Anda di halaman 1dari 19

MENGUAK JEJAK FILSAFATI PADA FENOMENA ARSITEKTUR, URBAN

DAN KEHIDUPAN UMAT MANUSIA1

Dr. Ir. Rudyanto Soesilo MSA


Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
rudyanto@unika.ac.id

ABSTRAK

Filsafat merupakan kegiatan umat manusia yang membedakan dirinya (homo


sapiens) dengan mahluk lainnya. Filsafat merupakan perenungan sang manusia tentang
segala sesuatu, bersifat radikal, mendasar dan berazaskan de Omnibus dubitandum –
always doubting everything, yang intinya :meragukan segala sesuatu, senantiasa mencari
kebaruan, alternatif dan inovasi-inovasi baru tentang apapun. Filsafat menjadi pandangan
hidup, paradigma dan kerangka acuan bagi manusia dalam mengarungi kehidupannya.
Seluruh aspek kehidupan manusia dipengaruhi oleh pandangan hidupnya ini. Penulis
berusaha menguak jejak filsafati baik dalam sudut pandang ontologis, epistemologis
maupun axiologis, pada aspek kehidupan yang menyangkut arsitektur, urban dan secara
keseluruhan aspek kehidupan praxis umat manusia. Tulisan ini diawali dengan ranah
kerja filsafat, pergolakan pemikiran manusia dalam berfilsafat beserta aspek-aspek
pengejawantahannya dalam kehidupan. Dilanjutkan dengan melacak jejak filsafat dalam
karya arsitektur, penataan urban dan jejak filsafat dalam praxis kehidupan umat manusia
dalam penerapan epistemologis dan axiologis.

Kata kunci : Filsafat, arsitektur, urban, etika

PENDAHULUAN :

Peta-alur akademis penulis dimulai dari ketertarikan pada telaah yang mendasar
dan mendasari berbagai fenomena kehidupan, diantaranya arsitektur, penataan urban dan
relasi antar manusia sehari-hari. Ketertarikan ini penulis pungkasi dan wujudkan dengan
mendalami dan menyusun disertasi tentang pemikiran filsafat mutakhir yaitu

1
Dipresentasikan pada SEMINAR ON: ―KNOWLEDGE TO TRANSFORM‖ di Unika
Soegijapranata, 29 Maret 2016
Postmodernisme secara umum dan kemudian dikaitkan dengan penerapannya pada
fenomena arsitektur Postmodern. Sebelumnya penulis telah menyusun tesis dengan judul
―Fenomena mode dalam arsitektur‖ , yang menelaah tentang kecenderungan dan
pengaruh-pengaruh pandangan hidup dan kesadaran psikologis dari seseorang untuk
mengambil keputusan dalam mengadopsi sebuah langgam arsitektur.

Dengan modal tersebut, dilanjutkan dengan penyelenggaraan perkuliahan di


program Strata-1 dan Strata-2, tentang Teori dan Sejarah Arsitektur (TSA 3),
Perencanaan dan Perancangan Arsitektur (P3A7), Filsafat Arsitektur , Perancangan
Urban & Real-estate dan beberapa lainnya. Untuk telaah Filosofis Epistemologis,
diterapkan pada penyelenggaraan perkuliahan Filsafat Ilmu dan Metodologi riset.
Sedangkan telaah filosofis Axiologis diterapkan pada penylenggaraan perkuliahan
Estetika, Etika dan Etika profesi .
Untuk penulisan ilmiah dan penelitian, banyak dilakukan dengan tetap pada peta-
alur yang ada, baik pada jurnal ilmiah, seminar dan konferensi nasional dan internasional,
serta berbagai media dan surat kabar yang bernuansa ilmiah-populer dll. Beberapa topik
diantaranya adalah tentang Arsitektur Postmodern, Konservasi arsitektur disebuah negara
ex Kolonial, Problematika Kota Postmodern, tulisan tentang Estetika dan Etika
Postmodern, dalam kancah Bisnis dan Politik Kenegaraan. Penelitian dilakukan tentang
Citra kota, Akulturasi arsitektur , Perkembangan arsitektur di era modern Indonesia,
Arsitektur Postmodern Neo-vernakular, Arsitektur sebagai wahana rekayasa sosial dll.
RANAH FILSAFAT

