih-benih sayur-mayur untuk kemudian
dikembangkan lebih lanjut. Berkat bimbingan Pak Basuki, Nyonya Polindri
berinisatif membuat gerakan serupa di dusun binatani.
Pak Basuki, Pak Muridno, dan Nyonya Polindri menjalankan wacana ini
dalam metaphor sistem irigasi terasering (terraced irrigation system). Sistem ini
seperti layaknya air yang mengalir dari dataran atas ke dataran bawah secara
tuntas dan merata. Sistem ini dipahami sebagai pertanian organik dan konservasi
sumber-sumber genetika yang tidak memiliki suatu monopoli wacana
pengetahuan, baik laki-laki maupun perempuan. Semuanya mempunyai otonomi
yang sama dalam berpengatahuan, tanpa adanya represi atau kekerasan
epistemologi. Melalui sistem ini, para praktisi petani merasa dihargai dan ingin
sekali menguasai pengetahuan tentang pertanian organik secara lebih cepat.
Dalam konteks ini, setiap manusia pada hakekatnya ingin diperlakukan sama—
tetapi selama ini mereka dianggap barbar, primitif dan liar serta irasional dalam
menjalani kehidupannya.
Studi pascakolonialisme dalam bentuk counter-discourse memang tidak
boleh dinafikan lagi dalam tradisi pemikiran HI. Kita tidak perlu lagi mengatakan
bahwa studi pascakolonialisme seperti di atas bukan kajian HI, karena tindakan ini
35

merupakan kenaifan kaum ilmuwan HI Indonesia yang masih terbayangkan


dengan menggunakan epistemologi tradisi pemikiran HI modern Barat, bukan
tradisi pemikiran daerahnya sendiri. Di sini, mentalitas budak ilmuwan HI
Indonesia masih kental, sehingga studi pascakolonialisme menjadi sangat penting
untuk dikembangkan dalam tradisi pemikiran HI Indonesia. Studi
pascakolonialisme dalam aspek pertanian seperti di atas nampaknya mempunyai
peran yang signifikan dalam wacana kehidupan umat manusia dewasa ini pasca
Perang Dingin. Era Dunia internasional pasca Perang Dingin ini terdiri dari
komunitas-komunitas seperti di atas yang mempunyai wacana (pengetahuan)
berbeda dengan klaim-klaim sistem internasional modern Barat–sistem yang
mengklaim mengglobal, universal, dan kosmopolitan seperti klaim ontologi
modernitas, demokrasi liberal, demokrasi kosmopolitan, globalisasi, dan late
capitalism, industrialisme, dll, tetapi justru semua itu bentuk dari partikularisme
rekonstruksi tradisi pemikiran modern Barat.
Kasus di atas adalah bentuk kuat dari perjuangan wacana pengetahuan
lokal Indonesia terhadap dunia internasional yang didominasi oleh wacana
modernitas Barat. Di sini, penulis juga mencontohkan melemahnya wacana unik
di Bhutan, terletak di wilayah antara Tibet dan India, akibat represi dan opresi
epistemologi modern Barat. Dalam hal ini, tradisi SHI seharusnya sadar dan
berusaha mengkaji fenomena tentang eksploitasi, penindasan, marginalisasi,
penyingkiran, migrasi pemikiran atau fisik, perlawan dalam hubungannya dengan
wacana-wacana penguasa modern Barat mengenai sejarah, filsafat, ilmu
pengetahuan dan lingustik. Wacana pengetahuan Bhutan terlalu direpresi dan
diopresi oleh wacana-wacana modern Barat yang begitu gencar, sehingga
komunitas tersebut menjadi semakin terbungkam dan tertindas. Wacana
komunitas Bhutan begitu lemah sehingga komunitas tersebut memalingkan muka
dari prinsip dan tradisi hidup mereka dengan kemudian menatap kecantikan wajah
modernitas Barat dengan rias neoliberalisme. Kisah terhempasnya wacana
pengetahuan komunitas unik Bhutan ini diilustrasikan oleh Norena Heertz dalam
36

tulisannya, “Hidup Di Dunia Material: Munculnya Gelombang Neoliberalisme.”12


Heertz mengisahkan tentang kerajaan Bhutan yang menurut mitos disebut tanah
sang Naga halilintar, terletak di antara Tibet dan India, dan merupakan kerajaan
merdeka yang terakhir di kawasan Himalaya. Bhutan dengan suka rela
mengasingkan diri dari dunia luar. Mungkin karena Bhutan mempunyai
wacananya sendiri selama berabad-abad dalam membaca dunia ini. Perhitungan
alat ukur modernitas Barat memaparkan bahwa Bhutan ditempati oleh penduduk
sekitar 600.000 orang dengan sebutan negara termiskin di dunia, dikarenakan oleh
sudut pandang GNP per kapita, rata-rata pendapatan per tahun adalah $550.
Namun dalam wacana lain, perhitungan itu salah, sebab menurut Heertz,
perhitungan tersebut tidak mempertimbangkan fakta bahwa 85 persen dari
penduduk Bhutan giat dalam pertanian sub-sistem. Selain itu, transaksi barter
merupakan tradisi yang bertahun-tahun dijalankan, sehingga masyarakat Bhutan
tidak kekurangan sandang, pangan dan papan. Keberhasilan komunitas Bhutan ini
diukur dengan wacana pengetahuan self-images-nya sendiri: ekologis, etis dan
spiritual. Harga kehidupan ditetapkan lebih tinggi dari harga diri. Harga diri
berupa pertimbangan etis, moral dan pencerahan diri dihargai lebih tinggi
daripada harga kekayaan material. Nilai-nilai ajaran Budha dijunjung tinggi dan
tradisi pemikirannya tetap dipelihara: 2000 komunitas biara ada di negara tersebut
masih tetap aktif. Demikian pula Driglam Namsha, sebuah kode etik kuno, tetap
menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Menurut penuturan Heertz yang mengutip
Raja Bhutan, Jigme Singye Wangchuck: “Kebahagiaan Nasional Brutto lebih
penting daripada Produk Nasional brutto.” Selain wacana pengetahuan nilai-nilai
tersebut, komunitas Bhutan pun mempunyai prinsip hidup tidak boleh meminta-
minta dan mencegah kebiasaan mengemis dengan melarang menerima tips dari
turis-turis asing, dan melarang mengambil devisa negara melalui perusakan
lingkangan dengan menebang kayu-kayu. Jadi mereka tidak terburu-buru
menerima hal-hal yang bernuansa dan berspirit modern.

12
Norena Heertz, “Hidup di Dunia Material: munculnya gelombang Neoliberalisme,” dalam
Neoliberalisme, diedit oleh I Wibowo & Francis Wahono, (Yogyakarta, Cindelaras, 2003), hlm.
16.
37

Perubahan terjadi! Gerakan neoliberalisme semakin menghimpit dan


membungkam suara-suara komunitas Bhutan dalam proses homogenisasi tatanan
dunia internasional. Wilayah yang bersifat isolatif seperti Bhutan pun mejadi
terbuka telanjang dari arus modernitas Barat. Komunitas Bhutan sekarang
terlentang dihadapkan dengan modernitas Barat, sehingga terjadi perubahan yang
memarginalisasikan wacana pengetahuan sejarah dan tradisi komunitas Bhutan
seperti konsep pasar, uang, sistem barter dan transisi permainan panahan sebagai
olah raga nasional yang diganti dengan permainan basket, yang tidak terlepas dari
kaset video NBA yang dikirim dari New York, Amerika Serikat. Sesuai dengan
penuturan Heertz, budaya tontonan seperti Teletubbies, BBC, CNN, mengubah
semua wacana pengetahuan komunitas Bhutan, sehingga wilayah spasial yang
terbanyangkan bukan lagi Bhutan, tetapi modernitas Barat yang diusung oleh
Amerika Serikat. Hadirnya Nightclubs dengan musik-musiknya N’Sync dan
Britney Spears, remaja komunitas Bhutan yang berdatangan ke kuil-kuil dengan
lampu minyak untuk berdoa dengan mengenakan pakaian ala Barat dengan
gambar Spice Girls di dada mereka. Pengetahuan wacana modernitas Barat mulai
masuk, sehingga semua wacana pengetahuan petani yang hanya terbayangkan
dengan sistem bagi hasil dan barter diubahnya. Para petani tersebut sekarang ini
berdatangan ke kota-kota untuk mendapatkan mata uang asing (dolar Amarika
Serikat). Dari ilustrasi ini, Heertz memberikan abstraksi tentang kebungkaman,
keberakhiran wacana gerakan komunitas Bhutan yang tengah dilanda infiltrasi
modernitas Barat. Pada akhirnya gerakan wacana komunitas lokal terkalahkan
oleh wacana pengetahuan dari Amerika Serikat: neoliberalisme.
Tarik-menarik antara komunitas wacana lokal-regional-global dan
counter-discourse begitu penting dibahas dalam SHI. Sebagai ilmuwan dan
intelektual SHI, kita mempunyai keharusan untuk mempelajari, memahami dan
mengangkat isu-isu kelokalan ke tatanan politik global sebagai sebuah penyuaraan
suara-suara yang tengah terbungkam, representasi dari yang terpinggirkan,
resistensi terhadap homogenisasi modernitas Barat, bentuk dari sebuah counter-
discourse pengetahuannya sendiri terhadap kekerasan epistemologi modern Barat
di SHI dewasa ini. Dengan kata lain, wacana ini hanya dapat disuarakan dan
38

dikembangkan sebagai tradisi pemikiran di level tatanan dunia internasional


melalui tradisi pemikiran HI: SHI yang selama ini diajarkan di Indonesia masih
dalam kondisi partikular tradisi pemikiran HI modern Barat. Wacana tradisi
pemikiran komunitas lokal yang akan dibedah dalam studi ini, sebagai
representasi dari wacana pengetahuan lokal Indonesia dalam mengawali tradisi
pemikiran HI Indonesianis adalah wacana saminisme. Metode kronologi
pemahaman ini berjalan melalui pintu post-structuralism dan post-modernism
sebagai pintu penjelasan kompherensif, intelektual dan ilmiah memberikan
peluang bagi wacana pascakolonialisme: saminisme. Wacana saminisme ini
merupakan komunitas masyarakat yang mempunyai tradisi pemikiran dari
seseorang yang bernama samin, yang berjuang mati-matian melawan kolonialisme
Belanda saat itu di daerah Blora, yang menyebar ke daerah Rembang, Kudus
Selatan (Kalioso). Pilihan studi ini mempunyai signifikansi: pertama, wacana teks
pengetahuan yang dihadirkan oleh komunitas ini cukup unik, merupakan
resistensi terhadap modernitas Barat melalui metode dan pandangannya sendiri,
tetapi tetap bisa mewarnai dunia-kehidupan pasca Perang Dingin. Susah juga, jika
kita lihat sebagai fenomena kompromi atau kooperasi antara komunitas lokal
dengan modernitas Barat, sebab walaupun nampak secara ontologi realisme atau
materialisme keduanya nampak sama dalam satu dunia, ternyata dalam tatanan
pemahaman cara hidup, mereka mempunyai pengetahuan, penghayatan hidup,
nilai dan hakekat tujuan hidup yang berbeda dari yang lainnya. Kedua, keduanya
mempunyai pemahaman yang cukup berbeda tentang wacana power dan etika
dalam menjalani hidup. Misalnya, epistemologi modernitas Barat mempunyai
pemahaman bahwa batasan power itu bersumber pada rasionalitas instrumental,
yakni penguasaan terhadap alam, sedangkan komunitas lokal saminisme
mempunyai pemahaman pemahaman power itu bersumber kepandaian mereka
hidup berdampingan dengan alam dan beberapa strategi resistensi reaktif melalui
dimensi permainan bahasa. Sedangkan istilah etika, misalnya modernitas Barat
masih melihat bahwa etika atau moralitas internasional ditentukan oleh manusia
(antroposentrisme), yakni dari kemampuan argumen berupa rasionalitas
emansipatoris dan wacana etika degan instrument komunikasi di ruang publik
39

(public sphere). Yang menariknya lagi, tradisi pemikiran HI modern Barat selalu
mengusung pemahaman power dan etika abad pencerahan dengan mengadopsi
masyarakat Yunani kuno (Hellenic) sebagai rekonstruksi kegagalan demi
kegagalan masyarakat Barat, sehingga berusaha mewujudkan nostalgia masa
Hellenic berdasarkan pada pijakan kritik imanent dengan mewujudkan dunia
pasca Westphalia. Hal ini berbeda dengan wacana pengetahuan komunitas lokal
saminisme yang berpijak pada kondisi sosio-historis ruang-waktu
mewacanakannya—kondisional dan secara contingency Blora yang saat itu tengah
terjadi imperalisme Belanda. Wacana saminisme ini adalah teks pengetahuan
pascakolonialisme dalam dan terhadap tradisi pemikiran HI yang selama ini
mendominasi, menghomogenisasi analisis bacaannya terhadap ontologi realitas
dunia internasional. Ketiga, komunitas tersebut merupakan ikon gerakan
pascakolonialisme yang menggunakan teks permainan bahasa dan strategi politik-
budaya sebagai resistensi terhadap tradisi pemikiran HI modern Barat yang
nampaknya sudah tak terkendali, merusak, menindas, dengan mengubur dan
membungkam suara teoritisasi kelokalan lainnya. Dengan figur tokoh Samin,
wacana komunitas lokal saminisme menyuarakan pengetahuan dan nilai kelokalan
di tengah hiruk-pikuk politik dunia sebagai school of though tradisi pemikiran HI
Indonesia.
Studi ini akan membawa SHI pada studi pascakolonialisme, yakni
mengeksplorasi pengalaman penindasan, perlawanan (etnis, suku, agama, dll)
representasi, perbedaan, penyingkiran dan migrasi dalam hubungannya dengan
wacana-wacana penguasa modernitas Barat mengenai pengetahuan dunia
internasional, sejarah hubungan internasional, filsafat dan sejarah diplomasi, sains
dan linguistik. Studi ini sangat signifikan untuk mewarnai SHI ditengah
keterjebakkannya di dalam tradisi pemikiran HI modern Barat di wilayah studi
politik, ekonomi, ekonomi-politik, studi pembangunan, studi pengakajian strategi
keamanan, dan studi perdamaian, dll.
40

I.2. Pokok Permasalahan


Mengapa wacana tradisi pemikiran hubungan internasional modern
mengalami kesulitan dalam menjelaskan komunitas lokal di dalam studi
hubungan internasional?
Bagaimana alternatif pascakolonialisme mengilustrasikan komunitas
lokal?

I.3. Kerangka Pemikiran


Di dalam kerangka teori ini, tinjauan pustaka akan dijadikan pijakan atau
tumpuan studi ini. Karya yang dijadikan sebagai tumpuan dalam tinjauan pustaka
ini dapat dilihat melalui tulisannya: Michel Foucault yang akan membantu dalam
menjelaskan wacana-wacana SHI dan konsep power dan penjelasan Jim George
soal konsep discourse.

I.3.1. Tinjauan Pustaka


Karya Foucault yang cukup relevan dalam membantu tulisan ini, The
Archaeology of knowledge (1989). Karya ini merupakan analisis sejarah yang
berbeda dengan analisis sejarah lainnya. Dalam karyanya ini, Foucault berusaha
menunjukkan sejarah pengetahuan melalui pelacakan sejarah monumental yang
berbentuk teks dalam arsip, dokumen, karya utama seseorang, dan komunikasi
atau percakapan keseharian dalam bentuk situs dan artefak masa lalu. Foucault
mengatakan bahwa selama bertahun-tahun sejarawan masih berkutat pada studi
tentang kejadian berdasarkan periode atau waktu. Analisis ini berusaha
menentukan stabilitas kejadian, regulasinya, dan kondisi konstan sehingga karya
tersebut dapat memberikan prediksi kejadian kekinian dan masa depan. Seolah-
olah, sejarah adalah proses panjang yang ditentukan oleh ruang-waktu yang linier,
berkelanjutan, bersambung, dan rasional. Menurut Foucault, sejarah dunia atau
peradaban hanyalah sejarah monumental yang terjadi secara tiba-tiba, diskontinu
(patah-patah), memiliki struktur yang berbeda-beda dalam menempati ruang-
waktu, dan terkondisikan unik. Menurut Foucault, sejarah mempunyai wacananya
41

sendiri-sendiri, ranahnya sendiri dan bentuknya yang partikular. Dalam sejarah


monumental ini, Foucault menegaskan:
There are the epistemological acts and thresholds described by Bachelard: they
suspend the continuous accumulation of knowledge, interrupt its slow
development, and force it to enter a new time, cut it off from its empirical origin
and its original motivations, cleanse it of its imaginary complicities.13

Selain menekankan pada epistemological act dan threshold yang


digambarkan oleh para sarjana, Foucault juga menekankan pada keberadaan
displacement dan transformations dalam sebuah konsep. Dalam sebuah kejadian
(event) atau monumen sejarah, menurut Foucault terdapat konsekwensi: adanya
sebuah penciptaan, pembangunan metode, pencapaian, kegagalan dari ilmuwan
partikular. Jadi ilmuwan satu dengan ilmuwan yang lainnya mempunyai
metodologi dan metodenya sendiri, yang mempunyai level berbeda-beda.
Foucault juga membedakan antara total history dan general history. Total
history berusaha menunjukkan secara menyeluruh sejarah dunia atau sejarah
peradaban, prinsip-prinsipnya berdasarkan waktu-ruang yang secara metafor
semuanya merupakan ‘the face’ of a period. Sebaliknya general history
merupakan new history yang mempunyai tipikel, kronologi, sketsa, kemungkinan-
kemungkinannya sendiri. Dalam konteks ini, new history ini merupakan perayaan
heterogenitas dan pluralitas. Berdasarkan inilah, Foucault selalu menegaskan
tentang sejarah monumental yang sifatnya unik, tidak terduga, dan sesuatu yang
hanya digali maknanya agar hidup manusia terkuak pesona kehidupannya.
Jim George merupakan pemikir Australia yang cukup kritis terhadap
pendekatan positivisme dalam SHI dan perspektif realisme/neo-realisme. Karya
Discourse of Global Politics: A Critical (Re) Introduction to International
Relations dalam sub judul: “Postmodernism: (Re) Introducing International
Relations as Discourse,” George menggunakan konsep discourse dalam
menjelaskan discourse realisme yang membangun kondisi sosiolinguistik di
bawah teori yang realistik dan praktek yang bisa dijalankannya, dibangun secara
simultan melalui definisi teks penuturan yang hanya berkaitan dengan bahasa,
bukan dengan realita. Jadi menurut definisi ini, bahasa sebagai teks
13
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, (London: Routledge, 2002), hlm. 4.
42

merepresentasikan realitas di dunia. Bagi pendekatan ini, George menegaskan:


“an integral part of the relations of power that is present in all human societies.”
Dengan demikian, realitas itu tidak netral, tetapi “is always imbued with the
power and authority of the names and maker of reality—it is always knowledge as
power.”14 Jadi analisis wacana SHI dalam pemahaman George mengarah pada
kondisi pengetahuan yang melekat dengan power.
Studi yang penulis kerjakan merupakan penegakan kembali pendekatan
post-structuralism, khususnya pemikiran Foucault. Penggunaan konsep utama
dari pendekatan penulisan ini adalah konsep discourse yang digunakan oleh
Foucault dan dikembangkan oleh George di SHI. Namun. Studi penulisan ini
berbeda dengan kerja teoritisnya Jim George yang mengupas begitu luas
konstelasi SHI dan keterkaitannya dengan kondisi modernitas hingga
postmodernitas Barat. Studi ini hanya memfokuskan pada strategi dekonstruksi
tradisi pemikiran HI modern Barat dengan pendekatan postmodern dan post-
structuralism, sehingga dapat berpijak pada tradisi pemikiran HI Indonesia
sebagai self-image-nya snediri dalam membaca dunia internasional. Strategi
dekonstruksi dan yanglainnya akan dikembangkan dan dijabarkan lebih luas di
Bab II dan Bab III akan mengupas keberakhiran tradisi pemikiran HI modern
Barat dan memulai pembentukan teoritisasi wacana tradisi pemikiran HI
Indonesianis.
I.3.2. Kerangka Konseptual
Studi ini menggunakan konsep utama wacana atau discourse. Sebagai
mana dilacak melalui Kamus, wacana dalam bahasa Inggris adalah discourse.
Istilah wacana merupakan praktik bahasa yang biasa dikaitkan dengan istilah
diskursus.15 Dalam bahasa Indonesia, istilah diskursus belum ada, tetapi kata yang
mendekati istilah itu hanyalah diskursif.16 Diskursif berkaitan dengan kata nomina
seperti nalar berupa kemampuan, kecerdasan, dan pemikiran yang logis. Wacana

14
Jim George, Discourses of Global Politics: A Critical (Re) Introduction to International
Relations, (USA: Lynne Rienner Publishers, Inc., 1994), hlm. 30.
15
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2003), Sub-bab “Diskursus Posmodernisme.”
16
Ibid. hlm. 119. Dikatakan oleh Weedon bahwa diskursif adalah kata sifat dari bentuk diskursus.
43

atau diskursif dikenalkan oleh tokoh pemikiran post-structuralism: Michel


Foucault sebagai analisis yang sangat mendalam tentang fenomena struktur relasi
antara pengetahuan dan kuasa. Pemikiran Foucault secara sederhana dituturkan
oleh Danaher-Schirato-Webb (DSW). DSW mengatakan bahwa wacana adalah
format bahasa yang berhubungan dengan ide-ide dan lontaran-lontaran pernyataan
yang menampakkan nilai-nilai dasar. Wacana berguna untuk melukiskan nilai-
nilai dasar kata-kata pelaku bahasa. Kata-kata tersebut memberikan kita sesuatu
yang masuk akal dalam ‘melihat’ sesuatu.17
Sedangkan dibalik dari wacana terdapat kuasa (material force) yang
ditampilkan oleh penutur teks-teks bahasa atau praktik-praktik bahasa yang
ditentukan sepenuhnya oleh keterbatasan kemampuan nalar, kecerdasan, dan
pemikiran logis dirinya, yakni pengetahuannya. Mills menekankan bahwa hanya
teks-teks bahasa dan aksi-praktis bahasa saja, pengetahuan dapat ditampilkan.
Sedangkan dibalik semua itu adalah kuasa (material force) yang dapat dilihat,
dijelaskan, dan dimengerti.18 Kuasa ini hadir dibalik arsip pidato, laporan
(dokumen), ide-ide, manifestos, historical events, interviews, policies, dan
organisasi atau institusi. Semua itu ditampilkan dalam format bahasa teks (inter-
tekstualitas) dan tulisan.19 Studi Foucault ini tidak mencari benar-salah, baik-
buruk suatu pengetahuan seperti pencarian kebenaran yang dilakukan oleh ilmu
pengetahuan ilmiah (sains) dan sejarawan, tetapi studi Foucault ini justru melihat
proses penjelajahan wacana (relasi pengetahuan/ kuasa) yang berbeda-beda di tiap
jaman tertentu dalam kerangka struktur pengetahuan/kuasa yang mereproduksi
kebenaran.20

17
Geff Danaher, Tony Schirota, dan Jen Webb, Understanding Foucault, (London: SAGE
Publications Ltd., 2000), ch. Glossary, hlm x.
18
Sara Mills, Discourse, (London: Routledge, 1997), hlm 17-22.
19
David Howarth, Discourse, (Philadelphia: Open University Press, 2000), hlm. 10
20
Ibid., hlm. 77-79.
44

I.4. Hipotesa
Wacana teori modernitas dalam studi hubungan internasional mengalami
kesulitan dalam menjelaskan fenomena perlawanan komunitas lokal dalam dunia
internasional. Argumen yang akan dilontarkan pada sudi ini: pertama, tradisi
pemikiran HI modern adalah kuasa/pengetahuan atas realitas politik dunia.
Mereka adalah metanarrative dalam SHI yang tidak akan pernah menarasikan
repsentasi tradisi-tradisi kelokalan atas HI. Kedua, SHI masih terjebak pada
ortodoksi epistemologi, sehingga yang terjadi hanyalah analisis metafisika
Hegelian tanpa menginjak pada realitas sosio-historis dunia internasional. Dasar
tradisi pemikiran ini adalah sifat partikularisme yang bisa dilacak melalui
konsistensi tradisi pemikirannya dalam menegakkan tradisi pagan Yunani Kuno,
khususnya tradisi pemikiran Hellenisme Ketiga, wacana tradisi pemikiran HI
modern: Ok! Tradisi pemikiran indigenous people atau komunitas lokal: Yes!

I.5. Tujuan Penelitian


1. Menggambarkan wacana tradisi pemikiran HI modern
2. Membongkar tradisi pemikiran HI modern dengan menerapkan
pendekatan arkheologi dan genealogi Foucaultian agar bisa menyuarakan
wacana tradisi pemikiran indigenous people atau komunitas lokal.
3. Mengilustrasikan studi pascakolonialisme di SHI dan memberikan
pemaknaan ulang realitas dunia internasional dari pandangannya, yang
selama ini tengah didominasi dan dikuasai analisis wacana tradisi
pemikiran HI modern agar studi pascakolonialisme ini bisa menciptakan
kondisi egaliter, berkeadilan sosial, meberikan peluang untuk melindungi
kekayaan budaya dan wacana kelokalannya.
4. Menginspirasikan tradisi pemikiran HI baru (school of thought) yang
sifatnya indigenous dan berkearifan lokal dan mempunyai efek di tatanan
global secara intertektualitas.
45

I.6. Maksud Penelitian


1. Secara akademik, sebagai persyaratan kelulusan kuliah Pasca Sarjana
2. Secara teoritis, mengaplikasikan pendekatan post-structuralism dan post-
modernism, dan memberikan sumbangsih tradisi pemikiran HI dan konsep
baru di SHI.
3. Secara praktis, studi ini memberikan wajah dan ruang baru dalam SHI
berupa wacana tradisi pemikiran HI Indonesianis, sehingga kolonialisasi
epistemologi dan kekerasannya dapat disudahi, dan memberikan
kesempatan kepada penulis lainnya untuk mengembangkan kajian ini.

I.7. Metode Penelitian


Metode penelitian studi ini bersifat interpretatif dan intertekstualitas
dengan sejauh mungkin mengupayakan analisis permasalahannya, yakni
menjelaskan gagasan baru berupa pentingnya pendekatan post-structuralism dan
post-modernism sebagai pintu masuk wacana alternatif SHI: studi
pascakolonialisme, yakni peduli terhadap fenomena perbedaan, penindasan,
eksploitasi, marginalisasi, perlawanan, representasi, penyingkiran budaya kita
dalam hubungannya dengan wacana-wacana penguasa modernitas Barat mengenai
sejarah, filsafat, pandangan hidup, sains dan bahasa yang kita gunakan.
Kelemahan pendekatan post-structuralism dan post-modernism melalui
prosedur logosentrisme adalah tidak empirik dan tidak aanya relasi yang
deterministik terhadap sebab-akibat yang pasti. Kelemahan ini memberikan
kesulitan pada seuah pertanyaan-pertanyaan tentang relevansi teks dengan realitas
sesungguhnya. Jadi tesis ini tidak menciptakan relavansi antara des sollen dan de
science.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi literatur
(literature review). Sedangkan data primer dan data sekunder digunakan dalam
penelitian ini. Data primer dalam penelitian ini dimengerti sebagai data asli
melalui buku teks utama yang ditulis oleh para pemikir tradisi HI secara langsung.
Kemudian data sekunder adalah data yang berisi teks-teks dari post-structuralism
dan post-modernism dalam bentuk penafsiran dan pemaknaan atas fenomena
46

dunia internasional dan hasil-hasil penelitian. Dengan demikian, metode ini


bernuansa post-structuralism dengan menganggap realitas sebagai teks yang
saling terkait: intertektualitas. Hal ini akan dikembangkan lebih lanjut di Bab II.
Data di atas dalam penelitian ini dicari di CSIS, Laboratorium hubungan
internasional Universitas Indonesia Depok, Perpustakaan Andi W. dan beberapa
jurnal seperti Millenium, International Studies Quarterly, Studi Kawasan
Amerika, dan Jurnal Eropa, Jurnal Politik Internatisonal Global serta Wawancara
dengan Gus Dur di Kantor PB NU, Keramat Raya, Jakarta Pusat.

1.8 Sistematika Penelitian


BAB I berisi: latar belakang, perumusan masalah, kerangka teori, tujuan dan
maksud penulisan, metode penelitian, dan sistematika tulisan.
BAB II berisi: Wacana-wacana tradisi pemikiran studi hubungan internasional.
BAB III berisi: Puncak dari wacana tradisi pemikiran HI modern, yakni tradisi
pemikiran kritis yang dikembangkan oleh Barat (Eropa dan Amerika Serikat)
BAB IV berisi: altarnatif studi pascakolonialisme sebagai salah satu kajian yang
memberikan jalan untuk mewarnai tradisi pemikiran HI secara umum di dunia
dengan tradisi pemikiran indigenous people atau komunitas lokal
BAB V berisi: Kesimpulan.
47

BAB II
SEJARAH WACANA
TRADISI PEMIKIRAN HUBUNGAN INTERNASIONAL MODERN

Bab ini berisi bukan tentang penjelasan sejarah studi hubungan


internasional (SHI) pada umumnya, tetapi tentang penjelasan tentang sejarah SHI
melalui pendekatan arkeologi pengetahuan dan pendekatan genealogy (genealogi).
Melalui dua pendekatan ini, konstelasi politik sesungguhnya terkonstruksi oleh
berbagai macam wacana yang timbul-tenggelam, yang diperlihatkan dalam bentuk
tatanan pengetahuan (the order of knowledge) dalam tubuh SHI. Episteme adalah
istilah yang digunakan Foucault dalam mendefinisikan tatanan pengetahuan yang
paling dominan di jamannya. Episteme secara sederhana adalah tatanan wacana
yang dominan dari wacana-wacana yang tengah tenggelam yang terdiri dari order
of discourse sendiri atau discursive formations yang berisi tentang, konsep, istilah,
teori, perspektif, pernyataan-pernyataan/dalih (statements). Formasi diskursif ini
membangun dan menyebar ke ranah konteks wacana yang dominan tersebut;
formasi diskursif ini dapat timbul-tenggelam oleh formasi diskursif yang lainnya
pada jaman yang berbeda pula. Jadi formasi diskursif ini merupakan pengetahuan
yang berbentuk wacana dominan di jaman tertentu.
Jika arkeologi hanya sampai pada tahap penjelasan tentang pengetahuan
dalam bentuk wacana yang dominan di jaman tertentu, pendekatan genealogi
mempunyai cara tersendiri, yakni berusaha memahami relasi antara kuasa dan
pengetahuan yang disebarkan oleh para pengarang beserta penjelasannya ke ranah
konteks politik internasional. Pendekatan arkeologi dan pendekatan genealogi ini
dibahasakan dalam SHI oleh ilmuwan hubungan internasional (HI), Der Derian
sebagai intertekstualitas/hubungan internasional (international/intertextual
relations). Der Derian menolak semua pendekatan HI sebelumnya, karena mereka
semua tidak cukup menampilkan dan merepresentasikan hakekat kontelasi politik
internasional yang mempunyai kemungkinan dapat dipahami dalam kerangka
logosentrisme. Prosedur logosentris ini menampilkan dunia sosial internasional
yang dipenuhi oleh fenomena perbedaan, marginalisasi, penindasan, penyingkiran,

47
48

eksploitasi, penafikkan, dominasi, perlawanan, resistensi dan representasi ‘sang


diri.’ Fenomena ini ditangkap oleh kerangka logosentrisme dengan menggunakan
instrumen linguistik dan makna bahasa (simbol). Dengan demikian, sesuai dengan
konteks ini, pemikir HI seperti A.B.J. Walker, Michel Shapiro, Klein, James Der
Derian dan Richard Ashley dan penulis sendiri berargumen bahwa wacana
(discourse) mempunyai kemampuan menentukan konstruksi dan penaklukan
manusia dan konstelasi politik internasional.
Argumen di atas menegasi semua pemikir HI sebelumnya: Pertama,
menegasi idealisme yang berargumen bahwa ide, gagasan, norma, kebaikan
melalui instrumen negara dan organisasi internasional menentukan kontruksi dan
penaklukan manusia dan konstelasi politik internasional. Kedua, menegasi
realisme yang berargumen bahwa kondisi realistik manusia, sifat dasar manusia
yang egoistik, pragmatis, self-help, brutal, keji, kejam dan dingin melalui
instrumen negara mempunyai kemampuan untuk menentukan konstruksi dan
penaklukaan manusia, dan konstelasi politik internasional. Ketiga, menegasi kaum
tradisional, yakni para sejarawan, filsuf politik, ahli hukum dan ahi praktik-praktik
diplomasi bahwa sejarah, filsafat politik, hukum (Grotian), dan etika (Kantian)
melalui instrumen negara cukup signifikan dalam menentukan konstruksi dan
penaklukan manusia (human race) dan kontelasi politik internasional. Keempat,
menegasi saintisme yang berargumen bahwa ilmu pengetahuan (alam),
rasionalisme, empirisme, positivisme, akal (ras cogito), kerangka
antroposentrisme dan perilaku aktor HI merupakan elemen yang paling
menentukan konstruksi dan penaklukan manusia dan konstelasi politik
internasional. Kelima, menegasi varian dari positivisme, yakni neo-positivisme
HI, structural realism, Kenneth Waltz yang berargumen bahwa struktur dan
sistem merupakan elemen yang paling menentukan konstruksi dan penaklukan
manusia dan konstelasi politik internasional. Keenam, menegasi konstruktivisme
(constructivism) yang berargumen bahwa konstruksi ide dan gagasan, identitas
dan kepentingan melalui instrumen agen negara menentukan konstruksi dan
penaklukan manusia serta konstelasi politik internasional. Ketujuh, menegasi teori
internasional kritis (critical international theory) yang berargumen bahwa rasio
49

emansipatoris, dialog, etika-wacana (discourse ethic) melalui instrumen


komunitas, masyarakat dan warga negara menentukan konstruksi dan penaklukan
manusia dan kontelasi politik internasional.
Menegasi merupakan respon atas kebuntuan SHI yang hanya berputar-
putar pada ranah rasio Barat saja. Kebuntuan adalah stagnasi tradisi pemikiran HI
yang belum menyentuh lokus budaya, tetapi masih memfokuskan pada lokus
politik, ekonomi dan ekonomi-politik saja.konteks ini dapat dikatakan sebagai
kesulitan SHI dalam memasukkan studi budaya sebagai lokus kajian dalam
wilayahnya. Melalui jalan ini, SHI membatas-batasi dirinya sendiri sebagai suatu
disiplin ilmu. Dengan demikian, SHI kurang mampu merespon peristiwa-
peristiwa unik pasca Perang Dingin seperti munculnya gerakan komunitas lokal
secara praxis, yang dilator belakang sudah penulis sebutkan. Pengkotak-kotakkan
ilmu membuat SHI lebih sempit dan terjebak pada wilayah ideologis. Karena
wilayah SHI sekarang hanya merepresentasikan wilayah umum dan besar yang
dikonstruksi oleh pelaku-pelaku besar, seperti politik dunia antara Amerika
Serikat-Uni Soviet, Perang-Damai Eropa ketika Perang Dunia I dan Perang Dunia
II, dll. Jadi istilah seperti menegasi sebenarnya berusaha memunculkan suatu yang
masih tersembunyi, karena keberadaan wilayah yang tampak begitu besar. Hal ini
terjadi, karena SHI membatasi dirinya agar diklaim sebagai suatu disiplin ilmu
baru, padahal perkembangan ilmu justru karena transdisiplin kajian yang begitu
beragam dan mengadopsi dari berbagai macam pendekatan, teori, dll. Semua ini
adalah kemacetan atau kebuntuan SHI atas konsekwensi dari membatas-batasi
tubuh keilmuan dirinya atau menutup mata dari fenomena unik dengan
mengklaimnya sebagai variable yang tidak perlu ata tidak signifikan.
Istilah dan argumen di atas sangat penting dalam memahami perubahan
konstelasi politik internasional, sebab wilayah SHI adalah sarana bebas untuk
memaknai konstelasi politik internasional dewasa ini. Wilayah SHI adalah ruang
kosong yang siap diisi oleh para penakluk (imperial) bidang studi sebagai alat
politik-ideologisnya atau will to power-nya. Sebaiknya kita menempatkan diri
terlebih dahulu sebagai ‘pembaca’ yang mengunjungi festival karnaval teori atau
wacana. Dengan kata lain, sebaiknya kita berusaha memasuki alam wacana yang
50

beragam untuk fleksibel memilih dan menciptakan diri kita lebih bijak. Hal ini
sangat penting agar kita selalu waspada terhadap dogma ilmu pengetahuan atau
disiplin ilmu yang kita pelajari dan terus mewaspadai atas will to power suatu
wacana tertentu. Selain itu, kita akan lebih waspada akan arogansi dan tradisi
penindasan, marginalisasi, pengucilan, penguburan dan penyembunyian wacana-
wacana unik, aneh, ganjil dan nampak tidak signifikan oleh fihak-pihak ilmuwan
tertentu, khususnya ilmuwan status quo yang susah untuk menerima wacan-
wacana baru.
Agar kita bisa bertengger di kepala pewacana tradisi pemikiran HI, maka
mereka akan dijelaskan dan diilustrasikan lebih luas dan tajam di bawah ini
sebagai suatu rangkaian reproduksi dan akumulasi wacananya. Di bawah ini
adalah sejarah tradisi pemikiran HI yang berusaha diteguhkan dan diteruskan oleh
para penerusnya dalam rangka berpijak pada fondasi-fondasi tradisi pemikiran HI
sebelumnya. Selain itu ilustrasi tersebut, bagian bab ini akan mengilustrasikan
arkeologi pengetahuan HI dan genealogi kuasa pengetahuan HI dari awal
berdirinya studi ini—yang dimulai dari wacana idealisme—hingga perkembangan
yang paling mutakhir: wacana teori internasional kritis (critical international
theory). Namun di bagian ini, pembahasan hanya sampai pada pendekatan neo-
positivisme atau strukturalisme dalam SHI. Sebab wacana teori internasional kritis
akan dibahas tersendiri pada bab selanjutnya.

II.1. Arkeologi Pengetahuan dan Genealogi dalam Studi Hubungan


Internasional
Bagian ini terdiri dari penjelasan tentang konseptualisasi arkeologi
pengetahuan, genealogi dan penerapannya dalam SHI. Konseptualisasi arkeologi
pengetahuan dan genealogi ini diperkenalkan dan dipopulerkan satu paket dalam
dua karyanya yang terpisah oleh filsuf Perancis Michel Foucault. Lebih lanjut,
pemikiran Foucault ini mempengaruhi studi atau ilmu disiplin HI, sehingga dia
menginspirasikan pemikir atau ilmuwan HI seperti Walker, Shapiro, Klein, Der
Derian Cristian Reus-Smit, Ashley, dkk untuk kemudian mengembangkannya
dalam SHI. Pengembangannya tersebut secara lebih lanjut akan dijelaskan oleh
51

pendapatnya Der Derian di bagian tertentu, di bawah ini lebih mendalam seperti
membahas tentang prosedur logosentris dan dekonstruksi dalam SHI.
II.1. 1. Konseptualisasi Arkeologi Pengetahuan
Pendekatan ini sangat berbeda dengan dialektika HI Hegelian yang
berusaha mencapai totalitas pengetahuan HI atau kebenaran yang absolut tentang
ilmu HI. Dengan bantuan karya Foucault, The Archeology of knowledge (1989),
bagian ini akan menjelaskan kerangka sejarah pengetahuan melalui pelacakan
wacana sejarah monumental atau peristiwa khusus. Arkeologi pengetahuan
merupakan pendekatan yang berusaha memunculkan bagaimana episteme21
bekerja dan ‘speak themselves’ melalui apa yang disebut dengan produksi
‘discursive formations’22 (formasi diskursif) atau orders of discourse’23 dengan
menghapus atau membuang (exclude) segala sesuatu yang berbeda dengannya.
Beberapa formasi diskursif merupakan prinsip episteme yang terorganisir. Mereka
bekerja untuk menggerakkan kemungkinan wacana, mengorganisir gagasan atau

21
Istilah episteme muncul dalam karya Foucault, The Order of Things (1973). Kata ini muncul,
ketika Foucault mengilustrasikan sejarah ide-ide di Eropa Barat selama kurang lebih 400 ratus
tahun. Istilah episteme ditemukan, ketika dia memahami bahwa sejarah hadir tidak melalui
keberlanjutan, progresif, keaslian, keajegan. Episteme mengorganisir pandangan-pandangan dunia
tentang mereka sendiri (periode sejarah yang bermacam-macam). Timbul-tenggelamnya episteme
tidak mengacu pada keaslian narasi yang murni, berkembang, berlanjut atau progresif. Episteme
bukan tubuh pengetahuan yang tunggal seperti penjelasan beberapa istilah tertentu dalam
terminologi ilmu pengetahuan. Episteme adalah produksi prinsip-prinsip yang terorganisir yang
berkaitan tentang sesuatu terhadap sesuatu yang lainnya dengan mengklasifikasi sesuatu dan
dengan mengalokasikan arti dan nilai-nilai mereka. Ruang episteme beroperasi dalam alam bawah
sadar –kita tidak memikirkan tentang sesuatu hal tentangnya atau mengacu kepadanya. Mereka
adalah dasar segalanya bagi kita dan kita taken for granted mereka. Seperti kita melihat film
animasi Jepang yang terkenal, One Peace. Kita dapat meraba episteme-nya melalui pemahaman
dibalik teks film tersebut. Foucault mengidentifikasi tiga episteme yang beroperasi selama 400
tahun dalam karyanya: abad pencerahan dunia ditentukan oleh Tuhan (God), Klasik –dunia
ditentukan oleh pendekatan saintifik (Nature) dan Modern –ditentukan oleh manusia (Man). Ada
kemiripan dengan pergeseran paradigmanya Thomas Kuhn, tetapi perbedaan yang signifikan
adalah Kuhn masih melihat alasan saintifik berkembang kurang-lebih dengan progres yang linier,
yaitu membangun suatu blok pada sesuatu yang sudah manjadi pakemnya, dan menambahkan
kebenaran baru untuk menghadirkan tujuh pengetahuan. Lihat Geoff Danaher, Tony Schirato dan
Jen Webb, Understanding Foucault, (London: SAGA Publications, 2000), hlm. 15-21.
22
Penulis merasa kesusahan menterjemahkan istilah discursive formations. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hlm. 269. Istilah discursive diartikan
dengan: 1). Sesuatu yang berkaitan dengan nalar: kemampuan; 2). Disimpulkan dengan logis:
pemikiran; 3). Hal: kecerdasan. Jika digabung dengan formations, maka dapat ditarsir formasi
pemikiran. Di atas, formasi pemikiran diartikan sama dengan orders of discourse.
23
Istilah order of discourse sama dengan formasi diskursif.
52

ide dan memproduksi ‘objects of knowledge’ (objek pengetahuan).24 Dasar dari


semua itu adalah intertekstualitas, yaitu melacak rangkaian jaring-jaring footnote
antar teks dari sejarah pemikiran yang terdiri pernyataan-pernyataan atau preposisi
tertentu melalui representasi bahasa teks. Misalnya dalam karyanya Foucault,
Madness and Civilization: a History of Insanity in the Age of Reason (1988).
Dalam karyanya ini, Foucault mempertanyakan bagaimana wacana kegilaan itu
ada di jaman kontemporer ini dan mengapa kegilaan sudah ada saat sekarang ini
(sebuah proses produksi formasi diskursif kegilaan). Menurut dia, formasi
diskursif kegilaan ini tergantung oleh tiga hal: disiplin, penjelasan dan pengarang.
Penjelasan dari hal di atas sebagai berikut: pertama, berbunyi dalam
budaya orang Eropa, wacana kegilaan merupakan pemahaman yang dimiliki oleh
disiplin (ilmu) seperti psikologi, psikoanalisis dan psikatri. Dijelaskan lebih
mendalam bahwa semua disiplin, institusi yang didirikan oleh disiplin-disiplin ini,
wacananya dan para praktisinya terhubungkan antara mereka, sehingga kurang
lebih terdapat sebuah hasil kerja berupa kata final pada wacana kegilaan.
Misalnya, jika perilaku seseorang (diduga gila) sedang dievaluasi atau dihakimi di
pengadilan, maka pengadilan ini akan tergantung pada disiplin-disiplin ini
(sebagai saksi ahli) untuk membimbing keputusan pengadilan. Kedua, keahlian
yang mereka peroleh dan miliki membuahkan kelaziman melalui wacana dan
hubungan antar teks/footnote (buku, artikel, makalah, dokumen kebijakan, studi
kasus) yang memberikan penjelasan pada, dan keberakhiran dari produksi formasi
diskursif kegilaan. Agar pengakuan dan keberadaan wacana kegilaan ini
terakreditasi penuh dalam sebuah disiplin, maka seseorang harus bernegosiasi
dengan berbagai macam rintangan institusi (yang mempunyai relevansinya) yang
secara berkelanjutan menguji kebenarannya (kepantasannya) bersama dengan
wacananya, logikanya, cara berpikir disiplin, tertentunya. Kedua, pengetahuan
disiplin yang diakui tergantung pada, dan terorganisir melalui sebuah ‘nama.’
Nama ini terkait pada subjek pengetahuan dalam psikoanalisis di universitas,
misalnya semuanya akan selalu terorgaisir sekitar kerja para pengarang seperti
Freud, Jung, Adler, Jones, Klein dan Lacan. Nama-nama ini mempunyai

24
Danaher, Schirato dan Webb, op.cit.
53

keistimewaan tempat di disiplin –semua penjelasan dan teori mereka


memproduksi apa yang oleh Pierre Bourdieu sebut sebagai ‘cultural capital’ dan
para praktisi secara berlanjut menginterpretasikan kerja-kerja mereka. Jika di
pengadilan orang tersebut pada akhirnya dianggap gila, maka penamaan gila ini
tergantung pada pengarang yang memiliki culture capital yang paling banyak.
Kombinasi dari disiplin, penjelasan dan pengarang ini menciptakan apa yang
dinamakan sebagai ‚kebenaran kegilaan’ yang menghapus formasi diskursif lokal
atau formasi diskursif umum. Jika seorang praktisi menganggap orang yang gila
ini sebagai orang yang kerasukan setan atau kesurupan, maka praktisi tersebut
secara otomatis tidak lazim atau tidak pantas untuk mengklaim dirinya sebagai
anggota disiplin yang diakui, karena ‘order of reason,’ yang mereka gunakan
milik dari waktu lampau.25 Dengan kata lain, praktisi yang menamai orang gila itu
kesurupan dianggap telah murtad dari disiplin pengetahuan psikoanalisis yang dia
pelajari. Penjelasan kesurupan ini tidak mengacu atau tidak ada dalam kamus para
pengarang seperti Freud dan Lacan.
Berkaitan dengan SHI, ambil saja contoh seperti adanya pendekatan
sejarah ‘klasik’ yang digunakan sejak awal berdirinya SHI dalam karyanya Wight,
International Theory: the Three Traditions (1992). Sejarawan HI sejak wacana
idealisme hingga wacana realisme masih menganalisa politik internasional
berdasarkan periode atau waktu. Dengan kata lain, pencarian fenomena asli, murni
dan benar berusaha diungkap oleh sejarawan HI. Pendekatan sejarah ini mengarah
kepada pengamatan konstelasi politik internasional dengan melacak kejadian
masa lampau, lalu menentukan pola-pola tertentu seperti pola stabilitas kejadian,
pola regulasi tindakan negara (wan) dan para diplomatnya, dan kondisi waktu
kejadian konstan seperti waktu Perang Dunia I (PD I) dan Perang Dunia II (PD
II), lalu pola waktu ini disinkronkan dengan pola waktu jaman Yunani Kuno
ketika terjadinya Peloponnesian War (PW) sebagai proses teoritisasi. Hal ini tidak
jauh berbeda dengan pengarang realisme yang paling terkenal, Morgenthau.
Dalam karyanya, Politics among Nations, Morgenthau menggunakan peristiwa
waktu monumental Yunani Kuno untuk menganalisa PD II. Dengan pendekatan

25
Ibid., hlm. 22-23.
54

sejarah ini, maka dua ilmuwan terkenal realis, baik E. H. Carr maupun
Morgenthau mempunyai pengakuan kekuatan terhadap analisis sejarah dalam
memberikan penjelasan kejadian kekinian dan masa depan tentang perang-damai,
politik luar negeri, dll. Visualisasi pendekatan sejarah dalam HI merupakan proses
panjang yang ditentukan oleh ruang-waktu yang linier, berpola, berkelanjutan
yang progresif, bersambung, dan rasional.
Jika dipahami penjelasan di atas, maka pendekatan arkeologi dan
genealogi akan melihatnya berbeda. Melalui pendekatan ini, sejarah wacana HI
atau politik internasional merupakan sejarah yang unik, yang bekerja melalui
episteme tertentu –akumulasi formasi diskursif. Formasi diskursif yang hanya
digerakkan oleh mekanisme penjelajahan teks dan proses yang berlangsung tidak
ditentukan oleh tempat-waktu, tetapi oleh timbul-tenggelamnya wacana berupa:
konsep, istilah dan pernyataan-pernyataan (statement), sehingga prosesnya terjadi
secara tiba-tiba, diskontinu (patah-patah), memiliki arsitektur yang berbeda
dengan sebelumnya dan terkondisikan secara partikular di jaman tertentu. Setiap
kejadian sejarah seperti PD II merupakan peristiwa perubahan formasi diskursif
yang terdiri dari beberapa pernyataan seperti: adanya delusi institusi internasional,
LBB dalam menentukan tatanan politik internasional, hadirnya Hitler sebagai
kenyataan, penyerangan secara tiba-tiba Jepang terhadap kapal laut Amerika
Serikat di Pearl Harbour, dll. Pergeseran formasi ini disebabkan oleh pernyataan
dalam wacana tertentu yang disuarakan oleh pengarang seperti E.H. Carr dan
Morgenthau, sehingga konstelasi politik internasional berubah dari tenggelamnya
episteme idealisme/liberalisme ke timbulnya episteme yang berbeda dan unik saat
itu: realisme. Tindakan pergeseran (transisi) ini dinamakan sebagai the
epistemological acts and thresholds, yakni awal dari sebuah wacana tertentu
dalam tatanan episteme yang sedang mengalami kenaikan melalui produksi
formasi diskursif yang terputus dari peristiwa asli (sebelumnya), motivasi
terdahulu dan terhapuskannya keterlibatan imajinasi sebelumnya. Jadi dalam
kasus ini, perubahan formasi diskursif bergerak dari level praktik-praktik wacana
idealisme/liberalisme berubah menjadi praktek-praktek wacana realisme. Oleh
55

sebab itu, pendekatan sejarah monumental yang dijelaskan oleh Bull tidak relevan
dalam mengkonstruksi kontelasi politik internasional.
Foucault (demikian juga post-structuralist lainnya seperti Derrida)
memfokuskan pada studi praktek-praktek wacana dengan prosedur logocentric,
yakni studi pengetahuan yang memusatkan diri bukan pada alam, Tuhan, dan
manusia, tetapi memusatkan diri pada pengetahuan itu sendiri (episteme in itself)
melalui media bahasa dan ruang bawah sadar kita. Menurut pisau analisis mereka,
wacana telah mengambil alih dunia pengetahuan HI dewasa ini (post-modernism
epoch) melalui representasi bahasa percakapan, penuturan dan teks. Pada
umumnya, episteme dalam tatanan HI mengalami peristiwa penyisihan,
penindasan, perbedaan, dominasi dan marginalisasi suatu wacana tertentu. Oleh
karena itu, baik Foucault maupun Derrida mengistilahkannya dengan studi
pemahaman terhadap displacement dan placement wacana, yaitu suatu wacana
akan bersuara, ketika wacana yang lainnya justru terbungkam atau tersisihkan.
Selain itu, Foucault dan Derrida membantu pemahaman HI dalam memahami
teori hubungan internasional yang sudah terpisah dari peristiwa monumentalnya
dan terlepas dari praktek-praktek wacananya seperti praktik-praktik wacana
Yunani Kuno membaca praktik-praktik wacana PD II. Jadi mereka tidak mencari
keaslian dan kebenaran sejati, tetapi hanya menuturkan wacana yang tengah
berkuasa saja dalam bentuk pengetahuan. Karena pendekatan genealogi
memberikan pemahaman bahwa pengetahuan adalah kuasa terhadap konstruksi
dan penaklukan objek, baik objek yang dianalisis maupun objek data dalam
konteks penelitian.
Dengan memahami praktek-praktek wacana pengetahuan ilmu HI melalui
prosedur logosentris membuat wacana yang dominan atau diistilahkan sebagai
mainstream menjadi dipermasalahkan kembali sebagai sebuah entitas politis dan
bermuatan kekuasaan. Implikasi dari proses yang sudah taken for granted ini
disebut dengan pembongkaran atau istilahnya Derrida “Deconstruction”
(dekonstruksi). Dekonstruksi ini membawa pemahaman baru tentang sejarah: total
history dan general history. Total history merupakan wacana dominan seperti
idealisme, realisme, tradisionalisme, saintisme, modernisme dengan
56

merepresentasi wajah periode dunia internasional. Total history di bab berikutnya


akan dialihkan menjadi istilah metanarrative, sebaliknya general history atau new
history merupakan smallnarrative yang mempunyai wacananya sendiri.
Pendekatan intertekstualitas (post-structuralism), Michel Foucault dan
Jacques Derrida dengan menggunakan prosedur logosentrisme menciptakan
konsekwensi bahwa bahasa dan permainan bahasa menjadi representasi dalam
menampilkan kenyataan, sekaligus menafikan empirisme, materialisme, dan
rasionalisme. Tampilan kenyataan ini dinamakan sebagai analisis meta-teori
politik internasional. Sebagaimana telah disinggung di bagian bab sebelumnya,
Jim George mengambil istilah wacana untuk menjelaskan pengetahuan realisme
melalui definisi intertekstualitas yang hanya berkaitan dengan teks bahasa kaum
realis dan permainan bahasanya, bukan dengan empirisme dan rasionalisme.
Dengan kata lain, bahasa sebagai sarana antar teks yang mengilustrasikan
fenomena dunia internasional. Bahasa teks adalah pengetahuan nyata dan sumber
dari pengetahuan itu sendiri. SHI tidak akan pernah hadir kecuali dalam bentuk
teks bahasa. Wajah wacana SHI diwujudkan dalam hubungan antar teks bahasa,
sehingga fenomena politik internasional dapat dijelaskan dan dipahami. Wacana
yang dibentuk melalui proses intertekstualitas bahasa yang membentuk fenomena
politik internasional. Dengan kata lain, fenomena nyata sesungguhnya diciptakan
oleh sulaman dari intertekstualitas wacana yang timbul.
II.1.2. Konseptualisasi Genealogi
Signifikansi dari tesis ini adalah mengkritik wacana modernitas dalam SHI
dengan pendekatan arkeologi pengetahuan sebagai pendekatannya dan genealogi
sebagai wilayah pengoperasian dari sebuah wacana. Semua mekanisme tersebut
bermaksud menunjukkan wajah kekuasaan di balik sisi lainnya, yang dihadirkan
dalam bentuk wacana (pengetahuan) sebagai sebuah kebenaran. Berkaitan dengan
konteks ini, SHI merupakan bagian dari ilmu sosial dan politik yang membaca
dan mendefinisikan kajian PD I, PD II, Perang Dingin (PD) dan pasca PD melalui
banyak genealogi. Dalam suatu genealogi tertentu, posisi disiplin SHI ini
mengklaim dan menyatakan dirinya sebagai kategori yang analisisnya bersifat
57

objektif, bebas nilai, ilmiah, valid, dapat diterima dan mampu menjelaskan
fenomena politik internasional.
Tesis ini akan mengkritik, meruntuhkan wacana di atas dengan
menunjukkan bagaimana formasi diskursif dalam bentuk wacana tertentu menjadi
suatu wacana (pengetahuan) yang dominan dan otoritatif, menunjukkan
bagaimana politik internasional (hubungan internasional) diproduksi dan
diakumulasi dalam wacana (pengetahuan) politik (kuasa) tentang politik
internasional. Klasifikasi tentang tradisi, agama, etnis, ras, suku, politik, budaya,
ekonomi, ekonomi-politik seringkali menjadi variabel penjelas, tetapi belum
pernah menjadi variabel yang menjelaskan. Dengan kata lain, subjek penelitian
atau analisis HI belum menyentuh sama sekali atau menggunakan analisis berupa
klasifikasi tradisi, agama, etnis, ras, suku, politik, budaya, ekonomi, ekonomi-
politik.
Genealogi sebagai strategi sekaligus pendekatan yang satu paket dengan
pendekatan arkeologi akan memberikan fokus pada klasifikasi di atas sebagai
suatu penolakan terhadap pemberlakukan teori universal yang berlaku kapan dan
di mana saja, atau teori tentang suatu kepastian yang dapat membaca fenomena
politik internasional secara terus-menerus. Representasi realitas seperti fenomena
perang yang dikatakan oleh kaum realis bukan teori tentang perang, tetapi lebih
pada timbulnya pendekatan sejarah pemikiran tentang perang. Dalam pendekatan
arkeologi dan strategi genealogi, walaupun istilahnya perang, tetapi fenomena
tersebut merupakan representasi dari wacana tertentu dalam episteme (jaman)
tertentu dan bentuknya berasal dari pengetahuan yang terkait dengan kuasa
wacana tertentu. Contoh yang lainnya, kelompok konservatif Amerika Serikat
yang lebih memfokuskan pada strategi politik luar negeri mempunyai klasifikasi
tertentu, praktik-praktik wacana yang khas, pengetahuan yang unik, tentunya hal
ini tidak berlaku secara universal bagi teori dan data untuk menjelaskan sifat
hakekat manusia semacam dalih bahwa kelompok konservatif adalah kaum realis
(realisme). Ini namanya reduksionisme, yakni proses pemangkasan wacana lain,
selain wacana realisme yang dipopulerkan oleh kelompok konservatif.
58

