ABSTRAK
PENDAHULUAN :
Peta-alur akademis penulis dimulai dari ketertarikan pada telaah yang mendasar
dan mendasari berbagai fenomena kehidupan, diantaranya arsitektur, penataan urban dan
relasi antar manusia sehari-hari. Ketertarikan ini penulis pungkasi dan wujudkan dengan
mendalami dan menyusun disertasi tentang pemikiran filsafat mutakhir yaitu
1
Dipresentasikan pada SEMINAR ON: ―KNOWLEDGE TO TRANSFORM‖ di Unika
Soegijapranata, 29 Maret 2016
Postmodernisme secara umum dan kemudian dikaitkan dengan penerapannya pada
fenomena arsitektur Postmodern. Sebelumnya penulis telah menyusun tesis dengan judul
―Fenomena mode dalam arsitektur‖ , yang menelaah tentang kecenderungan dan
pengaruh-pengaruh pandangan hidup dan kesadaran psikologis dari seseorang untuk
mengambil keputusan dalam mengadopsi sebuah langgam arsitektur.
2
Lihat episteme dan doxa, Plato
PERGOLAKAN PEMIKIRAN UMAT MANUSIA
Ontologi adalah perenungan dan telaah manusia atas keberadaan dirinya dalam
alam semesta ini , perkembangan dan pergolakan pemikiran umat manusia atas
keberadaannya dalam alam semesta ini penulis golongkan sbb :
Tahap Kosmos sentris
Tahap Teos sentris
Tahap Anthropos sentris
Tahap Logos sentris
3
Anthropos= manusia, morph = bentuk, anthropomorphism = pemahaman akan sesuatu yang
menyerupai manusia, ber peri-laku seperti manusia, bisa kebapakan, keibuan, berkehendak, cemburu,
menghukum dll.
Ritual-ritual dan segenap enerji umat manusia saat itu ini berpusat kepada Sang Kosmos,
lahirlah Kosmos-sentrisme.
3. Anthropos- sentrisme
4. Logos-sentrisme
Capaian Modernisme yang telah mengubah dunia dan nasib umat manusia seperti
yang kita nikmati saat ini, tidak menghentikan perenungan sang Pemikir untuk
merenungkan keberadaan dirinya. Pergolakan pemikiran umat manusia terus mencari dan
mencari tata atur dan tata nilai yang sesuai dengan perkembangan mutakhir. Hal ini
memicu tumbuhnya pemikiran baru yang menolak klaim kebenaran tunggal Modernisme
(Modernism always trying to be universal) . Ketidak-percayaan lagi terhadap dalil-dalil
Modernisme (Incredulity towards meta-narrative, Lyotard). Bertolak dari telaah bahasa
(Logos) yang mengandung nilai jamak-plural, incommensurable – tak dapat
diperbandingkan. Dari perenungan ini lahirlah Post-modernisme yang bersifat
meneruskan kehebatan Modernisme – Neo-modern, ada yang menerima kembali
kejamakan termasuk nilai-nilai lama, tradisi dan vernacular, lahirlah Neo-Vernacular.
Disamping itu lahir juga pemikiran yang sama sekali menolak dan membongkar tata-nilai
yang selama ini telah dipercayai masyarakat, lahirlah Dekonstruksi.
Perenungan dan telaah manusia atas keberadaan dirinya dalam alam semesta ini ,
mengalami pergolakan dan memasuki tahap-tahap sbb :
Tahap Kosmos sentris
Tahap Teos sentris
Tahap Anthropos sentris
Tahap Logos sentris
Keseluruhan tahap pergolakan pemikiran umat manusia tersebut meninggalkan
jejak filsafati pada peradaban manusia yang dapat dibaca dari perkembangan budaya dan
artefak-artefak yang ada, diantaranya arsitektur dan wujud kota.
Wadah tempat umat manusia beraktivitas adalah ruang arsitektur, yang diwadahi
lagi oleh ruang bersama yang disebut kota,4 kota dan kota-kota lainnya diwadahi lagi
dalam ruang hidup dan lingkungan manusia.
Dalam berarsitektur, individu2 dan para aktor pembangunan dalam masyarakat
tidak terlepas dari berbagai tren yang sedang bergolak, diantaranya fenomena mode
arsitektur. Faktor-faktor internal dan pandangan hidup seorang individu bertemu dengan
faktor-faktor external yang bergejolak dalam masyarakat kemudian menentukan
pengambilan keputusan untuk mengadopsi suatu langgam arsitektur tertentu untuk
fasilitas arsitektur yang akan dibangunnya, baik itu untuk dirinya sendiri ataukah suatu
bangunan fasilitas publik5.