Disamping kegiatan instingtif, manusia sebagai mahluk yang berfikir kemudian


mendasarkan kegiatan-kegiatan dan tata-nilai dalam hidupnya pada kesimpulan dari hasil
telaah dan perenungannya yang disebut filsafat. Telaah filsafat mencakup telaah tentang
―ada‖, keberadaan umat manusia dalam alam semesta ini. Telaah ini disebut telaah
―ontologi‖ (ontis = ada,logos = telaah) yang kemudian melahirkan konsep-diri manusia.
Konsep diri ini kemudian menentukan cara umat manusia mencari kebenaran, pencarian
ini disebut ―epistemologi‖ (episteme2 = kebenaran ilmiah) yang kemudian menjadi
landasan pijak metoda ilmiah . Konsep diri juga menentukan tata-nilai dari manusia
tersebut yang digunakan untuk pedoman dalam hidup kesehariannya, perenungan tentang
ini disebut ―axiologi‖ (axia= nilai,value) yang menyangkut Etika, pengetahuan tentang
benar dan salah, baik dan buruk, dan Estetika, pengetahuan tentang indah dan jelek.

2
Lihat episteme dan doxa, Plato
PERGOLAKAN PEMIKIRAN UMAT MANUSIA

Ontologi adalah perenungan dan telaah manusia atas keberadaan dirinya dalam
alam semesta ini , perkembangan dan pergolakan pemikiran umat manusia atas
keberadaannya dalam alam semesta ini penulis golongkan sbb :
 Tahap Kosmos sentris
 Tahap Teos sentris
 Tahap Anthropos sentris
 Tahap Logos sentris

1. Tahap Kosmos sentris


Awal peradaban manusia dimulai pada saat umat manusia menemukan cara
mendomestikasi hewan dan tanaman, sehingga mereka tidak lagi nomaden melainkan
dapat menetap disuatu daerah. Masyarakat agraris ini menyadari bahwa usaha mereka
bercocok-tanam adalah mutlak tergantung kepada alam . Secara anthropomorfis3 apabila
sang Alam tidak berbaik hati menganugerahkan hujan atau panas ke bumi ini, maka
tanaman tidak akan tumbuh. Kesadaran akan kemutlakan ketergantungan kepada alam
inilah yang kemudian memicu pemahaman akan adanya external super-power Sang
Maha-kuasa, yang menguasi dirinya dan alam semesta ini. Sebagai konsekwensinya
muncullah penghayatan dan ritual penghormatan terhadap Sang Maha-kuasa . dalam
perkembangannya lahirlah yang disebut ―Animisme― (anima=roh), yaitu pemujaan
terhadap kehebatan fenomena-fenomena alam seperti petir, halilintar, hujan, badai,
gunung, laut, pohon besar, batu besar, arwah nenek moyang dll. Ritual-ritual ini
mempunyai tujuan agar sang Maha-kuasa berbaik hati memberikan hujan dan panas agar
tanaman dapat hidup, manusia dapat memetik hasilnya dan kehidupan berlangsung.

3
Anthropos= manusia, morph = bentuk, anthropomorphism = pemahaman akan sesuatu yang
menyerupai manusia, ber peri-laku seperti manusia, bisa kebapakan, keibuan, berkehendak, cemburu,
menghukum dll.
Ritual-ritual dan segenap enerji umat manusia saat itu ini berpusat kepada Sang Kosmos,
lahirlah Kosmos-sentrisme.

2. Tahap Teos sentris

Sesuai azas de Omnibus dubitandum manusia yang senantiasa menginginkan


pembaruan-pembaruan karena meragukan yang selama ini ini dianggap sebagi
―kebenaran‖ menemukan bahwa disamping dirinya dan alam semesta ini seperti yang
telah ditemukan pada era Kosmos-sentrisme, ada entitas lain , yang merupakan Sang
Maha-kuasa (the next external super-power) . Sang Maha-kuasa ini adalah Zat lain, yang
bukan manusia dan bukan alam, Sang Teos. Diberbagai belahan bumi ini lahirlah Teos-
sentrisme. Dialam kerimbunan Hutan-hujan-tropis (rain-forest) dengan jutaan spesies,
lahirlah keyakinan (belief) tentang penguasa alam yang berupa Dewa dan Dewi (many
God and Goddes), keyakinan ini dikenal sebagai Politeisme. Dibagian bumi yang lain, di
hamparan pasir Timur-tengah, realitas hanyalah hamparan pasir dan matahari yang
tunggal itu. Dalam nuansa alam ini lahirlah keyakinan tentang Sang Maha-kuasa yang
tunggal, Monoteisme.