Ilmuwan post-structuralism hubungan internasional, Shapiro yang dikutip


oleh Simon Philpott dalam karyanya, Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory,
Authoritarianism and Identity (2000) menjelaskan tentang pengertian genealogi.
Menurut Shapiro, genealogi merupakan pembongkaran terus-menerus tentang
formasi diskursif pengetahuan. Menurut dia, Genealogi menunjukkan asumsi,
pandangan, pemahaman, penjelasan, istilah, dalih, data tertentu, merupakan
pembentukan sosial tertentu, sehingga semua sistem pengetahuan sebagai suatu
alat baca terhadap fenomena tertentu menciptakan fenomena yang pada akhirnya
keliru (tidak relevan), suatu tindakan seenaknya atas keberhasilan perjuangan
wacana di antara kekuatan-kekuatan yang saling berkompetisi.26 Jadi genealogi
memberikan penjelasan bahwa pengetahuan (seperti SHI dalam wajah realisme,
dll) adalah hasil dari perjuangan “war of all against all” yang menghasilkan
formasi diskursif pengetahuan yang lain sebagai pemenangnya.
Menurut Shapiro, teori politik tradisional (jaman modern) mempunyai
bagian utopia yang mempunyai hasrat untuk mendapatkan, memberlakukan,
menggambarkan tafsir ideal tertentu –wacana Hegelian. Sedangkan posisi dan
fokus genealogi justru berusaha menunjukkan klaim-klaim kebenaran atau
persyaratan bangunan tentang mekanisme analisis sebuah pengetahuan yang
terkait dengan kekuasaan. Genealogi mengkonsentrasikan pada wacana-wacana
yang berlaku, lalu menunjukkan formasi diskursif dengan menyatakan bahwa
ternyata semua hal yang dianggap alamiah, objektif, bebas nilai, mapan
(meanstream) dalam formasi diskursif tersebut bersifat politis dan mengandung
kuasa. Apa yang dipahami oleh para Hegelian dengan dialektika idealisme dan
Marxian sebagai dialektika materialisme dengan membaca fenomena masa
sekarang (present) merupakan kelanjutan makna yang berasal dari masa lalu: jejak
dari apa yang dimaksud sebagai hakekat dari masa lalu ditemukan di masa
sekarang adalah berbeda jauh dengan genealogi. Genealogi memperlakukan
pengetahuan bukan sebagai mekanisme emansipatoris dan idealisme yang sifatnya
evolutif, konstruktif, progresif, total, melainkan sebagai suatu wajah dari

26
Simon Philpott, Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity, terj
(Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 26.
59

konstruksi kekuasaan dan sebagai suatu formasi diskursif penaklukan:


kolonialisme. Genealogi memperlihatkan identitas yang dihasilkan dalam bentuk
pengetahuan dan tafsir yang menormalisasi subjektivitas manusia dalam berbagai
periode sejarah. Dengan demikian, Mitchell Dean yang dikutip oleh Philpott
menyimpulkan genealogi sebagai operasi kekuasaan dalam praktik-praktik
wacana (pengetahuan) dan sekaligus membedakannya dari arkeologi pengetahuan
yang hanya membatasi dirinya sendiri pada penggambaran formasi diskursif yang
terdiri dari pernyataan-pernyataan dan dalih-dalih saja.27 Genealogi
mempermasalahkan ketegangan antara praktik dan konsep pengetahuan, yakni
ketegangan yang terjadi antara ‘seseorang,’ yang menjadi objek dunia dengan
subjek berpengetahuan yang membaca dan mendefinisikan fenomena dunia
(objek).
Jika dilacak kembali jauh ke belakang, istilah genealogi merupakan
abstraksi bahasa terhadap fenomena abad skolastik (jaman Roma) yang digunakan
oleh Neitzsche dalam membongkar moralitas Kristen. Dia berargumen bahwa
moralitas tersebut hadir, karena Kristen adalah ‘si penurut’ dan mereka
mengarang cerita tentang bagaimana, dan suatu hari segalanya akan berbeda –
menjadi lebih baik. Dia menjelaskan lebih lanjut bahwa moralitas Kristen hadir
dalam sejarah spesifik yang kontekstual. Mekanisme kerja genealogi Foucault
tidak jauh berbeda dengan genealogi Nietzsche. Menurut mereka berdua,
genealogi adalah penyelidikan keaslian sejarah dari wacana dan institusi yang
sangat kuat (kuasa) yang mengklaim universal dan abadi.28 Dengan demikian,
dalam mekanisme genealogi, kita akan menyaksikan apa yang dinamakan oleh
Foucault sebagai fenomena “insurrection of subjugated knowledges,” yakni
pemberontakan terhadap kuasa pengetahuan, sehingga pengetahuan adalah tidak
lebih dari sebuah mekanisme kolonialisasi wacana atas sesuatu (objek analisis),
dan pada saat itu pula menenggelamkan pengetahuan yang lainnya.29 Dalam
karyanya, Power/Knowledge: selected interviews & other writings 1972-1977,

27
Ibid., hlm. 27.
28
Danaher, Schirato dan Webb, op.cit., hlm. 24.
29
Michel Foucault, Power/Konoledge: selected interviews & other wrtings 1972-1977, terj (New
York: Pantheon Books, 1980), hlm. 81.
60

Foucault mengatakan bahwa fenomena tersebut memiliki dua hal yang penting:
pertama, mengacu pada konteks sejarah yang telah terkubur dan tersembunyi
dalam koherensi fungsionalis atau sistematisasi formal (sesuatu yang dianggap
ilmiah). Secara konkret, hal tersebut bukanlah sebuah semiologi hidup aman, dan
juga bukan sosiologi distortif yang telah membuat konteks sejarah menjadi
mungkin untuk memproduksi kritik yang efektif atas konteks sejarah
tersistematisasi secara formal. Kedua, mengacu pada pemahaman pengetahuan
yang naïf, berbeda, unik, aneh, terdiskualifikasi (low-ranking knowledges/popular
knowledge/le savoir des gens), karena dianggap mereka tidak berguna dalam
menganalisa yang terletak di bawah kesadaran pengetahuan yang diperlukan –
direndahkan oleh pengetahuan yang sudah mapan (high-ranking
knowledges/mainsteam knowledges) saat itu. Foucault yakin bahwa melalui
kemunculan kembali low-ranking knowledges yang tengah direndahkan,
terbungkam, termarginalkan mutunya, justru menghadirkan suatu pengetahuan
khusus, spesifik, lokal dan unik. Pengetahuan ini tidak mempunyai makna umum,
yakni suatu gaya atau ciri pemahaman yang dapat jatuh pada kondisi yang tidak
menguntungkan, tak berfungsi atau terpakai, yang sewaktu-waktu mereka tidak
dapat kokoh secara efektif dan eksplisit dalam mempertahankan dirinya. Jadi
pemahaman tentang insurrection of subjugated knowledges membuahkan suatu
kepedulian terhadap pengetahuan sejarah perjuangan (historical knowledge of
struggles).
Hadirnya perjuangan sejarah pengetahuan dapat dinamai sebagai genealogi
atau lebih baik dinamai dengan keberagaman penelitian genealogi yang
bermacam-macam, penemuan yang sungguh-sungguh dari perjuangan
pengetahuan bersama-sama dengan memori primitif yang hadir dalam konflik-
konfliknya. Banyak genealogi merupakan produk yang terkombinasi dari high-
ranking knowledge dan low-ranking knowledge yang belum pernah dicoba,
kecuali jika tirani wacana yang mengglobal (globalizing discourse) bersama
hirarkhi dan semua hak istimewanya terhadap teori-teori avant-garde dieliminasi
atau diruntuhkan. Jadi genealogi merupakan gabungan pengetahuan ilmiah dan
memori kelokalan yang memberikan kesempatan kepada kita untuk membangun
61

pengetahuan sejarah perjuangan dan untuk memanfaatkan pengetahuan ini


sekarang dengan penuh siasat.
Masih dalam karyanya, Foucault menjelaskan genealogi merupakan
aktivitas penelitian yang tidak berkaitan sama sekali dengan pertentangan antara
teori-praktik, tidak berkaitan dengan diskualifikasi dimensi spekulatif yang
melawannya atas nama saintisme. Oleh sebab itu, genealogi tidak menggunakan
empirisme dan juga tidak menggunakan positivisme dalam pengertian biasa dari
bentuk terminolognya dan kekakuan aturan mainnya. Dengan demikian tanpa
kembali pada positivisme yang lebih tepat bentuk keilmiahannya, genealogi
mempunyai kemungkinan dapat berkembang. Genealogi tepatnya anti-scienses.
Namun genealogi tidak mempertahankan kebenaran suaranya untuk menafikkan
saintisme. Genealogi tidak memfokuskan pada kritik terhadap isi, metode atau
konsep-konsep ilmiah, tetapi mempunyai fokus perhatian lebih pada efek-efek
kekuasaan yang terpusat, yang terkait dengan institusi dan fungsi wacana saintifik
(ilmu pengetahuan) yang terorganisir bersama masyarakat. Genealogi adalah
analisis tanpa subjek sejarah sebagai pembentuk sejarah itu sendiri, tetapi justru
membangun dasar-dasar dengan wadah sejarah. Berkaitan dengan konteks
tersebut, kutipan langsung dari Foucault:
Genealogi is a form of history which can account for the constitution of
knowledges, discourses, domains of objects etc., without having to make
reference to a subject which is either transcendental in relation to the field of
events or runs in its empty sameness thoughout the course of history.30

Oleh sebab itu, genealogi tidak berkaitan dengan kesadaran, persepsi, pandangan,
perspektif, paradigma, bentuk ideologi, melainkan berkaitan erat dengan taktik
dan strategi kekuasaan yang menyebar melalui penanaman, distribusi,
pembatasan, pengontrolan terhadap ruang (imajinatif) dan tempat (territorial).31
Selama ini, SHI mungkin mengklaim dirinya objektif, bebas nilai, netral, praktis-
operasional dan ilmiah, tetapi para pengarang (ilmuwan) karya-karya HI sebagian
besar ditentukan oleh tempat mereka tinggal, yakni konstelasi politik internasional
dan ruang imajinatif mereka. Bagaimanapun juga SHI sebagai disiplin ilmu lahir

30
Ibid., hlm. 117.
31
Ibid., hlm. 77.
62

di Wales, Inggris (1919) dan para pengarang karya tentang HI tidak menempati
ruang (spatial) kosong atau ruang hampa dalam membaca dan mendefinisikan
politik internasional, tetapi menempati spatial wacana Eropa dan tradisi Barat.
II.1.3. Intertekstualitas/Hubungan Internasional
Intertekstualitas/hubungan internasional merupakan bagian dari
pendekatan post-structuralism yang mempercayai realitas sebagai teks yang saling
bertemu. Pertemuan teks-teks menciptakan jaring-jaring teks dengan berisi
tentang makna terhadap ontologi politik internasional. Dalam konteks ini,
keterkaitan antara SHI dengan pendekatan post-structuralism—arkeologi
pengetahuan dan genealogi dengan istilahnya Der Derian:
intertekstualitas/hubungan internasional dapat dipahami lebih mudah melalui
karya James Der Derian, “The Boundaries of Knowledge and Power in
International Relations,” dalam International/Intertextual Relations (1989).
Dalam prologue-nya, Der Derian mengutip karya Friedrich Nietzsche, Thus Spake
Zarathustra: “power is it, this new virtue; a ruling thought is it, and around it a
subtle soul; a golden sun, with the serpent of knowledge around it.”32 Pernyataan
ini dapat dipahami bahwa pengetahuan HI melekat (embraced) dengan kuasa.
Keduanya merupakan satu kesatuan; pengetahuan adalah kuasa; dalam aspek
epistemologi pengetahuan hubungan internasional mempunyai kemampuan untuk
mendefinisikan (menentukan) dan menaklukan kebaikan, kendali pemikiran,
kelembutan jiwa dan kebenaran ontologi politik internasional.
Der Derian mengilustrasikan SHI bahwa hubungan internasional dimulai
dengan kehadiranya revolusi dan footnote. Genealogi hubungan formal antar
bangsa sebenarnya sudah ada sebelum Revolusi Perancis: perkembangan kuasa
yang selektif pada abad pertengahan Kristen (seperti Venice dan Konfederasi
Swiss); penolakan terhadap sistem monarkhi dengan mengadopsi republikanisme
oleh Belanda pada abad ke-16; doktrin yang berdasarkan pada perjanjian yang
datang dari kemenangan Revolusi Inggris pada abad ke-17; di Amerika Serikat
hadir institusionalisasi politik popular oleh Konggres Continental pada tahun

32
James Der Derian, “The Boundaries of Knowledge and Power in International Relations,” dalam
International/intertextual Relations, (Canada: Lexington Books, 1989), hlm. 1.
63

1776. Namun Der Derian menunjukkan bahwa kedaulatan yang sangat erat
dengan hubungan internasional dan sekaligus awal dari hubungan internasional
adalah Declaration of the Rights of Man (1789) yang berisi: “sovereignty resides
essentially in the nation.” Ironisnya, penyebaran doktrin oleh Napoleon ini sangat
efektif menandakan keberakhiran dari hubungan antar dinasti (interdynastic
relations) dan terlahirnya hubungan internasional.
Der Derian juga melacak terlahirnya teks asli internasional. Kata tersebut
muncul dalam karya seorang Liberalis, Jeremy Bentham, Principles of Morals
and Legislation dalam kalimat yang biasa saja, di mana Bentham membedakan
antara hukum “internal” dari hukum “internasional.” Der Derian menunjukkan
lebih lanjut tentang kemunculan istilah ini melalui teks internasional dalam
karyanya Oppenheim, Internatonal Law dan sebuah variasi baru seperti dalam
kreasi teks the International Working Men’s Association pada tahun 1864 yang
mencair sendiri pada tahun 1943 menjadi Third Communist International.
Menurut Der Derian, sebenarnya bersatunya teks hubungan dan teks
internasional susah dilacak seperti juga susahnya mencari asal usul disiplin
hubungan internasional dengan menggunakan teks nama hubungan internasional –
International Relations/IR (HI). Dengan kata lain, disiplin HI sekarang hanya
berupa ‘jejak kaki’ yang berasal dari akar jejak kaki-jejak kaki yang sumbernya
pun sudah menghilang, karena ketika dilacak ternyata tidak ditemukan. Dalam
konteks sejarah, kesadaran-diri (self-consciousness) teoritis tentang HI tidak
begitu mempermasalahkan perdebatan teks nama yang cocok dalam wilayah studi
ini. Der Derian menunjukan beberapa karya: sebuah antologi, A.J.Grant dalam An
Introduction to the Study of International Relations (1916) dan yang lainnya dari
D.P.Heeatley, Diplomacy and the Study of International Relations (1919). Istilah
hubungan internasional dikemudian hari menjadi semacam ritual untuk terus
dipakai dalam karya-karya berikutnya dengan cara salah satunya menggunakan
footnote. Teks hubungan internasional dalam pemakaiannya pun terkadang sering
kurang relevan, ketika substansi dari hubungan internasional dijelaskan melalui
aspek yang bermacam-macam (tidak hanya istilah nations, tetapi juga secara
politis, ekonomi, legal aktor, baik dalam dunia internasional maupun
64

keberlangsungan (survival) kehidupan kita. Teks hubungan internasional ternyata


ditentukan oleh kekuatan konsensus dan ambiguitas yang ditanamkan dalam
hubungan internasional itu sendiri.
Setelah mengilustrasikan teks hubungan internasional yang sangat
ditentukan oleh konsensus dan penafsirnya (ambiguitas), maka Der Derian
menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Posisi ini memberikan pemahaman
baru terhadap SHI. Fokus analisis Der Derian dalam SHI berkisar pada “space-
between,“ yaitu bentuk interteks antara pengetahuan dan kuasa dalam HI, antara
batas luar-dalam tubuh teori internasional, antara politik tektual dan dunia politik,
dan yang paling signifikan dalam isu perang-damai antara pribumi (indigenous)
dan asing (aliens). Dengan pendekatan post-structuralism dan post-modernism,
strategi penelitian ini menggunakan strategi dekonstruksi (deconstruct) dan
denaturalisasi (denaturalize) melalui interpretasi mendalam terhadap bahasa
(simbol), konsep, teks, yang telah terkonstitusi dengan wacana tertentu dalam HI.
Proses dekonstruksi seringkali menyisihkan bahasa umum (popular), karena
strategi dekonstruksi mengkonsentrasikan pada pembentukan wacana tertentu
(dominan) daripada merefleksikan realitas, membongkar oposisi biner,
meluluhlantakkan hubungan hierarkhi (antara fakta dan fiksi, laki-laki dan
perempuan, self dan other), menantang konvensi-konvensi literal (bahwa makna
tektual dimentahkan oleh kepentingan pengarang) dan menentang praktek-praktek
positivis (di mana manipulasi fakta saintis menghasilkan kebenaran yang objektif)
yang telah muncul di ilmu (pengetahuan) sosial. Metode dalam strategi
dekonstruksi ini bermaksud mengusik cara berpikir seperti biasanya (habitual
ways of thinking) dan beraksi dalam HI; tujuannya adalah melengkapi pemahaman
yang lebih cerdas dan melengkapi kemungkinan alternatif untuk SHI.
Dalam hal ini, Der Derian menjelaskan lebih mendalam dalih post-
structuralism yang melakukan perlawanan terhadap prosedur saintifik, sekaligus
memberi dialog terbuka untuk membuat dalih post-structuralism dalam teori
internasional. Kemungkinan membuat dalih ini dibenarkan oleh karya Martin
Wight, “Why is there No International Theory?” dalam Diplomatic Investigations
(1966) yang berasal dari subteks neo-Hobbesian: “where there is no sovereign
65

power, there can be no law and no absolute means of adjudicating the truth-
claims of one international theory agaist another.” Selanjutnya Der Derian
meneruskan pernyataan Wight dengan sebuah kesimpulan: “with the decline and
death of a central epistemological authority: God, sovereignity, and now even
Rational Man, there persists a ‘war of all against all’ in international theory.”33
Dalam konstelasi konflik teoritis, esai Martin Wight berdiri sebagai pre-teks yang
sempurna untuk interpretasi teori internasional sebagai interteks, yang
dideskripsikan oleh ahli semiotik, Roland Barthes. Der Derian mengutip langsung
pernyataan Barthes tentang interteks: “a multi-dimensional space in which a
variety of writings, none of them original, blend and clash.”34 SHI membutuhkan
pendekatan intertekstualitas (post-structuralism) untuk penyelidikan kritis menuju
area pemikiran yang tidak ada kebenaran final, di mana makna diperoleh dari
hubungan antar teks dan power dilibatkan (terlibat) bersamanya melalui
permasalahan bahasa dan praktek-praktek signifikan lainnya. Oleh sebab itu,
menurut Der Derian terdapat aspek strategi dari intertekstualisme dalam
penyelidikannya: hal ini berkaitan dengan penyelidikan wilayah pertempuran
secara umum yang dideskripsikan dalam teori internasional. Bagi pemahaman Der
Derian, kemenangan tidak dinilai oleh kuasa teori untuk menentukan, menaklukan
dan memverifikasi fakta (data). Strategi intertekstualitas (dekonstruksi)
bermaksud untuk memahami timbul-tenggelamnya teori dan memunculkan
interpretasi wacana baru terhadap dunia teks dengan mengundang pertanyaan
tentang konstruksi determinasi menurut sejarah arkeologi menuju pemahaman
kita. Dengan demikian kita dapat menambahkan dimensi dan alternatif baru dalam
teori internasional tradisional (modernisme). Proses ini dimaksudkan untuk
menghadapi kaum modernis yang monological dan totalizing theory; post-
structuralism dan post-modernismism memposisikan dirinya heterological,
multipolar grids of knowledge dan sifatnya praktis. Strategi intertekstualitas
bukanlah sebuah konstruksi atau perbaikan teori internasional yang sudah usang,
tetapi menyelidiki sesuatu yang dianggap (diasumsikan secara umum) benar: why

33
Ibid., hlm. 5.
34
Ibid., hlm. 6
66

it should be true? Wilayah kebenaran tersebut terus berulang-ulang. Implikasinya


terjadi simulacrum, yakni replikasi produksi yang sama untuk diklaim kebenaran
dan keasliannya. Padahal hal tersebut semuanya palsu.
Berkaitan dengan konteks di atas, Der Derian kembali mengingatkan
kepada kita tentang tawaran Martin Wight yang merupakan poin penting bagi
kondisi bidang SHI yang terus-menerus tersebut. Dengan meninggalkan slogan
kontemporer yang sering menempati posisi sebagai kreator teori internasional,
mengamati efek-efek dari sikap realpolitik dan penolakan idealisme, melarikan
diri dari metodologi (yang ketat), Martin Wight mengambil pemikiran yang jauh
ke depan: “it sometimes seems that whereas political theory generally is in unison
with political activity, international theory . . . sings a kind of descant over
against the movement of diplomacy.”35 Baik Der Derian maupun penulis merasa
penting untuk mengutip pernyataan langsung Martin Wight sebab dalam konteks
ini, pernyataan Wight memberikan pemahaman bahwa teori internasional jauh
berbeda dengan teori politik dan praktik-praktiknya yang sifatnya mempunyai
hubungan yang normal; teori politik yang dapat diaplikasikan secara benar dalam
aktivitas politik, dan kalkulasi yang mudah diketahui. Teori internasional justru
bersuara khas dalam melawan praktik-praktik diplomasi. Dalam karyanya,
International Theory: the Three Traditions (1992), Wright menjelaskan dengan
tegas bahwa teori politik cenderung mengacu pada filsafat politik, pendekatan
behavioralisme, dan hukum internasional, sedangkan teori internasional
cenderung mengacu pada studi sejarah. Wight berpendapat bahwa antara teori
internasional dan praktik-praktik diplomasi terjadi kondisi konfliktual. Sebab
tradisi studi sejarah tidak digunakan dalam praktik-praktik diplomasi yang
ranahnya lebih praktis dan pragmatis. Padahal kalau kita mengamati SHI yang
selalu peduli pada karya Thucidydes, Peloponnesian War (PW), maka kita akan
paham bahwa karya tersebut berisi teks-teks sejarah.36 Teks-teks sejarah ini,
menurut Bull bukan merupakan teks sejarah itu sendiri (itself history), tetapi teks

35
Ibid.
36
Hedley Bull, “Martin Wight and the Theory of Interntional Relations,” dalam Martin Wight,
International Theory: the Three Traditions, (New York: Holmes & Meier Publishers, Inc., 1992),
hlm. xxi.
67

filsafat sejarah (philosophy of history), walaupun dalam hal ini, Bull tidak puas
dengan pemikirannya Wight. Jadi penyelidikan HI mempunyai karakter yang
sifatnya filosofis, Wight menyebutnya: “international theory is the political
philosophy of international relations.”37 Karena mempunyai karakter tersebut,
maka penyelidikan HI sudah pasti multi tafsir, tidak pasti atau sifatnya sangat
relatif: “it does not lead to cumulative knowledge after the manner of nature
science.”38 Dengan demikian, penyelidikan HI berbeda dengan penyelidikan ilmu
politik dan ilmu lain seperti sosiologi. Mungkin ilmu politik dan sosiologi dapat
menggunakan pendekatan behavioralisme dan positivisme. Namun penyelidikan
ilmu HI justru lebih rumit dan kompleks serta keberadaannya dan sifatnya anti-
teori, tetapi mempunyai kecenderungan pada perspektif atau paradigma.39
Berpijak dari pengetahuan Wight, pendekatan intertekstualitas (post-
structuralism) menjadi relevan dalam SHI. Menurut Der Derian, pendekatan ini
merupakan langkah serius meta-teori (metatheory), yaitu teoritisasi tentang teori
politik internasional. Melalui interpretasi/pemaknaan (permainan bahasa), meta-
teori mengembangkan transfer teori dari konteks sejarah satu menuju pada
konteks sejarah yang lainnya; dari formasi diskursif menuju formasi diskursif
lainnya. Komitmennya adalah menjawab pertanyaan empiris melalui
intertekstualitas yang sifatnya perkiraan atau rabaan, bukan dengan teori-teori
yang pasti dan tepat yang sifatnya positivistik. Tepatnya mungkin dikatakan
sebagai penyelidikan teoritisasi yang tak akan kunjung selesai, sebab memang
mekanismenya bukan menciptakan teori yang pasti, absolut dan tepat, tetapi
proses teoritisasi sebagai cara mendekati dan memahami fenomena HI, tepatnya
konstelasi politik internasional. Jika hal ini tidak dilakukan, maka penyelidikan
teoritis mengalami kemunduran menuju metodologisme, yang telah membuat
usang dan stagnasinya teori hubungan internasional pada umumnya dan
terciptalah dogmatisme HI atau istilahnya Jim George: “ortodoksi HI.” Der Derian
dan penulis sendiri sepakat dengan pendapatnya Barthes yang menyatakan
argumen bahwa pada momen-momen tertentu penting bagi kita untuk melakukan
37
Ibid., hlm. 1.
38
Ibid.
39
Ibid. hlm xiii.
68

tindakan melawan metode (against method), atau setidaknya menyuarakan


pluralitas, sebaliknya melawan suatu pandangan, tentang sebuah representasi
besar yang tersusun dalam bentuk teks, suatu teks yang meliputi teks itu sendiri,
yang merupakan satu-satunya ‘kebenaran’ dari beberapa hasil penelitian.
Der Derian mengatakan bahwa teoritisasi intertekstual jelas-jelas bukan
merupakan proses verifikasi saintifik, bukan juga sebagai suatu anti-saintifik.
Pendekatan intertekstualitas mengambil langkah dan memposisikan dirinya pada
strategi self-conscious, yakni menjauhkan diri dari cara-cara formal yang dominan
dan tren a-history dalam mendekati HI. Selama ini, variasi bentuk pendekatan
rasionalis dalam SHI, seperti game theory, structuralism realism, dll, telah
menampilkan HI sebagai sebuah simulacra: persuasif dan menarik dalam model
abstraksinya, tetapi sifatnya metafisik dan eksklusi dalam aplikasi hiper-realitas
mereka. Dengan kata lain, mereka terjebak dalam imajinasi dan delusi yang
mereka abstraksikan dan bayangkan sendiri, tanpa terkait dengan realitas yang
ada. Nampaknya selama kita mempelajari HI, kita terjebak pada pembahasan
tentang teori politik daripada dunia politik. Sekarang ini, Menurut Der Derian
dengan pendekatan post-structuralism dan post-modernism, isunya bagaimana
kita, sebagai seorang teoritis tidak berpikir tentang dunia, atau bagaimana yang
lain di masa lalu memikir tentang dunia, tetapi yang perlu diperhatikan betul-betul
adalah bagaimana kita berpikir tentang para teoritis tersebut seharusnya berpikir
tentang dunia. Dengan kata lain, kita secara skeptis arahnya justru
mempertanyakan kembali mengapa para teoritis HI seolah-olah sudah berpikir
‘benar’ tentang dunia politik. Menurut Der Derian, mungkin isu ini merupakan
gejala pendisiplinan teori, pengaruh dari pengendalian teori menuju pada sebuah
permainan bagi pemikiran mahasiwa dalam menjelajahi halaman-halaman dalam
jurnal. Keberlanjutannya, teori internasional berhadapan dengan tekanan-tekanan
institusi untuk merelevansikan dirinya dan mereduksi dirinya sendiri menuju
penyebarluasan dogma. Jadi SHI sebagai pengetahuan selalu terkait dengan kuasa
(power).
Pendekatan intertekstualitas merupakan penyelidikan bagaimana
petualangan ide-ide yang bergerak dari footnote ke footnote-footnote lainnya dan
69

batas-batas tradisi pemikiran HI menuju posisi ‘alamiah,’ lalu predominasi, dan


bagaimana beberapa ide-ide tersebut hilang atau tenggelam dalam guncangan
dunia politik (world politics). Oleh karena itu, pendekatan intertekstualitas ini
tidak memberikan atau membentuk school of thought untuk memunculkan,
menimbulkan suatu school of thought baru. Namun pendekatan ini hanya
memberikan pintu menuju pilihan-pilihan school of thought –apapun bentuknya –
tergantung pada fokus studi dan pijakan dasar pemikir HI. Dalam konteks ini,
nanti bagian bab selanjutnya akan memfokuskan pada studi budaya sebagai
pilihan topik tentang strategi budaya dan studi pascakolonialisme serta wacana
tertentu untuk memberikan inspirasi alternatif school of thought. Aspek ini
merupakan perbedaan penulis dengan Der Derian atau ilmuwan HI lainnya.
Penulis mengajukan wacana saminisme di Indonesia sebagai strategi budaya
politik perlawanan dan merupakan sebuah alternatif dari cikal bakal akar
pemikiran HI di negara Dunia Ketiga: Indonesia. Wacana saminisme ini dikaji
melalui studi pascakolonialisme yang dalam konteks Indonesia, mempunyai
varian berbeda dengan studi HI resolusi konflik yang mengambil tradisi pemikiran
India, Mahatma Gandhi (Hindu). Tradisi pemikiran Gandhi ini sempat disinggung
oleh Wight sebagai salah satu variasi wacana dalam teori internasioal Timur.
Karena pengetahuan Wight kurang mencukupi, maka pemikiran teori
internasional yang berakar dari tradisi Timur ini sedikit sekali dikupas dalam
karyanya, International Theory: the Three Traditions (1992).
Mengambil pandangannya Der Derian, Penulis menegaskan kembali
bahwa pendekatan intertekstualitas bukan merupakan penelitian mencari identitas
baru, otentisitas teori, penyucian disiplin HI melalui perlawanan terhadap ‘older’
school of thought. Pendekatan intertekstualitas berangkat dengan niatan untuk
berdialog, tanpa menaruh perhatian penuh pada para pemikir-pemikir HI
meanstream dan melupakan otoritas footnote-footnote yang ada, serta secara kritis
menginterpretasikan suara-suara dominan agar terbuka pintu yang lebar,
tertelanjagi, yang sifatnya spekulatif untuk memilih jalan tentang apa yang dapat
atau apa yang tidak dapat dilakukan dalam dunia politik di masa depan.
70

Sederhananya memberikan ruang untuk berkontemplasi agar pilihan-pilihan yang


ada benar-benar diputuskan secara matang dan tidak gegabah.

II. 2. Tatanan Episteme Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional Modern


Dalam pendahuluan telah diungkapkan secara singkat dialektika tradisi
pemikiran HI menuju suatu kebenaran teori tunggal dan terus diklaim sebagai
teori-teori HI yang tangguh dan mampu bertahan (status quo). Narasi yang
diilustrasikan dan disodorkan oleh beberapa ilmuwan HI terdahulu nampaknya
masih diungkapkan dengan pendekatan sejarah totalitarian: dialektika idealisme
Hegelian. Signifikansi tulisan pada wilayah ini akan memaparkan wacana tradisi
pemikiran HI yang secara nyata sifatnya tidak totaliter, tunggal, universal,
objektif, mampu terus membaca dan memahami realitas konstelasi politik
internasional. Wacana yang ada ternyata berkutat pada wacana ordo waktu
tertentu, rangkaian suatu cerita tertentu, totalitas kebenaran dan teori universal
(grand narrative/theory) tertentu saja. Sejarah wacana tradisi pemikiran HI
menunjukkan pengetahuan berupa pernyataan-pernyataan tatanan wacana yang
naik ke permukaan sebagai episteme, yakni wacana yang paling otoritatif dan
kemudian di jaman tertentu akan tenggelam. Dengan kata lain, wacana tradisi
pemikiran HI mempunyai praktik-praktik wacana tertentu di setiap jamannya. Jadi
wacana yang bersuara di level politik internasional sudah terformulasikan dan
kapasitasnya mempunyai kemungkinan untuk menggantikan atau menurunkan
wacana tertentu yang pada saat itu sudah mapan dan dominan. Sedangkan pada
wilayah genealogi lebih cenderung memaparkan bagaimana tradisi pemikiran
(pengetahuan) yang sedang, dan sudah mapan dan dominan diproduksi oleh
pengarang, footnote serta proses akumulasi wacana tradisi pengetahuan tertentu
terhadap realitas dan formasi diskursif tertentu. Wilayah ini juga memaparkan
turunnya wacana tertentu, ketika wacana lainnya akan naik popularitasannya.
Sistematika pada tulisan ini: pertama, mengilustrasikan wacana
idealisme/liberalisme. Kedua, mengilustrasikan wacana realisme. Ketiga,
mengilustrasikan wacana tradisionalisme. Keempat, mengilustrasikan wacana
saintisme (positivisme). Sedangkan wacana kelima: critical international theory
71

akan dipaparkan pada bagian bab selanjutnya. Pertimbangan penulis adalah


wacana kelima ini merupakan proyek tradisi pemikiran HI modern terakhir yang
mewakili tradisi pemikiran antroposentrisme Barat di SHI.
II.2. 1. Wacana Idealisme/Liberalisme
Arkeologi hubungan internasional melihat naiknya wacana-wacana
tertentu sebagai suatu episteme yang berbeda-beda. Genealogi melacak awal
wacana tertentu dan memahaminya sebagai akumulasi wacana, yakni kuasa
pengetahuan dalam mendefinisikan politik internasional. Di bawah ini feneomena
politik internasional berusaha didefinisikan oleh wacana idealisme/liberalisme.
Politik internasional ditentukan oleh formasi diskursif yang dilontarkan oleh kaum
idealis/liberalis Eropa. Dengan kata lain, konstelasi politik internasional dikuasai
oleh intertekstualitas kaum idealis/liberalis sebagai pemenang dari perjuangan
pemikiran. Di sisi lainnya, wacana selain idealisme/liberalisme menjadi
terbungkam, yakni sangat lemah mewarnai atau mempengaruhi teks konstelasi
politik internasional.
SHI merupakan perkembangan dari modernitas. SHI sangat kental dengan
nuansa istilah negara-bangsa (1648) awal modernitas. SHI lahir sesuai dengan
perkembangan keilmiahan seperti studi sejarah, hukum internasional dan politik
pasca PD I. Dunia pasca PD I sangat mempengaruhi pengetahuan SHI. Kelahiran
otoritas SHI diilustrasikan dalam karya John Baylis dan Steve Smith, The
Globalization on World Politics (1997) yang mengatakan bahwa SHI dalam
bentuk departemen politik internasional, berdiri pada tahun 1919 di universitas
College of Wales oleh industrialis yang bernama David Davies. Sumber lainnya
berasal dari karya Prakash Chandra, International Politics (edisi ke-3, 1995).
Chandra menjelaskan bahwa pada awalnya, SHI adalah departemen politik
internasional yang memisahkan diri mejadi sebuah studi tersendiri di
Aberystwyth. Di departemen tersebut beberapa professor (pengarang otoritatif)
seperti sejarawan Yunani kuno, Alfred Zimmern, C.K. Webster, Reynolds, E.H.
Carr, dll, yang dikenal sebagai sejarawan menduduki posisi kepala di departemen
tersebut. Mereka merupakan para ahli yang menjelaskan dalih-dalih kontelasi
politik internasional. Sedangkan di wilayah Amerika Serikat, sejalan dengan
72

munculnya Amerika Serikat sebagai negara kuat (power) pada tahun 1920-an,
pengajaran pengetahuan SHI muncul sebagai studi yang terpisah. Saat itu,
Amerika Serikat hadir dalam tatanan ekonomi dunia, dan menduduki posisi yang
sangat penting, seperti halnya Inggris sudah menempati posisi itu pada tahun
1914. Amerika Serikat mempunyai posisi yang sama pentingnya dengan posisi
Jerman, Inggris dan Perancis. Posisi Amerika Serikat menjadi lebih penting,
ketika Amerika Serikat menggeser posisi finansial Inggris dalam tatanan ekonomi
global.40
Salah satu sarjana sekaligus sejarawan yang melontarkan dalih-dalih
moral-legalistik adalah Zimmern. Sebagaimana disinggung di atas, Zimmern
berdalih dengan pernyataan bahwa agar tidak terjadi kembali perang, maka dunia
pasca PD I sebaiknya mendirikan institusi internasional dan menegakkan hukum
internasional. Zimmern mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam
memberikan formasi diskursifnya, khususnya dalam perkuliahan tentang
pengetahuan etika, hukum, perjanjian dan konvensi internasional. Dalam konteks
perkuliahannya, karena Zimmern adalah ahli sejarah, maka cara pengajarannya
pun lebih mengarah pada metode verstehen, yakni pemahaman atau pengertian
tentang sebuah fenomena, di mana pengalaman dan pemahaman teoritis
bercampur aduk. Metode verstehen ini lebih memfokuskan pada pemahaman
tentang makna dan penafsiran teks yang selalu bermuatan nilai, baik pada teks-
teks yang tersembunyi maupun pada teks-teks sejarah hubungan internasional
yang nampak secara fenomenal. Akumulasi pengetahuan yang terus-menerus
direproduksi dalam bentuk elemen pernyataan-pernyataan selama tiga puluh tahun
ke depan ini (dalam studi mereka sampai dengan tahun 1997), Zimmern
mempunyai komitmen tinggi untuk terus merubah dunia agar lebih baik: damai
(tanpa perang).
Arkeologi hubungan internasional (HI) mempunyai pendekatan berbeda
dengan pendekatan Waltz dan Chandra dalam karya-karyanya yang membagi
berdasarkan periode dalam memahami politik internasional. Arkeologi hubungan
40
Steve Smith dan John Baylis, The Globalization of World Politics: an Introduction to
International Relations, diedit oleh Steve Smith dan John Baylis (New York: Oxford University
Press, 1997), hlm. 57.
73

internasional juga mempunyai sasaran objek analisis yang berbeda pula dengan
mereka. Arkeologi HI berusaha mengawali analisisnya dengan mengamati wacana
yang hadir dipermukaan SHI, sehingga ontologi politik internasional pun dapat
terlihat. Hal ini dapat dilihat ketika Zimmern melontarkan pengetahuan moral-
legalistik, institusi internasional dan hukum internasional dalam Jurnal The New
Europe, yang diedit oleh R.W. Seton Watson. Wacana Zimmern ditindaklanjuti
oleh Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson yang secara praktis
mengusulkan pernyataan empat belas pasal konsep perdamaian dengan aksioma
Wilson’s ‘Fourteen Points’. Usulan ini ditindaklanjuti dengan kelahiran wacana
baru HI berupa international diplomacy, yakni perjanjian terbuka (open covenant)
antar negara-bangsa. Wacana baru ini akan merubah praktik-praktik diskursif
diplomasi tertutup gaya lama, yang menciptakan hubungan pribadi antar negara-
bangsa menjadi praktik-praktik diplomasi terbuka. Selain itu, Wilson juga
mempercayai pernyataan Zimmern untuk melahirkan institusi internasional: LBB
(League of Nations) beserta perangkat aturannya atas dasar prinsip collective
security.41 LBB ini mengusung pendisiplin konstelasi politik internasional, yakni
hubungan atau interaksi antar bangsa bergerak dalam mekanisme hubungan
mutual-understanding dan self-understanding dengan mengikuti tradisi dan
sejarah nilai-nilai semacam norma, moralitas, dan hukum, perjanjian, konvensi
internasional ala Eropa. Semua nilai-nilai ini direproduksi melalui kebiasaan-
kebiasaan internasional yang terus-menerus dijalankan oleh aktor hubungan
internasional, para teoritisi, ilmuwan SHI penafsir teks-teks sejarah dan teks
hukum internasional terdahulu secara mendalam. Wacana ini mengarah pada salah
satu dalih dari formasi diskursif normatif: sebuah kondisi yang menempatkan
dirinya pada pandangan-pandangan yang seharusnya terjadi (what ought to be),
yakni pandangan yang berkomitmen untuk merubah dunia melalui sebuah
harapan, istilahnya “making the world a better place.”42 Berawal dari seorang
industrialis (kapitalis), sejarawan, disiplin filsafat sejarah, hukum internasional,
formasi diskursif HI pasca PD I dinamai dengan wacana idealisme/liberalisme.
41
LBB bertujuan: menjamin perdamaian dunia, menghindari peperangan, dan menaati hukum dan
perjanjian hukum internasional.
42
Smith dan Baylis, op.cit., hlm. 3.
74

Dengan demikian, arkeologi hubungan internasional menggambarkan jaman


industrialisasi (kapitalisme) yang disokong oleh wacana kaum idealis/liberalis.
Wacana idealisme/liberalisme mengalami reproduksi pengetahuan menjadi
sebuah seperangkat disiplin pengetahuan dalam SHI. Saat itu SHI adalah wacana
idealisme. Disiplin pengetahuan ini dihadirkan dalam bentuk intertekstualitas,
sebab pengetahuan dari wacana idealisme/liberalisme merepresentasikan wacana
dibalik praktik-praktik diskursif pasca PD I, yakni bagaimana bangunan wacana
idealisme/liberalisme muncul sebagai suatu pengetahuan di SHI. Dalam konteks
ini intertekstualitas wacana idealisme/liberalisme yang terus direproduksi mulai
dari Zimmern dan Wilson dijelaskan oleh Carles W. Kegley Jr. dan Eugene R.
Wittkopf berupa pernyataan-pernyataan atau dalih-dalih formasi diskursif: 1).
Pada dasarnya manusia secara alamiah itu baik atau altruistic. 2). Welfare
menciptakan kemajuan (progress). 3). Perilaku jahat seperti kekerasan, adalah
bukan hasil cacat ataupun pembawaan manusia itu sendiri, tetapi cacat institusi
atau sistem yang memaksa manusia untuk berbuat selfish dan bertindak brutal. 4).
Perang dan anarkhisme internasional tidak dapat dihindari, kecuali dengan
mengedepankan institusi yang teratur dan rapi. 5). Perang merupakan masalah
global yang membutuhkan penyelesaian kolektif atau multilateral, dibandingkan
dengan penyelesaian dalam konteks nasional yang dapat diatasi negara
(pemerintahan) itu sendiri. 6). Reformasi harus diinspirasikan dengan perasaan
etika untuk kemakmuran dan keamanan semua orang. 7). Masyarakat
internasional harus menata diri dalam mengurangi munculnya institusi-institusi
yang dapat menciptakan perang. Negara-bangsa harus mereformasi sistem politik
mereka sendiri menjadi sebuah pemerintahan yang demokratis, sehingga dalam
kepemilikan hak menentukan sendiri (self-determination), mereka tetap terkondisi
aman dan nyaman dalam berhubungan satu dengan lainnya.43
Berkaitan dengan prinsip collective security institusi internasional seperti
LBB, Ray Maghroori dan Bennett Ramberg, menjelaskan bahwa kaum
idealis/liberalis mempercayai dalih: “collective security was superior to a balance

43
Ibid., hlm. 25-26.
75

of power, the inadequacy of which World War had demonstrated”.44 Kepercayaan


ini diaktualisasikan dalam beberapa mekanisme praktik-praktik diskursif:
Pertama, pembentukan collective security dengan menciptakan LBB, menggeser
atau menenggelamkan pengetahuan sistem balance of power seperti pembentukan
koalisi antar negara-bangsa yang merdeka di jaman pra PD I. Hal ini dilakukan
untuk menghalangi para aggressor seperti kasus Jerman. Kedua, dalam
menyelesaikan konflik, negara-bangsa sudah seharusnya menekankan jalan
mediasi (penengah) dan arbitrer sebagai solusi dari keributan dan konflik
bersenjata. Pada tahun 1921 diwujudkan sebuah pengadilan permanen untuk
mengadili konflik antar negara-bangsa. Berdasarkan wacana moral-legalistik
Zimmern, ratifikasi Kellogg-Briand Pact tahun 1928 yang berisi pernyataan
tentang peraturan bahwa perang sebagai instrumen dari kebijakan nasional
dihapus (outlawed). Ketiga, para penganut ‘perintah kitab suci’ negara-bangsa
harus mengendalikan persenjataan dan sepakat atas pelucutan senjata.45 Dalam
konteks ini, ilmuwan Indonesia, Mohtar Mas’oed berkomentar bahwa kebutuhan
yang bersifat normatif tidak hanya mempengaruhi substansi dari kajian politik
internasional, tetapi juga memunculkan kreasi teoritisasi pada masa itu. Saat itu,
negara-bangsa mempunyai optimisme yang tinggi terhadap perdamaian melalui
keberadaan hukum dan organisasi internasional. Dia mencontohkan dengan kasus
arbitrasi internasional dan konferensi perdamaian Indonesia di Den Haag Belanda
sebagai bentuk pengakuan kolonial Belanda terhadap Indonesia. Dia memberikan
kesimpulan bahwa aktivitas yang progresif dari hukum dan organisasi
internasional, berjalannya metode keamanan kolektif, adanya hak menentukan
nasib sendiri dan pelucutan senjata, menunjukkan bahwa minat teoritis sebagian
besar ilmuwan HI waktu itu mengarah ke wacana teori yang normatif dan

44
Ray Maghroori dan Bennett Ramberg, “Globalism versus Realism: A Reconciliation,” dalam
Globalism versus Realism International Relations Third Debate, diedit oleh Ray Maghroori dan
Bennett Ramberg, (USA: Westview Press, 1982), hlm. 225.
45
Charles W. Kegley Jr. dan Eugene R. Wittkopf, “World Politics, Trend and Transformation,”
dalam Rival Theoretical Interpretations of World Politics, (New York: Boston, edisi ke-7, 1999),
hlm. 26.
76

utopia.46 Pemahaman ini mengarahkan kita bahwa Mohtar Mas’oed merupakan


salah satu dari pengarang pengetahuan HI yang membangun wacana
idealisme/liberalisme dengan mereproduksi pengetahuannya di Indonesia. Tradisi
wacana SHI di Indonesia berdasarkan teks Mohtar Mas’oed masih mencangkok
tradisi-tradisi Zimmern dan Wilson. Wacana idealisme/liberalisme di Eropa,
Amerika dan Indonesia nampaknya memperoleh ruang yang cukup artikulatif.
Wacana idealisme/liberalisme saat itu, berdasarkan teks pernyataan Mohtar
Mas’oed, merupakan pengetahuan satu-satunya saat itu dalam mendefinisikan
konstelasi politik internasional. Terbungkamnya wacana lain, menjadikan wacana
idealisme/liberalisme menjadi satu-satunya formasi diskursif yang paling
menentukan ontologi konstelasi politik internasional. Oleh sebab itu, jaman pasca
PD I wacana yang dinamai dengan metanarrative, yang memenangkan perjuangan
pengetahuan adalah wacana idealisme/liberalisme.
Arkeologi HI menciptakan wacana yang merefleksikan formasi diskursif
tertentu di jaman tertentu. Sedangkan genealogi Foucault berusaha melihat
reproduksi pengetahuan yang pada akhirnya menjadi wacana metanarrative, yakni
pengetahuan yang bermuatan kuasa, yakni membaca dan mendefiniskan politik
internasional. Genealogi idealisme/liberalisme SHI yang diusung oleh Zimmern
dan Wilson di atas dibangun dari fondasi jarring-jaring nilai liberalisme Eropa:
dari para filsuf Inggris seperti John Locke (1632-1704) yang membuat negara
konstitusi dan nilai-nilai toleransi serta juru bicara liberalisme. Filsuf Inggris yang
terkemuka abad ke-17 lainnya, Jeremy Bentham (1748-1832) merupakan akar
kuasa/pengetahuan hukum internasional dan nilai timbal-balik (reciprocity)
hubungan internasional. Pemikiran filsuf Inggris ini direproduksi oleh filsuf
Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) dengan menciptakan nilai-nilai kemajuan
dan perdamaian abadi. Dari sekian filsuf ini, akumulasi kuasa/pengetahuan nilai-
nilai liberalisme (idealisme) seperti kebebasan, kerjasama, perdamaian, dan
kemajuan berkembang dalam wacana idealisme/liberalisme SHI dan kontelasi
politik internasional. Wacana pemikiran filsuf ini dikembangkan oleh ilmuwan

46
Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES,
1990), hlm. 14.
77

SHI seperti Normal Angell yang wacananya sangat dipengaruhi oleh John Stuart
Mill (1806-1873) ayahnya, James Mill adalah murid Bentham. Tokoh liberalisme
(idealisme) HI seperti Charles Beitz mengembangkan gagasan Kant melalui
pemikiran John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice (1971) tentang teori
keadilan. Konsep perdamaian Kant juga dikembangkan oleh Michael Doyle
dengan menemukan apa yang Kant ramalkan dan harapkan sebagai zona
perdamaian di antara negara-negara demokrasi liberal.
Teks yang dinamakan negara-bangsa merupakan negara modern yang
mengembangkan proses modernisasi dengan nilai-nilai liberalisme (idealisme).
Selain itu, jangan dilupakan bahwa hadirnya negara-bangsa merupakan awal dari
formasi modern dan sekulerisasi (sekulerisme) spatial dunia Barat akibat trauma
politisasi jaman abad pertengahan: skolastik (agama Kristen) sekaligus sebagai
anak kandung dari modernitas. Jadi dari genealogi formasi diskursif
idealisme/liberalisme telah mengakumulasi kuasa/pengetahuan disiplin HI,
arkeologi hubungan internasional pasca PD I menampakkan formasi diskursifnya.
Wacana ini tidak hanya teoritisasi SHI saja, tetapi sudah sekaligus praktek-praktek
diskursif para pelaku (actor) hubungan internasional saat itu dalam berinteraksi di
politik internasional.
Arkeologi hubungan internasional memunculkan wacana
idealisme/liberalisme karena praktik-praktik diskursif pasca PD I memang
menstrukturkannya seperti itu. Dengan demikian, pemahaman (analisis) sebab-
akibat era PD I secara determisnitik tidak relevan. Ketiadaan institusi
internasional yang menjalankan pratek moral-legalistik untuk menjaga
perdamaian dunia internasional menciptakan formasi diskursif baru, yakni
mengadakan institusi internasional dan membuat aturan moral-legalistik untuk
mendisiplinkan the rule of the game politik internasional. Genealogi wacana
idealisme/liberalisme menyimpulkan bahwa perjuangan sejarah pemikiran HI
memunculkan wacana idealisme/liberalisme sebagai pemenang di jaman pasca PD
I. Wacana tersebut tidak berada dalam ruang hampa, tetapi menempati ruang
pemikiran, ide, teori, pandangan tertentu di dunia politik internasional. Pengarang
wacana idealisme/liberalisme seperti Zimmern mempunyai kuasa pengetahuan
78

untuk membaca dan mendefinisikan dunia. Institusi universitas pertama adalah


institusi yang menguatkan otoritasnya dan institusi seperti LBB dan rule of the
games tatanan dunia pasca PD I merupakan salah satu kuasa pengetahuan yang
barasal dari dalih-dalih wacana idealisme/liberalisme. Di sini tidak ada yang
ilmiah, bebas nilai dan objektif, tetapi pengetahuan selalu terkait dengan
mekanisme kerja kekuasaan baik kekuasaan dari dirinya maupaun kekuasaan yang
tengah terbentuk sebagai implikasi dari dirinya, yakni penyeberan kekuasaan itu
sendiri.
II.2.2. Wacana Realisme
Jerman sudah tidak mau menaati dalih-dalih keharusan untuk mengacu
kepada disiplin hukum internasional (the rule of the game) dengan melaksanakan
Diktat Versailles. Pergeseran formasi diskursif politik internasional terjadi ketika
secara tiba-tiba Jerman menyerbu Polandia, lalu meluaskan ekspansinya ke
Norwegia, Belanda, Belgia, Luksemburg, (Juni 1940) Perancis. Sedangkan
Inggris sulit ditaklukan melalui serangan Jerman yang terkenal dengan nama
Battle of Britain. Ekspansi negara lainnya, Jerman menyerang Yunani dan
Yugoslavia (1941), dan sebagian wilayah Rusia. Jepang menyerbu Masyuria
(1931), lalu menyerang Cina Timur, Vietnam Selatan, Parl Harbour, Kepulauan
Solomon, memutuskan kolonialisme antara Belanda dengan Indonesia, Amerika
dengan Filipina, Inggris dengan Birma, Malaysia, dan Singapura. Kemudian
praktik-praktik diskursif ini diangkat ke level pernyataan atau wacana berupa
teoritisasi, konseptualisasi oleh tokoh fenomenal seperti pengarang E.H. Carr dan
Morgenthau dengan memunculkan wacana yang disebut realisme.
Wacana formasi diskursif realisme mampunyai dalih-dalih: 1). Pada
dasarnya orang itu selfish dan cacat etika serta tidak dapat lepas dari dosa realita.
Mereka terlahir dimaksudkan mengawasi diri mereka sendiri (self-preservation).
2). Semua orang bertindak jahat, tidak ada yang bermoral, non-kompromi dan
mengedepankan hasrat nafsu untuk kekuasaan serta keinginan untuk mendominasi
yang lain. 3). Kemungkinan untuk membasmi hasrat-hasrat kekuasaan adalah
utopia. 4). Politik internasional adalah struggle for power, “a war of all against
all”. 5). Kewajiban utama setiap negara –tujuan akhir dari semua target nasional
79

harus di bawah dari kepentingan nasional, dan dalam hal ini adalah mendapatkan
kekuasaan. 6). Sistem internasional yang alamiah ditentukan oleh kemampuan
militer untuk menghancurkan lawan-lawan potensial. 7). Aspek ekonomi cukup
relevan disamping pemberlakuan militer; perekonomian sangat penting sebagai
kekuatan nasional dan bergengsi, tetapi tidak dominan (8) Peningkatan aliensi
diperbolehkan sebagai kemampuan negara bangsa untuk melindungi diri sendiri,
tetapi loyalitas dan daya dukungnya tidak hanya sekedar asumsi saja, tetapi
merupakan sebuah keyakinan yang total dan final. 9). Negara-bangsa tidak
seharusnya mempercayai organisasi internasional untuk memproteksi diri atau
mempercayai aturan internasional, seharusnya menentang perilaku internasional
yang teratur. (10) Jika setiap negara-bangsa mencari kekuasaan maksimal,
kestabilan bisa tercipta melalui sistem balance of power, dipermudah dengan
sistem aliensi yang selalu berubah.47
Formasi diskursif di atas membaca dan mendefinisikan bahwa dalam
percaturan politik, ekonomi dan keamanan internasional, sasaran utama yang
seharusnya dikonsentrasikan adalah tindakan pembendungan musuh bersama atau
istilahnya “aliansi.” Pasca PD II, politik internasional, bermula dari pengetahuan
Barat, realisme dalam membaca dan mendefinisikan Uni Soviet sebagai suatu
kekuatan yang berbahaya. Dalam pendekatan genealogi, pengetahuan realisme
melihat bahwa Uni Soviet perlu dibendung fregmentasinya, demikian juga
sebaliknya. Akibat dari pengetahuan realisme, maka pemahaman politik
internasional dipahami sebagai hubungan yang konfliktual seperti hubungan
antara Barat-Timur. Di daratan Eropa ini, muncul teori hubungan internasional
realisme tentang perlunya “membendung” musuh –yang dilontarkan oleh
pengarang Barat Amerika Serikat, George F. Kennan. Dia berdalih bahwa sekutu
Barat perlu menahan perluasan pengaruh Timur, Soviet. Dengan kata lain,
reproduksi dan akumulasi wacana Kennan dalam SHI memunculkan dalih tentang
derajat “pembendungan” terhadap Uni Soviet. Dimulai dari pengetahuan ini, maka
lahirlah konsep hubungan yang bernuansa konfliktual seperti “Barat-Timur”,
“Keamanan Eropa”, “Negara Tirai Besi”, dan “Perang Dingin” serta “Tirai

