Anda di halaman 1dari 3

Mansorandak, Tradisi Injak Piring

Setiap tamu yang pertama kali berkunjung ke daerah baru di Tanah Papua
khususnya di Teluk Doreri Cendrawasih selalu di sambut dengan Tradisi injak piring
atau Mansorandak.
Tradisi ini juga
digunakan untuk
menyambut kerabat yang
telah kembali dari
perantauan.

(Foto : https://factsofindonesia.com/indonesian-cultural-practices/mansorandak)

Mansorandak adalah sebuah tradisi turun temurun suku Biak di Teluk Doreri, Manokwari,
Papua Barat untuk menyambut anggota keluarga yang baru kembali dari perantauan
dalam kurun waktu yang cukup lama.
Secara filosofis, tradisini ini adalah ungkapan suka cita karena salah satu sanak keluarga
yang telah lama  pergi, kini telah pulang dan berkumpul kembali bersama seluruh keluarga
besar di kampung halaman.

Tradisi ini,  juga untuk mengekspresikan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, karena
keluarga yang baru pulang berada dalam keadaan sehat dan untuk membersihkannya dari
roh-roh jahat selama di perantauan.

Namun, sebagaimana tradisi adat pada umumnya, Mansorandak pun menyelipkan


dimensi mistik di dalamnya. Sebelum masuk rumah, anggota keluarga yang baru pulang
harus melalui serangkaian prosesi, diantaranya mandi kembang berbagai rupa.

sesi mandi kembang yang ditaruh dalam wadah piring adat, diharapkan agar anggota
keluarga yang baru pulang, akan terbebas dari roh-roh jahat.

Tradisi Mansorandak secara umum terbagi dalam 3 bagian, Pertama prosesi


penyambutan yang dilakukan diluar rumah. Pada bagian ini, anggota keluarga yang baru
tiba, disambut oleh beberapa orang tua, bisa laki-laki maupun perempuan, untuk
kemudian diantar ke pintu masuk, dimana telah menunggu seluruh keluarga besar.

Selanjutnya anggota keluarga yang baru tiba dimandikan dengan air kembang yang
ditaruh dalam piring adat berukuran besar. Dari situ, dimulai bagian kedua yakni prosesi
mengitari piring adat dan injak ‘buaya’. Di sini, orang yang baru datang  digiring masuk ke
sebuah ruangan khusus. Dalam ruangan tersebut sudah ditempatkan 9 buah piring adat
mulai dari ukuran kecil hingga ukuran terbesar.

Pada bagian kepala dari deretan piring, terbaring seekor buaya. Namun jangan kaget,
buaya tersebut dibuat dari tanah. Prosesi dimulai dengan menyiramkan air ke kaki
anggota keluarga yang baru datang, sebagai tanda yang bersangkutan telah bebas dari
pengaruh-pengaruh gaib.

Setelah itu, sang perantau bersama seluruh anggota keluarga lainnya melakukan prosesi
mengitari piring adat sebanyak 9 kali. Angka 9 baik pada jumlah piring adat maupun
jumlah putaran yang harus dilalui melambangkan jumlah marga dalam masyarakat suku
Doreri, yaitu Rumakei, Rumbekwan, Rumadas, Rumbruren, Rumbobiar, Rumaraken,
Rumfabe, Syobiar dan Burwos.

Ritual mengitari piring adat ini, diakhiri dengan menginjak replika buaya sebagai lambang
tantangan, penderitaan dan cobaan hidup yang akan menyertai jalan hidup sang perantau.
Dengan menginjak buaya tersebut diharapkan agar semua tantangan dan halangan itu
mati dan hilang. Prosesi mansorandak ini berakhir dengan kegiatan makan bersama.

makanan utama yang dihidangkan seperti daging, ikan, hingga sirih dan pinang akan
digantung di bagian atas rumah dan baru boleh disantap setelah mendapat aba-aba dari
para sesepuh adat Doreri. Seiring berjalannya waktu, tradisi Mansorandak di Manokwari
sekarang hanya dilakukan dengan menyiramkan air pada sang perantau sebelum masuk
kerumah tanpa pengitaran piring adat dan makan bersama.

Pada acara penting seperti penyambutan tamu negara yang datang ke Manokwari, tradisi
injak piring ini tetap dilakukan secara simbolis dengan meminta para tamu untuk
menginjak piring adat sebagai tanda syukur masyarakat Manokwari atas kunjungan para
tamu.

Mansorandak adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang sarat akan pesan moral.
Karena itu prosesi adat seperti ini memang perlu dipertahankan agar tetap lestari dan
tidak hilang.

Anda mungkin juga menyukai