3. Anthropos- sentrisme

Pergolakan pemikiran umat manusia terus bergerak , kali ini manusia


mempertanyakan lagi kebenaran yang telah selama ini diterimanya. Manusia menggugat
dan melancarkan revolusi ontologi yang kemudian menobatkan dirinya sebagai penguasa
alam yang baru, tidak lagi diluar dirinya tetapi didalam dirinya (no longer external super-
power). Pemahaman ini membuat dirinya tidak dapat ―meminta‖ pertolongan lagi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan yang dihadapinya dalam
nengarungi hidupnya (condemened to be free). Bertolak dari keadaan inilah, umat
manusia harus jungkir-balik untuk menolong dirinya sendiri. Upaya jungkir balik dan
kerja keras untuk menolong dirinya inilah yang kemudian membuahkan ditemukannya
ilmu dan teknologi yang mengubah dunia. Upaya ini diawali dengan perjuangan umat
manusia untuk menemukan jati dirinya (kembali) pada era Renaissance yang melahirkan
pemahaman tentang hidup yang sekarang ini, modo, modernus (just now). Penemuan jati-
diri ini adalah pemahaman tentang Humanisme, bahwa manusia adalah individu-individu
yang hebat (human) dan syarat untuk dapat menjadi hebat adalah adanya kebebasan,
khususnya kebebasan berfikir (conditio sine qua non). Keyakinan ini kemudian menjadi
label era Anthroposentris yang disebut era Modern, lahirlah Modernisme. Perkembangan
berikutnya adalah perkembangan epistemologi (cara mencari kebenaran) dengan di
padukannya 2 aliran besar pencarian kebenaran , yaitu Rasionalisme (Rene Descartes)
dengan Empirisisme (Locke dkk) menjadi Positivisme (Auguste Comte). Positivisme
Comtean, menguji dugaan (conjecture) hipotesis lewat uji empirik . Lolos uji empirik
ini, didapatkanlah kebenaran positiv yang dapat dipakai pada aras fisik dan dalam
kekinian (modernus), karena lolos uji empirik tadi. Inilah yang disebut sains, kebenaran
positiv yang mengubah dunia sekarang. Sains lalu disebut kebenaran Anthroposentris-
modernis-positivis. Metodanya disebut Metoda-ilmiah (scientific method), yaitu
epistemologi (pencarian kebenaran) para penganut Anthroposentris-modernis-positivis.
Dari ontologi dan epistemologi Anthroposentris-modernis-positivis ini, lahirlah axiologi
yang menghasilkan Etika dan Estetika Modern. Estetika modern melahirkan teknologi
serta karya-karya seni, arsitektur, lingkungan dan perkotaan Modern. Etika modern
menghasilkan tata nilai dan tata hidup Modern , Negara Bangsa (Nation-state), Hak-hak
azasi manusia (Decaration of human rights), ideologi Modern – Kapitalisme, Sosialisme,
Komunisme dll,

4. Logos-sentrisme

Capaian Modernisme yang telah mengubah dunia dan nasib umat manusia seperti
yang kita nikmati saat ini, tidak menghentikan perenungan sang Pemikir untuk
merenungkan keberadaan dirinya. Pergolakan pemikiran umat manusia terus mencari dan
mencari tata atur dan tata nilai yang sesuai dengan perkembangan mutakhir. Hal ini
memicu tumbuhnya pemikiran baru yang menolak klaim kebenaran tunggal Modernisme
(Modernism always trying to be universal) . Ketidak-percayaan lagi terhadap dalil-dalil
Modernisme (Incredulity towards meta-narrative, Lyotard). Bertolak dari telaah bahasa
(Logos) yang mengandung nilai jamak-plural, incommensurable – tak dapat
diperbandingkan. Dari perenungan ini lahirlah Post-modernisme yang bersifat
meneruskan kehebatan Modernisme – Neo-modern, ada yang menerima kembali
kejamakan termasuk nilai-nilai lama, tradisi dan vernacular, lahirlah Neo-Vernacular.
Disamping itu lahir juga pemikiran yang sama sekali menolak dan membongkar tata-nilai
yang selama ini telah dipercayai masyarakat, lahirlah Dekonstruksi.

PEMBAHASAN ARSITEKTUR, URBAN & MANUSIA :

Sub-bab ini merupakan pemaparan singkat dari berbagai tulisan (overview)


dalam rangka menyajikan benang merah dari peta-alur akademik ini yang dituangkah
sesuai judul tulisan ini.