Memasuki tahun 1970an, mulailah muncul pemikiran baru yang merespon
Modernisme yang telah berjaya selama kurang lebih 400 tahun. Lahirlah
Postmodernisme, salah satu bidang yang ikut membidaninya adalah Arsitektur. Arsitektur
mengambil peran penting dalam lahirnya Postmodernisme akibat kebosanan terhadap
Arsitektur Modern yang tunggal rupa dan melanda keseluruh belahan dunia . Bangkitnya
kesadaran kembali akan local-wisdom yang kemudian ditampilkan kembali dalam
panggung arsitektur mutakhir dan mendunia, disebut kebangkitan kembali kearifan lokal
dalam langgam Neo-vernakular. Dibarengi dengan pelanjutan kehebatan teknologi
Moderrnis yang melahirlkan Neo-modern dan penolakan dan pembongkaran akan
kebekuan Modernisme dengan munculnya langgam Dekonstruksi. Langgam Neo-
vernakular diharapkan mampu menyegarkan kembali kekayaan arsitektur tradisional
vernacular. Langgam arsitekturNeo-vernakular ini, sangat potensial bagi Indonesia
dengan khasanah arsitektur yang sangat kaya6.
4
Kota bukan dalam dikotomi dengan desa, tetapi sebagai kumpulan hunian, jadi ―desa‖
termasukdalam pengertian ini.
5
Soesilo, Rudyanto, ―Fenomena mode dalam arsitektur‖
6
Soesilo, Rudyanto, ―Arsitektur dalam perspektif filsafat Postmodernisme‖
Postmodernisme tidak hanya mempengaruhi arsitektur, tetapi juga berpengaruh
pada penataan kota,
Cities in developing countries were dominated by low-income population.
The low-income population migrates to a city, inhabit and live there. The Urban-
designer has to be familiar with this major community, for if not, the city will be
designed and developed as an aliened city for the major community live there.The
low-income community comes from rural area and has their own world view,a
cosmocentric ontology, while the city was designed with a modern-colonial
anthropocentric ontology. This different ontological foundation play as a root of a
wider and wider gap as the time goes by and the population grow higher and
higher . At the time being, the gap between the Haves and the Poor grow fast too,
the Haves create enclaves of the exclusive community such as real-estate,
gathering and clubbing facility, shopping area, business area, all in the
exclusiveway. While the Poor occupy the public spaces and change it into an
onstreet ―shopping area‖7.
Salah satu yang perlu dipikirkan adalah arah pembangunan kota Semarang, yang
mempunyai posisi strategis sebagai ibukota propinsi Jawa tengah. Berangkat dari suatu
kota modern, Semarang kini seyogianya memasuki era kota posmodern. Sejak 1970-an
pergolakan pemikiran umat manusia telah meninggalkan kemodernan. Dunia telah
bergeser dari kaidah-kaidah modern yang menimbulkan krisis ekologi, global warming,
dan krisis kemanusiaan — termasuk paradigma penataan kota — menggantinya dengan
paradigma posmodern yang bersifat pro-ekologi, prorakyat (ordinary-people) , pro-local
7
Soesilo, Rudyanto, ―Local wisdom as the ontological foundation to Postmodern Urban-design in
a developing country‖, Jurnal IRSPSD.
genius, prosejarah. Paradigma posmodern yang berbasis participatory planning and urban
designing mengajak masyarakat terlibat perencanaan lingkungan dan kota. Prorakyat juga
diwujudkan dengan pemberdayaan masyarakat dan konsep pembangunan bertumpu pada
masyarakat (community based development).
Kota posmodern tidak me-ruilslag, menghancurkan, menggusur, dan
membusukkan bangunan-bangunan lama. Namun merangkaikan dengan pembangunan
baru (prosejarah) atau justru memisahkannya, mengonservasi seluruh zona wilayah kota
lama dan mewadahi hasrat pembangunan baru dengan zona baru seperti La Defense di
Paris yang ultamodern, sementara kita tetap dapat menikmati suasana the most romantic
town, kota Paris dengan kafe-kafenya. Bayangkan jika kita ke Paris dan hanya
menjumpai kota yang penuh kaca dan beton!