47
Kegley dan Wittkopf, op. cit., hlm. 28-29.
80

Bambu”–sebagai blok komunisme Asia.48 Sebelum Kennan melontarkan


pengetahuannya, politik internasional masih tak terdefinisikan dan belum terbaca
sebagai apa yang didalihkan oleh wacana kaum realis sekarang ini. Namun setelah
itu, pengetahuan Kennan memudahkan kubu Barat (Amerika Serikat, dll)
mengontrol realitas politik internasional. Dengan pengetahuan realisme, Amerika
berevolusi menjadi penguasa global pasca PD II. Tujuan dan praktik-praktik
diskursif politiknya telah menentukan lingkungan politik internasional. Dalam hal
ini, formasi diskursif ilmu pengetahuan para pengambil kebijakan Amerika
Serikat tidak hanya berperan dalam politik internasional, tetapi juga dalam
penciptaan objek ilmu pengetahuan yang baru dan wilayah kekuasaan yang baru
seperti studi Asia Tenggara, studi Islam, studi Soviet, studi Cina, dll. Saat ini,
politik internasional didefinisikan dan dibaca sebagai era dekolonialisasi dan
Perang Dingin. Signifikan kekuasaan pax-Amerikana berbeda dengan kekuasaan
pax-Britannika, dan situasi kepentingan korporasi pasca PD II terhadap dunia
Timur (dunia Ketiga) berbeda dengan kondisi di mana korporasi kolonial
berkembang dahulu.49 Oleh sebab itu, timbulnya wacana realisme dan surutnya
wacana idealisme membuat politik internasional berubah: hadirnya nilai-nilai
yang kejam, dipenuhi hasrat nafsu, adanya kecurigaan yang tinggi,
menghilangnya sifat altruistic, aspek ekonomi hilang dari permukaan, bermainnya
sistem sosial internasional yang diartikulasikan melalui kepuasaan emosi dan
pemenuhan hasrat-hasrat jasmani, yang sering disebut dengan popularitas, gengsi
dan harga diri negara-bangsa, bukan faktor ekonomi yang mengedepankan
perdagangan internasional, penghasilan negara yang melimpah dan masyarakat
yang bebas melakukan aktifitas ekonomi.
Momentum PD II benar-benar merubah, memutuskan dan
menenggelamkan bangunan formasi diskursif dari pendahulunya: Locke,
Bentham, dan Kant sebagai yang disebut dengan wacana idealisme/liberalisme
menjadi wacana realisme. Genealogi wacana realisme bermula dari kuasanya

48
Juwono Sudarsono dkk, “State of Art Hubungan Internasional: Mengkaji Ulang Teori Hubungan
Internasional,” dalam Perkembangan Studi HI dan Tantangan Masa Depan, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1996), hlm. 6.
49
Philpott, op.cit., hlm. 48-49.
81

dalam membaca dan mendefinisikan fenomena politik internasional, PD II yang


diambil dari formasi praktik-praktik diskursif Perang jaman Yunani kuno yang
digambarkan oleh Thucydides. Timbul kembalinya praktik-praktik Yunani Kuno,
melalui wajahnya yang sudah berbeda sama sekali menciptakan keunikan
tersendiri. Dalam konteks ini, Thucydides tidak mempunyai maksud membaca
dan mendefinisikan Perang Peloponnesia Yunani dengan kerangka konseptual.
Dalam membaca perang tersebut, Thucydides hanya mereproduksi dalih
Aristoteles berupa: “a man is political animal.” Dasar ini merupakan dalih yang
direproduksi terus-menerus, sehingga kaum realis bukanlah kaum yang
merekonstruksi jaman, tetapi hanya memunculkan wacana masa lalu saja dalam
bentuknya yang lebih unik. Di sini tidak ada sama sekali sebuah kemajuan
apapun, selain dari sebuah perulangan atau timbulnya kembali wacana yang
sebelumnya telah surut. Saat itu, semua negara-bangsa adalah binatang politik
sebagai artikulasi dari ordo manusia masa lalu. Praktik-praktik diskursif dalam
kancah politik internasional PD II tidak berhenti pada wacana Thucydides.
Wacana Machiavelli (1469-1527) juga direproduksi kembali untuk membaca
politik internasional. Teks wacana Machiavelli masa kerajaan Italia dulu diadopsi
oleh ilmuwan HI seperti Morgenthau dalam melihat fenomena politik
internasional PD II. Misalnya konsep power yang dimetaforkan oleh Machiavelli
melalui istilah “Singa” dan “rubah,” ketika memaknai atau membaca aktor-aktor
kuat politik internasional PD II. Otoritas pengetahuan Machiavelli memaknai
elemen negara-bangsa dengan dalih bahwa negara-bangsa seharusnya memiliki
sifat kejam, egois, tindakan menghalalkan segala cara untuk mengejar
kepentingannya, dan tentang permasalahan moral, etika dikendalikan (ditentukan)
di bawah (atas otoritas) kebijaksanaan “sang singa” atau “rubah.” Tidak jauh
berbeda dengan Machiavelli, otoritas pengetahuan Thomas Hobbes (1588-1679)
yang membaca praktik-praktik diskursif jaman skolastik juga dihadirkan kembali
untuk memaknai atau membaca fenomena politik internasional PD II sebagai
sebuah sejarah monumental tentang kekejaman, kebinatangan, kebrutalan,
kebengisan, kekerasan, dan kejahatan diekspresikan dengan tindakan liar dan
bebas oleh manusia. Mekanisme wacana yang beroperasi melalui elemen “state of
82

nature” sebagai landasan pengetahuan HI dalam mengistilahkan fenomena politik


internasional PD II diilustrasikan dalam pernyataan: “state of war of every man
against every man” atau istilahnya “a war of all against all.” Formasi diskursif
andalan wacana realisme yang diadopsi dari Hobbes salah satunya konsep security
dilemma dan teori: modern dicision theory-teori prisoner’s dilemma.” Wacana
realisme terbentuk oleh jalinan footnote para ilmuwan dan filsuf realpolitik jaman
pencerahan.
Bahasa ilmu sosial politik realisme berperan ganda: kolonialisme dan ilmu
pengetahuan. Karena pengetahuan realisme adalah kuasa itu sendiri, maka ruang
yang dinamakan politik internasional memiliki kualitas dan keabsolutan yang
ditentukan oleh pembayangan abstraksi kaum realis. Dengan kata lain, ruang
politik internasional dibentuk dan dipahami oleh rasionalisasi mekanik kaum
realis. Abstraksi politik internasional adalah sebuah teks bahasa yang diambil dari
ruang imajinasi kaum realis, sehingga politik internasional pasca PD II dikuasa
oleh kepentingan politik luar negeri Amerika Serikat yang berpengetahuan
realisme. Berkaitan dengan konteks ini, genealogi pemikiran seperti di atas
diwacanakan menyebar melalui para penganut wacana realisme seperti Raymond
Aron yang sangat terilhami oleh Hobbes dan Clausewitz, John Herz yang tentunya
mirip sekali pemahamannya dengan Hobbes, sedangkan tokoh kontemporernya
seperti Kissinger, Krasner, dan Susan Strange pun mereproduksi wacana-wacana
realpolitik jaman pencerahan Eropa melalui varian-variannya.
II.2.3. Wacana Tradisionalisme
Wacana idealisme dan realisme merupakan pengetahuan yang masih
mengaitkan dirinya dalam wadah pendekatan sejarah filsafat, etika, politik dan
hukum internasional. Pendahulu HI seperti Zimmern memberikan pelajaran
menggunakan pendekatan sejarah filsafat dan hukum internasional ala Grotian,
John Herz menggunakan pendekatan filsafat politik Hobbesian, Martin Wight
menggunakan pendekatan filsafat sejarah, E.H. Carr, Morgenthau juga tidak jauh
berbeda, dll. Terkait dengan kuasa wacana tradisional, Chandra menjelaskan lima
tahapan perkembangan wacana tradisional HI dengan mengutip karya Kenneth
Waltz Thomson, The Study of International Politics: A Survey of Trends and
83

Development (1952). Chandra menjelaskan lima tahapan wacana HI yang dibagi


sebagai berikut: pertama, periode hampir akhir PD I yang didominasi oleh
monopoli wacana sejarawan diplomatik yang menghindari studi permasalahan
kekinian dan menghentikan perkembangan yang terpusat pada ranah teoritisasi,
sehingga teori hubungan internasional saat ini tidak berkembang. Kedua, periode
akhir PD I yang menekankan pada studi isu-isu kekinian. Namun pendekatan ini
miskin dari pandangan integral hubungan internasional, karena tanpa melihat
referensi masa lalu. Ketiga, periode kelanjutan dari periode sebelumnya sampai
dengan akhir periode inter-war years. Periode ketiga ini memberikan kejutan yang
begitu signifikan, sehingga para sarjana hubungan internasional mengadopsi
wacana pendekatan moral-legalistik secara esensial dan melihat perang sebagai
kecelakaan dan dosa. Selain itu, para sarjana tersebut menyatakan usulan:
perlunya institusi internasional dan hukum internasional sebagai alternatif
“ultimate argument of kings“–mengajak perang.50 Semua wacana ini bersumber
dari formasi diskursif idealisme/liberalisme. Menurut penulis, pemaparan Martin
Wight di atas cukup menjelaskan formasi diskursif wacana tradisionalisme: 1).
SHI jauh berbeda dengan teori politik. SHI lebih luas lingkupannya,
kerumitannya, abstraksinya, sedangkan teori politik dan hukum sifatnya normal –
tingkat kerumitannya lebih rendah daripada SHI, dan kalkulasi terhadap fenomena
mudah diketahui hasilnya. Dengan kata lain, Wight menyatakan bahwa teori
politik mempunyai kecenderungan untuk mengacu pada teori politik, pendekatan
behavioralisme dan hukum, sedangkan teori internasional mempunyai
kecenderungan mengacu pada studi sejarah. 2). SHI dan praktik-praktik diplomasi
terjadi kondisi konfliktual dengan SHI, karena praktek-praktek diplomasi dan
politik internasional didominasi oleh teori politik internasional bukan oleh
penulisan sejarah (sejarawan). Dalam hal ini, Wight menunjukkan karya ahli
sejarah Yunani, Thucidydes yang menulis Peloponnesian War dengan
menggunakan pendekatan sejarah.51 3). Teks sejarah ini berelaborasi dengan

50
Prakash Chandra, International Politics, edisi ke-2 (India: Vikas Publising house PVT LTD,
1995), hlm. 3-4.
51
Menurut John Spanier perbedaan sejarah dengan teori: historians focus on the descriptions of
specific events, which are unique to those times and places. While they can tell us how and why a
84

filsafat, sehingga dinamakan sebagai sejarah filsafat (philosophy of history): the


political philosophy of international relations.” Jadi Keterkaitan sejarah dan
filsafat erat. 4). Jika perang sipil atau revolusi dianggap sebagai kasus ekstrim
dalam teori politik, maka dalam teori internasional (SHI) dianggap sebagai kasus
biasa –kasus-kasus tertentu yang tidak akan menjadi sebuah teori. Dari pernyataan
ini, kita dapat memahami bahwa wacana tradisional saat itu begitu kuat, sehingga
tidak ada wacana lain yang membaca politik internasional selain dengan alat baca
dan definisi formasi diskursif sejarah, hukum internasional dan filsafat.
Melalui pemahaman B.K. Gills, kita dapat melacak genealogi kuasa teks-
teks otoritatif wacana tradisional. Wacana tradisional dapat dikatakan sebagai
jendela sejarah di HI. Gills mejelaskan bahwa pengaruh teks sejarah dapat dibagi
tiga jenis: pertama, pemikiran sejarah tradisional. Pemahaman dari sejarah
internasonal ini diawali dari kuasa sejarawan sosial Arnold Toynbee melalui
konsep terkenalnya: ‘universal history’. Pemikir HI yang terpengaruhi oleh teks
otoritatif Toynbee diantaranya adalah Martin Wight dan Hedley Bull. Kunci dari
wacana sejarah tradisional ini adalah menganalisa negara-bangsa yang sudah
(telah) eksis dalam sejarah: immanent explanation. Kedua, materialisme sejarah
(historical materialism). Materialisme sejarah berasal dari pandangan Marxisme.
Dia berargumen bahwa materialisme sejarah berupa masa lalu atau fakta-fakta
materialistik yang sudah tertulis dulu merupakan kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh kaum kapitalis dan kaum buruh di dalam proses perjuangan kelas
mereka. Pendekatan ini diadopsi oleh Robert Cox untuk mengkritik neo-realisme
dan mengembangkan pemikiran Gramsci. Selain itu, pendekatan Marx yang
diadopsi Lenin dan Stalin juga memberi kontribusi besar dalam SHI seperti
adanya istilah imperialism: the highest stage of capitalism. Ketiga, sejarah
sosiologi (sociological history). Saat ini, sosiologi memberi banyak kontribusi
dalam studi sejarah yang mempunyai relevansi dengan SHI. Sejarah sosiologi

specific war happened, they do not tell us why wars occur more generally. A theory of
international politics would attempt to answer this question. Such a theory would not look at each
war as unique, but would analyze many wars. It would then specify from the data exactly which
conditions seem repeatedly to result in war. Lihat John Spanier, Games Nations Play, edisi VII,
(Florida: CQ Press, 1990), hlm. 9.
85

terkadang hadir tumpang tindih dengan sejarah materialismenya Marx, tetapi


perbedaan yang signifikan terlihat dalam penjelasan terhadap aspek sosiologi
Waberian. Pencetus dari pendekatan sejarah sosiologi ini adalah Fernand Braudel
yang memunculkan konsep ‘total history,’ yakni kajiannya enam belas abad di
dunia Mediterranean. Dalam konteks ini, Immanuel Wallerstein sebagai salah satu
anak didik darinya; kajiannya tentang perkembangan masyarakat kapitalis di
Eropa abad kedelapan belas. Pendekatan sejarah sosiologi ini juga dinamakan
pendekatan sistem dunia (world-system approach). Salah satu pokok
pemikirannya adalah menjelaskan ekonomi dunia; berasumsi posisi negara-bangsa
cenderung lebih lemah dari masyarakat, tetapi masyarakat lebih lemah posisinya
dari aspek ekonomi (area Asia Selatan); kota-kota kapitalis di Eropa berstruktur
memusat; sejak abad lima belas Eropa terdapat ‘hierarchy of zones.’ Turunan dari
pendekatan ini adalah ‘LSE School’ yang merupakan pecahan dari pendekatan
sistem dunia. Pendekatan ini dicetuskan oleh Raymond Aron, Michael Mann dan
John Hall. Pendekatan ini menekankan pada ‘geopolitical militarism’ yang mana
militarisme berasal dari aspek geopolitik struktur sosial kita. Menurut mereka,
aspek ini lebih tua dari kapitalisme. Pandangan militarisme ini bergabung atau
masuk ke dalam aspek ekonomi ketika kapitalisme lahir.52
Identitas SHI pasca PD I di bawah penaklukan formasi diskursif
tradisional. Sejarah jaman PD I tidak ditentukan oleh subjek pemenang sejarah,
tetapi oleh wacana yang melekat pada pemenangnya bersama dengan tatanan
formasi diskursif yang melekat dalam dirinya. Sebenarnya tidak ada suatu
kemajuan yang berarti, sebab formasi wacana tradisional tidak lebih dari sebuah
peningkatan pamor sejarawan Yunani Kuno yang dioperasionalkan oleh
sejarawan Eropa pencerahan yang sedang naik daun. Wacana tradisional
membereskan semua lawan-lawan tandingnya, sehingga tidak ada wacana lainnya.
Metanarrative gerakan tradisional begitu massive dan total dalam menyetir SHI
dan ontologi politik internasional. Politik internasional dipraktikkan oleh aktor-
aktor yang berkompetensi kuat dengan wacana pemikiran sejarah. Pemetaan dunia
52
B.K. Gills, “International Relations Theory and the Processes of World History: Three
Approachs,” dalam The Study of International Relations: the State of the Art, edited Huga C. Dyar
dan Leon Mangasarian, (New York: St. Martin’s Press, 1989), hlm. 104-138.
86

politik internasional dibaca dan didefinisikan oleh apa yang para pemikir jaman
Eropa pencerahan dulu bayangkan. Apa yang didiskripsikan dan direplikasi dari
suatu ontologi politik internasional pasca PD I adalah bagian dari suatu kenyataan
pemikiran, konsep, perspektif para pendahulunya, sebab pembaca dan pendefinisi
dari ruang realitas politik internasional adalah ‘sang pengarang’ yang mempunyi
relasi kuasa footnote atas otoritas teks-teks lama seperti teks dari filsafat sejarah
Yunani Kuno dan teks dari para pemikir abad pencerahan.
Misalnya ‘sang pengarang’ seperti Edward Hallett Carr yang merupakan
seorang realis, yang pertama kali mempercayai realisme politik seperti halnya
John Herz dan setelahnya, Morgenthau. Dalam karyanya, “The Twenty Years’
Crisis” (1939) E.H. Carr berusaha memperjuangkan apa yang dinamakan sebagai
pengetahuan realisme. Scott Burchill meringkas pengetahuan pemikiran E.H.
Carr. Carr berpendapat bahwa sangat berbahaya jika kita berpijak berdasarkan
dari karakter normatif, karena SHI akan mengarah pada bayangan tentang segala
hal yang seharusnya, bukan pada sesuatu yang ada. Penyerangan Jepang terhadap
Manchuria dan Italia menduduki Abisinia mengakhiri pamor dari kebangkitan
kaum idealis/liberalis. Menurut dia, apa yang kita butuhkan adalah pengetahuan
yang lebih tajam, di mana menekankan pada realitas kekuasaan politik dalam SHI,
dibandingkan dengan dengan studi dunia internasional yang terbayangkan dengan
apa yang seharusnya. Menurut dia, sistem politik internasional pasca perang telah
diciptakan oleh para pemenang perang, merupakan rancangan dari mereka yang
tetap mendapatkan keuntungan lebih, dari ekspansi kekuasaan ‘revisionist’.
Kemunculan realisme menciptakan suatu kemenangan baru dari suatu perjuangan
pemikiran sejarah Pasca PD I dan bentuk pemberontakkan atas wacana status quo
yang ada. Menurut dia, kaum idealis/liberalis seperti Zimmern dan Wilson telah
menjadi alat kepentingan bagi peguasa saat itu. Jika pengetahuan kaum utopia
diambil secara serius, maka masyarakat politik internasional menempatkan
kondisi ilusi kaum idealis/liberalis ini menjadi sesuatu yang lazim. Pada
kenyataannya, tatanan pasca PD II merefleksikan kepentingan spesifik dari suatu
87

kepuasan hasrat kekuasaan, dan sepertinya tidak dapat dirasakan oleh Jerman
yang telah mendapat hukuman perjanjian Versailles pada tahun 1918. 53
Apa yang diungkapkan di atas adalah sebuah mekanisme kuasa
pengetahuan dari Carr yang berusaha memperjuangkan pemikirannya. Sejarah
pemikiran yang dia adopsi dari para pemikiran filsafat menjadi sebuah footnote
sekaligus otoritas teks untuk menyangga bangunan argumentasinya. Wacana
tradisional yang digunakan oleh Carr berpijak pada identitas filsafat sejarah Eropa
abad pencerahan. Penulis melihat bahwa di sini tidak ada kemajuan dan progres
sama sekali, tetapi justru wacana tradisional hanya menguatkan kembalinya
pembacaan-pembacaan berdasarkan dalih-dalih teks masa lalu dan pemikiran
filsafat. Formasi diskursif yang timbul ini menaklukan, tidak hanya pemikiran
para ilmuwan HI, tetapi menaklukan konstelasi politik internasional, sehingga
mudah dikendalikan, diukur dan diraba-raba tingkat sensitivitasannya.
Kesimpulan yang ditangkap dari wacana tradisional, wacana ini dipahami sebagai
dalih-dalih dalam bentuk aksi bahasa. Wacana ini adalah jendela yang
menentukan arah pandang pemahaman kita terhadap cakrawala diri kita sendiri
untuk menentukan benar-salah, indah-suram, tepat-tidak tepat. Subjek sejarah
sebagaimana para Hegelian sebenarnya tidak ada pada wacana tradisional, yang
ada dan masuk akal oleh pemikiran orang-orang saat itu hanyalah wacana
tradisional yang menentukan dirinya. Mekanisme wacana-wacana dalam
perjuangan pemikiran menghasilkan kemunculan formasi diskursif tradisional.
Formasi ini yang menentukan arah epistemologi HI pasca PD I dengan
menciptakan realitas politik internasional.
II.2.4. Wacana Saintisme (Strukturalisme)
Sebagai mana disinggung di atas, SHI secara keilmuan sudah menjadi
disiplin ilmu dalam ruang lingkup nasional di ilmu sosial dan politik di Wales,
Inggris yang memfokuskan pada studi politik internasional. SHI masih
memfokuskan pada isu-isu yang sangat terbatas seperti perang-damai, sebab-
sebab perang, konvensi internasional, sejarah diplomasi, hubungan antar negara-

53
Scott Burchill, “Realism and Neo-realism,” dalam Theories of International Relations, (London:
MacMillan Press LTD, 1996), hlm. 67-73.
88

bangsa dan politik luar negeri. Implikasinya, SHI menjadi turunan dari disiplin
ilmu hukum internasional, disiplin ekonomi internasional, disiplin sejarah
internasional, dan disiplin politik (internasional).54 Dengan berjalannya dinamika
disiplin ilmunya, ketika konferensi Unesco (1948) berlangsung, SHI dalam
cakupan internasional disahkan secara legal-formal institusional dimasukkan
sebagai sub dalam ilmu politik. Walaupun pada abad ke-20, di universitas-
universitas dunia SHI menyinggung aspek hukum, sejarah dan ekonomi, legalitas
SHI sebagai disiplin ilmu sudah jelas masuk pada bagian tubuh ilmu politik.55
Namun sebagai ilmu, SHI masih belum cukup dipahami sebagai ilmu yang ilmiah
dan dinamai sebagai ilmu pengetahuan.
Dalam karya Open the Social Science (1996), Immanuel Wallerstein
menyoroti lebih mendalam tentang isu perubahan disiplin ilmu sosial. Dengan
mengutip Wolf, Wallerstein menyatakan bahwa menjelang PD I, ilmu-ilmu sosial
semakin menguat di lima negara: Inggris, Perancis, Italia, Jerman dan AS,
sehingga muncul lima studi ilmu sosial: ilmu sejarah, ilmu politik, ilmu ekonomi,
antropologi dan sosiologi. Saat itu, sejarah menjadi disiplin ilmu yang mandiri,
dan diakui bukan sebagai kajian spekulatif berarti memisahkan diri dari filsafat,
tetapi sebagai kajian empiris. Ilmu ekonomi juga merupakan istilah baru di abad
ke-19, sebelumnya ekonomi yang dibahas, ketika Adam Smith berupa studi
filsafat, moralitas dan ekonomi-politik Inggris. Ilmu sosiologi menjadi sebuah
ilmu sosial didisiplinkan sebagai sebuah studi ketika mengadopsi wacana
positivisme (Auguste Comte) sebagai pendekatan sekaligus metodenya. Terakhir
adalah studi tentang ilmu politik yang pada saat itu masih cenderung belum tegas
mengikuti kubu positivisme Auguste Comte secara setengah-setengah. Ilmu
tersebut masih menggunakan metode spekulasi dan filsafat, hingga pada akhirnya
terjadi perubahan formasi diskursif pasca 1945 di Amerika Serikat. Bermula dari

54
Chris Brown, Understanding International Relations, (London: MacMillan Press LTD, 1999),
hlm. 21.
55
Soelistyati Ismail Gani, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), hlm. 29.
89

Amerika Serikat, jelasnya University of Chicago, ilmu politik bersama subnya


SHI mengadopsi wacana saintisme sebagai pendekatan dan metodenya.56
Pasca PD II, SHI mulai mengalami perubahan formasi diskursif, adanya
pernyataan yang menyebutkan bahwa SHI mempunyai dua kelemahan: pertama,
semua pendekatan SHI seperti pendekatan sejarah, pendekatan hukum
internasional, pemaknaan melalui filsafat dan metode verstehen dalam membaca
fenomena politik internasional tidak bebas nilai, objektif dan mempunyai
keberpihakan terhadap pihak-pihak tertentu, sehingga ketepatannya dalam
membaca dan mendefinisikan realitas politik internasional kurang akurat, tepat
dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, SHI sebagai disiplin
ilmu tidak ilmiah karena bersifat subjektif dan bermuatan nilai. Kedua, dengan
semua pendekatan seperti sejarah, hukum internasional, filsafat dan metode
verstehen, para pelajar mengalami kesulitan dalam mempelajari konstelasi politik
internasional, sebab semua ketrampilan SHI bukan sesuatu yang mudah dipelajari,
ditiru, tetapi lebih sebagai bakat, seni (art) atau ketrampilan yang membutuhkan
penjiwaan sepenuh hati. Saat itu, SHI diasosiasikan oleh beberapa ilmuwan yang
kritis sedang mengalami krisis metodologi dan krisis epistemologi. Kaum kritis
ini berusaha keras untuk melakukan perubahan, diantaranya melakukan revolusi
metodologi SHI, di University of Chicago, Amerika Serikat (1945). Hal ini
memberikan pengaruh yang cukup kuat kepada pemikir SHI pasca PD II seperti
imigran Jerman, Morgenthau. Selain dia, masih banyak ilmuwan seperti Kenneth
Waltz, Morton Kaplan, David Singer, Karl Deutsch, John Spanier, Patrick
Morgan, Richard Synder, yang gigih memperjuangkan pemikiran tentang dalih-
dalih saintisme.
Wacana saintisme di wilayah ilmu politik dilahirkan oleh Charles E.
Merriam. Dia merupakan bapak pembabtis para intelektual dari ilmu politik yang
percaya dengan dalih-dalih saintisme. Wacana saintisme pada awalnya dinamai
dengan wacana behavioralisme, karena kaidah dan dalihnya bersumber dari
behavioralisme psikologi, yakni penyelidikan berdasarkan pola perilaku aktor-

56
Immanuel Wallerstein, Open the Social Science, (California: Stanford University Press
California), 1996 diterjemahkan oleh Oscar, Lintas Batas Ilmu Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1997).
90

aktor politik, baik nasional maupun internasional. Dia memulai kariernya di


Universitas Chicago Amerika Serikat sebagai ahli ilmu politik Eropa dan Amerika
dengan karya pertamanya, Primary Election (1908) sebagai representasi dari
wacananya yang bersifat behavioralistik: analitik-empiris. Konferensi nasional
tentang ilmu politik diselenggarakan pada musim panas tahun 1923, 1924 dan
1925. konferensi kedua diselenggarakan di Chicago, di bawah pimpinan Merriam
dan Leonard White, yang memberikan arah baru bagi ilmu politik. Dalam New
Aspects of Polities, Merriam menerangkan dan menganjurkan ilmu politik
sebaiknya sebagian besar analisisnya menekankan pada metode, prosedur dan
pentingnya mengkuantifikasikan data-data serta penemuan-penemuan yang ada.
Pada akhirnya, departemen ilmu politik Universitas Chicago menjadi pusat utama
kegiatan-kegiatan akademik, serta berhasil menciptakan ilmuwan-ilmuwan politik
terkemuka, seperti: Leonard White, Harold Gosnell, Quincy Wright, Harold
Lasswell, Frederich Schuman, V. O. Key Jr, Gabriel Almond, Avery Leiserson,
Herbert Simon dan David Truman. Mereka itu merupakan pelopor revolusi
behavioralisme dalam ilmu politik. Di bawah pimpinan Hans Morgenthau dan
Leo Strauss revolusi behavioral sempat surut, karena kedunya masih
mengagungkan studi sejarah filsafat. Namun tahun 1950an, perkembangan ilmu
politik behavioral mendapat dukungan keras terutama oleh berbagai donatur
seperti, institusi Carnegie, Rockefeller dan Ford. Yayasan-yayasan tersebut juga
mendirikan program-program besar, seperti penelitian yang dilakukan secara
analitik-empirik di Michigan. Wacana behavioralisme dapat diinterpretasikan
sebagai timbulnya wacana baru guna mengembalikan aspek-aspek ilmiah ilmu
politik secara serius. Wacana ini mempunyai fondasi berdasarkan pada dalih-dalih
ilmu alam dan biologi serta sejalan dengan perkembangan baru yang terjadi dalam
bidang psikologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya–sosiologi. Perilaku yang
merupakan sesuatu yang dapat diamati dan dipelajari secara objektif, benar-benar
tengah menjadi fokus perhatian yang semakin besar bagi semua ilmuwan sosial
yang ilmiah.57 Dalam hal ini, dalih-dalih saintisme awal atau pendekatan
behavioralisme dalam SHI dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). SHI tidak jauh

57
SP. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hlm. 18-30.
91

berbeda dengan teori politik yang mengutamakan kalkulasi terhadap fenomena


agar mudah diketahui hasilnya. 2). SHI didominasi oleh praktik-praktik tradisi
ilmu alam atau pendekatan saintifik dengan menghapus pendekatan sejarah dan
filsafat. 3). Dengan tidak ada kaitannya sama sekali dengan sejarah dan filsafat,
karena dengan tradisi saintifik, SHI justru memotong tali penyambung antara
sejarah-filsafat dengan tradisi pemikiran saintisme.
Genealogi kuasa intelektual behavioralisme amatlah kompleks. Leluhur
dari wacana ini merujuk pada otoritas teks skeptis dan empiris David Hume.
Pelopor wacana ini di Amerika adalah pragmatismenya William James (1842-
1910), yang menekankan pada empirisme, voluntarisme, tindakan-tindakan
invidual dan hubungan antara kesadaran dan tujuan. Perhatian seperti ini cocok
untuk prinsip-prinsip individualisme John Locke untuk menerangkan perilaku
individu. Pelopor yang lain adalah, Charles S. Pierce (1839-1914) yang
menciptakan pragmatism. John Dewey (1859-1952) yang merupakan pelopor
filsafat praktis mengenai kebenaran yang tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip
ideal (ide), melainkan pada pengalaman-pengalaman observasi. Perubahan umum
atas proses belajar yang berkaitan dengan filsafat yang memunculkan disiplin
ilmu psikologi dan dengan penekanan ini, filsafat menjadi “scientific” atau
“observational persuit:” observasi perilaku manusia. Istilah behavioralisme
dicetuskan oleh John B. Watson (1878-1958), ahli psikologi menganggap proses
belajar terjadi sebagai hasil dari pengamatan antara rangsangan dan respon.
Nampaknya filsafat dan sejarah merasa ganjil dengan metode eksperimetal.
Kalaupun mereka tertarik pada pertanyaan-pertanyaan filsafat, ilmuwan
behavioralis lebih melihat para filsuf ilmu seperti, Alfred North Whitehead,
Rudolf Carnap dan Carl Hempel. Tujuannya adalah menenggelamkan wacana
tradisional dan meningkatkan pamor wacana saintisme: logical-empirism. Dengan
mendukung mengadopsi wacana ilmu alam (saintisme), kaum behavioralis terkait
dengan jaring kuasa pengetahuan positivisme Saint Simon yang menekankan
metode ilmiah.58

58
David E. Apter, Introduction to Political Analysis, (Cambridge: Massachusetts, Winthrop
Publishers, Inc., 1977), hlm. 216-217.
92

Akumulasi kuasa pengetahuan untuk terus menciptakan kebenaran-


kebenran baru dilakukan secara intens atau regular (1952) dan oleh kaum
behavioralis dalam sebuah perkumpulan yang dinamai dengan “Komite Ilmu
Tingkah-Laku” (Committee on Behavioural Science) di Universitas Chicago,
Amerika Serikat. Mekanisme kuasa pengetahuan diformulasikan dalam diskusi
reguler yang menyangkut persoalan: bagaimana mengilmiahkan ilmu politik?
Lebih tepatnya, bagaimana ilmu politik memiliki kesepakatan tentang sifat, ruang-
lingkup, metode ilmu politik yang sama. David Easton merupakan salah satu dari
pemikir behavioralis pertama yang menggunakan wacana saintisme, yakni analisis
sistem dalam ilmu politik, dalam karyanya Political System (1953). Analisis
sistem ini, pada akhirnya diterapkan di dalam SHI seperti juga dalam ilmu politik
untuk membuat deskripsi yang lebih ilmiah dan bermetode induktif, serta
pembuatan generalisasi dengan dasar pengetahuan kumulatif untuk membuat
teori. Kaum behavioralis memberi penekanan pada ketelitian dan operasionalisasi
konsep daripada intuisi dan pengertian tentang konsep sejarah masa lalu yang
immanent. Kaum behavioralis sangat kuat dengan pandangan bahwa teori-teori
harus dijauhkan dari ideologi apapun atau pre-konsepsi normatif. Analisa sistem
dalam HI disebarluaskan secara luas oleh ilmuwan seperti Morton Kaplan, Karl
Deutsch, Stanley Hoffman dan Charles McClelland. Mereka meyakini bahwa
dalam kenyataannya SHI tidak dapat dipelajari secara terpisah dengan ilmu
politik.59
Kaum behavioralis mempunyai formasi diskursif: konseptualisasi ilmu
sosial, kuantifikasi variabel-variabel, pengujian hipotesis formal dan membangun
model-model kausalitas. Kaum behavioralis merupakan embrio positivisme dalam
ilmu politik. Formasi diskursif wacana ilmiah ini dapat diketahui melalui
penjelasan dalih-dalihnya: 1). Pembentukan hipotesa yang dapat diuji. 2).
Pengujian hipotesa. 3). Pengumpulan, perbandingan dan pengintegrasian
penemuan dari berbagai pengujian dan berbagai hipotesa.60 Mengembangkan

59
Varma, op.cit., hlm. 313-314.
60
Mas’oed, op.cit., hlm. 65-67.Lihat juga penjelasan Nicholson yang mengilustrasikan wacana
behavioralisme sebagai pendekatan yang seringkali menggunakan data statistik dan metode
statistik. Lebih luas, mereka seringkali mengacu pada positivisme, lebih tepatnya dinamakan
93

teori-teori hubungan internasional yang general dapat mengkonstruksikan diri


pada masalah-masalah tingkat menengah (intermediate level/middle range-theory)
yang sekedar mempertautkan dan menghubungkan beberapa variabel yang secara
sengaja dipilih. Harapan para ilmuwan HI saintis adalah secara bertahap dan
kumulatif mampu mencapai sekumpulan teori-teori parsial dan middle range yang
konsisten serta bisa bertahan terhadap pengujian verifikasi empiris, sehingga
dapat terus digunakan untuk membaca dan mendefinisikan konstelasi politik
internasional.
Wacana saintifik ini dapat dilihat dalam rumusan teori lama menjadi
rumusan teori baru model Morton Kaplan, “Balance of Power” dalam karyanya,
System and Process in International Politics (1957). Model ini membuahkan
sumber data dan seri-seri sejarah baru (new historical database and time-series)
untuk menenggelamkan wacana tradisional seperti sejarah diplomasi. Wacana
saintifik J.D Singer melalui proyek persatuan ‘Correlates of War’ di Ann Arbor,
Michigan (1979) terkait dengan model matematika, “Teori Permainan” (Game
Theory) dan “Teori Pengambilan Keputusan” (Rational Choice Theory) dan terus
diproduksi kembali oleh oleh Thomas Schelling di Universitas Harvard (1960).
Model state-centric dalam semua SHI merupakan kreasi teori sosial baru yang
dikerjakan oleh John Burton (1972), Kenneth Boulding (1962) dan Johann
Galtung (1971).61
Pendekatan behavioralisme di awal SHI cenderung mengadopsi
positivisme (klasik dan positivisme logis),62 tetapi teori sistem yang dijadikan

sebagai empirisis. Mereka memusatkan perhatian pada dunia sosial yang dapat diuji dengan fakta-
fakta. Teori yang berhasil, adalah teori yang sesuai maupun selaras dengan kenyataan dan juga
dapat menjelaskan seperti kejadian sebab-sebab perang. Teori yang semacam inilah yang boleh
dikatakan sebagai teori yang memberikan sebuah kebenaran (tell the truth). Dalam Michael
Nicholson, International Relations: a Concise Introduction, (London: MacMillan Press LTP,
1998), hlm. 110.
61
Brown, op.cit., hlm. 36.
62
Sejarah positivisme digambarkan sangat jelas oleh Steve Smith di dalam ilmu sosial. Ada tiga
pokok varian kronologi positivisme dalam sejarah ilmu sosial (juga cukup relevan dalam studi
hubungan internasional): Perkembangan positivisme oleh Auguste Comte dan positivisme logis
serta varian yang lebih ekstrim lagi yaitu harus sesuai dengan prinsip-prinsip fisika, yang dibagi
empat varian: logisme; verifikasionisme empiris; perbedaan teori dan observasi; teori Humean
sebab-akibat. Lihat Steve Smith, “Positivism and Beyond,” dalam International Theory:
Positivism and Beyond, diedit oleh Steve Smith, Ken Booth dan Marysia Zalewski, (Britain:
Cambridge University Press, 1996).
94

turunan atau ontologis kaum behavioralis belum cukup kuat untuk mencitrakan
pendekatan sistem. Sebaliknya Kanneth Waltz adalah ilmuwan HI yang sangat
kuat menekankan pada epistemologi rasionalisme dan ontologi sistem. Menurut
Waltz, politik internasional seharusnya dilihat dari pendekatan sistemik sehingga
sifatnya tidak reduksionis, yakni menggunakan kasus-kasus tertentu untuk
membangun teori umum (grand theory). Waltz mengomentari wacana sistem
yang dihasilkan oleh kaum behavioralisme seperti David Easton. Menurut Waltz,
wacana sistem para behavioralis hanya sampai pada tahapan pembentukan sistem
berupa perilaku atau tindakan politik para aktor internasional saja. Sedangkan
wacana sistem yang berupa struktur sendiri belum dapat dijelaskan oleh kaum
behavioralis. Menurut Waltz, wacana sistem kaum behavioralis ini belum
dikatakan sebagai teori. Waltz meneruskan kerja teoritis dalam karyanya, Theory
of International Politics (1979). Waltz merupakan orang pertama yang
merumuskan teoritisasi sistemik dengan nama: neo-realism/structuralism realism.
Wacana ini bergulir pada tahun 1970an bersamaan dengan kemunculan wacana
lain yang sejenis dengannya seperti neo-liberalism dan neo-marxism. Mereka
semua merupakan kaum strukturalis yang saintistifik. Dalam memahami kaum
strukturalis ini, penulis hanya menunjukkan karyanya Kenneth Waltz saja.
Pertimbangan penulis: pertama, munculnya kaum neo-liberal dan neo-marxis
ternyata tidak jauh berbeda tatanan wacananya dengan Kenneth Waltz yang
disebut dengan neo-realisme. Ketiganya menggunakan pendekatan sistem dan
epistemologi rasionalisme. Kedua, pada tahun 1990an, Ole Waever, Naumann dan
Robert Keohane membagi dua kutub ekstrim yang saling berseturu: antara kubu
kaum rasionalis yang terdiri dari kamu neo-realis, noe-liberalis dan neo-marxis
dengan kubu kaum refleksionis yang terdiri dari kaum post-modernist, post-
structuralist dan kaum feminist. Berpijak dari posisi ini, penulis dapat melihat
dengan jelas bahwa kaum yang disebut juga kaum “neo-neo” merupakan kubu
rasionalisme. Ketiga, karya Waltz merupakan karya awal HI yang berusaha secara
serius merumuskan teori positivistik di HI. Waltz pun mengklaim dirinya telah
melakukan revolusi saintifik seperti apa yang dilakukan oleh Copernicus dalam
merubah secara revolutif pemikiran awal abad pencerahan tentang tatanan tata
95

surya. Jadi tidak ada satupun ilmuwan HI yang cukup mapan dan pantas selain
Waltz yang memasukkan pendekatan strukturalisme dan epistemologi
rasionalisme. Karya Waltz tersebut juga mempunyai kedekatan dengan
pemikirannya Karl R. Popper. Atas dasar ini, di bawah ini, penulis akan
menjelaskan pemikiran Kenneth Waltz dalam karyanya, Theory of International
Politics (1979).
Dapat dikatakan bahwa Kenneth Waltz merupakan pelopor neo-
positivisme dalam pendekatan (metodologi) hubungan internasional yang
merubah formasi diskursif wacana behavioralisme dan sekaligus tatanan formasi
diskursif realisme yang menurutnya bukanlah sebuah teori HI secara radikal, tidak
berfungsi sebagai disiplin yang ilmiah dan tidak dapat memprediksi fenomena
politik internasional. Waltz mempunyai wacana tersendiri yang ternyata
menenggelamkan wacana status quo saat itu. Tatanan pengetahuan saat itu sedang
dituntut untuk mengendalikan fenomena politik internasional yang susah
dipahami dan dikendalikan. Melalui gagasan wacananya Waltz, maka pendekatan
HI yang selama ini tidak jelas dapat mempunyai formasi diskursif yang jelas
batasan, ukuran, dan struktur keilmiahannya. Misalnya, konsep power dan konsep
balace of power realismenya Morgenthau yang masih susah dipahami oleh para
akademisi lainnya. Karena lemahnya epistemologi dan metodologi, maka Kenneth
Waltz berusaha mengadopsi neo-positivisme ke dalam HI dengan menjelaskan
bahwa konsep power dan balance of power sangat berkaitan dengan struktur
internasional. Dengan kata lain, konsep power dan dan balance of power di sini
dipahami melalui koridor siapa yang mengendalikan dan menempati posisi
struktur internasional paling tinggi dalam susunan hierarchy of power dengan
mekanisme distribusi kapabilitas.
Revolusi tatanan wacana tahun 1970an ini terdiri dari disposisi dataran
metodologi dan ontologi sistemik, yaitu pengetatan aspek epistemologi dan
ontologi realisme ke dalam cara-cara positivistik. Epistemologi dapat dilihat
dalam wacana Waltz tentang pemaparannya tentang definisi teori. Sedangkan
aspek ontologi, Waltz berusaha melakukan penyederhanaan realitas politik
internasional, yaitu memfokuskan pada sistem internasional yang melihat bahwa
96

struktur internasional menentukan (determinan) unit negara, bukan sebaliknya.


Kekuasaan (power) bergerak bukan berasal dan ditentukan dari unit negara–
sebagaimana formasi diskursif wacana kaum realis dan behavioralis, tetapi
tergantung pada konteks struktur internasionalnya dalam kerangka distribusi
kapabilitas. Pokok wacana pemikiran Kenneth Waltz dalam penjabarannya, dibagi
menjadi dua bagian di bawah ini: menjelaskan pengertian teori menurut Waltz dan
mendeskripsikan pendekatan Waltz lebih mendalam tentang teori sistem.
Pembagian di atas dijabarkan sebagai berikut: pertama, pemikiran Waltz
tentang teori. Namun sebelumnya, kita perlu ketahui profilnya. Kenneth Waltz
dilahirkan tahun 1924, ketika kuliah di Universitas Columbia tahun 1950, dia
memperoleh gelar master of art. Pada tahun 1954, Waltz mendapat gelar doctoral,
di mana desertasinya yang diterbitkan pada tahun itu mendapat pujian yang besar,
karyanya, Man, the State and War merupakan sebuah penelitian hebat dalam
sejarah pemikiran mengenai sebab-sebab perang antar negara-bangsa melalui uji
verifikasi secara sistematis jawaban-jawaban yang diberikan para filsuf,
negarawan, sejarawan dan para ilmuwan politik terhadap persoalan mendasar: apa
penyebab perang? Menurut Waltz terdapat dua kubu dalam menjawab pertanyaan
tersebut: kaum pesimis dan kaum optimis. Akar pemikiran kedua kubu itu dilacak
melalui tiga hal: konsepsi sifat dasar manusia, sistem ekonomi politik domestik
negara dan politik internasional yang anarkhis tanpa adanya kuasa negara yang
sifatnya otoritatif. Menurut Waltz yang mengevaluasi hubungan antara hal yang
empiris dengan intuisi (imaji) menegaskan argumennya bahwa ketiganya tidak
perlu diberatkan atau mempunyai kecenderungan pada salah satu hal tersebut. Hal
ketiga mejelaskan kontelasi politik internasional, tetapi tanpa adanya dua yang
lainnya, maka pengetahuan terhadap kekuatan-kekuatan untuk menentukan
kebijakan tidak terpenuhi, demikian pula sebaliknya. Ketiga hal tersebut harus
mempunyai porsi yang sama dalam mendekati fenomena politik internasional.
Waltz menulis beberapa artikel penting mengenai manfaat bipolar versus
multipolar antara negara adidaya. Pada tahun 1967, Waltz menerbitkan sebuah
buku yang membandingkan kebijakan luar negari AS dan kebijakan luar negeri
Inggris dengan melihat perbedaan sistem politik domestiknya. Pada tahun 1979,
97

malam pemilihan Ronald Reagan dan saat détente antara negara adidaya memberi
jalan pada ketegangan fase baru antara AS dan Uni Soviet, Waltz menerbitkan
buku yang disebut-sebut sebagai sumbangan SHI yang sangat ilmiah: Theory of
International Politics (1979). Karyanya ini berisi kurang lebih: Pembelaan Waltz
atas dominasi berkelanjutan negara adidaya sebagai penjaga terbaik bagi tatanan
dan stabilitas politik dunia, dan berisi tentang argumen Waltz bahwa dia telah
mencapai ‘revolusi Copernicus’ dalam bidang politik internasional dengan
mengurai masalah level analisis yang telah dikemukakan pada tahun 1950an.
Konsekwensi karyanya mengkonsepsikan balance of power adalah sebuah teori
yang patut dipertahankan.63 Pembelaan semacam ini dan rasionalisasi yang dibuat
oleh Waltz merupakan penampilan wacana sebagai pengetahuan sangat erat
dengan kekuasaan. Karya Waltz adalah legitimasi untuk mengkonstruksi dan
menaklukkan terhadap spatial kancah politik internasional. Waltz sebagai
pengarang memberikan penjelasan atas disiplin ilmu HI bersama negara tempat
dia tinggal sebagai institusi legitimasi juga terhadap dirinya. Antara pengarang,
disiplin ilmu HI dan institusi saling memberikan legitimasi agar proses konstruksi
dan penaklukan atas manusia di muka bumi ini dapat dinormalisasikan,
dinetralkan dan disifatkan alamiah. Padahal sesungguhnya hal tersebut adalah
kolonialisme wacana lain dan penindasan, marginalisasi kebebasan setiap manusia
untuk bersuara melalui cara mereka sendiri-sendiri. Adanya disiplin ilmu HI,
maka pengarang dalam tradisi keilmuan HI akan mengklaim terlebih dahulu
karyanya, lalu secara tidak langsung melakukan penaklukan dan kontrol atas
realitas yang ada. Jadi formasi diskursif Waltz ini membawa arus pada wacana
pengetahuan untuk mengkonstruksi wacana kita dengan terpatri anggapan bahwa
penaklukan AS dan Soviet terhadap negara-negara kecil seperti Vietnam, Korea,
dll dalam kancah politik internasional merupakan suatu kewajaran, normal,
alamiah dan lazim.
Di sini penulis memaparkan pemahaman Waltz tentang teori. Pemahaman
ini merupakan mekanisme pengetahuan dan power beroperasi. Dalam prosedur
ilmu pengetahuan (sains) yang diadopsi oleh ilmu sosial, kita sebatas bisa

63
Griffiths, op.cit., hlm. 64-69.
98

membuktikan kebenaran metodis, yakni kebenaran yang diciptakan oleh beberapa


prosedur ilmiah. Kebenaran metodis ini pun secara ontologis tidak seutuhnya
menjabarkan fenomena yang real. Namun, selama mencapai fungsi deskripsi,
eksplanasi dan prediksi, penyelidikan tersebut sudah dapat dikatakan ilmiah.
Semua hal tersebut hanya bisa dicapai dengan teori. Kurang lebih, pernyataan
tersebut merupakan konsepsi para saintis sosial seperti Waltz. Dalam konteks ini,
Waltz menyatakan penjelasan tentang perbedaan antara teori dan hukum. Sarjana
politik internasional sebaiknya berhati-hati memilih kata kunci “theory” (teori)
dan “law” (hukum) dalam melakukan penelitiannya. Hukum membangun
hubungan antara dua variabel berupa konsep yang mempunyai istilah (value)
sendiri; jika a maka b, di mana a terdiri dari satu atau lebih dari variabel
independen (independent variables), dan b terdiri dari variabel dependen
(dependent variable). Jika hubungan antara a dan b tetap (invariant), maka hukum
bersifat mutlak. Jika hubungannya mempunyai taraf konstanta tinggi (highly
constant), meskipun tidak tetap, maka pernyataan hukum berbunyi: jika a maka b,
mempunyai tingkat probabilitas x. sebuah hukum tidak hanya ditemukan ketika
terjadi hubungan dua variabel seperti di atas, tetapi hal tersebut juga ditemukan
pada pernyataan yang berulang-ulang. Pengulangan memunculkan dugaan, jika
saya menemukan a di masa depan, maka saya juga akan menemukan b. Misalnya
pernyataan hukum gravitasi bumi; jika batu dijatuhkan, maka akan jatuh ke
bawah; jika kita mendorong meja, maka meja itu akan bergeser ke depan. Jadi ada
dua variabel yang selalu selaras dan tetap dimanapun juga. Hukum adalah sebuah
pernyataan yang berdasarkan ketentuan-ketentuan mekanik alam (state of nature).
Dalam konteks politik internasional kita bisa melihat jika suatu negara melakukan
lawatan ke negara lain, maka lawatan itu dikarenakan oleh faktor kepentingan
nasional negara tersebut. Dengan kata lain, jika terjadi aksi politik luar negeri
suatu negara, maka aksi itu pasti karena kepentingan nasional. Kita dapat melihat
variabel tetap berupa kepentingan nasional dan politik luar negeri. Jika terdapat
variabel politik luar negeri, maka akan selalu ada variabel kepentingan nasional,
dan ini berlaku universal melampaui ruang-waktu.64

64
Kenneth Waltz, Theory of International Politics, (New York: Newbery Award Record Inc.,
1979), hlm. 1-17.
99

Sedangkan teori, Waltz mejelaskan bahwa teori adalah sekumpulan hukum


yang bersinggungan dengan fenomena atau tingkah laku partikular. Jadi teori
secara kuntitatif lebih kompleks daripada hukum. Menurut Waltz, definisi pertama
tentang sebuah teori didukung oleh inspirasi ilmuwan sosial yang membangun
teori dengan verifikasi melalui hipotesa. Waltz menjelaskan konsepsi teori Karl
Deutsch yang menggunakan cerita seperti Homer sebagai tes empiris. Namun,
menurut Waltz kegiatan tersebut tidak menemukan penjelasan (explanation),
tetapi hal itu hanya menemukan hukum saja. Walaupun Aristoteles bisa
menerangkan aksi-reaksi, yaitu hubungan antara gaya dorong dan gerak, tetapi
menurut Waltz, kondisi itu belum dapat menjelaskan pertanyaan: mengapa? Lebih
jelasnya, Waltz mempunyai formasi yang berbeda dengan para kaum behavioralis
yang mendiskripsikan dan penggunaan data sebagai apa adanya (what it is):
Numbers may describe what goes on in the world. But no matter how securely we
nail a description down with numbers, we still have not explained what we have
desribed. Statistics do not show how anything works or fits together. Statistics
are simple desciptions in numerical form. The form is economical because
statistics descibe a universe through manipulation of samples drawn from it.
Statistics are useful because of variety of ingenious operations that can be
performed, some of which can be used to check on the significance of others. The
result, however, remains a description of some part of world and not an
explaination of it. Statistics operations cannot bridge the gap that lies between
description and explanation.65

Waltz juga menempatkan posisinya berseberangan dengan formasi diskursifnya


Deutsch yang mengadopsi antropolog strukturalisme, Levi Strauss dengan
mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan ilmuwan saat ini: “inductivist
illusion” (ilusi induktif). Menurut Waltz, Ilusi induktif adalah kepercayaan
tentang kebenaran telah mencapai titik terakhir dan eksplanasi bisa dicapai dengan
akumulasi banyak data, dan mengujinya terus-menerus dalam kasus. Waltz
mengatakan bahwa kalau kita menggabungkan data terus-menerus dan
membangun dengan mengumpulkannya, akhirnya kita toh tetap tidak dapat
memperoleh apa yang kita ingin ketahui. Jadi data tidak bicara dengan sendirinya.
Observasi dan eksperimentasi tidak mengarahkan kita kepada pengetahuan sebab
(knowledge causes). Kalau kita menggunakan cara-cara induksi, maka kita akan

65
Ibid, hlm. 3.
100

menemukan masalah. Walaupun berbeda dengan pendekatan neo-positivisme,


penjelasan teori Waltz mempunyai kemiripan dengan seorang neo-positivistis,
Karl R. Popper dari pada para behavioralis seperti Kaplan dan Deutsch. Dalam
konteks ini Brown mengilustrasikannya sebagai berikut:
Waltz theory is defined quite precisely in his first chapter and in terms drawn
from the thinking on scientific method of Karl Popper as Refracted through the
lens of modern economic theory. Waltz concern in ‘positive’ rather than
‘normative’ theory and positive theory means the production of interrelated,
linked, law-like proposition from which testable hypotheses can be drawn—
although he does acknowledge the ‘testing’ is likely to be a more impressionistic
process in international relations.66

Waltz, sependapat dengan ilmuwan terdahulu bahwa realitas hanyalah


‘penampakan’ dari fakta saja. Sedangkan realitas yang sebenarnya adalah
kebenaran ‘di luar sana.’ Kita hanya mengerti dan memahaminya melalui sensasi.
Dengan kata lain, “reality is out there”, kenyataan ‘ada’ dan eksis secara inheren
melalui gejala, sedangkan benda atau kejadian yang nyata tetap ‘di luar sana.’
Realitas timbul melalui seleksi kita dan sekumpulan materi yang tersedia dalam
kuantitas yang tak terhingga. Waltz mempertanyakan kepada ilmuwan
penggunaan cara-cara induksi tentang pengambilan menyeleksi dan menyusun
materi tersebut. Penelitian empiris, tanpa teori memang problematik. Pengalaman
indrawi seringkali menjebak kita, sehingga Waltz menekankan pada signifikansi
teori sebagai suatu abstraksi yang terdiri dari dalih-dalih argumentasinya. Hal itu
dikarenakan penelitian empiris itu begitu luas, tanpa arahan atau petunjuk, kita
akan dibuat bingung atas informasi mana yang akan dikumpulkan, juga
bagaimana meletakkannya bersama, sehingga dapat kompherensif. Menurut
Waltz, Jika kita bisa melihat dunia sesuai dengan kepentingan kita, maka kita
tidak memerlukan teori. Jadi satu-satunya cara untuk mengatasi materi yang tak
terhingga, (data empiris yang luas) kita memerlukan petunjuk teori (guidance of
theory).
Waltz memberikan definisi teori melalui elaborasi sendiri. Mengutip Nagel
dan Isaak, Waltz menjelaskan teori adalah pernyataan yang menjelaskan hukum-
hukum kolektif. Hukum adalah tetap (invariant) atau hanya sekumpulan data.

