Anda di halaman 1dari 109

Kajian tentang Falsafah Sunda

Kategori: Makalah » Dilihat: 1.193 kali » Diposting: 30-07-2008

Oleh Ajip Rosidi

Makalah Pelatihan Kepemimpinan Putra Sunda yang diadakan oleh Gema Jabar
tanggal 21 Agustus 2006

Panitia meminta saya berbicara tentang “Kajian Sejarah dan Falsafah Sunda”. Sejarah
dan Falsafah adalah dua bidang kajian yang berlainan dan masing-masing memerlukan
keahlian sendiri, sedangkan saya bukan ahli dalam keduanya. Saya mau menerima
permintaan Panita, namun hanya mengenai salah satu bidang saja, ialah tentang Falsafah
Sunda. Bukan karena saya merasa tahu tentang falsafah Sunda, melainkan karena
belakangan ini saya dengar banyak sekali orang yang berbicara tentang “falsafah Sunda”
yang menimbulkan tandatanya pada diri saya. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan
“falsafah Sunda”? Yang saya tangkap kalau saya dengar orang berbicara atau menulis
tentang “fasafah Sunda” hanyalah pikiran-pikiran orang itu sendiri yang sering tidak
rasional, tidak sistimatis dan tidak jelas metodologinya. Biasanya merupakan campuran
mitos, mistik dan kirata basa saja. Ngawur!

Panitia sendiri menulis dalam Term of reference-nya, bahwa “Sunda dan kesundaan
sangat kaya akan pelajaran dan falsafah hidup.” Tidak tahu dari mana kesimpulan itu
diperolehnya. Saya sendiri sampai sekarang tidak berhasil menemukan “kekayaan” itu.
Banyak hal yang dibanggakan sebagai milik orang Sunda atau warisan dari karuhun
Sunda, setelah dikaji agak mendalam ketahuan bawa sebenarnya hanya cangkokan saja
dari India, dari Jawa, atau dari Islam. Pencangkokan yang sering tidak pula dilakukan
secara profesional.

“Falsafah” atau “palasipah”, “filsafah”, “filsafat” artinya sama dengan istilah


“philosophy” dalam bahasa Inggris. Menurut The Oxford Companion to Philosophy (ed.
Ted Honderich, New York, Oxford University Press, 1995), definisi “philosophy” yang
paling singkat dan tepat ialah berpikir tentang berpikir (thinking about thinking). Adapun
definisi yang lebih rinci menurut buku itu ialah: berpikir secara kritis dan rasional, secara
kurang lebih sistimatis mengenai keadaan umum dunia (metafisik atau tiori tentang
eksistensi), pembenaran atas kepercayaan (epistemologi atau teori tentang ilmu
pengetahuan) serta cara hidup sehari-hari (etika atau teori nilai).

Apakah orang Sunda mempunyai tradisi berpikir tentang berpikir? Pertanyaan sederhana
ini susah dijawab, karena dalam tradisi filsafah, berpikir itu tidak hanya yang dilakukan
dalam kepala seseorang, melainkan harus ditulis, sehingga bukan saja dapat diketahui
oleh orang yang tidak berkenalan langsung dengan orang itu, melainkan juga kebenaran
dan ketelitiannya dapat diukur dan diuji setiap saat. Harus diakui bahwa tradisi menulis
di kalangan orang Sunda, walaupun ada naskah bahasa Sunda yang berasal dari abad ke-
16 dan sejak abad ke-19 banyak sekolah didirikan di Tatar Sunda sehingga orang Sunda
termasuk yang pertama mendapat kesempatan untuk menuliskan bahasa ibunya dengan
huruf Latin dan menggunakannya dalam buku-buku yang tercetak, namun kebiasaan
menulis, apalagi menuliskan pikiran-pikiran secara kritis dan rasional mengenai
eksistensi kehidupan, dan mengenai teori ilmu pengetahuan tidak pernah berkembang.
Yang kita temui dalam naskah-naskah kuna Sunda terutama tentang etika. Hal itu
nampak dalam naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa dan huruf Sunda Kuna - yang
sekarang hanya bisa dibaca dan dimengerti oleh beberapa orang saja, tidak akan lebih
dari 10 orang! Begitu juga dalam naskah-naskah yang lebih kemudian yang ditulis dalam
bahasa Sunda dengan huruf Pegon, huruf Hanacaraka, maupun dengan huruf Latin. Sejak
abad ke-19, orang Sunda menuliskan bahasa Sunda yang diterbitkan berupa buku, tetapi
seperti juga naskah-naskah isi buku-buku itu kebanyakan berupa cerita atau uraian
tentang agama. Hampir tidak ada yang bersifat hasil pemikiran, apalagi yang kritis!
Bersikap kritis dalam masyarakat Sunda dianggap kurang ajar. Henteu Nyunda.
Satu-satunya kekecualian mungkin hanyalah H. Hasan Mustapa (1852-1930) yang
banyak menuliskan renungan dan pendapatnya yang kritis, terutama dalam bentuk puisi,
walaupun banyak juga yang berbentuk prosa. Tetapi karya-karyanya kebanyakan
disalurkan melalui cara pesantrén tradisional, yaitu beredar dengan disalin melalui tulisan
tangan dari seorang kepada yang lainnya. Hanya tiga buah karyanya yang dicetak selama
hidupnya yaitu Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Éta (1913) dan Buku
Leutik Pertélaan Adat Jalma-jalma di Pasundan (1916). Keduanya merupakan deskripsi
étnografis, bukan hasil renungan dan pemikirannya. Yang satu lagi, walaupun terbit
ketika HHM masih hidup, namun disusun oleh W.A. (Wangsaatmadja), berjudul Balé
Bandung (1924), yang merupakan kumpulan surat-menyurat antara HHM dengan Kiai
Kurdi dari pesantrén Sukawangi, Singaparna. Surat-menyurat itu terutama membahas
masalah ketuhanan (tauhid) dalam bentuk puisi rakyat.

Di samping itu masih dapat dipersoalkan apakah ada “falsafah” sesuatu bangsa atau suku
bangsa? Kalau kita berbicara tentang falsafah Yunani misalnya, yang muncul adalah
pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh banyak filosof: Sokrates, Plato, Aristoteles,
Anaxagoras, Aristippus, Protagoras dll. Di samping itu ada juga falsafah Yunani modern
yang berkembang pada zaman modern yang juga diwakili oleh banyak pemikir yang
tidak selalu sejalan seperti Peter Vrailas-Armenis, Konstantine Tsatsos, Panayotis
Kanellopoulos, Teophilos Voreas, Christos Androutsos dll. Keseluruhan pemikiran para
filosof itulah yang membangun apa yang disebut “falsafah Yunani”. Di antara mereka
pemikirannya bukan saja tidak selalu sejalan, melainkan sering juga bertentangan satu
sama lain. Jadi bukan hanya satu macam pemikiran yang bulat menjadi hasil pemikiran
orang Yunani. Hal yang sama terjadi juga kalau kita mau berbicara tentang “falsafah
Cina”, “falsafah India”, “falsafah Jepang”, dll. Yang dimaksud selalu berarti seluruh
pemikiran yang timbul di masing-masing negara itu dan tidak selalu merupakan kesatuan
yang bulat, karena terdapat perbedaan bahkan pertentangan paham satu sama lain.
Dengan demikian “falsafah orang Sunda” harusnya terdiri dari semua pemikiran yang
dikemukakan orang Sunda selama sejarahnya tentang hidup, tentang mati, tentang seni,
tentang agama dll. Masalahnya ialah karena orang Sunda tidak (banyak) meninggalkan
naskah tertulis mengenai hal itu, sehingga kita sulit menjejakinya.

Kalau kita hendak berbicara tentang “filsafah Sunda” atau “falsafah orang Sunda”, kita
tidak akan banyak menemukan hasil pemikiran orang Sunda yang tertulis. Memang
pemikiran manusia tidak hanya dalam bentuk tulisan saja. Yang lisan pun bukannya tidak
berharga. Tradisi lisan menurunkan pemikiran nenek moyang kepada anak cucunya
melalui berbagai cara. Niscaya orang Sunda terutama mempergunakan cara lisan dalam
menyampaikan kearifan hidupnya, karena tradisi tulisan belum melembaga dalam
masarakat. Tapi sejak beberapa dasawara lembaga-lembaga lisan yang dahulu menjadi
cara menurunkan kearifan hidup orang Sunda sudah tidak berfungsi lagi. Kearifan hidup
dari nenek moyang tidak lagi disampaikan kepada anak cucu, karena masarakat Sunda
mengalami perubahan yang sangat mendasar. Hanya sebagian kecil saja kearifan nenek
moyang orang Sunda yang sempat dicatat dan dengan demikian tersimpan. Itu pun tidak
dapat disalurkan untuk diketahui oleh anak-cucunya, karena lembaga-lembaga
pendidikan dan komunikasi yang sekarang dikenal tidak memberi tempat untuk hal-hal
demikian. Artinya kalaupun ada apa yang disebut “falsafah Sunda”, namun hampir tidak
dikenal lagi oleh komunitas manusia yang sekarang disebut orang Sunda. Karena
“falsafah” itu merupakan pandangan tentang hidup (dan juga tentang mati) yang dianut
seseorang atau sekelompok orang, maka kadang-kadang “falsafah” diartikan sama
dengan “pandangan hidup”. Istilah “pandangan hidup orang Sunda” pernah dijadikan
kajian satu tim peneliti yang dilaksanakan kl. 20 tahun yl.

Proyék Sundanologi ketika dipimpin oleh Prof. Dr. Édi Ékadjati pada paruh kedua tahun
1980-an mengadakan penelitian tentang “Pandangan hidup Orang Sunda” dan
menghasilkan tiga judul buku yang masing-masing dikerjakan oleh tim peneliti yang
berlain-lainan. Yang pertama Pandangan Hidup orang Sunda seperti tercermin dalam
Tradisi lisan dan Sastra Sunda (1987) yang ditulis oleh Tim yang dipimpin oleh Prof. Dr.
Suwarsih Warnaén dengan anggota Dr. Yus Rusyana, Drs. Wahyu Wibisana, Drs.
Yudistira K. Garna dan Dodong Djiwapradja SH. Yang kedua sama judulnya (1987),
hanya dengan keterangan tambahan “Konsistensi dan Dinamika” dan walaupun Ketua
Tim tetap, namun anggotanya berubah menjadi Dodong Djiwapradja SH, Drs. H. Wahyu
Wibisana, Drs. Kusnaka Adimihardja MA, Dra Nina Herlina Sukmana dan Dra Ottih
Rostoyati. Sedang yang ketiga judulnya berubah menjadi Pandangan Hidup Orang
Sunda seperti tercermin dalam kehidupan Masyarakat Dewasa Ini (1988/1989) dengan
Tim yang terdiri dari Dr. Yus Rusyana, Drs. Yugo Sariyun MA, Dr. Edi S. Ekadjati, dan
Drs. Undang Ahmad Darsa.

Ketiga buku itu sampai sekarang merupakan hasil kajian yang boleh dikatakan cukup
mendalam tentang pandangan hidup orang Sunda, baik yang tertulis dalam naskah-
naskah dan buku-buku, maupun yang terdapat dalam tradisi lisan dan berdasarkan hasil
wawancara terhadap orang-orang Sunda dewasa ini - yaitu pada masa penelitian itu
dilangsungkan kl. 20 tahun yl. Penelitian tahap I sampai pada kesimpulan yang ternyata
konsisten dengan hasil penelitian pada tahap II, namun kesimpulan pada tahap III
menunjukkan terjadi pergeseran-pergeseran dalam berbagai hal.

Dalam kesempatan ini saya ingin menjadikan hasil penelitian itu sebagai pegangan kita
dalam mencari jawaban atas pertanyaan apa dan bagaimana gerangan yang disebut
“falsafah Sunda” tanpa terjebak dalam persoalan apakah istilah “falsafah” yang
dimaksud oleh Panitia sama dengan istilah “pandangan hidup”, tidakkah “pandangan
hidup” lebih sempit dari “falsafah” dan sebagainya.

Penelitian tentang Pandangan hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam tradisi lisan
dan sastera Sunda, dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:

1. pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi;


2. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat;
3. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam;
4. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan;
5. pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan
kepuasan batiniah.

Pada tahap pertama penelitian dilakukan terhadap tradisi lisan dan sastera Sunda, yaitu
yang berupa ungkapan tradisional, carita pantun Lutung Kasarung, naskah Sanghyang
Kanda ng Karesian, sawér pangantén, roman Pangéran Kornél (1930) dan Mantri Jero
(1928) karya R. Méméd Sastrahadiprawira. Pada tahap kedua penelitian dilakukan
terhadap uga, Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda lian ti éta (1913) karya H. Hasan
Mustapa, cerita-cerita si Kabayan, cerita rakyat (yang sudah dibukukan), roman Rusiah
nu Goréng Patut (1928, harusnya 1927) karya Yuhana, Lain Éta (1934) karya Moh.
Ambri, Maot dina Dahan Jéngkol (1986) karya Ahmad Bakri.

Menurut kesimpulan para peneliti, tidak banyak berbeda hasil penelitian tahap I dan
tahap II, kecuali bahwa penelitian tahap I memberikan gambaran tentang pandangan
hidup orang Sunda golongan élit, sedangkan penelitian tahap II memberikan gambaran
tentang pandangan hidup orang Sunda kebanyakan (balaréa).

Penelitian tahap III dilakukan dengan mengajukan kuesioner kepada sejumlah orang
Sunda kontemporer (yang hidup pada waktu penelitian dilangsungkan), sebagai sampel
diambil beberapa wilayah di Tatar Sunda, ialah Kotamadya Bandung, Sumedang Kota,
Cianjur Kota, Sumedang pedesaan, Garut pedesaan, Tasikmalaya pedesaan dan
Sukabumi pedesaan. Semua responden dari seluruh wilayah jumlahnya 7 X 48 orang =
336 orang, berusia antara 17 - 60 tahun, baik orang yang mampu maupun yang tidak
mampu, baik pegawai negeri atau pun bukan. Tim peneliti menganggap bahwa sampel
336 orang itu representatif mewakili orang Sunda masa penelitian dilakukan yang
jumlahnya pasti di atas 20 juta orang.

Ternyata pada umumnya pandangan hidup orang Sunda kontemporer itu umumnya masih
tetap sama dengan pandangan hidup orang Sunda hasil penelitian tahap I dan tahap II,
kecuali pada beberapa hal terjadi pergeseran bahkan perubahan.

Secara singkat, akan saya rumuskan isi hasil penelitian tersebut sebagai berikut:

1. Pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi

Orang Sunda berpandangan bahwa manusia harus punya tujuan hidup yang baik, dan
senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari alam semesta. Sifat-sifat
yang dianggap baik al. harus sopan, sederhana, jujur, berani dan teguh pendirian dalam
kebenaran dan keadilan, baik hati, bisa dipercaya, menghormati dan menghargai orang
lain, waspada, dapat mengendalikan diri, adil dan berpikiran luas serta mencintai tanahair
dan bangsa. Untuk mempunyai tujuan hidup yang baik, harus punya guru yang akan
menuntunnya ke jalan yang benar. Guru dihormati dalam masyarakat Sunda. Bahkan
Tuhan Yang Maha Esa juga disebut Guru Hyang Tunggal. Dalam naskah Siksa Kandang
Karesian dikatakan bahwa orang dapat berguru kepada siapa saja. Dianjurkan agar
bertanya kepada orang yang ahli dalam bidangnya. Teladani orang yang berkelakuan
baik. Terimalah kritik dengan hati terbuka. Ambil manfaatnya dari teguran dan nasihat
orang lain.

2. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat

Tujuan hidup yang dianggap baik oleh orang Sunda ialah hidup sejahtera, hati tenang dan
tenteram, mendapat kemuliaan, damai, merdeka dan mencapai kesempurnaan di akhirat.
Sejahtera berarti hidup berkecukupan. Tenang dan tenteram berarti merasa bahagia.
Mendapat kemuliaan berarti disegani dan dihormati orang banyak, terhindar dari hidup
hina, nista dan tersesat. Hidup damai artinya rukun, akrab dengan tetangga dan
lingkungan. Orang yang merdeka artinya terlepas dari ujian dan terbebas dari hidup tanpa
tujuan. Dan kesempurnaan akhirat ialah terhindar dari kema’siatan dunia dan ancaman
neraka di akhirat.

Untuk mencapai tujuan hidup itu orang harus taat kepada ajaran-ajaran karuhun, pesan
orangtua dan warisan ajaran yang tercantum dalam cerita-cerita pantun, dan yang
berbentuk naskah seperti Siksa Kandang Karesian. Ajaran-ajaran itu punya tiga fungsi:
(1) sebagai pedoman dalam menjalani hidup; (2) sebagai kontrol sosial terhadap
kehendak dan nafsu yang timbul pada diri seseorang dan (3) sebagai pembentuk suasana
dalam masyarakat tempat seseorang lahir, tumbuh dan dibesarkan yang secara tak sadar
meresap ke dalam diri semua anggota masyarakat.

Semangat bekerjasama dalam masyarakat harus dipupuk dan dikembangkan. Harus


saling hormat dan bertatakrama, sopan dalam berkata, sikap dan kelakuan. Harus saling
sayangi sesama anggota masyarakat.

3. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam

Orang Sunda beranggapan bahwa lingkungan alam memberikan manfaat yang maksimal
kepada manusia apabila dijaga kelestariannya, dirawat serta dipelihara dengan baik dan
digunakan hanya secukupnya saja. Kalau alam digunakan secara berlebihan apalagi kalau
tidak dirawat dan tidak dijaga kelestariannya, maka akan timbul malapetaka dan
kesengsaraan.

Dalam Siksa Kandang Karesian misalnya terdapat ungkapan, “makan sekedar tidak
lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk makan, dll. ” yang
berarti tidak boleh berlebihan. Orang Sunda dianjurkan agar “siger tengah” atau “siniger
tengah”, yaitu tidak kekurangan tetapi tidak berlebihan. Samasekali bukan untuk
kemewahan, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian
tidak menguras atau memeras alam secara berlebihan, sehingga terjaga kelestariannya.

4. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan

Sejak pra-Islam, orang Sunda percaya akan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu
Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa Hindu ditempatkan di
bawah Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau Batara Tunggal. Tuhan Maha Mengetahui,
mengetahui apa yang diperbuat mahlukNya, karena itu manusia wajib berbakti dan
mengabdi kepada Tuhan. Tuhan disebut juga Nu Murbéng Alam (Yang Menguasai
Alam), Nu Mahawisésa (Yang Mahakuasa), Nu Mahaasih (Maha Pengasih), Gusti Yang
Widi (Yang Maha Menentukan), Nu Mahasuci (Yang Maha Suci), dll. Tuhan menghidupi
mahlukNya, memberi kesehatan, memberi rizki dan mematikannya pada waktunya.

5. Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan


kepuasan batiniah.

Orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan kerjasama untuk


kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras dan tidak mudah
menyerah. Lebih mengutamakan mutu hasil kerja daripada kecepatan menyelesaikannya.
Tidak menunda pekerjaan yang belum selesai apalagi menyerahkannya kepada orang
yang bukan ahlinya. Mau mengerjakan yang baik meskipun pekerjaan kasar. Kesehatan
dipelihara, makan cukup, pakaian bersih dan pantas, punya kedudukan, punya harta
kekayaan. Tidak buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah
meninggalkan yang berharga warisan nenekmoyang. Memperlihatkan rasa
tanggungjawab, tidak boros, selalu mengukur keinginan dan keperluan dengan
penghasilan, dan selalu hidup sederhana. Kreatif mencari lapangan kerja sendiri dan
percaya pada kekuatan sendiri, menyesuaikan diri dengan lingkungan, dengan
perkembangan zaman dan dengan kebiasaan yang berlaku di tempat hidupnya. Berusaha
mencapai hari depan yang lebih baik. Mempelajari ilmu sampai mendasar sehingga dapat
diamalkan.

Pergeseran dan perubahan

Dari hasil penelitian tahap III yang berupa kuesioner terhadap sejumlah sampel, di
sejumlah daerah, terlihat adanya nilai-nilai yang tetap dipertahankan, ada yang bergeser
dan ada pula yang berubah. Pada pandangan hidup manusia sebagai pribadi terdapat
pergeseran mengenai pantangan (harus ada alasan yang masuk akal), hidup berkumpul
dengan keluarga, membela kehormatan, hidup selamat dan hidup sederhana. Pandangan
semula tidak ditolak sama sekali, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman. Yang
mengalami perubahan adalah mengenai bicara arif, bertindak hati-hati, ramah kepada
pedatang, pengalihan kebiasaan dan tentang hidup yang dicita-citakan. Orang bicara tak
usah lagi malapah gedang, lebih baik blak-blakan, tak usah terlalu menenggang perasaan
orang lain. Terhadap para pedatang, sekarang menjadi harus waspada. Kebiasaan dirubah
sesuai dengan kebutuhan, misalnya kebiasaan menanam padi, kalau ternyata memelihara
ikan lebih menguntungkan, maka kebiasaan itu ditinggalkan.

Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat, cenderung terjadi
pergeseran dan perubahan dalam semua hal. Misalnya tentang membantu anggota
keluarga yang miskin, sewaktu-waktu dan seperlunya saja, jangan sampai yang ditolong
menggantungkan diri pada orang lain. Terhadap orang tua tidak lagi menuruti segala
keinginan dan nasihatnya, bergeser menjadi asal tidak melupakan dan menghargai jasa-
jasanya. Dalam menghadapi hal yang tidak disetujui, kalau semula diam, sekarang
menyatakan pendapat dan merundingkannya, bahkan memerotesnya. Yang berubah ialah
tentang perkawinan dengan orang daerah lain (menjadi terbuka), tentang tugas isteri
terhadap suami (menjadi setara sebagai teman hidup).

Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan, terjadi penguatan dan
pergeseran. Kepercayaan orang Sunda akan Tuhan dan akan keesaan Tuhan, sekarang
menjadi lebih kuat. Keyakinan akan Tuhan Mahakuasa kian kuat. Manusia harus
berusaha dan berdo’a tapi pasrah akan hasilnya. Pendidikan agama dianggap kian
penting baik di rumah, di sekolah, di madrasah, maupun di masjid. Yang bergeser adalah
yang bertalian dengan upacara adat seperti membuat sasajén, dan sikap terhadap uga.

Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan
batiniah mengalami sedikit pergeseran. Umumnya nilai-nilai lama dipertahankan. Hanya
kekayaan yang semula dipandang sebagai hal yang menimbulkan ketenteraman dan
kebahagiaan sekarang dipandang sebagai hal yang mendorong orang untuk menyegani
pemiliknya.

Dengan demikian Tim Peneliti berkesimpulan bahwa “pandangan hidup orang Sunda
dengan tetap berakar pada tradisinya telah dan sedang mengalami pergeseran dan
perubahan, setidak-tidaknya dialami oleh orang-orang yang menetap di kawasan sampel
penelitian. ……………. Nampak pergeseran dan perubahan ke arah pandangan yang
lebih waspada, yang lebih bertauhid dalam agama, yang lebih realistis dalam
bermasyarakat dan lebih memahami aturan alam.” (jilid III h. 259).

Pareumeun Obor

Melihat bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap I dan II, kita dapat
diyakinkan bahwa hasilnya dapat dikatakan representatif mewakili alam pikiran orang
Sunda seperti yang tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda - walaupun
menimbulkan tandatanya mengapa dari H. Hasan Mustapa yang dijadikan bahan adalah
Bab Adat Urang Priangan jeung urang Sunda Lian ti Éta saja yang merupakan deskripsi
etnografis, dan tidak satu pun karyanya yang merupakan hasil pemikiran baik yang
berbentuk prosa maupun yang berbentuk puisi dijadikan sumber. Tapi hal itu mungkin
disebabkan karena karya-karya HHM umumnya belum diterbitkan sebagai buku - yang
menimbulkan tandatanya pula karena banyak sumber lain yang berasal dari lisan malah
digunakan sebagai bahan. Yang penting ternyata dalam hasil penelitian tahap I dan tahap
II tidak tercermin adanya perubahan-perubahan dalam perjalanan masa, padahal bahan-
bahan yang digunakan itu berasal dari masa dan lingkungan yang tidak sama. Begitu pula
melihat bahwa dalam penelitian tahap III, yang dijadikan sampel hanya 336 orang, kita
bertanya-tanya apakah benar telah secara representatif mewakili alam pikiran orang
Sunda yang jumlahnya pasti lebih dari 20 juta, meskipun peneliti telah berusaha
mengajukan kuesioner kepada orang Sunda di kota maupun di pedesaan.

Keraguan itu diperkuat ketika kita membaca hasilnya yang menimbulkan tandatanya,
misalnya apakah betul hanya terjadi sedikit pergeseran dan perubahan pada pandangan
hidup orang Sunda yang dirumuskan dalam penelitian tahap I dan II dengan hasil
penelitian tahap III? Apakah betul pandangan hidup orang Sunda tetap berakar pada
tradisinya dengan hanya mengalami pergeseran dan perubahan sedikit pada hal-hal
tertentu saja?

Misalnya bertalian dengan pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi, hasil
penelitian tahap I dan II menyatakan bahwa a.l. “orang Sunda itu berani dan teguh
pendirian dalam kebenaran dan keadilan ……berpikiran luas serta mencintai tanahair
dan bangsa”. Padahal dalam kehidupan nyata di sekeliling kita sekarang, apakah kita
melihat nilai-nilai tersebut dilaksanakan oleh orang Sunda? Mungkin ada orang-orang
Sunda yang demikian, tetapi menurut pengamatan saya bukanlah merupakan nilai yang
secara umum diperlihatkan oleh orang Sunda sehari-hari. Memang ada Tétén Masduki,
ada Erry Riyana Hardjapamekas, dan beberapa orang atau beberapa puluh orang lagi,
tetapi secara umum orang Sunda tidak bersikap seperti mereka. Kebanyakan merasa
lebih baik memilih diam melihat kebenaran dan keadilan diperkosa. Umumnya
menganggap bersikap pura-pura tidak tahu sebagai sikap yang bijaksana - alias tidak
bersikap “berani dan teguh pendirian”. Nilai-nilai tersebut mungkin dijaring dari naskah
kuna seperti Siksa Kandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518, ketika kerajaan
Sunda masih berdiri dan manusia Sunda masih merdeka. Tetapi setelah Tatar Sunda
dijajah Mataram (sejak awal abad ke-16) dan kemudian oleh Belanda (sejak abad ke-18)
dan Jepang (1942-1945), manusia Sunda menjadi manusia yang paling lama dijajah di
Indonesia dan mentalnya sudah berubah menjadi mentalitas manusia jajahan, yang selalu
ketakutan dan tidak berani mengemukakan pikiran sendiri karena “heurin ku létah” dan
sebagai abdi dalem yang setia selalu melihat ka mana miringna bendo. Lebih
mengutamakan keselamatan dan kedudukan pribadi daripada memperlihatkan sikap
“berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan”.

Menurut Siksa Kandang Karesian orang harus menerima kritik dengan hati terbuka,
tetapi kita tahu kritik dianggap tabu dalam masyarakat Sunda bahkan juga sampai
sekarang. Orang yang berani mengeritik dianggap henteu Nyunda! Artinya telah terjadi
pergeseran dari sikap terbuka terhadap kritik yang terdapat pada masa Siksa Kandang
Karesian. Tetapi sejak kapan pergseran itu terjadi, tidak diketahui.

Peneliti agaknya tidak menangkap bahwa nilai-nilai yang dimuat dalam Siksa Kandang
Karesian sudah banyak yang tidak diikuti lagi dalam kehidupan nyata orang Sunda sejak
beberapa lama - mungkin beberapa abad. Hal yang dapat kita maklumi karena naskah
Siksa Kandang Karesian tidak dikenal lagi oleh orang Sunda umumnya sejak beberapa
abad.

Juga mengenai pandangan hidup orang Sunda tentang hubungan manusia dengan alam,
kita misalnya dapat mempertanyakan tentang kesadaran untuk melestarikan alam yang
harus “dirawat dan dipelihara dengan baik dan digunakan secukupnya saja”. Sudah lama
kita melihat - lama sebelum pada masa reformasi orang Sunda meranjah hutan Sancang
dan hutan lindung lain sehingga di Tatar Sunda sekarang hampir bisa dikatakan tidak ada
lagi hutan - para pejabat orang Sunda di Bappeda memperkosa tanah subur dan sungai-
sungai dengan menjadikannya sebagai kawasan industri. Suara yang mengingatkan akan
bahaya yang bisa ditimbulkannya tidak pernah didengar. Nasihat Siksa Kandang
Karesian tentang “makan sekedar tidak lapar, minum sekedar tidak haus, berladang
sekedar cukup untuk hidup” sudah lama tidak diperhatikan. Orang Sunda sekarang
kebanyakan sudah terpengaruh oleh faham kapitalistis yang serakah dan tidak pernah
merasa kenyang dengan apa yang sudah didapat.

Nilai-nilai dalam pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah
dan kepuasan batiniah juga sudah berubah. Mengutamakan mutu hasil kerja misalnya
sudah dikalahkan oleh keinginan menghasilkan sebanyak mungkin - dengan konsekuensi
mutunya menurun. Nilai tentang hidup sederhana sekarang hanya dilaksanakan karena
terpaksa. Dan kalau terpaksa semua orang juga bisa, walaupun hasratnya yang menonjol
adalah mencapai kehidupan duniawi yang penuh gemerlapan. Kalau perlu tanpa
memperhatikan larangan-larangan yang diturunkan dari leluhurnya. Juga nilai “tidak
buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah meninggalkan
warisan nenek moyang yang berharga” tidak kelihatan lagi. Sekarang semua orang
seperti berlomba-lomba menerima bahkan merebut yang baru walaupun belum tahu baik
buruknya dan tidak nampak usaha untuk mempertahankan warisan nenekmoyang yang
berharga.