Tetapi pelestarian peninggalan arsitektur , khususnya arsitektur kolonial, perlu
penanganan khusus, jangan sampai kita terjebak ikut mendewakan roh kolonial yang
terkandung didalamnya. Kesadaran itu dikupas dalam konteks Indonesia yang pernah
dijajah.
architectural conservation in Indonesia as an ex Colonized Country, that
faced special problems instead of common problems such as the decline of an old
historic urban. 'Kota-lama' at Jl. Raden Patah , Semarang, which is popular as
'The Little Netherland' is an example of the problem. Another problem is that
some old historic urban areas located in old Downtown areas are currently
becoming more and more interesting areas for business, capital investments and
for living. The land-value become financially so high, that stimulates the Owners
to arrange 'tricks' to remove the Old buildings, we called “Pembusukan‖
(Indonesia : spoiling). Instead of ordinary problems of Architectural Conservation
in such countries, in an ex Colonized Country like Indonesia, there must be a
special approach, attention and attitude on the Architectural Conservation of
Colonial-buildings. That have to be done because In an ex Colonized country, the
Colonial-building had given a traumatic feeling to the indigenous people and if
treated wrong , can bring back the feel of anguish in the present time.8
8
Soesilo, Rudyanto, ―Architectural Conservation on an ex Colonized Country, the Semarang,
Indonesia case‖,
Architectural heritage conservation in Semarang, Mid Java, faces many
challenges and even threats. There are 2 kinds of architectural heritage
conservation in an ex colonized town like Semarang. The first is the heritage
located on a declined region, a Bronx to be. The second is the heritage located on
a very strategic business area. There are two different threats to each of the the
type of the heritage.
The first one, inherent with the region’s problem, the ―destiny‖ of
the architectural heritage as a member of the declined region is really depends on
the ―destiny‖ of that region. The second one, today, facing many threats because
of the conflict of interest between the land-value and the historical–value of the
building. That conflict triggered a ―War‖ between the building owner with
Capitalistic interest , based on the profit of the real-property and the public
interest of a historical building. That ―War‖ involving many ―actors‖ and stake-
holders, e.g. the investor, the Government, etc. In that ―War‖ many strategies
were being used, among them, what the writer calls Intentionally Decaying
Strategy9.
9
Soesilo, Rudyanto, ―Intentionally Decaying Strategy• a threat to architectural heritage, Semarang
case.‖
A city is an artifact as a product of the
long history of the city. Semarang as an old city
had travel a long history too, and the whole
architecture of Semarang’s city and its districts
and regions reflects the path of that history. So
every parts of Semarang city has its own value
and share to the whole Semarang’s history.
That’s why the paradigm and policy of the
Semarang’s conservation has to cover all
historical district and regions in Semarang. So
far nearly everybody and every effort and
energy - from the government, the art
community, the press, universities, many
foundations and many others - have been
pouredto lift up and promote ―Kota-Lama‖ as
an ex- Colonial district. While Pecinan’s community as the inhabitants of the
Chinese district, by their community-based self-supporting effort hassuccessfully
arranged the Semawis bazaar on each Friday till Sunday nights.
As history record, the Dutch Colonial applied the ―Divide et impera‖
colonial politic strategy in separating the many ethnics into each closed districts
merely to easily have control on them , so in Semarang emerged the ―Pelandan‖,
―Pecinan‖, ―Kauman‖, Pekojan‖(the Dutch, the Chinese, the Indonesians, the
Kojas) districts etc. Now in 21st century, we need to adopt the paradigm and the
policy of our City conservation - that is―theMulti Ethnic Semarang’s city
conservation‖- to show the world that after our Independence Day 1945, now we
are together and no longer being separated again. The Heritage with Multi Ethnic
district becomes a monument of Unity with diversity in harmony, over the
Semarang’s citizen and need to be conserve for the sake of history and on behalf
of the mutual benefit for the Semarang’s citizenthis time-being. For example,
theSemarang city with the Multi-ethnic conservation area can be a favoritetourism
destination with multi-ethnic attraction, culinary, culture, architecture and
everyday-life atmosphere, which can generate and improve all every aspects of
the life of the city. Depart from this point of view, we can firmly and strongly
propose and campaign this ―Multi Ethnic Semarang’s city conservation‖ as a
public awarenessand movement.10
10
Soesilo, Rudyanto, ―Multi Ethnic Semarang’s city conservation, as a manifestation of Diversity
in Harmony‖, Asean Future Conference 2014.
keunikan yang khas. Jadi bazar Semarangan justru merupakan peristiwa budaya,
pergelaran budaya yang menyatu di ruang-ruang publik. Realitas keberadaan rakyat kecil
diterima sebagai bagian integral masyarakat Indonesia; negara sedang berkembang
dengan segala dinamikanya. Bagian terbesar rakyat itu justru disubsidi dan diwadahi di
ruang-ruang publik kota. Tidak malah diingkari dan diumpetkan dari ruang-ruang publik
kota11.