MENGUAK JEJAK FILSAFATI PADA FENOMENA ARSITEKTUR,


URBAN DAN KEHIDUPAN UMAT MANUSIA

Perenungan dan telaah manusia atas keberadaan dirinya dalam alam semesta ini ,
mengalami pergolakan dan memasuki tahap-tahap sbb :
 Tahap Kosmos sentris
 Tahap Teos sentris
 Tahap Anthropos sentris
 Tahap Logos sentris
Keseluruhan tahap pergolakan pemikiran umat manusia tersebut meninggalkan
jejak filsafati pada peradaban manusia yang dapat dibaca dari perkembangan budaya dan
artefak-artefak yang ada, diantaranya arsitektur dan wujud kota.
Wadah tempat umat manusia beraktivitas adalah ruang arsitektur, yang diwadahi
lagi oleh ruang bersama yang disebut kota,4 kota dan kota-kota lainnya diwadahi lagi
dalam ruang hidup dan lingkungan manusia.
Dalam berarsitektur, individu2 dan para aktor pembangunan dalam masyarakat
tidak terlepas dari berbagai tren yang sedang bergolak, diantaranya fenomena mode
arsitektur. Faktor-faktor internal dan pandangan hidup seorang individu bertemu dengan
faktor-faktor external yang bergejolak dalam masyarakat kemudian menentukan
pengambilan keputusan untuk mengadopsi suatu langgam arsitektur tertentu untuk
fasilitas arsitektur yang akan dibangunnya, baik itu untuk dirinya sendiri ataukah suatu
bangunan fasilitas publik5.
Memasuki tahun 1970an, mulailah muncul pemikiran baru yang merespon
Modernisme yang telah berjaya selama kurang lebih 400 tahun. Lahirlah
Postmodernisme, salah satu bidang yang ikut membidaninya adalah Arsitektur. Arsitektur
mengambil peran penting dalam lahirnya Postmodernisme akibat kebosanan terhadap
Arsitektur Modern yang tunggal rupa dan melanda keseluruh belahan dunia . Bangkitnya
kesadaran kembali akan local-wisdom yang kemudian ditampilkan kembali dalam
panggung arsitektur mutakhir dan mendunia, disebut kebangkitan kembali kearifan lokal
dalam langgam Neo-vernakular. Dibarengi dengan pelanjutan kehebatan teknologi
Moderrnis yang melahirlkan Neo-modern dan penolakan dan pembongkaran akan
kebekuan Modernisme dengan munculnya langgam Dekonstruksi. Langgam Neo-
vernakular diharapkan mampu menyegarkan kembali kekayaan arsitektur tradisional
vernacular. Langgam arsitekturNeo-vernakular ini, sangat potensial bagi Indonesia
dengan khasanah arsitektur yang sangat kaya6.

4
Kota bukan dalam dikotomi dengan desa, tetapi sebagai kumpulan hunian, jadi ―desa‖
termasukdalam pengertian ini.
5
Soesilo, Rudyanto, ―Fenomena mode dalam arsitektur‖
6
Soesilo, Rudyanto, ―Arsitektur dalam perspektif filsafat Postmodernisme‖
Postmodernisme tidak hanya mempengaruhi arsitektur, tetapi juga berpengaruh
pada penataan kota,
Cities in developing countries were dominated by low-income population.
The low-income population migrates to a city, inhabit and live there. The Urban-
designer has to be familiar with this major community, for if not, the city will be
designed and developed as an aliened city for the major community live there.The
low-income community comes from rural area and has their own world view,a
cosmocentric ontology, while the city was designed with a modern-colonial
anthropocentric ontology. This different ontological foundation play as a root of a
wider and wider gap as the time goes by and the population grow higher and
higher . At the time being, the gap between the Haves and the Poor grow fast too,
the Haves create enclaves of the exclusive community such as real-estate,
gathering and clubbing facility, shopping area, business area, all in the
exclusiveway. While the Poor occupy the public spaces and change it into an
onstreet ―shopping area‖7.

Salah satu yang perlu dipikirkan adalah arah pembangunan kota Semarang, yang
mempunyai posisi strategis sebagai ibukota propinsi Jawa tengah. Berangkat dari suatu
kota modern, Semarang kini seyogianya memasuki era kota posmodern. Sejak 1970-an
pergolakan pemikiran umat manusia telah meninggalkan kemodernan. Dunia telah
bergeser dari kaidah-kaidah modern yang menimbulkan krisis ekologi, global warming,
dan krisis kemanusiaan — termasuk paradigma penataan kota — menggantinya dengan
paradigma posmodern yang bersifat pro-ekologi, prorakyat (ordinary-people) , pro-local