Pertanyaan-pertanyaan itu timbul karena memang kita sebagai orang Sunda, sebagai
bangsa Indonesia, sedang mengalami perubahan sosial yang luar biasa. Perubahan yang
mengguncangkan dan mencabut nilai-nilai warisan nenekmoyang yang karena perjalanan
sejarah tidak dapat disampaikan secara baik dari generasi tua kepada generasi
selanjutnya, baik secara lisan maupun secara tulisan. Misalnya nilai-nilai yang
dikemukakan dalam Siksa Kandang Karesian, yang pada masanya menjadi pegangan
orang banyak selama berabad-abad hanya secara fragmentaris saja disampaikan oleh
generasi tua kepada generasi yang berikutnya. Sementara itu telah datang agama, budaya
dan nilai-nilai baru dari luar yang merasuk ke dalam masyarakat baik yang di kota
maupun yang di desa, baik yang termasuk golongan elit maupun yang termasuk golongan
balaréa, dibawa oleh para saudagar, para penjajah, dan lain-lain. Semuanya itu
mempengaruhi nilai-nilai yang dianut oleh orang Sunda dalam hidupnya dari masa ke
masa. Sementara pewarisan nilai-nilai asli peninggalan nenekmoyangnya tidak
berlangsung secara baik, sehingga orang Sunda sekarang seperti pareumeun obor.

Pabelan, 12 Agustus, 2006.

Mengapa KIBS?
Kategori: Makalah » Dilihat: 972 kali » Diposting: 19-05-2008

Oleh Ajip Rosidi

Sejak masa pendudukan Jepang (1942-1945), masarakat Indonesia yang terdiri dari
komunitas-komunitas etnik yang masing-masing mempunyai kesenian, adat istiadat,
agama, bahasa dan bentuk budaya lainnya, meskipun terdapat juga kemiripan yang satu
dengan yang lain, mengalami disintegrasi luar biasa yang berlangsung terus-menerus.
Tentara pendudukan Jepang yang bersikap keras dan kejam, serta pengerahan segala
potensi, baik berupa tenaga manusia, bahan makanan, kekayaan berupa emas dan
perhiasan, dan logam-logam lain seperti besi dan baja, untuk kepentingan perang dan
kemenangan balatentara Jepang, menyebabkan masarakat Indonesia mengalami
kemiskinan yang belum pernah dialami sebelumnya. Orang meninggal bukan saja di
medan perang atau ketika dikerahkan untuk kerja paksa sebagai romusha, melainkan juga
karena kelaparan sehingga bangkai bergeletakan di pinggir jalan di kota-kota.
Pengalaman hidup yang keras itu memang mematangkan jiwa bangsa Indonesia untuk
merebut kemerdekaan, namun juga menyebabkan mereka mengenal berbagai nilai hidup
dan cara mempertahankan hidup yang sebelumnya tidak biasa seperti mencatut, korupsi,
kolusi, dan semacamnya. Pemiskinan yang luar biasa itu disambung dengan revolusi
kemerdekaan (1945-1950) sehingga sebagai bangsa dan negara yang baru
memproklamasikan kemerdekaan nasionalnya tak dapat segera membangun
perekonomian. Bahkan setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda (1950) juga
pembangunan ekonomi tidak segera dapat dimulai, karena adanya gebalau politik dan
terjadinya pemberontakan di berbagai daerah. Di pedesaan Tatar Sunda terus
terjadi gangguan keamanan sampai tahun 1962. Dengan kata lain, selama kira-kira 20
tahun (1942-1962) orang Sunda tidak hidup dalam keadaan normal. Para petani tidak
dapat menggarap tanahnya dengan baik, para pedagang tak dapat melakukan
perniagaannya dengan tenang. Orang-orang tak bisa hidup dengan tenteram, karena
selalu dalam ancaman ketakutan. Pertunjukan kesenian yang biasa dilaksanakan kalau
malam di perkampungan, tidak dapat dilaksanakan karena gangguan keamanan. Teror
yang terus menghantu siang dan malam, menyebabkan para ibu tidak dapat menimang
anaknya dengan ceria dan para nenek tidak lagi mendongeng kepada cucunya kalau
malam karena jika matahari terbenam mereka harus segera masuk bilik dengan
ketakutan, lampu dipadamkan dan percakapan dilakukan dengan bisik-bisik, atau
mengungsi ke tempat persembunyian yang dianggap aman.[1]

Dan teror yang berlangsung selama hampir satu generasi (kalau satu generasi itu
lamanya seperempat abad), telah menyebabkan hilangnya banyak tradisi, adat kebiasaan,
kepercayaan, jenis kesenian, keterampilan, kebijaksanaan (wisdom), dan entah apa lagi.
Tradisi bertani yang erat terkait dengan kepercayaan kepada Sanghyang Sri banyak yang
hilang. Bertani tidak lagi dikaitkan dengan kepercayaan akan tuah kesuburan bumi dan
kelestarian lingkungan. Dan dengan hilangnya kepercayaan itu, hilang pula berbagai
kekayaan tradisi lisan yang selama berabad-abad menjadi kekayaan ruhani orang Sunda.
Pertunjukan pantun yang merupakan bagian dari ritual kehidupan dan pertanian, jarang
dipertunjukkan karena sehabis panen orang tak dapat menanggapnya karena gangguan
keamanan. Dan ketika keadaan sudah aman, pertunjukan seperti pantun sudah kehilangan
hubungan dengan akar kepercayaannya. Dianggap semata-mata sebagai pertunjukan
hiburan dan sebagai hiburan dia kalah oleh jenis hiburan lain yang lebih menarik. Untuk
mempertahankan eksistensinya, banyak jurupantun yang mencoba menyesuaikan diri
dengan hiburan yang waktu itu sedang populer, misalnya dengan selingan gamelan
lengkap beserta pasindennya, sehingga lakon pantun yang seharusnya selesai dalam satu
malam, jadi berlarut-larut beberapa malam. Sesungguhnya orang tidak lagi
memperhatikan cerita yang disuguhkan oleh juru pantun, melainkan terlena oleh suara
gamelan dan nyanyian sang pasinden. Hal seperti itu terjadi juga dengan jenis-jenis
kesenian lainnya. Wayang golek misalnya tidak ditonton karena dalangnya piawai atau
karena lakonnya menarik, tetapi karena pasindennya terkenal. Orang tidak peduli siapa
dalang yang akan tampil, yang penting pasindennya Upit Sarimanah atau Titim
Patimah. Belakangan muncul dalang-dalang kreatif, seperti Asep Sunandar, tapi mungkin
orang lebih tertarik oleh trik-trik permainan golek yang dia lakukan daripada oleh
ketapisannya dalam antawacana yang banyak mengandung sindiran-sindiran yang
berlapis-lapis.

Ketika menjelang akhir 1960-an, masarakat Indonesia mulai dibenahi oleh rezim Orde
Baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto, maka Tim Ekonomi yang dipimpin oleh Prof.
Dr. Widjojo Nitisastro meletakkan dasar-dasar ekonomi yang kapitalistis dengan peranan
negara tetap penting seperti dalam ekonomi sosialistis. Sistim kapitalistis tanpa
liberalisme ekonomi yang sehat itu akhirnya berujung pada penumpukan modal dan
kekayaan pada keluarga Suharto dan konco-konconya dengan mengurbankan kehidupan
rakyat secara keseluruhan yang dijadikan jaminan untuk menghutang terus-menerus yang
jumahnya kian lama tiap tahunnya bukan kian mengecil malah kian membengkak, di
samping pengurasan kekayaan alam secara habis-habisan, baik yang tumbuh di atas
tanah, yang terpendam dalam bumi maupun yang terkandung dalam perut lautan.
Kemelaratan yang dialami rakyat dan tidak adanya peluang untuk mencari nafakah yang
wajar di negeri sendiri, juga digunakan oleh pemerintah untuk mengeduk devisa dengan
mengirimkan rakyat sebagai babu dan kuli di negeri-negeri lain tanpa mempedulikan
nasib mereka sebagai manusia yang sering mengalami perlakuan yang sangat
merendahkan HAM dari para majikannya yang menganggap mereka tak lebih dari budak
belian, bahkan banyak yang berakhir di tiang gantungan atau dijatuhi hukum pancung.

Moderenisasi dan Westerenisasi

Semboyan yang dikibarkan oleh rezim Orde Baru ialah moderenisasi dan industrialisasi.
Moderenisasi sempat menjadi bahan polemik yang ramai, tapi berhenti dengan
kesimpulan yang dianggap kebenaran: Westerenisasi no, moderenisasi dan industrialisasi
yes. Tanpa perincian yang jelas dalam praktek apa beda moderenisasi dan werterenisasi,
karena yang berlangsung sebenarnya hanyalah westerenisasi. Nilai-nilai hidup yang
diperkenalkan dan dianut jelas ikut-ikutan orang bule yang dengan kebijaksanaan
pariwisata untuk menggaet dolar, membolehkan mereka masuk tanpa minta visa lebih
dahulu selama dua bulan, dan selama dua bulan itu mereka memberi contoh bagaimana
hidup kumpulkebo, mengisap ganja dan menjadi kecanduan obat terlarang yang
sebenarnya bukan obat sama sekali. Sedangkan nilai-nilai positif yang dikandung
kebudayaan Barat seperti etos kerjanya, disiplin pada waktu, kemauan belajar yang tak
kunjung jemu dan semacamnya, tidak diperkenalkan dan tidak diikuti sama sekali. Lihat
saja filem-filem yang diimpor dan banyak yang ditayangkan pada layar televisi
pemerintah sekalipun, bukanlah filem-filem bermutu, melainkan sampah yang memberi
conto yang gamblang untuk melakukan tindak kejahatan dan kekerasan, di samping
berseks-seks ria. Perbedaan istilah moderenisasi dan werterenisasi yang dipolemikkan
entah menghabiskan berapa banyak kertas dan tinta, hanyalah selesai secara verbal dan
karena dianggap sudah selesai tak ada yang merasa perlu untuk menelitinya dalam
praktek masyarakat.

Maka dalam semangat moderenisasi dan industrialisasi yang menggebu-gebu itu,


masalah kebudayaan dilindas tanpa nurani. Daerah-daerah kaya budaya digusur karena di
tempat itu terdapat sumber minyak atau dianggap baik untuk mendirikan pabrik yang
untuk pekerja kasarnya didatangkan orang-orang dari daerah lain, misalnya pabrik-pabrik
tekstil di sekeliling kota Bandung mendatangkan pegawai kasarnya dari Jawa Tengah,
padahal sebenarnya untuk pekerja kasar orang-orang di tempat itu pun cukup banyak.
Dengan tumbuhnya pemukiman-pemukiman “orang lain” di lingkungan orang-orang
Sunda, maka kelestarian budaya tradisional menjadi terancam dan punah - tanpa
terdengar ada pemimpin orang Sunda baik yang berada di daerah yang bersangkutan
maupun di tingkat pusat yang jangankan memprotes, mempertanyakan kebijaksanaan
Bappeda pun tidak. Misalnya mempertanyakan mengapa daerah pertanian yang paling
subur di dataran tinggi Bandung oleh rencana Bappeda Jawa Barat dan Kota Madya dan
Kabupaten Bandung disulap menjadi daerah industri dan pemukiman. Bahkan sekarang
setelah limbah pabrik-pabrik itu menjadi masalah bagi penduduk dan penyedotan air-
tanah oleh pabrik-pabrik itu menimbulkan kesulitan air mandi dan minum bagi penduduk
setempat, belum juga terdengar yang mempertanyakannya secara sungguh-sungguh
sehingga kepentingan dan kehidupan penduduk setempat terbela.

Sejak pengakuan kedaulatan oleh Belanda (1950), penduduk dari berbagai daerah
berduyun berdatangan dan menetap di daerah Jawa Barat, antaranya disebabkan karena
di Jawa Barat kemungkinan mendapat pekerjaan dan pendidikan yang baik lebih banyak
terdapat, ditambah pula oleh kebijaksanaan pemerintah RI sendiri tentang kaum non dan
ko dalam pengangkatan pegawai pada tahun-tahun pertama setelah pengakuan
kedaulatan, sehingga bukan hanya di kota-kota yang penduduk setempatnya banyak
tergeser dan tergusur oleh kaum pedatang. Dengan kian banyaknya penduduk pedatang
di suatu daerah, maka kehidupan budaya dan keseniannya pun terpengaruh. Kesenian
tradisional setempat mendapat terjangan hebat dari segala penjuru berupa berbagai
bentuk kesenian dengan dukungan modal kuat yang ditawarkan dalam kemasan yang
apik dan menarik melalui jaringan media elektronik seperti radio, televisi, kaset rekaman,
video dan entah apa lagi, dipropagandakan pula melalui media cetak seperti surat kabar
dan majalah mewah yang dicetak dengan indah.

Memang ada juga perlawanan berupa bela diri seperti pantun yang menambahkan
gamelan dan pasinden, wayang yang menggunakan berbagai trik elektronik, tetapi ada
satu hal yang hilang tidak mendapat perhatian: apresiasi masyarakat terhadapnya yang
tidak terpupuk karena lembaga pemupukannya rusak akibat masarakat Sunda mengalami
disintegrasi. Perlawanan demikian hanyalah “menunda kekalahan”, karena disintegrasi
masarakat Sunda telah menyebabkan berubahnya bukan saja nilai-nilai yang menjadi
tumpuan hidup, melainkan juga lembaga adat kebiasaan yang selama ini menjadi tempat
pemupukan apresiasi terhadap berbagai bentuk kesenian. Misalnya lembaga hajat
kariaan baik untuk menyunat anak laki-laki ataupun menikahkan anak perempuan yang
biasanya dilaksanakan sambil menanggap kesenian tradisional Sunda di halaman atau
kebun rumah yang empunya hajat, mula-mula diganti pertunjukan kesenian yang
ditanggapnya dengan jenis kesenian baru seperti dangdut atau layar tancep, kemudian
pindah ke gedung-gedung pertemuan umum atau hotel-hotel tanpa menanggap kesenian
sama sekali, karena dianggap cukup dengan mengadakan upacara adat saja – yaitu
upacara bikin-bikinan yang sebenarnya tidak pernah menjadi adat ataupun tradisi dalam
masarakat Sunda. Adat bikin-bikinan itu banyak yang mencontoh atau menyontek adat
Jawa yang feodal. Padahal menurut Dr. Kuntowijoyo, di samping kebudayaan Jawa yang
feodal ada juga kebudayaan Jawa yang santri. Tetapi yang banyak dicontohkan dan
ditiru adalah Jawa yang feodal, karena rezim Orde Baru melanjutkan neo-feodalisme
yang telah ditanamkan akar-akarnya pada masa Orde Lama yang dipimpin oleh
Pemimpin Besar Revolusi Presiden Sukarno yang mengidentifikasikan dirinya dengan
raja Jawa yang segala kehendaknya harus dilaksanakan, meskipun untuk itu rakyat harus
makan batu.

Menghilangnya kebiasaan menanggap kesenian tradisional dalam kesempatan hajat


kariaan itu, bukan saja telah menghilangkan lahan pencarian nafkah bagi para seniman
rakyat sehingga minat untuk menjadi seniman tradisional kehilangan salah satu daya
tariknya, melainkan juga menghilangkan tempat dan kesempatan untuk memupuk dan
membina apresiasi terhadapnya. Proses itu nampaknya tidak disadari baik oleh para
seniman maupun oleh para pemimpin masyarakat yang selalu membangga-banggakan
kesenian warisan karuhun yang kaya dan bermutu tinggi. Mereka baru terkejut tatkala
melihat bagaimana generasi muda tidak lagi berminat menonton seni tradisi yang konon
adiluhung seperti wayang, pantun, tembang Sunda, tari topeng, dll. Bagaimana generasi
muda akan mempunyai apresiasi terhadap kesenian tradisi kalau kesempatan untuk 
melihat atau bertemu dengan kesenian tradisi itu tak pernah ada atau jarang sekali ada?
Menghilangnya tradisi menanggap kesenian dalam kesempatan hajat kariaan tidak
diganti dengan memberi kesempatan lain buat anak-anak melihat atau bertemu dengan
kesenian tradisi di tempat-tempat lain, misalnya di gedung-gedung yang khusus dibangun
untuk mengadakan pertunjukan kesenian tradisi, atau memasukkan pembinaan apresiasi
terhadap kesenian tradisi sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah. Bahkan media
elektronika seperti radio dan televisi yang dikuasai oleh pemerintah sekalipun tidak
pernah secara sadar digunakan untuk ajang pembinaan apresiasi para pendengarnya
terhadap kesenian tradisi yang mana pun. Kalaupun ada kesenian tradisi yang sekali-
sekali yang jarang muncul dalam layar televisi, maka atas kebijaksanaan pimpinannya
untuk mempertahankan “kesatuan dan persatuan” pertunjukan tersebut harus mengalami
penyesuaian dengan - misalnya - mengganti bahasa yang digunakan dalam pertunjukan
tersebut dengan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Terdengar memang ada orang
yang merasa tidak puas, tapi “kebijaksanaan nasional” di atas segala-galanya, walaupun
tak pernah dibuktikan bahwa dengan menggunakan bahasa daerah sesuatu pertunjukan
kesenian daerah memang telah membahayakan “kesatuan dan persatuan” ataupun
sebaliknya: dengan memakai bahasa nasional, pertunjukan demikian telah menjaga
keutuhan bangsa dan negara - bahkan gamblang dibuktikan oleh perkembangan sejarah
bahwa sebaliknyalah yang terjadi: berbagai peristiwa selama 2-3 tahun terakhir yang
hampir memporakporandakan negara kesatuan nyata terjadi kendatipun - atau mungkin
lebih tepat justru karena - berbagai pertunjukan kesenian daerah bahasanya telah
dinasionalkan.

Dari uraian tadi, mudah-mudahan dapat disimpulkan bahwa kelestarian kebudayaan,


terutama kesenian tradisi Sunda, Betawi dan Cirebon terancam. Keempuan berkesenian
tidak diturunkan karena berbagai sebab, termasuk karena kebijakan birokrat yang
dipercaya mengurus kesenian tidak memahami bidangnya dan merasa lebih tahu dari
para seniman tradisi yang memang umumnya bukan “orang sekolahan”[2]. Dan karena
terjadinya disintegresi masarakat, maka pemupukan apresiasi terhadap kesenian tradisi
pada generasi yang lebih kemudian pun terhenti tanpa disadari sehingga tak pernah ada
usaha berencana dan terus-menerus untuk mengatasinya. Ketika mulai disadari, tak juga
kunjung diikuti oleh rencana matang yang menyeluruh untuk memperbaikinya. Yang
telah dilakukan sampai sekarang hanyalah tambal-sulam yang hasilnya pun tidak atau
belum kelihatan. Dengan kata lain, pewarisan budaya, baik keterampilan sang empu
seniman maupun pemupukan apresiasi terhadapnya tidak dilakukan. Keadaan demikian
tidak hanya dialami oleh kebudayan dan kesenian Sunda, Cirebon dan Betawi saja,
melainkan juga dialami oleh kebudayaan dan kesenian suku-suku bangsa lain di seluruh
Indonesia. Bahkan tak mustahil telah banyak yang punah.[3]

Untuk menjaga jangan sampai punah, diperlukan adanya political will dari pemerintah
dan para pemimpin bangsa. Dan sampai sekarang political will itulah yang belum pernah
kelihatan. Bagaimana akan timbul suatu political will untuk membenahi kehidupan
budaya kalau pengertian dan kesadaran tentang pentingnya kebudayaan dalam
berbangsa juga tidak pernah timbul?

Pemerintah tidak pernah menganggap kebudayaan penting

Kalau kita cermati kebijakan-kebijakan pemerintah sejak negara RI didirikan, kita akan
melihat bahwa tidak pernah ada yang secara serius menganggap kebudayaan itu penting.
Kalaupun ada diucapkan oleh pemimpin pemerintahan, itu hanyalah sebagai lip service
belaka, karena dalam program pemerintahannya hal itu tidak pernah tergambar.
Jangankan pula usaha nyata yang dilakukannya. Pada masa revolusi pemerintah RI yang
baru pernah menyelenggarakan pameran lukisan di ibukota revolusi Yogyakarta dan
mengadakan Kongres Kebudayaan di Magelang (1948), tetapi hal itu dilakukan hanyalah
untuk memberi kesan kepada dunia luar bahwa bangsa Indonesia itu bangsa yang
berkebudayaan tinggi dan karena itu pantas menjadi bangsa yang merdeka. Jadi kesenian
dan kebudayaan hanyalah digunakan untuk tujuan politik. Sama halnya dengan
pemerintah sekarang yang menyatukan kebudayaan di bawah satu atap dengan
pariwisata, karena melihat kebudayaan hanyalah sebagai komiditi yang dapat dijual
sehingga bisa memasukkan dolar. Kebudayaan sebagai bagian dari hidup bangsa yang
harus ditanamkan melalui pewarisan yang berencana dan teratur kepada generasi yang
lebih kemudian tidak pernah disadari - bahkan juga ketika kebudayaan masih satu atap
dengan pendidikan. Kebudayaan adalah jatidiri sesuatu bangsa, karena itu seharusnya
dilestarikan melalui pendidikan sebagai lembaga pewarisan secara terus-menerus. Ketika
bangsa Amerika pada abad ke-19 mulai mempertanyakan jati dirinya karena mereka
sadar bahwa sebagai bangsa mereka adalah bangsa baru yang tak jelas sumber
budayanya, maka didoronglah pencarian untuk menemukan sumber budayanya. Ketika
mereka akhirnya menemukan bahwa sumber budaya mereka adalah kebudayaan Eropa
klasik, jadi Yunani dan Latin, mereka pun memasukkan pengajaran tentang kebudayaan
Eropa klasik ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah sejak TK sampai perguruan tinggi.
Karya-karya klasik Yunani ditelaah, diterbitkan dan diajarkan. Buku-buku yang memuat
pelbagai segi budaya Yunani, baik filsafat, sejarah, kepercayaan, kesusasteraan, kesenian,
maupun mitologi dan folklornya diajarkan atau disediakan dalam perpustakaan sekolah
yang harus dibaca oleh para siswa. Penemuan kebudayaan Eropa klasik sebagai sumber
kebudayaan Amerika pernah dilukiskan oleh seorang penulis sebagai “anak yang hilang
menemukan ibunya kembali”. Pengembangan kebudayaan Amerika selanjutnya
bersumber pada budaya “ibunya” itu[4].

Tetapi karena para pemimpin kita tidak menyadari pentingnya kebudayaan, maka kita tak
pernah merasa perlu untuk mencari sumber budaya kita seperti bangsa Amerika pernah
mencarinya. Ataukah karena kita bangsa pemalas yang tak pernah menganggap berpikir
sebagai hal yang penting dalam hidup, walaupun sebagian besar kita memeluk agama
Islam yang dalam Kitab Sucinya, Allah berfirman berulang-ulang menyuruh umatnya
berpikir. Kita sudah terbiasa dicekoki orang lain yang memikirkan segala sesuatunya
untuk kita. Hakikat kemerdekaan menurut hemat saya - seperti pernah saya katakan pada
kesempatan lain —  adalah merubah mentalitas sebagai obyek menjadi mentalitas
sebagai subjek. Tapi penjajahan yang beratus-ratus tahun nampaknya telah membuat
bangsa kita terlalu terbiasa menjadi obyek. Terbiasa sehingga telah merasa senang kalau
selalu ada orang lain yang mengerjakan berpikir itu untuk kita, walaupun pada akhirnya
kita akan kehilangan segala-galanya karena orang yang melakukan berpikir untuk kita itu
tentu tidak akan melakukannya dengan cuma-cuma. Keadaan kita sekarang sudah berada
dalam kondisi demikian: kita telah kehilangan kekayaan alam kita, sumber-sumber alam,
hutan-hutan kita, kandungan lautan kita, dan entah apa lagi sedangkan utang masih
bertimbun yang bunganya pun sudah tidak sanggup kita bayar kalau tidak mendapat
utang baru yang akan menambah jumlah beban anak cucu bahkan cicit dan anak cicit kita
kelak.

Memang masalahnya mungkin terbentur pada banyaknya sumber yang dapat kita jadikan
pijakan masa depan kita. Kita punya kebudayaan adiluhung Jawa, Bali, Sunda, Bugis,
Aceh dan suku-suku bangsa lain yang masing-masing mempunyai perbedaan yang cukup
besar, sehingga kita tidak tahu yang manakah yang hendak kita jadikan sumber. Yang
aneh ialah bahwa kita malah menghindarkan diri dari membicarakan hal-hal demikian,
sehingga kita membuat bebegig untuk menakut-nakuti diri kita sendiri, yaitu masalah
sukubangsa dijadikan yang pertama dalam SARA. Saya katakan aneh, karena seharusnya
kita membicarakan kekayaan kebudayan kesukuan kita secara terbuka, sehingga kita bisa
memilih mana yang cocok buat pegangan dan pupuk pengembangan kita sebagai bangsa,
dan mana yang tidak cocok yang harus kita tinggalkan. Kami dalam BPB Kiwari pada
tahun 1957 misalnya sudah merumuskan bahwa kebudayaan-kebudayaan daerah itu
merupakan kenyataan historis yang dapat menjadi modal kita membangun bangsa
Indonesia. Bagaimana kita akan memanfaatkan kekayaan kita yang merupakan
pemberian Tuhan yang tak terpermanai nilainya itu, kalau kita tidak bisa membahasnya
secara terbuka. Karena saya cerewet dan selalu meminta perhatian dan mengajak
membicarakan kebudayaan daerah sehubungan dengan pembinaan kebudayaan nasional,
malah saya dituduh “kesukuan”, “kesundaan”, “separatis”, “federalis” dan entah sebutan
apa lagi. Padahal saya ngotot mengajak membicarakannya itu karena saya melihat
bahwa dalam kebudayaan-kebudayaan daerah itu ada potensi yang positif untuk
pengembangan kebudayaan nasional, tetapi ada juga terkandung nilai-nilai yang tidak
cocok, bahkan bertentangan, dengan prinsip demokrasi yang telah dipilih dan ditetapkan
oleh para bapak pendiri bangsa Indonesia. Kalau kita dapat membicarakannya secara
terbuka dengan hati yang tenang dan kepala yang dingin, kita akan dapat menetapkan
nilai-nilai apa dari kebudayaan daerah yang dapat diambil sebagai penunjang
kebudayaan nasional, dan nilai-nilai apa yang harus dihindarkan karena bertentangan
dengan prinsip demokrasi yang sudah dipilih oleh para bapak pendiri bangsa dan negara
kita. Tanpa adanya kesempatan membicarakannya secara terbuka, maka banyak segi
kebudayaan daerah yang diperkembangkan adalah justru yang tak sesuai dengan prinsip
negara demokrasi seperti menghidup-hidupkan adat dan kebiasaan yang feodalistis,
bahkan juga pemakaian bahasa nasional yang bersumber dari bahasa Melayu yang
egaliter, hendak diJawakan atau diSundakan dengan memakai kata-kata yang dianggap
“halus” sebagai tanda penghormatan kepada status orang yang dibicarakan atau yang
diajak bicara. Kata “putera” menggantikan “anak”, “wanita” menggantikan
“perempuan”, “rawuh” menggantikan “datang”, “ndalem menggantikan “rumah” dll.
Kalau pembesar berbicara di muka umum, dikatakan “Bapak Anu berkenan memberikan
amanat……”

S. Takdir Alisjahbana “Menang tapi Kalah”

Kita semua tahu tentang adanya “debat besar” yang dikenal dengan judul buku susunan
Achdiat K. Mihardja yaitu Polemik Kebudayaan (1948) yang menghimpun debat-debat
itu. Meskipun tidak resmi, yang dianggap sebagai pemenang dalam polemik itu adalah
S. Takdir Alisjahbana yang tegas-tegasan mengatakan bahwa kalau ingin maju bangsa
Indonesia harus menghirup “roh Barat” artinya mengikuti dan menjadi Barat serta
menyatakan tak ada hubungan lagi dengan masa lalu yang disebutnya sebagai jaman
“pra Indonesia”. Tapi kalaupun memang pendapat Takdir ini yang dijadikan kata putus
dalam pembangunan kebudayaan nasional Indonesia, tak pernah ada usaha yang
berencana dan terus-menerus memasukkan pengajaran tentang “roh Barat” (yang niscaya
akan sampai kepada Yunani Kuno juga) agar dikuasai oleh generasi muda bangsa
Indonesia. Tak ada buku-buku yang ditulis atau diterjemahkan tentang hal itu kecuali
satu dua sebagai usaha perseorangan. Itu pun tak sampai masuk kurikulum, tak sampai
masuk ke perpustakaan sekolah - yang memang tidak dianggap penting dalam sistim
pendidikan sekolah di Indonesia. Takdir sendiri yang menyusun Pembimbing Ke Filsafat
tak sampai selesai melukiskan perkembangan pemikiran Barat - lepas dari mutunya.
Pengenalan Indonesia terhadap “Barat” adalah seperti yang pernah dilukiskan oleh Mh.
Rustandi Kartakusumah, yaitu sebenarnya hanya berupa pengenalan terhadap Belanda.
Belanda itulah yang kita anggap sebagai Barat, paling tidak sebagai wakil Barat yang
representatif, padahal kebudayaan Belanda bukanlah yang terpenting dalam lingkungan
kebudayaan Barat. Dan ternyata pula, kata Rustandi, pengenalan kita terhadap
kebudayaan Belanda pun sebenarnya terbatas kepada kebudayaan ……… Indo saja.[5]
Dan kebudayaan Indo ternyata pula tak sampai seperempat abad setelah Rustandi
menulis esainya itu, telah lenyap bersama para pendukungnya terakhir yang dipaksa
meninggalkan Indonesia pada bagian kedua tahun 1950-an yang meskipun mencoba
menghidup-hidupkannya di negeri Belanda namun tak berhasil - tinggal lagi para
tetironnya, yaitu bangsa Indonesia yang meniru-niru Indo yang sudah lenyap itu. Dengan
demikian kemenangan S. Takdir Alisjahbana dalam “polemik kebudayaan” itu tidaklah
dilanjutkan dengan munculnya bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan kebudayaan
nasional yang bersumber pada “roh Barat”.