Manusia modern penghuni kota
modern, membuat lingkungan yang
merupakan negara modern, negara
berkemakmuran tinggi di dunia
ternyata bukan negara yang sering kita
dengar, negara yang adidaya, yang
selalu tampil dalam panggung politik
dunia. Tiga negara yang terletak di Jazirah Scandinavia: Norwegia, Swedia, dan
Denmark, ditambah dengan Finlandia, yang notabene jarang kita dengar (kecuali
Denmark sebagai ’’mitra’’ bulu tangkis) justru termasuk 10 negara paling
berkemakmuran (Prosperous Countries in the World, The Legatum Prosperity Index
2013). Sebagai warga sebuah negara sedang berkembang yang tengah bersiap-siap
melesat ke depan, tampaknya perlu memahami urgensi membenahi diri terlebih dahulu
sebagai prioritas. Pahami sikap introvert country yang lebih memprioritaskan
kesejahteraan yang berkemakmuran sebagai prasyarat utama mencapai tujuan- tujuan
berikutnya. Sebagai negara demokrasi maka suara rakyatlah yang kemudian akan
menentukan negara yang dapat memprioritaskan kesejahteraan berkemakmuran.
Keniscayaan itu bisa ditempuh lewat sikap introvert, tekun, dan concern membenahi diri
11
Soesilo, Rudyanto, ‖Kota Semarang Menuju Kota Posmodern‖, SUARA MERDEKA, 11 Juli
2014
dengan tata kelola dan etos tegar guna mempersiapkan diri melesat menggapai tujuan-
tujuan berikutnya.12
Negara Modern itu seyogyanya dihuni oleh manusia-manusia modern, yang
diantaranya bereksistensi secara Eksistensial, seperti yang penulis ungkap tentang - saat
itu‖Walikota Solo‖ - yang 2 tahun kemudian menjadi Presiden RI.
Pemikiran fatalistis (fate: nasib) lebih mendasarkan pada paham bahwa
manusia hanya mengikuti garis hidup yang sudah ditentukan sebelumnya
(essence). Hal itu berbeda dari eksistensialisme yang lebih mendalilkan bahwa
manusialah yang harus merintis dan mengukir garis hidupnya. Adalah slogan
pemikir Sartre yaitu ―existence precede essence” yang intinya mengartikan upaya
manusia mengukir dan memperjuangkan hidup, pada akhirnya sangat menentukan
nasibnya. Eksistensialisme itu kemudian tercatat telah mengobarkan semangat
manusia modern untuk mengubah nasibnya dengan mengupayakan —kadang
dengan berdarah-darah— berbagai kemajuan untuk umat, seperti dilakukan Steve
Jobs dan para penemu lainnya. ……. Tapi majunya dia dalam kontes
kepemimpinan di Ibu Kota merupakan exercise menyegarkan dan mengobarkan
semangat rakyat akan secercah harapan bahwa negara ini akan dikelola pemimpin
yang berhati jernih. Seandainya dia tidak berani bereksistensi, mungkin hanya
tetangganya yang tahu ada Jokowi yang pedagang mebel. Berarti, Indonesia
kehilangan peluang untuk mendapatkan pemimpin baru.13
12
Soesilo, Rudyanto, ―Negara berkemakmuran‖, harian Suara merdeka, Semarang,
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/06/13/149437/Kota-Semarang-Menuju-Kota-
Posmodern
13
Soesilo, Rudyanto, ―Eksistensialisme ala Jokowi‖, SUARA MERDEKA, 10 April 2012
PUSTAKA :
Merupakan catatan kronologis dari penulisan ilmiah yang selama ini ada,
Tahun Judul
1990 Fenomena Mode dalam Arsitektur
1996 Image of Semarang City
1997 Pola penilaian masyarakat awam terhadap Arsitektur.
Arsitektur dalam perspektif Filsafat Postmodern
2003
200
9
B. Makalah/Poster
Tah Judul Penyelenggara
un
2007 Postmodern Architecture, an Opportunity to Presented for the
Culture Sustainability in Architecture. International Conference:Culture
Sustainability in ArchitecturePetra
University ,Surabaya
2008