7
Soesilo, Rudyanto, ―Local wisdom as the ontological foundation to Postmodern Urban-design in
a developing country‖, Jurnal IRSPSD.
genius, prosejarah. Paradigma posmodern yang berbasis participatory planning and urban
designing mengajak masyarakat terlibat perencanaan lingkungan dan kota. Prorakyat juga
diwujudkan dengan pemberdayaan masyarakat dan konsep pembangunan bertumpu pada
masyarakat (community based development).
Kota posmodern tidak me-ruilslag, menghancurkan, menggusur, dan
membusukkan bangunan-bangunan lama. Namun merangkaikan dengan pembangunan
baru (prosejarah) atau justru memisahkannya, mengonservasi seluruh zona wilayah kota
lama dan mewadahi hasrat pembangunan baru dengan zona baru seperti La Defense di
Paris yang ultamodern, sementara kita tetap dapat menikmati suasana the most romantic
town, kota Paris dengan kafe-kafenya. Bayangkan jika kita ke Paris dan hanya
menjumpai kota yang penuh kaca dan beton!
Tetapi pelestarian peninggalan arsitektur , khususnya arsitektur kolonial, perlu
penanganan khusus, jangan sampai kita terjebak ikut mendewakan roh kolonial yang
terkandung didalamnya. Kesadaran itu dikupas dalam konteks Indonesia yang pernah
dijajah.
architectural conservation in Indonesia as an ex Colonized Country, that
faced special problems instead of common problems such as the decline of an old
historic urban. 'Kota-lama' at Jl. Raden Patah , Semarang, which is popular as
'The Little Netherland' is an example of the problem. Another problem is that
some old historic urban areas located in old Downtown areas are currently
becoming more and more interesting areas for business, capital investments and
for living. The land-value become financially so high, that stimulates the Owners
to arrange 'tricks' to remove the Old buildings, we called “Pembusukan‖
(Indonesia : spoiling). Instead of ordinary problems of Architectural Conservation
in such countries, in an ex Colonized Country like Indonesia, there must be a
special approach, attention and attitude on the Architectural Conservation of
Colonial-buildings. That have to be done because In an ex Colonized country, the
Colonial-building had given a traumatic feeling to the indigenous people and if
treated wrong , can bring back the feel of anguish in the present time.8

Secara umum peninggalan arsitektur sebagai pusaka arsitektur memang terancam,


penulis mengungkap ancaman ―pembusukan peninggalan arsitektur‖ sebagai sebuah
strategi untuk menghacurkan artefak tersebut, mungkin demi keuntungan finasial.

8
Soesilo, Rudyanto, ―Architectural Conservation on an ex Colonized Country, the Semarang,
Indonesia case‖,
Architectural heritage conservation in Semarang, Mid Java, faces many
challenges and even threats. There are 2 kinds of architectural heritage
conservation in an ex colonized town like Semarang. The first is the heritage
located on a declined region, a Bronx to be. The second is the heritage located on
a very strategic business area. There are two different threats to each of the the
type of the heritage.
The first one, inherent with the region’s problem, the ―destiny‖ of
the architectural heritage as a member of the declined region is really depends on
the ―destiny‖ of that region. The second one, today, facing many threats because
of the conflict of interest between the land-value and the historical–value of the
building. That conflict triggered a ―War‖ between the building owner with
Capitalistic interest , based on the profit of the real-property and the public
interest of a historical building. That ―War‖ involving many ―actors‖ and stake-
holders, e.g. the investor, the Government, etc. In that ―War‖ many strategies
were being used, among them, what the writer calls Intentionally Decaying
Strategy9.

Dengan paradigma penataan dan pembangunan kota posmodern, warga kota


terhindar dari rasa terasing, teralienasi, karena penataan modernis yang melahirkan pulau-
pulau dengan menara-menara megah, yang bila kita ingin berpindah dari satu gedung ke
gedung lain terpaksa menggunakan mobil seperti di Jalan Thamrin Jakarta, manusia
lantas menjadi makhluk alien yang thingak-thinguk seperti cah-ilang di belantara hutan
beton dan kaca metropolitan. Pada kota posmodern, pedagang kali lima tidak tergusur
sia-sia, tetapi diwadahi, diorganisasi, dan difasilitasi menjadi ―Semarang Bazar‖, yang
diselingi berbagai festival, seperti Festival Warag Ngendhog dan Dhugdheran. Paradigma
posmodern yang prorakyat mewadahi rakyat kebanyakan di ruang-ruang publik kota.
Pedestrian alias fasilitas untuk pejalan kaki dan para difabel tersedia dan terawat rapi,
didesain sangat tropis sesuai dengan iklim Semarang sebagai kota pantai, sehingga
membutuhkan vegetasi khusus yang eyub.