Malangnya lawan polemik S. Takdir semuanya menderita gagap. Dr. Soetomo yang
menyatakan bahwa bentuk pendidikan Indonesia harus meniru kiai dan pondok, langsung
mundur setelah mendapat serangan dari S. Takdir yang menyatakan bahwa hasil
pendidikan kiai dan pondok itu ternyata tak bisa membendung penjajahan Belanda dan
bahkan dia bilang “……. semangat persatuan yang berpusat kiyai dan pesantrenlah yang
menyebabkan jatuhnya bangsa kita”. Sanusi Pane juga mengemukakan pendapat yang
tidak kukuh dipertahankannya, padahal pendapatnya itu juga merupakan kompromi
antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur yang menjadi salah satu tema polemik.
Bagi Sanusi Pane manusia moderen yang ideal itu ialah percampuran antara Arjuna
(representasi kebudayaan Timur) dengan Faust (representasi kebudayaan Barat). Kalau
Takdir tegas menuju ke Barat, Sanusi Pane tidaklah menuju ke Timur atau kukuh
memegang Timur.[6]

Ketika pada akhirnya kita memproklamasikan kemerdekaan dan mendirikan negara


Republik Indonesia, kita melanjutkan pendidikan melalui sekolah-sekolah yang
sebelumnya didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mencukupi kebutuhannya
akan tenaga administratif yang terampil untuk melaksanakan eksploitasi kolonialnya
dengan tentu saja mencontoh sekolah-sekolah yang ada di negeri asalnya. Di sekolah-
sekolah itu, anak-anak Indonesia harus mempelajari hal-hal yang dipelajari oleh anak-
anak Belanda di negerinya, antaranya tentang sejarah negeri dan bangsa Belanda dan
ilmu bumi Belanda yang tentu saja tak ada manfaatnya bagi mereka yang kebanyakan
seumur hidupnya takkan pernah mempunyai kesempatan untuk menginjak negeri
Belanda. Setelah negara Indonesia berdiri, maka pelajaran sejarah dan ilmu bumi negeri
Belanda dihapuskan diganti dengan pelajaran ilmu bumi dan sejarah nasional Indonesia -
walaupun penulisan sejarah nasional itu sendiri baru saja dicoba dimulai seperti oleh
Sanusi Pane dan Muhammad Yamin, yang lebih bersifat penanaman semangat meramu
bahan-bahan terbatas yang sumbernya terutama buku-buku yang ditulis oleh para ahli
Belanda juga. Di luar ilmu bumi dan sejarah, pelajaran yang lain juga disesuaikan dengan
semangat nasional, misalnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar -
walaupun di tingkat perguruan tinggi pelaksanaannya bertahap karena tenaga-tenaga
yang cakap kebanyakan masih orang Belanda dan bahasa Indonesia pada waktu itu
memang belum mampu untuk menjadi sarana berbagai bidang ilmu. Tetapi apa yang
diajarkan di sekolah-sekolah itu, tetap saja dalam kerangka pendidikan Belanda yang
tidak ada sangkut-paut yang langsung dengan kebudayaan yang hidup di Indonesia,
sehingga dengan demikian pendidikan formal melalui sekolah-sekolah di Indonesia
tidaklah berfungsi sebagai lembaga pewarisan kebudayaan seperti demikian halnya
dengan fungsi sekolah di negeri-negeri lain. Misalnya di Eropa sekolah-sekolah
merupakan lembaga pewarisan budaya Barat yang bersumber pada budaya Yunani. Di
sekolah-sekolah anak-anak Eropa di negeri mana pun mempelajari sampai batas tertentu
kebudayaan yang menjadi sumbernya itu. Tetapi di Indonesia fungsi demikian tidak
dilaksanakan oleh sekolah-sekolah.[7] Sejak Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi,
anak Indonesia tidaklah diperkenalkan dengan kebudayaan yang menjadi sumbernya.
Mereka dianggap cukup dengan mempelajari Pancasila yang pada suatu saat
diberhalakan sebagai sesuatu yang sakti. Karena penggalian pemikiran terhadapnya juga
terbatas, maka yang dipelajari sejak Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Atas -
bahkan juga sampai perguruan tinggi - kalimat-kalimatnya banyak yang tetap begitu-
begitu saja, sehingga mata pelajaran tersebut berubah sebagai hapalan atas mantera yang
sakti. Setelah digali oleh Bung Karno pada tg. 1 Juni 1945, betapa sedikit pemikiran yang
dirangsang dan ditimbulkan olehnya - hal yang mungkin ada hubungannya dengan sipat
bangsa kita yang malas berpikir - antara lain akibat selama lebih dari 40 tahun, yaitu
sejak masa Demokrasi Terpimpin, terus-menerus dicekoki dengan indoktrinasi yang
menutup kesempatan untuk berpikir bebas, karena orang hanya boleh mempunyai pikiran
yang sesuai dengan pikiran penguasa. Berpikir berbeda, apalagi kalau bertentangan
dengan pikiran resmi bisa kehilangan kedudukan, kehilangan hak-hak sipil, kehilangan
kebebasan (karena masuk tahanan tanpa tuduhan yang jelas), atau bahkan kehilangan
nyawa. Indoktrinasi juga membuat manusia kehilangan hati nurani, karena harus
memperlihatkan kepatuhan tak terbatas - yaitu kalau mau hidup selamat dan kedudukan
terjamin serta ikut kebagian makan kue pembangunan yang kian besar tapi hanya dibagi-
bagi kepada orang-orang dekat yang patuh saja.

Pada tahun-tahun awal setelah Indonesia merdeka, di sekolah-sekolah umum masih


diajarkan kesusasteraan Melayu klasik bahkan juga tulisan Jawi yang dipergunakan
untuk menulis karya sastera Melayu sejak awal sejarahnya. Tetapi pada masa yang lebih
kemudian tanpa keterangan yang jelas, pelajaran kesusasteraan Melayu klasik itu hilang
dan tidak ada pelajaran sastera klasik yang mana pun diajarkan, seakan-akan hendak
melaksanakan pendapat S. Takdir Alisjahbana dalam “polemik kebudayaan”, bahwa
kalau bangsa Indonesia mau maju, maka haruslah memutuskan hubungan dengan segala
yang berbau “pra Indonesia”. Tetapi tidak dilanjutkan dengan anjurannya untuk mereguk
“roh Barat”, karena pelajaran tentang kebudayaan Barat, baik yang klasik maupun yang
moderen, tidaklah dilakukan. Dengan demikian di sekolah-sekolah anak-anak bangsa
Indonesia sejak kecil tidak pernah diperkenalkan dengan khazanah kebudayaan warisan
nenekmoyangnya yang konon kaya. Baru belakangan ada usaha memperkenalkan bahasa
dan kesenian setempat dalam pelajaran yang dinamakan “muatan lokal” yang fungsinya
tidaklah menentukan dalam ujian, padahal seluruh pembelajaran di sekolah-sekolah di
Indonesia ditujukan kepada hasil ujian itu, yang akan menyebabkan si pelajar
memperoleh kertas sakti yang disebut ijasah atau gelar kesarjanaan yang diharapkan akan
membukakan pintu ke kursi kedudukan terhormat dalam masyarakat. Mendapat gelar
setinggi mungkin dan sebanyak mungkin adalah tujuan hidup kebanyakan orang
Indonesia - dan kalau perlu dicari jalan untuk memperolehnya dengan membelinya,
sehingga penjualan gelar demikian sekarang menjadi bisnis yang nampaknya
menguntungkan karena kita melihat iklan-iklannya dalam surat-surat kabar.[8] Orang-
orang yang tak pernah ketahuan mengikuti kuliah di mana pun, tiba-tiba saja memasang
dua gelar di depan dan di belalang namanya, “Drs.” dan “SH”.

Kita pun pernah mendengar cerita bagaimana seorang Menteri Pendidikan dan
Pengajaran membujuk Rektor universitas negeri (yang tentu saja ada di bawah
wewenangnya) untuk mengangkatnya sebagai profesor, dan setelah mencoba membujuk
beberapa rektor yang menolak, akhirnya bertemu juga dengan rektor yang bersedia
memenuhi keinginan Sang Menteri yang agaknya tidak puas hanya sekedar menjadi
menteri.

Hal-hal itu merupakan contoh bagaimana lembaga pendidikan di Indonesia selama ini
tidak ditujukan kepada atau tidak berhasil memberi kesempatan kepada si anak didik
untuk mempersiapkan diri sebagai manusia yang punya wawasan budaya yang luas dan
menguasai bidang ilmunya dengan baik sehingga siap untuk menjadi tenaga profesional
yang kreatif. Maka yang tumbuh adalah sikap yang sangat mengagung-agungkan gelar,
seakan-akan gelar itu merupakan segala-galanya. Bahkan mereka yang menunjukkan
kesungguhan dan sikap keilmuan yang tinggi tatkala menyusun disertasi doktoralnya,
tidak pernah memperlihatkan karya ilmu lagi sampai ahir hayatnya, seakan-akan dengan
menjadi Dr. tujuan hidupnya sudah tercapai. Karena pengalaman dalam masyarakat
juga menunjukkan bahwa untuk menjadi sukses dalam masyarakat itu tidak perlu
kepandaian apapun kecuali mempunyai lidah yang panjang untuk membujuk dan
menjilat ditambah dengan koneksi, maka sikap yang tidak wajar terhadap gelar itu
menjadi umum.
Dengan kata lain pendidikan di Indonesia selama lebih setengah abad merupakan
kegagalan untuk membentuk manusia Indonesia yang mempunyai sumber budaya yang
jelas sehingga dapat menghadapi serba tantangan dengan sikap penuh percaya diri.
Meskipun ada kebijaksanaan yang sering diucapkan sebagai kebenaran umum dalam
menghadapi menghadapi kebudayaan tradisi daerah yang berbunyi “yang baik ambil,
yang buruk tinggalkan”, tetapi tak pernah jelas bagaimana ukuran baik dan buruk yang
harus dipakai, sehingga pada prakteknya yang banyak diambil justru yang feodalistis
yang sebenarnya bertentangan dengan dasar negara RI yang diletakkan oleh para pendiri
negara (founding fathers) kita. Begitu juga dalam menghadapi pengaruh kebudayaan
asing, ada pedoman umum yang bersifat klise seperti itu yang juga tidak jelas ukuran apa
yang dipakai tentang buruk dan baik yang dimaksudkannya. Apalagi dalam menghadapi
pengaruh asing yang didukung oleh modal kuat dan dihidangkan dalam kemasan yang
rapi dengan mempergunakan alat teknologi canggih, orang Indonesia tidaklah dalam
posisi bisa memilih. Dengan kian intensifnya arus globalisasi menyerbu masyarakat kita,
dengan sifatnya yang konsumeristis, bangsa kita kian tak berdaya menghadapinya. Jelas
sekali bahwa kesenian dan nilai-nilai tradisi yang lugu dan tidak mempunyai dukungan
modal - yang ada hanya beban utang belaka - tak dapat bersaing dengan arus globalisasi
itu dalam mempengaruhi anak-anak dan orang-orang dewasa bangsa Indonesia. Secara
terus-menerus dan secara tetap anak-anak kita kian diasingkan dari warisan kesenian dan
nilai-nilai budaya nenek moyangnya, dicekok dengan berbagai bentuk kesenian kemasan
yang dihidangkan selama 24 jam setiap hari, 365 hari dalam setahun melalui berbagai
kesempatan dan media, baik cetak maupun elektronik.

Mencari jalan keluar supaya jangan punah

Mungkinkah kita mempertahankan eksistensi berbagai jenis kesenian yang sedang


mengalami proses kepunahan? Mungkin bisa mungkin tidak. Semuanya tergantung
kepada kemauan kita sendiri, kepada political will kita sendiri. Kita merasa perlu
menyelamatkannya dari kepunahan atau tidak?

Ketika sedang menyusun Ensiklopedi Sunda, saya menjadi sadar bahwa masalah utama
yang dihadapi oleh kebudayaan Sunda dan demikian juga nampaknya oleh kebudayaan
etnis lain di Indonesia, adalah masalah pewarisan. Bukan saja pewarisan keterampilan
sang empu seniman kepada generasi yang lebih muda yang terputus, melainkan terutama
pewarisan apresiasi terhadap berbagai jenis kesenian tradisional yang sudah lama
terbengkalai sehinggga (hampir) terputus. Tanpa adanya masyarakat yang mempuyai
apresiasi terhadapnya kehidupan sesuatu jenis kesenian dengan sendirinya akan punah.
Maka masalah itu harus dibicarakan secara serius untuk dicarikan jalan keluarnya.
Pembicaraan tidak cukup hanya oleh para pakar dengan para birokrat saja, melainkan
juga harus mengikutsertakan berbagai komponen bangsa yang bertalian dengan itu,
terutama si seniman sendiri (yang dalam tradisi Orde Baru dianggap tak perlu ditanya
atau didengarkan keinginannya, cukup kalau mereka mau melaksanakan segala “pesan
sponsor” pemerintah, jadi hanya diperalat), tetapi juga para pemuka masyarakat, para
pendidik, para pemuda yang akan menjadi sasaran pembinaan nanti, para mahasiswa
terutama yang aktif dalam kegiatan kesenian dan lain-ain.

Menunggu political will dari pemerintah, jangankan pada masa serba krisis seperti
sekarang, pada masa yang “normal” sekalipun nampaknya jauh panggang dari api.
Karena itu kalau kita tidak menginginkan kekayaan seni dan budaya kita yang masih
tinggal pun akan dibiarkan punah, maka kita sendiri yang harus melakukan sesuatu.
Memang, pekerjaan besar ini tak mungkin dilakukan tanpa pemerintah turun tangan.
Karena itu mau tak mau kita harus mengajak birokrasi pemerintah - tanpa menunggu
adanya political will sebagai dasar kebijaksanaan pemerintah. Konferensi Internasional
Budaya Sunda (KIBS) diselenggarakan adalah realiasi dari pikiran demikian. Dalam
KIBS diharapkan hadir para pakar kebudayaan Sunda baik di dalam maupun di luar
negeri, para seniman, para birokrat terutama yang menangani kebudayaan dan kesenian,
para pendidik, para pemuka masarakat, para pemuda dan para mahasiswa, terutama
aktivis kesenian Sunda. Selama empat hari diharapkan semuanya akan membahas
berbagai masalah kebudayaan Sunda, terutama yang berhubungan dengan usaha
pewarisannya, yaitu pewarisan keterampilan berkesenian dan pewarisan apresiasi
terhadapnya kepada generasi muda.

Perlu dijelaskan di sini, bahwa ternyata tidak banyak para Indonesianis di luar negeri
yang menaruh perhatian kepada Sunda dan kebudayaannya. Kenyataan ini, perlu
dijelaskan di sini karena banyak ahli budaya Sunda atau yang menganggap dirinya
demikian yang suka membangga-banggakan diri karena katanya kebudayaan Sunda itu
begitu tinggi mutunya sehingga para ahli luar negeri pun berdatangan untuk
mempelajarinya. Yang sekarang menghadiri KIBS sekarang boleh dikatakan sudah
hampir semua Indonesianis yang menaruh perhatian terhadap Sunda dan kebudayaannya,
paling sedikit setengahnya dari yang ada. Kami sudah mencari informasi ke semua
penjuru dunia tentang pakar keSundaan, dan semua yang alamatnya kami peroleh, kami
hubungi untuk menghadiri KIBS. Sebagai informasi tambahan dapat saya sampaikan
bahwa awal bulan September yang akan datang di SOAS di London akan
diselenggarakan Seminar Euroseas yang mengumpulkan para pakar tentang negara-
negara ASEAN, termasuk Indonesia. Dari puluhan makalah yang dikemukakan tentang
Indonesia, tidak ada satu pun tentang Sunda atau kebudayaannya, sedangkan tentang
Mentawai ada tiga pembicara. Kenyataan ini perlu diketahui oleh para budayawan Sunda
agar jangan terlalu gampang berbangga diri hanya karena menjadi obyek perhatian orang
asing.

Orang Sunda mayoritasnya memeluk agama Islam, jadi seharusnya mempunyai


hubungan yang erat dengan negara-negara Islam di Timur Tengah. Dalam beberapa
dasawarsa terakhir ini kadang-kadang dikirimkan juga kesenian Sunda ke kota-kota di
Timur Tengah melalui berbagai lembaga dan konon mendapat sambutan yang baik. Tapi
dengan begitu jangan lantas berkesimpulan telah ada pakar dari negara-negara Timur
Tengah yang meneliti Sunda atau kebudayaannya. Karena itu tak ada seorang pun dari
negara-negara itu yang hadir dalam KIBS.

Bahkan Cina yang telah mempunyai hubungan yang ramai dan terus-menerus sejak Fa
Hien pada abad ke-4 berkunjung ke Tarumanagara, tidak ada seorang pun dari bangsa
yang penduduknya lebih dari satu milyar orang itu yang mempunyai minat untuk
mendalami tentang manusia Sunda dan kebudayaannya. Banyak sarjana Perancis yang
mempelajari dan menulis karya-karya penting tentang suku-suku bangsa Indonesia
dengan kebudayaannya seperti sukubangsa Jawa, Bugis, Melayu, Bali, dan entah apa
lagi, tapi tak ada yang secara sungguh-sungguh meneliti manusia Sunda dan
kebudayaannya dan menghasilkan karya yang serius.

Kenyataan itu hendaknya diketahui dan disadari oleh para ilmuwan dan calon ilmuwan
Sunda, bahwa mereka mempunyai peluang yang sangat luas untuk muncul sebagai pakar
tentang sukubangsa dan kebudayaannya sendiri. Contoh yang telah diberikan oleh
almarhum Atja yang berhasil menembus kebuntuan yang dihadapi oleh sarjana-sarjana
Belanda, Jawa dan lain-lain ketika membaca naskah-naskah dalam huruf Sunda Kuna
hendaknya merangsang para ilmuwan dan calon ilmuwan Sunda agar menulis karya-
karya perintis dalam berbagai bidang mengenai Sunda dan kesundaan. Orang Sunda
mendapat peluang untuk menjadi pakar perintis tentang budaya sukubangsanya sendiri.

Tujuan utama KIBS adalah mencari inti persoalan mengenai pewarisan budaya supaya
kita dapat membuat peta untuk dijadikan pegangan dalam melaksanakan berbagai
langkah yang disarankan oleh KIBS nanti. Dengan adanya peta permasalahan yang jelas
diharapkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebudayaan dalam kehidupan bangsa
yang selama ini diabaikan, akan meningkat. Hanya kalau masyarakat luas - termasuk
pemerintah dalam hal ini terutama para birokrat yang bertugas untuk menangani masalah
kebudayaan - menyadari hal itu saja, segala usaha pewarisan akan berhasil dengan baik.
Satu hal teknis yang ingin saya sampaikan sebelum mengakhiri pembicaraan ini, yaitu
bahwa dalam KIBS setiap orang akan mendapat kesempatan berbicara seluas-luasnya
asal saja memang masih relevan dengan masalah yang dibicarakan. Untuk itu setiap sessi
lamanya satu seperempat jam (75 menit), lebih lama daripada sessi-sessi seminar atau
konferensi di Indonesia yang biasa (umumnya hanya 45 menit). Sebaliknya kalau
pembicaraannya di luar masalah yang sedang dibahas, misalnya merupakan pameran
diri yang disembunyikan dalam euphemisme yang penuh kata-kata klise, akan segera
diketuk oleh pemandu-acara. Setiap pemandu-acara sudah diberi wewenang untuk
bertindak tegas dalam hal ini, justru karena kita ingin memperoleh masukan yang serius
dari setiap peserta.

Akhirnya saya ingin mengucapkan selamat berkonferensi, semoga kita akan


menghasilkan rumusan yang kita inginkan untuk dijadikan pedoman oleh siapapun yang
hendak melaksanakannya. Dalam hal ini penyelenggara sadar sekali bahwa masalah
raksasa yang dihadapinya tidaklah mungkin dikerjakan olehnya sendiri, melainkan harus
ditangani oleh semua pihak yang bersangkutan, karena masalah kebudayaan Sunda
adalah masalah semua orang Sunda. Para pakar asing yang mendalami kebudayaan
Sunda hanya akan memberikan saran-saran berdasarkan hasil penelitian mereka yang
dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan kebudayaan Sunda.

Mino, 20 Juli, 2001.

1) Para sasterawan Sunda banyak merekam situasi tidak aman masa itu dalam
karya-karyanya seperti Kis. Ws., Ayatrohaedi, Iskandarwassid, Abdullah Mustappa, dll.
baik berupa sajak, cerita pendek maupun roman. Lihat buku saya Kesusasteraan Sunda
Dewasa Ini (Jatiwangi, 1967), kumpulan cerita pendek Iskandarwassid Halimun Peuting
(Bandung, 1989) dan roman pendek Abdullah Mustapa Lembur Singkur (Bandung,
1979).

2] Para sasterawan Sunda banyak merekam situasi tidak aman masa itu dalam karya-
karyanya seperti Kis. Ws., Ayatrohaedi, Iskandarwassid, Abdullah Mustappa, dll. baik
berupa sajak, cerita pendek maupun roman. Lihat buku saya Kesusasteraan Sunda
Dewasa Ini (Jatiwangi, 1967), kumpulan cerita pendek Iskandarwassid Halimun Peuting
(Bandung, 1989) dan roman pendek Abdullah Mustapa Lembur Singkur (Bandung,
1979).

[3] Dalam berita AP dari Washington tg. 21 Juni 2001 digambarkan bahwa sampai
akhir abad 21 kira-kira antara 3.400 sampai 6.120 macam bahasa dari sejumlah 6.800
bahasa yang sekarang dipergunakan di dunia akan mati. Dan sebagian (besar) niscaya
terjadi di Indonesia, karena menurut statistik World Institute di Indonesia terdapat 731
macam bahasa. Nomor dua terbanyak di dunia setelah Papua Nyugini yang mempunya
832 macam bahasa. Kematian sesuatu bahasa akan besar pengaruhnya terhadap
kegiatan dan kehidupan kesenian tradisinya.

[4] Lihat juga Filologi Nusantara oleh Achadiati Ikram (Dunia Pustaka Jaya, Jakarta,
1997, h.51)

[5] Rangkaian esai Mh. Rustandi Kartakusumah tentang “Internasionalisasi Ciliwung”


dimuat dalam majalah Gelanggang/Siasat tahun 1958 secara bersambung tetapi tak
sampai tamat karena distop oleh Pemimpin Redaksinya, H. Rosihan Anwar.
[6] Pandangan saya tentang polemik kebudayaan tersebut, lih. “Membaca Kembali
Polemik Kebudayaan”, dimuat dalam buku kumpulan esai saya Sastera dan Budaya:
Kedaerahan dalam keindonesiaan (Jakarta, 1995, h.71-89).

[7] Di Indonesia masih kuat anggapan bahwa ilmu pasti lebih penting dari humaniora.
Pembagian sekolah menjadi jurusan A dan B dalam masa penjajahan Belanda sampai
sekarang masih dipertahankan dalam sistim persekolahan kita. A adalah yang
menitikberatkan pelajarannya pada ilmu-ilmu bahasa dan kesenian (humaniora),
sedangkan B adalah yang menitikberatkan pelajarannya pada ilmu pasti. Juga ada
jurusan C yang menitik beratkan pada pelajaran yang bersangkutan dengan
perekonomian. Anak yang bisa terpilih masuk ke jurusan B dianggap pandai, sedangkan
yang masuk jurusan A atau C dianggap otak kelas dua. Mungkin karena itu maka
humaniora tidak dianggap penting.

[8] Misalnya sebuah iklan dalam sebuah surat kabar berbunyi: “DR. (HC) untuk Senior
Indonesia: Yayasan Senior Indonesia mendapat kehormatan dari universitas luar negeri
untuk mengusulkan gelar Doktor Kehormatan dan Professorship bagi para senior
Indonesia. Jika Anda berminat, hubungi Yayasan Senior Indonesia, JDC Lantai Dasar, Jl.
Gatot Subroto 53, Slipi, Jakarta, 10260. Telp. (021)-5720544, 522, 514.”

——————
Dari makalah Ajip Rosidi pada Konferensi Internasional Budaya Sunda I di Bandung,
22-25 Agustus 2001.

1 Komentar untuk entri Mengapa KIBS?

1. Komentar dari:
hendrisman sukendar - 22-05-2008 pukul 06.46

“Untuk itu Ajip Rosidi tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri”.


[BURHANUDDIN ABDULLAH, mantan Gubernur BI], dina buku
Jejak Langkah Urang Sunda, kaca 26.
Kuring hoyong ngarojong; sakadugana [dina umur nincak 58
taun ayeuna, ngarasa ngora keneh dibandingkeun yuswa pa
Ajip mah]; ku ‘3M aa Gym’ pangpangna M - mulai dari diri sendiri -, sebagai
urang Sunda [ duh ieung Mamalayuan, istilah pa Iwa Lukmana mah]; kumaha
carana anu sae ‘ngarojong pa Ajip teh’ - sangkan tinekanan.
Kumaha parantos aya gerakan Wakaf Buku Sunda [heula]?
Saha anu keresa ngaguar ‘prak-prakanana’, mangga kapayun
keun. Keur bacaeun barudak dipilemburan anu sigana teu pati parna
‘terkontaminasi’ ku GAMES. Urang Sunda kudu ngarasa ’sabeungkeutan’,
dimana wae padumukanana [luar tatar Sunda] pan tos biasa mancakaki urang
Sunda mah. [Aos esey IWA LUKMANA dina Cupumanik.com tanggal 09 Mei
2008]. Salam patepang kanggo pa Mamat B. Sasmita; oge ka pa Jamal [di
Sundanet.com atanapi di KUSNET?] hampura ieu ‘urang’ Palembang teh joledar.
PEMANFAATAN KEBERAGAMAN BUDAYA INDONESIA
DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
BAGI PENUTUR ASING (BIPA)

Oleh
Abdul Gaffar Ruskhan
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia

1. Pendahuluan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus bahasa negara
Indonesia. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah dikumandangkan dalam
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 oleh para pemuda Indonesia pada waktu itu yang
merupakan wakil berbagai daerah di Indonesia. Mereka bersepakat menjadikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia dengan mamasukkannya dalam salah satu
butir Sumpah Pemuda yang berisi (1) Kami putra dan putri Indonesia mengaku
bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; (2) Kami putra dan putri Indonesia
mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; (3) Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Mengapa disebut Sumpah
Pemuda? Jawabnya adalah karena para pemuda waktu itu berasal dari berbagai daerah
dan wilayah di Indonesia dengan latar belakang etnis dan budaya, termasuk bahasa,
yang berbeda-beda bersepakat menanggalkan identitas kedaerahan dan keetnikan yang
melebur dalam satu pengakuan bersama, yakni menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa kebangsaan Indonesia
dengan mengukuhkannya dalam Sumpah Pemuda.
Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi kenegaraan
yang berfungsi juga sebagai bahasa pendidikan, bahasa perencanaan dan
pembangaunan, sarana pengembangan ilmu, teknologi, dan budaya, serta bahasa
media massa. Hal itu dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945 (dalam amandemen tidak berubah) Bab XV, Pasal 36 yang mengatakan ”bahasa
negara adalah bahasa Indonesia”.
Dalam konteks pengembangan ilmu, teknologi, dan budaya, tampaknya bahasa
Indonesia sudah mengambil peran. Dalam pengembangan ilmu dan teknologi, bahasa
Indonesia telah mampu menjadi sarana pengembangan ilmu dan teknolosi yang
ditandai dengan pengindonesiaan istilah bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia.
Tidak kurang dari 350.000 istilah asing dalam berbagai bidang ilmu telah
diindonesiakan. Malah, Microsoft telah bekerja sama dengan Pusat Bahasa untuk
menerjemahkan istilah komputer ke dalam bahasa Indonesia, yang dikenal dengan
program komputer berbasis bahasa Indonesia. Dalam pengembangan budaya, bahasa
Indonesia pun telah melaksakanan peran itu karena keberagaman budaya Indonesia
1 Makalah yang disajikan dalam Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia Pertemuan
Asosiasi Jepang-
Indonesia di Nanzan Gakuen Training Center, Nagoya, Jepang, 10—11 November 2007
2 mengharuskan adanya sarana bahasa yang mencakup semua bahasa di Indonesia,
dalam hal ini dilakukan melalui bahasa Indonesia.
Dalam kaitannya dengan keberagaman budaya Indonsia, penulis akan mencoba
menawarkan pemanfaatan keberagaman budaya dalam pengajaran BIPA. Hal itu
penulis maksudkan agar dapat diperoleh beberapa kemanfaatan dalam pengajaran
BIPA. Seperti pepetah (ungkapan bijak dalam bahasa tradisional) mengatakan, ”sekali
merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui” (satu kali melakukan pekerjaan akan
diperoleh banyak manfaat dari pekerjaan yang kita lakukan itu).

2. Indonesia dengan Keberagaman Budaya


Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah yang luas, terbentang
dari Aceh sampai ke Papua. Ada 17.504 pulau yang tersebar di seluruh kedaulatan
Republik Indonesia, yang terdiri atas 8.651 pulau yang bernama dan 8.853 pulau yang
belum bernama (Situmorang, 2006). Di samping kekayaan alam dengan
keanekaragaman hayati dan nabati, Indonesia dikenal dengan keberagaman budayanya.
Di Indonesia terdapat puluhan etnis yang memiliki budaya masing-masing. Misalnya,
di Pulau Sumatra: Aceh, Batak, Minang, Melayu (Deli, Riau, Jambi, Palembang,
Bengkulu, dan sebagainya), Lampung; di Pulau Jawa: Sunda, Badui (masyarakat
tradisional yang mengisolasi diri dari dunia luar di Provinsi Banten), Jawa, dan
Madura; Bali; Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara Timur: Sasak, Mangarai,
Sumbawa, Flores, dan sebagainya; Kalimantan: Dayak, Melayu, Banjar, dsb.;
Sulawesi: Bugis, Makassar, Toraja, Gorontalo, Minahasa, Manado, dsb.; Maluku:
Ambon, Ternate, dsb.; Papua: Dani, Asmat, dsb.) (Lihat Bangun, 2002:94—116;
Bagus, 2002:286—306; Dananjaja, 2002: 118—142; Kalangie, 2002:143—172;
Subyakto, 202: 173—189; Koentjaraningrat, 2002: 190—204; Sjamsuddin, 2002:
229—247; Junus, 202:248—265; Mattulada, 2002:266—285;l Bagus, 2002:286—
306; Harsono, 2002:307—328; Kodiran, 2002:329—352). Ada sekitar 726 bahasa
daerah yang tersebar di seluruh nusantara (Sugono, 2005). Mulai dari penutur yang
hanya berjumlah belasan orang, seperti bahasa di Papua, sampai dengan penutur yang
berjumlah puluhan juta orang, seperti bahasa Jawa dan Sunda.
Suku bangsa dan etnis itu adakalanya menempati daerah atau wilayah dalam
sebuah provinsi dan adakalanya menempati lintas provinsi. Etnis Jawa, misalnya,
menempati tiga provinsi, yakni Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Walaupun begitu, suku Jawa tersebar ke seluruh pelosok
Indonesia, bahkan sampai ke negara Suriname. Di setiap daerah itu terdapat pula sub-
subetnis dengan subbudaya yang berbeda pula, misalnya, Solo, Yogyakarta, sampai ke
Banyuwangi, Jawa Timur. Umumnya orang Indonesia mengenal, misalnya, bahwa
orang Solo di Daerah Istimewa Yogyakarta sering dikatakan sebagai masyarakat yang
memiliki budaya yang halus, tutur sapa yang lembut, dan budi bahasa yang santun.
Hal itu menandai keunggulan budayanya. Akan tetapi, tidak jarang pula masyarakat
daerah tertentu yang berbicara dan bersikap keras, namun pada hakikatnya hatinya
lembut.