66
Brown, op. cit., hlm. 46.
101

Teori menunjukkan mengapa hukum atau fakta empiris itu bisa berlaku. Setiap
deskripsi dalam hukum sangat terkait dengan observasi dan eksperimentasi.
Hukum hanya bisa valid, jika lulus melalui uji coba, observasi atau tes
eksperimetal. Teori terdiri dari gagasan-gagasan teoritis. Teori tidak terbentuk
hanya dengan induksi. Gagasan teoritisasi hanya bisa dimunculkan (invented),
tidak ditemukan (discovered). Aristoteles menggunakan kerja rasio untuk
menggerakkan eksperimentasi, Galileo menjaga jarak dengan dunia luar (real
world) untuk menjelaskan dunia tersebut. Jadi gagasan teoritisasi terlepas dari
kegiatan observasi dan eksperimentasi. Dengan kata lain, kita harus memutuskan
hubungan antara saya sebagai subjek peneliti dengan objek yang saya teliti. Ada
dinding yang harus kita buat, agar kita sendiri bisa membuat teori tanpa tercemar
dengan data empiris atau hukum yang akan kita teliti. Dengan kata lain, terdapat
pemisahan antara subjek peneliti dengan objek yang diteliti.
Gagasan teoritis bisa berupa konsep maupun asumsi. Tapi gagasan teoritis
atau bisa dikatakan dugaan teoritis belum mampu menjelaskan maupun
memprediksi apapun secara benar dan total. Isi hukum berupa benar dan salah–
are they true? Sedangkan teori menjelaskan seberapa dalam eksplanasi kita buat–
how great is their explanatory power? Hukum adalah observasi fakta-fakta;
sedangkan teori adalah spekulasi untuk menjelaskan hukum tersebut. Hasil
eksperimentasi permanen; teori hanya menyokongnya, dan bisa juga berubah; jadi
hukum itu tetap (remain), sedangkan teori berubah (come and go).67 Akhirnya,
kita bisa melihat pemahaman Waltz, bahwa teori sebenarnya menerangkan
hukum. Pendekatan Waltz ini sesuai dengan metodologi ilmu alam dan ilmu sosial
seperti ilmu ekonomi. Keunggulan eksplanasi tidak terlahir melalui gagasan yang
pasif atau seperti dukun menunggu wangsit. Eksplanasi diproduksi oleh kemauan
mengontrol data dari pada memprediksi. Prediksi diperoleh melalui peristiwa
yang reguler di dalam hukum. Teori terlebih dahulu akan menjelaskan dunia (a
priori), dan selalu menjaga jarak dengan dunia (remains distinct from that world).
Dalam hal ini, Waltz mengutip Albert Einstein yang berusaha menjelaskan
tentang jarak kita dengan apa yang kita jelaskan: “a theory can be tested by

67
Waltz, op. cit., hlm. 6.
102

experience”, but there is no way from experience to setting up of a theory.”68


Oleh sebab itu, kita harus mengklaim terlebih dahulu tentang teori, lalu baru
menjelaskan fenomena. Teori dibentuk melalui konstruksi pernyataan-pernyataan
teori, sedangkan hukum itu ditemukan atau diciptakan melalui pengamatan dan
eksperimetasi.
Dalam membahas tentang teori, Waltz melontarkan pengandaian: Jika
teori bukanlah bangunan kebenaran dan bukan juga reproduksi realitas, maka apa
itu teori? Teori adalah gambaran, secara mental terbentuk, mempunyai batasan
dunia dan mempunyai kewenangan yang aktif. Teori adalah gambaran untuk
menghubungan dua variabel untuk menjelaskan sebagian dari kondisi nyata.
Materi yang luas tentang dunia bisa diatur dengan cara-cara tertentu. Teori
mengindikasikan ada faktor yang lebih penting daripada faktor lain, dan hubungan
antara faktor-faktor terpenting itu sangat spesifik. Dalam realitas, semuanya saling
berhubungan dan kondisi yang menonjol tidak bisa dipisahkan dengan yang lain.
Secara rasional, teori terlepas dari dunia dalam menghadapi objek analisis. Waltz
mengutip James B. Conant: “theory is only overthrow by a better theory.”69
Menurut Waltz, teori dibuat dengan “kreativitas.” Istilah kreatifitas
sebenarnya relevan dengan gagasan teoritisasi para ilmuwan seperti Nagel dan
Popper. Teori merupakan hasil imajinasi lepas, intuisi dan kerja yang tidak
terduga. Ilmuwan yang berhasil dan hebat adalah ilmuwan yang kreatif dan penuh
intuisi sehingga menghasilkan teori yang luar biasa. Menurut Waltz, sebuah teori
agar bisa dikonstruksi harus melalui simplifikasi dengan persyaratan: 1). Isolasi,
yakni mengambil sudut pandang beberapa faktor saja yang terjadi aksi-reaksi
ataupun saling berhubungan, 2). Abstraksi, yakni membuang unsur-unsur yang
memang tidak berhubungan dan berkaitan, 3). Aggregasi, yakni mengumpulkan
elemen yang diperlukan sesuai dengan tujuan-tujuan teoritis, 4). Idealisasi, yakni
mengambil keteraturan terlebih dahulu sebagai proses membatasi diri dari dunia
luar. Jadi simplifikasi ini sebenarnya mengambil kecenderungan dari berbagai

68
Ibid., hlm.7.
69
Ibid., hlm.9.
103

macam hukum yang masih berupa fakta-fakta tak terhingga, lalu memilahkannya
dan mengambil faktor mana yang paling berpengaruh dan esensial.
Pembentukan teori tidak melalui metode induksi dan metode deduksi,
tetapi keduanya hanya membantu ketiga gagasan kreatif itu muncul. Jadi, kedua
metode tersebut dibutuhkan dalam mengkonstruksikan teori. Waltz menjelaskan
sebuah teori akan kelihatan lemah, ketika terjadi kontradiksi di dalamnya,
membahas banyak hal penting dengan argumentasi yang melebar, dan
menjabarkan konsep. Seperti blok Barat dioperasionalkan menjadi Amerika
Serikat lalu diturunkan lagi melalui kepentingan nasionalnya dan seterusnya.
Menurut Waltz, hal itu akan membawa kita kepada pernyataan hukum. Fakta
hanya mengikuti teori yang akan dimunculkan dari intuisi. Lebih spesifik Waltz
menjabarkan prosedur pengujian teori: 1). Ungkapkan pernyataan yang diuji
(intuisi), 2). Ajukan hipotesa, 3). Lakukan eksperimentasi atau tes observasi, 4).
Dalam melakukan kegiatan langkah nomor 2 dan 3, gunakan definisi yang
ditemukan dalam teori yang diuji (intuisi), 5). Kurangi atau kontrol variabel yang
membingungkan, tapi tidak termasuk teori yang sedang diuji, 6). Lakukanlah
pemilahan dan uji tes lagi sesuai dengan persyaratan di atas, (7) Jika gagal,
pertanyakan lagi, apakah teori itu gagal total, perlu perbaikan dan pengulangan
atau membutuhkan jangkauan yang lebih sempit dari klaim-klaim eksplanasi.
Pada akhirnya, Waltz mengungkapkan poin yang menurutnya sangat
penting. Menurut Waltz, pernyataan umum (fakta/hukum) perlu ditambahkan
dalam proses teoritisasi, jika terlalu banyak, maka sebaiknya hal itu dihilangkan
saja. Jika teori dinyatakan dalam pernyataan umum, maka ditakutkan akan
menciptakan banyak dugaan dengan jangkauan yang sulit diidentifikasi dan
melebar. Untuk menarik kesimpulan yang tepat dan bisa diuji secara
eksperimental, maka perlu menekankan pada bobot teori. Perlu diingat bahwa
pengujian yang ketat dari teori adalah latihan menggunakan metode dibandingkan
menguji teori. Selain, mengedepankan persyaratan uji teori, kita perlu
meruntuhkan teori yang miskin: falsification. Dengan kata lain, kita sekedar
menguji teori untuk diruntuhkan bukan malah dikuatkan atau menjadi potensial
104

teruji. Walaupun Waltz tidak secara langsung mengutip atau secara tegas
mengadopsi konsep falsifikasi, tetapi secara implisit Waltz menggunakannya.
Penjelasan Waltz di atas tentang segala macam teori adalah mekanisme
ilmu pengetahuan. Misalnya pecah PD III, maka Waltz akan mengatakan bahwa
sistem multipolar memang ternyata lebih rentan daripada yang bipolar. Jawaban
dari misalnya dukun yang akan menyebutnya bahwa iblis atau kekuatan jahat
menyelimuti konstelasi politik internasional tidak akan diakui dan diyakini atau
dipercayai. Penulis melihat hal tersebut adalah sebuah konstruksi dan kuasa ilmu
pengetahuan Waltz dalam menentukan mana yang salah dan yang benar, yang
dipercaya dan tidak dipercaya dan yang pasti dan yang tidak pasti. Penaklukan
wacana Waltz pada semua sarjana disiplin HI dan kontrol dia terhadap politik
internasional menciptakan episteme jaman Perang Dingin berimplikasi pada kuasa
AS yang tetap stabil sebagai superpower dan Uni Soviet sebagai major power
sama halnya Cina saat itu. Pada akhirnya pada tahun 1989, Uni Soviet runtuh,
sehingga AS menjadi satu-satunya kekuatan yang semakin kuat saja. Jadi yang
penulis berusaha jelaskan, wacana pengetahuan Waltz adalah artikulasi dan
akumulasi dari kebenaran kuasa AS terhadap konstelasi politik internasional.
Dalam tradisi pemikiran Foucault, kekuasaan tidak hanya mempunyai
mempunyai potensi untuk menaklukan, memarginalisasi, menindas dan
menghapus bayangan atau abstraksi tentang sesuatu, tetapi juga menghasilkan
sesuatu seperti menghasilkan kebenaran yang dibuat oleh Waltz. Padahal
kebenaran yang Waltz paparkan adalah kebenaran metodis yang sama sekali tidak
berkaitan dengan realitas konstelasi politik internasional. Dengan kata lain, Waltz
mempunyai bayangannya sendiri atas realitas politik internasional. Di jaman
Perang Dingin ini, negara Dunia Ketiga seperti Indonesia adalah bayangan proyek
lama, imajinasi, konstruksi dan penaklukan wacana yang dihasilkan oleh sarjana,
pengarang dan pengembara Eropa atau negara-negara Barat. Karya Waltz adalah
representasi dari pengarang Barat melalui mekanisme kuasa ilmu pengetahuan
untuk mengukuhkan atau mengakumulasi kebenaran yang sudah tercipta oleh
penakluk sebelumnya. Dalam konteks ilmu pengethaun kolonial seperti karya
Waltz dan pendahulunya, penulis perlu memaparkan argumen Philpott yang
105

mengatakan bahwa transisi utama lingkungan politik internasional pasca PD II


adalah dekolonialisasi. Dekolonisasi yang hanya selalu diangkat dalam wacana
nasionalisme anti-kolonial memunculkan sejumlah pandangan baru tentang
kemerdekaan, keadilan, kebebasan dan persamaan dalam forum PBB dan wacana
HI secara umum. Pandangan-pandangan seperti ini seringkali tidak sejalan atau
bahkan bertentangan dengan kepentingan dan retorika AS serta kuasa kekuatan
‘Eropa’ lainnya. Walaupun AS memiliki kemampuan untuk memaksakan
kebijakan politik globalnya melalui tindakan militer, tetapi jaman dekolonialisasi
(Perang Dingin) diartikan sebagai kemunculan pertama kalinya suara-suara selain
‘orang-orang Eropa’ yang berperan dalam pembentukan wacana politik
internasional yang dapat dipercaya. Di sini, ‘Barat’ mulai mengalami kesulitan
untuk memutuskan dosa masa lalu kolonialismenya.70 Ilmu pengetahuan dalam
disiplin HI tidak lebih dari sebuah artikulasi dan akumulasi relasi kuasa dengan
objek penelitiannya. Netralitas, objektivitas dan bebas nilai ilmu pengetahuan
menjadi suatu kemustahilan, ketika hal tersebut tercemari oleh nilai-nilai filosofis,
sosial, politik, ekonomi dan budaya ‘orang-orang Barat’ yang sejak dahulu (era
kolonialisme) telah membayangkan, mengabstraksikan, membingkai diri mereka
(us/the West) dan diri yang lainnya (the others). Penulis melihat bahwa penelitian
tentang mempermasalahkan kembali asumsi, teori, konsep, pandangan yang
berasal dari ‘orang-orang Barat’ belum dilakukan oleh ilmuwan HI Indonesia.
Wacana politik internasional dihasilkan dalam kerangka wacana pengetahuan
‘orang-orang Barat’ yang terkait dengan pengarang dan akar pemikiran filosofis
terdahulu seperti Bentham, Kant, Grotius, Marhiavelli, Hume, Hobbes, Descartes,
Plato, Arsitoteles, Socrates, Mill, dll.
Kedua, deskrisipsi Waltz tentang pendekatan strukturalisme dan
menjelaskan teori sistem. Dalam hal ini, Waltz memposisikan dirinya di dalam
pemahaman strukturalismenya, berbeda dengan formasi diskursif realisme dan
behavioralisme yang masih menggunakan pendekatan reduksionisme.71 Dalam
menjelaskan pendekatan strukturalismenya, Waltz membagi pendekatan HI

70
Philpott, op.cit., hlm. 11-12.
71
Apter, op. cit., hlm. 410.
106

menjadi dua: reduksionis dan sistemik. Pertama, pendekatan reduksionis


merupakan pendekatan yang memunculkan teori tingkat menengah dan teori
parsial. Teori ini mempunyai jangkauan yang terbatas dengan beberapa variabel
penjelas saja: (a) Berkaitan dengan the influence geographical environment:
Alfred Thayer Mahan, Halford Mackinder, Nicholas Spykman, Harold dan
Margaret Sprout; (b) Berkaitan dengan communications pattern dan community
building: Karl Deutsch; (c) Berkaitan dengan functionalism dan sector
integration: David Mitrany, Ernest Haas, Leon Lindlberg dan Joseph S. Nye; (d)
Dengan deterrence: Bernard Brodie, Herman Kahn, Glenn Snyder, Paul Diesing
dan Robert Jervis; (e) International development and conflict: Nazli Choucri dan
Robert North); (f) Allience behavior: Williem Riker dan Stephen Walt); (g)
Bargaining behavior: Thomas Schelling dan Anatol Bapaport; (h) Decision
making theory: Richard Snyder, Graham Allison dan Glenn Paige. Sedangkan
teori yang sistemik seperti: (a) power theory: Hans Morgenthau dan Henry A.
Kissinger); (b) the neorealist theory: Kenneth Waltz dan Gottfried Karl
Kindermann; (c) the systems theory: Morton Kaplan dan Richard Rosecrance; (d)
neo-marxist theory of capitalist world economy: Immanuel Wallerstein dan
Christoper Chase-dunn; (e) dependencia theory: J. Samuel, Arturo Valenzuela,
Cordoso dan lainnya).72
Dalam konteks teori sistem, Waltz mempunyai formasinya sendiri dalam
menghadapi ontologi dunianya pasca PD II. Pendekatan reduksionis nampaknya
sudah tidak relevan lagi dalam menganalisa kontelasi politik internasional PD II.
Formasi diskursif PD II berubah menjadi tatanan ordo struktur internasional,
dimana struktur tersebut merupakan bagian dari sistem internasional yang
menentukan unit-unit negara. Pendekatan sistemik berasal dari formasi
strukturalisme yang menyatakan bahwa struktur internasional menentukan unit-
unit negara dari keseluruhan unit. Formasi diskursif reduksionis yang berasal dari
wacana realisme, liberalisme, dan marxisme nampaknya menempati wilayahnya
sendiri, sehingga tidak melihat bahwa sistem internasional yang datang diantara

72
James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff, Jr., Contending Theories of International
Relations, (United State: Wesley Educational Publishers Inc., 1997), hlm. 15-16.
107

ketegangan antar negara-negara, dan hasil-hasilnya dari interaksi mereka sangat


menentukan konstelasi politik internasional. Waltz percaya bahwa sistem
internasional dapat dimengerti melalui tiga karakteristik: 1). Prinsip perencanaan
sistem, yaitu sistem yang anarkhi dan stabil hanya dengan balance of power. 2).
Karakter unit dalam sistem, yaitu negara mempunyai fungsi yang sama, 3).
Kemampuan distribusi of power (capabilities) dari unit dalam sistem, yaitu
peradaran kekuatan dalam intraksi di sistem internasional.73
Dalam sistem domestik yang ada ialah sistem yang hierakhi, dengan
power dan penguasa ditentukan melalui kewajiban juridiksi dan proses-proses
hukum: hierarchy of authority. Sebaliknya formasi diskursif strukturalisme
nampaknya melihat bahwa sistem internasional adalah anarkhi, dengan tidak
adanya kekuatan yang mengatur perilaku negara terhadap satu sama lain:
hierarchy of power. Negara bukanlah individu seperti dalam masyarakat domestic,
tetapi Negara adalah unit yang sama semuanya dalam system internasional.
Pendekatan reduksionis HI telah tenggelam pada masa Perang Dingin dengan
diganti oleh pendekatan strukturalisme. Dalam konteks ini, perlu kita mengetahui
pemaparannya Nicholson:
One of the positions the advocates most forcefully is that it is only possible to
understand the international system via systemic theory; to attempt to understand
the international system by theorist which concentrate on the attributes of units
than make up the system is to commit the ultimate sin of reductionism. We know
reductionism is wrong because we know that there are patterns of international
systems that recur over time even when units make up the system changes; these
patterns must be the product of the system itself, and cannot be the product of
mutable feature of its sub-systems.74

Pernyataan di atas bisa ditajamkan pada beberapa pernyataan Waltz. Ia


mengomentari wacana imperalisme Lenin yang bersifat reduksionis. Teori ini
menyatakan bahwa imperalisme muncul pada masa dinamika monopoli
kapitalisme, yakni the highest stage of capitalism. Seharusnya formasinya tidak
seperti itu, karena wacana imperalisme sudah berjalan sebelumnya, sedangkan
kapitalisme monopoli itu merupakan hal baru. Dengan kata lain, imperalisme
lebih tua dari pada kapitalisme. Namun dalam hal ini, Lenin hanya menceritakan

73
Burchill, op.cit., hlm. 86.
74
Nicholson, op. cit., hlm. 46.
108

imperalisme ketika kemunculan embrio kapitalisme. Jadi menurut Waltz,


imperalisme mempunyai formasi diskursif yang berbeda wilayahnya, sedangkan
kapitalisme hadir sebagai wacana yang unik (baru). Dalam pendekatan
strukturalisme tiga hal (sistem internasional yang anarkhis, unit-unit negara yang
mempunyai fungsi sama dan distribution of power) tersebut merupakan kata kunci
dari formasi diskursif neo-realisme. Sistem yang anarkhis adalah sistem yang
mempunyai abstraksi unsur kekerasan dan unsur menghancurkan. Anarkhis
adalah ketiadaan kekuasaan dalam level dunia. Negara berdaulat merupakan
pemerintah yang mempunyai kekuasaan tunggal di dunia internasional. Setiap
negara mengklaim independen dan otonom atas negara lain. Mereka berhak
mengurusi kekuasaan dalam negeri mereka. Dalam konsep anarkhis, kita harus
membedakan authority dan power.75 Dalam dunia anarkhis, struktur didefinisikan
sebagai unit yang unggul (the major unit). Struktur internasional ditentukan oleh
perubahan yang signifikan oleh kekuatan besar. Kekuatan besar dinilai dengan
mengukur kekuatan mereka dengan yang lainnya.76
Waltz menegaskan kembali bahwa karakteristik unit negara dalam sistem
yang terlihat tidak jauh berbeda atau katakanlah bahwa semua negara dalam
sistem internasional dibuat secara fungsional sama dengan batas-batas struktur.
Dunia internasional yang anarkhis menentukan negara yang hanya berfungsi (by
force) memperjuangkan keamanannya, sebelum mereka menunjukan fungsi yang
lainnya. Dengan kata lain, sistem internasional juga bisa diistilahkan sebagai ‘self-
help’ sistem: semua negara-bangsa (secara teoritis diasumsikan sebagai aktor
tunggal) berkewajiban melindungi diri mereka sendiri, karena dalam sistem yang
anarkhi, memang tidak ada yang menjaga diri mereka, selain diri mereka sendiri.
Waltz tidak menyatakan bahwa negara ‘self-aggrandising:’ sebuah organ yang
agresif dan potensial sebagai agresor, tetapi Waltz menyatakan bahwa semua
negara berhasrat hanya untuk melindungi diri mereka sendiri saja—self-
preservation. Konsekwensi dari semuanya, negara diwajibkan peduli terhadap

75
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theeory: Realism, Pluralism,
Globalism, (New York: MacMillan Publishing Company, 1987), hlm. 48.
76
Charles W. Kegley Jr., Contraversies in International Relations Theory: Realism and The
NeoLiberalism Challenge, (New York: MacMillan Press LTD, 1995), hlm. 74.
109

keamanan mereka sendiri dan berjaga-jaga terhadap negara lain yang secara
potensial mengancam. Mereka harus terus-menerus menyesuaikan diri di dalam
lingkungan internasional dengan melihat kemampuan negara lain dan kemampuan
diri sendiri.77
Walaupun dalam hubungan internasional mempunyai banyak aspek yang
bisa membedakan kepentingan nasional tiap negara, tetapi semuanya tetap pada
hakikatnya ditentukan oleh sistem internasional. Sebagaimana dijelaskan oleh
Nicholson lebih lanjut bahwa “States and power are important but the economic
actors, though ultimately subordinate, all play their role although in a much more
tightly defined system. Because all states are persuing power”.78 Jadi walaupun
ada negara yang mempunyai faktor ekonomi hebat, tetapi perilakunya tetap saja
ditentukan oleh konteks sistem dunia internasional.
Pada bagian akhir ini, penulis mengarahkan pada pemahaman atas neo-
realis sebagai wacana yang melihat kontelasi politik internasional berjalan sesuai
dengan hukum mekanika Newtonian. Semuanya berjalan teratur dan positif serta
alamiah. Wacana neo-realisme melihat bahwa struktur internasional sangat
menentukan semua unit-unit negara, karena sistem internasional bersifat anarkhis.
Politik internasional akan terjadi kekacauan dan terkondisikan tidak stabil, jika
struktur internasional berjalan sesuai dengan polar yang beragam dan menyebar.
Maka dari itu, Waltz mengajukan sistem balance of power sebagai struktur
internasional yang final, stabil dan menentukan semua unit negara dalam
lingkungan yang anakhis dengan aman, karena power akan terkumpul pada dua
kekuatan saja sebagai timbangan berat power politik internasional. Kita bisa
melihat stabilitas balance of power pada kasus seperti keruntuhan rezim Shah
Iran, invasi Vietnam ke Kamboja (1978-1991), Perang Korea (1950-1953), Invasi
Soviet ke Afganistan, Perang Teluk (1990) dan Perang Irak-Iran. Power yang
terdistribusikan di seluruh dunia cukup memunculkan letupan kecil yang tidak
begitu signifikan daripada letupan besar seperti PD II. Balance of power adalah
sistem yang sangat bagus untuk menjaga stabilitas politik internasional agar tidak

77
Nicholson, op. cit., hlm. 47.
78
Ibid., hlm. 96-97.
110

terjadi Perang Dunia atau Besar. Anarkhisme internasional pasca keruntuhan


Soviet, membuat Amerika Serikat bisa berbuat ‘sesukanya.’ Sebagai pemenang
Perang Dingin, pasca keruntuhan Soviet, Amerika Serikat melancarkan
penyerangan Afganistan dan Irak. Kita bisa melihat bahwa struktur internasional
balance of power telah bergeser menjadi struktur internasional yang unipolar.79
Amerika Serikat sekarang ini tidak mempunyai lawan, satu-satunya penguasa:
superpower, sehingga dengan mudah menyebarkan wacana demokrasi liberal,
laissez-faire, globalisme dan pasar.80 Selain AS, disposisi dunia pun tengah
mengalami perubahan seperti munculnya gerakan buruh, gerakan masyarakat sipil
global, gerakan social baru, gerakan anti-perang, gerakan anti-eksploitasi
lingkungan (alam), gerakan anti-globalisasi, gerakan ras, suku, fundamentalisme
agama, terorisme, dll. Apakah wacana Waltzian akan tetap mengkonstruksi dan
menaklukan wacana ilmuwan HI dunia pada umumnya dan ilmuwan Indonesia
pada khususnya dalam membaca konstelasi politik internasional? Pertanyaan ini
akan dijawab di bagian bab berikutnya, yakni memaparkan pandangan Andrew
Linklater dalam karyanya, the Transformation of Political Community (1998).
Karyanya ini mempunyai optimisme tentang jaman baru: Post-Westphalia.

79
Unipolar adalah struktur di dalam sistem Internasioonal dimana hanya ada satu negara yang
mendominasi sistem tersebut.
80
Aleksius Jemadu, Berbagai Kecenderungan Baru dalam Studi Hubungan Internasional Pasca
Perang Dingin dan Pemaknaanya bagi Pembangunan Negara-Bangsa Indonesia. (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1999).
111

BAB III
TRADISI PEMIKIRAN KRITIS
HUBUNGAN INTERNASIONAL MODERN

Dalam ensiklopedia wikipedia,81 critical international relations theory


secara sederhana dijelaskan sebagai tradisi pemikiran kritis atau reflektif. Wacana
critical international relations theory merupakan tradisi pemikiran teori kritis
dalam studi hubungan internasional (SHI) yang mengkritik modernitas. Wacana
ini terdiri dari berbagai macam akar pemikiran yang mengutip tradisi struktur
pemikiran Barat. Dengan kata lain, tradisi pemikiran ini bersumber dari tradisi
pemikiran Barat: Amerika dan Eropa Kontinental—yang berakar dari tradisi
pemikiran Yunani Kuno—abad pencerahan (modern). Akar dari semua tradisi
pemikiran kritis bersumber dari seorang yang diklaim secara umum oleh kaum
ilmuwan sebagai pendiri post-modernism Barat, Friedrich Nietzsche (1844-1900).
Dia sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran Yunani Kuno, seperti filsuf
Thales, Heraclitus dan Empedocles, dan beberapa filsuf berikutnya Socrates, Plato
dan Aristoteles.82 Selain Neitzsche, dua filsuf yang membuka kran tradisi
pemikiran critical international relations theory: seorang fenomenologi, Edmund
Husserl (1859-1938) dan seorang filsuf analitik-bahasa, Ludwig Wittgenstein
(1889-1951). Di bahwa ini akan dijabarkan proses perkembangan dan progres dari
tradisi ketiga filsuf ini dengan berbagai macam variasinya. Penjabarkan ini terbagi
menjadi dua tradisi pemikiran kritis: tradisi pemikiran HI Amerika Serikat dan
tradisi pemikiran HI Eropa Kontinental. Kedunya mengkritik (kritis) wacana
modernisme (abad pencerahan), karena mengalami distorsi dan stganasi. Tradisi
kritis ini memberikan wahana yang cukup berbeda di dalam tradisi SHI pasca
debat neo-neo (1980an). Di bahwa ini akan difokuskan pada penjelasan tradisi
pemikiran kritis Eropa Kontinental, karena tradisi ini masih berusaha meneruskan
proyek modernisme. Sedangkan tradisi Amerika Serikat sedikit akan dibahas,

81
Wikipedia ensiklopedi, “critical international relations theory,”
http://en.wikipedia.org/wiki/Critical_international_relations_theory, diakses pada tanggal 10 Juni
2006, pukul 16.35 wib.
82
David Robinson, Nietzsche and Postmodernism, (UK: Totem Books, 1999).

111
112

sebab disamping sifatnya sangat variatif, tradisi ini juga susah dicari
konsistensinya terhadap keberlangsungan proyek modernisme.
Dengan demikian, sistematika tulisan ini: pertama, menjelaskan tentang
arkhealogi critical theory atau critical international theory sebagai alternatif
penyelesaian proyek modernisme. Namun hal tersebut tidak cukup, sebab
representasinya masih berputar-putar dalam tradisi Barat, terutama wilayah
wacana Eropa, sehingga bagian kedua akan memaparkan tentang problem
modernisme. Sedangkan alternatif tradisi pemikiran HI pascakolonialisme akan
dipaparkan di bagian bab selanjutnya.

III.1. Tradisi Pemikiran Kritis Hubungan Internasional Amerika


Tradisi pemikiran HI Amerika Serikat. Tradisi ini mengadopsi hampir
semua tradisi pemikiran kritis secara eklektik (eclectic) dalam tradisi
perkembangannya di Amerika Serikat merupakan seperangkat tradisi pemikiran
HI yang mengkritisi status quo, yakni sebuah pandangan kritis, baik dari posisi
positivisme dan dari posisi post-positivism. Kritik dari posisi positivisme
mencakup pendekatan Marxisme, neo-Marxisme dan neo-Gramscianisme.
Beberapa dari kritik positivisme juga mempertimbangkan konstruktivisme sosial
sebagai positivisme. Sedangkan kritik post-positivism mencakup pendekatan post-
modernism, post-structuralism, pascakolonialisme dan feminism, yang
membedakan dengan pendekatan realisme dan liberalisme dalam premis
epistemologi dan ontologinya. Tradisi pemikiran HI ini cukup umum di Amerika
Serikat, dan pendekatan ini diajarkan di level undergraduate dan postgraduate di
berbagai universitas secara luas, baik di Amerika Serikat maupun di luar Amerika
Serikat. Literatur yang dipakai di Amerika Serikat sebagai pijakan tradisi
pemikiran kritis sebagai berikut: Robert D'Amico, Historicism and Knowledge,
F.R. Ankersmit, Aesthetic Politics, Pierre Bordieu, Language and Symbolic
Power, E.H. Carr, What is History? Peter Galison dan David J. Stump, The
Disunity of Science: Boundaries, Context, and Power, Hookway and Pettit, Action
and Interpretation, Larry Laudan, Science and Values, Paul Ricoeur,
Hermeneutics and the Human Sciences, Richard Rorty, Is Natural Science a
113

Natural Kind? Nathanial Berman, Modernism, Nationalism, and the Rhetoric of


Reconstruction, David Campbell and Michael J. Shapiro eds., Moral Spaces:
Rethinking Ethics and World Politics, David Campbell, National Deconstruction:
Violence, Identity and Justice in Bosnia, Dipesh Chakrabarty, Provincializing
Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference, Partha Chatterjee, The
Nation and its Fragments, Molly Cochrane, Normative Theory in International
Relations, William E. Connoy, Identity/Difference: Democratic Negotiations of
Political Paradox, James Der Derian, On Diplomacy, Martin W. Lewis and Karen
E. Wigen, The Myth of Continents: A Critique of Metageography, Michi Ebata
amd Beverly Neufeld, Confronting the Political in International Relations, Mark
Neufeld, The Restructuring of International Relations Theory, Tejaswini
Niranjana, Sitting Translation, V. Spike Petterson, “Whose Crisis? Early and
Postmodern Masculinism” dalam Stephen Gill and James Mittleman, Innovation
and Transformation in International Studies, Mark Rupert, Producing Hegemony,
Michael Shapiro, Violent Cartographies: Mapping Cultures of War, Christine
Sylvester, Feminist Theory and International Relations in a Postmodern Era, RBJ
Walker, Inside/Outside: International Relations as Political Theory. Semua
wacana ini memberikan sumbangsih dalam tradisi pemikiran HI dan sebuah studi
miopis HI yang memberikan kontribusi positif dalam melanjutkan proyek
masyarakat sipil di Amerika Serikat. Wacana ini menganalisa, memikirkan, dan
merefleksikan peristiwa internasional yang kompleks melalui seperangkat lensa
teoritis yang lebih cermat.
Pendekatan/teori HI Marxisme terdiri dari tradisi pemikiran Marxisme dan
pemikiran neo-Marxisme. Keduanya adalah pandangan positivis yang menolak
pandangan negara yang berinteraksi secara konfliktual dari pandangan kaum realis
dan secara kooperatif dari pandangan kaum liberalis; pandangan kaum Marxis
berargumen bahwa sistem internasional sebagai sistem kapitalisme yang
terintegrasi dalam perjuangan akumulasi kapital. Sedangkan kaum konstruktivis
sosial dalam tradisi pemikiran HI berusaha membawa premis epistemologi dan
ontologi post-positivism ke ranah positivism. Dalihnya, konstruktivisme sosial ini
mempunyai posisi di tengah-tengah antara positivism dan post-positivism. Kaum
114

konstruktivis memfokuskan pada kuasa ide dalam mendefinisikan sistem


internasional yang ditemukan oleh Alexander Wendt: “anarchy is what states
make of it.” Kaum konstruktivis menjelaskan bahwa struktur internasional tidak
hanya terbatas pada aksi negara-bangsa, tetapi juga pada fakta konstitutif aksi
negara-bangsa dengan mengkonstitusi identitas dan kepentingan agen (negara-
bangsa).
Di seberang posisi positivisme, tradisi pemikiran post-positivism (atau
reflectivism) di Amerika Serikat berusaha mengintegrasi sebuah kepentingan
keamanan yang variasinya lebih luas. Dalam pandangan ini, SHI bukan hanya
sekedar studi politik luar negeri dan hubungan antar bangsa, tetapi SHI
seharusnya juga meliputi kajian aktor non-negara-bangsa; tidak hanya membahas
isu-isu high politics, tetapi juga politik dunia dari peristiwa everyday world—yang
melibatkan high dan low politics. Jadi isu yang dibawa oleh SHI adalah isu seperti
gender, etnisitas, yang dipermasalahkan dan membawanya ke dalam isu-isu
keamanan internasional—menambahkan (tidak menggeser) tradisi HI tentang
diplomasi dan perang. Post-positivism bisa digambarkan sebagai incredulity
towards metanarrative—dalam HI, hal ini merupakan penolakan semua cerita
(penuturan) yang mengklaim dirinya sendiri bisa menjelaskan sistem internasional
secara menyeluruh. Dengan demikian, kaum post-positivist sudah pasti menafikan
debat neo-neo atau mengatakan bahwa semua debat neo-neo adalah bohong
belaka. Kaum post-positivist tidak mengklaim dirinya menciptakan teori atau
pendekatan universal. Perbedaan yang mencolok antara kaum post-positivist dan
kaum positivis (realis/liberalis), jika kaum positivis mengerjakan proyek: “how
power is exercised,” kaum post-positivist memfokuskan pada proyek: “how power
is experienced,” dan berbeda juga dalam fokus studinya dan unit analisisnya.
Biasanya kaum post-positivist mempromosikan pendekatan normatif di HI dengan
mempertimbangkan tentang etika (ethics). Pendekatan ini merupakan pemahaman
yang dihindari oleh tradisi pemikiran HI positivisme yang memisahkan antara
fakta dan penilaian normatif. Tradis pemikiran HI Post-positivism berargumen
bahwa wacana (discourse) adalah constitutive of reality. Dengan kata lain, adalah
hal yang mustahil jika peneliti atau ilmuwan bisa benar-benar bersikap
115

independen dan faktual, karena pengetahuan adalah kuasa itu sendiri (power-free
knowledge cannot exist). Jadi tradisi pemikiran HI post-positivism tidak
bermaksud menjadi saintifik atau ilmu sosial. Namun mereka hanya bermaksud
untuk menceritakan sebuah peristiwa tentang hubungan internasional dengan
mengungkapkan pertanyaan yang relevan dalam menentukan relasi kuasa tertentu
antara peristiwa tertentu dengan tradisi pemikiran HI status-quo.
Masih dalam tradisi pemikiran HI post-positivism, dalam sub bagiannya
terdapat tradisi pemikiran HI Feminisme yang terdiri dari seri HI feminisme:
gelombang pertama, kaum feminis yang berusaha melibatkan wanita ke dalam
level sistem internasional. Gelombang kedua, kaum feminis yang berargumen
bahwa patriarchy (laki-laki sebagai pemimpin) adalah sebuah alasan bagi
subordinasi wanita. Ketiga, kaum feminis post-structuralist yang menganalisa isu-
isu gender dan seksualitas dengan membongkar definisi laki-laki dan wanita
dalam SHI. Mereka berargumen bahwa tradisi pemikiran HI selama ini masih
didominasi oleh laki-laki seperti studi diplomasi dan pahlawan. Tradisi pemikiran
HI masih belum mempertimbangkan aturan main wanita dalam studi politik dan
perang—dengan gendering war. Misalnya, proses pengambilan keputusan politik
luar negeri pasca Perang Dunia II yang ditentukan oleh laki-laki, tetapi dalam
proses pengambilannya sebaiknya menggunakan analisis yang dipengaruhi oleh
wanita. Studi HI feminisme yang cukup berpengaruh adalah kerja Cynthia Enloe
yang karyanya secara sistematis mengevaluasi SHI sebagai jalan yang bias
gender.
Tradisi pemikiran HI Pascakolonialisme menantang tradisi pemikiran HI
eropasentrisme, khususnya asumsi parokial bahwa pemikiran abad pencerahan
Barat adalah superior, prgresif dan secara universal bisa diaplikasikan ke seluruh
dunia. Tradisi HI Pascakolonialisme berargumen bahwa tradisi pemikiran HI
Barat mengkonstruksi liyan (the other) sebagai spatial yang irasional, terbelakang,
primitif, bodoh dan barbar. Tradisi HI pascakolonialisme berusaha mengekspos
asumsi parokial HI; misalnya konstruksi kulit putih melawan orang-orang kulit
berwarna. Misalnya cerita beban orang kulit putih terhadap pendidikan dan
pembebasan laki-laki dan wanita kulit berwarna, melindungi wanita kulit
116

berwarna dengan laki-laki kulit berwarna lainnya. Sebagai variasinya, tradisi HI


feminisme pascakolonialisme menganalisa isu HI dengan lensa gender dan
budaya. Misalnya konstruksi era Perang Dingin sebagai suatu waktu yang
mengabaikan realitas Negara Dunia Ketiga. Tradisi pemikiran HI cenderung
dikonstruksi dalam konteks informasi di bawah sejarah Barat. SHI telah
digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi apapun yang dikerjakan oleh
imperalisme dalam ‘perkelahian’ antara dua superpower saat Perang Dingin.
Kemudian pada saat terjadi kritis, bangsa Barat melalui IGOs seperti IMF begitu
cepat-cepat menyelamatkan Asia setelah krisis finansial Asia pada tahun 1997-
1998. hal itu bisa dilihat ketika orang kulit putih merasa mempunyai kewajiban
untuk menyelematkan Asia atau mereformulasi kapitalisme Asia dalam imaji
Barat.

III.2. Tradisi Pemikiran Kritis Hubungan Internasional Eropa Kontinental


Setelah menjabarkan tradisi pemikiran critical international relations
theory Amerika Serikat, maka sekarang, penulis akan memaparkan tradisi
pemikiran critical international relations theory berikutnya. Kedua, tradisi
pemikiran HI Eropa kontinental. Tradisi pemikiran HI Eropa Kontinental
berbentuk kritik immanent, yakni tradisi pemikiran yang menggunakan patokan
atau jalan dari struktur pemikiran yang sudah ada, yakni akarnya berasal dari
dalam rangkaian tradisi pemikiran Eropa sendiri, khususnya tradisi Jerman.
Tradisi Eropa ini tepatnya dinamakan sebagai critical theory atau mazhab
Frankfurt. Tidak seperti di Amerika Serikat yang sifatnya eklektik, yakni
mengambil tradisi pemikiran kritis dari berbagai tradisi pemikiran—Perancis,
Jerman, Austria, Inggris, tradisi pemikiran lama, dll. Jadi tradisi pemikiran Eropa
mempunyai pengistilahan tunggal: critical theory, dan berasal dari tradisi
pemikiran Jerman. Tradisi pemikiran Jerman ini yang berusaha melanjutkan
proyek modernitas. Sedangkan tradisi pemikiran kritis di bagain wilayah Eropa
lainnya, seperti Perancis lebih dinamakan sebagai tradisi pemikiran post-
modernism/post-structuralism. Tradisi pemikiran Perancis ini berusaha
mengkritik secara total narasi modernitas.
117

Dalam dinamikanya, critical theory adalah ahli waris tradisi pemikiran


Hegel, Jerman, sedangkan tradisi post-modernism/post-structuralism adalah ahli
waris tradisi pemikiran Nietzsche, Jerman yang dikembangkan dan dikenalkan
lebih jauh lagi oleh Foucault dan Derrida. Di Eropa, keduanya dihadapkan pada
masalah yang sama: dialektika modernitas (modernisme). Dalam perkembangan
selanjutnya, critical theory berusaha merekonstruksi problem modernitas. Filsuf
Jerman, penerus tradisi pemikiran Frunkfurt I (pertama), Jürgen Habermas
berusaha mengatasinya dengan aksi komunikasi yang berarti terus melanjutkan
proyek modernitas. Sebaliknya, tradisi pemikiran Perancis justru mendekonstruksi
problem modernitas, sehingga kaum post-modernist berusaha menyingkirkan
kepercayaan mengenai sejarah dan rasionalitas. Dalam konteks ini, Nietzsche
membelokkanya ke arah studi filologi dan dunia mitologis. Bagi kaum post-
modernist seperti Nietzsche, refleksi historis itu hanya anak tangga yang
kemudian ‘ditendang jatuh’ ketika sampai ke dalam dunia mitos. Baginya mitos
adalah logos dan logos adalah mitos. Menurut dia, Kebenaran adalah kebenaran-
kebenaran. Pandangan perspektivisme semacam ini menolak objektivisme ilmiah
dan penafsiran bisa dilakukan menurut apresiasi hidup. Dia menjelaskan bahwa
rasionalitas adalah kehendak-untuk-berkuasa. Di sini, dia jatuh ke dalam daya-
daya estetis manusia arkhais atau anti-rasional, sehingga diklaim sebagai tradisi
pemikiran nihilisme. Posisi ini menempatkan tradisi pemikiran post-modernism
pada kondisi ambigu atau absurd. Penerus generasi post-modernism ini: George
Bataille dan Foucault dimasukkan ke dalam strategi pembukaan kedok kehendak-
untuk-berkuasa, sedangkan Heidegger dan Drrida dikelompokkan ke dalam kritik
metafisika.83
Kedua tradisi pemikiran di atas (Amerika Serikat dan Eropa Kontinental)
adalah respon dari abad pencerahan yang berusaha menggerakkan roda
modernisme sampai sekarang. Kemunculannya merupakan era pencerahan bagi
manusia untuk menggunakan nalarnya dalam intervensi dan membuat sejarah
kehidupannya sendiri di dunia. Manusia merupakan subjek sejarah yang

83
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: diskursus filosofis tentang metode
ilmiah dan problem modernitas, (Yoyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 157-158.
118

mengkonstruksi dunia kehidupannya dari masa lalu, masa kekinian dan masa
depan dari perkembangan dunia internasional. Prinsip Immanuel Kant: sapere
aude! Adalah dasar dari setiap manusia untuk berani untuk berpikir. Keberanian
ini diaktualisasikan dalam istilah roh spirit yang dinarasikan oleh G.W.E. Hegel.
Dengan dialektika sejarah idealisme Hegelian ini, jaman bergerak ke arah totalitas
modernitas. Tradisi ini dilanjutkan oleh gagasan Karl Marx dengan sejarah
dialektika materialisme, yakni mengerakkan jaman ke arah konstruksi yang lebih
practical (praxiology), sehingga jaman pun benar-benar dirasionalisasikan secara
nyata dalam konteks kehidupan, khususnya dalam konsep kerja praktis ekonomis.
Modernitas tidak hanya berhenti dalam pemahaman Marxisme ini, tetapi filsuf
Jerman, Jürgen Habermas merekonstruksi kembali konsep dialektika sejarah
materialisme Marx, khususnya konsep kerja praktis yang ditafsirkan lebih jelas
lagi oleh Max Weber dengan memunculkan konsep rasionalitas-instrumental.
Mengambil gagasannya Weber, Habermas berusaha menyelesaikan proyek
modernitas yang belum selesai.84
Bab tiga ini, penulis memfokuskan pada problem keberlangsungan proyek
wacana modernisme hubungan internasional yang berusaha diselesaikan oleh
Andrew Linklater dalam karyanya, The Transformation of Political Community
(1998). Dalam konteks ini, critical international relations theory yang akan
dibahas adalah tradisi pemikiran critical theory, Frankfurt school. Tradisi
pemikiran ini adalah sebagian kecil dari studi-studi kritis di atas (Amerika Serikat
dan Perancis), karena akan berlebihan jika paparkan, dan tentunya keterbatasan
penulis dalam memperoleh pengetahuan, sehingga fokus kajiannya dikerucutkan
kepada tradisi pemikiran HI yang berakar dari tradisi pemikiran critical theory,
Jerman, khususnya berkaitan dengan proyek penyempurnaan modernitas yang
dirancang oleh Habermas dan pengkajinya dalam SHI yang dikembangkan oleh
Linklater. Kajian ini memaparkan karya Linklater tentang keberlangsungan
wacana hubungan internasional dari awal berdirinya departemen ini merupakan
produk dari modernisme dan dalam dinamikanya. Dia mengatakan bahwa proyek

84
Ben Agger, Critical Social Theories: an Introduction, terj (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003),
bagian Teori kritis mazhab Frunkfurt.
119

ini ternyata mengalami banyak pergolakan atau permasalahan, sehingga perlu


solusi-solusi alternatif agar konstelasi politik internasional dapat tetap terjaga
stabilitasnya. Selain konteks tersebut, bagian ini juga akan memaparkan problem
modernisme sebagai bagian dari epoch dunia pasca Perang Dingin.
III.2.1. Wacana Critical International Theory (Critical Theory)
Tradisi pemikiran HI critical international relations theory terbagi menjadi
dua versi: Amerika Serikat yang sifatnya eklektik (eclectic) dan Eropa
Kontinental yang sifatnya immanent. Tradisi pemikiran Eropa Kontinental dipilah
lagi menjadi dua tradisi: Perancis yang mewakili kaum post-modernist/post-
strcuturalist dan Jerman mewakili kaum critical theorist/Frankfurt school, karena
beberapa keterbatasan dan konsentrasi studi, maka studi bab ini tidak memaparkan
secara luas genealogi tradisi critical international relations theory Amerika
Serikat dan Perancis. Wacana ini adalah sebagian kecil dari wacana besar critical
international relations theory yang sudah dipaparkan di atas. Kemudian, di bab-
bab terakhir, sejak awal studi ini sudah dibantu oleh tradisi pemikiran Perancis
dari Foucault. Di bagian terakhir tesis ini, melalui studi budaya, kajiannya akan
membahas dalam tradisi pemikiran pascakolonialisme. Tradisi pemikiran
pascakolonialisme ini berbeda dengan critical international relations theory
Amerika Serikat, sebab wilayah studinya berangkat dari spasial Timur.
Bagian awal dari bab ini akan lebih memfokuskan hanya pada pemaparan
tradisi pemikiran Eropa Kontinental, Jerman, Critical international theory/critical
theory atau teori internasional kritis/teori kritis. Tradisi pemikiran critical
international theory adalah sebuah proyek ambisius para ilmuwan modernis,
khususnya dalam SHI untuk mentotalkan apa yang dinamakan sebagai tradisi
wacana modernisme. Ilmuwan modernis HI yang cukup peduli terhadap totalitas
modernitas adalah Andrew Linklater, sedangkan Rober Cox dan Richard Ashley
hanya mengadopsi beberapa tradisi teks pemikiran teori kritis, sehingga posisinya
tergantung pada pengadopsian konseptualisasiannya di HI. Walaupun bagian ini
akan menyinggung wacana teks dari ilmuwan HI yang mengadopsi beberapa
wacana teori kritis, tetapi bagian ini akan lebih memfokuskan lagi pada karya
Andrew Linklater, The Transformation of Political Community (1998).
120

Pertimbangan penulis memilih karya Linklater: pertama, secara konsisten,


Linklater berusaha meneruskan tradisi teks pemikiran modern yang memfokuskan
pada wacana penerus generasi teori kritis, Jürgen Habermas. Habermas ini
merupakan penerus tradisi teks modenisme terakhir, pemikir Frankfurt II setelah
kegagalan proyek pertamanya oleh tradisi wacana teks Frankfurt I. kerja ini
adalah bagian dari komitmennyaterhadap kritik immanent. Kedua, konsistensi ini
membedakan teks pemikiran Cox yang memfokuskan pada pemikiran neo-
Marxisme, Gramscianisme dan pemikiran liberal, Karl Polanyi. Analisis Cox juga
memfokuskan pada ekonomi-politik sebagai gerakan (kekuatan) sosial baru dan
alternatif antara (neo) liberalisme dan (neo) realisme dengan mengamati institusi-
institusi kapital, negara dan gerakan-gerakan sosial seperti buruh. Linklater
memfokuskan pada analisis masyarakat sebagai manusia yang menyangkut segala
aspek kehidupan: budaya, ras, etnis, kumunitas, agama, ekonomi, politik, dll.
Linklater mempunyai studi yang lebih kompleks dan luas, dibandingkan dengan
Cox. Sedangkan Ashley hanya memfokuskan pada aspek epistemologi tentang
klasifikasi rasionalitas dan kritiknya terhadap tradisi wacana modern. Nampaknya
Ashley lebih mudah dimasukkan ke dalam tradisi teks pemikiran post-modernism,
sebab aktivitas intelektualnya memfokuskan pada penyelidikan kritis dan
pembongkaran atas tradisi teks modernisme saja. Kerja ini adalah proses
dialektika modernitas saja sebagai kontemplasi HI. Ketiga, Linklater memberikan
kontribusi yang konsistensi dalam rangka meneruskan tradisi pemikiran
modernisme yang mengacu pada praktik-praktik tradisi Hellenisme, Yunani
Kuno. Sebagaimana kita ketahui, tradisi ilmuwan dan pemikir HI juga sebagian
besar merujuk pada tradisi teks Yunani seperti Thucidydes, Aristoteles, Plato,
Socrates, Heraclitus, dll. Pemikiran Yunani Kuno ini diteruskan dalam bentuk
formasi diskursifnya yang unik di awal abad pencerahan Eropa sampai dengan
dominasi Amerika Serikat sekarang ini.85
Tokoh wacana critical international relations theory yang pertama, wacana
Robert W. Cox yang mengutip Horkheimer dengan mengistilahkan tradisi

85
Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, terj (Jakarta: Paramadina,
2000).
121

pemikiran kritis HI dengan critical international theory. Dari Horkheimer, Cox


mengkritik SHI pada aspek metodologi/epistemologi, yakni dilihat dari
pernyataan Cox “Theory is always for someone and for some purpose”. Cox
menegaskan bahwa semua teori mempunyai pandangan, konsepsi yang ditentukan
oleh konteks dan ruang tertentu pada jamannya, terutama konteks politik dan
sosial saat itu:
All theories have a perspective. Perspectives derive from a position in time and
space, specifically social and political time and space. The world is seen from a
standpoint definable in terms of nation or social class, of dominance or
subordination, of rising or declining power, of a sense of immobility or of present
crisis, of past experience, and of hopes and expectations for the future. Of course,
sophisticated theory is never just the expression of a perspective. The more
sophisticated a theory is, the more it reflects upon and transcends its own
perspective; but the initial perspective is always contained within a theory and is
relevant to its explication. There is, accordingly, no such thing as theory in itself,
divorced from a standpoint in time and space. When any theory so represents itself,
it is the more important to examine it as ideology, and to lay bare its concealed
perspective.86

Di atas, Cox mengatakan bahwa semua teori mempunyai perspektif. Bukan


teori yang menentukan fenomena, tetapi justru perspektif yang terkondisikan di
waktu dan jaman tertentu menentukan teori. Teori hanya merupakan salah satu
perwujudan dari perspektif, sehingga teori bukan merupakan bentuk dari dirinya
sendiri (das ding an sich).
Dalam penelitiannya tentang aspek epistemologi, Cox membagi dua ketegori
tentang teori: problem solving theory dan critical international theory sendiri.
Cox mengadopsi konsep traditional theory Horkheimer dengan menggantikan
dengan nama problem solving theory di SHI yang tidak lain merupakan sebutan
dari wacana HI modern. Cox melihat bahwa problem solving theory itu hanya
digunakan secara praktis dalam menguatkan dan memperbaiki sistem status quo
yang rusak atau bocor pada dataran partikular. Hal itu dimaksudkan untuk
melancarkan relasi kuasa, distribusi kuasa, dan hubungan antar institusi (agen)
dengan struktur dalam system, baik dalam wacana neo-realisme yang