9
Soesilo, Rudyanto, ―Intentionally Decaying Strategy• a threat to architectural heritage, Semarang
case.‖
A city is an artifact as a product of the
long history of the city. Semarang as an old city
had travel a long history too, and the whole
architecture of Semarang’s city and its districts
and regions reflects the path of that history. So
every parts of Semarang city has its own value
and share to the whole Semarang’s history.
That’s why the paradigm and policy of the
Semarang’s conservation has to cover all
historical district and regions in Semarang. So
far nearly everybody and every effort and
energy - from the government, the art
community, the press, universities, many
foundations and many others - have been
pouredto lift up and promote ―Kota-Lama‖ as
an ex- Colonial district. While Pecinan’s community as the inhabitants of the
Chinese district, by their community-based self-supporting effort hassuccessfully
arranged the Semawis bazaar on each Friday till Sunday nights.
As history record, the Dutch Colonial applied the ―Divide et impera‖
colonial politic strategy in separating the many ethnics into each closed districts
merely to easily have control on them , so in Semarang emerged the ―Pelandan‖,
―Pecinan‖, ―Kauman‖, Pekojan‖(the Dutch, the Chinese, the Indonesians, the
Kojas) districts etc. Now in 21st century, we need to adopt the paradigm and the
policy of our City conservation - that is―theMulti Ethnic Semarang’s city
conservation‖- to show the world that after our Independence Day 1945, now we
are together and no longer being separated again. The Heritage with Multi Ethnic
district becomes a monument of Unity with diversity in harmony, over the
Semarang’s citizen and need to be conserve for the sake of history and on behalf
of the mutual benefit for the Semarang’s citizenthis time-being. For example,
theSemarang city with the Multi-ethnic conservation area can be a favoritetourism
destination with multi-ethnic attraction, culinary, culture, architecture and
everyday-life atmosphere, which can generate and improve all every aspects of
the life of the city. Depart from this point of view, we can firmly and strongly
propose and campaign this ―Multi Ethnic Semarang’s city conservation‖ as a
public awarenessand movement.10

Dalam paradigma posmodern, rakyat kecil, kebudayaan masyarakat (mass


culture) diterima sebagai bagian dari penerimaan posmodernisme pada realitas yang
plural. Mereka tidak dipinggirkan, tetapi justru diangkat, diketengahkan, dan menjadi

10
Soesilo, Rudyanto, ―Multi Ethnic Semarang’s city conservation, as a manifestation of Diversity
in Harmony‖, Asean Future Conference 2014.
keunikan yang khas. Jadi bazar Semarangan justru merupakan peristiwa budaya,
pergelaran budaya yang menyatu di ruang-ruang publik. Realitas keberadaan rakyat kecil
diterima sebagai bagian integral masyarakat Indonesia; negara sedang berkembang
dengan segala dinamikanya. Bagian terbesar rakyat itu justru disubsidi dan diwadahi di
ruang-ruang publik kota. Tidak malah diingkari dan diumpetkan dari ruang-ruang publik
kota11.
Manusia modern penghuni kota
modern, membuat lingkungan yang
merupakan negara modern, negara
berkemakmuran tinggi di dunia
ternyata bukan negara yang sering kita
dengar, negara yang adidaya, yang
selalu tampil dalam panggung politik
dunia. Tiga negara yang terletak di Jazirah Scandinavia: Norwegia, Swedia, dan
Denmark, ditambah dengan Finlandia, yang notabene jarang kita dengar (kecuali
Denmark sebagai ’’mitra’’ bulu tangkis) justru termasuk 10 negara paling
berkemakmuran (Prosperous Countries in the World, The Legatum Prosperity Index
2013). Sebagai warga sebuah negara sedang berkembang yang tengah bersiap-siap
melesat ke depan, tampaknya perlu memahami urgensi membenahi diri terlebih dahulu
sebagai prioritas. Pahami sikap introvert country yang lebih memprioritaskan
kesejahteraan yang berkemakmuran sebagai prasyarat utama mencapai tujuan- tujuan
berikutnya. Sebagai negara demokrasi maka suara rakyatlah yang kemudian akan
menentukan negara yang dapat memprioritaskan kesejahteraan berkemakmuran.
Keniscayaan itu bisa ditempuh lewat sikap introvert, tekun, dan concern membenahi diri