Selain itu, di Sumatra dikenal pula suku bangsa Minangkabau, yang


menempati Provinsi Sumatra Barat, sebagian Provinsi Jambi dan Bengkulu, di
samping tersebar di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke Semenanjung Malaysia.
Orang Minang—sebutan untuk masyarakat Minangkabau—memiliki budaya yang
unik jika dibandingkan dengan masyarakat suku lain. Mereka terkenal dengan pandai
berdagang dan banyak menjadi sastrawan semasa Balai Pustaka dan Pujangga Baru
dan tokoh kemerdekaan di awal kemerdekaan Republik Indonesia. Keunikan budaya
Minang terlihat dari sistem kekerabatan menurut jalur ibu (matrilineal). Sosok ibu
menjadi dasar penentuan nama keluarga (family). Bahkan, dalam adat Minang selain
nama keluarga berasal dari keluarga ibu, seseorang laki-laki yang sudah menikah akan
diberi gelar adat sehingga, menurut adat yang berlaku di Minang—yang bersangkutan
harus dipanggil dengan gelarnya, bukan nama kecilnya. Misalnya, seseorang bernama
Abdullah yang setelah menikah diberi gelar Sutan Maharajo (’Sultan Maharaja’) harus
dipanggil dengan Sutan atau Marajo, sesuai dengan pepatah ”Ketek banamo, gadang
bagala” (kecil diberi nama, besar diberi gelar). Di luar Minang biasanya seorang istri
akan tinggal di rumah keluarga suami, sebaliknya di Minang suami akan tinggal di
rumah istri. Apabila keluarga suami-istri ingin membangun rumah baru, lokasinya
masih berada di sekitar rumah orang tua istri (mertua). Dengan demikian, akan
berkembang keluarga besar dari pihak istrinya. Akibatnya, anak akan hidup di
lingkungan keluarga istri dan itulah uniknya budaya kekerabatan di Minang.
Sebagai masyarakat yang menganut agama Islam, budaya Minang terlihat
berpadu dengan budaya Islami. Dasar kemasyarakatan di Minang tertuang dalam
prinsip adat, yakni ”adat bersandikan syarak (aturan agama Islam), syarak bersandikan
Kitabullah (Alquran)”. Dengan demikian, masyarakat Minang memiliki tradisi
keberagamaan yang kuat. Biasanya, tradisi itu tetap dibawa ke mana pun mereka
merantau ke negeri orang. Di mana pun mereka tinggal, kebiasaan keberagamaan yang
kuat itu masih terlihat. Ada yang agak unik bagi masyarakat Minang, yakni di mana
pun mereka tinggal atau hidup di lingkungan masyarakat lain, mereka mampu
berintegrasi dengan masyarakat setempat. Itu pula yang menyebabkan bahwa di mana
pun di Indonesia kita tidak akan menemukan nama kampung atau kawasan dengan
Kampung Minang. Agak berbeda dengan masyarakat etnis lain, seperti Jawa, Madura,
Bugis, atau Cina akan kita temukan kawasan Kampung Jawa, Kampung Madurua,
Kampung Bugis, atau Kampung Cina.
Keberagamaan masyarakat Minang tidak berbeda dengan keberagamaan
seperti masyarakat Aceh, Melayu, Sunda, Madura, dan Bugis. Etnis itu dikenal dengan
penganut Islam yang taat walaupun tidak dapat dimungkiri bahwa pengaruh teknologi
modern berdapak terhadap keberagamaan masyarakat.
Bali pun--yang sudah dikenal oleh masyarakat mancanegara--memiliki agama
mayoritas Hindu. Bahkan, pengaruh Hindu mewarnai kehidupan sosialnya. Begitu
menyatunya Hindu dalam kehidupan mereka, kehidupan sosial dan pemerintahan pun
dipengaruhi Hindu. Barangkali tingkat keberagamaan di Bali lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tingkat keberagamaan masyarakat dari etnis lain. Hal itu
ditandai dengan setiap aktivitas mereka tidak lepas dari pemujaan kepada Tuhan Yang

Maha Esa (Shang Widhi) yang terlihat dalam upacara keagamaan (Bagus, 2002). Ada
hal yang menarik lagi di Bali, yakni sistem pertanian yang diatur dalam subak. Dalam
sistem itu setiap sawah mendapatkan jumlah air yang sama sehinga tidak ada sawah
yang tidak mendapatkan jatah air. Hal itu berlaku pada semua perkampungan yang
diatur dalam atruran masyarakatnya. Sistem pengairan seperti itu tidak ditemukan di
wilayah lain di Indonesia.
Agama pun berbeda-beda. Tidak dapat diingkari bahwa masih ada sistem religi
masyarakat Indonesia yang menganut kepercayaan kepada benda-benda alam
(animisme). Akan tetapi, pada umumnya masyarakat Indonesia menganut enam
agama resmi, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan yang terakhir diakui
Konghucu. Semuanya hidup berdampingan yang diatur dalam kerukunan hidup
beragama. Memang konsep kerukunan lahir pada masa Orde Baru yang sudah
tumbang, tetapi keberadaannya masih dipertahankan, yakni kerukunan intraumat dan
antarumat beragama. Apalagi sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998 yang
ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Soharto, mantan Presiden Kedua Republik
Indonesia, kehidupan masyarakat Indonesia lebih transparan. Setiap orang mempunyai
hak yang sama di negara Indonesia. Hal itu terbukti dengan tumbuh berkembangnya
budaya Cina, termasuk pengakuan terhadap agama Konghucu bagi masyarakat
keturunan Cina di Indonesia. Angin segar itu disambut bahagia oleh masyarakat
keturunan Cina, yang selama ini mereka agak dimarginalkan dalam sistem
pemerintahan Orde Baru.
Dari sudut keagamaan itu, Islam di Indonesia mencapai 87 persen. Dengan
jumlah itu tidaklah berarti bahwa kehidupan sosial politik tidak memperhatikan
keberagaman agama. Di Indonesia tradisi keberagaman agama dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa sangat menonjol. Sebagai warga dengan jumlah
mayoritas, umat Islam di Indonesia sangat memperhatikan kerukunan antarumat
beragama. Prinsip-prinsip agama sebagai pembawa rahmat dan kedamaian untuk
seluruh isi alam sangat mereka perhatikan Hal itu sudah menjadi dasar
kemasyarakatan yang tidak dapat diingkari. Malah, ada masyarakat yang begitu tinggi
toleransinya sehingga gesekan apa pun yang menerpanya tidak akan menggoyahkan
sendi-sendi kemasyarakat yang toleran. Memang tidak dapat disangkal bahwa situasi
politik kadangkala memengaruhi kehidupanan masyarakat yang rukun dan aman. Ada
upaya-upaya untuk memecah belah persatuan bangsa melalui goncangan terhadap
kerukunan umat beragama dengan mencuatkan sentimen keagamaan. Hal itu sengaja
diciptakan oleh orang-orang yang tidak senang dengan kondisi politik yang stabil.
Akibatnya, umat beragama terpengaruh ke dalam konflik tertentu. Kondisi itu kadang-
kadang disesalkan oleh masyarakat itu sendiri mengapa mereka terjerumus ke dalam
konflik yang tidak mereka inginkan. Walaupun begitu, kehidupan rukun yang telah
mereka warisi secara turun-temurun mengekalkan mereka dalam kebersamaan dan
kerukunan yang sejati.
3. Pengenalan Budaya Indonesia melalui Pengajaran Bahasa Indonesia
Dalam pengajaran BIPA memang ada buku yang telah memanfaatkan budaya
Indonesia, namun belum semua buku penbgajaran BIPA menyajikan materi yang
menyentuh kebudayaan Indonesia. Berdasarkan penelitian Mustakim (2003), dari 43
buku yang diteliti, terdapat 24 buku (56%) buku yang menyajikan materi sosial
budaya Indonesia. Hal itu berarti ada 19 buku (44%) yang belum menyajikan sosial
budaya Indonesia secara optimal. Walaupun begitu, dari 19 judul itu sebanyak 11
buku tidak menyajikan sama sekali aspek sosial budaya, sedangkan yang lain ada
menyinggungnya, tetapi porsinya sangat sedikit.

Dari gambaran itu, dapat dikatakan bahwa materi BIPA belum dapat dikatakan
menyentuh tujuan pengajaran BIPA. Pada dasarnya pengajaran bahasa asing, dalam
hal ini bahasa Indonesia, diharapkan agar pelajar dapat menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar. Karena bahasa Indonesia—berlaku juga bagi bahasa
lain—tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan sosial budaya masyarakat
Indonesia, penyajian aspek sosial budaya menjadi penting. Bagaimanapn juga,
pengajaran BIPA dapat juga berfungsi sebagai pemberian informasi budaya dan
masyarakat Indonesia kepada pelajar asing. Keberhasilan pengajaran BIPA tidak akan
optimal apabila pengajaran itu tidak melibatkan aspek-aspek sosial budaya yang
berlaku dalam masyarakat bahasa tersebut.
Ada beberapa aspek budaya yang dapat dimanfaatkan dalam penyajian materi
ajar BIPA. Ababila kita merujuk pada unsur budaya yang dikemukakan oleh
Koentajaraningrat (1991), maka ada tujuh unsur, yakni (1) sistem peralatan dan
perlengkapan hidup (alat produktif, alat distribusi dan transportasi, wadah dan tempat
untuk menaruh, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan
perumahan, serta senjata); (2) sistem mata pencarian hidup (berburu dan meramu,
pereikanan, bercocok tanam, peternakan, dan perdagangan); (3) sistem
kemasyarakatan (sistem kekerabatan, sistem kesatuan hidup setempat, asosiasi dan
perkumpulan, sistem kenegaraan); (4) bahasa (bahasa lisan dan bahasa tulis), (5)
kesenian (seni patung, seni relief, seni lukis dan gambar, seni rias, seni vokal, seni
instrumental, seni sastra, dan seni drama); (6) sistem pengetahuan (pengetahuan alam,
flora, fauna, zat dan bahan mentah, tubuh manusia, kelakuaan sesama manusia, ruang,
waktu, dan bialangan, dan (7) sistem religi (sistem kepercayaan, kesustraan suci,
sistem upacara keagamaan komunitas keagamaan, ilmu gaib, dan sistem nilai dan
pandangan hidup). Mustakim (2003) mengelompokkan materi yang perlu disajikan
dalam buku BIPA yakni (1) benda-benda budaya, (2) gerak-gerik anggota badan, (3)
jarak fisik ketika berkomunikasi, (4) kontak pandang mata dalam berkomunikasi, (5)
penyentuhan, (6) adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat, (7) sistem nilai yang
berlaku dalam masyarakat, (9) sistem religi yang dianut masyarakat, (10) mata
pencarian, (11) kesenian, (12) pemanfaatan waktu, (13) cara berdiri, duduk, dan
menghormati orang lain, (14) keramah-tamahan, tegur sapa, dan basa basi, (15) pujian,
(16) gotong-royong, (17) sopan santun, termasuk eufimisme. Namun, belum semua
unsur itu disajikan dan masih ada unsur yang belum mendapat perhatian dam buku
ajar BIPA.
Berdasarkan klasifikasi di atas, banyak hal yang dapat disajikan dalam materi
BIPA. Tampaknya unsur-unsur budaya itu sangat banyak dan beragam di Indonesia.
Keberagaman budaya itu terkristalisasi dalam beraneka macam etnis dengan
budayanya masing-masing. Penyusun bahan ajar BIPA dapat memilih unsur-unsur
budaya mana yang diperlukan disajikan sebagai materi pembelajaran. Jika kembali
kepada unsur budaya yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat tampaknya sistem
peralatan dan perlengkapan hidup, sistem mata pencarian hidup, sistem
kemasyarakatan, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi menjadi pilihan.
Suatu kenyataan dalam pengajaran bahasa asing, dalam hal ini bahasa
Indonesia bagi orang asing, bahwa ada realitas sosial masyarakat Indonesia yang
pluralisme yang menggunakan bahasa Indonesia dengan latar belakang budaya yang
berbeda. Dengan keberbedaan itu, pelajar asing akan dapat memahami karakteristik
masing-masing. Dengan demikian, pengetahuan yang menyeluruh tentang pluralisme
masyarakat Indonesia, di samping kemahiran berbahasa Indonesia, akan diperoleh
oleh pelajar secara bersama.
Memang selama ini terdapat gambaran yang tidak lengkap tentang masyarakat
Indonesia. Mungkin ada yang memandang Indonesia itu adalah Bali, atau sebaliknya.
Bahkan, ada citra seolah-oleh Indonesia tidak ada hubungannya dengan Bali. Memang
tidak diingkari bahwa promosi objek pariwisata tertentu yang gencar dapat saja
mengubah citra masyarakat dunia tentang Indonesia yang luas dan beragam. Namun,
apabila Indonesia yang luas dengan aneka ragam masyarakatnya dipahamkan melalui
pengajaran BIPA, pasti hal itu akan memberikan gambaran yang positif bagi pelajar
tentang Indonesia. Dengan demikian, gambaran yang keliru tentang Indonesia akan
dapat diluruskan akibat berkembangnya citra yang tidak sehat. Apalagi ada upaya-
upaya yang dapat menimbulkan citra yang tidak baik terhadap kelompok tertentu di
Indonesia. Akibatnya, hubungan yang sudah harmonis, baik di kalangan masyarakat
Indonesia sendiri mapun antarmasyarakat luar, akan terganggu. Hal itu tentu tidak
diinginkan. Salah satu sarana pemberian informasinya adalah pengajaran BIPA.
Pendekatan lintas budaya melalui pengajaran bahasa asing itu merupakan cara
pemahaman budaya sebagai suatu keseluruhan hasil respons kelompok manusia
terhadap lingkungan dalam rangka memenuhi kubutuhan dan pencapaian tujuan
setelah melalui rintangan proses interaksi. Ada hal-hal pokok yang perlu diperhatikan
yaitu kebutuhan dan tujuan mempelajari budaya, lingkungan target budaya, dan
integrasi sosial yang diinginkan. Dengan demikian, kecurigaan-kecurigaan dalam
berinteraksi akan dapat dihilangkan.
Dalam kaitan itu, penulis dan pengajar BIPA dapat memilih unsur-unsur
budaya Indonesia dalam buku ajar dan pengembangannya di kelas. Pemilihan itu
dilakukan sesuai dengan tujuan pengajaran BIPA, yang menurut saya adalah mahir
berbahasa Indonesia dan paham terhadap keberagaman budaya Indonesia.
Pusat Bahasa telah mencoba menyusun buku pengajaran BIPA dengan
memesukkan sosial budaya sebagai teks percakapan dan 
memberikan catatan budaya 
dalam setiap unit buku itu. Buku yang berjudul Lentera Indonesia:
Penerang untuk 
Memahami Masyarakat dan Budaya Indonesia menekankan 
pengenalan masyarakat 
dan budaya Indonesia melalui pengajaran BIPA. Cara demikian dilakukan untuk dapat
menyelami kehidupan masyarakat Indonesia lebih jauh lagi. Dengan demikian, pelajar
BIPA lebih akrab dengan masyarakat bahasa Indonesia melalui pengajaran BIPA.

4. Penutup
Indonesia yang memiliki kebegaraman budaya penting dipahami oleh pelajar
BIPA. Masalahnya, pengajaran BIPA bukan hanya sekadar menghasilkan pelajar yang
mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar, melainkan juga menjadi wahana
untuk memahami keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia. Walaupun pelajar
BIPA belum berkunjung ke Indonesia, diharapkan melalui pengayaan materi BIPA
dengan keberagaman budaya Indonesia mereka akan mampu menyerapkan informasi
yang utuh tentang Indonesia, khususnya dari khazanah budayanya. Buku ajar yang
belum memuat materi keberagaman budaya Indonesia dapat dilengkapi dan
diupayakan menjadi sarana strategis untuk mengetahui masyarakat Indonesia.
Para penulis dan guru BIPA diharapkan mampu mengolah bahan ajar BIPA
menjadi sesuatu yang menarik melalui penyajian materi yang mengutamakan
informasi tentang keadaan masyarakat dan budaya Indonesia. Hal itu penting agar
gambaran yang jelas tentang Indonesia dapat dimiliki oleh pelajar BIPA. Kurangnya
pemahaman dan pengeahuan tentang Indonesia akan dapat menimbulkan
kesalahpahaman tentang masyarakat Indonesia yang kaya dengan berbagai budayanya.

Daftar Pustaka

Aziz, Aminuddin. 2003. ”Aspek-Aspek Budaya yang Terlupakan dalam Praktik


Pengajaran Bahasa Asing”. Dalam Nyoman Riasa dan Danise Finney (Editor).
Proseding Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi
Penutur Asing IV. Denpasar: Indonesian Australia Language Foundation
(IALF).
Bagus, I Gusti Ngurah. 2002. ”Kebudayaan Bali”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.).
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 
Bangun, Pajung. 2002. ”Kebudayaan Batak”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 
Canale, M. 1980. “Theoretical Bases of the Communicative Approach to Second
Language Teaching and Learning”. Dalam Applied Linguistics. 1.1.
Canale, M. 1983. ”From Communicative Competence to Communicative Language
Pedagogy”. Dalam J.C. Richards dan R. Schmidt (Ed.) Language and
Communication. London: Longman.
Danandjaja, J. 2002. ”Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah”. Dalam
Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Harsojo. 2002. ”Kebudayaan Sunda”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 
Junus, Umar. 2002. ”Kebudayaan Minangkabau”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.).
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 
Kodiran. 2002. ”Kebudayaan Jawa”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentaliteit, dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia.
Koentjaraningrat. 1985. ”Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan”. Dalam Alfian
(Ed.) Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta:
Koentjaraningrat. 2002. ”Kebudayaan Flores”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.).
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 
Mahfud, Chairul. 2006. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Mattulada. 2002. ”Kebudayaan Bugis-Makassar”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.).
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 
Mustakim. 2003. ”Peranan Unsur Sosial Budaya dalam Pengajaran BIPA”. Dalam
Nyoman Riasa dan Danise Finney (Editor). Proseding Konferensi
Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing IV. Denpasar:
Indonesian Australia Language Foundation (IALF).
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Situmorang, Sodjuangan. 2006. ”Pentingnya Dokumentasi Toponimi untuk
Mendukung Tata Pemerintahan yang Baik”. Makalah dalam The 13th Asia
South East & Pacific South West Divisional Meeting, 24—25 August 2006.
Jakarta.
Sjamsuddin, Teuku. 2002. Kebudayaan Aceh”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.).
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 
Subiyakto. 2002. ”Kebudayaan Ambon”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 
BIODATA
Drs. Abdul Gaffar Ruskhan, M.Hum. dilahirkan di Bukittinggi, Sumatra Barat,
18 Agustus 1951. Setelah menamatkan studinya di Institut Agama Islam Negeri
(sekarang Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Jakarta, tahun 1979, pada
tahun 1980 yang bersangkutan bergabung dengan Pusat Bahasa (dulu Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia. Pada tahun 1995 ia menyelesaikan kuliah tingkat magister linguistik di
Universitas Indonesia, Jakarta. Sampai sekarang ia masih menjadi pegawai negeri dan
peneliti di Pusat Bahasa dan menjabat sebagai Kepala Bidang Pengkajian Bahasa dan
Sastra sampai dengan 20 September 2007.
Selain bekerja di Pusat Bahasa, sejak 1984 ia menjadi dosen tamu di Institut
Teknologi Indonesia dan Universitas Trisakti Jakarta. Pada tahun 
2002 ia menjadi 
dosen tamu di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas 
Negeri Jakarta. 
Selain itu, ia pengasuh tetap (kolumnis) rubrik Ulasan Bahasa di 
surat kabar Media 
Indonesia Jakarta sejak tahun 2004. 
Selain menulis sejumlah artikel kebahasaan di majalah ilmiah, ia menulis
beberapa buku, baik perseorangan maupun tim, antara lain, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1988, 1992, 2002), Pungutan Padu dalam Bahasa Indonesia (2002),
Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia: Kajian Analisis Pemungutan Bahasa (2007),
dan Kompas Bahasa Indonesia (2007).
Ia menjadi Sekretaris Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia
(Mabbim) (2001—2006) dan Wakil Ketua Majelis Sastra Asia Tenggara (2005—
sekarang).
Rabu, 2007 Desember 12

Komik Sunda untuk Akrabkan Bahasa Ibu


Sudah Disipkan 10 Judul

Bandung, Kompas - Sulitnya mengajarkan bahasa Sunda pada anak-anak


sekolah menginspirasi dua anak muda untuk mengakrabkan bahasa Sunda
melalui komik Sunda. Hanya dengan biaya Rp 120.000 mereka menerbitkan 100
eksemplar komik Sunda untuk segmen remaja dan mahasiswa.

Aditya Gunawan (23), cerpenis Sunda sekaligus mahasiswa Jurusan Sastra


Sunda Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), yang sedang praktik mengajar di
SD Isola, mengaku kesulitan mengajarkan bahasa Sunda sesuai materi di buku
panduan. Siswa-siswanya menilai bahasa Sunda tidak menarik dan sulit.

"Sebab, materinya tidak akrab dengan kondisi zaman sekarang. Misalnya saja
tentang wawacan yang berisi pupuh. Itu kan tradisi menulis pada zaman
Mataram. Untuk sekadar tahu bisa saja, tapi sulit untuk dipahami anak SD," kata
Aditya, Kamis (12/10), sebelum peluncuran komik berjudul Kolor Totol-Totol.

Sejak akhir September, ia dan komikus, Agung Gumbira (27)-yang juga alumnus
Jurusan Seni Rupa, dan mengajar di SD yang sama- berkolaborasi
memproduksi komik Sunda agar bahasa Sunda diakrabi generasi muda.

"Saat ini banyak generasi muda Sunda tidak lagi menganggap bahasa Sunda
sebagai bahasa ibu, tetapi bahasa asing," kata Aditya.

Untuk mengenalkan bahasa Sunda, Aditya menyisipkan perbendaharaan kata


Sunda yang sudah jarang dipakai. Misalnya, dalam komik disebutkan kata
persani atau magnet. "Dengan melihat gambarnya, orang akan mudah belajar
bahasa Sunda," ujar Aditya.

Komik tersebut bertutur tentang tokoh superhero yang konyol dan lugu.
Munculnya tokoh tersebut merupakan sindiran terhadap budaya instan yang kini
ada di masyarakat.

Pengerjaan komik dilakukan dua minggu, dengan biaya Rp 120.000. Mereka


mengerjakan dengan teknik sederhana. Komikus, Agung Gumbira (27),
menggambar dengan media kertas HVS dan tinta dan hasilnya difotokopi. Satu
eksemplar menghabiskan biaya sekitar Rp 1.200. Keduanya menjual komik
tersebut ke distro dan sekolah-sekolah seharga Rp 2.000 per eksemplar.

"Kami ingin mempertahankan bahasa Sunda sekaligus memberi tawaran baru


pada generasi muda. Komik tidak hanya komik Jepang. Sunda juga punya
komik," ujarnya.

Komik ini merupakan judul pertama dari sekitar 10 judul yang akan diterbitkan.
"Untuk saat ini kami menerbitkan sendiri. Setelah seluruh serial terwujud, kami
akan menerbitkannya menjadi buku yang lebih serius," kata Agung.

Sebelum diluncurkan, keduanya melakukan uji coba dengan meminta beberapa


remaja membacanya. "Ada yang tidak mengerti bahasa Sunda. Tapi karena
penasaran melihat visualisasinya, ia penasaran akan isinya, dan meminta
temannya menerjemahkan," kata Aditya.

Wulandari (21), mahasiswa Jurusan Sastra UPI, mengatakan, "Bagus kalau


makin banyak komik berbahasa Sunda. Saat ini makin banyak orang yang tidak
bisa berbahasa Sunda karena tidak mengerti, dan mempelajarinya sulit. Kalau
komik, sifatnya ringan dan menghibur sehingga bisa menolong anak-anak". (ynt)

Diposkan oleh Ahmad Kurnia El-Qorni di 19:14 0 komentar


Label: Sunda kahareup

PARIGEUING GAYA KAPAMINGPINAN (LEADERSHIP) PRABU SILIWANGI


Ku: Drs.R.H. Hidayat Suryalaga

Kapamingpinan dina masarakat Sunda, nurutkeun Naskah Kuna Sanghiyang Siksa


Kanda’ng Karesian. Ieu naskah kuna teh asli titinggal karuhun Sunda taun 1518 Masehi
(Prabu Siliwangi/Jayadewata pupusna taun 1521 Masehi) anu disundakeun deui kana
basa ayeuna ku Drs. Saleh Danasasmita 1985. Ari aksarana ngagunakeun aksara “Ratu
Pakuan”, lain Cacarakan. Basana Basa Sunda Buhun.

Dina naskah Kuna ieu teh aya palanggeran, tuduh laku tatakrama pikeun jadi pamingpin
di masarakat jaman harita. Sanajan kitu eta palanggeran teh tetep gede gunana pikeun
jadi palanggeran pamingpin Sunda jaman ayeuna. Eta palanggeran teh disebut
PARIGEUING.

A. PARIGEUING

Dina Basa Sunda jaman abad ka 15/16 masehi, disebutkeun yen Parigeuing teh nya eta :
“Parigeuing mah ngaranna : bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawangi, nya mana
hanteu surah nu dipiwarang”. Upama ku basa Sunda jaman ayeuna mah hartina : “Nu
disebut Parigeuing teh nyaeta bisa marentah bisa miwarang ku caritaan nu pikagenaheun
tepi ka teu matak jengkel nu diparentahna”.

B. DASA PASANTA

Pikeun bisa ngalaksanakeun Parigeuing teh carana kudu bisa ngalaksanakeun heula Dasa
Pasanta (hartina Sapuluh Panengtrem Hate). Maksudna kumaha carana pikeun
nengtremkeun hate jelema nu diparentah supaya dina digawena teh iklas tur sumangetna
ngagedur.

Ari panengtrem hate anu sapuluh rupa teh nyaeta:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Guna. Tegesna jelema nu diparentah teh


kudu ngarti-eun naon gunana tina nu diparentahkeun teh.

<!--[if !supportLists]-->2. Ramah. Parentah kudu ditepikeun kalawan wajar jeung


sareh, ramah tamah, amis budi. Bakal ngarasaeun dihargaan sabage manusa nu
boga ajen pribadina.

<!--[if !supportLists]-->3. Hook. Hookeun (B.Ind: kagum). Parentah karasana saperti


gambaran hookeunana (kekaguman) kana kabisana (kamampuh) nu diparentahna.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Pesok. Hartina kapikat hatena (reueus). Jadi


parentah kudu ditepikeun ku cara nu matak kapikat hate, nu nimbulkeun rasa
reueus dina dirina.
<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Asih. Nyaeta rasa nyaah. Tepi ka karasaeun
yen dirina teh lir ibarat babagian tina diri nu marentahna. Jadi milu
tanggungjawabna teh bari gembleng hate.

<!--[if !supportLists]-->6. Karunia/Karunya. Tegesna parentah karasaeunana saperti


rasa kanyaah (karunya) jeung oge mangrupa kurnia kapercayaan kana kamampuh
dirina.

<!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]-->Mukpruk. Tegesna kudu bisa ngalelemu.


Tepi ka ngarasa yen digawe teh lain kapaksa, tapi geus jadi tugasna.

<!--[if !supportLists]-->8. <!--[endif]-->Ngulas. Ayeuna dina Basa Indonesia disebut


mengulas. Tegesna kudu bisa mere komentar (ulasan) kana pagawean bawahan
ku cara nu surti tur lantip.

<!--[if !supportLists]-->9. <!--[endif]-->Nyecep. Tegesna bisa niiskeun pikir nu


diparentah, supaya genaheun pikirna. Boh ku lisan komo bari aya lar
barangberena mah.

<!--[if !supportLists]-->10. <!--[endif]-->Ngala angen. Nyaeta bisa narik simpati


bawahan. Carana ku ngantengkeun silaturahmi nu wajar. Bakalna timbul rasa
satia (loyal) ka pamingpinna.

C. PANGIMBUHNING TWAH

Jaba ti Parigeung jeung Dasa Pasanta teh, dina naskah eta keneh aya nu disebut
Pangimbuhning Twah, nyaeta pituduh tatakrama hirup kumbuh sapopoe, sangkan
manusa hirupna teh boga pamor (B.Ind: bertuah). Upama disundakeun ayeuna mah
hartina teh Pangjangkep Pikeun Boga Pamor.

Aya 12 pangjangkep tatakrama nu kudu dicumponan ku unggal jelema teh nyaeta:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Emet. Tegesna digunakeun saeutik-saeutik


(saemet-emet) supaya kapakena. Hartina henteu konsumtif.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Imeut. Tegesna taliti euweuh nu kaliwat


(B.Ind: cermat).

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Rajeun. Saharti jeung rajin. Bisa


ngamangpaatkeun waktu.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Leukeun. Saharti jeung junun, suhud (B.