86
Robert W. Cox, “Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations
Theory”, dalam Perspectives on World Politics, ed. Richard Littles dan Michael Smith, (London:
Routledge, 1991), hlm. 444-448.
122

terkondisikan anarkhi maupun wacana neoliberalisme yang terkondisikan


kooperatif. Kondisi seperti itu hanya melihat dunia dalam konteks kekinian atau
aktual (present) saja, yakni kerusakan apa yang harus diperbaiki agar tatanan
(order) bisa stabil kembali. Problem solving theory ini memberikan kemampuan
untuk membatasi masalah dan menyelesaikannya. Dalam sistem tersebut problem
solving theory menciptakan hukum-hukum dan regularitas serta memunculkan
generalisasi umum yang valid dan yang berkaitan langsung dengan
keberlangsungan institusi dan struktur.Sedangkan critical international theory
memberikan kemampuan untuk merekonstruksi akhir dari kegagalan teori modern
HI. Teks teori ini menjelaskan perubahan wacana (sistem) secara menyeluruh atau
bisa dikatakan perubahan sistem yang bersifat revolusiner-radikal. Perubahan itu
menciptakan teks rasio baru, intertektualitas baru, tindakan baru dan tatanan yang
baru juga. Jadi sistem lama dibongkar, lalu dikonstruksikan pada pola-pola
wacana yang lebih emansipatoris, egaliter, otonom, berkeadilan sosial, dan
humanis. Perubahan ini didahului dengan teks wacana rasio praxis, yakni
kesadaran emansipatoris etis yang tidak lagi membedakan atau memisahkan
antara wilayah teori dan wilayah aksi konkrit agen atau aktor dalam perubahan
tatanan hubungan internasional. Wacana tersebut dapat tercipta melalui kesadaran
diri tentang keterlemparannya di dunia (being-in-the world/being there) dalam
wilayah kewajiban-kewajiban moral Kantian. Kesadaran itu bisa didapat pada
kesadaran sejarah kritis meliputi segala aspek kehidupan dalam hidup keseharian
(everyday life). Jadi cukup berbeda dengan problem solving theory yang
memberikan solusi-solusi pasti dan konkrit dan teknis dalam hidup yang selalu
rasional dan analitis. Critical international theory hanya menginspirasikan banyak
alternatif bagi setiap aktor dunia untuk sadar-diri (refleksi diri), sehingga
mempertanyakan kembali pengandaian-pengandaian moral dan etika dirinya
menuju pada tatanan yang lebih inklusif dan universal atau kosmopolitan.
Dalam merealisasikan metodologi/epistemologi di atas, Cox mengadopsi
konsep hegemoni sebagai pijakan awal mengembangkan wacananya di dalam
SHI. Dalam karyanya, “Gramsci, Hegemony and International Relations: an Essay
123

in Method,”87 Cox menjabarkan tentang wacana Neo-Marxisme model Gramsci di


SHI yang berasumsi bahwa semua realitas adalah konstruksi dari negara hegemon.
Negara ini mengkonstruksi seluruh aspek kehidupan yang dihegemoni–
kebudayaan. Awalnya Cox mengatakan bahwa konsep awal Gramsci adalah
berpijak pada sejarah–atas dasar refleksi sejarah pada masanya. Selain itu,
Gramsci juga mendasari dengan sejarah pengalaman pribadinya tentang konteks
perjuangan sosial dan politiknya, yang sangat membantu Gramsci untuk
menjelaskan dengan jelas kondisi masa sekarang. Menurutnya, wacana Gramsci
selalu terkait dengan sejarah konteks perjuangannya. Wacana Gramsci dapat
dipakai bukan pada dataran teori, tetapi dataran kontektual, yakni perubahan atas
sejarah material. Pijakan sejarah material ini dikonstruksikan dengan konsep
hegemoni. Kritik hegemoni, pertama mengarah pada hegemony of the proletarit
dengan dictatorship of the proletariat. Kritik ini sebenarnya ingin menjelaskan
bahwa negara akan bermakna jika menekankan pada struktur politik dalam wadah
masyarakat sipil. Berdasarkan pijakan sejarah, Gramsci melihat relasi antara ikon
gereja, sistem pendidikan, media massa, dan semua institusi yang mengkreasi
diskursus dan tindakan-tindakan semua orang serta ekspektasi konsisten semua
orang atas tatanan hegemoni.
Poin penting bagi Cox: Pertama, hegemoni ini menjembatani antara negara-
pasar dengan tambahan elemen masyarakat sipil sebagai peyeimbang dan sebagai
elemen idealisme. Kedua, Gramsci mengalihkan konsep power politik
Machiavelli pada power hegemonik budaya-politik (political culture). Dengan
hegemoni, maka cara-cara politis seperti kekerasan, koersif, dapat dirubah dengan
cara-cara kultural seperti penciptaan citra yang pro, konstruksi image kesadaran
melalui media–TV, Koran, internet, dll. Semua hal tersebut dengan lembut, tanpa
sadar menginternalisasi ke dalam kesadaran individu-individu yang menempati
suatu wilayah atau negara-bangsa tertentu. Di dalam hegemoni, kaum intelektual
sangat berperan penting dalam proses pembentukan proses penyadaran individu
atau internalisasi nilai-nilai hegemon.
87
Robert W. Cox, “Gramsci, Hegemony and International Relations Method”, dalam Gramsci,
Historcal Materialism and International Relations, edit: Stephen Gill, (UK: Cambridge University
Press, 1993), hlm 49.
124

Wacana critical international theory kedua, Richard Ashley secara


sistematis dan komprehensif mengadopsi wacana pengetahuan Jürgen Habermas.
Ashley lebih mengkaji pada aspeks metodologi dan epistemologi SHI dengan
mengidentifikasi tiga pengandaian pengetahuan (ilmu) yang bermuatan
kepentingan: “knowledge-constitutive interests” atau kepentingan kognitif sebuah
teori atau bisa juga disebut dengan teori pengetahuan:88 1). The practical cognitive
interest atau kepentingan kognisi praktis, yakni pengetahuan yang bertujuan pada
bentuk pemahaman inter-subjektif, serta saling pengertian lebih lanjut.
Pengetahuan ini mengarahkan kita pada pengembangan “interpretasi yang bisa
berorientasi pada bentuk aksi-aksi tradisi bersama.” Kepentingan ini sebagai
kepentingan konstitutif yang berasal dari pengetahuan sejarah dan budaya.
Metode yang dipergunakan adalah cara-cara hermeneutika, semiotika, dan
permainan bahasa (language games). Metode ini tidak membutuhkan dan
menggunakan cara-cara verifikasi dan falsifikasi. 2). The technical cognitive
interest atau kepentingan kognisi teknis yakni pengetahuan yang berbasis pada
peningkatan kontrol objek oleh subjek dalam rangka menguasai alam (termasuk
dominasi strategis terhadap manusia lain). Sedangkan dalam aktivitas penelitian,
kontrol objek mengacu pada manipulasi data, informasi dan sumber-sumber yang
akan dirasionalisasikan oleh subjek pengetahuan peneliti, sehingga bisa
menegaskan atau mengukuhkan sekaligus meruntuhkan teori. Sebuah
pengetahuan untuk memperoleh informasi tentang penyebarluasan atas kekuasaan
kontrol teknis. Kepentingan ini dipahami sebagai kepentingan kognitif atas ilmu-
ilmu analitik-empiris, yakni aktivitas kaum saintis, wacana neo-realisme, filsafat
positivisme (seperti aliran lingkaran Vienna, Carnap dan Nagel) dan rasionalisme
kritis (seperti Popper, Lakatos dan Albert) dengan penggunaan metode induksi
(verifikasi) dan deduksi (falsifikasi). (3) The emancipatory cognitive interest atau
kepentingan kognisi emansipatoris, yakni perolehan pengetahuan dalam hal
menjaga kebebasan diri (ilmu&ulmuwan) dari kekuatan injeksi kemandegan dan
kondisi distorsi komunikatif (seperti ideologi ilmu). Kepentingan ini berakar dari

88
Richard K. Ashley, “Political Realism and Humant Interests”, International Studies Quarterly
25 (1981), hlm. 208.
125

kapasitas manusia untuk menjalankan komunikasi pemikiran yang reflektif dalam


menjernihkan kebutuhan, pengetahuan dan aturan-aturan; mengarahkan prinsip-
prinsip pengetahuan pada kemandirian dan pemahaman terhadap diri sendiri (self-
understanding) dengan membawa kesadaran, terutama yang sebelumnya difahami
sebagai proses pembentukan diri (self-formative). Kepentingan ini mengacu pada
pengetahuan yang berorientasi pada keseluruhan pengetahuan secara kritis.
Ketiga kepentingan di atas mempunyai dasar pengetahuan dalam
menentukan keilmiahan SHI sebagai sebuah disiplin ilmu. Ashley berusaha
menampilkan SHI sebagai sebuah kajian yang mempunyai pengandaian kritis
(reflektif) atas dirinya dan juga berimplikasi pada tatanan praktis analisisnya
(merubah dunia). Dalam hal ini, Ashley hanya menekankan pada SHI yang
menggunakan pengetahuan kritis (reflektif), yakni pengetahuan yang bertujuan
pada kognisi emansipatoris, pembebasan kesadaran atas sebuah fenomena
tertentu. Konsekwensinya, SHI tidak serta merta sebagai alat bagi para penguasa,
ilmuwan, praktisi, dan para aktor dunia untuk mereplikasi dunia, menguasai
dunia, atau mengendalikan, mengontrol dunia, tetapi juga sebagai alat bagi dirinya
sendiri untuk refleksi diri sekaligus refleksi diri orang lain (menggugah
kesadaran), sehingga membebaskan setiap orang pada aras emansipasi diri:
humanisme. Dalam konteks ini pengetahuan tidak sekedar alat saja, tetapi
pengetahuan merupakan bagian dari dirinya dalam mengemban visi pembebasan
diri, humanisme dan keadilan sosial.
Wacana ketiga dari varian teori internasional kritis merupakan karya
pertama Linklater, Beyond Realism and Marxism: Critical Theory and
International Relations (1990). Dalam karyanya, Linklater mengadopsi teks
rasionalisme Habermas:89 1). Technical-instrumental-rationalization: kontrol
terhadap alam. 2). Strategic-instrumental-rationalization: manipulasi dan control
manusia atas manusia lainnya di bawah kondisi aktual atau potensial konflik. 3).
Moral-practical-rationalization: konstruksi (perubahan) tatanan global dan
konsensus sosial dalam ruang publik (public sphere). Moral-practical-

89
Andrew Linklater, Beyond Realism and Marxism: Critical theory and International Relations,
(London: MacMillan Press LTD, 1990).
126

rationalization dibagi lagi menjadi dua bagian:90 pertama, moral-co-existence-


rationalization. Rasionalitas ini adalah nalar moralitas co-existence yang dipahami
dengan hubungan antara individu dan masyarakat dunia yang egaliter, yakni
memandang diri masing-masing sebagai dirinya yang bebas mengekspresikan
dirinya sendiri. Semacam dialog yang membebaskan. Dengan kata lain, dialog ini
lebih pada dialog kebudayaan atau peradaban yang berbeda. Dalam kerangka
Wilhelm Dilthey,91 konteks dialognya bukan pada dataran analitis (erklären),
tetapi dalam konteks saling memahami (sinnverstehen) satu dengan yang lainnya,
sehingga tercipta kehidupan yang berdampingan. Kedua, universal moral code-
rationalization. Rasionalitas ini adalah nalar moralitas universal. Nalar moralitas
ini merupakan proses sekaligus hasil dari konsensus-konsensus bersama yang
telah disepakati dari sekian banyak aktor internasional. Aksi-aksi di tatanan
internasional ini tidak hanya negara saja, tetapi siapapun (human race) bisa
mengeksprsikan diri dan ikut dalam wilayah konsensus itu.

90
Richard Devetak, “Critical theory”, dalam Theories of International Relations, ed. Scott
Burchill dan Andrew Linklater, (London: MacMillan Press LTD, 1996), hlm. 162-163.
91
Wilhelm Dilthey, seorang neo-Kantian meneruskan ide Windelband tentang pembagian ilmu
antara nomothitic sciences—menghasilkan hukum (nomos) dan ideographic sciences—melukiskan
(graphein), keunikan (ideos). Dia mengistilahkannya dengan geisteswissenschaften dan
naturwissenschaften. Perbedaan keduanya dapat signifikan dalam konteks relevansi nilai
(wertbeziehung), yakni perdebatan nilai (wertulteilsstreit). Dia membuka Habermas jalan untuk
refleksi historis dengan menunjukkan berakarnya ilmu pengetahuan pada konteks kehidupan
konkrit manusia. Dia memberikan refleksi historis bagi Habermas di bidang interaksi atau tindakan
komunikatif manusia—intersubjektif. Pemikirannya yang terkenal: philosophie des lebens, yakni
filsafat yang merefleksikan kehidupan sebagai keseluruhan produk manusia seperti seni, pranata-
pranata, agama, dan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya, karenanya, ilmu pengetahuan alam
juga memiliki kedudukan dalam konteks kehidupan dan tidak terpisah dari kehidupan itu.
Perbedaan epistemologi sangat kental dalam ilmu budaya dan ilmu alam, yakni bagaimana subjek
melihat objek dan sikapnya terhadap objek. Jika ilmu alam mengkonstruksi pengalaman:
menyusun teori untuk antisipasi peristiwa alamiah; ilmu budaya mentransposisi pengalaman:
memindahkan objektivasi-objektivasi mental kembali ke dalam pengalaman reproduktif atau
membangkitkan kembali pengalaman-pengalaman secara bersamaan. Dia menekankan pada
pemaknaan terhadap karya pengarang sebagai struktur-struktur simbolis (proses karya itu dibuat),
bukan struktur-struktur psikis (keadaan psikis tokoh sejarah). Metodenya adalah empati. Oleh
sebab itu penelitian model ini mengandaikan analisis kekinian menggunakan cara empati terhadap
penghayatan orang-orang masa lalu. Unit analisisnya melihat subjek peneliti dan objek yang
diteliti sebagai makluk atau entitas historis. Ketika dia terjebak pada objektivitas, maka dia
mengkaitkan ilmu budaya dengan hermenutika dalam studi otobiografi. Singkatnya dia berusaha
menunjukkan ilmu histris-hermenutika dengan praxis hidup manusia sehari-hari dengan
menghasilkan pengetahuan yang secara praktis bersifat efektif. Lihat F. Budi Hardiman, Kritik
Ideologi: pertautan pengetahuan dan kepentingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
127

Berpijak pada klasifikasi rasionalitas ini, Linklater pun berusaha merubah


tatanan tatanan dunia yang statis, penuh keterasingan, marginalisasi dan penuh
ketimpangan menjadi tatanan dunia yang lebih humanis, komunikatif dan
transformatif. SHI berusaha didobrak kebekuannya dari ortodoksi pengetahuan
SHI. Oleh karena itu, Linklater secara langsung pun mengkritik realitas politik
internasional yang menyebutkan dunia internasional itu terkondisikan anarkhis
dan selalu menghadirkan dirinya dalam wajah seram seperti perang, dan
kepercayaan terhadap state-centric, yakni negara sebagai unitary actor merupakan
suatu unit yang selfish dalam aktivitas perang, atau dalam konstruksi ortodoksi
(neo) liberal menampilkan ‘wajah manis’ seperti hubungan interdependensi
kompleks, kerjasama hubungan internasional yang otonom, adanya pengusaha
atau industrialis yang berperan sebagai ‘santa claus’ dunia dengan membagi-
bagikan dana bantuan atau dana hibah dan rejeki internasional, atau pandangan
yang semacamnya. Dalam hal ini, Linklater tidak jauh berbeda dengan wacana
Ashley yang berusaha menggunakan pengetahuan moral-practical-rationalization
sebagai pengetahuan kritis (reflektif), refleksi diri dalam mengimbangi
pengetahuan destruktif: rasio penguasaan alam (sifatnya instrumental) dan rasio
penguasaan manusia (sifatnya strategis). Dengan demikian, teks Liklater juga
berkepentingan membebaskan setiap individu sebagai warga dunia internasional
pada aras emansipasi diri: humanisme nilai-nilai kebebasan dan nilai-nilai
keadilan social dunia internasional.
Penjelasan lebih dalam dan detil wacana teori internasional kritis,
Linklater terdapat dalam karyanya, The Transformation of Political Community
(1998). Linklater menciptakan wacana yang cukup berbeda dengan wacana
mainstream—(neo) realisme dan (neo) liberalisme dalam membentuk arsitektur
tatanan hubungan internasional. Wacana Linklater merupakan pemahaman kritis
atas epistemologi neo-realisme sebagai salah satu pendekatan HI yang belum
dapat menciptakan tatanan hubungan internasional baru seperti tatanan hubungan
yang berwajah komunitas politik internasional. (Neo) realisme masih
terkonstruksi dalam wacana inter-state: state is unitary actor and structure
determined agens in the anarchical system.
128

Poin kritis Linklater terhadap wacana neo-realisme: pertama,


merekonstruksi teks negara modern dan teks sistem internasional untuk beralih
pada perkembangan level universalitas yang lebih tinggi berupa aras komunitas
antara lain etnis, suku, agama, kelokalan, dll –pemahaman multikultualisme.
Kedua, mentransformasikan teks komunitas politik yang eklusif menuju tatanan
inklusif, sehingga terjadi formasi orde: hormat menghormati antar budaya, antar
pemikiran, dan antar tradisi dan sejarah yang berbeda-beda dalam kondisi dunia
yang sifatnya universal dan kosmopolitan. Dengan kata lain, bayangan Linklater
terhadap dunia internasional atau relasi dalam politik internasional adalah kondisi
yang dialektis antara yang particularis (eksklusif) dan yang universalis (inklusif)
dalam pertentangan yang konstruktif untuk membangun tatanan keharmonisan
dan humanisme dunia internasional yang semakin baik (better world).92 Tentunya,
secara logis, hal tersebut berkebalikan dengan pemahaman pemikiran HI
sebelumnya: kaum (neo) realis yang masih mempercayai monopoli negara atas
power atau monopoli sistem terhadap power dalam menentukan unit negara
beserta isinya; kaum (neo) liberalis yang cenderung mempercayai interdependesi
kompleks atau rejim internasional sebagai satu-satunya pemegang power; kaum
(neo) marxis yang mempercayai buruh atau gerakan sosial, gerakan anti-
globalisasi/anti-modernitas sebagai pengandaian kepemilikan power dunia; kaum
konstruktivis yang masih memeprcayai negara sebagai subjek perubah sejarah
yang konstruktif dan progresif untuk tujuan-tujuan perdamaian dan keamanan
dunia internasional.93
Pemikir HI London School of Economy, Martin Wight menjelaskan bahwa
SHI adalah ilmu survival, sehingga teorinya pun sangat kompleks dan berusaha
terus berubah untuk merubah dunia –sebagai mana prinsip Darwinisme sosial:
survival for the fittes. Pemikir HI Eropa mempunyai kemiripan, sehingga Wight
dan Linklater tidak jauh berbeda gagasannya. Linklater berusaha mengkonstruksi

92
Andrew Linklater, The Transformation of Political Community, (UK: Polity Press, 1998), hlm.
16.
93
David A. Baldwin, “Neoliberalism, Neorealism, and World Politics,” dalam Neorealisme and
Neoliberalisme: the Contemporary Debate, diedit oleh David A. Baldwin, (New York: Columbia
University Press, 1993). Lihat juga tema-tema yang lainnya seperti pada bab II tentang “Neoliberal
Challenge and Neorealist Respon.”
129

ulang dan memperjuangkan kembali tradisi HI Eropa melalui penjelaskan tentang


the survival of political community. Dalam karya International Theory: the Three
Traditions, Wight mengutip gagasannya Bodin untuk menjelaskan tradisi
pemikiran Eropa.94 Tidak jauh berbeda dengan Wight, Linklater pun berhutang
pada Bodin. Bodin menjelaskan bahwa pertalian sosial antara warga negara dan
negara sendiri justru tidak akan menghasilkan keterasingan. Komunitas politik
berlangsung terus justru karena mereka eksklusif dan terus memperjuangkan
identitas uniknya melalui menonjolkan perbedaan antara “kita” dan “mereka” atau
“us” dan “the others.” Kondisi semacam itu, terkadang terhambat dan susah
untuk diimplementasikan. Menurut Linklater, dalam runtutan sejarah, komunitas
politik justru seringkali dipalsukan dalam tubuh negara –perjuang kemerdekaan
negara-bangsa (konsep 1648). Komunitas politik ini juga tidak hanya tergantung
pada pihak luar (mereka) sebagai peneguhan identitas unik mereka, tetapi juga
dengan komunitas lainnya. Dalam sebuah negara, komunitas yang dominan
cenderung menekan komunitas lainnya yang terpinggirkan seperti kelompok
subaltern. Linklater mengutip Carr yang memunculkan persoalan baru: essential
for the survival of community mengalami kegagalan, karena mereka mengarah
pada komunitas ekstrimis atau fundamental.
Persoalan ikatan sosial yang semakin terpecah belah, terputus, terpisah,
berserakan adalah persoalan yang signifikan. Linklater memulai argumennya
dengan mengangkat pentingnya nilai-nilai moral dan prinsip etika universal.
Menurut Linklater, kita harus memfokuskan pada analisis kewajiban dan hak
universal. Hal ini merupakan penghargaan terhadap human race. Diskusi tentang
universalistik berlangsung terus, ketika banyak pengakuan konsepsi etika
universal tidak jauh berbeda bersifat eksklusi sebagaimana asosiasi yang
partikular. Karya Linklater ini bertujuan untuk menegaskan tentang kritik-kritik
kosmopolitan terhadap sistem negara kedaulatan dan untuk membela perluasan
batasan-batas moral dari komunitas politik. Dalam perkembangannya, komunitas
secara konstan dikonstruksi melalui batasan moral mereka yang tersebar atau

94
Martin Wight, International Theory: the Three Traditions, (New York: Holmes & Meier
Publishers, Inc., 1992).
130

mengikat dalam ketegangan antara dua kubu yang berseberangan. Mereka


berkembang dengan orientasi partikularistik untuk menjadi anggota di dalam
masyarakatnya. Dalam konteks ini, orang di luar masyarakat tersebut akan
mengalami pasang-surut dalam satu ordo tertentu. Jika satu kelompok subaltern
berkembang luas, maka masyarakat yang berkembang di dalamnya pun akan
menuju pada masyarakat yang inklusif, sementara itu masyarakat di luar dirinya
akan secara otomatis mengalami marginalisasi atau eksklusifitas. Dalam konteks
ini, Linklater menekankan pentingnya etika kosmopolitan yang mempertanyakan
kembali signifakansi moral yang tepat dari batasan-batasan nasional, sehingga
dengan adanya predominasi antara komunitas akan menguak problematika tentang
batasan-batasan moral. Dalam menyelesaikan problem seperti itu, Linklater
mengajukan rekomendasi tentang pentingnya perspektif etis (ethical) yang
merefleksikan defisit moral dalam hubungan antara anggota sesama masyarakat.
Dengan demikian, jika terjadi kemunduran moral, maka hubungan dengan
masyarakat di luar komunitasnya akan justru menyerang signifikansi moral, bukan
menjustifikasi perbedaan antara fellow-national dan orang asing, sehingga tidak
terjadi peperangan.
Lebih Lanjut, Linklater mengungkapkan argumen kaum post-modernist
dan kaum feminis yang mengatakan bahwa perbedaan yang radikal antara dunia
domestic/lokal dan dunia internasional memberikan legitimasi yang cacat bagi
negara kedaulatan. Di sini, kaum teori internasional kritis, kaum post-modernist
dan kaum feminis sepakat bahwa transformasi komunitas politik itu sangat
penting. Agar hal ini bisa terwujud, maka pendekatan yang dilakukan adalah
problematising ranahnya, dimana kepentingan hak istimewa masyarakat-dalam
(insider) terhadap masyarakat-luar (outsider) adalah proses yang saling
melengkapi yang didukung oleh eksponen perspektif kosmopolitan. Jadi
sebagaimana konsistensi argumen awalnya, Linklater menegaskan kembali bahwa
membuat kasus moral sebagai bentuk baru dari komunitas politik adalah sebuah
gejala penting di dalam teori HI sekarang kekinian. Fenomena berupa bentuk baru
komunitas politik ini merupakan perkembangan yang penting dalam SHI,
sehingga ketiga kaum tersebut mempercayai bahwa menciptakan negara modern
131

justru lebih sulit dan mudah mengalami perubahan fundamental daripada saran-
saran neo-realisme.
Menurut Linklater, kunci dari gambaran penelitian sosiologi adalah
investigasi sosiologi yang mengidentifikasi benih-benih perubahan di masa depan
dalam konstruk tatanan sosial politik internasional baru. Pijakan dasar yang paling
utama dari penelitian sosiologi ini adalah sosiologi etisnya Immanuel Kant
tentang perpetual peace (perdamaian abadi). Kant percaya bahwa kemungkinan
hak legal yang tersebar luas tidak hanya berlaku bagi peningkatan kaum borjuis,
tetapi juga berlaku untuk semua anggota masyarakat lainnya, yang sudah menjadi
sifat dari masyarakat liberal bersama dengan ideologi yang dominan dari alas
prinsip kebebasan dan persamaan individu-individu. Kemunculan masyarakat sipil
transnasional membentuk sebuah kondisi, dimana setiap individu dapat
menghilangkan pandangan-pandangan mereka tentang orang-orang yang aneh,
ganjil, dan mempelajari mereka tentang bagaimana berasosiasi bersama mereka
dalam bentuk hubungan manusiawi yang teratur.
Dengan menjelaskan gagasannya Carr, Linklater menjelaskan bahwa hasil
krisis duapuluh tahun, pandangan kaum realis cukup bagus dalam memberikan
poin penting bahwa proyek radikal (kaum teori internasional kritis/revolutionism)
dari reformasi global telah gagal untuk menghargai kekuatan nasionalisme dan
ketahanan kuasa negara. Negara menyudahi perjanjian sebuah batas komunitas
moral pada bagian pertama abad duapuluh dengan menutup pintu atas orang-
orang asing, mengejar kebijakan politik luar negeri nasionalis dan mengikat
bentuk-bentuk praktik-praktik eksklusif dengan melawan minoritas melalui batas-
batas teritorial mereka. Analisis kritis gagal menganalisa kemungkinan bentuk
baru komunitas, dan juga miskin dari kepercayaan terhadap efek-efek globalisasi
yang disuarakan dalam tulisan-tulisan Kant dan Marx. Banyak berargumen bahwa
globalisasi menciptakan bentuk baru kuasa hegemoni, yang mengancam
perbedaan budaya.
Namun baru-baru ini hal seperti Carr jelaskan dan argumenkan di atas
justru membalik. Linklater berusaha menegasi proyek Carr yang selalu
mengunggulkan kuasa negara berdaulat dengan strategi teks merekonstruksi
132

proyek reformis (modernitas). Linklater berargumen bahwa visi-visi normatif


yang lebih awal tidak cukup jauh, sebab Kant dan Marx menekankan bahwa jalan
ekonomi dari perubahan ekonomi membuat rekonstruksi ini menjadi mungkin
terjadi bagi keberlangsungan umat manusia untuk menciptakan bentuk baru
kerjasama universal; menekankan pada kebutuhan pemahaman budaya yang
berbeda-beda: multikulturalisme. Dalam konteks ini, Linklater merujuk pada
pendekatan analisis etis sosiologi yang berargumen bahwa memunculkan konsepsi
identitas dan liyan (otherness) mempunyai sebuah sejarah tertentu: mereka jauh
dari kealamiahan dan mereka mempercayai konstruksi sosial dan komunitas
dialogis. Dengan kata lain, kaum yang dianggap aneh, ganjil, anomali justru terus
merekonstruksi dirinya agar identitas budaya-politik mereka tetapu utuh dalam
konstelasi politik internasional yang terus berubah. Memang, Linklater
mempunyai persamaan ontologi tentang dunia sama dengan kaum konstruktivis
atau strukturasinya Anthony Giddens, tetapi yang menarik adalah bagi Linklater
monopoli kuasa tidak seharusnya dimiliki oleh negara bangsa atau sistem
internasional yang ditentukan oleh hierkhy of power, tetapi pemahaman satu
dengan yang lainnya berdasarkan dialog terbuka di tatanan internasional. Hal yang
paling penting perlu direspon dalam SHI adalah semakin menguatnya wacana
tentang budaya-politik lokal dan perjuangan identitas budaya bagi komunitas-
komunitas di tatanan dunia internasional. Wacana ini merupakan displacemcent
yang sangat signifikan dalam studi-studi HI pasca Perang Dingin atau kondisi
dunia post-Westphalia.
Pada paragraf selanjutnya, Linklater menjelaskan tentang status
universalisme etis dalam menghargai pentinganya perbedaan. Bagi Linklater, isu
tersebut merupakan salah satu titik pusat di dalam teori sosial-politik dan teori HI
pasca Perang Dingin. Berdasarkan preferensi normatif, investigasi sosiologis
menganalisa prospek yang progresif menuju level yang lebih tinggi lagi dari
universalitas dan perbedaan di dunia modern. Komunitas politik mewujudkan
level yang lebih tinggi dari universalitas tidak akan memasukkan signifikansi
moral yang mendalam terhadap perbedaan kelas, etnisitas, gender, ras, status
terasing. Asosiasi politik akan menggabungkan level yang lebih tinggi terhadap
133

penghargaan atas perbedaan. Hal tersebut akan meningkatkan sensitivitas pada


variasi budaya, gender, etnisitas yang telah jarang muncul di masa lalu dalam
tradisi pemikian SHI dan perbincangan kajian hubungan internasional.
Dalam menekankan tujuan-tujuan moral, bagi Linklater sangat penting
megutip pemahaman-pemahamn Kant dan Marx yang berargumen bahwa logika
globalisasi dan fregmentasi telah membawa negara-negara pada satu titik, dimana
hubungan baru antara universalitas dan perbedaan dapat terbangun di dalam
struktur politik mereka. Globalisasi dan fregmentasi mengikis konsepsi tradisional
dari komunitas dan mengurangi signifikansi moral konsep negara berdaulat.
Globalisasi dan fregmentasi menstimulasi ancaman dan tantangan baru.
Globalisasi mempunyai efek-efek buruk dalam menciptakan ketimpangan
material, sementara itu, fregmentasi etis memproduksi bahaya baru:
partikularisme yang ekstrim. Linklater bermaksud merekonstruksi bangunan
realisme atau neo-realisme dalam perubahan bangunan sosial-politik. Dalam
mengatasi problem ini, Linklater mengerjakan penjelajahan intelektual yang
menekankan pada dialog terbuka komunitas politik di tatanan dunia internasional
dengan dilengkapi perangkat normatif dan pertimbangan-pertimbangan sosiologis
dari komunitas komunikasi yang inklusif, dimana bentuk dialog baru yang jauh
berbeda dengan sebelumnya muncul.
Menurut Linklater teori kritis tidak dinilai hanya melalui kontribusi etika
dan sosiologis, tetapi juga dinilai melalui kemungkinan-kemungkinan politik yang
ada. Ketidaksempurnaan dalam kerangka normatif dan pendekatan sosiologi akan
dilengkapi dengan analisis praxeology. Analisis ini memfokuskan pada refleksi
sumber-sumber moral dengan menghadirkan peraturan-peraturan sosial, dimana
aktor-aktor politik dapat mempergunakan tujuan-tujuan radikal. Dengan kata lain,
tindakan para aktor politik tidak hanya berkaitan dengan aksi-aksi strategis dan
taktis, tetapi adanya konsepsi bentuk baru komunitas politik dengan membawa
keberadaan sikap-sikap moralis dalam kehidupan bermasyarakat internasional.
Dasar dari teori kritis ini adalah metode Kant sebagai seorang yang menekankan
pada pemikiran liberal tentang kebebasan dan persamaan, yang muncul sebagai
respon dari tumbuhannya kuasa negara yang berhadapan dengan dominasi politik
134

dan kekerasan antar negara. Mirip dengan Kant, Marx membelokkan pemikiran
borjuis tentang kebebasan dan persamaan berhadapan dengan tekanan alamiah
dari relasi sosial kapitalis. Menurut Linklater, respon mereka menujukkan
terbatasnya tujuan-tujuan sosial dalam ambiguiti modernitas: kebebasan kaum
borjuis untuk satu segmen populasi dalam kasus Kant, dan dalam kasus Marx,
kebebasan proletarian mengambil sedikit isu-isu tentang korban rasis, etnisitas
dan ketimpangan gender. Analisis praxiologi modern harus bertujuan lebih luas
lagi, tetapi juga tetap berpijak pada pemikiran Kant dan Marx, khususnya proyek
yang mewarnai sikap-sikap moral yang dilengkapi dengan ide-ide modern berupa
kebebasan dan persamaan dengan maksud mengkritisi sistem eksklusif yang
timpang. Dalam konteks ini, teori sosial kritis merekonstruksi kecenderungan
Marxis Klasik yang selalu mengacu pada mode of production sebagai sesuatu
yang fundamental dalam rangkaian sejarah umat manusia bersama ruang moral-
kultural. Atas dasar ini, Linklater mengaitkan argumennya dengan
mengedepankan ide modernitas tentang kewarganegaraan (citizenship). Ide
modernitas ini: pertama, muncul ketika reaksi tentang peningkatkan kuasa negara
dan secara khusus sebuah respon apa yang disebut dengan proyek yang total
(totalising prject) sedang berjalan –proyek modernisasi. Proyek ini mengacu pada
usaha-usaha yang dibuat oleh pemerintah (kuasa negara berdaulat) untuk
mewujudkan komunitas nasional dan menonjolkan perbedaan antara warganegara
dengan pihak asing yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi perang antar
bangsa (inter-state war). Kedua, dari pihak yang berseberangan dalam rangka
peningkatan ketimpangan kapitalistis. Pihak ini memegang sumber moral yang
paling penting, yang telah diakumulasikan dalam perjuangnnya melawan
ekslusifitas. Pihak yang menentang ini memegang kunci masyarakat modern yang
mempunyai kewajiban untuk memperluas batas-batas moral komunitas politik
dalam rangka mengikat pihak asing ke dalam dialog yang dilengkapi dengan
komitmen terhadap kewarganegaraan yang ideal.
135

Cara yang tepat untuk menciptakan kewajiban terhormat ini adalah


membentuk kerangka institusional95 yang memayungi komunitas dialogis.
Kerangka yang beragam sangat penting, yang akan memberikan karakter negara-
bangsa yang berbeda-beda, dan anggota dari tradisi rasionalis teori HI telah
memberikan kontribusi lebih dari perspektif lainnya untuk memahami prinsip-
prinsip yang penting bagi mereka. Kaum rasionalis berbeda dengan kaum
masyarakat internasional pluralis. Kaum pluralis bertujuan memegang prinsip-
prinsip dasar dalam mewujudkan hidup berdampingan antar negara berdaulat, dan
solidaritas masyarakat internasional dalam hal ini, negara berdaulat bekerjasama
untuk melindungi prinsip-prinsip moral yang telah disepakati sebagai dasar hak
asasi manusia. Kaum rasionalis selalu menekankan pada kuasa paksaan yang akan
mencegah proses transisi dari pluralis menuju masyarakat solidaritas dalam
mereformasi tatanan global. Menurut penelitian kaum rasionalis, pelanggaran-
pelanggaran batas yang radikal terhadap negara kedaulatan mungkin terjadi di
Eropa Barat. Kaum rasionalis menyarankan, sementara waktu mayoritas kuasa
negara berdaulat tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip pluralis, di sisi lainnya
mereka tetap dapat ikut berpartisipasi bersama pengaturan solidaritas dan
minoritas kecil alam menjalankan proyek kolaboratif yang mematahkan prinsip-
prinsip kedaulatan yang merupakan pusat dari hubungan internasional sejak
perdamaian Westphalia (1648). Dalam hal ini, Linklater tidak memberikan
pemahaman yang sifatnya paradoks, tetapi justru memberikan alternatif
kemungkinan-kemungkinan perubahan pada sifat negara yang masih terjebak

95
Linklater bersama kaum liberal sepakat untuk mengembangkan idenya ini di institusi European
Union (EU). Kasus dalam karyanya ditekakan pada multikulturalisme di Eropa. Ide ini sesuai
dengan gagasan para pemikir Eropa terdahulu sampai dengan sekarang, dari Kant hingga
Habermas dan pemikir HI Eropa dari tahun 1919 sampai dengan sekarang, dari Martin Wight
sampai dengan Linklater dan David Held. Semua itu adalah generasi yang mengakumulasi kuasa
tradisi pemikiran Eropa. Mereka yang menciptakan struktur pemikiran Eropa. Struktur itu
direkonstruksi terus sebagai teori survival, yakni alat untuk bertahan hidup sebagai subjek sejarah
penoreh peta sejarah umat manusia di dunia internasional. Dalam hal ini, penulis mempunyai
optimisme bahwa EU adalah sebuah institusi yang akan mengambil alih kuasa negara berdaulat di
era post-Westpharlia, khusunya superpower negara berdaulat seperti Amerika Serikat. Ini adalah
strategi teks jitu bagi pemikir HI Eropa dalam mengambil kuasa pengetahuannya dari kaum saintis
Amerika Serikat dan juga terus berusaha mendominasi dan memperteguh kuasa pengetahuanya ke
seluruh dunia internasional. Semua itu adalah tradisi Eropa yang berkiblat dari tradisi struktur
pengetahuan Hellenisme, Yunani Kuno. Demikian juga institusi EU yang sebenarnya konstruksi
dari polis-polis di era Hellenisme, Yunani Kuno.
136

pada ortodoks konsepsi Westphalia untuk berubah sedikit demi sedikit ke arah
egalitarianisme antara negara sebagai institusi yang memonopoli kuasa di tatanan
internasional dan komunitas lokal sebagai salah satu entitas yang baru akan hadir
di tatanan politik internasional. Perdebatan ini berlanjut sampai dengan
memuncuknya dua kubu: kaum refleksionis dan kaum rasionalis.
Melawan kaum realisme dan neo-realisme, di pihak kaum refleksionis,
Linklater optimis dengan idenya, suatu transformasi komunitas politik akan
mengangkat sebuah revolusi, karena saat ini masyarakat tidak lagi berhadapan
satu dengan yang lainnya sebagai lawan geopolitik dalam kondisi anarkhi. Namun
hubungan dialogis yang semakin sering dilakukan akan menghentikan atau
mengakhiri pemahaman seperti wacana kaum (neo) realis yang terus
mempertahankan konstruksi era Westphalia. Partisipasi dalam proyek ini bisa
bekerjasama untuk menghidupkan proses perubahan yang lebih luas melalui
jaminan penghormatan yang lebih terhadap pengaturan internasional terhadap
nilai-nilai pluralitas dan solidaritas. Sementara kerangka kerjasama post-
Westphalia sedang dibentuk, masyarakat yang berpartisipasi ini bisa bekerja untuk
pencapaian dua kerangka tambahan dalam arti persetujuan dan dialog mengubah
atau menggeser paksaan (force) dan dominasi negara berdaulat. Dalam konteks
ini, maka menjadi suatu kemungkinan untuk memperkirakan kerangka normatif
yang ideal atas sebuah komunitas komunikatif yang universal dan untuk
meyakinkan bahwa aturan main global harus mempunyai perjanjian bagian yang
lebih besar untuk kepentingan seluruh umat manusia (human race). Analisis
narmatif, sosiologis dan praxeology dari komunitas politik yang dikembangkan di
atas adalah orientasi dari karya Linklater secara keseluruhan.
Kerja Linklater terdiri dari bagian-bagian di dalam karyanya: argumen
pertama, pendekatan kritis memberikan kemungkinan yang secara signifikan bagi
keberlangsungan era ini. Era globalisasi dan fregmentasi yang menciptakan
kemungkinan dalam mereformulasikan bentuk komunitas yang secara simultan
lebih universalis dan lebih sensitif terhadap perbedaan budaya. Argumen kedua,
etika universalisme pada argumen pertama perlu dipahami sebagai moralitas
kosmopolitan sementara yang selalu dikritisi. Visi komunitas dialog ini terdiri
137

dari anggota-anggota yang mempunyai masalah dengan semua bentuk


ketidakadilan yang eksklusif. Argumen ketiga, negara berdaulat tidak perlu
mempertahankan prinsip konsepsi Westphalia, tetapi sebaiknya memperluas
batasan-batasan moralitasnya melalui dialog terbuka atas nama nilai-nilai liberal:
kebebasan dan persamaan. Argumen keempat, meneguhkan ide tentang
warganegara secara lebih luas untuk merespon peningkatan kuasa negara
berdaulat. Dalam konsepsi transformasi komunitas politik, masyarakat digiring
agar mempunyai komitmen terhadap konsep warganegara yang ideal. Ketika
ambiguiti modernitas pada akhirnya akan semakin kabur, maka masyarakat
modern telah mengakumulasi sikap etika yang signifikan, yang bisa digunakan
untuk mengurangi permasalahan defisit moral negara berdaulat. Argumen kelima,
keintiman dunia post-Westphalia muncul tidak hanya di wilayah Eropa, tetapi bisa
saja berlangsung di mana-mana. Masyarakat modern Eropa Barat bisa menjadi
masyarakat internasional pertama yang tidak akan hancur oleh aksi-aksi seperti
tindakan penaklukan dan nalar perang, tetapi akan bertransformasi secara damai
melalui komitmen normatif yang lebih luas lagi tentang perluasan batas-batas
moral dan politik komunitas.
Berkaitan dengan konteks di atas, Linklater juga mengadopsi pemikiran
rationalism Grotian dari London School of Economy dalam memperkuat
argumennya. Jadi hakikat dari karya Linklater berpusat pada satu tujuan:
menghadirkan studi dan proyek yang lebih luas untuk mengembangkan
pendekatan kritis dalam SHI yang meliputi analisis normatif, dan sosiologis, dan
praxeology. Argumen keenam, Linklater akan menggabungkan dimensi normatif
dan dimensi teori kritis sosiologis dengan memfokuskan pada aspek praxeology.
Oleh sebab itu, Linklater akan berargumen bahwa perlawanan terhadap sistem
yang tidak adil telah menghasilkan teori modern dan praktik-praktik
kewarganegaraan yang baru. Ide tentang warganegara akan melengkapi
masyarakat modern dengan sumber-sumber moral yang akan menciptakan tatanan
baru yang lebih inklusif, baik secara domestik maupun secarainternasional. Jadi
klaim Linklater dalam arsitektur komunitas politik akan mengarahkan pada
sensitivitas yang lebih pada klaim-klaim universalitas dan perbedaan yang
138

sifatnya immanent dengan keberadaan bentuk kehidupan baru yang berkomitmen


pada warganegara yang ideal.
Narasi di atas merupakan wacana formasi disksursif yang cukup deskriptif.
Formasi di atas membentuk sebuah arsitektur yang bebeda dengan formasi
diskursif sebelumnya. Formasi ini berpijak pada kondisi dunia internasional pasca
Perang Dingin yang tengah mengglobal dan sekaligus terfregmentasi menjadi
kubu-kubu yang eksklusif. Dengan kepercayaan Linklater terhadap European
Union, maka institusi tersebut tentunya akan terus direkonstruksi dan direproduksi
secara luas ke luar wilayah Eropa untuk tujuan-tujuan perdamaian dan kemanan
dunia internasional dan keusangan konsep negara berdaulat Westphalia. Atas
dasar ini, wacana puncak teori modern HI (teori internasional kritis) berusaha
merekonstruksi tradisi pemikiran Eropa kontinental yang berpijak pada pemikiran
Kant, Marx, Hegel dan Grotius. Oleh sebab itu, kuasa pengetahuan Eropa
kontinental berusaha direproduksi kembali oleh Linklater. Genealogi kuasa dari
tradisi HI modern ini dijabarkan di bawah ini. Tradisi HI modern adalah struktur
dari pemahaman pemikir Eropa tentang tatanan dunia yang tengah berubah. Oleh
sebab itu, tatanan dunia yang tengah berubah ini berusaha dilihat melalui
rekonstruksi tradisi wacana Eropa dari era pencerahan atau modernitas.
Sedangkan genealogi critical international theory (sociological critical theory)
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Klasifikasi Wacana Critical Theory di dalam Studi Hubungan Internasional


KLASIFIKASI
Critical
KONSEP VARIABEL DIMENSI Critical Theory International
Theory
Metodologi
Praktis Neo-Marx
(Gramsci) Robert Cox
Wacana
Critical Generasi I Richard
Wacana International (Adorno, Ashley
Theory Marcuse,
Horkheimer) Andrew
Generasi II Linklater
(Habermas)
139

Teori kritis berawal dari eksistensi ortodoksi Marxisme yang terus mengisi
sejarah umat manusia. Kaum ortodoksi Marxisme ini tidak menyurutkan para
pengkritiknya di zaman itu. Berbagai macam kritik terhadap Marx disuarakan,
diantaranya para kritikus teori sosial seperti Goerg Lucaks (1885-1971), Karl
Korsch (1889-1961) Theodor W.Adorna dan Herbert Marcuse, Max Horkheimer
(1895-1973), Theodor W. Adorno (1903-1970), Herbert Marcuse (1898-1978).
Pada akhirnya generasi terakhir diteruskan oleh Jürgen Habermas (1929-…), juga
seorang filsuf Jerman dari generasi Frankfurt school.96
Penjelasan klasiffikasi di atas bisa dipaparkan bahwa Cox mengadopsi
akar filosofis critical theory dari Neo-Marxisme, Antonio Gramsci dengan
membil istilah hegemoni dan juga mengadopsi akar filosofis generasi I,
Horkheimer dalam karyanya, Dialectic of Enlightement, (1992) yang ditulis oleh
Theodor W. Adorna dan Max Horkheimer. Karya ini menunjukan kepesimitisan
mereka atas rasionalitas dan pencerahan: suatu teori yang dikembangkan oleh
mereka tentang patologi modernitas. Dilihat dari perspektif rasio dalam sejarah
yang secara empirik mengalami kecacatan atau problematik. Jadi di satu sisi,
manusia berusaha menggunakan rasio untuk menuju pada pencerahan yang
progresif, tapi di sisi lainnya menuju pada penghancurannya sendiri (self-
destructive). Cox menunjukkan filsuf semacam ini. Secara tajam, Adorna dan
Horkheimer ingin menunjukan lebih tajam: “the weakness of the modern
theoretical faculty.”97 Mereka mengatakan bahwa kelemahan teoritisasi era
modern telah muncul, dalam hal ini adalah kelemahan ilmu-ilmu sosial yang
mengadopsi ilmu alam. Dengan demikian SHI sebagai ilmu sosial sangat lemah,
sebab dalam konteks pendekatan (metodologi/epistemologi) ilmu alam, ilmu
sosial justru mendukung status quo, tidak menggunakan teorinya untuk
mendukung kaum yang tertindas atau termarginalisasikan.

96
David Held, Introduction to Critical theory: Horkheimer to Habermas, (UK: Polity Press,
1990). Lihat juga karya Craig Calhoun, Critical Social Theory, (US: Blackwell, 1995). Karya ini
menjelaskan lebih mengkhuskan ke tatanan politik dan budaya dunia. Dibandingkan dengan David
Held yang cenderung memaparkan kerangka filosofisnya dan silsilah lengkap dari critica theory,
Frankfurt Jerman.
97
Theodor W. Adorno & Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, (London: verso, 1979),
bagian The Concept of Enlightenment.
140

Istilah hegemoni yang diadopsi Cox hadir dari critical theory yang masih
belum tersistematisasikan dengan jelas dengan memfokuskan pada akar filosofis
kaum Neo-Marx. Akar pemikiran ini sejalan dengan wacananya Korsch dalam
karyanya, Marxismus und Philosophie (Marxian dan Filsafat, 1923), secara
sederhana, Korsch mengkritik Marx dari segi gerakannya. Sesungguhnya Marx
sebagai ideologi seharusnya mempunyai maksud-maksud praksis/praxis (moral,
etika, emansipatoris, aplikatif) bukan maksud revolusi yakni, pertumpahan darah
ataupun malah secara teoritis cenderung mendukung teori-teori bourgeois (kelas
status quo, kelas yang berkuasa).98 Jadi mereka berusaha mempertautkan teori dan
praxis. Jadi dari pijakn akar filosofis inilah Cox mempunyai ujaran: “Theory is
always for someone and for some purpose,”99 dan berpikiran tentang pemilahan
yang signifikan antara problem solving theory dan critical international theory
atau constituted theory itu sendiri dalam SHI.
Sedangkan wacana critical international theory kedua, Richard Ashley
secara sistematis dan komprehensif mengadopsi akar filosofis generasi II, Jürgen
Habermas tentang wacana pengetahuan (teori pengetahuan). Wacana Habarmas
yang diadopsi oleh Ashley berasal dari karya Habarmas, Knowledge and Human
Interests (1971)100 dan Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi, terj. (1990).101
Kedua karya tersebut menjelaskan tentang pautan antara pengetahuan dan
kepentingan. Menurut Habermas, terdapat tiga tipe ilmu pengetahuan: pertama,
ilmu empiris-analistis yang berkepentingan memperoleh informasi dan
mengontrol tindakan-tindakan yang sifatnya teknis. Pengetahuan ini disebut
dengan pengetahuan teknis. Dalam SHI, studi ini lebih cenderung pada
pendekatan behaviralisme dan positivisme. Kedua, ilmu historis-hermeneutis yang
berkepentingan mempertahankan dan memperluas intersubjektivitas, saling
pengertian antar manusia yang mengarah pada tindakan. Pengetahuan ini disebut
pengetahuan praktis. Dalam SHI, studi ini lebih cenderung pada pendekatan

98
Hardiman, op.cit., hlm. 38-39.
99
Selain membaca karya aslinya dan penjelasan sebelumnya, lihat juga karya Jackson dan
Sorensen, Introduction to International Relations, (UK: Oxford University Press, 1999), hlm.233.
100
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, (Boston: Beacon Press, 1971).
101
Jürgen Habermas, Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi, terj (Jakarta: LP3ES, 1990).
141

tradisional seperti memahami teks-teks sejarah perjanjian, teks hokum


internasional, dan teks filsuf terdahulu sebagai alat Bantu pemahaman konteks
fenomena tertentu. Ketiga, ilmu tindakan seperti sosial, ekonomi, sosiologi, dan
politik yang mempunyai kepentingan emapsipasi diri, yakni melepaskan diri dari
ideologi yang telah terbekukan di dalam dirinya. Jadi dari kategori inilah Ashley
berusaha menunjukkan bahwa SHI pun dapat mejadi ilmu tindakan, yakni
membebaskan diri dari dogma studi hubungan internasional yang telah mapan,
dominan, dan beku sehingga SHI merupakan sumber kekuatan pendobrak dengan
dialektika yang konstruktif (refleksi-diri) membebaskan SHI dari pandangan
dominan yang telah menjadi ideologi tertentu di SHI seperti ideologi realisme,
ideologi liberalisme, ideologi marxisme, ideologi ilmu pengetahuan, ideologi
feminisme, ideologi post-modernime, dll.
Wacana ketiga, Andrew Linklater yang mengadopsi istilah rasionalisme
dari generasi II, Habermas. Menurut Habermas dalam karyanya, The Theory of
Communication Action Volume I: Reason and The Rationalization of Society
(1981) menjelaskan penjabaran rasionalitas Weber: (1) Cognitive-instrumental
rationality, yakni rasionalitas formal yang menggerakkan kerja-kerja ilmiah
seperti di studi ekoomi dan politik. (2) Aesthetic-practical rationality, yakni
rasionalitas seni yang mengerakkan kerja-kerja estetika dipetujukan kepada
hedonistic-life-style. (3) The moral-practical rationality, yakni rasionalitas
religius yang memproduksi dirinya sendiri sesuai dengan berjalannya proses
budaya dalam waktu yang lama. Dari akar filosofis inilah Linklater
mengembangkan gagasannya dalam aras SHI.102 Dari ketiga rasionalitas ini, SHI
berusaha diarahkan kepada arah etik, yakni pertimbagan-pertimbangan kebenaran
moralitas (etika) daripada pertimbangan-pertimbangan kebenaran ekonomi-politik
(relative gain, absolute gain) –berupa control terhadap sumber alam atau manusia.
Arah inilah yang berusaha ditekankan oleh critical international theory ini agar
SHI tetap mempunyai keterpautan antara aspek ilmiah dengan aspek nilai.

102
Jürgen Habermas, The Theory of Communication Action Volume I: Reason and The
Rationalization of Society, (Boston: Beacon Press, 1981), hlm.240-241. Lihat juga tafsir Hardiman
atas Habermas dalam Menuju Masyarakat Komunikatif, (Yogyakarta: Kanisius), hlm. 93-94.
142

Keterpautan ini tidak berarti SHI tidak ilmiah, tetapi pertimbangan-pertimbangan


etik ini justru penting dalam dunia-kehidupan umat manusia.
Karya Linklater, baik karya pertama maupun keduanya terus
merekonstruksi proyek modernitas. Linklater berusaha menunjukkan arah
konstruksi negara dari negara Westphalia (1648) ke arah transformasi komunitas
politik dalam tatanan internasional yang lebih baik lagi. Wacana Linklater
memberikan ilustrasi bahwa negara yang sebelumnya merupakan unitary actor,
berubah dengan mengalami disposisi menjadi bersifat egaliter dan otonom dengan
individu seperti Soros, perusahaan seperti Freeport, komunitas seperti subak di
Bali, suku Maori di New Zealand, dan aktor lainnya. Wacana Linklater ini
terinspirasi oleh Habermas yang melihat bahwa critical theory generasi I hanya
mengerjakan hal yang sia-sia. Dengan kata lain, critical theory generasi I hanya
kritis terhadap kondisi yang ada tanpa memberikan sumbangsih baru atau
alternatif baru yang nyata dan praktis atas tatanan dunia internasional yang
seharusnya berubah terus. Melalui critical theory generasi II, Linklater dapat
mengadopsi berbagai macam konsepnya Habermas seperti Hellenic world, yakni
dunia dalam wajah demokrasi kosmopolitan yang diimpikan oleh Habermas,
dibantu oleh dimensi praxeological, dan hubungan atas dasar dialogic ideal. Jadi
mimpin Habermas tidak jauh berbeda dengan mimpi Linklater yang berusaha
menampilkan wajah tatanan dunia internasional yang baru yakni dalam bentuk
community yang dialogis antara universality dan particularity dengan mengangkat
nostalgia wacana zaman Yunani kuno: Hellenic.103
Jangan melupakan bahwa akar genealogi dari critical international theory
masih tidak jauh berbeda dengan awal kemunculan SHI (1919) melalui
pengadopsian ide-ide Kant dan beberapa tokoh Eropa lainnya seperti Hegel,
Marx, fenomenologinya Edmund Hurssel dalam mempengaruhi epistemologi
critical international theory, ontologinya para eksistensialis seperti kuatnya
pengaruh Nietzsche dalam merubah ontologi realitas dari yang materialis dan

103
Richard Devetak, “Critical theory,” dalam Theories of International Relations, (New York:
Palgrave, 1996), hlm. 157.
143

realis menjadi suatu yang konstruktif dan imajinatif.104 Tidak luput juga pemikir
lainnya seperti pengaruh hermeneutika Pierce dan Dilthey dan pengaruh idealisme
Fichte dalam memformulasikan rasio murni dengan rasio praktis.105 Semua itu
adalah kesadaran Eropa yang terus dikukuhkan dan dilegitimasi dalam bentuk
formasi struktur modernitas.106 Konstruksi ini aalah struktur paganisme Yunani
kuno yang sangat mutakhir, karena berusaha menyelesaikan proyek modernitas
dengan memberikan solusi dialog terbuka dan komunitas komunikasi
kosmopolitan. Bentuk konkrit dari arsitektur kesadaran rasio Yunani kuno ini
hadir dalam wajah baru: EU sekarang ini.107 EU ini tidak lebih dari formasi dari
polis-polis Yunani masa dulu yang menggunakan rasionalitas teori-praksis –yang
Habarmas bayangkan. Inilah partikularisme yang berusaha penulis tunjukan
dengan istilah Foucault the new history, sehingga metanarrative modernitas
adalah sebuah bentuk dari smallnarrative tradisi pagan Yunani yang diteruskan
oleh Eropa. Selain kesadaran Eropa yang tengah dibangun sebagai klaim
universal, modern, dan seolah-olah kosmopolitan, sebenarnya adanya keabsenan
dari spatial dunia lain (the others), yang mereka sendiri ciptakan, yakni dunia
yang disebut dengan Timur. Inilah yang berusaha dibongkar oleh penulis sebagai
seseorang yang mempunyai posisi berseberangan dengan spatial dunia Barat.