11
Soesilo, Rudyanto, ‖Kota Semarang Menuju Kota Posmodern‖, SUARA MERDEKA, 11 Juli
2014
dengan tata kelola dan etos tegar guna mempersiapkan diri melesat menggapai tujuan-
tujuan berikutnya.12
Negara Modern itu seyogyanya dihuni oleh manusia-manusia modern, yang
diantaranya bereksistensi secara Eksistensial, seperti yang penulis ungkap tentang - saat
itu‖Walikota Solo‖ - yang 2 tahun kemudian menjadi Presiden RI.
Pemikiran fatalistis (fate: nasib) lebih mendasarkan pada paham bahwa
manusia hanya mengikuti garis hidup yang sudah ditentukan sebelumnya
(essence). Hal itu berbeda dari eksistensialisme yang lebih mendalilkan bahwa
manusialah yang harus merintis dan mengukir garis hidupnya. Adalah slogan
pemikir Sartre yaitu ―existence precede essence” yang intinya mengartikan upaya
manusia mengukir dan memperjuangkan hidup, pada akhirnya sangat menentukan
nasibnya. Eksistensialisme itu kemudian tercatat telah mengobarkan semangat
manusia modern untuk mengubah nasibnya dengan mengupayakan —kadang
dengan berdarah-darah— berbagai kemajuan untuk umat, seperti dilakukan Steve
Jobs dan para penemu lainnya. ……. Tapi majunya dia dalam kontes
kepemimpinan di Ibu Kota merupakan exercise menyegarkan dan mengobarkan
semangat rakyat akan secercah harapan bahwa negara ini akan dikelola pemimpin
yang berhati jernih. Seandainya dia tidak berani bereksistensi, mungkin hanya
tetangganya yang tahu ada Jokowi yang pedagang mebel. Berarti, Indonesia
kehilangan peluang untuk mendapatkan pemimpin baru.13

Dalam nuansa yang penuh persaingan, kewaspadaan dan kehilangan pegangan,


ditawarkan pedoman bagi masyarakat , sebuah teladan dari patron Unika Soegijapranata,
yaitu ―memihak kepada rakyat kecil‖, “Option for the poor”, “Put people first”,
disampaikan pada Orasi Dies Unika Soegijapranata XXIX, 8 Agustus 2011

12
Soesilo, Rudyanto, ―Negara berkemakmuran‖, harian Suara merdeka, Semarang,
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/06/13/149437/Kota-Semarang-Menuju-Kota-
Posmodern

13
Soesilo, Rudyanto, ―Eksistensialisme ala Jokowi‖, SUARA MERDEKA, 10 April 2012
PUSTAKA :
Merupakan catatan kronologis dari penulisan ilmiah yang selama ini ada,

Tahun Judul
1990 Fenomena Mode dalam Arsitektur
1996 Image of Semarang City
1997 Pola penilaian masyarakat awam terhadap Arsitektur.
Arsitektur dalam perspektif Filsafat Postmodern
2003

KARYA TULIS ILMIAH


Tah Judul Penerbit/Jurnal
un
198 ArsitekturPostmodern berwawasan Jatidiri. Suara Merdeka, Nop
Architectural Conservation on an ex Colonized
8 country, 1988.Proceeding of the 2nd
2006, International Conference on Environment
Intentionally Decaying Strategy, a threat to & Urban Management, Unika
architectural heritage,Semarang Soegijapranata
ase..
24rd Mengatasi Sindroma Marina Proceeding for The third
International Conference on Environment
- 25th and Urban Management, Soegijapranata
Catholic University, Semarang, Indonesia
August Suara Merdeka, Juni
2007, 2009

200
9

B. Makalah/Poster
Tah Judul Penyelenggara
un
2007 Postmodern Architecture, an Opportunity to Presented for the
Culture Sustainability in Architecture. International Conference:Culture
Sustainability in ArchitecturePetra
University ,Surabaya

Introducing the philosophy of Postmodernism in


Presented for the International
architectural education,
June Conference : ―Challenges and

8 – 10, 2007 Paradigma Postmodern dalam experiences in developing Architectural


education in Asia‖, UII Yogyakarta
Pendidikan Arsitektur
Universitas Udayana, Bali
2008 Postmodernism as a way to conserve the
Indonesian culture on facing the Globalization
Presented for the International
Seminar: ―Culture, English language,
Janu
Teaching & Literature‖, Faculty of
ary 16 – 17, Letters, Unika Soegijapranata, Semarang