Ind : tekun). Bakalna teh tepi ka nu dimaksud jeung loba hasilna.

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Pakapradana. Bisa dihartikeun sonagar,


wanter. Bisa oge dihartikeun pantes barangpakena.

<!--[if !supportLists]-->6. Morogol-rogol. Hartina boga karep pikeun maju, gede


sumanget, henteu elehan. Ulah soteh murugul, nyaeta sipat jelema nu hayang
meunang sorangan.

<!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]-->Purusa ning Sa. Hartina boga jiwa pahlawan.


Wani nangtung panghareupna dina aya kasulitan. Tara nyalahkeun batur. Gede
rasa tulung tinulungna.

<!--[if !supportLists]-->8. <!--[endif]-->Widagda. Tegesna wijaksana. Pikiran jeung


rasana (rasio katut rasana) bakal saimbang. Mikirna bisa cekas tur adil.
<!--[if !supportLists]-->9. <!--[endif]-->Gapitan. Hartina wani bakorban pikeun
kayakinan dirina.

<!--[if !supportLists]-->10. <!--[endif]-->Karawaleya. Tegesna balabah (B.Ind:


dermawan), resep tulung tinulungan.

<!--[if !supportLists]-->11. <!--[endif]-->Cangcingan. Ayeuna sok disebut cingceung,


tangginas (B.Ind : gesit).

<!--[if !supportLists]-->12. <!--[endif]-->Langsitan. Bisa dihartikeun rapekan,


terampil, binangkit, binekas. Ceuk basa ayeuna mah loba niley pleusna.

Tapi aya 4 pasipatan (tatakrama nu teu hade, anu non etis), nu dipahing ku para luluhur
Urang Sunda, diebutna PAHARAMAN nyaeta:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Pundungan. Ayeuna oge istilah pundungan


dipiwanoh keneh. Moal boga sobat. Hirupna moal maju.

<!--[if !supportLists]-->2. Babarian. Ayeuna mah sok disebut gampang kasigeung


(B.Ind: mudah tersinggung). Moal boga sobat. Hese maju. Hese meunang
pitulung.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Humandeuar. ieu teh kaasup pasipatan nu


kacida gorengna. Tanda hengker jiwana. Teu mampuh nyanghareupan kasulitan.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Kukulutus. Ieu mah pasipatan anu


panggoreng-gorengna, kitu ceuk karuhun baheula. Hirup bakal munapek.
Beungeut nyanghareup ati mungkir, bengkok sembah ngijing sila. Digawena
puraga tamba kadengda. Kasatianana saeutik pisan. Bisa ngahianat ka dunungan
atawa ka babaturan.

Hayu urang lenyepan ku sarerea eta rumus jetu karuhun urang teh, atuh sanggeus
kalenyepan urang usahakeun di prakeun kana kahirupan sapopoe

Diposkan oleh Ahmad Kurnia El-Qorni di 18:30 0 komentar


Label: Pulitik Sunda
Sundapura: Tarumanagara, Sunda, Galuh dan
Pajajaran

Sebentar lagi Bandung berulang tahun, tanggal 25 September yang ke-195. Bandung
identik dengan etnik Sunda, Priangan atau Parahyangan. Bagaimana ceritanya? Panjang!

Tadinya saya hanya mencari-cari asal-usul nama jalan di seputaran Dago, yaitu jalan
Purnawarman, Sawunggaling, Mundinglaya, Ciungwanara, Ranggagading,
Ranggamalela, Ranggagempol, Hariangbanga, Geusan Ulun, Adipati Kertabumi, Dipati
Ukur, Suryakancana, Wira Angunangun, Ariajipang, Prabu Dimuntur, Bahureksa,
Wastukancana, Gajah Lumantung, Sulanjana, Badaksinga, Bagusrangin, Panatayuda, dan
Singaperbangsa. Tidak banyak yang saya dapat dari pencarian Google, juga tidak punya

buku referensi untuk saya dongengkan kembali. Jadi hanya saya tulis asal-usul Sunda
saja, mungkin nanti saya temukan juga dongeng atau pun sejarah tentang nama-nama
jalan di atas.

Disadur, diringkas, dipotong dan didongengkan kembali oleh saya dari situs catatan
sejarah kota Bogor. Silakan baca langsung sumbernya jika anda berminat membaca lebih
detil.

Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M untuk
menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara. Tarusbawa, penguasa
Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan keharuman Tarumanagara yang semakin
menurun di purasaba (ibukota) Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya punya nama lain yang menunjukkan
wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh, Kawali, Pakuan atau Pajajaran).

Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari
kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara,
Maharaja Tarusbawa menerima tuntutan Raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara
dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai
Citarum sebagai batas (Cianjur ke Barat wilayah Sunda, Bandung ke Timur wilayah
Galuh).

Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:

 Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan


 Galuh Pakuan beribukota di Kawali
 Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
 Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
 Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan
 Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
 Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
 Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
 Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
 Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan

Tarusbawa bersahabat baik dengan raja Galuh Bratasenawa atau Sena. Purbasora –yang
termasuk cucu pendiri Galuh– melancarkan perebutan tahta Galuh di tahun 716M karena
merasa lebih berhak naik tahta daripada Sena. Sena melarikan diri ke Kalingga (istri
Sena; Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga).

Sanjaya, anak Sena, ingin menuntut balas kepada Purbasora. Sanjaya mendapat mandat
memimpin Kerajaan Sunda karena ia adalah menantu Tarusbawa. Galuh yang dipimpin
Purbasora diserang habis-habisan hingga yang selamat hanya satu senapati kerajaan,
yaitu Balangantrang.

Sanjaya yang hanya berniat balas dendam terpaksa harus naik tahta juga sebagai Raja
Galuh, sebagai Raja Sunda ia pun harus berada di Sundapura. Sunda-Galuh disatukan
kembali hingga akhirnya Galuh diserahkan kepada tangan kanannya yaitu Premana
Dikusuma yang beristri Naganingrum yang memiliki anak bernama Surotama alias
Manarah.

Premana Dikusuma adalah cucu Purbasora, harus tunduk kepada Sanjaya yang
membunuh kakeknya, tapi juga hormat karena Sanjaya disegani, bahkan disebut rajaresi
karena nilai keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat seperti Purnawarman. Premana
menikah dengan Dewi Pangreyep –keluarga kerajaan Sunda– sebagai ikatan politik.

Di tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia
meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara putranya,
Tamperan dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan,
sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan.

Premana akhirnya lebih sering bertapa dan urusan kerajaan dipegang oleh Tamperan
yang merupakan ‘mata dan telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan terlibat skandal dengan
Pangreyep hingga lahirlah Banga (dalam cerita rakyat disebut Hariangbanga).
Tamperan menyuruh pembunuh bayaran membunuh Premana yang bertapa yang
akhirnya pembunuh itu dibunuh juga, tapi semuanya tercium oleh Balangantrang.

Balangantrang dengan Manarah merencanakan balas dendam. Dalam cerita rakyat


Manarah dikenal sebagai Ciung Wanara. Bersama pasukan Geger Sunten yang
dibangun di wilayah Kuningan Manarah menyerang Galuh dalam semalam, semua
ditawan kecuali Banga dibebaskan. Namun kemudian Banga membebaskan kedua orang
tuanya hingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan Tamperan dan Pangreyep tewas
serta Banga kalah menyerah.

Perang saudara tersebut terdengar oleh Sanjaya yang memimpin Medang atas titah
ayahnya. Sanjaya kemudian menyerang Manarah tapi Manarah sudah bersiap-siap,
perang terjadi lagi namun dilerai oleh Demunawan, dan akhirnya disepakati Galuh
diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.

Konflik terus terjadi, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu
belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan
Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang
baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat
pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke
timur dan sebaliknya. Antara tahun 895M sampai tahun 1311M kawasan Jawa Barat
diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.

Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di
kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air. Dari faktor inilah secara turun temurun
dongeng Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya disampaikan.

Hingga pemerintahan Ragasuci (1297M–1303M) gejala ibukota mulai bergeser ke arah


timur ke Saunggalah hingga sering disebut Kawali (kuali tempat air). Ragasuci
sebenarnya bukan putra mahkota. Raja sebelumnya, yaitu Jayadarma, beristrikan Dyah
Singamurti dari Jawa Timur dan memiliki putra mahkota Sanggramawijaya, lebih dikenal
sebagai Raden Wijaya, lahir di Pakuan. Jayadarma kemudian wafat tapi istrinya dan
Raden Wijaya tidak ingin tinggal di Pakuan, kembali ke Jawa Timur.

Kelak Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang besar, hingga jaman Hayam Wuruk dan
Gajah Mada mempersatukan seluruh nusantara, kecuali kerajaan Sunda yang saat itu
dipimpin Linggabuana, yang gugur bersama anak gadisnya Dyah Pitaloka Citraresmi
pada perang Bubat tahun 1357M. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali
ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.

Menurut Kidung Sundayana, inti kisah Perang Bubat adalah sebagai berikut (dikutip dari
JawaPalace):

Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh
rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga
bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar
Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca
dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana-mana. Namun sang raja
belum kawin rupanya. Mengapa demikian? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri.
Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan
kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar
khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana.

Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh
Nusantara sujud di hadapannya. Tetapi engkau satu, jiwanya yang senantiasa menjerit
meminta pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja
Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah
Pitaloka Citrasemi.

Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri
Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di
kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang
prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa
menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan
tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah
airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah
Jawa yang akan menjadi menantunya.

Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari
kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang
berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri
tersebut akan “dihadiahkan” kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda,
putri tersebut akan “di pinang” oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan
Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya
sesuatu peperangan besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah
Pitaloka oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam
Wuruk yang mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat
menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian
inti Kidung.

Sunda-Galuh kemudian dipimpin oleh Niskala Wastukancana, turun temurun hingga


beberapa puluh tahun kemudian Kerajaan Sunda mengalami keemasan pada masa Sri
Baduga Maharaja, Sunda-Galuh dalam prasasti disebut sebagai Pajajaran dan Sri Baduga
disebut oleh rakyat sebagai Siliwangi, dan kembali ibukota pindah ke barat.

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000


prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya
memiliki 6 buah Jung (kapal laut model Cina) untuk perdagangan antar-pulaunya (saat
itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).

Selain tahun 1511 Portugis menguasai Malaka, VOC masuk Sunda Kalapa, Kerajaan
Islam Banten, Cirebon dan Demak semakin tumbuh membuat kerajaan besar Sunda-
Galuh Pajajaran semakin terpuruk hingga perlahan-lahan pudar, ditambah dengan
hubungan dagang Pajajaran-Portugis dicurigai kerajaan di sekeliling Pajajaran. Stop.

Lanjut!

Setelah Kerajaan Sunda-Galuh-Pajajaran memudar kerajaan-kerajaan kecil di bawah


kekuasaan Pajajaran mulai bangkit dan berdiri-sendiri, salah satunya adalah Kerajaan
Sumedang Larang (ibukotanya kini menjadi Kota Sumedang). Kerajaan Sumedang
Larang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Adji Putih atas perintah Prabu Suryadewata
sebelum Keraton Galuh dipindahkan kembali ke Pakuan Pajajaran, Bogor.

Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di
bidang sosial, budaya, agama (terutama penyebaran Islam), militer dan politik
pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putranya, Pangeran Rangga Gempol
Kusumadinata/Rangga Gempol I atau yang dikenal dengan Raden Aria Suradiwangsa
naik tahta. Namun, pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun
1620M Sumedang Larang dijadikan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah
Sultan Agung, dan statusnya sebagai ‘kerajaan’ diubah menjadi ‘kabupaten’.

Sultan Agung memberi perintah kepada Rangga Gempol I beserta pasukannya untuk
memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan sementara
diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede. Hingga suatu ketika, pasukan Kerajan
Banten datang menyerbu dan karena setengah kekuatan militer kabupaten Sumedang
Larang diberangkatkan ke Madura atas titah Sultan Agung, Rangga Gede tidak mampu
menahan serangan pasukan Banten dan akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat
marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan
selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur. Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh
Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut
pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan.
Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung,
diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggungjawabannya dan akhirnya tertangkap dari
persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah
Priangan.

Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali
untuk memerintah di Sumedang, sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan
Galuh (Ciamis) dibagi kepada tiga bagian; Pertama, Kabupaten Bandung, yang dipimpin
oleh Tumenggung Wiraangunangun, kedua, Kabupaten Parakanmuncang oleh
Tanubaya dan ketiga, kabupaten Sukapura yang dipimpin oleh Tumenggung
Wiradegdaha atau R. Wirawangsa atau dikenal dengan “Dalem Sawidak” karena
memiliki anak yang sangat banyak.
Selanjutnya Sultan Agung mengutus Penembahan Galuh bernama R.A.A. Wirasuta yang
bergelar Adipati Panatayuda atau Adipati Kertabumi III (anak Prabu Dimuntur,
keturunan Geusan Ulun) untuk menduduki Rangkas Sumedang (Sebelah Timur Citarum).
Selain itu juga mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi dan
Kuta Tandingan. Setelah mendirikan benteng tersebut Adipati Kertabumi III kemudian
kembali ke Galuh dan wafat. Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah menjadi
Karawang karena kondisi daerahnya berawa-rawa, karawaan.

Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putra Adipati Kertabumi III, yakni Adipati
Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang, pada Tahun 1656M. Adipati
Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Panembahan Singaperbangsa atau Eyang
Manggung, dengan ibu kota di Udug-udug. Pada masa pemerintahan R. Anom Wirasuta
putra Panembahan Singaperbangsa yang bergelar R.A.A. Panatayuda I antara Tahun
1679M dan 1721M ibu kota Karawang dari Udug-udug pindah ke Karawang. Stop.

Jadi nama jalan Sawunggaling, Mundinglaya, Ranggagading, Ranggamalela,


Suryakancana, Ariajipang, Bahureksa, Gajah Lumantung, Sulanjana, Badaksinga dan
Bagusrangin belum saya temukan dongeng atau sejarahnya, sebagian –kalau tidak salah
ingat– adalah tokoh-tokoh dalam cerita rakyat Lutung Kasarung.

Sumber : http://yulian.firdaus.or.id/2005/09/23/sundapura/
Diposkan oleh Ahmad Kurnia El-Qorni di 18:11 0 komentar
Label: Asal-usul urang sunda
Mencari Akar Historis Krisis Kepemimpinan
Orang Sunda
Oleh Prof. Dr. H. NANAT FATAH NATSIR, M.S.

BAGI orang Sunda, mencari seorang pemimpin selalu terkesan sangat sulit. Hal
ini lebih disebabkan oleh kultur dan interpretasi yang keliru pada teks-teks
agama yang mereka anggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam nilai
budaya "urang Sunda", maka yang lahir kemudian adalah krisis kepemimpinan
yang berujung pada inferioritas orang Sunda dalam pergaulan di lingkup
nasional.

Apa sebenarnya akar historis krisis kepemimpinan orang Sunda? Pertanyaan ini
mutlak dikedepankan bukan untuk menghakimi masa lalu, mengingat sebagai
masyarakat Jawa Barat kita hidup dalam penggalan sejarah dan merupakan
bagian dari sejarah tersebut, melainkan untuk menggambarkan realitas yang
bergerak secara dinamis dalam kesadaran kita, mampu mengontrol laju sejarah
tersebut melalui stuktur kesadaran.

Akar-akar yang dimaksud adalah serpihan-serpihan, akumulasi nilai-nilai, dan


struktur psikologis yang kita warisi dari masa lalu yang mengendap dalam
kesadaran kolektif masyarakat Sunda. Inilah yang dalam ilmu sosiologi disebut
"sistem nilai".

Atribut akar-akar krisis tersebut patut dikritisi karena elemen-elemen yang


tumbuh pada masyarakat Sunda tadi telah membias sangat jauh dalam stuktur
kolektif budaya Sunda dan aktivitas mereka kerap dimanfaatkan oleh para
pemimpin "pusat" melalui struktur otoritas.

Jadi apakah model pemilihan Gubernur Sutiyoso akan diterapkan dalam


pemilihan Gubernur Jawa Barat yang akan datang? Hal ini bergantung pada
"harga diri" masyarakat Jawa Barat sendiri. Apakah mereka ridho dengan pola
seperti itu ataukah akan mampu menentukan kepemimpinan yang bertanggung
jawab pada masyarakatnya sendiri, yang menurut Ibnu Kaldun berdasarkan
ashobiyah (solidaritas sosial).

Interpretasi ajaran agama

Masyarakat Sunda memiliki karakteristik budaya yang diharapkan oleh Islam,


maka tidak salah apabila banyak kalangan menyebutkan bahwa budaya Sunda
sebenarnya adalah Islam yang pada titik akhir selalu menyebut bahwa Sunda
adalah Islam. Menjadi Islam berarti menyandarkan segala pola hidup kepada Al
Quran dan Sunah Rasul sebagai pedoman hidup, termasuk dalam hal
kepemimpinan. Kita memahami dalil, "Janganlah kamu meminta-minta jabatan",
dengan interpretasi "tidak boleh" mengejar kepemimpinan. Akhirnya yang sering
kita saksikan adalah minimnya gaung orang Sunda untuk bersaing
memperebutkan kepemimpinan baik di kandang sendiri lebih-lebih di lingkup
nasional. Orang Sunda lebih memilih tidak ikut-ikutan dan "mangga akang bae
ka payun" daripada harus "berkeringat" menjadi yang terbaik. Hal-hal tersebut
sangat tampak dalam pergaulan antaretnis, sipil militer, senior junior, dan
sebagainya.

Banyak memang parodi untuk menggambarkan hal tersebut. Dalam pergaulan


nasional, ketika semua orang dari berbagai daerah dan etnis berkumpul, orang
Sunda lebih memilih duduk paling belakang sementara bagian depan
"dipersilakan" untuk "diduduki" orang lain. Atau, dalam kasus lain, menjelang
berjemaah salat Zuhur para ajengan saling dorong untuk menjadi imam dan
semuanya tidak percaya diri karena menganggap rekan mereka yang lebih
pantas untuk menjadi imam. Lalu, datanglah seorang berjambang lebat,
memakai jubah, dan sorban maju menjadi imam. Semua tentu tidak menolak.
Kemudian yang terjadi adalah bacaan al-Fatihah dan suratnya dikeraskan, tidak
ruku, tapi terus sujud. Salat menjadi tidak beraturan karena ternyata yang
menjadi imam adalah orang gila. Fenomena seperti ini sering diingatkan Amin
Rais yang mengutif K.H. A.R. Fakhrudin.

Sejujurnya, fenomena yang kita tampilkan dalam bentuk seperti itu bukan
merupakan interpretasi yang benar dari nash. Akhirnya yang tampak dari konsep
"mangga ka payun" itu adalah sikap ketidakikhlasan. Mendorong orang lain
untuk tampil itu sebenarnya mencari dukungan balik untuknya. Oleh karena itu,
kita saksikan di beberapa daerah terjadi pencopotan sekda dan pejabat-pejabat
teras lainnya karena wali kota atau bupati gerah terhadap bawahannya itu yang
ternyata lebih mendapat simpati masyarakat.

Yang dibutuhkan sekarang dari orang Sunda adalah jiwa ksatria. Ia harus berani
tampil agresif, menawarkan konsep, dan mengemukakan kemampuannya untuk
menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi termaju di Indonesia. Kita harus mulai
mengubah pemahaman teks agama dengan interpretasi modern. Berarti tampil
berdasarkan kemampuan dan bukan atas dasar mencari sesuatu. Al Quran
menggambarkan hal ini ketika Nabi Yusuf meminta jabatan kepada Raja Mesir,
"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya kau adalah
orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan" (QS.12:55).

Al Quran sebenarnya menggambarkan bahwa kepemimpinan itu memang harus


diperjuangkan. Karena menjadi pemimpin adalah amanah, ia harus didukung
oleh perangkat ilmu pengetahuan yang cukup dan track-record yang bersih. Ia
harus sanggup menjaga, melindungi, dan melestarikan masyarakat dan
lingkungannya dengan baik dan jangan membiarkan yang telah rusak menjadi
lebih rusak.

Perspektif Ibnu Khaldun

Abu Zaid Abdul Rahman Ibnu Khaldun atau Ibn Khaldun merupakan sosiolog
Muslim kenamaan yang pemikirannya tentang masyarakat dan negara sangat
modern melampaui zamannya. Oleh karena itu, ketika kita membahas
kepemimpinan dalam perspektif Ibnu Khaldun, kita akan mendapat uraian-uraian
yang sangat signifikan dengan kondisi saat ini, terutama kepemimpinan Sunda
sebab teori-teori yang dihasilkan Ibnu Khaldun sangat asumtif terhadap berbagai
keadaan terutama bagi masyarakat muslim.

Pergantian kepemimpinan di mana pun, termasuk di Jawa Barat ini, dalam


pandangan Ibnu Khladun bukan merupakan hal yang luar biasa, melainkan
sesuai dengan perkembangan suatu organisme kehidupan, yaitu tumbuh,
berkembang, megah, dan secara evolutif diakhiri dengan perubahan
(kehancuran). Dalam pandangan Ibnu Khaldun kepemimpinan adalah
sunnatulloh. Runtuh dan kokohnya suatu kekuasaan sangat bergantung pada
ashobiyah (solidaritas sosial). Konsep ashobiyah ini menyiratkan perlunya ruang
bagi konflik kepentingan antarpenguasa dan yang dikuasai sehingga kedua
belah pihak saling memiliki posisi tawar-menawar untuk mencapai kepentingan
yang saling menguntungkan.

Menurut Ibnu Khaldun, asal-usul solidaritas sosial adalah ikatan darah yang
menyatukan masyarakat-masyarakat kecil. Namun, ia pun dengan hati-hati
mengatakan bahwa ikatan darah itu tidak berarti apa pun apabila tidak disertai
kedekatan dan cara hidup yang sama, tempat hidup bersama itu bisa
menumbuhkan solidaritas sosial yang sama kuatnya sebagaimana ikatan darah.
Lebih dari itu hubungan suku, antara orang yang dilindungi dan yang tidak
dilindungi, bisa membawa solidaritas yang lebih luas. Suatu kepemimpinan,
tambah Khaldun, hanyalah dapat dibangun atas dasar ashobiyyah ini.

Bagi Ibnu Khaldun, ikatan kesukuan lebih berpeluang menjadikan kepemimpinan


menjadi kuat dibandingkan oleh lain suku. Dalam kasus kesundaan, perspektif
Ibnu Khaldun tidak dapat diterapkan bahwa orang Sunda pituin dan memiliki jiwa
kesundaan yang kuat akan lebih mampu menjaga dan mengayomi masyarakat
dan lingkungannya karena ia akan merasa orang yang paling bertanggung
jawab memajukan daerahnya. Ia tidak mencari hidup di Jawa Barat dalam
berbagai segi.

Kepemimpinan berdasarkan ashobiyah tersebut, menurut Ibnu Khladun memiliki


enam karakter.

Pertama, seorang pemimpin harus berpengetahuan disertai kesanggupan untuk


mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan hukum. Menurut Ibnu Khaldun,
seorang pemimpin harus menempatkan hukum sebagai aturan yang pokok. Ia
sendiri tidak boleh bermain dan mempermainkan hukum.

Kedua, ia harus adil. Artinya bersikap jujur, berpegang pada keadilan, dan
memiliki sifat-sifat moral yang baik sehingga perkataan dan tindakannya dapat
dipercaya.

Ketiga, ia memiliki kesanggupan menjalankan tugas-tugas yang dituntut dari


padanya sebagai pemimpin pemerintahan, termasuk melaksanakan hukum yang
diputuskan secara konsekuen.

Keempat, secara fisik dan mental, ia harus bebas dari cacat yang tidak
memungkinkan ia dapat menjalankan tugas sebagai pemimpin yang baik.

Kelima, pemimpin sebuah pemerintahan harus berasal dan dipilih dari suku
sendiri.

Keenam, seorang pemimpin harus lemah lembut dan sopan santun terhadap
pengikutnya dan harus mengutamakan kepentingan rakyat dan wajib
membelanya dan juga tidak mencari-cari kesalahan rakyat.

Keenam teori Ibnu Khaldun ini merupakan bukti nyata dalam setiap pola
kepemimpinan manapun terlebih sebagai mantan aparatur pemerintahan pada
zamannya; Ibnu Khaldun pernah merasakan bahwa kepemimpinan yang
didukung masyarakat yang berdasarkan solidaritas sosial dan berasal dari suku
sendiri akan mampu menjadikan pemerintahannya menjadi kokoh.

Adapun persoalan Sunda dan non-Sunda dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat
merupakan hal yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan karena sudah jelas
bahwa untuk mengubah nasib diri dan kaum harus berasal dari kemampuan
kaum itu sendiri (QS.13:11). Yang perlu diingat untuk Jawa Barat adalah
pemimpin yang saleh, amanah, dan adil, sesuai dengan kondisi masyarakat
yang religius dan berbudaya. Seorang pemimpin harus mampu menjabarkan
nilai-nilai agama dalam membangun masyarakat Jawa Barat. Tentu hal itu tidak
sekadar saleh ritual.

Sudah saatnya calon pemimpin Sunda telah memiliki keenam kemampuan yang
disyaratkan Ibnu Khaldun tadi, maju untuk mencalonkan diri dengan kesatria. Ia
harus memiliki pandangan seperti Nabi Yusuf, memiliki kemampuan dan
diserhakan sepenuhnya untuk menyejahterakan masyarakat. Wallohu'alam.***

Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Agama dan Pembantu Rektor I IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung.***

Diposkan oleh Ahmad Kurnia El-Qorni di 18:06 0 komentar


Label: Pulitik Sunda
Mengenal Asal Usul Angklung
Bandung, yang berada di tanah parahyangan erat kaitannya dengan kesenian
tradisi sunda dimana terdapat bermacam-macam alat kesenian yang diwariskan
salah satu diantaranya alat kesenian tradisi sunda yang dinamakan sebagai
angklung, alat musik tradisional yang terbuat dari bambu, yang dibunyikan
dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu)
sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4
nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik
angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.

Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis
kesenian yang disebut angklung dan calung, dimana calung dikenal sebagai alat
musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan
angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung
adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu)
yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis
bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam),
namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).

Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai angklung adalah awi wulung
(bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa
alat musik angklung dan calung mirip sama; tiap nada (laras) dihasilkan dari
bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu
dari ukuran kecil hingga besar.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya


sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai
pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan,
itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat
menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung
menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung dan calung berdasarkan
pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan
dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos
kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi
kehidupan (hirup-hurip).

Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen)


terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu
sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya
nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka,
baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk
menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya:

Si Oyong-oyong
Sawahe si waru doyong
Sawahe ujuring eler
Sawahe ujuring etan
Solasi suling dami
Menyan putih pengundang dewa
Dewa-dewa widadari
Panurunan si patang puluh

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan


pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas
sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal
sekarang bernama angklung dan calung. ewi Shri atau Dewi Sri adalah dewi
percocok tanaman , terutama padi dan sawah di pulau Jawa dan Bali. Ia memiliki
pengaruh di dunia bawah tanah dan terhadap bulan. Ia juga dapat mengontrol
bahan makanan di bumi dan kematian. Karena ia merupakan simbol bagi padi,
ia juga dipandang sebagai ibu kehidupan. Sebagai tokoh yang sangat diagung-
agungkan, ia memiliki berbagai versi cerita, kebanyakan melibatkan Dewi Sri
(Dewi Asri, Nyi Pohaci) dan saudara laki-lakinya Sedana (Sadhana atau
Sadono), dengan latar belakang Kerajaan Medang Kamulan, atau kahyangan
(dengan keterlibatan dewa-dewa seperti Batara Guru), atau kedua-duanya. Di
beberapa versi, Dewi Sri dihubungkan dengan ular sawah sedangkan Sadhana
dengan burung sriti. Orang Jawa tradisional memiliki tempat khusus di tengah
rumah mereka untuk Dewi Sri agar mendapatkan kemakmuran yang dihiasi
dengan ukiran ular. Di masyarakat pertanian, ular yang masuk ke dalam rumah
tidak diusir karena ia meramalkan panen yang berhasil, sehingga malah diberi
sesajen. Di Bali, mereka menyediakan kuil khusus untuk Dewi Sri di sawah.
Orang Sunda memiliki perayaan khusus dipersembahkan untuk Dewi Sri.

Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula


dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan
aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi
pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada
saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di
Jawa Barat disebut ngaseuk. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren
taun dipersembahkan permainan angklung dan calung. Terutama pada
penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi
sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian
tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan
pangan) dan sebagainya. (Sumber diperoleh dari wapedia.mobi/id/Angklung)

Sumber : http://www.allbandung.com/abc-view-content.php?id=470Posted by : allbandung - Thu


Aug 23 18:56:53

Diposkan oleh Ahmad Kurnia El-Qorni di 17:48 0 komentar


Label: Seni Sunda
Orang Sunda Rasional : "Primordialisme Harus Disingkirkan Saat
Mengurus Negara"

Bandung, Kompas - Mulai sekarang, penilaian yang didasarkan atas nilai-nilai


primordialisme harus disingkirkan. Yang harus kita lakukan ialah bagaimana
membangun kultur kolektif bangsa sehingga penghargaan dan hukuman
dilandaskan atas penilaian yang obyektif.

Demikian dikatakan guru besar Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof Kusnaka


Adimihardja PhD, Kamis (15/12). Kusnaka dihubungi menanggapi kekecewaan
para tokoh dari Paguyuban Pasundan atas dicopotnya dua menteri asal Jabar
dari jajaran Kabinet Indonesia Bersatu.

Kusnaka menuturkan, sekarang jangan lagi berpikir primordial. Penilaian yang


didasarkan atas kemampuan dan tolok ukur yang jelas serta rasional yang
seharusnya dikedepankan.

Alasan kesukuan sangat tidak relevan karena masalah bangsa ini besar. Jangan
mengandalkan emosional, tapi kalkulasi yang rasional, katanya.

Lebih lanjut Kusnaka menjelaskan, sebenarnya orang Sunda itu sangat rasional.
Karena rasional, maka orang Sunda melihat kultur sebagai sesuatu yang
dinamis.