III.3. Problem Modernisme


Walaupun Habarmas dan Linklater berusaha merekonstruksi rasionalitas
Eropa dengan teori aksi-aksi komunikasi (dialog komunikatif) dan etika diskursus
serta menghadirkan entitas komunitas politik era post-Westphalia, tetapi ruang
pengandaian mereka masih partikular di wilayah Eropa kontinental, dan
mengandaikan rasionalitas Eropa, etika diskursus sebagai sesuatu yang universal,
tunggal dan total. Ontologi komunitas politik, epistemologi rasionalitas Eropa
tidak dapat melampaui pengetahuannya sendiri. Dengan kata lain, rasionalitas
modern diandaikan seperti katak dalam tempurung yang berputar-putar di

104
Ibid. hlm. 156.
105
Hardiman, op.cit.
106
Linklater, op.cit.
107
Loc.cit.
144

dalamnya. Proses ini dapat dinamakan sebagai lingkaran hermenutika yang


dialami oleh wacana modernitas.
Epistemologi dan ontologi politik internasional mengalami perubahan.
Politik internasional post-modern atau post-Westphalia mengandaikan komunitas
politik yang terfregmentasi ke wilayah wacana masing-masing komunitas. Dengan
kata lain, politik internasional di panggung duni internasional menjadi sebuah
permainan komunitas politik yang plural dan heterogen, tergantung pada
pengetahuan komunitasnya sendiri-sendiri. Dunia post-Westphalia mengandaikan
relasi antara komunitas politik lokal dengan global, relasi etika partikular dengan
etika universal, relasi eksklusif dengan inklusif dan antara universalisme dengan
difference dalam media aksi-aksi komunikasi atau dialog terbuka.
Wacana modernisme adalah suatu paham pemikiran sekaligus ordo
diskursif yang muncul di jaman pencerahan (renaissance). Wujud modernisme
dapat diketahui melalui kelahiran kapitalisme dan negara bangsa (1648).
Kemunculan modernisme merupakan pondasi bagi segala aspek kehidupan yang
sekarang secara luas disebut dengan nama modern. Crane Brinton108 melacak
istilah dari bahasa latin yang berarti: “just now.” Dalam bahasa Inggris, istilah
moderen dikontraskan dengan istilah: “ancient” (kuno). Kesadaran modern
terbangun melalui nalar manusia untuk melihat newly. Newly adalah kebaruan
yang terjadi alam momen kekinian, yang berjarak dengan ‘nenek moyang’.
‘Nenek moyang’ yang pada saat itu disebut dengan nama ‘nenek moyang.’ Karena
kebaruan selalu berjalan dinamis dan terus melakukan perjalanan yang endless.
Kemodernan yang menjadi the way of life disebut dengan modern culture.
Menurut Brinton, modern juga dapat dipahami jika dihadapkan medieval.
Perbedaan medieval dengan modern ditandai dengan humanisme, reformasi,
penemuan geografis, ilmu pengetahuan, penemuan mesin cetak, pendobrakkan
atas kuasa gereja. Budi Hardiman melihat modern,109 modernisasi atau
modernisme identik dengan Brinton, yakni kesadaran akan kebaruan –kehidupan
manusia kekinian dengan menggunakan rasionalisasi. Rasionalisasi merupakan
108
Crane Brinton, The Shaping of The Modern Mind, (USA: The New American Library of World
Literature Inc., 1956), hlm. 19-20.
109
Hardiman, op.cit., hlm.73.
145

pola berpikir rasional, yakni keberanian manusia untuk menggunakan akalnya–


istilah Immanuel Kant dinamakan sapare aude!–beranilah untuk berpikir! Proses
modernisasi dunia saat itu merupakan rasionalisasi dunia secara total. Penggunaan
rasio mendorong manusia berpijak pada dasar-dasar akalnya seperti kebenaran
berdasarkan pada wilayah epistemologi tunggal, standar dengan istilah logika.
Pergeseran wacana dapat dilihat pada perubahan wilayah pengetahuan
kosmologisme yang tergantung pada alam menuju displacement teosentrisme
yang tergantung pada Tuhan atau agama. Kemudian dengan adanya rasionalisasi,
wilayah wacana teosentrisme mengalami displacement ke wilayah
antroposentrisme, yakni pemikiran yang menekankan ketergantungan pada rasio
manusia, biasanya disebut dengan nama humanism (Barat). Humanisme adalah
penggunaan logika tunggal untuk menjalani kehidupan di dunia. Lebih jauh
Brinton mendeskripsikan humanisme dengan perlawanan rasio manusia masa itu
terhadap dogma agama (Vatikan).
Genealogi modernisasi berangkat dari tradisi pemikiran Yunani Kuno.
Hassan Hanfi memaparkan sejarah tradisi pemikiran dan budaya barat dengan
jelas. Dalam karyanya, Oksidentalisme (2000), Hanafi menjelaskan ajaran nenek
moyang pembentukan kesadaran modernitas (Eropa/Barat), Hanafi membagi tiga
bagian dalam sub-bab ajaran nenek moyang: ajaran sisa sumber Yunani-Romawi,
ajaran Kristen Yunani, dan ajaran Kristen Latin. Ajaran nenek moyang yang
dijelaskan oleh Hanafi ini dijelaskan dengan menguak kesadaran Eropa secara
menyeluruh, yakni memaparkan akar-akar kesadaran Eropa tanpa adanya
keterputusan rangkaiannya sehingga keberlanjutan dari bentuk kesadaran Eropa
dapat terlihat. Kesadaran Eropa begitu kuat didominasi oleh wacana teks Perancis
dan Jerman. Dalam hal ini, wacana teks Jerman, Hegel merupakan pemikir yang
memberikan benang merah tentang kesadaran Eropa.
Hanafi menjelaskan sisa sumber Yunani-Romawi adalah agama
paganisme. Agama ini berlangsung selama era Yunani kuno: Hellenic.
Kedatangan Kristen yang dibawa oleh al-Masîh saat itu belum sanggup
melakukan perubahan terhadap kesadaran Yunani-Romawi yang pagan, yang
cukup kuat pengaruh neo-Platonisme. Kebudayan yang di bawa oleh Kristen
146

masih lemah sehingga tradisi kesadaran saat itu masih didominasi oleh kaum
paganis. Era/wacana teks Hellenisme ini kuat juga dipengaruhi oleh aliran
Aristotelianisme dan stoicism yang mengusung rasionalitas atau akal kepada
kelahiran kedokteran rasional, bukan kedokteran empiris. Kebudayaan pagan
Yunani, neo-Platonisme ini menyebar hingga ke daerah Latin. Neo-Platonisme
dan ajaran Stoicism cukup kuat mempengaruhi era kebudayaan Yunani-Romawi
yang dimanifestasikan dalam sifat spiritual seperti ajaran rendah hati, zuhud,
berakhlak sempurna, membersihkan diri, dan menahan hawa nafsu. Ajaran ini
cukup kuat mempengaruhi era Romawi. Meskipun Kristen dapat melakukan
epistemological break, tetapi saat itu ajaran baru tersebut belum kuat merubah
kesadaran Eropa yang didominasi kebudayaan Yunani-Romawi.
Kuatnya budaya agama pagan ini disebabkan oleh perbaruan dirinya
sendiri. Wacana teks Barat bersikap skeptisme dan melakukan pembersihan diri
terhadap ajaran-ajaran lama dengan mengatasnamakan ilmu yang anti-
dogmatisme. Dengan demikian, ajaran tradisi pagan justru semakin kokoh.
Tindakan mereka tidak lebih sebagai tindakan reflektif atau otokritik (self-
reflection). Inilah sumber kekuatan wacana Barat. Hanafi menerangkan juga
bahwa saat itu, ilmu seperti logika, gramatika, retorika, hitung, teknik arsitektur,
astronomi, dan musik telah dipelajari secara teknis oleh mereka. Inilah kedamaian
internal kesadaran Eropa yang telah diperoleh. Dengan pemahaman dan kesadaran
akan alam, kaum pagan saat itu telah memperoleh kedamaian internal. Dalam hal
ini, Hanafi cukup tajam mengatakan bahwa kedamaian internal yang final ini
mempunyai sifat negatif dan positif. Sifat yang negatif muncul ketika kesadaran
pagan tersebut telah final dan berakhir sehingga mereka tidak mempunyai
kesadaran selain kesadaran agama pagan. Sedangkan sifat yang positif muncul
ketika mereka menganggap bahwa kedamaian internal yang mereka peroleh
bukanlah kesadaran akan sebuah keyakinan final, tetapi awal dari keyakinan
agama baru dan keselamatan yang segera datang. Keyakinan agama baru dan
keselamatan inilah yang sampai sekarang masih belum diperoleh. Jadi sebuah
proses pergerakan becoming Eropa bukan being Eropa.
147

Dalam studinya, Hanafi menemukan hipotesis bahwa hubungan simbiosis


mutualisme antara wacana teks paganisme Yunani dengan Kristen. Hanafi
menemukan “formasi palsu”, yakni pemanfaatan arsitektur kebudayaan Yunani
dan Romawi oleh Kristen sekedar sebagai bahasa untuk menciptakan kesadaran
keimanan baru. Dalam konteks ini, wacana Kristen menjadi substansinya,
sedangkan wacana Yunani dan Romawi sebagai bentuk atau bungkusnya saja.
Dengan demikian, wacana Kristen mejadi ilmu tujuan, wacana Yunani dan
Romawi menjadi teks ilmu perantaranya. Kemungkinan hasil penelitiannya,
Hanafi menemukan “substansialisasi palsu,” yakni pemanfaatan Kristen oleh
budaya Yunani-Romawi merupakan bahasa baru untuk mengartikulasikan
substansi Yunani-Romawi lama. Sedangkan kebudayaan Yunani-Romawi
menjadi substansi dan Kristen sebagai bentuk atau bungkusnya sehingga Yunani-
Romawi menjadi ilmu tujuan, Kristen menjadi ilmu perantaranya. Dalam konteks
dialektika ini, istilah teks substansialisasi palsu dan teks formasi palsu tidak jauh
berbeda dengan istilah ‘Tuhan Socrates’ dengan ‘Tuhan al-Masîh.’
Hanafi memaparkan bahwa sumber kesadaran Eropa ini bertujuan untuk
membuktikan kemungkinan kedua, yakni “substansialisasi palsu” pada masa
terbentuknya ajaran pendeta geraja dari abad ke-1 hingga abad ke-7. Secara
gradual “substansialisasi palsu” berubah menjadi “formasi palsu” pada wacana
teks Skolastik dari abad ke-8 hingga abad ke-14. Perubahan “formasi palsu” ini
mencapai puncaknya pada abad modern ketika aliran idealisme transendental
secara substansial kembali ke “khotbah di atas bukit,” meskipun secara formal
masih bernuansa Yunani kuno. Melalui Yunani Stoicism, bungkus Kristen
mewujudkan substansi pagan Yunani di era Romawi saat itu.
Kronologis abad modern, berawal berjayanya substansialisasi palsu atas
formasi palsu, yakni keberakhiran wacana teks Skolastik yang ditandai oleh
perubahan dari teologi ke ontologi, filsafat alam ke empirisme, prioritas kehendak
Tuhan ke prioritas kehendak manusia, penyatuan kuasa Gereja dengan kuasa
negara ke pemisahan kedua kekuasaan: sekulerisme. Inilah tanda kemunculan
abad modern. Awal abad ini (masih abad ke-14) di dahului tokoh seperti dens
Scot yang berargumen bahwa pengetahuan bersumber dari indra dan alam diatur
148

oleh hukum sebab-akibat. Eksperiementasi, observasi, dan induksi merupakan


ilmu pengetahuan yang berbeda dari mimpi, khurafat, dan ilusi. Wacana ini
diusung hingga abad modern yang direproduksi oleh pemahaman wacana Bacon,
Mill, Hegel, dan Heidegger. Dalam transisi jaman ini sudah jelas bahwa Hanafi
melihat kecenderungan bahwa sedang bergeser dari agama ke ilmu pengetahuan,
masa lama ke masa baru, dari teosentris ke antroposentris, dari kuasa gereja ke
kuasa akal, dari masa lalu ke masa depan.
Arsitektur modernitas dapat dilihat melalui arsitektur teks pemahaman
tentang Misa ala Romawi paganis yang sebenarnya merupakan ritus agama
Romawi dan upacara kekaisaran yang ditransformasikan ke dalam “perjamuan
Kudus” dalam agama baru dan yang mengakibatkan terhapusnya syi’ar agama
tersebut harus mengakhiri aktivitasnya dan digantikan oleh kesakralan non
Romawi yang sederhana dan didasarkan pada kegiatan pemikiran, kontemplasi
dan doa-doa. Bahasa Latin yang dianggap sakral diganti dengan bahasa Jerman
dan Perancis. Nasionalisme seperti Jerman lebih diunggulkan daripada ritus
agama. Di tangan Luther, Perjanjian Lama dirubah bahasanya dari Latin ke bahasa
Jerman. Luther menolak peran gereja sebagai mediator yang menghubungkan
manusia dengan Tuhan. Luther berargumen keselamatan manusia hanya dapat
dicapai dengan iman bukan dengan amal perbuatan, rahasia, dan ritus-ritus.
Argumen berikutnya menyebutkan bahwa rahmat Tuhan yang didapat manusia
tidak melalui Geraja, tetapi dapat terjadi langsung dari Tuhan ke manusia. Jadi
Gereja diperuntukan untuk jiwa bukan raga. Hakekat agama dibangun langsung
dari injil, bukan dari Gereja. Luther sepakat dengan teori hukum alam,
kecenderugan humanisme, dan perdagangan bebas. Tokoh lainnya seperti Zwingli
dan Calvin berpendapat bahwa Tuhan hadir dalam setiap benda dan dosa asal itu
ada. Ketentuan medahului kehendak Tuhan dan mereka berpendapat bahwa dosa
dapat dihapus melalui cara pertukaran. Calvin adalah aliran Kristen Protestan
yang menyuarakan kebutuhan kelas elit terhadap pemikiran baru dan mewakili
borjuisme masa itu. Kemunculan Calvinisme ini muncul ketika era awal
kapitalisme. Max Weber merupakan penganut Calvinisme yang karyanya, “Etika
149

Protestan” meneguhkan bahwa zuhud, taqwa, dan akhlak mulia mendorong


kapitalisme modern Barat. Inilah sebuah perjalanan awal dari alam modernitas.
Masa modern (kebangkitan) merupakan mata rantai sesungguhnya yang
menghubungkan (patahan/diskontinuitas) abad pertengahan kesadaran Eropa
dengan abad modern. Masa ini sebagai bagian dari sejarah Eropa, sebagai
perwujudan revolusi terhadap masa lalu, sebagai pertanda bagi kemunculan masa
datang, dan sebagai zaman humanisme Barat. Masa kebangkitan dapat diartikan
sebagai kemampuan Eropa dalam memperoleh temuan-temuan di bidang
kemanusiaan, alam, dan agama dengan mengandalkan upaya akal dan kemampuan
melihat alam. Pada masa ini yang memicu ke ranah perkembangan ilmu
pengetahuan modern Barat adalah lima aliran pemikiran: Lorenzo Falla, Picco
della mirandolla, Utopianisme, dan ilmu empiris baru yang berhasil menciptakan
ilmu astronomi, kedokteran, psikologi, dan fisika yang jauh dari apriori dan yang
memberikan ciri khusus kepada abad modern sebagai abad ilmu pengetahuan.
Dari ilmu pengetahuan melebar ke ilmu politik yang didasarkan pada penolakan
terhadap kekuasaan agama, perlunya pemisahan Gereja dan Negara: sekulerisme,
dan perlunya pembangunan masyarakat sipil sekuler yang modern: civil society.
Munculnya Lorenzo Valla yang mengedepankan kebebasan kehendak (free will).
Dari sini, menguatlah kaum reformis yang menginginkan pembangunan
masyarakat sipil (civil society) berdasarkan kebebasan kehendak rakyat (free will
of civilian), dan saat itu Suarez adalah tokoh yang terberani –yang kembali
membentuk aristotelianisme Kristen. Suarez berargumen bahwa esensi fisika
bersifat tunggal bukan karena bentuk atau materinya, tetapi karena satuan-satuan
universalnya. Ruh merupakan dasar yang penting bagi kehidupan seluruh
makhluk biologis, baik secara empiris maupun secara rasional. Suarez
menyimpulkan bahwa kehendak adalah keinginan akal dan kebebasan yang dipilih
(free will). Karenanya manusia harus bertanggung jawab atas perbuatanya. Dalam
bidang politik, Suarez menentang hak-hak ketuhanan bagi raja. Pemikiran
politiknya banyak mempengaruhi Descartes, Spinoza, Leibniz dan Schopenhauer.
Pemikiran politik masa kebangkitan mengambil dua bentuk: realis (realpolitik)
150

yang diwakili oleh Machiavelli dan Utopis yang diwakili oleh Thomas More dan
Campanella.
Pada masa kebangkitan ini, ilmu pengetahuan menjadi aliran utama.
Kehadiran ilmu pengetahuan memberikan bungkus teoritis alternatif dan untuk
menguasai realitas dengan teori-teori yang lebih akurat dari pengetahuan lama
yang secara empiris telah terbukti kesalahannya. Jadi argumennya adalah hanya
manusialah yang mempunyai kehendak untuk berteori bukan Gereja atau agama.
Dengan adanya kemunculan Pompanazzi yang melakukan pembacaan kembali
Aristotelianisme secara materialistik, yang berlawanan dengan filsafat Skolastik.
Adanya kemunculan Telesio yang meneguhkan kembali paham materialisme.
Munculnya astronomi modern yang diciptakan oleh Copernicus dan
pendukungnya Giordano Bruno dan sepemikiran dengan Nicolas de Cusa.
Penutupan inovasi ilmu pengetahuan diakhiri oleh Kepler yang bertema
matematika dan Galileo yang mengedepankan keilmiahan, mengubah ilmu
menjadi matematika, dan ide tentang pemisahan antara teologi dan ilmu. Masa
kebangkitan merupakan keberakhiran satu fase sekaligus dimulainya fase lain
dalam kesadaran Eropa. Akhir fase pendasaran dan awal fase keterbentukan. Masa
kebangkitan telah berhasil menciptakan keterputusan antara masa lalu dengan
masa sekarang; mengubah masa lalu menjadi masa depan; melakukan kritis dan
membebaskan diri dari pengaruh pengetahuan lama yang selama itu menjadi
sumber ilmu dan standar perilaku; teosentrisme berubah menjadi
antroposentrisme; pembahasan tentang keabadian ruh menjadi pembahasan
tentang kareakteristik dan pembentukan raga (materialistik). Sebuah masa
kelahiran fisiologi, biologi, anatomi, dan ilmu kedokteran modern. Kesadaran
Eropa dapat melakukan inovasi baru setelah meninggalkan pengetahuan lama.
Realitas dapat dilihat secara transparan. Bungkus teori yang selama ini
menghalangi pandangan ego terhadap alam telah disingkirkan. Bungkus teori baru
modern ini telah merubah secara radikal bangunan Gereja dengan bangunan baru
negara-bangsa yang bersandar dengan prinsip-prinsip ilmiah.
151

Antroposentrisme adalah kesadaran pagan Eropa. Kesadaran pagan ini


merupakan payung dari ilmu pengetahuan (sains), dominasi akal dari mitos dan
agama, dan seluruh bentuk kebudayaan yang berkaitan dengan proyek
pencerahan: modernitas. Dengan perjanjian politik maka terbentulah EU, berawal
dari Congress of Europe berlangsung (1948), Churchill mengingatkan akan masa
depan benua Eropa yang hancur akibat perang dan menyampaikan visinya akan
European Dream –sebuah perasaan yang hadir pada setiap orang masyarakat
Eropa untuk mengatakan “here I am at home” di Eropa. Pembentukan Treaty of
Rome (1957) memulai mengingatkan kembali perasaan ke-Eropa-an mereka
secara struktural dan legal-formal dalam formulasi European Community. Di
Eropa sendiri diadakan survey oleh World Economic Forum terhadap para
pemimpin Eropa bahwa ternyata 92 persen dari mereka melihat lebih melihat
wajah Eropa dari pada wajah kenegaraan mereka.110 Perjanjian dalam penguatan
formulasi EU terus berlangsung seperti berlangsungnya Maastricht Treaty (1992),
Amsterdam (1997), Nice (2001), Konvensi Eropa (2002) hingga peristiwa
kegagalan referendum konstitusi EU di Perancis dan Belanda. Namun terlepas
dari berbagai macam konflik kepentingan di dalam EU dan masyarakatnya, EU
sebagai sebuah integrasi regional telah berdiri. Proses panjang ini hanyalah wajah
dari formasi nostalgia konflik kepentingan jaman Hellenic dalam wacana
demokrasi. Bagi artikel ini, EU sudah berjalan sebagai sebuah katakan saja
romantisme demokrasi Hellenisme.
Problem modernisme terjadi ketika landasan yang prinsipal berupa rasio
manusia menggerakkan bangsa Eropa saat untuk menaklukkan alam dan manusia
non-Eropa.111 Perkembangan ini berkembang semakin jauh dengan bercirikan
totalitas, yakni penyeragaman (uniformities) atau homogenisasi atas realitas. Oleh
sebab itu, pemahaman tentang makna realitas bagi kaum rasionalis adalah
kebenaran yang objektif –kebenaran yang satu. Dalam tataran praktis, pergerakan
sejarah dunia umat manusia –budaya, hubungan sosial, politik, dan komunikasi

110
Leonard Hutabarat, “Kegagalan Referendum Konstitusi Eropa: ‘Quo Vadis’ Uni Eropa?” dalam
Jurnal Global, Vol. 8, No. 1, November 2005.
111
Milton J. Belasco & Patricia R. Reilly, Basic World History, (Inggris: Cambridge Book
Company), hlm. 127-143.
152

dalam bentuk dan wadah yang sama dan satu. Jadi totalitas ini akan membentuk
konvergensi budaya modern dunia internasional.112 Kritik kaum post-modernist
terhadap wacana modernitas memberikan sebuah kehancuran diri sendiri (self-
destruction). Kritik atas Rasionalitas Eropa (Barat) mengalami nihilisme, karena
melampaui rasionalitas merupakan hal yang mustahil bagi teoritisasi Barat. Salah
satu penginspirasi post-modern, Nietzsche sudah mengumandangkan kematian
Tuhan, kematian ilmu pengetahuan dan kematian bahasa, sehingga dia berbelok
ke mitos pagan Persia.113
Problematika wacana modernisme ini berusaha dipecahkan oleh kaum
post-modernist dan post-structuralist lainnya. Mereka berusaha memaparkan
kondisi dunia post-modern. Dunia ini menampilkan sebuah fenomena dunia
internasional yang absurd sekaligus reasonable, real sekaligus hiper-real, ada
sekaligus tiada, us sekaligus liyan (otherness). Mereka berusaha menampilkan
relasi oposisi biner114 yang berlangsung dalam satu dunia. Pemaparan ini
diungkapkan agar bisa keluar dari kerangka oposisi biner yang tengah menjebak
dunia internasional, sehingga implikasinya menciptakan dunia wilayah
pemahaman: Negara Utara sekaligus Negara Selatan, Negara terbelakang
sekaligus Negara Maju dan Negara Imperial sekaligus Negara Kolonial, Barat
sekaligus Timur, Oriental sekaligus Oksidental.
Jean-Francois Lyotard, dalam karyanya yang kontraversial di kalangan
ilmuwan Amerika dan Perancis, “The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge” (1992) menjelaskan bahwa dalam menghadapi narasi besar –
istilahnya metanarrative atau grand narrative atau master-narrative, kita harus
menciptakan atau memunculkan wacana narasi kecil –istilahnya smallnarrative.
Sebenarnya Jean-Francois Lyotard sudah sejak tahun 1980 menyeru tentang
“incredulity toward metanarratives”, yakni ketidakpercayaan terhadap narasi

112
Tradisi pemikiran ini adalah khas Kantian dan Hegelian yang merupakan salah satu dari
pelopor teori kritis. Sebelumnya sudah penulis jabarkan di sejarah teori kritis.
113
Robinson, op.cit.
114
Semua pemikiran post-structuralist dan post-modernist mengarah pada penjelasan opisisi biner
sebagai kerangka modernisme dan keluar dari modernisme yang berarti keluar dari oposisi biner.
Lihat karya Yasraf Amir Piliang, Hiper-Realitas: Kebudayaan, (Yogyakarta: LKiS, 1999) di
dalam karyanya ini, Yasraf memaparkan konsep dan istilah kaum post-modernist dan post-
structuralist, khususnya konsep oposisi biner.
153

besar. Menurut Lyotard, ketidakpercayaan tersebut merupakan produk kemauan


pengetahuan ilmiah.115 Hal tersebut merupakan dasar dari ketidakpercayaan itu.
Untuk lepas dari ‘lingkaran setan’ itu, alternatif penjelasan terakhir Lyotard
adalah menggunakan analisis bahasa (intertektualitas) sebagai salah satu cermin
dunia. Lebih tepatnya adalah permainan bahasa116 yang dipraktekkan oleh
komunitas kecil –kepastian lokal (local determinism) seperti komunitas lokal.
Wacana metanarrative terdiri dari tradisi pemikiran modernitas dan anti
modernitas. Bagian ini akan dipaparkan lebih jelas dalam kasus wacana
perlawanan (anti-modernitas/anti-globalisasi) atas metanarrative modernitas
(globalisasi/kapitalisme) yang diwujudkan oleh sebuah gerakan perlawanan
terhadap metanarrative modernitas. Kondisi dramatis perlawanan terhadap
metanarrative modernitas terjadi di Genoa (2001), Quebec City (2001), Prague
(2000), Seattle (1999).117 Narasi metanarrative anti-modernitas terhadap
metanarrative modernitas terlihat secara empirik bercerita tentang aktivisme
berbagai negara sebagai warga dunia dalam mengkritik World Trade Organization
(WTO). Semua gerakan resistensi partikular yang bersatu sebagai metanarrative
anti-modernitas ini mengagendakan penghapusan rejim internasional di level
global, karena jika tidak dihapus, maka dunia akan digadaikan kepada para kaum
kapitalis atau borjuis liberalis atau sistem kapitalisme. Namun narasi-narasi
tersebut seringkali berakhir dengan bentrok, anarkhisme dan kondisi chaos.
Contoh narasi lainnya, Geneva pada tanggal 29 November 1999—massa protes,
termasuk di Perancis yang dipimpin oleh presiden Jacques Chirac dalam melawan
globalisasi, WTO, dan putaran millennium negosiasi perdagangan. Sekitar 20,000
orang berdemontrasi di Paris dengan ikon "against the logic of WTO" dan ikon
"the world is not a commodity." Di New Delhi sekitar 300 representatif orang asli

115
Semenjak era filsuf Rene Descartes, Pasca-Copernicus sampai dengan tatanan ilmu
pengetahuan positivisme, tradisi Kantian, Hegelian, dan proyek modernitas puncak yang
ditindaklanjuti oleh kaum teori kritis dari mazhab Frankfurt Jerman.
116
Lihat beberapa karya Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Tractatus Logico-Philosophicus dan
Philosophical Investigations. buku pertamanya menjelaskan tentang pentingnya logika bahasa.
Struktur logika bahasa menentukan struktur realitas dunia. Karya keduanya melanjutkan karya
pertamanya dengan menekankan tentang tata permaian bahasa dan kontektualisasinya pada
realitas. Setiap realitas dan konteks mempunyai tatanan permainan bahasanya sendiri.
117
Robin Broad, Global Backlash: Citizen Initiatives for A Just World Economy, (Oxford:
Rowman&Little Publishers Inc, 2002), hlm. 2.
154

India –tepatnya Sentral Indian State of Madhya Pradesh memprotes Bank Dunia
dan WTO. Selain gerakan itu, representasi dari gerakan National Alliance of
People dan organisasi dari Orissa, Bihar, Uttar Pradesh, Maharashtra and aktivis
dari Delhi juga berpartisipasi dalam demonstrasi tersebut.118 Di Canada ratusan
organisasi telah bergabung dalam aliansi meneriakan Agenda Rakyat (a Citizen’s
Agenda) untuk merebut kembali kontrol-kontrol korporasi-korporasi internasional
terhadap pemerintah. Di Chile dengan Sustainable Chile berusaha melepaskan diri
dari diskursus metanarrative neoliberalisme. Di Cancun, Mexico, 10-14
September 2003, mobilisasi untuk melawan WTO pun sudah berproses sejak 15
Desember 2002. Di Mexico City pada tanggal 15 dan 16 of November dan
mengadakan strategi untuk mendiskusikan pendekatan kita pada pertemuan 5th
Ministerial Meeting of the World Trade Organization.
Semua gerakan anti metanarrative modernitas menentang kebijakan
metanarrative modernitas akhirnya menimbulkan kerugian bagi warga dunia
sendiri, karena begitu banyak korban yang jatuh dan tindakan kekerasan pun
kerap terjadi. Jadi premis yang muncul dari oposisi biner rasio modernitas:
semakin kuat gerakan-gerakan metanarrative modernitas menancapkan
wacananya di dunia internasional, semakin kuat pula gerakan metanarrative anti-
modernitas memprotes, menghujat, mendemo, dan mengkritisi wacana itu.
Peristiwa ini memberikan gagasan agar bisa keluar dari oposisi biner
metanarrative rasio modernitas. Oleh sebab itu, kasus wacana Community
Supported Agriculture (CSA) bisa memberikan alternatif yang dinamakan sebagai
smallnarrative, yakni komunitas pertanian di Amerika Serikat. Ilustrasi singkat
dari CSA adalah sebuah komunitas yang memanfaatkan potensi alam dan
bersahabat dengan alam, tanpa memeras, mengeksploitasi dan mengakapitalkan
alam.ruang lingkupnya terfokuskan paa aspek pertanian sebagai bentuk awal dari
peradaban. Wacana CSA memberikan pemahaman unik, khususnya

118
http://www.twnside.org.sg/title/delhi-cn.htm. Jika ingin menghubungi gerakan anti-globalisasi
hubungi suns@igc.org. diakses pada tanggal 7 Maret 2005, pukul 19.47 wib.
155

membahasakan teksnya, dalam memahami tentang sistem ekonomi, relasi


manusia dengan alam dan tafsir terhadap alam dan dunia.119
Wacana CSA memberikan displacement yang cukup unik dan signifikan
di dunia pascamoderen: pertama, dari aspek epistemologi/pengetahuan, wacana
metanarrative modernitas berupa metodologi positivisme dikonstruksikan ke
metodologi fenomenologi. CSA menunjukan pergeseran hubungan antara subjek
pengetahuan (petani) dan objek (pengetahuan) ke pemahaman kesatuan
pengetahuan subjek. Secara empirik, petani dan pengolah pertanian berhubungan
dengan alam—ruang CSA, tanah, bibit, dan semua bentuk yang dihadapinya
menjadi subjek pula. Hubungan tersebut menghilangkan pemisahan antara subjek
dan objek, sebaliknya menjadi penyatuan petani dengan alam. Lain halnya
metodologi metanarrative modernitas yang menganggap bahwa alam sebagai
objek yang terpisah dari subjek (pengetahuan) dan menganggap alam sebagai
objek material (pengetahuan) yang objektif. Dalam konteks ini kita bisa lihat
tradisi pemikiran HI rasionalisme yang menggunakan pendesaran rasio Eropa,
baik metode induksi maupun metode deduksi, baik atas dasar verifikasi maupun
atas dasar falsifikasi. Tradisi pemikiran seperti ini justru mengakibatkan
kehancuran alam dan ketimpangan hubungan antara manusia dan manusia. Kaum
rasionalis mempunyai pandangan bahwa alam dan demikian juga manusia yang
dijadikan sebagai objek, maka secara legal-formal dan normal sudah seharusnya
dieksploitasi, dikontrol dan dikuras habis-habisan untuk kebaikan subjek
pengetahuan. Terkait dengan formasi diskursif ini, wacana CSA menggunakan
metode eksistensial: prereflektif dan reflektif, sehingga wacana CSA cukup dalam
pemahamannya, artinya bukan melihat sesuatu atas dasar rasio dan unsur-unsur
yang berasal dari luar (out there)–materialisme dan realisme, tetapi unsur-unsur
dari dalam diri manusia sendiri–eksistensial, sehingga alam pun demikian juga
manusia dihadapkan dan diperlakukan sebagai dirinya sendiri.

119
http://geologyandgeography.vassar.edu/projects/saed/Espar.htm, tanggal 9 Maret 2005, pukul
19.20 wib.Lihat juga Daniel Imhoff, Community Supported Agriculture: Farming With a Face on
It, dalam Jerry Mander dan Edward Goldsmith (ed) The Case Against The Global Economy and
For a Turn Toward The Local, (San Fransisco: Sierra Club, 1996) dan
http://www.nativityepiscopalchurch.org/scene/summer2003/july03_files/page0002.htm, diakses
pada tanggal 9 Maret 2005, pukul 19.20 wib.
156

Kedua, dari aspek ontologi, wacana metanarrative masih melihat alam


sebagai keberadaan material–sebuah alat dan fungsi untuk dikuras, dieksploitasi,
dan memenuhi kebutuhan subjek (pengetahuan), seperti kaum (neo) realis yang
berusaha mengontrol manusia satu dengan yang lainnya dengan tindakan strategis,
kaum (neo) liberalis yang berusaha mengontrol alam dengan tindakan
instrumental. Sebaliknya, wacana CSA justru melihat alam sebagai sesuatu yang
sangat spiritual, artinya mempunyai makna yang cukup eksistensial, sehingga
melihatnya lebih pada peristiwa mistis keseharian. Ontologi alam ditafsirkan
sebagai tubuh subjek (pengetahuan) sejarah bersama alam. Dengan demikian,
muncul sebuah pemahaman, seperti apabila tanah CSA dialiri bahan kimia,
tanaman disemprot pestisida, dan menghasilkan hasil panen dari bibit genetik,
maka para petani dan konsumen CSA sama halnya telah meracuni dirinya sendiri
dan secara perlahan membunuh dirinya sendiri.
Ketiga, dari aspek aksiologi, wacana metanarrative modernitas masih
mempertahankan bahwa kesenangan berasal dari luar–nilai-nilai hedonisme dan
sains yang menganut prinsip bebas nilai. Wacana semacam ini mengakibatkan
kehampaan manusia modern (nihilisme), kerusakan alam, kekerasan struktural,
dan kepalsuan hidup–istilahnya Boudrillard adalah hiper-reality. Wacana CSA
memberikan sebuah pemaknaan kembali secara mendalam terhadap dunia-
kehidupan, yakni adanya aktivitas sosial berupa voluntarisme, saling merawat,
salaing memahami, baik sesama manusia maupun alam yang bagian dari manusia,
saling membantu (gotong royong), pencarian diri yang otentik. Teks bebas nilai
kaum rasionalis HI dirubah oleh teks CSA menjadi nilai yang sangat subjektif
dalam diri manusia untuk memperoleh eksistensi diri. Aktivitas ini adalah
fenomena etis baru yang terkadang dalam kearifan lokal muncul sebagai tawaran
etika partikular dan inspiratif.
Praktik perekonomian di CSA, produksi CSA tidak diarahkan pada
industrialisasi dan kuantitas hasil pertanian besar-besaran yang kemudian
diekspor, dan di data statistik seperti halnya aturan main rejim internasional, tetapi
mengacu pada keanekaragaman hayati, kesegaran, kealamiahan, dan memenuhi
standar kesehatan mereka secara komunal atas dasar nilai-nilai etis mereka.
157

Demikian pula kaum CSA yang tidak memposisikan dirinya sebagai kaum
kapitalis atau enterprener (subjek ekonomi) yang melakukan eksploitasi aset alam,
khususnya lahan pertanian, petani dan buruh, tetapi kaum CSA adalah ras manusia
seutuhnya. Kaum CSA memelihara aset tanah sebagaimana merawat dan
melestarikan tubuhnya sendiri, dan hubungan produser dengan konsumen pun
terjadi kesepakatan-kesepakatan dalam mengembangkan keanekaragaman hayati
sebagai prioritas utama atas dasar kesepakatan melalui proses saling tukar
menukar pengetahuan, self-understanding. Konsumsi CSA pun cukup
memberikan sumbangsih peranannya dalam menentukan produksi pertanian dan
terkait pula dengan konsekwensi-konsekwensi atas hasil panen. Sebaliknya
wacana metanarrative modernitas yang mengaklaim terhadap proses yang
progress, percaya terhadap kemajuan, perkembangan dan hidup yang lebih baik
justru jatuh pada kondisi yang tidak jelas, seperti tidak jelas orang yang
memproduksinya, tempat produksinya dan konsumen ditentukan oleh produser
yang tak nampak dan tak berhubungan langsung. Dalam diskursus metanarrative,
produser adalah subjek penentu pengetahuan dengan dualisme Cartesian yang
menutup kemungkinan konsumen untuk mengembangkan gagasan-gagasan
tentang produksi pertanian. Teks tersebut membawa wacana metanarrative ini
lebih mengutamakan faktor memenuhi standarisasi rejim internasional seperti
WTO. Arahnya pada ekspansi pasar dan ekspor-impor hasil panen untuk
menaikan data statistik perekonomian Negara, sehingga konpetisi tetap bergerak
ke arah yang menurut klaim mereka maju dan progresif menuju kebaikan
bersama. Berbeda dengan komunitas kaum CSA yang hanya bergerak dalam level
komunitas lokal dan meenuhi penghayatan kehidupan mereka, yakni harmonisasi
manusia dan alam. Distribusi hasil panen sebagian besar diputar dalam komunitas
CSA dan sebagian kecil dijual di supermarket terdekat. Distributor komunitas
CSA dapat dikatakan tidak ada, karena hubungan yang terjadi adalah hubungan
langsung antara petani dan konsumen. Hal ini berbeda dengan hubungan produsen
dan konsumen dalam kerangka liberalisme. Kerangka ini menjadikan faktor
produksi susah untuk diidentifikasikan oleh konsumen. Konsumen tidak melihat
faktor produksi itu diolah dan didistribusikan.
158

Narasi alternatif wacana CSA ini adalah teks yang berusaha keluar dari
mainstream metanarrative. Dari aspek pertanian, formasi diskursif CSA dapat
mengkritik tradisi pemikiran metanarrative di HI, seperti kritik terhadap formasi
diskursif strategisnya (neo) realisme, rasio instrumentalnya (neo) liberalisme,
rasio kritisnya (neo) marxisme, rasionalisme, konstruktivisme, teori internasinal
kritis dan kaum post-modernist nihilis. Semua pijakan mereka adalah formasi
diskursif Barat, khususnya wacana CSA yang masih mempunyai wajah Barat,
belum wajah Timur. Dengan kata lain, wacana CSA hanyalah sebuah teks kaum
komunitas Amerika Serikat yang berusaha melawan tanpa kekerasan gerakan
metanarrative (modernitas/anti-modernitas) yang ada Di bawah ini, penulis akan
menjelaskan tentang wacana alternatif seperti model CSA untuk keluar dari teks
opisisi biner: metanarrative modernitas dengan anti metanarrative modernitas,
tetapi dalam kerangka studi pascakolonialisme. Studi ini mempunyai keunikan
tersendiri, karena mengangkat kaum marginal, kaum terpinggirkan, kaum yang
diklaim atau dianggap gila, aneh, ganjil, irasional oleh kuasa dominan
pengetahuan di era sekarang ini dari wilayah yang selama ini terkoloni oleh kaum
imperalis di Barat. Nampaknya kaum kolonial ini, sekarang sedang berusaha
‘melukis’ dirinya, tanpa adanya campur tangan ‘pelukis’ dari Barat atau kaum
orientalis. Berdasarkan pijakan karya Edward Said, Orientalism (1979) dan
ilmuwan pascakolonialisme, bagian ini akan menjelaskan lebih mendalam tentang
studi pascakolonialisme.
Studi pascakolonialisme di bawah ini akan mengusung suara
terbungkamnya kaum saminis dari Timur, Negara Dunia Ketiga, Indonesia. Studi
ini adalah representasi dari wacana Negara Dunia Ketiga seperti Indonesia agar
akar wacananya dapat terrepresentasikan dan di masa depan mempunyai
kemungkinan menjadi sebuah landasan tradisi pemikiran HI Indonesia. Mungkin
juga tradisi school of thought HI Indonesia berusaha diawali dengan studi ini.
Studi ini berbeda dengan wacana CSA dan pascakolonialisme HI Amerika
Serikat, sebab otentisitas ke-Timur-an berusaha disuarakan, sehingga
partikularisme pemikiran HI Barat dapat diperlengkapi dengan partikularisme
pemikiran HI Negara Dunia Ketiga. Untuk dapat keluar dari opisisi biner Barat-
159

Timur, sebenarnya kita sudah melihat pluralisme dalam tradisi pemikiran HI,
seperti perbedaan formasi diskursif pemikiran HI Amerika Serikat dan Eropa yang
beragam, memperlihatkan kepada kita bahwa perbedaan antara Barat dan Timur
tidak beralasan. Dengan kata lain, keberagaman tradisi pemikiran HI tidak hanya
berakar dari tradisi Barat, tetapi tradisi pemikiran HI bisa muncul dari formasi
diskursif India, Cina, Islam, Malaysia dan Indonesia. Hal ini sangat penting agar
perkembangan tradisi pemikiran HI dapat terus bergejolak, bergerak, dinamis dan
terus berkreasi. Selain itu, tradisi ini memunculan solusi alternatif yang beragam,
bukan homogen seperti sekarang—yang didominasi oleh tradisi pemikiran
Amerika Serikat dan Eropa kontinental. Di bawah ini, penulis hanya akan
merepresentasikan salah satu wacana unik, yang mempunyai potensi bagi SHI di
Indonesia untuk berkembang. Selain perkembangan studinya, perkembangan
tradisi pemikirnya pun akan lebih terbuka wawasannya, sehingga partikularisme
tradisi pemikiran HI Amerika Serikat dan Eropa Kontinental dapat dipatah.
Dengan kata lain, smallnarrative tradisi pemikiran HI yang selama ini ditindas,
dibungkam, dikubur, dihegemoni dan didominasi oleh tradisi pemikiran HI
Amerika Serikat dan Eropa Kontinental bisa disepadankan atau posisinya menjadi
egeliter dengan tradisi-tradisi pemikiran HI lainnnya—yang baru dimunculkan
setelah sekian lama hilang, beku.
160

IV
ALTERNATIF STUDI PASCAKOLONIALISME
DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

Problem modernitas yang dipaparkan sebelumnya tampaknya mengalami


kebuntuan epistemologi. Hal tersebut karena tradisi pemikiran Barat terjebak apa
yang disebut dengan rasionalitas. Implikasinya realitas dimaknai tunggal dalam
kerangka metafisik seperti premis 1+1=2. dalam konteks dunia manusia, premis
tersebut tiak berlaku dan sungguh merupakan sebuah kenaifan bagi manusia untuk
membatas-batasi dirinya sendiri. Problem modernitas yang terjebak dalam ranah
rasio ini dinamakan juga sebagai lingkaran hermenutika. Probelm ini dapat
dipecahkan dengan studi pascakolonialisme. Studi ini tidak berusaha melihat
segala sesuatu dengan ranah rasio Barat, tetapi berusaha menyuarakan ranah
‘rasio’ spasial lainnya. dalam tesis ini, penulis berusaha menyuarakan ranah’rasio’
spasial Indonesia. Penulis sebagian besar mengambil karya Mudji Sutrisno dan
Hender Putranto, Hermeneutika Pascakolonial (2004) dalam mengartikulasikan
tradisi pemikiran pascakolonialisme.
Seluruh bagian ini memaparkan secara khusus tentang tradisi pemikiran
pascakolonialisme sebagai representasi tradisi Dunia Ketiga atau wakil dari tradisi
pemikiran Timur, khususnya dari Indonesia di studi hubungan internasional
(SHI). Dengan demikian, wacana kelokalan dapat terangkat ke tatanan global
secara interteks sebagai sebuah perjuangan teks-teks yang terkubur, terbungkam
dan tersingkirkan. Wacana Indonesia yang penulis akan paparkan adalah tradisi
pemikiran teks Saminisme. Sesuai dengan pendekatan arkeologi, wacana ini
merupakan salah satu rantai pemutus wacana modernisme yang sifatnya rasional,
bergerak linier dan dialektis dari tradisi pemikiran modern Barat Hegelain. Oleh
sebab itu, tesis ini mengilustrasikan wacana politik dunia ini sebagai sebuah
kondisi yang bersifat acak, yakni adanya momen kemunculan wacana-wacana
tertentu dari titik-titik tertentu—bukan dari satu titik misalnya Barat saja sebagai
poros (core) yang selanjutnya menyebar ke seluruh tatanan dunia sebagai
mimesis-nya. Wacana saminisme ini sangat relevan untuk direpresentasikan dan

160
161

dimungkinkan bisa sebagai ‘alat baca’ atas dasar formasi struktur


pengetahuannya, baik dunia internasional maupun salah satu instrumen yang
mengajak ‘dialog’ dengan wacana Barat serta sebuah kemunculan wacana dari
titik non-Barat. Bentuk ini merupakan ‘dialog’ peradaban antara Barat-Timur,
sehingga selubung will to power terbuka untuk mengarah pada hidup co-existence
dan self understanding serta egaliterarianisme satu entitas dengan entitas yang
lainnya.
Bagian ini akan terbagi menjadi dua: pertama, pemaparan tentang definisi
pascakolonialisme dan memaparkan signifikansinya di SHI. Kedua, pemaparan
studi pascakolonialisme di Indonesia tentang ralasi antara Indonesia dan tatanan
lingkungan global. Ketiga, memberikan practical knowledge, yakni mengambil
kasus wacana Saminisme sebagai wacana indonesianis dalam SHI.

IV. 1. Konseptualisasi Studi Pascakolonialisme


Akhyar Yusuf Lubis dalam Dekonstruksi Epistemologi Modern di bagian
bab-bab terakhir menjelaskan tentang teori pascakolonialisme.120 Secara
etimologi, Lubis menjelaskan istilah pascakolonialisme dengan menekankan pada
konsep colonia, yakni berasal dari jaman Romawi yang berarti “tanah pertanian”
atau makna lainnya berarti “pemukiman.” Istilah ini sesuai dengan pemaknaan
sejarah jaman Romawi dahulu. Orang-orang Romawi yang tinggal di negeri-
negeri lain. Lubis juga mengambil rujukan dari Oxford English Dictionary dalam
penjelasannya. Referensi ini menjelaskan koloni sebagai suatu komunitas di
dalam negeri baru; terbentuknya komunitas yang masih loyal, berhubungan
dengan wilayah asalnya; pemukiman asli beserta keturunannya, penggantinya
yang masih mempunyai ikatan dengan asalnya.
Lubis mengutip pemahaman Ania Loomba tentang konsep kolonialisme
(colonialism). Sebelumnya pemahaman kolonialisme tidak dimaknai sebagai ide
penindasan, penaklukan dan marginalisasi entitas tertentu. Namun masalah hadir
ketika terjadi pembentukan sebuah komunitas yang ada di spasial area tertentu

120
Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,
2006), bagian keempat.
162

melalui praktik-praktik penjajahan dengan media perdagangan, penjarahan,


negosiasi, perang, pembunuhan missal, perbudakan, pemberontakan, pemaksaan
budaya penjajah, dll. Peristiwa ini diabadikan melalui narasi interteks seperti
karya-karya sejarawan, catatan pribadi seseorang, dokumen, arsip, manuskip,
karya sastra, karya ilmiah, dll. Praktik-praktik ini menjadi suatu studi khusus yang
justru mengalami institusionalisasi, sehingga bagi para ilmuwan dan peneliti yang
berminat memunculkan studi kolonialisme dan studi pascakolonialisme. Menurut
Lubis, praktik-praktik kolonialisme ini tidak hanya berupa penaklukan dan
penguasaan tanah oleh kuasa Eropa terhadap Asia, Afrika dan Amerika sejak abad
ke-16, tetapi lebih luas dimaknai sebagai penaklukan yang dilakukan oleh
kekaisaran Romawi, bangsa Mogul, Cina, dll. Perubahan pemahaman tentang
kolonialisme dibawa oleh kuasa Eropa yang mengubah seluruh dunia sejak jaman
pencerahan. Kuasa Eropa mempunyai praktik-praktik kolonialisme yang cukup
berbeda dengan para penakluk atau kolonial sebelumnya.
Gading Sanipar dalam “Mendefinisikan Pascakoloialisme?” memahami
Loomba dari sisi lainnya, berbeda dengan Lubis. Sanipar justru mengutip teks
Loomba yang mengkritik studi pascakolonialisme selama ini sebagai suatu
kejelasan terhadap studinya. Saniper mengutip Loomba yang menjelaskan bahwa
studi pascakolonialisme itu sebaiknya jangan terlalu sering keberja pada
pengertian bahwa kolonialisme adalah satu-satunya sejarah dari masyarakat-
masyarakat tersebut. Namun sebaiknya menegok pula sejarah yang tengah diukir
sebelum ‘pemerintah’ kolonialnya, sehingga terjadi suatu pemahaman a-historis
yang terungkap di wilayah jajahan (koloni), ketika kaum kolonialis itu berusaha
memotong tradisi sejarah (pemikiran) koloni tersebut sebagai pipa penerus tradisi
sejarahnya (pemikirannya/budayanya). Dengan demikian, benturan antara tradisi
sejarah pemikiran sebelum dengan tradisi pemikiran yang tengah ada yang
kemudian berlangsung terus dapat ditengeri (ditandai). Hal ini sangat signifikan
dan penting agar para kolonialis (baca: Barat) tidak disalahkan—toh jika
disalahkan pun tidak sepenuhnya.121 Hal ini senada dengan pemahaman Marx

121
Gading Sianipar dkk., “Mendefinisikan Pascakolonialisme?” dalam Hermenutika
Pascakolonial, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 8.
163

tentang kemunculan praktik-praktik kolonialisme sebelum dan ketika jaman


(sistem) kapitalisme hadir di Eropa.
Lubis memaparkannya bahwa pemahaman Marx tentang keunikkan kuasa
kolonial Eropa pun dijelaskan oleh Loomba dengan baik. Dia menjelaskan bahwa
praktik kolonial model sebelum Eropa masih dipengaruhi oleh praktik-praktik
diskursif di jaman pra kapitalisme, sehingga penguasaan para penakluk hanya
pada sumber-sumber material berupa sumber alam seperti tanah, pembayaran
upeti dan rempah-rempah. Praktik-praktik diskursif di jaman kapitalisme Eropa
justru melebar ke tatanan sistem perekonomian, sistem kenegaraan, sistem budaya
dan kehidupan kesehariannya, sehingga muncul praktik-praktik perbudakan,
pegawai/buruh kontrak, faktor produksi, distribusi dan konsumsi dan simbol uang
menjadi suatu barang yang signifikan. Sedangkan Said yang akan disinggung di
bawah lebih luas lagi menjelaskan bahwa Eropa (1914) telah menguasa 85%
wilayah bumi ini sebagai koloni, perlindungan, dominasinya dan
persemakmurannya. Oleh sebab itu lahirlah studi pascakolonialisme, yakni
muncul istilah post yang dihubungan dengan istilah kolonialisme setelah sekian
lama sejarah menorehkan praktik-praktik penaklukan atau kolonialisme.122
Istilah post yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai pasca
memang mudah dilakukan selama ini mengandung makna transisi suatu periode
atau epoch saja, tetapi jika istilah itu menjadi makna yang lebih kompleks lagi,
maka istilah itu sebaiknya tetap ditulis apa adanya. Banyak entitas yang ditandai
dalam memaknai istilah post. Hal ini identik dengan problem istilah post dalam
post-modernism. Dalam konteks ini istilah awalan “post” menimbulkan banyak
perdebatan: Lyotard dan Gellner memahaminya sebagai pemutusan hubungan
pemikiran yang total dari segala yang berbau atau bernuansa modern; David
Griffin memaknainya sebagai koreksi entitas-entitas tertentu saja dalam spasial
kemodernan; Baudrillard, Derrida dan Faucault memaknai sebagai bunuh diri
modernitas terhadap dirinya sendiri; Giddens memaknainya sebagai proses
kontemplasi dari diri kemodernan; Habermas memaknainya sebagai proyek

122
Lubis , op.cit., hlm. 204.
164

modern yang belum selesai.123 Istilah post ini juga menandakan sebuah serangan
kaum seniman terhadap seni-seni modern yang mengklaim sebagai karya avant-
garde (1920an)—khususnya Dada dan surealisme, juga konstruktivisme, dkk.
Namun Scott Lash tidak mempercayai pandangan sejarawan kritis Peter Bürger di
atas ini. Argumen Lash justru sepakat dengan pemahaman Walter Benjamin di
mana semua seni mempunyai aura, tetapi berbeda-beda. Wilayah modern dan
wilayah post-modern mempunyai aura yang berbeda, tetapi tetap mempunyai
aura. Jadi tidak berarti seni modern bersifat tanpa aura atau mempunyai nilai seni
yang kering. Dengan kata lain, seni modern tidak berarti tidak unik dan hampa,
sedangkan seni post-modern menampilkan sebaliknya, tetapi mereka keduanya
sama-sama unik saja.124 Post dalam konteks pemaparan di atas mempunyai
implikasi luas dan praktik diskursif yang berbeda-beda. Lubis memaparkan
beberapa karya: Frederic Jameson, Postmodernism, or the Cultural Logic of Late
Capitalism (1984) dan pemikiran Anthony Appiah serta Seyle Benhabib sebagai
ilustrasi lebih luas tentang pemahaman istilah post. Jameson mengilustrasikan
bahwa budaya [post-] modern mempunyai konsekwensi kemajuan sekaligus
kehancuran. Appiah mengilustrasikannya dengan kemunculan problem tentang
permasalahan etis, politis, etnis, kuasa, norma, moral dan budaya, khususnya
menaruh perhatiannya pada persoalan historiografi dan pemahaman diri dalam
politik reprsentasi125 kebudayaan dengan variasinya masing-masing spasial. Seyla
Benhabib mempermasalahkan konsep etis dengan studi pascakolonialisme, sebab
problem etis akan terjadi ketika etika kolonial berbenturan dengan etika koloni.
Pertanyaan retorik yang dilontarkan: bagaimana post dalam pascakolonialisme?
Menurut Lubis, istilah post dalam pascakolonialisme berpijak model
berpikir dualis Barat. Pola berpikir ini sudah ada sejak Plato, jaman Yunani Kuno,
jaman abad pertengahan—publik vs privat; masyarakat vs individu; sains vs
agama; rasional vs irasional; laki-laki vs perempuan, lalu Descartes di jaman