2008

2008 : Paradigma Postmodern dalam Pendidikan Arsitektur• disajikan pada


Seminar Nasional ―Pendikan Arsitektur Manajemen Studio, menuju Dunia
Arsitektur Profesional‖. Universitas Udayana Bali, Januari 2008
2008 : N.I.S (Lawang Sewu) Development Scenario, Mapping Out the
Investment Potential for the Kota Lama. NETHERLANDS
FELLOWSHIP PROGRAMMES, TAILOR MADE TRAINING ,
PUBLIC AWARENESS IN CULTURAL HERITAGE MANAGEMENT,
Semarang, August 2008
2008 : LESSONS LEARNED FROM MELAKA & SINGAPORE
Recommendations for heritage revitalisation in Semarang.
NETHERLANDS FELLOWSHIP PROGRAMMES, TAILOR MADE
TRAINING , PUBLIC AWARENESS IN CULTURAL HERITAGE
MANAGEMENT, Semarang, September 2008.
2009, Filsafat Pendidikan dan Relevansinya bagi Pendidikan Tinggi, Disampaikan
pada : Diskusi Visi Soegijapranata di Tengah tantangan Pendidikan Tinggi
Katolik Indonesia, 17 Desember 2009 di Unika Soegijapranata, Semarang.
2009, Postmodern Architectural Pedagogy, Jurnal Arsitektur Universitas Pelita
Harapan, Jakarta.
2009, Arsitektur Postmodern, peluang kebangkitan kearifan lokal, Pemakalah
Seminar Universitas Merdeka, malang, 7 Agustus 2009.
2010, The Postmodern view, in Island based Human-settlement development in
Indonesia, Pembicara Seminar Internasional Institut Teknologi Surabaya,
12 Oktober 2010.
2010, Ontologi Seksual dan manifestasi Arsitekturalnya, Pembicara Seminar
Universitas Tarumanagara, Jakarta
2010, The influence of Postmodernism in urban-planning & design in Indonesia,
Seminar Universitas Duta Wacana, Yogyakarta, 26 Nov 2010
2011, Green Living, sebagai salah satu paradigma Postmodern, dan dampaknya
terhadap Arsitektur dan Perkotaan di Indonesia. Pemakalah Seminar
Universitas Petra, Surabaya
2011, The Postmodern lifestyle and the impact to Architecture and Urban
environment in Indonesia., Pembicara Seminar Universitas, Atma Jaya ,
Yogyakarta
Others : etc.
Articles made in magazines, newspaper, etc.
1986 : Arsitektur & Mode (Architecture and Fashion)
1988 : Arsitektur Postmodern berwawasan Jatidiri (Postmodern Architecture with
the concept of identity)
1989 : Kota baru berkonteks Indonesia (New Town in the Indonesian context)
1987 : Arsitektur dalam Perspektif Pembangunan Nasional (Architecture in the
Perspective of National Development), 1st Lustrum Speech, Unika
Soegijapranata, Semarang
1997 : Arsitektur Simbol (Symbolical Architecture)
1998 : Trauma arsitektur kolonial (Traumatic colonial architecture)
2001 : Apresiasi arsitektur Pasar Gede Sala dan Kota Lama Semarang
(Appreciation
of Gede Market in Sala and the Old Town of Semarang)
2004 : Akulturasi Warga Tionghoa (The acculturation of Chinese Indonesian),
Harian SUARA MERDEKA
2010 : Teknokrat , dalam pusaran politik, Harian SUARA MERDEKA.
2010 : Menuju ruang kota yang merakyat, Harian SUARA MERDEKA
2011 : Kota Semarang, menuju kota Postmodern, Harian SUARA MERDEKA
2011 : Pidato Ilmiah Dies Unika XXIX, Populisme Kampus, wahana untuk
kebangkitan bangsa
2011 : Menuju Ruang Kota yang Merakyat, Harian SUARA MERDEKA
2012 : Eksistensialisme ala Jokowi, Harian Suara Merdeka , Semarang
2013 : The role of Ontological foundation towards a Postmodern housing, to
prepare
the urbanized community. INTERNATIONAL SEMINAR, MEDAN
DECEMBER
10th 2013
2014 : Negara Berkemakmuran, Harian SUARA MERDEKA
2014 : Indonesia Multi Ethnic Semarang’s city conservation,as a manifestation of
Diversity in Harmony, Asian Future Conference 2014 Bali, BEST PAPER
AWARD
WINNER
2014 : "Multi ethnic approach as the Social capital in promoting Heritage
conservation in Semarang city‖, (towards ―A Heroic heritage conservation‖), 3th
International Conference on Urban Heritage and Sustainable Infrastructure
Development (UHSID)2014,
2014 : INTERNATIONAL JOURNAL : Local Wisdom As The Ontological
Foundation To Postmodern Urban-Design In A Developing Country The case of
Semarang city, Mid-Java, Indonesia. International review for spatial planning and sustainable
development, Vol.2 No.4 (2014), 54-67 ISSN: 2187-3666 (online) DOI:
http://dx.doi.org/10.14246/irspsd.2.4_54
Copyright@SPSD Press from 2010, SPSD Press, Kanazawa

Catatan, masih belum terlengkapi dengan beberapa karya terakhir.

Anda mungkin juga menyukai