Jadi, mungkin saja institusinya yang masih konservatif tidak melihat realitas dan
dinamika yang terjadi, tuturnya.

Kusnaka mengakui sulit menginternalisasi watak rasional orang Sunda dalam


sebuah institusi karena nantinya akan menimbulkan konflik antara pihak yang
rasional dan konservatif.

Sementara itu, mantan anggota DPR asal Jawa Barat, Tjetje Hidayat
Padmadinata, mengutarakan, ketika berbicara Kabinet Indonesia Bersatu, maka
asal- usul etnik dan daerah jangan dikedepankan. Kurang relevan lah, ujar
Tjetje.

Menurut dia, yang harus dipertimbangkan dari seorang menteri atau calon
menteri ialah rekam jejaknya, yang meliputi integritas pribadi dan
profesionalismenya.

Perlu ada pencerahan

Tjetje merasa bersyukur bahwa ternyata ada orang Sunda yang menjadi
menteri. Namun, sebelum diangkat menjadi menteri, presiden harus bertanya
terlebih dahulu kepada orang Sunda bagaimana reputasi orang tersebut. Jadi,
pemilihan pejabat negara tidak asal Sunda saja.

Meski kultur orang Sunda sendiri sebenarnya rasional, ujar Tjetje, pemikiran
setiap orang tetap akan berbeda.

Oleh karena itu, lanjut Tjetje, agar memiliki wawasan kebangsaan yang luas,
perlu adanya proses pencerahan berpikir di kalangan orang Sunda.

Sementara itu, Dr Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia


Jabar, mengatakan, sikap tokoh Paguyuban Pasundan yang merasa kecewa
atas pencopotan dua menteri asal Jabar merupakan sikap yang baru.
Justru Paguyuban Pasundan berani bicara terbuka ini sikap baru. Dulu mana
ada orang berani. Jadi, bagi negeri dengan berbagai macam suku, perhatikan
juga masalah keterwakilan ini, ujar Nina Lubis.

Akan tetapi, lanjut Nina, kekecewaan itu tidak mencerminkan aspirasi


masyarakat Sunda secara keseluruhan. Banyak juga yang tidak peduli dengan
urusan kesundaan atau juga tidak mau menunjukkan sikap. Ini adalah sikap
siger tengah (mencari aman) yang menjadi budaya politik Sunda, ungkap Nina
Lubis.

Menurut dia, selama ini orang Sunda merasa tersisihkan dalam percaturan
politik nasional, bahkan di kandang sendiri. Masalah keterwakilan dalam kabinet
sudah sering dikemukakan berbagai kalangan di Bandung secara terbuka dalam
berbagai kesempatan kepada para calon presiden sebelum pemilihan. (d11)

Diposkan oleh Ahmad Kurnia El-Qorni di 17:45 0 komentar


Label: Pulitik Sunda
Pancakaki, Asal-usul dan Maknanya

Oleh EDI S. EKADJATI

DALAM "Mundinglaya Dikusumah" diceritakan bahwa lengser (pembantu umum raja)


Muaraberes ditugaskan mencari honje, sejenis tanaman berkelopak seperti jahe yang
buahnya masam dan biasa dijadikan bumbu atau bahan manisan. Ketika itu, permaisuri
raja yang sedang mengandung rupanya mengidam honje. Singkat kata, lengser
mendapatkannya. Tapi di tengah jalan ia berpapasan dengan lengser Pajajaran, yang juga
sedang mencari honje untuk permaisuri Pajajaran yang sedang mengandung pula. Apa
daya, kala itu honje amat langka.

Lengser Pajajaran tak kehabisan akal. Kepada lengser Muaraberes ia berkata, "Tatkala
kakekku kawin dengan nenekku, kakekmu juga kawin dengan nenekmu; lalu sama-sama
punya anak: ayahku dan ayahmu. Bapakku kawin dengan ibu, bapakmu kawin dengan
ibumu. Lalu sama-sama punya anak lagi, yaitu aku dan kamu. Jadi, kita ini sama-sama
anak ayah dan ibu. (Kita) masih bersaudara, tetapi lain ayah lain ibu. Kamu harus
memanggilku kakak."

Jelas, di antara keduanya tidak ada hubungan kekerabatan (darah). Hanya saja,
pendekatan lengser Pajajaran demikian memikat hati sehingga lengser Muaraberes rela
memberikan sebagian honje-nya. Selamatlah lengser dan permaisuri kedua kerajaan itu.
Karena anak mereka berlainan jenis, yang pria dinamai Mundinglaya Dikusumah dari
Pajajaran sedang yang wanita dinamai Nyi Dewi Asri dari Muaraberes. Akhirnya kedua
keturunan raja itu menikah dan naik tahta menggantikan ayah mereka.

Apa yang dilakukan oleh lengser Pajajaran disebut pancakaki. Menurut Kamus Basa
Sunda karya R. Satjadibrata (1954; 2005: 278), pancakaki bermakna sebagai istilah-
istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara
yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut
(piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau
gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti
anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga,
saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan
anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya.

Dalam Kamus Umum Basa Sunda (KUBS) susunan Tim Lembaga Basa Sastra Sunda
(1985: 352) pancakaki mengandung dua makna. Pertama, hubungan seseorang dengan
orang lain yang sekeluarga atau yang masih bersaudara. Contohnya, ibu, ayah, nenek,
kakek, paman, bibi, anak, cucu, buyut, keponakan, dsb. Kedua, menyelusuri hubungan
kekerabatan. Makna pertama sama dengan makna yang dirumuskan oleh Satjadibrata,
sedangkan makna kedua merupakan makna tambahan dengan memasukkan perbuatan
menyelusuri hubungan kekerabatan, seperti dalam contoh kalimat, "Cing urang
pancakaki heula, perenah kumaha saenyana Ujang jeung Emang tih?" (Mari kita
menelusuri dulu hubungan kekerabatan, bagaimana sesungguhnya hubungan kekerabatan
Ananda dan Paman?).

Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang
maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa
Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan, seperti A berputra B, B
berputra C, dst. beserta cabang-cabangnya, biasa digambarkan dalam bentuk pohon.
Sarsilah bermakna daftar asal-usul, uraian keturunan (KUBS, 1985: 443, 447; lihat pula
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988: 794, 840).
Makna sajarah dan sarsilah tersebut sejajar dengan makna asal katanya sajarotun dari
perbendaharaan bahasa Arab, yaitu pohon. Maksudnya gambaran garis keturunan
seseorang yang sekilas berbentuk pohon dengan sejumlah cabang, ranting, dan daun. Di
lingkungan Keraton Yogyakarta masih terdapat contoh gambaran garis keturunan raja-
raja Jawa yang berbentuk pohon. Dalam kosa kata bahasa Indonesia masih ada istilah
lain untuk yang bermakna sama, yaitu genealogi. Istilah tersebut tentu berasal dari kosa
kata bahasa Belanda genealogie dan atau bahasa Inggris genealogy.

Dari rumusan-rumusan di atas tampak adanya persamaan dan perbedaan antara makna
pancakaki dengan makna sajarah dan sarsilah, juga genealogi. Pada satu pihak
persamaannya terletak pada semuanya bertalian dengan masalah hubungan kekerabatan
atau kekeluargaan. Pada pihak lain perbedaannya terletak pada penekanan hubungan
kekerabatan yang dilambangkan dengan istilah-istilah tertentu bagi makna pancakaki.
Sedangkan makna sajarah, sarsilah, dan genealogi terletak pada penekanan asal-usul (ke
atas) dan keturunan (ke bawah) serta gambaran hubungan kekerabatan atau tali
persaudaraan.

Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan kerabat atau keluarga dalam
masyarakat Sunda menempati kedudukan yang sangat penting. Hal itu bukan hanya
tercermin dari adanya istilah atau sebutan bagi setiap tingkat hubungan itu yang langsung
dan vertikal (bao, buyut, aki, bapa, anak, incu) maupun yang tidak langsung dan
horisontal (dulur, dulur misan, besan), melainkan juga berdampak kepada masalah
ketertiban dan kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao menempati
kedudukan lebih tinggi dalam struktur hubungan kekerabatan (pancakaki) daripada anak,
incu, alo, suan. Begitu pula lanceuk (kakak) lebih tinggi dari adi (adik), ua lebih tinggi
dari paman/bibi. Soalnya, hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan
menentukan kedudukan seseorang dalam struktur kekerabatan keluarga besarnya,
menentukan bentuk hormat menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan saling
menolong di antara sesamanya, serta menentukan kemungkinan terjadi-tidaknya
pernikahan di antara anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti baru.

Pancakaki dapat pula digunakan sebagai media pendekatan oleh seseorang untuk
mengatasi kesulitan yang sedang dihadapinya. Dalam hubungan ini yang lebih tinggi
derajat pancakaki-nya hendaknya dihormati oleh yang lebih rendah, melebihi dari yang
sama dan lebih rendah derajat pancakaki-nya.

Betapa pentingnya kedudukan pancakaki dalam masyarakat Sunda, sampai-sampai pada


zaman sekarang pun orang Sunda masih biasa melakukan pancakaki dalam kehidupan
sehari-hari pada tiga jenis peristiwa berikut. (1) Pertemuan antara orang Sunda yang
sebelumnya sudah saling mengenal atau pernah berkenalan. (2) Pertemuan antara orang
Sunda yang baru berkenalan. (3) Pertemuan antara dua pihak orang Sunda dalam proses
pernikahan salah seorang anggotanya masing-masing. Dalam rangka membina suasana
akrab dalam pertemuan itu mereka melakukan pembicaraan tentang pancakaki mereka
masing-masing yang menjurus ke arah terjalinnya hubungan kekerabatan di antara
keluarga besar mereka.

Bahkan jika ternyata di antara mereka tidak memiliki hubungan kekerabatan (darah),
maka pembicaraan dilanjutkan dengan mencari pertalian hubungan lain, seperti melalui
kenalan, tetangga, teman sekolah, teman bekerja, dan lain-lain yang sama-sama dikenal
oleh mereka. Adapun tujuan pembicaraan tersebut adalah untuk saling mendekatkan
hubungan mereka. Tujuan selanjutnya, bergantung pada situasi dan kondisi pertalian
hubungan atau pertemuan mereka.

Kapan lahirnya pancakaki dalam masyarakat Sunda? Pertanyaan tersebut sulit


dijawabnya, karena data mengenai hal itu tidak ada. Namun, sebagai gambaran dapatlah
dilihat dari tradisi lisan (cerita mitologi, cerita legenda, cerita pantun, dongeng) dan
tradisi tulisannya (prasasti, naskah). Ternyata dalam setiap zaman perjalanan hidup orang
Sunda didapatkan sumber informasinya, baik lisan maupun tulisan.

Tradisi lisan Sunda tertua yang mengemukakan keberadaan pancakaki kiranya adalah
cerita Sangkuriang. Cerita mitologi ini menggambarkan kehidupan zaman prasejarah
yang berlatarbelakang kejadian alam terbentuknya tiga gunung di sebelah utara Bandung,
yaitu Gunung Tangkuban Parahu, Bukittunggul, dan Burangrang serta sebuah Danau
Bandung Purba. Di dalam cerita ini sudah ada pancakaki, yaitu ada tokoh ayah (raja yang
sedang berburu dan si Tumang), ibu (Celeng Wayungyang dan Dayang Sumbi), dan anak
(Dayang Sumbi dan Sangkuriang). Di antara tokoh-tokoh tersebut terjalin hubungan
kekerabatan yang saling menghormati dan mengasihi sesuai dengan kedudukan
pancakaki</i>nya, kecuali dalam kondisi tanpa sadar dan tak tahu.

Kekecualian dimaksud adalah Sangkuriang membunuh si Tumang yang sesungguhnya


ayah kandungnya sendiri serta terjalinnya kisah asmara antara Dayang Sumbi dengan
Sangkuriang, walaupun pernikahan mereka tidak jadi karena Dayang Sumbi kemudian
tahu bahwa Sangkuriang adalah anak kandungnya. Jelas, cerita ini bertemakan tabu
akan pernikahan sedarah langsung (tabu incest).

Adapun tradisi tulisan tertua adalah prasasti Tugu (ditemukan di Tugu, sekitar
perbatasan Bekasi-Jakarta) yang ditulis pada batu dengan menggunakan aksara Palawa
dan bahasa Sansekerta dari zaman Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 Masehi). Dalam
prasasti ini disebutkan tiga orang raja yang memiliki hubungan kekerabatan langsung
dan vertikal, yaitu Rajaresi, Rajadiraja Guru, dan Purnawarman. Pancakaki-nya adalah
Purnawarman putra Rajadiraja Guru dan Rajadiraja Guru putra Rajaresi. Jadi, ada
tiga generasi berupa kakek, ayah, dan anak yang secara bergantian memerintah
Kerajaan Tarumanagara.

Prasasti Batutulis pun yang ditulis pada batu dengan aksara Jawa Kuna dan bahasa
Sunda Kuna serta dikeluarkan oleh Prabu Surawisesa, raja Sunda (1521-1535), pada
tahun 1533 dan berada di kota Bogor sekarang mengungkapkan pancakaki raja-raja
Sunda. Bahwa Sri Baduga Maharaja, raja Sunda di Pakuan Pajajaran, adalah putra
Rahiyang Dewa Niskala, cucu Rahiyang Niskala Wastukancana. Di sini pun tertera tiga
generasi raja Sunda yang hubungan kekerabatannya langsung dan vertikal.

Daftar raja Sunda yang paling lengkap terdapat pada naskah Carita Parahiyangan. Di
dalam naskah ini dapat dikatakan semua raja Sunda baik yang berkedudukan di Galuh
maupun yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran didaftarkan secara kronologis sejak
raja pertama (sekitar abad ke-7-8) hingga raja terakhir (1579). Bahwa raja Sunda
pertama digantikan oleh raja Sunda kedua yang digantikan lagi oleh raja Sunda ketiga
dan seterusnya hingga raja terakhir. Pergantian raja-raja tersebut dilakukan oleh
sesama anggota kerabat keraton yang pancakaki-nya berdekatan dengan raja Sunda
yang digantikannya, seperti anak, adik, menantu.

Muncullah konsep kultus dewa raja dan sistem pergantian pemegang pemerintahan
berdasarkan hubungan kekerabatan (darah dan pernikahan). Mengemukanya hanya
daftar dan pancakaki raja-raja dalam tradisi lisan dan tradisi tulisan Sunda kiranya
berlatar belakang ajaran agama dan kebudayaan Hindu dari India yang menghantarkan
kepada periode sejarah di Tatar Sunda dan Nusantara pada umumnya serta
memperkenalkan stratifikasi sosial berdasarkan kasta (brahmana, ksatria, waisya,
sudra) yang berdampak pada profesi masing-masing.

Runtuhnya Kerajaan Sunda diiringi oleh munculnya Kesultanan Cirebon, Kesultanan


Banten, dan kabupaten-kabupaten di wilayah Tatar Sunda yang telah dipengaruhi oleh
ajaran agama dan kebudayaan Islam serta dipengaruhi pula oleh kebudayaan Jawa.
Kiranya seiring dengan merasuknya agama dan kebudayaan Islam yang antara lain
dipengaruhi oleh kuatnya tradisi pancakaki di kalangan bangsa Arab yang menyebarkan
Islam ke mana-mana, termasuk ke Tatar Sunda dan nusantara umumnya, masuklah
tradisi sajarah dan sarsilah dalam kehidupan masyarakat Sunda.

Ada data baru yang memperlihatkan terjadinya masa peralihan sistem pancakaki antara
tradisi zaman kuna (Kerajaan Tarumanagara dan Sunda) dengan tradisi zaman baru
(kesultanan dan kabupaten). Data tersebut tertera pada naskah lontar dengan aksara
Sunda Kuna (unsur tradisi kuna), tetapi menggunakan bahasa Jawa, munculnya tokoh
Prabu Siliwangi sebagai awal pancakaki, berisi pancakaki yang sebagian besar
tokohnya tidak menduduki jabatan raja atau penguasa daerah, serta munculnya gelar
dan nama tokoh muslim dan Jawa (unsur tradisi baru). Data ini tertera pada naskah
lontar Sunda yang kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta dengan nomor
kode Kropak 421. Dalam naskah ini disebutkan 85 nama tokoh yang berasal dari 22
generasi hubungan kekerabatan (darah). Contoh gelar dan nama Islam dan Jawa antara
lain Sunan Parung, Ki Mas Yudamardawa, Nyi Mas Palembang, Ngabehi Mangunyuda,
Raden Abdul, Pangeran Demang, Dipati Darma, Ki Ariya Danupati, Kiyahi Wihataka.

Pancakaki para Sultan Cirebon dan Sultan Banten berpangkal pada dua leluhur. Pada
satu pihak (berdasarkan garis ibu) berpangkal pada Prabu Siliwangi yang disebutkan
sebagai raja Pajajaran terakhir; ada yang berlanjut sampai Prabu Seda (leluhur kelima
Prabu Siliwangi). Pada pihak lain (berdasarkan garis ayah) berpangkal pada Sultan
Mesir atau Sultan Banisrail di tanah Arab dan selanjutnya sampai Nabi Muhammad,
penerima dan pembawa agama Islam, bahkan ada yang sampai Nabi Adam, manusia
dan nabi pertama menurut ajaran Islam. Pancakaki demikian tertera pada naskah-
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, "Sajarah Banten". Munculnya
dua pangkal pancakaki tersebut kiranya dilatarbelakangi oleh maksud pengarangnya
untuk merangkul dua kelompok masyarakat yang hidup pada masyarakat Sunda masa
itu, yaitu kelompok masyarakat penganut atau yang berorientasi kepada raja-raja Sunda
dan kelompok masyarakat penganut atau yang berorientasi kepada agama Islam.
Dengan demikian, pancakaki tersebut memiliki fungsi politis.

Kabupaten-kabupaten mengeluarkan pula dokumen tertulis berupa naskah-naskah yang


berisi pancakaki di lingkungan keluarga para bupati yang memerintah di kabupaten
yang bersangkutan, bahkan dari Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung
didapatkan naskah yang judulnya menggunakan kata pancakaki, yaitu Kitab Pancakaki
dari Sumedang dan Kitab Pancakaki Masalah Karuhun Kabih (Kitab Pancakaki
Masalah Semua Leluhur) dari Bandung. Pancakaki yang berasal dari Kabupaten
Bandung, Batulayang, Parakanmuncang, dan Cianjur berpangkal pada tokoh Prabu
Siliwangi, Raja Pajajaran termasyhur dan terakhir, misalnya pada naskah Sajarah
Bandung dan Babad Cikundul. Yang berasal dari Kabupaten Galuh (Ciamis) dan
Kabupaten Sumedang pancakaki-nya berpangkal pada Ratu Galuh, misalnya pada
Wawacan Sajarah Galuh dan Kitab Pancakaki. Pancakaki dari Kabupaten Sukapura
(Tasikmalaya) berpangkal pada Sultan Pajang dari Pengging (Jawa), yaitu terdapat
pada naskah Sajarah Sukapura. Pangkal pancakaki tersebut dimaksudkan
pengarangnya untuk mempertinggi derajat dan martabat para bupati serta
melegitimasikan bupati yang bersangkutan dalam menduduki jabatannya.

Makin kemudian (sejak abad ke-19) pancakaki dalam naskah-naskah dari kabupaten-
kabupaten di wilayah Priangan makin lengkap. Sejak itu dalam pancakaki itu bukan
hanya dikemukakan identitas (nama) bupati beserta putranya yang menggantikan
jabatan ayahnya sebagai bupati, melainkan disebutkan pula identitas (nama) semua
putra bupati beserta ibunya masing-masing serta masalah ketika terjadi pergantian
pemegang pemerintahan. Sejauh pengetahuan penulis, pancakaki paling lengkap
terdapat pada keluarga besar bupati (menak) Sumedang dan Bandung. Di samping
didapatkan naskahnya sebanyak beberapa buah, juga ada bagan pancakaki-nya secara
keseluruhan dan tiap-tiap cabang keluarga seorang bupati atau tokoh tertentu. Hal ini
dimungkinkan karena pancakaki memainkan peranan penting dalam proses
pengangkatan/penggantian bupati dan pejabat-pejabat pemerintahan lainnya (sistem
feodal). Secara tersurat dikemukakan tujuan dan fungsi naskah pancakaki pada masa
lalu tertera dalam naskah Sajarah Sukapura karya tulis Raden Kanduruan Kartinagara.
Bahwa "...membuat pancakaki ini, untuk dipakai mengingatkan, para anak-cucu, agar
jangan putus hubungan kekeluargaan, karena biasanya yang muda tak peduli,
menghapalkan keturunan/leluhur. Tetapi kalau sudah ada dalam bentuk tertulis,
disimpan di dalam laci, kendatipun tidak hafal, pasti tak akan sia-sia, sebab sudah ada
dalam bentuk tertulis itu, asalkan mau membaca, pasti ketemu.

Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa pancakaki menempati kedudukan penting dalam


kehidupan masyarakat Sunda. Pancakaki memiliki fungsi individual dan sosial yang
bervariasi pada setiap zaman, seperti untuk memperoleh legitimasi kekuasaan,
mempertinggi derajat dan martabat seseorang, memperoleh dan mempertahankan
jabatan dalam pemerintahan, dan melakukan pendekatan dalam hubungan keluarga,
pernikahan, dan sosial budaya lainnya. Pancakaki mencerminkan gambaran bahwa tata
kehidupan orang Sunda berdasarkan kepada asas kekeluargaan yang ingin
menempatkan setiap anggota keluarganya dalam hubungan pancakaki. Dengan
hubungan yang jelas tempatnya dalam struktur kekerabatan mereka, di samping akan
terbentuk dan terbina suasana rukun dan damai, juga terbentuk dan terbina suasana
tertib dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka akan menempatkan diri pada
kedudukan hubungan pancakaki masing-masing serta menghormati dan menghargai
sesamanya sesuai dengan tingkat hubungan pancakaki-nya.***

Penulis, GuruBesar Universitas Padjadjaran dan Ketua Pengurus Pusat Studi Sunda
Sumber: Pikiran rakyat, 13 Desember 2005
Diposkan oleh Ahmad Kurnia El-Qorni di 17:37 0 komentar
Label: Asal-usul urang sunda
Posting Lama
Langgan: Entri (Atom)

Pribados pangksepna sabumi

Ahmad Kurnia El-Qorni


Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Indonesia
Lahir di Garut tahun 1969 dan Berprofesi sebagai pendidik independen sejak
tahun 1990 yang interest terhadap perkembangan pendidikan, marketing,
metodologi riset dan teori manajemen kualitas selain fenomena budaya yang
semakin mewarnai dinamisasi pendidikan kita.
Makalah Pancasila Vs Agama

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Siapa yang tidak kenal dengan Pancasila dan Soekarno sebagai penggalinya?
Pada tanggal 1 Juni 1945 untuk pertama kalinya Bung Karno mengucapkan
pidatonya di depan sidang rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan.

Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa


Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa
dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan
kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa
daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu
sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.

Sejarah Pancasila adalah bagian dari sejarah inti negara Indonesia. Sehingga
tidak heran bagi sebagian rakyat Indonesia, Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang
sakral yang harus kita hafalkan dan mematuhi apa yang diatur di dalamnya. Ada pula
sebagian pihak yang sudah hampir tidak mempedulikan lagi semua aturan-aturan
yang dimiliki oleh Pancasila. Namun, di lain pihak muncul orang-orang yang tidak
sepihak atau menolak akan adanya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Mungkin kita masih ingat dengan kasus kudeta Partai Komunis Indonesia
yang menginginkan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis. Juga
kasus kudeta DI/TII yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan mendirikan
sebuah negara Islam. Atau kasus yang masih hangat di telinga kita masalah
pemberontakan tentara GAM.

Jika kita melihat semua kejadian di atas, kejadian-kejadian itu bersumber


pada perbedaan dan ketidakcocokan ideologi Pancasila sebagai ideologi negara
Indonesia dengan ideologi yang mereka anut. Dengan kata lain mereka yang
melakukan kudeta atas dasar keyakinan akan prinsip yang mereka anut adalah yang
paling baik, khususnya bagi orang-orang yang berlatar belakang prinsip agama.

Berdasarkan Latar Belakang permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk


menulis makalah yang berjudul “PANCASILA VS AGAMA”.
Masalah pokok yang hendak dikemukakan di sini adalah kenyataan bahwa
Pancasila tidak merupakan paham yang lengkap, juga tidak merupakan kesatuan yang
bulat. Kelengkapannya bergantung pada pemikiran lain yang dijabarkan ke dalam
Pancasila; dan kesatuan bulatnya juga demikian. Dalam rangka ini, paham agama
bisa pula masuk.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Apakah Pancasila masih cocok menjadi ideologi yang dianut oleh bangsa
Indonesia yang terdapat beragam kepercayaan (agama).

2. Apakah dengan terus menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia,


dapat menuju negara yang aman dan stabil.

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan Makalah

1. Tujuan Penulisan Makalah

a. Untuk mengetahui sejauh mana Pancasila cocok dengan agama.

b. Untuk mengetahui arti penting dari adanya Pancasila di negara Indonesia.

c. Untuk mengetahui bagaimana seharusnya negara yang memiliki


masyarakat yang beragam agama.

2. Kegunaan Penulisan Makalah

a. Bagi Penulis

Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas terstruktur
dari mata kuliah Pancasila.

b. Bagi pihak lain

Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan


antara Pancasila dengan Agama.

D. Pembatasan Masalah

1. Penulisan makalah ini dibatasi pemasalahannya yaitu hanya membahas sangkut


paut agama dengan Pancasila.
2. Agama yang menjadi objek utama dalam penulisan makalah ini adalah Agama
yang ada di Indonesia (Islam, dll).
BAB II
METODE PENULISAN

A. OBJEK PENULISAN

Objek penulisan makalah ini adalah mengenai Pancasila dan hubungannya


dengan gama-agama yang ada di Indonesia. Dalam makalah ini juga dibahas
mengenai kontroversi penerapan ideologi pancasila di Indonesia.

B. DASAR PEMILIHAN OBJEK

Kami sebagai penyusun makalah ini, memilih objek Pancasila dengan Agama
karena kedua hal ini adalah dua komponen negara Indonesia yang masing-masing
mempunyai pengaruh yang sangat kuat bagi para penganutnya. Jika terjadi
ketidakserasian antara dua komponen ini, maka akan terjadi suatu yang sulit untuk
diselesaikan.

C. METODE PENGUMPULAN DATA

Dalam pembuatan makalah ini, metode pengumpulan data yang digunakan


adalah kaji pustaka terhadap bahan-bahan kepustakaan yang sesuai dengan
permasalahan yang diangkat dalam makalah ini yaitu mengenai hubungan Pancasila
dengan agama. Disamping itu, penulis juga mendapatkan data dari hasil wawancara
dengan orang-orang yang berkompeten di bidang pancasila dan agama. Sebagai
referensi juga diperoleh dari situs web internet yang membahas mengenai falsafah
Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia.

D. METODE ANALISIS

Penyusunan makalah ini berdasarkan metode deskriptif analistis, yaitu


mengidentifikasi permasalahan berdasarkan fakta dan data yanag ada, menganalisis
permasalahan berdasarkan pustaka dan data pendukung lainnya, serta mencari
alternatif pemecahan masalah

BAB III
KEBERADAAN PANCASILA

DAN SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA

A. ARTI PENTING KEBERADAAN PANCASILA

Pancasila sebagai dasar negara memang sudah final. Menggugat Pancasila


hanya akan membawa ketidakpastian baru. Bukan tidak mungkin akan timbul chaos
(kesalahan) yang memecah-belah eksistensi negara kesatuan. Akhirnya Indonesia
akan tercecer menjadi negara-negara kecil yang berbasis agama dan suku. Untuk
menghindarinya maka penerapan hukum-hukum agama (juga hukum-hukum adat)
dalam sistem hukum negara menjadi urgen untuk diterapkan. Sejarah Indonesia yang
awalnya merupakan kumpulan Kerajaan yang berbasis agama dan suku memperkuat
kebutuhan akan hal ini. Pancasila yang diperjuangkan untuk mengikat agama-agama
dan suku-suku itu harus tetap mengakui jati diri dan ciri khas yang dimiliki setiap
agama dan suku.

B. SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA

Sebagai negara yang bermayoritas penduduk agama islam, Pancasila sendiri


yang sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh agama yang
tertuang dalam sila pertama yang berbunyi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. yang
pada awalnya berbunyi “… dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi
pemeluknya” yang sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta.

Namun dua ormas Islam terbesar saat itu dan masih bertahan sampai sekarang
yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta
tersebut, karena dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan syariat
Islam diterapkan secara tidak langsung namun pasti akan menjadikan Indonesia
sebagai negara Islam dan secara “fair” hal tersebut dapat memojokkan umat
beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah dapat memicu disintegrasi bangsa
terutama bagi provinsi yang mayoritas beragama nonislam. Karena itulah sampai
detik ini bunyi sila pertama adalah “ketuhanan yang maha esa” yang berarti bahwa
Pancasila mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Islam namun
termasuk juga Kristen, Katolik, Budha dan Hindu sebagai agama resmi negara pada
saat itu.

C. BUTIR-BUTIR PANCASILA SILA PERTAMA


Atas perubahan bunyi sila pertama menjadi Ketuhanan yang Maha Esa
membuat para pemeluk agama lain di luar islam merasa puas dan merasa dihargai.

Searah dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat


dijabarkan dalam beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir
Pancasila. Diantaranya:

 Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan


Yang Maha Esa.

 Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.

 Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk


agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.

 Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan


terhadap Tuhan Yang Maha Esa

 Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

 Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah


sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing

 Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa kepada orang lain.

Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib
memeluk satu agama yang diyakini. Tidak ada pemaksaan dan saling toleransi antara
agama yang satu dengan agama yang lain.

BAB IV
BENTUK KOLABORASI PANCASILA DENGAN AGAMA

· IDEOLOGI PANCASILA SEBAGAI PILIHAN

Keberagaman agama dan pemeluk agama di Indonesia menjadi sebuah


kenyataan yang tak terbantahkan. Kenyataan ini menuntut adanya kesadaran dari
setiap pemeluk agama untuk menjaga keharmonisan hubungan di antara mereka.