123
I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: tantangan bagi filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996),
hlm. 24. Bambang juga menjalaskan lebih luas tentang kemunculan teks postmodernisme di hlm
25.
124
Scott Lash, the Sociology of Postmodernism, terj (London: Rout1edge, 1990), hlm. 64.
125
Proses denaturalisasi atau dedoxatization dengan mengadopsi beberapa ide dari ahli semiotik
Barthes. Lihat Linda Hutcheon, The Politics of Postmodernism, terj (Yogyakarta: Jendela, 2004).
165

pencerahan melontarkan ide: res cogitans vs res extensa. Model ini dipahami juga
sebagai model berpikir oposisi biner.126 Konsep ini semakin berkembang di
wilayah studi pascakolonialisme dengan mempertentangkan dua istilah: oriental
vs occidental, Timur vs Barat, Subjek vs Objek, pengamat vs yang diamati,
peneliti vs yang diteliti, teori vs praktik dan self vs the other. Edward Said sebagai
salah satu pencetus studi pascakolonialisme melalui pembongkaran karya
ilmuwan Barat seperti Eliot, Conrad, Mann, Proust, Woolf, Lawrence dan Joyce
dengan bantuan pendekatan Foucault. Lubis membacakan pemahaman Said
tentang tradisi pemikiran opsisi biner Barat. Said tidak menyepakati tradisi
pemikiran ini. Bagi Said, tradisi pemikiran ini justru merendahkan tradisi
pemikiran Timur sebagai konstruksi sosial-budaya dari will to power Barat (baca:
Eropa). Mereka menganggap bebas nilai dan objektif, tetapi dibalik teks karya
yang sifatnya bebas nilai dan objektif justru bermuatan will to power terhadap
spasial Timur.127 Pendekatan Said dipahami oleh Lubis berpijak dari tradisi
pemikiran Foucault, Derrida dan Gramsci sebagai dasar dari studi
pascakolonialisme-nya. Sikap ilmuwan Barat bagi Said tidak lebih sebagai sebuah
kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur. Said membongkar karya-karya
orientalis dengan menunjukkan ruang bias, ruang kepentingan, kekuasaan yang
terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan oleh tradisi pemikiran Barat.
Kaum pascakolonialisme menolak anggapan, klaim, tradisi pemikiran Barat yang
merendahkan masyarakat dan tradisi pemikiran Timur sebagai sikap Barat yang
narsis, hegemonik, naïf dan imperialis.128
Pemahaman “post” dan “colonial” bagi Sianipar tidak jauh berbeda
dengan Lubis. Sebagai penegasan aja, dia memaparkan terlebih dahulu istilah
colonial yang berasal dari bahasa Latin: colonia = tertanian; pemukiman. Dengan
langsung dan tegas, dia menafsirkan etimologi tersebut sebagai penaklukan dan
penguasaan atas tanah (lemah) dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang.
Sebagai contoh, kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol ke wilayah Nusantara
ini megakibatkan benturan, perseturuan dan peperangan antara penduduk asli
126
Lubis, op.cit., hlm. 208.
127
Edward Said, Orientalism, terj (Bandung: Pustaka, 1996).
128
Lubis, op.cit., hlm. 210.
166

dengan para pedagang atau pendatang. Hal ini menciptakan hubungan imajinatif
psikologis seperti trauma, ketakutan, kegelisahan dalam ruang-ruang sejarah
manusia, khususnya penduduk asli dan penduduk baru datang. Sejarawan dari
Australia menjelaskan tentang imajinasi ketakutan, trauma kegelisahan orang-
orang Australia terhadap bangsa Cina.129 Sianipar menegaskan tentang kolonialis
Cina, yakni saat itu adalah bangsa besar yang mempunyai wilayah luas dahulu
melebihi kekaisaran Eropa. Kuasa ini diukur salah satunya dengan pembayaran
upeti kepada kaisar. Dia juga mencontohkan kolonialis seperti Romawi, kerajaan
Incha dan kekaisaran Mongol sebagai kaum kolonialis.130
Di atas adalah penjelasan tentang istilah “post” dan “colonial/ism.”
Dalam karya Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon, Cultural Studies: for
beginners (2001)131 menjelaskan tentang istilah pascakolonialisme sebagai sebuah
“studi” pascakolonialisme yang cukup berbeda, karena studi ini ternyata susah
untuk berdiri sendiri, tetapi selalu melekat dengan/bersama dengan studi budaya.
Dengan kata lain, sebagai suatu studi, tentunya studi ini mempunyai suatu wadah
tertentu yang terinstitusionalisasi, sehingga dalam aktivitasnya, studi ini bisa
diakui sebagai objek kajian ilmu dan mempunyai nilai ilmiah. Dengan menjadi
bagian dari studi budaya, maka studi pascakolonialisme menjadi suatu kajian yang
baru, unik dan menarik dalam memahami realitas dunia. Dengan kata lain, mereka
melihat bahwa studi pascakolonialisme merupakan bagian dari studi budaya
(cultural studies) yang mempunyai objek kajian tertentu dan mempunyai
wlayahnya yang unik—tidak dimiliki oleh studi lainnya. Dengan demikian
menurut mereka, sebelum memahami studi pascakolonialisme setidaknya kita
perlu mengetahui studi budaya.
129
David Reeve, Seminar and Book Launching dalam sesi “People to People Relations,” Different
Societies, Shared Futures: Australia, Indonesia and the Religion, hari selasa, 4 Juli 2006.
130
Sianipar, op.cit., hlm. 9.
131
Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon, Cultural Studies: for beginners, terj (Bandung: Mizan,
2001). Lihat juga Chris Barker, Cultural Studies: theory and practice, terj (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2004). Dalam karya Barker ini nampak terlihat jelas pendekatan studi budaya memayungi
semua tradisi budaya pemikiran modern dan klasifikasinya. Pada pengantarnya, Paul Willis
mnejelaskan karya ini cukup bagus, karena menjabarkan ruang lingkup teoritis, metodologis,
pendekatan, fakta empirik yang mudah kita untuk memilih. Signifikannya adalah memahami dan
mempelajari basis-basis supra-disipliner dan menyodorkan anarkhisme teoritis dan intelektual.
Karyanya ini mengubah status keistimewaan semua disiplin ilmu di era modern. Karya ini adalah
revolusi pengetahuan atas strategi intelektual dalam melihat realitas dunia.
167

Mereka menjelaskan bahwa studi budaya merupakan kajian yang


menggantikan masyarakat sebagai subjek telaahnya. Studi budaya hadir sangat
kuat dalam karya humaniora, ilmu-ilmu sosial, sains dan teknologi. Istilah studi
mengarahkan pada bidang yang lebih luas. Ambiguitas konsep budaya begitu
beragam. Definisi budaya datang dari seorang antropologi Inggris, Sir E.B Tylor
(1832-1917); seorang antropolog Amerika Serikat, Margaret Meed (1901-1978);
dan pendiri studi budaya sendiri, Raymond Williams (1921-1988); ilmuwan
sosial, Clifford Geertz (1926). Atas dasar beberapa definisi mereka, studi budaya
membahas segala sesuatu dengan subjek berpijak pada budaya alam artian yang
luas. Studi budaya meramu berbagai macam disiplin ilmu sosial, seluruh cabang
humaniora dan seni. Studi budaya memayungi semua studi lama dan membahas
studi lama. Dia berberak lintas disiplin, lintas metodologi dan melingkupi studi
pemikiran intelektual, akademisi, praktisi dari disiplin lama sampai dengan studi
baru seperti (epoch) pasca modernisme dan pasca strukturalisme. Oleh sebab itu,
studi budaya bukan sebuah disiplin ilmu. Studi budaya adalah wadah bagi semua
intelektual, akademisi, komunitas pemikir yang sangat beragam dan seringkali
bersitegang, yang menggeluti berbagai macam persoalan di dunia, tentunya
mempunyai posisi teoritis, metodologi dan politik yang berbeda. Jadi studi budaya
berusaha melamapaui disiplin ilmu–cara penelitian yang tidak mengikuti baju
pengekang disiplin-disiplin yang terlembaga. Studi budaya ini merupakan proyek
kreatif agar kebebasan berpikir terwujud dengan penjelajahan interkstualitas dan
petualangan wacana. Secara epistemologi, studi budaya memang susah untuk
didefinisikan, tetapi studi ini bisa dilacak melalui pemahaman sejarah, sehingga
memberikan telaah yang berciri tertentu, yang biasanya bisa diidentifikasikan dari
aspek tujuan penelitiannya.
Karakteristik studi budaya: pertama, bertujuan mengkaji praktik-praktik
kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan. Hakikat tujuan studi budaya
adalah menguak hubungan kekuasaan dan mempelajari pengaruhnya terhadap
praktik-praktik kebudayaan. Kedua, mengkaji budaya yang lebih kompleks tidak
hanya terjebak pada aspek budaya sendiri, aspek sosial ataupun aspek politik.
Dalam hal ini, studi ini menganalisa konteks sosial dan politik tempat budaya
168

mengejawantahkan dirinya. Ketiga, budaya dalam bentuk studi budaya


menampilkan dua fungsi: budaya merupakan objek analisis sekaligus lokasi
sebuah tindakan dan kritisisme politik. Jadi arahnya kepada usaha pagmatis dan
intelektual. Keempat, mengkaji pembongkaran atau berusaha untuk menguak dan
mendamaikan arogansi ilmu pengetahuan dalam bentuk disiplin ilmu dan
pengotakan ilmu pengetahuan, mengatasi perpecahan antara bentuk pengetahuan
yang tidak tersirat (pengetahuan lokal). Kelima, studi budaya melibatkan dirinya
dalam mengevaluasi moral masyarakat modern dan dengan garis radikal tindakan
politik. Studi budaya menciptakan tradisi kajian yang mempunyai komitmen bagi
rekonstruksi sosial dengan melibatkan diri dalam kritik politik. Dengan demikian,
studi budaya memahai dan mengubah struktur dominasi di mana-mana, tetapi
secara khusus lagi dalam masyarakat modern: kapitalis industrial.
Menurut Sardar dan Van Loon, berdasarkan dengan ranah studi budaya,
maka studi pascakolonialisme memfokuskan pada fakta sejarah budaya kolonial
Barat, khususnya Eropa yang membentuk hubungan Barat dan non-Barat setelah
bekas koloni-koloni meraih kemerdekaan. Pascakolonialisme menunjukkan
kelanjutan proses perlawanan dan rekonstruksi budaya oleh non-Barat dan
mengeksplorasi pengalaman pengalaman penindasan, perlawanan, ras, gender,
representasi, perbedaan, penyingkiran dan migrasi dalam hubungannya dengan
wacana-wacana penguasa Barat. Hal ini senada dengan pemahaman Loomba dkk
di atas bahwa studi ini bukan wilayah penghakiman tradisi pemikiran Barat, tetapi
lebih pada refleksi otentisitas diri dalam menghayati hidup dan pembongkaran
dibalik teks tradisi pemikiran Barat yang ternyata dipahami sebagai will to power.
Dunia pascakolonialisme mempunyai perbedaan yang signifikan dengan
dunia post-modern. Dunia ini mempunyai cakupan lebih luas sebagai aktivitas
yang beragam dan kontraversial daripada dunia pascakolonialisme yang sudah
mengkerucutkan objek kajiannya. Namun demikian, studi ini sangat dipengaruhi
oleh tradisi pemikiran post-modernism dan post-structuralism. Dalam strategi
politik representasi sebuah teks yang terbungkam sebagai salah satu aktivitas
pascakolonialisme, ia mempunyai persamaan dengan studi post-modernism dan
post-structuralism, tetapi ruang lingkup pascakolonialisme mempunyai fokus ke
169

wilayah oriental, yakni ruang yang didefinisikan oleh kaum orientalis Barat. Maka
dari itu, karya Edward Said, Orientalism (1978) selalu menjadi rujukan. Figur
Said sangat kuat dalam karya-karya pascakolonialisme.
Berkaitan dengan studi pascakolonialisme yang begitu signifikan, identitas
adalah hal yang sangat penting dalam membahas kajian wilayah ini. Menurut
Said, Identitas suatu entitas adalah bentuk dari ekspresi eksistensi manusia.
Identitas memberikan perwujudan keseluruhan jiwa manusia: secara budaya,
secara politis, secara kejiwaan, dan semua faktor yang mengisi kehidupan
manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Menyinggung tentang
pengertian identitas, gagasan Gramsci dalam karyanya, Prison Notebooks
memberikan pengaruh cukup besar bagi Said, sehingga pernyataannya dikutipnya
sebagai berikut:
Titik tolak dari kerja kritik adalah kesadaran tentang siapa diri seseorang itu
sebenarnya, dan “menyadari diri sendiri” sebagai satu hasil dari proses sejarah
sampai detik-detik yang terakhir, yang telah mengedepankan dalam diri anda
suatu ketidakterbatasan jejak, tanpa meninggalkan inventaris. Oleh karenanya,
adalah kewajiban kita untuk sedini mungkin menghimpun inventaris seperti
itu.132

Ungkapan di atas memberikan pintu pada pencarian diri—eksistensi diri—


identitas dan proses pembentukan identitas diri. Said cenderung berpegang teguh
pada pengalaman dirinya. Said menuturkan: “aku ingin mengidentifikasi diriku
sendiri; Aku adalah seorang warga Timur, karena bagi sang diri, Aku adalah
penting untuk mempertahankan kesadaran kritisku.” Ketika Said harus
mengenyam pendidikan Barat dan berhadapan dengan studi-studi orientalisme,
Said melakukan refleksi, sehingga menemukan sebuah keyakinan bahwa betapa
kuatnya kekuasaan investasi manusia sendiri untuk selalu mengadakan
perlawanan terhadap corak kekuasaan imperialistik yang hegemonik. Dengan
sendirinya jalan keluar dari kuasa imperalistik yang hegemonik tersebut adalah
keberanian untuk selalu terjun ke dalam arena pertarungan. Dengan suara lantang
dan konsisten Said berkata: “setiap manusia itu secara individual berhak
menentukan totalitas keberadaan dirinya untuk menentukan keberadaan dan

132
Said, op.cit., hlm. 33.
170

identitasnya, dengan alasan apa pun!”133 Walaupun Said terbentuk oleh Barat,
tetapi identitas ke-Timur-annya tetap masih juga diperjuangkan, dan walaupun
Said seorang Kristen yang cenderung mempunyai pengaruh tradisi pemikiran
Barat, khususnya abad pertengahan dan ‘perkawinannya’ dengan tradisi pemikiran
pagan Yunani-Romawi, tetapi perjuangan gigih membela hakekat ke-Timur-annya
sungguh poin yang sangat penting bagi kita–yang mengklaim Timur.
Ketika karya kaum post-modernist dan post-structuralist Barat mengalami
kebuntuan: nihilisme, maka alternatif solusi dari suatu tatanan dunia-kehidupan
umat manusia yang baru akan dibelokkan ke spasial non-Barat sebagai tradisi
pemikiran sekaligus tatanan dunia yang telah terkubur lama. Studi
pascakolonialisme ini merupakan representasi politis bagi suara-suara unik
(diklaim sebagai ganjil oleh Barat) yang sudah tengah lama terkubur, tetapi
berusaha memunculkan otentisitas dirinya—ontological everyday life. Dalam
konteks ini, Sardar dan Loon berusaha memberikan pengantar pemikir studi
pascakolonialisme dalam rangka keluar dari konstruksi pengetahuan/kuasa
imperialisme atau istilahnya Lubis di atas sebagai: “kekerasan epistemologi
Barat.”
Pemikir kaum pascakolonialis mempunyai karateristik unik seperti karya-
karyanya yang sangat subversif dan provokatif. Beberapa pemikir pascakolonialis
seperti seorang pascakolonialis dari India, Gayatri Chakravorty Spivak mengkritik
kaum sejarawan hegemonik dengan mengambil studi kasus sejarah India. Spivak
mengatakan bahwa konstruksi masa lalu India dan kehidupan kekinian India
adalah proses kontinuitas (kelanjutan) dari homogenisasi Eropa, yakni bentuk
homogen sistem negara berdaulat yang terdiri dari entitas kepala negara dan
pemerintahan dengan nuansa Inggris. Tujuan Spivak tidak hanya mendekonstruksi
sejarah imperial Inggris, tetapi juga menghancurkan rasionalitas sejarah kritis itu

133
Dikutip dari tulisan Haryanto Cahyadi, Keterlemparan Manusia dalam Dunia Ambigu:
Menimbang Gagasan Edward Said dalam Horizon Filsafat Martin Heidegger, dalam Mudji
Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.), op.cit.,. Lihat juga karya Amin Maalouf, In the Name of
Identity, terj (Yogyakarta: Resist Book, 2004). Karya ini sangat menarik ketika muncul pertanyaan
mendasar tentang identitas Maalouf ketika dia pindah dari Libanon ke Perancis: Apakah saya
seorang “lebih Perancis” atau “lebih Libanon”? Inilah pertanyaan yang mengusik keotektisitas
Maalouf.
171

sendiri. Dalam memahami dunia internasional, Spivak berusaha menampung


wacana yang terbungkam, yakni spasial non-Barat dalam ruang-ruang yang sama
sekali beru dengan heterogenitas. Spivak berusaha menciptakan dunia dunia baru,
yakni sebuah ruang dengan norma agar konstelasi politik internasional tidak
dimonopoli oleh kuasa negara berdaulat saja atau kaum kapitalis yang berusaha
memarginalisasikan komunitas yang mereka sendiri klaim atau anggap atau
definisikan sebagai kelompok abnormal, ganjil, aneh, irasional atau gila. Menurut
Spivak, Dunia Ketiga adalah kreasi wacana Barat yang mengunci budaya non-
Barat–dan bagaimana Barat memandang serta memberlakukannya ke dalam
sebuah representasi imperial.134 Sedangkan dalam pandangan produksi kolonial,
menurut Spivak: “the subaltern has no history and cannot speak, the subaltern as
female is even more deeply in shadow.”135 Walaupun Spivak berusah keras
menyuarankan suara yang terbungkam, tetapi hal tersebut masih mengalami
kesulitan, karena jejak dari komunitas subaltern secara histories sasah untuk
dilacak secara intelektual.
Pemikir kaum pascakolonialis yang lainnya, seorang sarjana kulit hitam
Inggris, Homi Bhabha menggunakan psikoanlisis untuk membaca fenomena
sejarah kolonialisme. Menurut Bhabha, wacana kolonialisme memiliki ketegangan
psikologis yang mendalam yang menciptakan hubungan antara kolonial dan
subjek yang dikoloni senantiasa ambivalen. Berbeda dengan idealisme naïf
Spivak, Bhabha justru lebih realistik ketika subjek kolonial dimunculkan atau
dihadirkan sebagai artefak perjalanan intelektual. Menurut Bhabha, subjek
colonial yang dilepaskan, yang dipersonalkan akhirnya menjadi “objek yang tidak
terhitung. Mereka senantiasa sulit untuk ditempatkan. Jika Spivak mengatakan
susah untuk dimunculkan, tetapi Bhabha berargumen pribumi itu ada, tetapi susah
untuk ditempatkan. Sifat utama kekuasaan kolonial adalah meruntuhkan
otoritasnya sendiri dan secara paradoks dapat memberikan makna-makna bagi
perlawanan pribumi. Bahkan pribumi terindokrinasi yang ditinggalkan oleh
kekuasaan kolonial untuk menlanjtkan kerja mereka di bekas koloni-koloni
134
Ibid. hlm. 116.
135
Gayatri Chakravorthy Spivak, “Can the Subaltern Speak?” Post-Colonial Studies Reader, diedit
oleh Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dkk, (UK: Routledge, 1995), hlm.28.
172

menampakkan ambivalensi wacana kolonial. Demokrasi liberal dan historisme


Marxisme tidak dapat ditanggulangi dengan keanekaragaman budaya.
Kecenderungan mereka untuk menguniversal dan menyejarah membuat
keanekaraaman budaya transparan dan sukar dipahami. Dalam beberapa kasus,
menurut Bhabha, budaya yang berbeda “tidak dapat dibandingkan” tidak dapat
dikategorisasikan ke dalam kerangka universal. Dalam karyanya, The Location of
Culture (1994), Bhabha memunculkan sebuah tempat yang merupakan spasial
antara pribumi dan bukan pribumi, yakni “ruang ketiga.” Ruang baru ini adalah
“hibriditas,” yakni ruang yang tidak hanya menggantikan sejarah yang
membentuknya, tetapi membangun struktur baru otoritas dan melahirkan inisiatif
politik baru serta wilayah baru negosiasi makna dan representasi. Hibriditas
adalah situs perlawanan, suatu pembalikkan strategi dari proses imperalisasi yang
mengembalikan yang tertindas menjadi mata kekuasaan.
Jika dipahami sesuai dengan perbedaan antara sistem kolonial dulu dengan
kolonialisme modern sekarang ini, maka kolonialisme modern ini ditandai dengan
dua ciri: pertama, daerah-daerah koloni tidak hanya memayar upeti dan dikuras
sumber daya alamnya, tetapi struktur perekonomian daerah koloni (dengan
manusia dan sumber alamnya) dirombak demi kepentingan negara induk. Kedua,
daerah-daerah koloni menjadi pasar yang dipaksa mengkonsumsi produk-produk
Negara induk. Dalam konteks kolonialisme modern, kemampuan manusia dan
sumber daya alam wilayah koloni diairi, sehingga system yang terkonstruksi
dialirkan ke negara induk (core).136 Dengan sistem perekonomian yang seperti ini
caranya atau modelnya, maka negara koloni tidak lebih dari sebuah baut-baut atau
skrup-skrup kecil dari arsitektur sistem kapitalisme Barat (baca: Eropa dan
Amerika).
Sistem kolonialisme mempunyai kedekatan dengan istilah imperialisme.
Sebelumnya, sistem kolonialisme dipahami sebagai penaklukan dan penguasaaan
atas tanah (lemah) dan pembayaran upeti penduduk asli kepada penduduk
pendatang, sehingga istilah imperalisme pun tidak jauh berbeda engan
kolonialisme sebagai penguasaan dan penaklukan, imperialisme hanya

136
Sianipar, op.cit., hlm. 9-10.
173

mempunyai sifat “paling atau unggul atau tinggi.” Dalam Oxford English
Dictionary (OED), imperial adalah sesuatu yang merujuk pada kemaharajaan,
yakni pemimpin seperti raja atau kaisar yang berkuasa absolut dan mutlak atas
segala hal yang dibutuhkannya—despotisme, absolutisme, totalitarianisme. Oleh
Lenin dan Kautsky, dalam karyanya Imperialisme, The Highest Stage of
Capitalism (1947), pengertian istilah imperialisme dihubungkan dengan
kapitalisme. Imperialisme dipahami sebagai tahapan tertinggi dari kapitalisme,
ketika modal semakin berlimpah, sementara sumber alam dan tenaga dalam negeri
semakin terbatas, sehingga kaum kapitalis mencarinya ke luar wilayahnya—
mencari keuntungan dari luar negerinya (negeri koloni). Sementara itu, di dunia
modern, imperialisme tidak memerlukan penguasaan atas lain secara langsung,
tetapi justru lebih luas lagi cakupannya—dengan menciptakan system yang global
sehingga penetrasi mudah dilakukan dalam wadah system perekonomian,
pengendalian pasar dan tekanan politik Negara maju terhadap negera miskin,
misalnya imperialisme Amerika atas negara-negara di dunia alam bidang
ekonomi, politik dan militer meskipun tidak mempunyai kendali politis secara
langsung.137 Dalam istilahnya G. John Ikenberry, Amerika Serikat di era pasca
Perang dingin seperti sekarang ini disebut dengan neo-imperialisme.138
Banyak hal yang diperoleh dalam studi pascakolonialisme, terutama relasi
antara lokal-global. Di bawah ini, penulis berusaha memberikan relasi interteks
antara lokal-global. Tarik-menarik dari lokal-global ini mempunyai pemahaman
baru bagi studi hubungan internasional (SHI). SHI terwarnai berbagai macam
disiplin ilmu yang berwadah dalam transdisipliner, sehingga ortofdoksi hubungan
internasional (HI) dapat meleleh dari kebekuannya selama ini. Di bawah ini
penulis lebih memfokuskan pada kajian tentang eksistensi komunitas lokal di
Indonesia, khususnya saminisme yang selama ini terbungkam dan tersembunyi,
ketika dihadapkan dengan wacana Barat. Wacana saminisme dipahami oleh tradisi

137
Ibid., hlm 17.
138
G. John Ikenberry, “Ambisi Imperial Amerika Serikat,” dalam Amerika dan Dunia, (Jakarta:
YOI, 2005), hlm. 433-455. Lihat juga Lubis, op.cit., hlm. 213 tentang pemahaman imperialisme
yang terbagi menjadi banyak aspek seperti ekonomi, penduduk, gagasan atau ide, ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan aspek lainnya.
174

pemikiran HI modern (baca: Barat) sebagai noise, yakni kebisingan yang


mengganggu telingi pendengar. Namun penulis berusaha memahami tradisi
pemikiran saminisme ini bukan dari tradisi pemikiran HI modern yang
mengklaimnya sebagai noise, tetapi dari tradisi pemikiran Timur sendiri sebagai
sound, yakni penyuaraan teks-teks yang merdu layaknya orkresta yang
didengarkan oleh pendengar; sebuah lagu yang merdu dengan alat musik yang
berbeda-beda.

IV.2. Studi Pascakolonialisme di Indonesia


Sebenarnya pemerintahan Soekarno itu sudah bagus hanya tidak memperhatikan
faktor ekonomi…Indonesia seharusnya memperhatikan masalah perbatasan tidak
perlu membeli pesawat tempur segala seperti F-16…saya seorang Gandhisme
yang menyarankan Indonesia sebaiknya berdiri di kaki sendiri (berdikari).
Indonesia mempunyai nilai-nilai substantif seperti Gandhi ketika Soekarno
mengutuk bangsa Barat: “Go the hell with your aid.” 139

Pernyataan di atas merupakan daya tangkap penulis, ketika berdiskusi dan


mendengarkan cerita Gus Dur di Kantornya PB NU Keramat Raya, Jakarta Pusat.
Dalam konteks pernyataan Gus Dur di atas, penulis memaknai bahwa tradisi
pemikiran Indonesia sebagai smallnarrative berisi tentang resistensi terhadap
dunia internasional begitu luas dan sangat berbobot. Gus Dur selalu menegaskan
bahwa kita seharusnya tidak pragmatis, tetapi justru harus mempunyai posisi yang
jelas dalam dunia internasional seperti posisi dulu yang dilontarkan oleh
Soekarno. Istilah “Gerakan Non-Blok” dan “Negara Dunia Ketiga” adalah konsep
yang disuarakan oleh Soekarno dalam memposisikan bangsa Indonesia dengan
posisi yang jelas. Dalam konteks ini, pemerintah Soekarno mempunyai jati diri
bangsa, identitas dan harga diri sebagai bangsa yang memang pantas disanjung
dan diacungi jempol—terlepas dari kelemahan faktor ekonominya. Namun
demikian, tradisi intelektual Indonesia dalam hal teoritisasi, pendekatan,
metodologi dan tradisi menulis sangat kurang (secara kualitatif), sehingga
sebagian besar intelektual Indonesia membiasakan (terbiasa) diri mengekspresikan
gagasannya melalui gaya penuturan. Kita bisa belajar tradisi pemikiran HI

139
Wawancara penulis dengan Gus Dur tentang perlawanan bangsa Indonesia menghadapi
imperialisme (Abdurrahman Wahid) di Kantor PB NU Keramat Raya, Jakarta Pusat, pada hari
Senin, 5 Juli 2006, pukul 12.15-13.50 wib.
175

Indonesia melalui tradisi pemikiran intelektual dan praktisi kritis lain seperti Agus
Salim, Natsir, Hatta, H.O.S, Cokroaminoto, para anggota organisasi Boedi
Oetomo, dkk. Mereka semua mempunyai pemikiran kritis internasional, tetapi
cenderung lebih kuat dalam tradisi penuturan daripada tradisi penulisan teks.
Berpijak dari tradisi pemikiran intelektual Indonesia ini, penulis berusaha
memposisikan dirinya dengan jelas. Mereka adalah akar dari tradisi pemikiran
pascakolonialisme Indonesia yang belum digali lebih mendalam ke dalam level
teoritisasi atau gaya bahasa tulis berbentuk interteks atau karya-karya ilmiah.
Pemahaman pascakolonialisme yang sudah penulis jelaskan di atas
mengajak kita pada pemahaman ke level lokal Indonesia (sebagai pijakan) dan
sikap kita terhadap tradisi pemikiran Barat di tatanan internasional. Namun
tampaknya, metanarrative modernitas di Indonesia terus bergerak terus—dari
dulu, ketika masuknya bangsa Barat, kolonialisme Belanda dan Jepang sampai
dengan pasca kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangannya, wacana yang
berkembang sangat kuat di Indonesia justru bukan tradisi pemikiran intelektual
kritis Indonesia sendiri, tetapi dalam kerangka tradisi pemikiran Barat (Eropa dan
Amerika Serikat). Wacana ini terkait dengan program proyek modernitas:
meneruskan proyek negara berdaulat Westphalia beserta idealisme tentang
konsepsi tentang warganegara (citizenship) dan kapitalisasi sistem ekonomi di
pemerintahan Soeharto. Metanarrative modernitas mengalami tantang dari
rivalnya, tetapi hanya menciptakan kritik yang sifatnya nihilistik–mengkritik
melalui acuan-acuan normatif atau metafisika (epistemologi: rasio). Sedangkan
problem lain di Indonesia adalah persoalan politik kewarganegaraan yang bisa
saja lebih rumit dibandingkan dengan apa yang terjadi sebelumnya, yakni
diantaranya ketercerabutan masyarakat Indonesia dari akarnya. Perseteruan antara
yang lokal dan yang berasal dari luar (Barat) diceritakan oleh Hikmat Budiman
dalam artikelnya, “Minoritas, Mutikulturalisme, Modernitas.”140 Hikmat
mengandaikan Gerakan Aceh Merdeka bisa dianggap sebagai bentuk artikulasi
kepentingan warga yang diterjemahkan ke dalam praktik-praktik perlawanan

140
Hikmat Budiman, “Hak Minoritas, Mulikulturalisme, Modernitas,” dalam Hak Minoritas:
dilemma multikulturalisme di Indonesia, diedit oleh Hikmat Budiman, (Jakarta: Yayasan
Interseksi).
176

bersenjata. Di kawasan Cagar Alam Morowali, Sulawesi Tengah, misalnya


artikulasi politik komunitas, orang-orang yang tinggal di kawasan itu, To Wana
yang begitu keras berbunyi: “Tare Kampung, Tare Agama, Tare Pamarenta.”
Hikmat mengatakan bahwa semboyan ini berarti: “Tidak Ada Kampung, Tidak
Ada Agama, Tidak Ada Pemerintahan.” Semboyan ini muncul sebagai respon dari
konsepsi negara berdaulat Indonesia versi sistem Westphalia yang sempit, yakni
banyaknya intervensi program kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan
agama dari jaman Belanda sampai dengan metanarrative modernitas sekarang ini.
Perjuangan artikulasi politik ini merupakan kasus empirik yang sebenarnya bisa
dilacak jejak-jejak artefak otentisitas dirinya. Namun karena studi
pascakolonialisme belum berkembang dan disiplin ilmu HI masih terjebak dalam
kerangka pengetahuan partikular Eropa, maka wacana ini menjadi hilang tanpa
bekas. Negara berdaulat sebagai metanarrative modernitas berusaha menciptakan
kurungan, kerangkeng bagi warganegaranya. Warganegara yang dianggap keluar
dari wilayah wacana negara berdaulat dianggap bukan warganegara Indonesia.
Hikmat mengistilahkan power negara ini sebagai teknologi kontrol sosial dalam
bentuk nation. Oleh sebab itu, negara berdaulat sering disebut dengan “negara-
bangsa:” “negara” adalah pemerintahnya sedangkan “bangsa” adalah
warganegaranya. Wacana negara berdaulat yang diusung oleh pemikir teori politik
dan teori HI Barat mendefinisikan, melukiskan dan menekan kesadaran wacana
Barat ke dalam wilayah wacana Indonesia sebagai gambarnya sendiri. Padahal,
komunitas To Wana mempunyai lukisan tentang wacana dirinya sendiri, dan hal
ini yang susah dilacak dalam studi pengetahuan sekarang ini. Makna dari konteks
ini adalah wacana barat telah mengimperalisasi geopolitik dan wacananya sendiri
ke dalam ruang yang bernama: “Indonesia” atau dalam konteks ini adalah
komunitas To Wana.
Hikmat menceritakan pemahamannya tentang ketertindasan komunitas di
Indonesia dan wacana pengetahuannya. Dia menjelaskan bagaimana konsepsi
metanarrative modernitas negara berdaulat mendefinisikan tentang makna negara
di Indonesia. Warga negara Indonesia adalah seseorang harus tinggal dalam
kampung yang dikontrol oleh negara (pemerintahan) melalui camat, kepala desa,
177

RT/RW. Selain aspek pemerintahan, aspek agama pun harus diakui dan didanai
Negara demi kepentingan nasional (national interest). Dia mengatakan bahwa
eksistensi di luar bingkai semua itu berarti warganegara hanya manusia liar,
ganjil, abnormal, anomali, irasional. Toh jika mereka dilindungi dan dijaga,
tindakan itu pun hanya merupakan karena kepentingan nasional Indonesia yang
berusaha menyerap investor dan turis-turis asing belaka. Padahal komunitas To
Wana, tidak jauh berbeda dengan umat manusia lainnya, yang mampu bertahan
hidup dalam dunia jaman sekarang. Nampaknya penuturan Hikmat berusaha
mensuarakan komunitas To Wana bahwa mereka tidak mempunyai hak untuk
hidup bereksistensi atau hadir di dunia ini, khususnya di Indonesia. Mereka
terkotakkan ke dalam dimensi kehidupan irasional, sehingga studi tentang mereka
pun tidak ada. Mereka nampaknya dianggap dan diklaim oleh wacana
metanarrative modernitas tidak memberikan sumbangsih apa-apa terhadap tatanan
politik internasional dan eksistensi negara berdaulat dewasa ini. Oleh sebab itu,
ekspresi metanarrative modernitas dalam wujud negara berdaulat Indonesia justru
berusaha mengubur komunitas To Wana yang sedang bertahan hidup di era
sekarang ini dengan cara-cara tertentu–seperti intervensi ke dalam komunitasnya
oleh institusi pemerintah. Komunitas Ta Wana sebenarnya sudah memiliki pola
pemukiman, agama dan pranata sosial lainnya, yang mendukung dunia kehidupan
mereka, tanpa bantuan negara berdaulat dan pengakuannya sebagai warganegara
Indonesia. Obsesi negara berdaulat Indonesia tidak lain adalah bentuk
imperialisme wacana terhadap warganegaranya sendiri untuk menyederhanakan
dan menghomogenisasi spasial bhineka tunggal ika dan pola-pola kultural
komunitas di dalamnya–ruang dan wilayah geopolitiknya.
Di bawah ini akan menunjukkan bahwa komunitas yang telah terbungkam
dan ganjil begitu kuat bertahan hidup di dunia ini. Tatanan politik internasional
telah mengalami transformasi ke bentuk komunitas politik post-Westphalia,
sehingga mereka mempunyai hak untuk menjalankan tradisi budaya dan identitas
politik mereka. Linklater telah memberikan jalan bagi studi ini untuk mengakui
tradisi wacana Indonesia yang otentik: wacana saminisme. Wacana samin ini
adalah salah satu dari wacana komunitas politik Indonesia seperti Sunda, Jawa, dll
178

yang berusaha eksis di Indonesia dalam menghadapi arus metanarrative


modernitas, baik yang datang dari wilayah politik maupun wilayah ekonomi.
Kedua wilayah tersebut telah mendorong politik internasional ke dalam kondisi
pascamodern, khususnya kondisi pascakolonialisme–kaitannya dengan
imperalisme dan kolonialisme yang belum selesai dewasa ini. Kaum teori
internasional kritis, seperti Linklater menyediakan ontologi post-Westphalia,
sehingga kita mengakui hak bagi wacana saminisme ini untuk diteliti di kajian HI.
Kaum post-modernist dan post-structuralist memberikan legitimasi bagi wacana
saminisme sebagai salah satu dari akar pertama pemikiran HI di Indonesia. Pada
akhirnya, Studi pascakolonialisme mengkhususkan diri pada perlawan wacana
saminisme terhadap metanarrative modernitas. Dengan permainan bahasa dan
bentuk smallnarrative ini, wacana saminisme diharapkan sebagai alternatif teks
intelektual HI di Indonesia akan mengkritik metanarrative modernitas
(idealisme—teori kritis internasional) sekaligus wacana pemikirannya bisa
mewarnai konstelasi permainan politik internasional dewasa ini. Penulis kira studi
ini akan mengakhiri dan menyelesaikan permasalahan tentang ortodoksi HI
selama ini, khususnya pemahaman yang sifatnya dikotomis antara konsepsi HI
dan non-HI, HI sebagai ilmu dan HI sebagai studi. Karena selama ini, saya
menegaskan bahwa tradisi pemikiran HI yang tengah kita pelajari adalah sebuah
struktur pola wacana pemikiran HI Barat saja. Jika terdapat perdebatan toh itu
hanya perdebatan diantara mereka (pemikiran HI Eropa dan Amerika) yang akan
mengalami kebuntuan, ketika mereka berakhir pada nihilisme. Selain itu, mereka
juga mengalami kebuntuan ketika berusaha masuk ke dimensi spasial Negara
Dunia Ketiga, dimana sudah masuk ke dalam wacana mereka, karena arahnya
sudah jelas, Negara Dunia Ketiga akan didefinisikan, dikreasi, dinamai oleh
mereka. Struktur tradisi pemikiran Barat selalu akan menuju pada universalime
dan homogenisasi wacana. Walaupun dalam kerangka multikulturalisme dan
pluralisme seperti yang dicetuskan oleh Linklater, tetapi yang memayunginya toh
tetap rasionalitas Barat. Negara Dunia Ketiga hanya merupakan sebuah bayangan
dari Barat. Negara Dunia Ketiga dapat memperoleh otentisitanya, ketika
perjuangan resistensi juga dilakukan dalam dataran wacana seperti studi ini. Jika
179

perlawanan terhadap metanarrative modernitas hanya dilakukan di tatanan


empirik, maka teks-teks kaum terpinggirkan, unik, ganjil seperti wacana
saminisme ini akan kehilangan jejaknya. Dengan demikian, Negara Dunia Ketiga
akan tetap terjebak oleh bayangan Barat dan didikte dunia kehidupannya,
sejarahnya, sainsnya, dan semua wacananya oleh Barat, khususnya oleh kaum
orientalis. Sebelum mengakhiri bagian ini, saya ingin memaparkan narasi menarik
yang dikutip Hikmat dari pidato Dipesh Chakrabarty berjudul: “Asia and the
Twentieth Centery: What is Asian Modernity?” di sebuah Konferensi Milenium
bertema: We Asian between Past and Present, tanggal 21-23 Februari 2000:
Dengan cara tutur yang khas intelektual India, Chakrabarty memulai
ceritanya dengan kisah kunjungan perdana menteri Singapura, Goh Chok Tong
ke Hyderabad, ibu kota Andhra Pradesh. Chandrababu Naidu, kepala negara
bagian tersebut berusaha untuk menjadikan Hyderabad sebagai pesaing utama
Bangalore –yang sering dianggap Silicon Valley-nya India. Takjub oleh
kemampuannya, Goh Chok Tong secara terbuka memuji Naidu sebagai paling
dinamis dan berpandangan jauh ke depan di India.
Namun pada minggu yang sama, surat-surat kabar di negeri Hyderabad
mengabarkan berita tentang kebijakkan Naidu menghapus mata pelajaran sejarah
dari program sarjana muda. Naidu menyatakan bahwa untuk selanjutnya
pelajaran sejarah hanya akan menjadi bagian dari kajian tentang pariwisata,
karena menurutnya, apa yang dibutuhkan oleh orang India tentang masa lalunya
cukup jauh yang mereka perlukan untuk menceritai wisatawan asing. Sebaliknya,
yang benar-benar dibutuhkan untuk keperluan mereka sendiri adalah teknologi
komputer dan teknologi informasi. Ketika berhadapan dengan Kongres India,
alasan yang diajukan dibalik kebijakan itu pun tidak kalah cemerlangnya untuk
seorang pejabat pemerintah, yakni bahwa sekarang kita tidak lagi membutuhkan
sejarah, kecuali dalam bentuk yang sudah dikomodifikasi. Untuk
memparafrasekan Chakrabarty, kapitalisme telah mengubah sejarah menjadi
sebuah suvenir, tanda mata, penekuk sebuah ingatan pada khasanah masa lalu,
yang bisa dibeli dan dibawa pulang. Bagi Naidu, hanya itulah sejarah yang benar-
benar kita perlukan.141

Metanarrative modernitas dalam bentuk kapitalisme di atas telah mengubah


segalanya, termasuk studi sejarah yang sudah menjadi barang dagangan untuk
dijual kepaa seseorang yang ingin menikmati sarana rekreasi, tamasya spiritual,
mengunjungi tempat yang eksotis, nyaman dan unik untuk didatangi. Sebagai
pertanyaan retorik bagi kita: Apakah kita juga tidak membutuhkan sejarah?
Jawaban ini akan terjawab ketika sudah menemui kesimpulan dari studi ini.

141
Ibid., hlm. 17-18.
180

IV.3. Wacana Saminisme


Makere Stewart-Harawira present us with a sprawling world-historical
narrative, an in-depth investigation of the processes of globatization and the
emerging global order, of their combined impact on indigenous peoples and the
invention of new forms of resistance to the structure of neo-imperialism. It is a
well-informed argument that draws upon a series of expert and inter-related
literruatures in world politics, indigenous philosophy and international law at its
intersection with contemporary discourses of human and property rights. It is
written out of a deeply held commitment to social justice and the belief of an
indigenous political philoshophy that speaks to ‘existence’ and ‘being,’ and it
calls for a ‘new political ontology of global order’ informed by indigenous world
views and values.142

Kutipan di atas adalah sebuah pengantar dari Michael A. Peters yang


mengomentari karya Makere Stewart-Harawira, The New Imperial Order:
Indigenous Respon to Globalization. Respon Peters dari karya ini memunculkan
ontologi baru dengan tanda kutip: ‘new political ontology of global order.’
Konsep ini sesungguhnya berusaha menjelaskan bahwa keberadaan indigenous
people atau komunitas lokal semenjak neo-imerialisme hadir, menjadi semakin
terdesak, terbungkam, tertindas dan terhomogenisasi sistem kehidupannya. Neo-
imperialisme adalah konsep yang diarahkan kepada struktur hegemoni Amerika
Serikat di level sistem internasional. Berakhirnya sistem balance of power pasca
Perang Dingin memunculkan sistem unipolar yang memberikan peluang bagi
Amerika Serikat untuk berperan dan bermain ‘solo.’ Suara yang terbungkam ini
sebaiknya disuarakan, yang terkubur sebaiknya dibangkitkan dan yang terbekukan
sebaiknya dicairkan, karena semuanya adalah bentuk diskriminasi, homogenisasi
perbedaan di dunia internasional, suatu bentuk ketidakadilan bagi komunitas
lokal, proses dehumanisasi umat manusia yang terlahir dengan keberagaman dan
holocaust atas nama rasio terhadap formasi sistem pengetahuan lokal atau
indigenous people di seluruh dunia.
Makere Stawart-Harawira juga mempertanyakan kembali ortodoksi
konsep lama SHI, seperti mempertanyakan konsep kedaulatan, permasalahan

142
Makere Stewart-Harawira, The New Imperial Order: Indigenous Respon to Globalization,
(London&New York: Huia Publishers, 2005).
181

pemerintahan, penentuan nasib sendiri, penaklukan populasi indigenous people,


mengeksplorasi tatanan liberal dengan keberadaan PBB, berkembangnya WTO
dan tatanan ekonomi baru dekolonisasi periode post-war. Peters mengutip
langsung pernyataan Stawart-Harawira yang menjelaskan tentang ‘the return of
empire.’ Dia mengatakan bahwa signifikansi tatanan dunia saat ini adalah
hubungan aturan main militer dan ekonomi serta naiknya teknologi pengawasan
dan kontrol merupakan kunci bagi keberlangsungan dominasi global. Tatanan
dunia internasional begitu kompleks untuk dimasukkan ke dalam ‘satu gambar,’
sehingga kita juga berusaha menghadirkan tentang studi resistensi indigenous
people atau komunitas lokal dan mentransformasikannya ke bentuk lain agar tetap
‘eksis’ dan ‘hadir’ di tatanan dunia ini. Jadi kembali ditegaskan bahwa hegemoni
kerajaan Amerika Serikat dan struktur yang opresif serta meningkatkan jurang
ketidakadilan menuju proses dunia ‘free trade’ dan globalisasi, menciptakan
fenomena kembalinya nilai-nilai indigenous people atau komunitas lokal dan
sebuah alternatif secara esensial bagi tatanan dunia yang lebih adil berdasarkan
nilai-nilai indigenous people atau komunitas lokal. Metanarrative modernitas
sudah tidak relevan bagi keberlangsungan smallnarrative seperti indigenous
people atau komunitas lokal, sehingga kehidupan politik, ontologi kosmologis dan
traditional indigenous social yang berakar dari indigenous people atau komunitas
lokal merupakan hal yang sangat penting untuk mengembangkan kerangka
alternatif transformatif jalan hidup tatanan global pasca Perang Dingin. Stewart-
Hawawira berusaha menyarakan suara yang terbungkam dari komunitas lokal
Kaupapa Maori. Teori tentang Kaupapa Maori dikembangkan di Aotearoa-New
Zealand oleh tradisi pemikiran Maori, seperti tokoh Graham Smith dalam
menjelaskan pengalaman Maori dalam proses identitas dan dekolonisasi. Di
bawah ini akan menjelaskan tradisi pemikiran Saminisme di Indonesia. Dalam
konteks ini, pembahasan dalam pendekatan intertektualitas tentang relasi antara
indigenous people atau komunitas lokal dengan tatanan sistem internasional
belum pernah di eksplorasi di Indonesia. Jadi studi ini berusaha mewujudkan
pembahasan semacam ini.
182

Dalam menggambarkan formasi diskursif saminisme ini, penulis akan


mengambil artikel dari Muhammad Uzair Fauzan yang berjudul: “Politik
Representatif dan Wacana Multikulturalisme dalam Praktik Program Komunitas
Adat Terpencil (KAT) Kasus Komunitas Sedulur Sikep Bombong-Bacem.” Karya
ini sangat baru dan representatif untuk menjelaskan wacana saminisme, sebab
Uzair telah menjelajahi studi-studi sebelumnya dari berbagai macam ilmuwan
seperti pemahaman dari Lance Castle, Harry Benda, Pieter E. Korver, Victor S.
King, Nancy Lee Peluso, Suripan Sadi Hotomo dan Amrih Widodo, Jasper, dan
Tjipto Mangoenkoesoemo. Artikel Uzair ini memfokuskan pada data primer,
yakni meneliti langsung ke fokus wilayah penelitian di satu komunitas Sedulur
Sikep di dusun Bombong-Bacem. Dusun ini merupakan tempat konsentrasi
Sedulur Sikep terbesar di derah Sukolilo. Selain itu, Uzair juga memilih Sedulur
Sikep ini karena komunitas ini memiliki derajat komitmen yang tinggi terhadap
ajaran saminisme. Sementara waktu komunitas ini juga sudah berintraksi dengan
metanarrative modernitas, yakni negara berdaulat–dalam bentuk KAT dan
kapitalisme –dalam bentuk sistem perekonomian.
Menurut Uzair, komunitas Sedulur Sikep atau lazim dikenal sebagai
komunitas Samin, tersebar di berbagai kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Menurut laporan penelitian Jasper yang dikutipnya, orang-orang Sikep ini
dulu tersebar luas di Rembang, Pati, Kudus, Blora, Grobogan, Bodjonegoro,
Ngawi dan Madium, dengan konsentrasi terbesar di daerah Kedungtuban dan
Bapangan (Blora). Pada tahun 1907, anggota komunitas ini dilaporkan berjumlah
3000 orang.meskipun sekarang jumlah anggota komunitas ini dilaporkan banyak
berkurang, tetapi kita masih bisa menemukan komunitas ini di berbagai kabupaten
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah satunya berlokasi di kecamatan Sukolilo,
Pati, terutama di dusun Bombong-Bacem, desa Baturejo. Kecamatan Sukolilo
berjarak kira-kira 25 km dari pusat kota Pati ke arah Selatan, berbatasan dengan
kabupaten Grobogan di sebelah selatan, dan kaabupaten Kudus di sebelah utara.
Komunitas ini cenderung mempertahankan hubungan darah yang dekat
agar mempunyai ikatan sosial yang kental. Dalam desa yang mereka diami,
meskipun jumlah mereka haya 10%, tetapi peran mereka sangat penting dalam
183

politik desa. Dalam hal arsitektur rumah, meskipun mulai bermunculan bangunan
baru dengan gaya arsitektur modern, tetapi sebagian besar rumah Sedulur Sikep
masih mempertahankan rumah model Jawa dan berlantai tanah. Sebagian besar
dari mereka masih mempercayai peruntukan ruang di dalam rumah model Jawa,
khususnya ruang besar di bagian depan yang diperuntukkan untuk ruang tamu dan
tempat penyimpanan hasil panen dan pupuk. Penghasilan mereka memang bekerja
sebagai petani. Di desa itu, seorang pedagang dan penjual toko kecil, bukan
termasuk komunitas Sedulur Sikep. Cara bertani mereka unik–berbeda dengan
pertanian pada umumnya. Menurut Hasan yang dikutip oleh Uzair, pendamping
Serikat Petani Pati (SPP) dari Institute for Rural Development, masyarakat Sikep
memiliki tradisi dan pola pertanian khas yang menyumbang pada kemandirian
mereka vis-à-vis pemerintah. Menurut Hasan, setidaknya ada dua hal yang khas:
pertama, tidak memperdulikan atau membutuhkan PPL (petugas penyuluhan
lapangan); kedua, mengutamakan varietas/bibit lokal yang tahan lama. Selain itu,
pola pembagian hasil panen yang khas, yakni dibagi empat berdasarkan
pertimbangan wineh (benih), sandang, pangan, wong. Buruh yang dimintai
bantuan dalam ma panen akan mendapatkan bagian seperempat, karena dia
termasuk pertimbangan yang keempat. Fenomena ini adalah teks ideal komunitas
yang ternyata sudah semakin terhempas hilang. Mereka memiliki lumbung padai
sendiri yang mereka sisihkan dari hasil panen untuk konsumsi sehari-hari, sehigga
relatif tidak bergantung pada orang/pihak lain dalam hal pangan. Dengan
demikian, jika dilihat dari luar, tidak terdapat perbedaan antara petani yang
modern dengan petani komunitas saminis. Walaupun metanarrative modernitas
yang terwakili dari Negara berdaulat berusaha intervensi pendidikan, perkawinan
dan agama, tetapi mereka tetap mempertahankan tradisinya. Menurut lapoan
penelitian dari Lembaga Penelitian Sosial Budaya Universitas Diponegoro
(Undip) yang dikutip oleh Uzair, komunitas tersebut tak satu pun di antara
warganya bersekolah formal, tetapi tidak sedikit warga Sikep yang memiliki
kemampuan baca tulis. Dalam hal perkawinan, tak satupun dari warga ini
mencatat perkawinannya dipertemen Agama/Catatan Sipil. Sementara dalam hal
agama, mereka sebelumnya beragama budha, tetapi kemudian mereka menganut
184

agama Ada sebagai agama mereka. Fenomena ini membuat khawatir pihak negara
berdaulat, karena mereka belum menjadi atau tidak bisa dimasukkan sebagai
warganengara dalam pandangannya (pemerintah).
Akar sejarah saminisme, khususnya di dusun Bombong-Bacem ternyata
menganut ajaran Saminisme pertama kali yang tersebar dari daerah Randublatung
(bagian Selatan kabupaten Blora) oleh Samin Surontiko, seorang petani kelas
menengah, pada pertengahan 1890an. Pada awalnya, imperialis Belanda tidak
begitu peduli dengan gerakan ini, karena tidak memberikan ancaman dan
persoalan yang serius bagi pemerintah kolonial. Namun ketika gerakan ini mulai
menyebar pesat dan berhasil menarik pengikut sebanyak 3000 orang pada tahun
1904, dan mereka bersama-sama menarik diri dari kontrol imperalis Belanda,
pemerintah kolonial ini mulaimeningkatkan tindakan kewaspadaan dan
pengawasan terhadap gerakan ini. Kemudian dalam perkembangannya, peristiwa
penangkapan Samin Surontika, lalu diasingkan ke Padang pada tahun 1907.
Menurut para peneliti yang dikutip oleh Uzair, komunitas Samin ini
muncul ajaran dan gerakannya dipicu oleh dua hal: Pertama, kebijakan
pemerintah kolonial Belanda yang menjadikan hutan sebagai perusahaan Negara
(houtwesterijen) membuat petani di sekitarnya tidak lagi memiliki akses untuk
memanfaatkan hutan yang selama ini menghidupi mereka. Kedua, Menurut Uzair,
pengenalan sistem perekonomian uang ke seluruh komunitas tanpa kecuali
memperparah kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan. Sistem perekonomian
uang, yang diawali oleh politik pintu terbuka dan politik etis mendorong imperalis
menerapkan pajak sebagai ganti dari istilah upeti. Faktor kedua ini masih
diperburuk oleh sisa-sisa tradisi tanam paksa tidak memberikan waktu luang bagi
petani untuk menggarap tananya sendiri, karena waktu telah dihabiskan menjadi
kuli kecang. Pajak yang begitu memberatkan dan pengambilan waktu dan tenaga
untuk pada priyayi yang diterapkan di seluruh wilayah, mendatangkan kesulitan
bagi pengetahuan petani dan penduduk lokal saat itu. Metanarrative imperialisme
mempersulit pemahaman birokrasi bagi penduduk lokal dan sistem ekonomi
imperialisme justru menghimpit masyarakat saat itu, sehingga terjadi banyak
185

pengangguran. Salah satunya minimnya sawah garapan dan mandegnya


perkebunan gula, sehingga penduduk mengalami kebingungan untuk bekerja.
Uzair mengutip Amrih Widodo dalam menjelaskan identifikasi ajaran
saminisme. Ajaran Saminisme ini berdasarkan pada transformasi sosial di
pedesaan Jawa. Pada akhir abad ke-18, kondisi saa itu terjadi suatu perubahan
penggunaan istilah untuk petani dari wong Sikep menjadi kuli kencang. Oleh
sebab pemberlakuan berbagai beban pajak dan kerja paksa, wong Sikep yang dulu
pernah mandiri berubah menjadi kuli negara imperial dan aparatnya. Dari kondisi
seperti ini, para pengikut ajaran Saminisme bangkit kesadarannya tentang wong
Sikep. Fenomena ini adalah proses identifikasi diri bahwa identitas budaya
seharusnya tetap diperjuangkan untuk direpresentasikan. Dengan kata lain,
eksistensi suatu komunitas begitu signifikan sebagai keberlangsungan hidup.
Signifikansiini membentuk konstruksi wacana Saminisme sampai dengan
perkembanganya. Ajaran Saminisme ini sendiri lahir dalam konteks berbagai
perlawanan petani yang muncul dalam kurun waktu yang sama. Hanya berselang
dua tahun setelah belanda mengeluarkan kebijakan pajak dalam semacanya,
Samin Surontiko mulai melontar wacana pengetahuannya di Blora. Namun
kemunculan wacana ini tidak anyal disamaratakan dengan resistensi di jaman itu
seperti maling kayu atau tribalisme petani. Bentuk perlawanan gerakan ajaran
Saminisme ini justru menarik diri dari dunia publik untuk mencapai purifikasi
perilaku hidup.
Pengalaman para peneliti yang diungkapkan oleh Uzair, mereka mengakui
bahwa komunitas Sikep ini merupakan masyarakat yang masih menjunjung tinggi
kejujuran, gemar menolong sesama dan mempunyai nalar yang relatif tinggi serta
beberapa sikap mulai lainnya. Perlawanan yang dilakukan oleh Saminisme ini
menggunakan permainan bahasa dan pengetahuan yang mereka miliki. Namun di
sisi lainnya, mereka nampak menyurutkan reaksinya dengan mempersoalkan cara
hidup mereka yang tidak mau bersekolah, tidak mencatat perkawinan di lembaga
negara, dan sebagainya. Konstruksi para peneliti dan pandangan umum kemudian
berbalik menjadi pemahaman bahwa Saminisme adalah komunitas aneh, liar,
abnormal perilakunya, bodoh, gila, terbelakang, barbar, anomali dan terbelakang.
186

Ironisnya, pemerintah indonesia pasca kemerdekaan yang pernah mengakui


sumbangsih komunitas tersebut terhadapperjuangan dalam menentang
imperalisme, justru pada akhirnya terganggu oleh “kekonyolan” perilaku orang-
orang Saminis atau Sikep ini. Naming penggunaan istilah Saminisme ini
cenderung tidak digunakan sebab ikon ini mengarah pada seseorang yang
membawa ajaran tersebut. Komunitas ini lebih suka atau mengklaim diri mereka
sebagai komunitas Sedulur Sikep, karena yang ditekankan adalah konstruksi
ajaran Sikep yang mengikat mereka. Akibat konstruksi tendensius yang sudah
terbentuk terhadap komunitas Sedulur Sikep ini, maka pihak negara dan non-
komunitas Sedulur Sikep selalu berusaha mengubah komunitas itu, dan jika
ditanya tentang kemajuan dan perkembangan di desanya, mereka akan
menggunakan indikator komunitas Sedulur Sikep. Jika komunitas Sedulur Sikep
tidak ada, yakni semakin terkikis hilang, maka mereka akan mengatakan bahwa
pembangunan di wilayahnya semakin maju dan berkembang pesat. Keberadaan
komunitas Sedulur Sikep adalah indikator dari representasi keterbelakang atau
tribalisme. Di kalangan pesantren Pati Utara dan Pati Kota yang awalnya ikut
bergabung ke dalam Serikat Petani Pati (SPP) yang diketuai oleh salah satu tokoh
komunitas Sedulur Sikep di Bombong-Bacem, pada akhirnya mereka keluar dari
SPP tersebut. Dalam wawancara Uzair bersama Hasan, pondok pesantren NU di
Pati ini menolak komunitas Sedulur Sikep ini, karena citra wong Sikep yang
terbelakang an sudah menganggap bahwa agama mereka berbeda. Walaupun
wong Sikep mengklaim mengikuti ajaran agama Adam atau bagiana dari ajaran
Islam, tetapi nampaknya ajaran itu tidak memenuhi prinsip-prinsip Islam NU,
sehingga wong Sikep bisa diklaim sebagai tidak beragama Islam atau secara
ekstrim murtad dari islam, sebab bid’ah-nya sudah terlalu banyak.
Uzair mengutip Benda dan Castle dalam menjabarkan penetrasi atau
intervensi metanarrative modernitas. Masuknya pengaruh negara berdaulat dalam
komunitas Sikep bisa dilacak pada tahuan 1952an, ketika seorang pimpinan dari
kementerian informasi mengklaim bahwa masyarakat Samin, di era kemerdekaan
ini sudah mulai berperilaku normal, seperti orang pada umumnya. Senada dengan
hal itu, pad tahuan 1987, para pejabat negara menyatakan bahwa wong Sikep
187

dewasa ini sudah berpartisipasi penuh dalam program-program pembangunan


pemerintah, dan bahkan terlibat aktif dalam perdagangan dan ekonomi pasar,
khususnya di daerah Cepu pada tahun 1980an, ketika program swasembada
pangan dikembangkan. Mereka berpartisipasi dalam tuntutan untuk dihentikannya
beras impor dari luar negeri. Kelompok-kelompok tani yang dibentuk
mengakibatkan wong Sikep ikut bergabung. Karena kecerdasannya, wong Sikep
ini menjadi koordinator prgram kelompok tani, koperasi dan program Keluarga
Berencana (KB). Ketiga program itu adalah rencana pemerintah Soeharto dalam
melaksanakan proyek modernisasi yang diadopsi dari Eropa. Berawal dari kondisi
ini, beberapa wong Sikep menjadi mentornya pemerintah tentang pertanian di
beberapa daerah.
Uzair menjelaskan lebih dalam tentang wong Sikep yang sudah tidak
terisolasi atau hidup tanpa interaksi dengan masyarakat nasional dan global. Di
daerah Galiran (Baleadi), negara yang berkolaborasi dengan ekonomi
internasional–dalam perspektif ekonomi-politik internasional berhasil menelusup
jauh ke dalam masyarakat Sikep. Semakin berkurangnya komunitas Sedulur Sikep
ini, karena mereka bermigrasi ke luar negeri sebagai tenaga kerja migran.
Keberhasilan di sektor pertanian di desanya tidak menghalangi warga Sedulur
Sikep menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Adanya Perusahaan
Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di desa Galiran menciptakan kondisi yang
mendukung semakin derasnya warga Sikep untuk bekerja ke luar negeri, dan
sampai salah satu wong Sikep sendiri justru menjadi agen dari PJTKI. Dari sini,
terjadi transformasi yang begitu signifikan. Ketika Uzair mewawancarai salah satu
wong Sikep, dia berkata: “mergo sandang pangan, podho pindah toto coro njobo”
(karena ingin memenuhi kebutuhan ekonomi, pindah tata cara lain). Beranjak dari
transisi ini, maka wong Sikep sudah mulai mempunyai Kartu Tanda penduduk
(KTP). Demikian juga permasalahn pendidikan. Mereka yang ingin bersekolah
harus mempunyai akte kelahiran, yang berarti harus menyertakan dokumen lain
seperti surat nikah orang tuanya, sehingga masing-masing orang tua harus pula
mengurus surat nikah dan KTP yang disyahkan. Padahal, pernikahan itu sangat
vital, jika wong Sikep menggunakan tata cara negara, maka konsekwensinya
188

dikeluarkan dari komunitasnya. Demikian pula anak-anak yang sudah bersekolah,


mereka sudah semakin diajari macam-macam tata cara hidup modernitas. Dalam
kasus Ngawen, penetrasi Negara relatif kecil tidak begitu berpengaruh, karena
komunitas yang tinggal di situ merupakan sebuah keluarga-luas yang tidak lebih
dari satu generasi, sehingga bias saling menjaga. Pengaruh yang cukup signifikan
antara negara dan Sedulur Sikep terjadi Bombong-Bacem. Dengan adanya
program Komunitas Adat Terpencil (KAT),143 maka intervensi negara untuk
menghomogenisasi identitas budaya orang-orang di wilayahnya menjadi lebih
efektif dan efisien. Hal ini adalah bentuk dari prinsip metanarrative modernitas.
Istilah dan definisi tentang komunitas, khususnya masyarakat Sedulur Sikep
digambarkan, didefiniskan oleh institusi negara sebagai instrumen dari
metanarrative modernitas untuk mengontrol dan memaknai komunitas
disekitarnya. Dengan demikian, komunitas tersebut dapat menjadi warganegara
ideal atau dianggap baik dari pandangan negara.
Wacana yang terbentuk menjadi sebuah formasi diskursif Saminisme
mempunyai konstruksi berawal dari tradisi Jawa. Saat itu, ketika raja-raja Jawa
mengalami kekalahan dari imperialis Belanda, transformasi hubungan kawula-
gusti yang dulu pernah bersifat mandiri-mutualistik seluruhnya “diambil alih”
oleh imperialis Belanda. Kekuasaan yang sebelumnya didasarkan pada wahyu
tunggal yang hanya dimiliki oleh seorang raja, diganti dengan wahyu yang
disebarkan ke lebih dari seorang individu oleh aturan mainan Belanda. Kemudian
imperalis Belanda menganugrahkan gelar-gelar setingkat raja beserta hak-haknya.
Menurut Amrih Widodo yang dikutip oleh Uzair, pada saat itu samin menemukan
konstruksi formasi dikursif dirinya. Wacana ini muncul sebagai bentuk dari
hadirnya kebenaran wacana saminisme atas dirinya sendiri, tanpa disengaja
dikonstruksi oleh akal atau subjek sejarah dirinya. Adanya transisi hubungan
kawula-gusti dan perlunya kemerdekaan dari imperialis Belanda, maka formasi
pun mengalamiperubahan. Atas dasar ini, ajaran samin mengangkat pemahaman
baru, yakni internalisasi konsep gusti tidak secara sempurna ke dalam diri tiap
individu (kawula). Displacement seperti ini merupakan bentuk baru yang berbeda

143
Ibid., hlm. 88-91.
189

sama sekali dari sebelumnya. Menurut wong samin, internalisasi ini adalah tahap
“pemurnian” yang diajarkan Samin kepada murid-muridnya.
Pemahaman kuasa Jawa mengalami suatu transisi dari gusti yang tunggal
menjadi berserakan menyebar ke setiap individu mendominasi sebagain besar
ajaran Saminisme. Berkuasanya kembali individu atas dirinya sendiri ini sekaligus
menegaskan prinsip pada kemandirian dan kemampuan usaha sendiri. Dalam hal
ini, Uzair memahami larangan-larangan (adeg-adeg) yang hingga kini masih
dipegang teguh oleh komunitas samin di mana pun juga, seperti drengki, srei,
dahwen, panasten, dan kemeren (demen, becik, rukun, seger, dan waras). Prinsip
hidup ini merupakan pijakan dasar bagi mereka. Jika diringkas prinsip hidup ini
menjadi: “tidak menginginkan milik orang lain.” Ajaran amin secara konseptual
menempatkan objek keinginan di dalam diri sendiri. Di sini ketertarikan dan minat
tidak ditujukan pada relasi kekuasaan antara diri sendiri dengan orang lain,
melainkan dibatasi pada diri sendiri atau pada hal-hal yang sudah menjadi
miliknya, sehingga juga menjadi bagian dari dirinya sendiri, termasuk keluarga
batin. Pusat kekuasaan itu ada di dalam diri sendiri dan keluarganya. Di sini tidak
ada atau tidak menghadirkan konsep negara sebagai unit politik. Hal itu
ditegaskanoleh komunitas Sedulur Sikep di Blora: “negoro iku yo keluargane
dhewe” (negara itu ya keluarga sendiri). Hal ini apat dilihat ketika mereka
mendapatkan perbedaan perilaku, tata cara dan pandangan hidup seorang Sedulur
Sikep. Mereka hamper selalu mengatakan bahwa hal itu merupakan urusan
pribadinya sendiri. Mereka cenderung merelatifkan sebuah sebuah pendapatnya
sendiri. Salah satu pemuka Sedulur Sikep, menurut Uzair menegaskan bahwa pada
dasarnya kebenaran yang disebutnya sebagai pajek (pangeran sing jejek/aturan
yang benar) selalu ada di tiap-tiap individu, sehingga ia tidak perlu dicari, atau
bahkan diminta dari orang lain. Maka dari itu konsep perwakilan relatif seperti di
DPR kita tidak berlaku di komunitas Sedulur Sikep, karena bentuk itu adalah
penghapusan manusia seutuhnya atau penghapusan otonomi diri sebagai manusia.
Keputusan-keputusan bersama selalu dilakukan dengan menggelar rapat akbar
yang semua individu kepala keluarga Sikep hadir. Di setiap undangan apapun juga
mereka selalu mengatakan bahwa dirinya mewakili dirinya sendiri, bukan
190

mewakili komunitas Sedulur Sikep. Bagi mereka, setiap manusia apapun


berbedanya: pangkatnya, ras, suku, kebangsaan, agama, dll, pada dasarnya semua
itu adalah sama saja: wong (manusia). Konsep wong dan konsep sandang-pangan
merupakan dua istilah penting bagi komunitas ini. Wong adalah perwujudan yang
tertinggi dan terkuat, karena manusialah yang bias menghasilkan sandang-
pangan. Mereka lebih menyukai disebut dengan wong Sikep (atau Sedulur Sikep)
untuk menunjukkan bahwa tugas dan tujuan mereka dalam hidup ini adalah
menjalani Sikep rabi (bercinta), dan menjalankan tatane wong (menciptakan
keturunan). Menurut komunitas itu, bercinta itu dilakukan oleh semua manusia.
Satu-satunya perbedaan mereka dengan non-mereka adalah mereka jujur
mengatakan dan menjalankan sikap hidup bercinta. Dengan demikian, komunitas
Sedulur Sikep lebih murni daripada non-Sedulur Sikep. Menjadi murni berarti
menjadi lugu, yakni terus terang, blak-blakan, apa adanya, jujur, terbuka–tidak
ada perbedaan antara berniat, berpikir dan berbuat–merupakan satu kesatuan,
tidak ada yang tersembunyi. Oleh Takashi Shiraishi gagasan ini dinamakan
dengan the idea of purity. Gagasan ini adalah inti dari wacana Saminisme.
Keharusan mejadi lugu dan murni itu juga dipraktekkan dalam usaha
memenuhi kebutuhan sandang-pangan yang mereka sebut sebagai tata nggauto.
Mereka menyakini bahwa hasil kerja keras untuk memenuhi sndang-pangan
seharusnya jelas asal usulnya: demunung. Istilah demunung ini selalu
dipergunakan untuk mewakili kemurnian komunitas ini dalam usaha pertanian
mereka. Usaha pertanian ini merupakan aktivitas yang menurut mereka paling
aman untuk menjaga kemurniannya. Mereka tidak menyukai usaha dagang, sebab
usaha tersebut cenderung membawa tindakan bohong, serakah, dan melanggar
janji-janji atau prinsip hidup mereka. Banyak tindakan pedagang yang akhirnya
tidak ngakoni an mengharapkan sesuatu yang bukan miliknya, sehingga mereka
tidak bersikap lugu. Mereka leibih mengukai ijol, yakni menukar barang daripada
kata jual-beli. Menurut Uzair, bertemunya pilihan pertanian sebagai satu-satunya
tata-nggauto dan demunung dengan gagasan tentang kewajiban hidup manusia
untuk menjalankan Sikep rabi itu tampak jelas dalam bahas Samin. Dalam
permainan bahasanya, keduanya dimaknai sebagai simbol seksualitas dan
191

berujung pada aktivitas reproduksi manusia (hubungan seksual). Sama halnya


Sikep rabi yang berarti hubungan seksual, istilah-istilah dalam pertanian pun
dibahasakan serupa oleh komunitas ini. Lemah (tanah) yang disimbolkan sebagai
mlumah (berbaring terlentang siap untuk berhubungan seksual) secara empirik dan
umum dimaknai tanah garapan, tetapi mlumah sendiri sesungguhnya dimaknai
istri yang sedang siap digarap oleh suami; bumi dimaknai sebagai mlebune diemi-
emi (penetrasi harus dilakukan secara berhati-hati). Permainan bahasa ini
merupakan kuasa bahasa simbol dalam melawan tanpa kekerasan kepada institusi
metanarrative modernitas seperti negara dan kapitalisme.
Kuasa bahasa sebagai kekuatan komunitas Sedulur Sikep ini juga berlaku
dalam konteks agama. Ketika ditanya oleh masyarakat umum tentang agamanya,
komunitas ini biasanya menjawab Agama Adam (Agama Kawitan atau Adam
Kwitan). Bagi masyarakat umum, jawaban ini dimaknai bahwa komunitas itu
mengakui Adam sebagai manusia pertama di bumi ini, sehingga pemahamnnya
mengarah pada komunitas Sikep beragama Semith (Yahudi-Kristen-Islam).
Namun makna dari komunitas Sikep atau saminis ini justru melampaui dari semua
pandangan umum. Mereka memaknai agama Adam dengan menjalankan
kewajiban sebagai wong Sikep, yakni menggarap (berhubungan seksual dengan)
istrinya dan tanahnya. Dasar minimal dari membangun hidup melalui sikap hidup
wong Sikep adalah hubungan suami-istri. Banyak pendapat yang pro-kontra
tentang keyakinan wong Sikep terhadap Tuhan. Jika makna Agama Adam ini
ditafsirkan dengan hubungan suami-istri, maka komunitas ini tidak Tahu dan tidak
persaya dengan Tuhan. Sedangkan pendapat yang pro dengan pendapat bahwa
mereka mengakui Tuhan, maka kita dapat menilik istilah-istilah yang mereka
gunakan seperti Gusti, Pangeran, Allah atau Gusti Allah. Perdebatan ini
mempunyai pilihan tafsir yang bebas oleh setiap pengamat, karena sifatnya relatif.
Abgi Uzair yang mengutip Castle dan Benda, hal yang paling pinting adalah
penolakan komunitas ini terhadap otoritas di luar dirinya.
Di akhir penjelasannya, Uzair menjelaskan bahwa agama Adam tersebut
menujukkan bahwa bagi komunitas ini, eksisensi segala sesuatu itu selalu
diwujudkan atau ada dari dalam ucapan–permainan bahasa (speech). Bagi mereka,
192

mengucapkan kebenaran adalah keharusan. Kebohongan yang dimaknai


ketimpangan antara ucap, niat dan tindakan adalah “dosa” bagi mereka. Namun
ketika mereka berhadapan dengan aparatus metanarrative modernitas seperti
negara dan sistem kapitalisme, ucapan merupakan medan perang yang
sesungguhnya bai meeka. Oleh sebab itu, di sini terjadi politik simbolisasi
(politics of symbolization) yang acapkali menempatkan mereka pada pihak yang
kalh. Namun ketika mereka berhadapan langsung dengan lawan bicaranya,
mereka dalam hati tertawa atau merasakan kemenangan dalam perang bahasa,
karena sesungguhnya mereka mempunyai makna-makna simbolik yang
melampaui pemahaman non-Sikep. Dalam konteks ini, mereka memegang posisi
kontrol dan menguasa politik signifikansi (politics of signification). Jadi berbeda
dengan komunitas atau pemikiran partikular lainnya, komuitas ini tidak ditentukan
oleh keterkaitan terhadap tanah, ras, agama, suku, dll. Mereka mengikatkan
dirinya pada wacana toto-coro, yakni segala sesuatu yang merupakan tradisi an
penerjemahan ajaran saminisme, mulai dari cara berpakaian (pakaian serba hitam
dan jelana panjang komprang untuk laki-laki, danberkebaya untuk perempuan
dalam acara publik), keterikatan pada kerja petani, penolkan terhadap sekolah
sampai dengan perkawinan ala negara. Orang yang menjalankan toto-coro ini
dinamakan Sedulur tunggal toto-coro (saudara yang memiliki tata cara sama),
sedangkan yang kebalikkannya, dinamakan dengan Sedulur liyan toto-coro
(saudara berlainan tata cara). Ringkasan dari semua hal di atas dijabarkan lebih
mudah alam bentuk peta di bawah ini.
193

Peta Wacana:
Metanarrative dan Smallnarrative

Epistemologi Ontologi Aksiologi Metode


Sintesis Phänomenon Hedonisme: Eklaren:
empirism & (fisik) & kepuasaan bersifat
Metanarra- rasionalism: noumenon material atas analitis,
tive: positivism. (metafisik). dasar desire teknis dan
Tradisi Pemisahan: Membenda- (want bukan teknologis.
Pemikiran subjek-objek. kan manusia need). Induksi-
HI modern Nomothetic. (alam). deduksi-
Homology. Adanya teks abduksi.
yang sama:
konsensus.
Fetisisme.
Tidak ada Phänomenon Hidup sesuai Verstehen.
epistemologi; & noumenon dengan tata- Permainan
Smallnarra- dimaknai satu coro: lugu bahasa
tive: pemahaman kesatuan. (kemurnian majemuk (the
Tradisi intertekstual). Adanya teks hidup). politics of
Pemikiran Tidak ada yang berbeda simboli-cum).
Saminisme pemisahan: dalam prinsip Pemaknaan
subjek-objek. tekad hidup atas tanda/
Ideografic. berbeda. teks.
Paralogy. Manusiawi.
194

BAB V
KESIMPULAN

Timbul-tenggelamnya episteme tradisi studi hubungan internasional (SHI)


menandakan transisi wacana di tatanan dunia internasional. SHI merupakan kajian
untuk memahami tatanan hubungan internasional. Wacana studi hubungan
internasional ini sangat dipengaruhi oleh formasi diskursif tradisi modernitas dan
tradisi pemikiran abad pencerahan ini. Untuk memahami akar dari wacana
hubungan internasional (HI) dewasa ini, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu
studi filsuf dari Sorbonne, Perancis, Hassan Hanafi tentang Oksidentalisme. Hal
ini sangat penting, sebab studi Hanafi ini membantu pelacakan saya atas wacana-
wacana yang berkembang di studi hubungan internasional. Dalam hal ini, Hanafi
memaparkan dengan jelas bahwa antara wacana paganisme Yunani dengan
Kristen selalu terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Hanafi melontarkan
istilah “formasi palsu”, yakni pemanfaatan arsitektur kebudayaan Yunani-Romawi
oleh Kristen sekedar sebagai bahasa untuk menciptakan kesadaran keimanan
baru—substansinya Kristen, bungkusnya Yunani-Romawi. Sedangkan istilah
“substansialisasi palsu,” yakni pemanfaatan Kristen oleh budaya Yunani-Romawi
merupakan bahasa baru untuk mengartikulasikan substansi Yunani-Romawi
lama—substansinya kebudayaan Yunani-Romawi, bungkus teoritisinya Kristen.
Dalam konteks dialektika ini, istilah teks substansialisasi palsu dan teks formasi
palsu tidak jauh berbeda dengan istilah dialektika antara “Tuhan Socrates” dengan
“Tuhan al-Masîh.”
Kronologis abad modern diawali dengan tenggelamnya wacana Skolastik,
timbulnya wacana modern. Abad modern (pencerahan) ini ditandai dengan adanya
perubahan: dari lokus epistemologi teologi ke lokus ontologi (antropologi),
prioritas kehendak Tuhan ke prioritas kehendak manusia, penyatuan kuasa Gereja-
kuasa negara ke sekulerisme, dari agama ke ilmu pengetahuan, masa lama ke
masa baru, dari teosentrisme ke antroposentrisme, dari kuasa gereja ke kuasa akal,
dari masa lalu ke masa depan. Masa modern (kebangkitan) merupakan mata rantai
sesungguhnya yang menghubungkan abad pertengahan kesadaran Eropa dengan

192
195

abad modern sekarang. Masa ini adalah timbulnya revolusi terhadap masa lalu,
sebagai petanda bagi kemunculan masa datang, yakni era humanisme Barat. Masa
kebangkitan dapat diartikan sebagai kemampuan Eropa dalam memperoleh
temuan-temuan di bidang kemanusiaan, alam, dan agama dengan mengandalkan
upaya rasionalitas (akal) dalam mengontrol alam. Pada masa ini yang memicu ke
ranah perkembangan ilmu pengetahuan modern Barat yang melebar ke ilmu
politik atas dasar pada penolakan terhadap kuasa agama, perlunya sekulerisme dan
pembangunan masyarakat sipil sekuler yang modern (civil society/ civil religion).
Pemikiran politik di era modern mengambil dua bentuk: realis (realpolitik) yang
diwakili oleh Machiavelli dan Utopis yang diwakili oleh Thomas More dan
Campanella—seorang liberalis.
Pada masa kebangkitan (modern) ini, ilmu pengetahuan menjadi aliran
utama (mainstream). Kehadiran ilmu pengetahuan memberikan bungkus teoritis
alternatif dan untuk menguasai realitas dengan teori-teori yang lebih akurat dari
pengetahuan lama yang secara empiris telah terbukti kesalahannya. Jadi
argumennya adalah hanya manusialah yang mempunyai kehendak (will) untuk
berteori bukan Gereja atau agama. Masa kebangkitan (modern) telah berhasil
menciptakan keterputusan antara masa lalu dengan masa sekarang; mengubah
masa lalu menjadi masa depan; melakukan kritis dan membebaskan diri dari
pengaruh pengetahuan lama yang selama itu menjadi sumber ilmu dan standar
perilaku; pembahasan tentang keabadian ruh menjadi pembahasan tentang
kareakteristik dan pembentukan raga (materialistik). Wacana baru modern ini
telah merubah (displace) secara radikal bangunan Gereja dengan bangunan baru
negara-bangsa yang bersandar dengan prinsip-prinsip ilmiah dan sistem
kapitalisme. Jadi dominasi rasionalitas dalam epistemologi antroposentrisme
adalah kesadaran pagan Eropa. Kesadaran pagan ini merupakan payung dari ilmu
pengetahuan (sains), dominasi rasionalitas dari mitos dan agama, dan seluruh
bentuk kebudayaan yang berkaitan dengan proyek modernitas. Hal ini sesuai
dengan penjelasan Der Derian tentang tradisi HI modern yang mempunyai lokus
“rational man.”
196

Rational man ini berasal dari pemikir modern (pencerahan), Rene


Descartes yang mengmbangkan dasar-dasar rasio. Pamoe ontologi yang terkenal
darinya: “cogito ergo sum,” yakni aku ada karena aku berpikir. Rasio mempunyai
peran sentral dalam menorehkan subjek sejarah abad modern ini. Rasio ini berasal
dari tradisi pagan Yunani-Romawi yang diciptakan oleh kaum filsuf, terutama
filsuf sentral: Socrates. Filsuf ini dikembangkan lagi tradisi pemikirannya tentang
rasio atau logika oleh Plato dan Aristotle sampai dilanjutkan abad modern
(pencerahan) oleh tradisi pemikiran Eropa dan tradisi pemikiran Amerika Serikat.
Kemunculan wacana-wacana dalam SHI baik di Eropa maupun Amerika Serikat
mempunyai tujuan untuk mewujudkan proyek pagan Yunani-Romawi, khususnya
era Helenik, yakni menciptakan masyarakat yang damai, aman dan sejarahtera
atas dasar rasionalitas. Pengaruh wacana pagan Yunani-Romawi begitu kuat di
dalam tradisi pemikiran SHI. Tradisi pemikiran HI idealisme adalah warisan dari
utopianism modern yang berpijak pada akar tradisi paganisme Socrates yang
dikembangkan Plato, khususnya tentang nilai-nilai idealisme. Sedangkan wacana
HI realisme adalah warisan dari kaum filsuf realpolitik, abad pencerahan seperti
Machiavelli, Hobbes, Hume, dll, yang juga berpijak pada akar tradisi paganisme
Socrates. Kedua wacana HI ini tidak lebih hanya menggunakan pendekatan
wacana tradisionalisme yang mengacu pada tradisi filsafat, sejarah dan nilai-nilai
Kristen yang dimanfaatkan oleh will-nya manusia (rasionalitas) untuk tujuan-
tujuan paganisme. Demikian juga wacana HI saintisme dan strukturalisme yang
justru meneguhkan pagan Yunani berupa keunggulan rasionalitas dan sistem yang
sifatnya abstrak. Misalnya will-nya Waltz yang berusaha mengulang sejarah
keilmuan Copernicus dalam studi hubungan internasional. Wacana HI.
Dunia pasca Perang Dingin mengalami distorsi komunikasi atas akar
tradisi pagan modernitas. SHI selama ini berpusat pada proyek modernitas, yakni
menjalankan dan mewujudkan keberlangsungan sistem negara-bangsa (1648) dan
keberlangsungan sistem kapitalisme atau the highest stage of capitalism
(imperalisme) mengalami stagnasi dan statisme, khususnya setelah kegagalan
kaum HI strukturalis. Hal ini berusaha direkonstruksi oleh wacana
konstruktivisme, tetapi teks-teksnya tetap terjebak pada tradisi negara-bangsa
197

klasik dan tradisi pendekatan positivisme. Pemahaman Linklater dalam karya, The
Transformation of Political Community (1998) berusaha merekonstruk proyek
modernitas yang belum selesai ini. Linklater membuat penulis sadar bahwa
dengan adanya departemen hubungan internasional di Wales, konsep negara-
bangsa masih terus stagnan dan statis, tetapi terus mempertahankan dirinya dalam
dunia politik modern. Adanya konsep yang stagnan dan statis ini mengakibatkan
semuanya terpusat pada satu identitas, yakni identitas nasional yang dianggap
sangat krusial dalam dunia sosial yang berhubungan dengan warganegara di
dalam komunitas politik ideal. Linklater memaparkan bahwa sentimen
kosmopolitan telah mengawasi kecenderungan untuk membatasi anggota
komunitas moral sesama warganegara di dalam konsep identitas nasional. Dalam
konteks ini, ternyata anggota masyarakat negara modern mempunyai dua
identitas: sebagai warganegara dan sebagai manusia, dan beberapa telah
mengkonstruksi diri mereka sebagai warga dunia (sama halnya sebagai mana
warga negara), karena adanya daya tarik dari keberlangsungan keyakinan
kosmopolitan. Gagasan tentang warga dunia biasanya mengacu pada hasrat untuk
humanisme.
Namun tradisi dominan teori politik seringkali mengkritisi usaha untuk
memasukkan konsep warganegara ke dalam dukungan aspirasi-aspirasi ini.
Mereka berargumen bahwa warga negara yang ideal dari partisipasi yang aktif
dalam politik hanya bisa dipahami dalam aturan yang mengikat antar bangsa atas
dasar pandangan hidup secara umum. Beberapa cabang teori politik membela
klaim Hegel bahwa sesuatu tindakan bodoh, jika membelokkan konsepsi warga
dunia melawan konsepsi negara-bangsa—sejak hal itu tetap merupakan satu-
satunya model organisasi politik yang mampu mewujudkan warga negara yang
ideal. Linklater mengutip lagi pandangan Hegel bahwa kunci dari tranformasi
hubungan internasional ke arah komunitas politik adalah mewakili tradisi yang
menekankan pada harmonisasi ruang kewajiban universal dan partikular satu
dengan yang lain. Pandangan ini merupakan keberhasilan terbesar negara modern.
Moral universal mempengaruhi negara melalui partisipasinya dalam masyarakat
internasional yang pluralis.
198

Lalu Linklater berpindah pada pandangan Kant. Baginya pandangan Kant


ini sangat penting, sebab Kant adalah analisis utama dalam aspek hukum yang
menganalisa kegagalan negara modern. Dalam pandangan Kant, ketaatan tugas
warga kosmopolitan tidak perlu menyerahkan dirinya kepada kedaulatan negara
modern, tetapi justru memperluas tujuan-tujuan moral yang selalu dilatih untuk
terus disadari dalam kehidupannya. Anggota masyarakat internasional solidaritas
memungkinan bagi negara liberal untuk maju ke arah ini. Argumentasi Kant ini
diperluas oleh E.H. Carr yang mempertimbangkan bentuk baru asosiasi politik
yang secara mendalam meloloskan ke arah sebuah prinsip negara-bangsa. Carr
mengakui bahwa klaim terhadap kedaulatan nasional tidak bisa mencegah negara-
bangsa dari pengakuan bahwa warga negaranya dan pihak asing milik dari
komunitas moral yang lebih luas. Dalam pandangan Carr, apa yang membuat
masalah tentang kedaulatan nasional adalah aturannya dalam mencegah warga
negara dan pihak asing untuk bergabung sebagai sebuah entitas yang sederajat
bersama komunitas politik internasional yang lebih luas.
Linklater masih terus konsisten di jalan Hegel tentang komunitas etis
sebagai tujuan kehidupan bermasyarakat, semacam perpaduan antara polis Yunani
yang serba rasional dan gereja perdana yang dipenuhi kasih. Sesuai dengan
rekonstruksi teori kritis, pandangan hegel diteruskan oleh Kant. Kant meluruskan
pandangan Carr yang dianggapnya tidak relevan bagi perubahan di SHI. Dia
memaparkan secara skeptis bahwa pandangan Carr tentang bentuk organisasi
politik, penyatuan kedaulatan, nasionalisme, batas teritorial, warga Negara. Atas
dasar pengembangan pandangan Hegel tentang komunitas etis dalam bentuk
kewajiban moral (imperatif kategoris) universal dan rasio kritis, semua pandangan
Carr diganti, digeser. Teori kritis berusaha mewujudkan proyek modernitas pada
warga transnasional Eropa baru. Konsep baru ini adalah tingkatan paling tinggi
dari pemahaman teori kritis Kantian. Analisisnya mengindikasikan bahwa sebuah
komitmen terhadap eksperimentasi post-Westpharlia terlibat lebih tepat pada
bentuk kerjasama dari pada kebutuhan masyarakat internasional pluralis atau
solidaris dari bagian konstituennya. Dengan mematahkan nagara-bangsa klasik,
komunitas post-Westphalia akan mempromosikan sebuah warga transnasional
199

dengan keloyalan politik yang berlipat dan tanpa harus patuh pada kuasa
kedaulatan pusat. Kondisi loyalitas yang terbagi dan otoritas yang berlibat akan
berkembangbiak untuk memunculan kembali sebuah proyek yang menyeluruh
(totalising project). Proyek ini adalah kerja teori internasional kritis yang
membela norma ideal dari bentuk komunitas politik yang disadari secara potensial
untuk mencapai level universalitas dan perbedaan, semacam romatisme jaman
Hellenisme yang mengedepankan totalitas rasio untuk menangani partikularisme
dalam mewujudkan etika universal atau istilahnya Hegel komunitas etis yang
total.
Dalam hal ini, gagasan Linklater dalam mengembangkan pandangan Kant
memaparkan bahwa warga negara terlibat untuk menikmati hak sipil, politik,
sosial dan budaya, dan mempunyai tugas untuk menggeser penghalang apapun
untuk menciptakan anggota komunitas politik yang sederajat. Sebuah masyarakat
yang mempunyai ikatan untuk mewujudkan gagasan tentang warga negara
diwajibkan atas dasar keyakinan ini untuk mengajak pihak luar (asing) dalam
dialog terbuka tentang sesuatu yang mereka hargai bersama dari kerusakan
kepentingan mereka sendiri. Proses ini memerlukan jalan untuk melampaui
dikotomi anatra warga negara dan pihak luar (asing) dengan menciptakan sistem
aturan gabungan. Aturan post-Wesphalia di Eropa saat ini adalah eksperimentasi
yang paling elaboratif dalam kerjasama yang dekat untuk diwujudkan. Dengan
modal moral-etis yang sudah diakumulasikan dalam proses menciptakan hak dan
kewajiban warga negara nasional, membantu sebuah sumber daya untuk
rekonfigurasi masyarakat internasional ke dalam upaya norma yang ideal ini.
Bagi Linklater, karyanya ini tidak begitu mementingkan sebuah bentuk
tulisan filsafat sejarah, dibandingkan motifnya untuk menegaskan tentang
signifikansi jaringan komunikasi universal untuk merefleksikan sebuah visi
komunitas dialogi. Tugas warga negara kosmopolitan adalah untuk membuang
gagasan tentang warga negara nasional ke luar dari ruang hubungan internasional.
Fungsinya adalah untuk mempromosikan pencapaian komunitas komunikasi
universal (engan aturan rasio) dengan menekankan bahwa aturan pluralitas,
solidaritas, dan post-Westphalia menghargai prinsip persamaan derajat. Poin
200

pentingnya adalah untuk menjamin legitimasi dari semua praktik-praktik


komunikasi, baik domestik maupun internasional yang ditentukan dalam aturan
yang sama, yakni mengajak pihak luar ke dalam dialog terbuka dan dengan
kerjasama untuk menggeser tekanan atas efek-efek partisipasi mereka. Jadi
warganegara kosmopolitan adalah promosi visi sebuah kerajaan universal terakhir,
dan keberanian usaha dengan bersama-sama mewujudkan gagasan neo-Marx dari
kemunculan ketimpangan power (mewakili kaum realis) dan kekayaan (mewakili
kaum liberalis).
Berpijak dari gagasan Kantian, Linklater mempercayai bahwa masyarakat
dapat memperluas batas wacananya, walaupun perbedaan bahasa dan perbedaan
agama mencegah mereka untuk berkumpul bersama. Kemampuan mereka untuk
melampaui perbedaan lokal dan mengacu pada diri mereka yang merumuskan
sebuah aturan main kerajaan universal terakhir membuat sebuah kemungkinan
untuk dihapusnya negara berdaulat yang sudah lemah. Linklater terus konsisten
memperjuangkan gagasan Kant. Bagi Linklater transformasi hubungan
internasional harus dimulai dengan membuat aturan baru bagi komunitas politik
tas dasar rasio. Perubahan pemahaman tentang perdamaian dimulai dengan
mempermasalahkan sistem dasar yang eksklusif yang akan menentang norma
yang ideal komunitas komunikasi universal atau yang menghambat
perkembangannya. Para penerus Kant seperti Marx memberikan kritik konstruktif
bagi pandangan liberal Kant. Marx yang dikutip oleh Wellmer dan J.M. Berstein,
dijabarkan oleh Linlater mejelaskan bahwa perjuangan kelas selalu mengalami
distorsi komunikasi. Hal ini menciptakan suatu utopia bagi transformasi hubungan
internasional menuju komunitas politik internasional, tetapi dengan mengisi
potensia moral-etis unik mereka, masyarakat modern bisa membuktikan
kemampuannnya dalam menciptakan aturan dialog yang unik dalam sejarah
organisasi politik dunia. Jadi dengan mewujudkan janji era post-Westphalia
adalah esensi dari proyek modernitas yang belum selesai (unfinished project of
modernity).
Sejarah menggambarkan tiga masa adalah abad kuno (Yunani dan
Romawi), abad pertengahan (Kristen Yahudi dan Islam), dan abad Modern.
201

Dengan perkiraan paling rendah abad kuno dimulai dari masa Humerus atau
Thales, Bapak filsafat Yunani hingga munculnya al-Masih. Sementara abad
pertengahan dimulai dari munculnya al-Masih hingga masa pencerahan
(renasissance). Abad ini berbatasan dengan abad kuno pada masa Hellenic serta
berbatasan dengan abad modern pada masa revitalisasi (abad ke-14) masa
reformasi agama (abad ke-15), dan pencerahan (abad ke-16), sedangkan abad
modern dimulai abad ke-17 hingga abad ke-20. Periodisasi tersebut
mengindikasikan beberapa hal yang signifikan: pertama, menyeragamkan seluruh
peradaban yang berpusat pada Yunani Kuno, sehingga sekarang kaum HI modern
berusaha mentotalkan proyek modernitas yang belum selesai atas dasar rasio
Yunani. Dengan kata lain, proyek ini adalah kesempurnaan dari paganisme
Yunani Kuno. Kedua, mengingkari peran peradaban lama Cina, India, Persia, dan
Mesir Kuno.
Dengan bantuan post-structuralism dan post-modernism, penulis sudah
berusaha menjelaskan bahwa semua tradisi HI modern adalah bentuk dari suatu
wacana partikular Barat yang berpijak dari rasionalitas Yunani. Struktur tradisi
Barat yang dikembangkan sejak abad modern (pencerahan) oleh Eropa dan
diteruskan oleh Amerika Serikat tidak pernah terputus tali pemikirannya dari
tradisi Yunani. Ketika tradisi ini meluas ke seluruh dunia internasional, maka
semua tradisi pemikiran di muka bumi ini seperti India, Cina, Islam ditindas,
dimarginalisasikan, dibungkam, dikubur dan dipinggirkan. Abad ini adalah
holocaust tradisi pemikiran di dunia oleh rasio Barat yang berpijak dari era
Hellenisme Yunani. Seluruh dunia dianggap, diklaim mempunyai rasio universal,
moral-etis universal, sehingga bias diajak untuk menciptakan dialog terbuka,
bekerjasama dan menciptakan masyarakat kosmopolitan. Dengan mengambil
studi kasus European Union sebagai bahan percobaan, kaum HI modern berusaha
melebarkan regionalisme ini menjadi kosmopolitanisme. Hal ini adalah proses
seperti dahulu ketika negara-bangsa (1648) menyebar ke seluruh dunia.
Permasalahannya, dunia post-modern terdiri dari komunitas yang unik, plural dan
kondisinya adalah perayaan keberagaman. Sedangkan secara spesifik lagi, yang
mengklaim dunia ini adalah kondisi pascakolonialisme, mereka mengklaim bahwa
202

jaman ini adalah representasi dan perlawanan teks terhadap imperalisme atau neo-
imperalisme; jadi mereka tidak sekedar merayakan keberagaman saja. Dalam
konteks ini, dialog terbuka tidak perlu rasionalitas tunggal seperti pandangan
Linlater atau tradisi pemikir teori kritis, tetapi apa yang dikatakan oleh seorang
post-modernist, Der Derian, bagaimana setiap wacana teks dihadirkan, kemudian
dikomunikasikan satu dengan yang lainnya. Jadi terpatok pada tradisi pemikian
besar sebagai payung atau drive terlebih dahulu, tetapi pandangan seorang post-
modernist, Lyotard menyarankan untuk merepresentasikan atau menghadirkan
smallnarrative yang tengah tertindas, terbungkam, terlindas, termarginalisasi
untuk bersuara mewakili dirinya sendiri. Dalam kerangka Foucault, penulis sudah
mengetahui bahwa pengetahuan dalam studi hubungan internasional selama ini
adalah kekuasaan (rasio) tradisi pemikiran Barat dalam perjuangannya, war all
against all, atas kuasa tradisi pemikiran non-Barat. Karena dalam kerangka
Derrida studi hubungan internasional tidak mempunyai esensi atau hakikat
keilmuan, maka atas bantuan Foucault, studi ini menjelaskan bahwa hakikat studi
hubungan internasional adalah kuasa pemikiran Barat untuk mengontrol dan
menguasai dunia internasional, khususnya membungkam, memarginalisasikan,
menindas, dan mengubur pemikiran non-Barat. Analisis intertekstualitas ini
sifatnya inter-teks, sehingga jika kuasa ini dipahami secara empiris, kita akan
kecewa. Penulis hanya menekankan penelitian dalam media inter-teks, sehingga
teks yang terbungkam dapat saya suarakan. Dalam konteks ini, saya menyuarakan
teks saminisme. Pengambilan studi budaya dan pascakolonialisme dalam
menjelaskan teks saminsime dimaksudkan karena wacana ini hadir di Negara
Dunia Ketiga, Indonesia sebagai komunitas tertindas, terbungkam oleh
imperalisme yang datang seperti Belanda dan Jepang. Negara berdaulat Indonesia
sekarang ini bagi kaum saminis adalah bentuk neo-imperalisme, sehingga jika
kaum saminis tidak cerdas dalam menghadapinya, maka mereka akan dikubur dan
dibungkam juga. Salah satu senjata dari kaum saminis adalah teks permainan
bahasa atau metaphor, yakni menuturkan teks yang dipahami secara umum, tetapi
menyembunyikan teks yang sesungguhnya. Hal ini adalah strategi politik-budaya
kaum saminis agar penghayatan hidup yang hakikinya tetap murni dan suci—
203

sebagaimana dengan pandangan hidup komunitas saminisme. Formasi diskursif


saminisme ini bisa dikembangkan sebagai akar tradisi wacana alam pikir baru HI
di Indonesia. Struktur alam pemikirannya bisa mulai dikembangkan melalui studi
lebih lanjut. Di sini, penulis hanya memberi batu tumpuan bagi penelitian lain
untuk mengembangkan wacana tradisi pemikiran saminisme dalam studi
hubungan internasional. Dalih kaum saminis yang sekiranya bisa dikembangkan
sebagai akar tradisi alam pikir HI Indonesia: konsep “individualisme saminisme”
yang berbeda dengan “individualisme Barat,” konsep “lugu,” konsep relasi
manusia dengan alam (manusia, tanah, tumbuhan, hewan), konsep “representasi”
dan “strategi permainan bahasa” atau konsep “metafor.”
204

DAFTAR PUSTAKA

Adorno, Theodor W. & Max Horkheimer. Dialectic of Enlightenment (London:


verso, 1979).
Agger, Ben. Critical Social Theories: an Introduction, terj (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2003).
Apter, David E., Introduction to Political Analysis (Cambridge: Massachusetts,
Winthrop Publishers, Inc., 1977).
Belasco, Milton J. & Patricia R. Reilly. Basic World History (UK: Cambridge
Book Company, 1959).
Barker, Chris. Cultural Studies: Teori & Praktik, terj (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2004).
Baldwin, David A. “Neoliberalism, Neorealism, and World Politics,” dalam
Neorealisme and Neoliberalisme: the Contemporary Debate, diedit
oleh David A. Baldwin (New York: Columbia University Press,
1993).
Brinton, Crane. The Shaping of The Modern Mind, (USA: The New American
Library of World Literature Inc., 1956).
Broad, Robin Broad. Global Backlash: Citizen Initiatives for A Just World
Economy (Oxford: Rowman&Little Publishers Inc, 2002).
Brown, Chris. Understanding International Relations (London: MacMillan Press
LTD, 1999).
Budiman, Hikmat. “Hak Minoritas, Mulikulturalisme, Modernitas,” dalam Hak
Minoritas: dilemma multikulturalisme di Indonesia, diedit oleh
Hikmat Budiman (Jakarta: Yayasan Interseksi, 2003).
Burchill, Scott, dkk. “Realism and Neo-realism,” dalam Theories of International
Relations (London: MacMillan Press LTD, 1996).
Calhoun, Craig. Critical Social Theory (US: Blackwell, 1995).
Chandra, Prakash. International Politics, edisi ke-2 (India: Vikas Publising house
PVT LTD, 1995).
Cox, Robert W. Production, Power, and World Order (New York: Columbia
University Press, 1987).
-------------------. “Social Forces, States and World Orders: Beyond International
Relations Theory”, dalam Perspectives on World Politics, ed.
Richard Littles dan Michael Smith, (London: Routledge, 1991)
-------------------. “Gramsci, Hegemony 202and International Relations Method”,
dalam Gramsci, Historcal Materialism and International
Relations, diedit oleh Stephen Gill (UK: Cambridge University
Press, 1993).
Danaher, Geoff. Tony Schirato dan Jen Webb, Understanding Foucault, (London:
SAGA Publications, 2000).
Der Derian, James. “The Boundaries of Knowledge and Power in International
Relations,” dalam International/Intertextual Relations, (Canada:
Lexington Books, 1989).
205

Devetak, Richard. “Critical Theory”, dalam Theories of International Relations,


diedit oleh Scott Burchill dan Andrew Linklater (London:
MacMillan Press LTD, 1996).
Dickens, David R. Andrea Fontana, Postmodernism & Social Inquiry (New York:
The Guilford Press, 1994).
Dougherty, James E., dan Robert L. Pfaltzgraff, Jr., Contending Theories of
International Relations (United State: Wesley Educational
Publishers Inc., 1997).
Eaglestone, Robert, Postmodernism and Holocaust Denial (UK: Totem Books,
2001).
Fauzi, Ibrahim Ali. Jürgen Habermas (Bandung: Teraju, 2003)
Foucault, Michel. The Order of Things: an Archeology of Human Sciences
(London: Tavistock Publications, 1970).
Foucault, Michel. Power/Knowledge: selected interviews & other writings 1972-
1977 (New York: Pantheon Books, 1980).
-------------------. The Archaeology of Knowledge (London: Routledge, 2002).
Gani, Soelistyati Ismail, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987).
George, Jim, Discourses of Global Politics: A Critical (Re) Introduction to
International Relations (USA: Lynne Rienner Publishers, Inc.,
1994).
Gill, B.K. “International Relations Theory and the Processes of World History:
Three Approachs,” dalam The Study of International Relations: the
State of the Art, diedit oleh Huga C. Dyar dan Leon Mangasarian
(New York: St. Martin’s Press, 1989).
Griffiths, Martin. Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional (Jakarta:
Murai Kencana: 2001).
Habermas, Jürgen. Knowledge and Human Interests (Boston: Beacon Press,
1971).
----------------------. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi, terj (Jakarta: LP3ES,
1990).
----------------------. The Theory of Communication Action Volume I: Reason and
The Rationalization of Society, (Boston: Beacon Press, 1981)
Hanafi, Hassan. Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, terj (Jakarta:
Paramadina, 2000).
Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan
(Yogyakarta: Kanisius, 1990).
------------------------. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik
& Postmodernisme Menurut Jürgen Habermas (Yogyakarta:
Kanisius, 1993).
-----------------------. Melampaui Positivisme dan Modernitas: diskursus filosofis
tentang metode ilmiah dan problem modernitas (Yoyakarta:
Kanisius, 2003).
----------------------. Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia, 2004).
Held, David. Introduction to Critical Theory: Horkheimer to Habermas (UK:
Polity Press, 1990).
206

Heertz, Norena. “Hidup di Dunia Material: munculnya gelombang


Neoliberalisme,” dalam Neoliberalisme, diedit oleh I Wibowo &
Francis Wahono (Yogyakarta, Cindelaras, 2003).
Howarth, David. Discourse (Philadelphia: Open University Press, 2000).
Hutcheon, Linda, the Politics of Postmodernism, terj (Yogyakarta: Jendela, 2004).
Ikenberry, G. John., dkk. “Ambisi Imperial Amerika Serikat,” dalam Amerika dan
Dunia, (Jakarta: YOI, 2005).
Imhoff, Daniel. Community Supported Agriculture: Farming With a Face on It,
dalam Jerry Mander dan Edward Goldsmith (Ed) the Case against
the Global Economy and For a Turn toward the Local, (San
Francisco: Sierra Club, 1996).
Jackson, Sorensen. Introduction to International Relations, (UK: Oxford
University Press, 1999).
Jemadu, Aleksius, Berbagai Kecenderungan Baru dalam Studi Hubungan
Internasional Pasca Perang Dingin dan Pemaknaanya bagi
Pembangunan Negara-Bangsa Indonesia (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1999).
Kaelan. Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein (Yogyakarta: Paradigma,
2004).
Kahler, Miles. “Inventing International Relations: International Relations Theory
After 1945,” dalam New Thinking in International Relations
Theory, diedit oleh Michael W. Doyle dan G. John Ikenberry,
Amerika Serikat (USA: Westview Press, 1997).
Kegley Jr., Charles W. Contraversies in International Relations Theory: Realism
and the NeoLiberalism Challenge (New York: MacMillan Press
LTD, 1995).
--------------------------. “World Politics, Trend and Transformation,” dalam Rival
Theoretical Interpretations of World Politics (New York: Boston,
edisi ke-7, 1999).
Lash, Scott. The Sociology of Post-Modernism, terj (London: Routledge, 1990).
Linklater, Andrew. Beyond Realism and Marxism: Critical Theory and
International Relations (London: MacMillan Press LTD, 1990).
---------------------. The Transformation of Political Community (UK: Polity Press,
1998).
Lubis, Akhyar Yusuf. Dekonstruksi Epistemologi Modern (Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu, 2006).
Maghroori, Ray, dan Bennett Ramberg. “Globalism versus Realism: A
Reconciliation,” dalam Globalism versus Realism International
Relations Third Debate, diedit oleh Ray Maghroori dan Bennett
Ramberg (USA: Westview Press, 1982).
Mas’oed, Mohtar. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi
(Jakarta: LP3ES, 1990).
Mayo, Marjorie. Global Citizens: Social Movement & the Challenge of
Globalization (New York & London: Zed Books, 2006).
Mills, Mills. Discourse (London: Routledge, 1997).
207

Nicholson, Michael. International Relations: a Concise Introduction (London:


MacMillan Press LTP, 1998).
Piliang, Yasraf Amir. Hiper-Realitas: Kebudayaan (Yogyakarta: LKiS, 1999).
-------------------------. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003).
-------------------------. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam era Posmetafisika
(Yogyakarta: Jalasutra, 2004).
------------------------. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam era Virtualitas
(Yogyakarta: Jalasutra, 2005).
Philpott, Simon. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism
and Identity, terj (Yogyakarta: LKiS, 2003).
Reus-Smit, Christian. The Moral Purpose of the Nation State: Culture, Social
Identity, and Institutional Rationality in International Relations
(UK: Princeton University Press, 1999).
Robinson, David. Nietzsche and Postmodernism (USA: Totem Books, 1999).
Sardar, Ziauddin dan Borin Van Loon, Cultural Studies: for beginners, terj
(Bandung: Mizan, 2001).
Sim, Stuart. Derrida and the End of History (USA: Totem Books, 1999).
-------------. Lyotard and the Inhuman (USA: Totem Books, 2001).
Smith, Steve “The Self-Images of a Discipline: A Geneology of International
Relations Theory, dalam International Relations Theory today
diedit oleh Ken Booth dan Steve Smith (The Pennsylvania State
University Press: USA, 1995).
---------------. “Positivism and Beyond,” dalam International Theory: Positivism
and Beyond, diedit oleh Steve Smith, Ken Booth dan Marysia
Zalewski, (Britain: Cambridge University Press, 1996).
---------------. The Globalization of World Politics: an Introduction to
International Relations, diedit oleh Steve Smith dan John Baylis
(New York: Oxford University Press, 1997).
Spanier, John. Games Nations Play, edisi VII (Florida: CQ Press, 1990).
Spivak, Gayatri Chakravorthy. “Can the Subaltern Speak?” Post-Colonial Studies
Reader, diedit oleh Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dkk. (UK:
Routledge, 1995).
Stewart-Harawira, Makere. The New Imperial Order: Indigenous Respon to
Globalization, (London & New York: Huia Publishers, 2005).
Sudarsono, Juwono, dkk. “State of Art Hubungan Internasional: Mengkaji Ulang
Teori Hubungan Internasional,” dalam Perkembangan Studi HI
dan Tantangan Masa Depan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996).
Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat. (Yogyakarta:
Kanisius, 1996).
Sutrisno, Mudji, Hendar Putranto dkk. Hermeneutika Pascakolonial: Soal
Identitas (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
Waever, Ole. “Figures of International Thought: introducting person instead of
paradigms, dalam The Future of International Relations, diedit
oleh Iver B. Neumann dan Ole Waever (USA: Routledge, 2001).
208

Wahono, Francis, & Kenneth D. Thomas. “Globalisasi dan Inisiatif-Inisiatif


Lokal, dalam Pangan,” Kearifan Lokal & Keanekaragaman
Hayati: pertaruhan bangsa yang terlupakan, disunting oleh
Francis Wahono, AB. Widyanta, Titus O. Kusumajati (Yogyakarta,
Cindelaras & Satu Nama, 2001).
Wallerstein, Immanuel. Open the Social Science (California: Stanford University
Press California, 1996).
Waltz, Kenneth Theory of International Politics (New York: Newbery Award
Record Inc., 1979).
Wendt, Alexander. Social Theory of International Politics, (UK: Cambridge
University Press, 1999).
Wight, Martin, International Theory: the Three Traditions, (New York: Holmes
& Meier Publishers, Inc., 1992).
Varma, SP. Teori Politik Modern (Jakarta: Rajawali Pers, 1995).
Vattimo, Gianni. The End of Modernity: Nihilism and Hermeneutics in Post-
Modern, (UK: Polity Press, 1988).
Viotti, Paul R., dan Mark V. Kauppi. International Relations Theeory: Realism,
Pluralism, Globalism (New York: MacMillan Publishing
Company, 1987).
Zehfuss, Maja. Constructivism in International Relations: the politics of reality
(UK: Cambridge University Press, 2002).

Jurnal & Working Paper


Leonard Hutabarat. “Kegagalan Referendum Konstitusi Eropa: ‘Quo Vadis’ Uni
Eropa?” dalam Jurnal Global, Vol. 8, No. 1, November 2005.
Alexander Wendt. “Anarchy Is What States Make of It: the social construction of
power politics,” dalam International Organization: a reader (USA:
Harpaer Collins College Publications, 1994).
Richard K. Ashley. “Political Realism and Humant Interests”, International
Studies Quarterly 25 (1981).
Christian Reus-Smit. The Constructivist Turn: Critical Theory After Cold War,
Warking Paper, No. 4, Canberra, 1996.

Internet
http://www.twnside.org.sg/title/delhi-cn.htm. & suns@igc.org. , diakses pada
tanggal 7 Maret 2005, pukul 19.47 wib.
http://geologyandgeography.vassar.edu/projects/saed/Espar.htm, diakses paa
tanggal 9 Maret 2005, pukul 19.20 wib.
http://www.nativityepiscopalchurch.org/scene/summer2003/july03_files/page000
2.htm, diakses pada tanggal 9 Maret 2005, pukul 19.20 wib.

Kamus & Ensiklopedia


Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003)
Wikipedia ensiklopedi, “critical international relations theory,”
http://en.wikipedia.org/wiki/Critical_international_relations_theory, diakses pada
tanggal 10 Juni 2006, pukul 16.35 wib.

Anda mungkin juga menyukai