Semua pemeluk agama memang harus mawas diri. Yang harus disadari adalah
bahwa mereka hidup dalam sebuah masyarakat dengan keyakinan agama yang
beragam. Dengan demikian, semestinya tak ada satu kelompok pemeluk agama yang
mau menang sendiri.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam
suku bangsa, adat istiadat hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan.
Dengan kondisi sosiokultur yang begitu heterogen dibutuhkan sebuah ideologi yang
netral namun dapat mengayomi berbagai keragaman yang ada di Indonesia.

Karena itu dipilihlah Pancasila sebagai dasar negara. Namun saat ini yang
menjadi permasalahan adalah bunyi dan butir pada sila pertama. Sedangkan sejauh
ini tidak ada pihak manapun yang secara terang-terangan menentang bunyi dan butir
pada sila kedua hingga ke lima. Namun ada ormas-ormas yang terang-terangan
menolak isi dari Pancasila tersebut.

Akibat maraknya parpol dan ormas Islam yang tidak mengakui keberadaan
Pancasila dengan menjual nama Syariat islam dapat mengakibatkan disintegrasi
bangsa. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang cinta atas keutuhan NKRI maka
banyak dari mereka yang mengatasnamakan diri mereka Islam Pancasilais, atau Islam
Nasionalis.

Konsep negara Pancasila adalah konsep negara agama-agama. Konsep negara


yang menjamin setiap pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara utuh,
penuh dan sempurna. Negara Pancasila bukanlah negara agama, bukan pula negara
sekuler apalagi negara atheis. Sebuah negara yang tidak tunduk pada salah satu
agama, tidak pula memperkenankan pemisahan negara dari agama, apalagi sampai
mengakui tidak tunduk pada agama manapun. Negara Pancasila mendorong dan
memfasilitasi semua penduduk untuk tunduk pada agamanya. Penerapan hukum-
hukum agama secara utuh dalam negara Pancasila adalah dimungkinkan. Semangat
pluralisme dan ketuhanan yang dikandung Pancasila telah siap mengadopsi
kemungkinan itu. Tak perlu ada ketakutan ataupun kecemburuan apapun, karena
hukum-hukum agama hanya berlaku pada pemeluknya. Penerapan konsep negara
agama-agama akan menghapus superioritas satu agama atas agama lainnya. Tak ada
lagi asumsi mayoritas – minoritas. Bahkan pemeluk agama dapat hidup
berdampingan secara damai dan sederajat. Adopsi hukum-hukum agama dalam
negara Pancasila akan menjamin kelestarian dasar negara Pancasila, prinsip Bhineka
Tunggal Ika dan NKRI.

Pikirkan jika suatu kebenaran, kesalahan maupun etika moral ditentukan oleh
sebuah definisi sebuah agama dalam hal ini agama Islam. Sedangkan ketika anda
terlibat didalamnya anda adalah seseorang yang memeluk agama diluar Islam!
Apakah yang anda pikirkan dan bagai mana perasaan di hati anda ketika sebuah
kebenaran dan moralitas pada hati nurani anda ditentukan oleh agama lain yang
bukan anda anut?

Sekarang di beberapa provinsi telah terjadi, dengan alasan moral dan budaya
maka diterapkanlah aturan tersebut. Sebagai contoh, kini di sebuah provinsi semua
wanita harus menggunakan jilbab. Mungkin bagi sebagian kecil orang yang tinggal di
Indonesia merupakan keindahan namun bagai mana dengan budaya yang selama ini
telah ada? Jangankan di tanah Papua, pakaian Kebaya pun artinya dilarang dipakai
olah putri daerah. Bukankah ini merupakan pengkhianatan terhadap kebinekaan
bangsa Indonesia yang begitu heterogen. Jika anda masih ragu, silakan lihat apa yang
terjadi di Saudi Arabia dengan aliran Salafy Wahabinya. Tidak ada pemilu, tidak ada
kesetaraan gender dan lihat betapa tersisihnya kaum wanita dan penganut agama
minoritas di sana. Jika memang anda cinta dengan Adat, Budaya dan Toleransi umat
beragama di Indonesia dukung dan jagalah kesucian Pancasila sebagai ideologi
pemersatu bangsa.

· KONTROVERSI PANCASILA

Sebagai dasar negara RI, Pancasila juga bukanlah perahan murni dari nilai-
nilai yang berkembang di masyarakat Indonesia. Karena ternyata, sila-sila dalam
Pancasila, sama persis dengan asas Zionisme dan Freemasonry. Seperti Monoteisme
(Ketuhanan YME), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang
adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial).
Tegasnya, Bung Karno, Yamin, dan Soepomo mengadopsi (baca: memaksakan) asas
Zionis dan Freemasonry untuk diterapkan di Indonesia.

Selain alasan di atas, agama-agama yang berlaku di Indonesia tidak hanya


Islam, tetapi ada Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, bahkan Konghucu.
Kesemua agama itu, menganut paham atau konsep bertuhan banyak, bahkan pengikut
animisme. Hanya agama Islam saja yang memiliki konsep Berketuhanan YME
(Allahu Ahad).

Pada masa pra kemerdekaan tatanan sosial masyarakat di Nusantara,


kebanyakan terdiri dari Kerajaan-kerajaan Hindu. Dari sistem monarkis seperti ini,
belum dikenal konsep musyawarah untuk mufakat; tetapi yang berlaku adalah sabda
pandita ratu. Rakyat harus tunduk dan patuh pada titah sang raja tanpa reserve.
Sekaligus, minus demokrasi, karena kedudukan raja diwarisi turun temurun. Kala itu,
tidak ada persatuan. Perpecahan, perebutan kekuasaan dan wilayah, selalu
mengundang pertumpahan darah.

Sejak awal, Pancasila agaknya tidak dimaksudkan sebagai alat pemersatu,


apalagi untuk mengakomodir ke-Bhinekaan yang menjadi ciri bangsa Indonesia.
Tetapi untuk menjegal peluang berlakunya Syari’at Islam. Para nasionalis sekuler,
terutama Non Muslim, hingga kini menjadikan Pancasila sebagai senjata ampuh
untuk menjegal Syariat Islam, meski konsep Ketuhanan yang terdapat dalam
Pancasila berbeda dengan konsep bertuhan banyak yang mereka anut. Mereka lebih
sibuk menyerimpung orang Islam yang mau menjalankan Syariat agamanya,
ketimbang dengan gigih memperjuangkan haknya dalam menjalankan ibadah dan
menerapkan ketentuan agamanya. Bagaimana toleransi bisa dibangun di atas
konstruksi filsafat yang menghasilkan anarkisme ideologi seperti ini?

Pancasila, sudah kian terbukti, cuma sekadar alat politisi busuk yang anti
Islam, namun mengatasnamakan ke-Bhinekaan. Padahal, bukan hanya Indonesia
yang masyarakatnya multietnis, multi kultural, dan multi agama. Di Amerika Serikat,
untuk mempertahankan ke-Bhinekaannya mereka tidak perlu Pancasila, begitu pun
negara jiran Malaysia. Nyatanya, mereka justru lebih maju dari Indonesia.

Kenyataan ini, betapapun pahitnya haruslah diakui secara jujur. Sayangnya,


sejumlah pejabat dan mantan pejabat di negeri ini, belum juga siuman dari mimpinya
tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana sila kedua Pancasila.
Sedang sejarah membuktikan, apa yang dilakukan rezim penguasa selama 60 tahun
Indonesia merdeka, justru penindasan terhadap kemanusiaan.

Dalam memperingati hari lahir Pancasila, 4 Juni 2006, di Bandung, muncul


sejumlah tokoh nasional berupaya memperalat isu Pancasila untuk kepentingan
zionisme. Celakanya, mereka menggunakan cara yang tidak cerdas dan manipulatif.
Dengan berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika, mereka memosisikan agama seolah-
olah perampas hak dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Segala hal yang berkaitan
dengan agama dianggap membelenggu kebebasan. Kebencian pada agama, pada
gilirannya, menyebabkan parameter kebenaran porak-poranda, kemungkaran akhlak
merajalela. Kesyirikan, aliran sesat, dan perilaku menyesatkan membawa epidemi
kerusakan dan juga bencana.

Anehnya, peristiwa bencana gempa bumi yang menewaskan lebih dari 6000
jiwa di Jogjakata, 27 Mei 2006, malah yang disalahkan Islam dan umat Islam.
Seorang paranormal mengatakan,”Bencana gempa di Jogjakarta, terjadi akibat
pendukung RUU APP yang kian anarkis.” Lalu, pembakaran kantor Bupati Tuban,
cap jempol atau silang darah di Jatim, yang dilakukan anggota PKB dan PDIP, dan
menyatroni aktivis FPI, Majelis Mujahidin, dan Hizbut Tahrir. Apakah bukan
tindakan anarkis? Jangan lupa, Bupati Bantul, Idham Samawi, yang daerahnya paling
banyak korban gempa bumi berasal dari PDIP.

Tidak itu saja. Upaya penyeragaman budaya, maupun moral atas nama
agama, juga dikritik pedas. “Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa
Indonesia harus dipertahankan. Masyarakat Indonesia beraneka ragam, sehingga
tindakan menyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan,” kata Megawati.
Penyeragaman yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Akbar
Tanjung,”Keberagaman itu tidak dirusak dengan memaksakan kehendak. Pihak yang
merongrong Bhineka, adalah kekuatan-kekuatan yang ingin menyeragamkan.”

Padahal, justru Bung Karno pula orang pertama yang mengkhianati Pancasila.
Dengan memaksakan kehendak, ia berusaha menyeragamkan ideologi, budaya, dan
seni. Ideologi NASAKOM (Nasionalisme, agama, dan komunis) dipaksakan berlaku
secara despotis. Demikian pula, seni yang boleh dipertunjukkan hanya seni gaya
Lekra. Sementara yang berjiwa keagamaan dinyatakan sebagai musuh revolusi.
Begitu pun Soeharto, berusaha menyeragamkan ideologi melalui asas tunggal
Pancasila. Hasilnya, kehancuran.

· PEMAHAMAN DAN PELANGGARAN TERHADAP PANCASILA SAAT


INI

Ideologi Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan


mengagungkan keberadaan agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga
negara Indonesia tidak perlu meragukan konsistensi atas Ideologi Pancasila terhadap
agama. Tidak perlu berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi berbasis
agama dengan alasan bahwa ideologi Pancasila bukan ideologi beragama. Ideologi
Pancasila adalah ideologi beragama.
Sesama umat beragama seharusnya kita saling tolong menolong. Tidak perlu
melakukan permusuhan ataupun diskriminasi terhadap umat yang berbeda agama,
berbeda keyakinan maupun berbeda adat istiadat.

Hanya karena merasa berasal dari agama mayoritas tidak seharusnya kita
merendahkan umat yang berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara
langsung dan tidak langsung memaksakan aturan agama yang dianut atau standar
agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih moralitas.

Hendaknya kita tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk


dijadikan tolak ukur nilai moralitas bangsa Indonesia. Sesungguhnya tidak ada agama
yang salah dan mengajarkan permusuhan.

Agama yang diakui di Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha
dan Hindu.

Sebuah kesalahan fatal bila menjadikan salah satu agama sebagai standar
tolak ukur benar salah dan moralitas bangsa. Karena akan terjadi chaos dan timbul
gesekan antar agama. kalaupun penggunaan dasar agama haruslah mengakomodir
standar dari Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu bukan berdasarkan salah satu
agama entah agama mayoritas ataupun minoritas.
BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

· KESIMPULAN

Berdasarkan latar belakang, pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai


berikut:

Pancasila adalah ideologi yang sangat baik untuk diterapkan di negara Indonesia
yang terdiri dari berbagai macam agama, suku, ras dan bahasa. Sehingga jika
ideologi Pancasila diganti oleh ideologi yang berlatar belakang agama, akan
terjadi ketidaknyamanan bagi rakyat yang memeluk agama di luar agama yang
dijadikan ideologi negara tersebut.

Dengan mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara, jika


melaksanakannya dengan baik, maka perwujudan untuk menuju negara yang
aman dan sejahtera pasti akan terwujud.

· IMPLIKASI

Untuk semakin memperkokoh rasa bangga terhadap Pancasila, maka perlu


adanya peningkatan pengamalan butir-butir Pancasila khususnya sila ke-1. Salah
satunya dengan saling menghargai antar umat beragama.

Untuk menjadi sebuah negara Pancasila yang nyaman bagi rakyatnya, diperlukan
adanya jaminan keamanan dan kesejahteraan setiap masyarakat yang ada di
dalamnya. Khususnya jaminan keamanan dalam melaksanakan kegiatan
beribadah.

· SARAN

Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan agama,


diperlukan usaha yang cukup keras. Salah satunya kita harus memiliki rasa
nasionalisme yang tinggi. Selain itu, kita juga harus mempunyai kemauan yang keras
guna mewujudkan negara Indonesia yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap
orang yang berada di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Agama. Jakarta: PT. Gramedia.

Nopirin. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta:

Pancoran Tujuh.

Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila dengan

Kelangsungan Agama, Cet. 8. Jakarta: Pantjoran Tujuh.

Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta

Sumber Lain :

http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/filsafat/index.htm

http:// www.google.co.id

http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/artikel_148.htm

http:// www.teoma.com

http:// www.kumpulblogger.com

 Education Link
o Geology.com
o Harun Yahya
o Karangsambung
o Wikipedia Indonesia
 Group Link
o Group Banjar
o Milis Geo Unsoed 2007
o Seneby WS
o Seneby Zone Blog
o Tim Olimpiade Kota Banjar
 Organization Link
o Badan Geologi ESDM
o ESDM
o IAGI
o IKAPPI SMAN SABAN
o Indonesian Institute of Sciences
o IRM-MU SMAN SABAN
 Other Link
o Earthquake Hazards Program
o Google Indonesia
o Login for G-Mail
o Login for Yahoo Mail
 Personal Link
o Astrophisycs man from UPI
o Dongeng Geologi
o Geosonearth Zone
o My Friendster
o Pay’s Blog
o Wong Jawa Unsoed
 School Link
o Geology ITB
o SMAN 1 Banjar
o UNSOED University

Blog pada WordPress.com. Theme: Digg 3 Column by WP Designer


GENDER AND DEVELOPMENT
JAYAWIJAYA WATCH PROJECT

Oleh Tim Community & Gender Development


Susana Srini
Viktor Malisa
Marta Kombong
Agustinus Tekege
Tius Kogoya
DAFTAR ISI

1.Latar Belakang 
1.1.Mengapa jender menjadi perhatian dalam proyek WATCH? 
1.2.Analisis Jender 
1.3.Analisis Situasi Jender di Jayawijaya 
1.4.Identifikasi masalah 

2.Intervensi Proyek 
2.1.Strategi pengembangan: dari WID ke GAD 
2.2.Intervensi: 
2.2.1.Pendampingan kelompok pengembangan masyarakat 
2.2.2.Pengembangan modul 
2.2.3.Pelatihan 
2.2.4.Pelembagaan 
2.3.Monitoring & Evaluasi 

3.Hasil Kegiatan 

4.Kesimpulan dan diskusi 

5.Lampiran: 
5.1.Laporan konsultasi dengan Program Studi Pembangunan UKSW Salatiga 
5.2.Program LEISA 
5.3.Staff’s experience in the field 
BAB I
LATAR BELAKANG
1.1.Mengapa Jender Menjadi Perhatian dalam proyek WATCH? 
Badan Kesehatan Sedunia (WHO) telah lama mengkampanyekan perubahan strategi 
dari upaya pemeliharaan kesehatan (health services) ke kampanye untuk memerangi 
kemiskinan, sebagai strategi untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat miskin 
sedunia. Upaya kesehatan selektif dinilai tidak dapat meningkatkan status kesehatan 
masyarakat secara utuh. (Price, 1994). 
Upaya peningkatan kesehatan di Indonesia termasuk di kabupaten Jayawijaya 
dilakukan melalui kegiatan puskesmas­posyandu dengan perhatian penuh pada Upaya 
Kesehatan Pratama (UKP) yang selektif. Upaya ini memang berhasil menurunkan angka 
kematian, namun di sisi lain angka kekurangan gizi pada ibu dan anak terus meningkat. 
Sebagai contoh di Puskesmas Tiom, UKP selektif yang diterapkan selama lebih dari satu 
dekade (1975­1990) berhasil menurunkan angka kematian balita dari 250/1000 kelahiran 
hidup menjadi 90/1000 kelahiran hidup. Namun bersamaan dengan keberhasilan tersebut 
angka kekurangan gizi pada ibu dan anak meningkat dari sekitar 40% menjadi 80% 
untuk 
ibu dan 60% untuk anak­anak (Handali, 1989). Hal itu terjadi karena UKP selektif tidak 
menyentuh akar persoalan di masyarakat yang menyebabkan ibu dan anak kurus, kurang 
gizi dan rentan terhadap penyakit. Lebih lanjut Handali menyatakan bahwa pendekatan 
UKP selektif berhasil mempertahankan anak­anak yang harusnya meninggal, namun 
pada 
saat yang bersamaan pendekatan ini tidak mampu menawarkan alternatif bagaimana 
memberikan makan mulut­ mulut yang dipertahankan tersebut. Artinya untuk 

meningkatkan derajad kesehatan masyarakat tidaklah cukup hanya berbicara tentang 
masalah kesehatan saja. Hal ini didukung oleh beberapa hasil studi yang menemukan 
bahwa besarnya prosentase angka kesakitan di negara­negara berkembang dipengaruhi 
oleh kondisi sosial­ekonomi. Faktor­ faktor yang mempengaruhi kesakitan seseorang 
tersebut adalah (Zaidi, 1988) : 
D = f ( W, S, H, E, N, S x , Hf ) 
D = disease of an individual or family 
W = water 
S = sanitation 
H = housing 
E = education 
N = nutrition 
Sx = sex difference 
Hf = access to health facilities 

Melihat hal­ hal di atas jelas bahwa status kesehatan sangat dipengaruhi oleh 
banyak hal. Untuk itu proyek berusaha untuk menerapkan pendekatan yang lebih 
komprehensif, dimana dalam upaya­upaya kesehatan dicoba mengintegrasikan upaya ­
upaya pemberantasan kemiskinan­kesehatan dan jender. 
Sex difference (sebagai salah satu implikasi dari jender) menjadi salah satu faktor 
yang berpengaruh terhadap status kesehatan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian pada 
orang­orang Wopkaimin di daerah pegunungan di perbatasan antara PNG dan Irian Jaya 
(Hyndman, 1989) yang menyatakan bahwa gender patterns menyebabkan kekurangan 
gizi yang sestematik di antara kaum prempuan dewasa sebab perempuan memakan lebih 
sedikit, lebih jarang dan kualitas makanan yang lebih rendah dibanding dengan laki­ laki.
Penemuan ini juga didukung oleh hasil penelitian serupa pada Suku Dani di Kabupaten 

Women and Their Children Health Project di Jayawijaya, cooperation program between
Government of
Indonesia C/q Health Departement – Government of Australia c/q AusAid – World 
Vision Australia in 
partnership with World Vision International Indonesia. 
Jayawijaya bahwa sex difference telah menyebabkan terjadinya perbedaan dalam akses 
terhadap kuantitas dan kualitas makanan (Lavelink, 1991). 
Pembedaan jender berdampak terhadap pembedaan dalam distribusi kekuasaan 
antara laki­ laki dan perempuan, hal ini selanjutnya berkaitan dengan distribusi 
kekuasaan 
dalam akses dan kontrol terhadap pendapatan. Hampir di banyak negara dan di berbagai 
strata sosial, perempuan mengontrol lebih sedikit aset produktif dibanding dengan laki­
laki, meskipun perempuan sebenarnya menghasilkan 40 hingga 100% kebutuhan dasar 
keluarga. Kurangnya kontrol perempuan terhadap sumber daya sangat berpengaruh 
terhadap kondisi kesehatan dan gizi keluarga terutama perempuan dan anaknya 
(Jacobson, 1989). Di samping itu dalam mengatasi kondisi kritis, karena posisinya 
perempuan mengatasinya dengan cara menempatkan kepentingannya pada urutan yang 
terakhir. Bila dalam suatu komunitas masyarakat terjadi kelangkaan sumber daya, berarti 
akan semakin banyak perempuan yang harus mengorbankan kesehatannya (Jacobson, 
1989). 
Kenyataan­kenyataan di atas memberi petunjuk bahwa kita perlu merubah 
orientasi pendekatan kesehatan dari UKP selektif ke upaya ­upaya yang lebih 
komprehensif dengan memperhatikan berbagai akar persoalan yang menyebabkan 
rendahnya status kesehatan. Model pelayanan kesehatan yang komprehensif bekerja dari 
akar masalah yang menyebabkan rendahnya status kesehatan. Dan model pelayanan 
tersebut akan berhasil bila menggunakan pendekatan yang tidak hanya mengandalkan 
pada penyediaan teknologi dan pelayanan tetapi juga mengupayakan proses pendidikan 
dan penyadaran terhadap masyarakat agar dapat memiliki dan menggunakan demand 
untuk mengakses pelayanan kesehatan (Handali, 1994). 
Diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi dan pembagian kerja yang kurang 
adil menjadi salah satu akar persoalan masalah kesehatan. Oleh karena itu upaya 
peningkatan kapasitas perempuan harus menjadi salah satu bagian dalam upaya 
pengembangan termasuk pengembangan dalam bidang kesehatan. Memperhatikan status 
perempuan dalam proses pengembangan menjadi hal yang amat penting. Hal ini 
didukung oleh rekomendasi dari UNDP dalam Regional Development Planning for Irian
Jaya: Antropology Sector Report pada tahun 1987 yang menyatakan: Peran perempuan 
perlu menjadi perhatian khusus dalam proses pembangunan. Program pembangunan akan
berhasil bila berhasil meningkatkan posisi perempuan dalam masyarakat. 
Tujuan utama dari proyek WATCH adalah untuk menemukan model pelayanan 
kesehatan ibu dan anak yang tepat untuk daerah pegunungan. Dengan memperhatikan 
kenyataan­kenyataan di atas maka proyek mencoba untuk memberikan perhatian pada 
pemecahan issu jender dalam program­program pengembangan yang akan dilakukannya.

1.2.Analisis Jender 
Catatan: Sabagai dasar untuk memahami konsep dan analisis tentang jender maka 
diadakan beberapa 
telaah pustaka yang bisa diakses pada waktu itu. Konsep­konsep itulah yang akhirnya 
mendasari kegiatan 
analisis dan studi awal tentang situasi relasi jender di Jayawijaya dan penentuan 
program pengembangan 
yang akan dilakukan selanjutnya. Konsep­konsep atau pemahaman tentang situasi 
jender tersebut dalam 
perjalanan proyek direview melalui berbagai proses konsultasi dengan berbagai nara 
sumber dan buku­
buku atau referensi yang ada. 

Apa itu Jender? 
Jender adalah sekumpulan nilai atau ketentuan yang membedakan identitas sosial 
laki­ laki dan perempuan, serta apa yang harus dilakukan oleh perempuan dan apa yang 
harus dilaukan oleh laki­ laki dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya baik dalam 
kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa ( Brett, 1991). Jender adalah suatu ciri yang 
melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial 
maupun 
kultural (Faqih, 1996). Nilai­ nilai atau ketentuan jender di atas bisa berbeda­beda pada 
kelas atau kelompok sosial yang berbeda, misalnya ketentuan jender pada kelompok 
etnis 
tertentu akan berbeda dengan kelompok etnis yang lainnya, ketentuan jender pada 
kelompok kaya bisa berbeda dengan ketentuan jender pada kelompok miskin dan 
lainnya. 
Selain berbeda menurut kelompok kelas dan etnis, ketentuan jender juga bisa berubah­
ubah dari waktu ke waktu, tergantung pada perubahan sosial yang terjadi dalam 
masyarakat, dengan demikian jender bersifat relatif. Berbeda dengan pengertian jenis 
kelamin (sex), yang adalah merupakan kategori biologis perempuan atau laki­laki, dan ini
menyangkut sejumlah kromosom, pola genetik dan struktur genital yang unik masing­
masing jenis. Jenis kelamin merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir, sering dikatakan
sebagai ketentuan dari Tuhan atau kodrat, sehingga hal ini tidak bisa dirubah atau 
dipertukarkan satu dengan yang lainnya (Ihromi, 1997). 

Sejarah pembedaan jender antara laki­ laki dan perempuan terbentuk melalui 
proses yang panjang, melalui proses sosialisasi, diperkuat dan dilembagakan baik secara 
sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan dan bahkan melalui peraturan­peraturan 
negara. Sehingga sering dianggap bahwa ketentuan jender tersebut merupakan ketentuan 
yang tidak dapat dirubah karena dianggap sebagai ketentuan yang sudah sewajarnya. 
Implikasi Jender 
Pembedaan secara jender sebenarnya tidak menjadi masalah selama tidak 
menimbulkan persoalan­persoalan. Namun yang menjadi masalah ternyata pembedaan 
jender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki­ laki dan (terutama) 
bagi kaum perempuan. Bentuk ketidakadilan dan penindasan tersebut antara lain berupa 
subordinasi, diskriminasi, marjinalisasi, kekerasan, pelebelan negatif serta beban kerja 
yang berat sebelah (Faqih, 1996). Manifestasi dari ketidakadilan jender tersebut 
membawa akibat terhadap timbulnya berbagai masalah dalam kehidupan, seperti: 
kemiskinan, status kesehatan & gizi, angka kematian ibu dan anak yang tinggi (Jacobson,
1997). 
Pesrsoalan jender adalah persoalan hubungan laki­ laki dan perempuan, suatu 
hubungan dimana dalam banyak kasus perempuan secara sistematis disubordinasikan. 
Jender menjadi persoalan ketika nilai­ nilai yang terkandung dalam ketentuan jender 
tersebut menghambat seseorang untuk mempunyai akses dan kontrol terhadap sumber 
daya dan hasil­ hasilnya. Dominasi ekonomi laki­ laki yang merupakan terjemahan dari 
‘kekuasaan laki­ laki’, telah menggiring perempuan ke dalam kedudukannya sebagai 
orang kedua yang kurang begitu penting dibandingkan dengan laki­ laki. Dalam sebagian
besar masyarakat anggapan laki­laki sebagai pencari nafkah utama atau laki­laki sebagai 

pekerja produktif sangat dominan meskipun kenyataannya tidak demikian. Laki­ laki 
senantiasa beranggapan bahwa dalam keluarga mereka memegang peran sebagai 
penghasil pendapatan utama dan penentu segala keputusan. Hal ini tetap berlangsung 
meskipun dalam keadaan dimana pengangguran laki­ laki tinggi dan kerja produktif 
perempuan sesungguhnya memberikan penghasilan utama. Subordinasi terhadap 
perempuan sering menempatkan perempuan pada situasi yang tidak menguntungkan, 
seperti perempuan tidak mempunyai posisi untuk mengambil keputusan. 
Pembagian tugas secara seksual juga merupakan salah satu implikasi ketentuan 
jender dalam masyarakat. Ada pekerjaan­pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan 
perempuan dan ada pekerjaan­pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan laki­ laki. 
Perempuan sering dikaitkan dengan pekerjaan­pekerjaan di dalam rumah tangga 
(domestik), sedangkan laki­ laki lebih banyak dikaitkan dengan pekerjaan­pekerjaan di 
luar rumah (publik). Berdasarkan pembagian ruang yang berbeda dimana dunia laki­ laki 
bersifat publik sedangkan dunia perempuan bersifat pribadi, maka dalam menjalankan 
aktifitas kemasyarakatanpun berbeda. Laki­laki memiliki peran memimpin dan 
menentukan kebijakan­kebijakan sedangkan peran perempuan dalam komunitas lebih 
banyak merupakan perluasan dari kehidupan domestik mereka. Perempuan menjadi 
tergantung dan ruang geraknya terbatas. 
Ketentuan jender juga berkaitan dengan peran rangkap tiga perempuan (triple 
role). Dalam kebanyakan rumah tangga berpenghasilan rendah, pekerjaan perempuan 
tidak hanya terdiri dari kegiatan yang bersifat reproduksi, tetapi juga kegiatan produktif 
yang sering menjadi sumber penghasilan. Kerja perempuan di daerah pedesaan biasanya 
dalam bentuk kerja pertanian, sementara di kota­kota sering bekerja dalam sektor 

informal (buruh). Selain itu perempuan juga terlibat dalam pengelolaan kegiatan 
komunitas atau kegiatan yang berlangsung di daerah pemukiman setempat. Di samping 
itu juga dalam proses perencanaan pembangunan, peran rangkap tiga perempuan kurang 
diperhatikan. Perempuan pedesaan menghasilkan 60­80% produk pertanian tetapi bila 
ada pelatihan­pelatihan pertanian, laki­ lakilah yang dilibatkan dalam pelatihan tersebut. 
Sebenarnya memang banyak pelatihan yang ditujukan untuk kum perempuan, tetapi 
pelatihan­pelatihan tersebut lebih banyak untuk menunjang peran domestik perempuan 
(proses domestikasi) dan kadang malah semakin melembagakan idiologi jender. 
Selain itu dalam proses pembangunan, perempuan sering dirugikan, sebagai 
contoh dalam program pemantapan IMF (Dana Moneter Internasional) dan program 
penyesuaian struktural World Bank yang katanya gender neutral ternyata merugikan 
perempuan (dengan program penghapusan subsidi bagi sektor konsumtif seperti 
kesehatan, pendidikan dan harga bahan pangan yang diatur oleh pasar) malah membuat 
perempuan harus bekerja lebih keras, kehilangan waktu untuk diri dan anak­anaknya 
serta mengakibatkan kondisi kesehatan yang semakin menurun (Moser, 1989) 
Ketentuan­ketentuan di atas secara turun­temurun diwariskan dan dihayati serta 
menyatu dalam struktur kemasyarakatan. Keadaan tersebut semakin diperkuat karena 
dalam perkembangan selanjutnya peran dan kedudukan laki­ laki dan perempuan tersebut
dilembagakan melalui proses sosialisasi baik melalui pendidikan formal, informal 
maupun non formal. 

Kerangka Analisis Jender 
Untuk mempelajari situasi jender dalam suatu masyarakat dan merumuskan 
program­program pengembangan yang memperhatikan isu­isu jender perlu diadakan 
analisis jender. Analisis jender ini membantu kita untuk mensistematisasikan 
pengalaman 
hubungan/relasi laki­ laki dan perempuan dalam suatu masyarakat dan implikasinya bagi 
kehidupan laki­ laki dan perempuan serta kehidupan masyarakat pada umumnya. Salah 
satu model alat analisis yang biasa digunakan adalah Harvard Model. 
Kerangka analisis ini dikembangkan oleh Harvard Institute of International 
Development. Unsur­ unsur yang dianalisis dalam model atau kerangka analisis ini 
meliputi: analisis profil peran laki­ laki dan perempuan, profil akses & kontrol terhadap 
sumber daya, analisis faktor penyebab terjadinya situasi jender yang ada, analisis dampak
situasi jender dan analisis program pengembangan yang berwawasan jender. 
Profil peran laki­ laki dan perempuan digunakan untuk melihat: siapa yang melakukan 
peran produktif, reproduktif dan kemasyarakatan; kapan dan dimana kegiatan dilakukan, 
alokasi waktu yang diperlukan untuk masing­ masing kegiatan dan pendapatan yang 
dihasilkan melalui keiatan tersebut. Analisis pembagian kerja laki­ laki dan perempuan 
diperlukan untuk mengidentifikasikan: (1). Kegiatan apa saja yang memiliki potensi 
untuk dikaitkan dengan program pengembangan yang akan dilakukan. (2). Kapasitas 
waktu yang dimiliki laki­ laki dan perempuan untuk dilibatkan dalam kegiatan 
pengembangan. (3). Ketidakseimbangan beban kerja laki­laki dan perempuan. (4). 
Ketidakseimbangan hak laki­ laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan. 
Analisis 
profil perempuan dan laki­laki dalam kegiatan sosial/kemasyarakatan digunakan untuk 
melihat: hirarki wewenang yang ada di suatu desa/kelompok masyarakat, 

ketidakseimbangan peran dalam lembaga­lembaga yang ada, alasan keterbatasan peran 
salam satu pihak dalam lembaga­lembaga tersebut dan di lembaga mana peran 
perempuan perlu diperkuat/ditingkatkan. 
Analisis profil akses dan kontrol terhadap sumber daya yang ada dapat digunakan 
untuk melihat siapa yang memiliki peluang dan penguasaan terhadap: (1). Sumber daya 
fisik seperti: tanah, hutan, modal, peralatan, rumah dan lain­ lain, (2). Sumber daya non 
fisik seperti: pendidikan, latihan, informasi, jasa­jasa pelayanan dan lain­ lain. Analisis 
akses dan kontrol terhadap sumber daya membantu kita dalam mengidentifikasi: 
ketidakseimbangan peluang dan penguasaan sumber daya yang ada, akses dan kontrol 
pihak mana yang perlu ditingkatkan melalui kegiatan pengembangan dan potensi yang 
dapat digunakan untuk meningkatkan akses dan kontrol bagi pihak yang masih perlu 
ditingkatkan. 
Analisis faktor­faktor penyebab (yang mempengaruhi) terbentuknya situasi jender 
berguna untuk mengidentifikasi faktor­ faktor pengaruh/penyebab yang dapat 
dipengaruhi secara langsung melalui kegiatan proyek dan berguna untuk menyusun 
asumsi yang akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan proyek. 
Analisis pengaruh situasi jender terhadap berbagai masalah yang timbul dalam 
masyarakat berguna untuk mengidentifikasi sejauhmana situasi jender tersebut membawa
pengaruh terhadap masalah yang timbul dalam masyarakat dan akan berguna untuk 
menyusun strategi kegiatan pengembangan yang akan dilakukan. 
Ada referensi yang menyatakan bahwa model Harvard tidak menyediakan 
framework yang analitik untuk melihat dimensi politik dan ideologi dari pengembangan 
perempuan. Model tersebut lebih terbatas pada analisis input­output ekonomi yang 

sederhana: The model has no theoretical capacity for analysing women’s development at
the level of inequality, discrimination and oppresion (Clarke, 1991). Untuk itu dalam 
analisis program dan evaluasi akan dilengkapi dengan analisis WEEF (Women Equality 
and Empowerment Framework ). Kerangka dasar model analisis WEEF adalah sebagai 
berikut: 
Level of Women’s Equality and Empowerment 
Project 
Objective 
Welfare 
Access 
Conscientisation Participation 
Control 
Objective 1 
Objective 2
Etc. 
Level­ level pemberdayaan tersebut bersifat dynamic dan synergistic relationship 
(Longwe, 1991). Welfare berkaitan dengan kesejahteraan material dari perempuan, 
seperti distribusi makanan, status gizi dan income. Dalam hal ini Gender gap akan 
tercermin antara lain dalam perbedaan kondisi status gizi dan keseha tan antara 
perempuan dan laki­laki. Proyek­proyek yang mengutamakan pencapaian welfare 
menjadikan perempuan sebagai penerima manfaat yang pasif atau kurang melibatkan 
perempuan dalam program­programnya. 
Akses: gender gap dalam level ini akan tercermin dari perbedaan akses antara 
laki­ laki dan perempuan terhadap sumber­sumber daya yang ada. Kurangnya akses 
perempuan terhadap sumber­sumber yang ada akan berpengaruh terhadap kesejahteraan 
perempuan dan anak­anaknya. 
Level pemberdayaan berikutnya adalah kesadaran kritis. Hal ini berkaitan dengan 
kesadaran bahwa gender adalah sosial construct yang telah menimbulkan berbagai 
pembedaan dan ketidakadilan. Karena konstruksi sosial hal ini bisa dirunah bila dirasa 
merugikan. Kesadaran tentang hal ini akan mengarahkan pada upaya­ upaya 
pemberdayaan perempuan selanjutnya. 

Level pemberdayaan selanjutnya adalah partisipasi. Haal ini berkaitan dengan 
kenyataan bahwa dalam banyak kasus perempuan kurang mempunyai kesempatan untuk 
berpartisipasi dalam kegiatan­kegiatan pemb angunan maupun dalam lembaga­ lembaga 
penentu kebijakan. Upaya­upaya jender diharapkan dapat mengantar perempuan untuk 
dapat berpartisipasi dalam setiap kegiatan. 
Kontrol merupakan level pemberdayaan tertinggi. Level ini bisa dicapai bila 
keempat level di bawahnya telah tersentuh, karena tiap­tiap level saling mendukung dan 
memfasilitasi pada pencapaian level berikutnya. Kontrol adalah manifestasi dari 
keseimbangan ralasi kekuasaan laki­ laki dan perempuan (Longwe, at al, 1991). 
Kegiatan 
praktis dan strategis jender diharapkan dapat memfasilitasi perempuan memiliki fungsi 
‘kontrol’. Kontrol dapat dicerminkan dari hak­hak perempuan untuk dapat mengambil 
keputusan sendiri. 

1.3. Identifikasi persoalan jender di Jayawijaya 
Jender yang adalah konstruksi sosial telah menyebabkan timbulnya ketidakadilan 
seperti diskriminasi, subordinasi, peminggiran dan pembagian peran jender yang 
cenderung berat sebelah. Berdasarkan analisis jender dengan alat analisis di atas dapat 
digambarkan persoalan­persoalan jender di Jayawijaya sebagai berikut: 
1. Pembagian peran jender 
Pada saat ini ditemukan bahwa pada masyarakat di wilayah ini terdapat pembagian 
peran jender yang kurang seimbang. Dari berbagai sumber diketahui bahwa pada 
jaman dulu (sebelum ada kontak dengan dunia luar) pembagian peran jender di 
masyarakat relatif seimbang, walaupun hal yang berkaitan dengan hak dan kontrol, 
perempuan berada pada posisi kedua dan hal ini juga terjadi di mana saja di dunia ini. 
Perubahan­perubahan dalam hal agama, politik, ekonomi dan teknologi di daerah 
tersebut membawa perubahan terhadap peran­peran laki­ laki dan perempuan terutama 
berkaitan dengan pekerjaan­pekerjaan. Perubahan­perubahan tersebut di satu sisi 
meningkatkan beban pekerjaan perempuan namun di sisi yang lain mengurangi peran­
peran laki­ laki. Beban kerja perempuan bertambah karena dia harus bertanggung 
jawab terhadap peran­peran tradisionalnya (seperti mengurus kebun, makanan, ternak, 
pemeliharaan keluarga) dan di tambah dengan peran­peran baru akibat perubahan 
tersebut seperti mencari uang untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang ditawarkan 
oleh ekonomi pasar, mengikuti kegiatan posyandu, kegiatan PKK dan lain­ lainnya. 
Belum lagi tenaga kerja juga berkurang kalau dulu ibu­ ibu dibantu oleh anak­
anaknya, sekarang tidak karena anaknya pergi ke sekolah. Sementara itu laki­ laki 
dikataakan kehilangan sebagian besar peran pentingnya seperti mengurus benda­
benda adat, ‘politik’ dan beberpa pekerjaannya dibantu dipermudah dengan hadirnya 
teknologi dari besi. Susanto (1989) menyatakan bahwa laki­ laki berada pada tahap 
mempertanyakan keberadaan dirinya (mau melakukan apa karena pada saat 
perubahan tersebut banyak hal yang dilarang/tidak boleh dilakukan). Dapat dikatakan 
bahwa perempuan berbeban berat, sementara laki­ laki kehilangan beberapa peran 
pentingnya. Dan pada saat yang bersamaan juga, ada nilai adat/budaya yang tidak 
memungkin terjadinya sharing pekerjaan/peranan yang selama ini telah terlanjur 
dianggap sebagai tanggung jawab perempuan. 
2. Pola pengambilan keputusan 
Pola pengambilan keputusan dapat digambarkan dalam tabel berikut: 
Keputusan 
Lak

i­laki 
Perempuan 
BIDANG EKONOMI (produktif):
Menentukan kebun yang mau dibuka
xx
Mengundang orang kerja
xx
x
Membeli alat-alat kerja
xx
x
Mencari bibit tanaman (ubi)
xx
Mencari tanaman cash crop
xx
x
Menanam
x
xx
Memelihara tanaman
x
xx
Panen tanaman pokok (ubi)
x
xx
Panen tanaman cash crop
xx
x
Pasca panen
xx
x
Menjual
xx
x
Menggunakan uang
xx
x
Memelihara ternak
xx
x
Menjual ternak
xx
x
Menyumbangkan ternak
xx
x
Membeli ternak
xx
x
Membeli alat dapur
x
xx
Membeli pakaian
xx
x
Membeli makanan
x
x
Membayar untuk berobat
xx
x
Membayar mas kawin
xx
x
Menyumbang gereja
xx
x
Membayar sekolah
xx
x
PEMELIHARAAN KELUARGA (Reproduktif):
Merawat kehamilan
xx
x
Meminta pertolongan pada saat kelahiran
xx
x
Merawat anak
x
xx
Membwa anak berobat
xx
x
Menyekolahkan anak
xx
x
Perkawinan anak
xx
x
Membantu keluarga
xx
x
Perawatan keluarga sakit
x
xx
KEMASYARAKATAN:
Mengikuti kegiatan di luar rumah
xx
x
Membina relasi dengan saudara
xx
x
Menyelenggarakan pesta (acara-acara adat, gereja)
xx
x
Kelompok tani
xx
x
Pelatihan
xx
x
Gotong royong
xx
x
Urus masalah
xx
x
Berhubungan dengan pemerintah atau lembaga-lembaga yang ada
xx
x
Catatan:

laki­laki dan perempuan dalam hal ini tidak terbatas pada suami dan istri tetapi juga 
kaum kerabat 
yang lain misalnya om, orang tua, dll. 

XX= dominan X=hanya pengikut
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa dalam pola pengambilan keputusan, hampir 
semua 
keputusan penting didominasi oleh laki­ laki. Pola pengambilan keputusan ini 
mempengaruhi akses dan kontrol terhadap sumber­sumber daya yang ada. Dari pola 
tersebut dapat diketahui bahwa akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya 
masih 
cukup rendah. Akses dan kontrol perempuan dibatasi pada hal­hal yang berkaitan dengan
pangan dan pemeliharaan. Hal ini sesuai dengan peran jender yang telah ditetapkan oleh 
masyarakat dimana perempuan diberikan ruang pada hal­ hal yang bersifat domestik 
sedangkan laki­ laki pada sektor publik. 
3. Persoalan­persoalan di atas berdampak pada timbulnya berbagai persoalan lain dalam 
masyarakat seperti status kesehatan & gizi ibu dan anak yang buruk, tingkat pendapatan, 
akses perempuan terhadap pendidikan dan berbagai konflik yang terjadi dalam 
masyarakat. 
BAB II
INTERVENSI PROYEK
1. Strategi Pengembangan: dari WID ke GAD 
Dalam Project Implementation Document (PID) yang pertama, dicanangkan bahwa 
program pengembangan perempuan yang akan diterapkan adalah Women in 
Development, dimana yang akan menjadi fokus perhatian dalam pendekatan 
pengembangan ini adalah perempuan. Hal ini dilandasi oleh pemahaman dasar bahwa 
peranan perempuan belum dipertimbangkan dalam proses pembangunan, perempuan 
memiliki akses yang kurang terhadap sumber daya, masalah dan kebutuhan perempuan 
adalah masalah yang khusus dan perempuan adalah kelompok yang sangat memerlukan. 
Penerapan pendekatan ini juga dilandasi oleh rekomendasi­rekomendasi hasil penelitian 
sebelumnya seperti rekomendasi dari UNDP dalam Regional Development Planning for 
Irian Jaya: Antropology Sector Report pada tahun 1987 yang menyatakan: 
Peran perempuan perlu menjadi perhatian khusus dalam proses pembangunan 
karena ada dua alasan: 
1. Posisi perempuan dalam masyarakat menjadi perhatian dunia luas dan hal ini 
masih terabaikan dalam pembangunan di Irian Jaya. Perempuan adalah 
‘pembina rumah tangga’ dengan tanggung jawab utama memelihara anak. Ini 
adalah tugas yang amat penting. 
2. Perempuan mewakili 50% kekuatan kerja yang potensial dan memiliki 
kapasitas yang besar untuk berkontribusi dalam upaya­upaya pemecahan issu 
pembangunan pada level yang lebih tinggi. 
Selanjutnya ditegaskan bahwa program pembangunan akan berhasil bila berhasil 
meningkatkan posisi perempuan dalam masyarakat. 
Hal tersebut juga didukung oleh rekomendasi serupa (Davidson, 1990) dalam 
tulisannya yang berjudul Manusia Irian, menyatakan bahwa bila perhatian terhadap kaum
perempuan dimasukkan dalam pendekatan pengembangan masyarakat maka hasil 
kegiatan akan membawa dampak terhadap meningkatnya status kesehatan dan gizi Ibu &
anak di Lembah Balim. 
Setelah diadakan kajian tentang relasi jender, review konsultan
dan hasil konsultasi dengan beberapa lembaga seperti konsultasi dengan Program Study 
Pengembangan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
3 OXFAM
4 dan kajian dari beberapa literatur yang tersedia maka dapat diperoleh pemahaman 
bahwa persoalan 
perempuan di Jayawijaya bukan semata­mata merupakan persoalan perempuan 
(persoalan perempuan secara terisolasi) tetapi lebih merupakan persoalan berkaitan 
dengan relasi perempuan dan laki­ laki. Sehingga pendekatan pengembangan yang hanya
berfokus pada pengembangan perempuan akan kurang menunjang upaya­ upaya 
peningkatan status kesehatan perempuan dan anak­anaknya (status kesehatan 
masyarakat), karena status kesehatan & gizi perempuan dan anak ada kaitannya dengan 
persoalan relasi antara perempuan dan laki­ laki. Berkaitan dengan hal tersebut 
dipandang 
perlu untuk melakukan suatu perubahan strategi pengembangan yang lebih mengarah 
pada upaya pendekatan kepada kedua belah pihak dan pendekatan pengembangan yang 
tidak hanya berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan status ekonomi
tetapi lebih pada proses pemberdayaan dan penguatan (empowering). Perlunya 
perubahan 
strategi ini didukung oleh beberapa pendapat seperti (Clarke and Assosiates for UNICEF 
staff training) yang menyatakan: Women in development is not and should not be 
concerned with equality or even with equity issues. Pendekatan WID lebih dekat dengan 
tipe pengembangan proyek yang memiliki tujuan untuk peningkatan kesejahteraan dan 
Review proyek tahap 1 oleh Micael Deebly (1994)
Konsultasi dilakukan dengan Arief Budiman, George Adit jondro dan Ariel Heryanto,
1994 (lihat lampiran
hasil konsultasi) 

Economoic self­reliance. Pendekatan ini lebih memiliki perhatian terhadap persoalan­
persoalan perempuan seperti: kemiskinan perempuan, persoalan perempuan yang khusus,
status sosial ekonomi yang rendah karena perempuan kurang memiliki ketrampilan dan 
akses terhadap teknologi, serta pekerjaan perempuan di sektor produktif kurang 
mendapat 
penghargaan. Program­program yang dilakukan untuk mengatasi persoalan­persoalan 
tersebut anatara lain program pelayanan kesehatan, gizi, pemeliharaan anak, peningkatan 
ketrampilan perempuan, mendukung usaha­usaha perempuan dan lain­ lain. Kedua 
pendekatan ini akan melahirkan proyek atau program­program khusus untuk perempuan. 
Bedanya dalam pendekatan proyek yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan 
(welfare) perempuan sebagai penerima manfaat yang pasif, sedangkan dalam Economic 
self­reliance perempuan sebagai penerima manfaat telah dilibatkan dalam kegiatan­
kegiatan proyek untuk mengatasi persoalan mereka sendiri. 
Mengingat kenyataan bahwa pengembangan perempuan tidak terlepas dari 
perubahan individu laki­ laki (hasil konsultasi dengan Arief Budiman) dan kegiatan­
kegiatan yang berfokus pada perempuan tak jarang malah menambah beban perempuan 
dan terkadang malah memperkuat proses domestikasi ( Lokobal, 1993; Faqih, 1996 
), maka diperlukan pendekatan pengembangan yang memperhatikan isu­ isu jender, 
pendekatan pengembangan yang memperhatikan hubungan sosial antara laki­ laki dan 
perempuan. Hal ini diperkuat oleh beberapa pendapat lain seperti (Lokobal, 1993) yang 
menyatakan bahwa pada saat ini banyak lembaga baik dari peme rintah maupun non 
pemerintah yang memandang bahwa perempuan Jayawijaya lemah sehingga berbagai 
program pengembangan ditujukan pada kaum perempuan secara bertubi­tubi, hal ini 

Konsultasi dilakukan dengan Galuh Wandita dari OXFAM pada tahun 1993.

dirasa kurang membantu karena selain malah menambah beban perempuan, juga laki­ 
laki 
akan merasa disingkirkan. Pendapat ini menjadi cukup critical untuk diperhatikan 
mengingat apa yang ditemukan oleh seorang sosiolog bahwa salah satu akibat dari 
perubahan jaman saat ini laki­ laki Dani berada pada kondisi mempertanyakan 
keberadaan 
dirinya (…’apa yang bisa kami lakukan saat ini kalau semua dilarang?) karena 
perubahan­perubahan tersebut laki­ laki kehilangan beberapa peran pentingnya (Susanto, 
1989). 
Pendekatan jender dan pembangunan (Gender and Development) adalah 
pendekatan yang lebih me mperhatikan persoalan jender daripada persoalan perempuan 
secara terisolasi. Pendekatan pengembangan yang sadar jender memperhatikan 
bagaimana hubungan sosial laki­laki dan perempuan terbentuk, yaitu bagaimana laki­ 
laki 
dan perempuan memainkan peran yang berbeda, bagaimana perbedaan jender ini 
terbentuk oleh faktor­ faktor sejarah, etnis, kebudayaan, politik dan sosial ekonomi. Dan 
sejauh mana kondisi peran jender berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. 
Dalam pendekatan jender dan pembangunan dibedakan antara kebutuhan 
perempuan dan kebutuhan jender (dari perempuan atau juga dari laki­laki). Kebutuhan 
perempuan adalah kebutuhan berdasarkan kepentingan biologis, sedangkan kebutuhan 
jender adalah sesuatu hal yang memungkinkan perempuan (atau laki­laki) dapat 
berkembang berdasarkan posisi sosial dalam masyarakat. Kebutuhan jender dapat 
bersifat 
praktis dan strategis (Moser,1991). Kebutuhan praktis jender adalah kebutuhan yang 
diidentifikasikan berdasarkan kondisi konkrit pengalaman perempuan (atau laki­ laki), 
merupakan kebutuhan untuk meningkatkan pekerjaan­pekerjaan yang dilakukan sehari­
hari agar lebih efesien dan berdaya guna, misalnya ketrampilan bercocok tanam, kayu 

bakar dan air bersih yang mudah dijangkau dan lain­ lain. Kebutuhan strategis jender 
adalah kebutuhan yang dirumuskan dari analisa subordinasi perempuan terhadap laki­
laki. Dari analisa ini diidentifikasikan kepentingan strategis jender untuk mencapai suatu 
alternatif kelembagaan yang lebih setara. Kebutuhan strategis jender yang diperlukan 
untuk mengatasi subordinasi sangat beragam tergantung pada konteks budaya masing­
masing. Yang termasuk dalam kebutuhan strategis jender antara lain: upaya 
menghilangkan segala bentuk diskriminasi, peningkatan hak­hak perempuan, 
pengurangan pembagian tugas secara seksual, dll. 
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam pendekatan jender dan 
pembangunan selain dilakukan upaya­upaya untuk peningkatan kesejahteraan (welfare), 
juga dilakukan upaya­upaya yang bersifat pemberdayaan (empowerment). Selanjutnya 
diperkuat oleh hasil konsultasi dengan G. Aditjondro bahwa proses pemberdayaan ini 
sangat penting karena ketertindasan perempuan tidak terlepas dari konteks ketertindasan 
laki­ laki oleh kekuatan­kekuatan luar. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberdayaan 
perempuan Jayawijaya tidak bisa terlepas dengan pemberdayaan masyarakat secara 
keseluruhan, termasuk di dalamnya adalah kaum laki­ laki. 
Dalam pendekatan ini dituju keseimbangan fungsi dan peranan laki­ laki dan 
perempuan sesuai dengan tuntutan jaman dewasa ini ya ng mau tidak mau memang akan 
berubah. Pendekatan yang memperhatikan relasi kedua belah pihak memperhatikan 
keseimbangan perhatian antara laki­ laki dan perempuan. Dalam kegiatan­kegiatan ada 
waktu dimana kita perlu memberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat duduk 
bersama, berdialog, saling mendengarkan dan didengarkan, bermusyawarah untuk 

merencanakan kegiatan tanpa didesak oleh waktu dan keinginan untuk menikmati hasil 
secepat mungkin. 
Secara ringkas strategi pengembangan yang dilakukan oleh proyek dapat 
digambarkan sebagai berikut: 
Gambar 1. Kerangka program Gender and Development WATCH:

Kerangka tersebut dikembangkan dengan adaptasi dari HARVARD MODEL dan MOSER
MODEL.
HEALTH &
NUTRITION STATUS
ON WOMEN AND THEIR
CHILDREN
IDENTIFICATION OF
GENDER ISSUES

Perempuan berbeban 
berat 

Perempuan tersubordinat

Laki­laki kehilangan 
peran 
PRACTICAL NEEDS:
Pemenuhan kebutuhan 
praktis melalui kelompok: 

LEISA

Appropriate 
technology 

Income generating

Posyandu

Pos obat desa

Nutrition

Water supplay

Bridges, etc.
STRATEGIC NEEDS:

Awareness program 
on gender issues for 
group, community 

HAK-HAK ANAK:
ANTARA REALITA DAN HARAPAN

Assalaamualaikum wa rahmatullaahi wa barakatuhu,

Rekan-rekan Indo-Emirates yang berbahagia, Forum Rohani kali ini


akan menyoroti permasalahan anak. Seperti Kita ketahui
a</span><span lang="EN-GB" style="font-size: 9pt; font-family:
Verdana; color: blue;">nak merupakan aset generasi mendatang yang
sangat berharga. Baik buruknya masa depan suatu bangsa ada dalam
genggaman mereka. Apabila kita mengamati kondisi anak di Indonesia
saat ini, masih begitu banyak kondisi buruk yang membuat kita
membayangkan begitu buruknya kondisi generasi mendatang. Apa
yang menyebabkan kondisi buruk yang menimpa anak-anak
tersebut ? Bagaimana ajaran Islam dalam memecahkan masalah ini ?

Tulisan ini disarikan dari bebagai sumber, semoga Kita dapat


mengambil manfaatnya, Syukran Jazakumullaahi Khairan katsiron,
Selamat menyimak,…

Wassalaamualaikum wa rahmatullaahi wa barakatuhu,

Potret Buram Anak Indonesia

Apa yang bisa di dapatkan anak kalau belum apa-apa hak hidupnya
sudah dirampas oleh ibunya sendiri ? Aborsi sebagai jalan untuk
menghilangkan kehamilan semakin hari semakin cenderung
meningkat. Sekarang bukan suatu hal yang asing lagi apabila kita
mendengar banyak remaja putri melakukan aborsi karena hamil di
luar nikah. Atau banyak ibu-ibu yang menggugurkan kandungannya
karena kehamilannya itu tidak

dikehendakinya. Dilaporkan pada kurun Januari-Oktober 1993,


sebanyak 328 mahasiswi di kota Yogyakarta melakukan aborsi.
Jumlah ini menunjukkan peningkatn 300 % lebih dari tahun
sebelumnya. Data ini belum termasuk aborsi yang dilakukan sendiri
dengan obat atau jamu tradisional, maupun lewat bantuan dukun.

Anak yang sudah dilahirkan juga tidak mendapatkan gizi yang cukup
buat mempertahankan hidupnya yang layak. Kasus-kasus bayi busung
lapar dan ancaman "lost generation" berupa anak-anak yang bakal
terbelakang kecerdasannya akibat gizi yang buruk muncul lagi saat
krisis ekonomi melanda Indonesia. Laporan Kompas (13/11/1999)
menyebutkan bahwa di Jakarta, menurut Kepala Sub Bagian Bina
Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta, terdapat
sebanyak 3000 anak usia balita yang bergizi buruk, 33.000 anak
menderita gizi kurang dan 58 anak menderita busung lapar atau
honger oedeem (HO). Sementara di seluruh Indonesia, menurut data
Susenas 1998, sekitar 33,3 % balita terancam tumbuh kembangnya
karena menderita gizi buruk. Bahkan diperkirakan akibat krisis
ekonomi yang berkepanjangan, prevalensi balita yang bergizi buruk
terus meningkat. Unicef memperkirakan anak penderita kurang energi
protein (KEP) di Indonesia akan mencapai 10 juta jiwa, sedangkan
KEP berat sekitar sejuta anak. Sejumlah penderita KEP berat
dilaporkan berakhir tragis, meninggal sebelum ditolong.

Anak-anak yang yang lebih besar harus mempertahankan hidupnya


sendiri, tanpa adanya nafkah dan perlindungan dari pihak lain. Sekitar
150.000 anak di pelbagai kota besar di Indonesia bekerja dan hidup di
jalan-jalan, tidak memiliki rumah tinggal dan tidak terlindungi.
Diperkirakan 40.000-70.000 anak, tertutama anak permpuan,
dieksploitasi secara seksual dan terikat dengan jaringan prostitusi
anak. Mereka adalah bagian dari 6 juta anak Indonesia yang berusia 6
–15 tahun yang tidak pernah sekolah atau putus sekolah. Sekitar
4000 anak terlibat dalam kriminalitas dan dipenjara tanpa ada jalan
keluar dan alternatif lainnya. Sementara 120.000 anak terlibat dalam
penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif (Kompas, 1/12/2000).

Berdasarkan data Pemda DKI, menurut Wakil Gubernur DKI Bidang


Kesejahteraan Masyarakat, H. Djailani, jumlah anak jalanan di ibukota
kini mencapai 11.000 orang. Sementara anak terlantar ada sekitar
18.000 orang (Warta Kota, 4/10/2000)

Bukan hanya anak jalanan saja yang tidak bisa mengenyam


pendidikan sekolah. Anak-anak dari keluarga miskin pun termasuk ke
dalam 6 juta anak yang tidak sekolah. Inten Soeweno, Ketua Umum
Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) menyebutkan bahwa
yayasan GN-OTA membantu 500 ribu anak asuh untuk tahun ajaran
2000-2001. Namun ada 3,5 juta anak yang belum memiliki orang tua
asuh dan ada sekitar 7,5 juta orang yang terancam putus sekolah
(Kompas 25/11/2000).

Kesulitan ekonomi bukanlah satu-satunya sebab kondisi buruk anak.


Banyak anak dari keluarga yang mampu secara ekonomi pun mulai
kehilangan kasih sayang dan pendidikan dalam keluarga, karena
orang tuanya terlalu sibuk di luar rumah.. Teladan dan pembiasaan
dalam keluarga yang seharusnya dilakukakan oleh orang tua,
sekarang diambil alih oleh televisi. Sementara acara-acara televisi
yang banyak digemari sehingga ratingnya tinggi banyak yang tidak
baik untuk anak-anak. Televisi disinyalir memunculkan berbagai
tindak kekerasan pada anak.

Anak-anak dari berbagai kalangan juga sudah kehilangan hak untuk


tumbuh dan berkembang dalam keamanan. Anak-anak telah menjadi
korban kekerasan secara fisik dan seksual. Data pada Pusat Krisis
Terpadu (PKT) RSCM Januari-April 2001 mencatat 41 korban
pemerkosaan anak. Sedangkan yang jadi korban pencabulan 39 anak,
tiga diantarnya laki-laki (Warta Kota, 16/5/2001).

Analisis Penyebab Masalah

Apa yang menyebabkan kondisi buruk anak-anak seperti yang


disebutkan di atas ? Mengapa anak-anak itu tidak bisa mendapatkan
hak-haknya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik ?
Masalahnya kompleks, namun yang terjadi pastilah salah satu atau
lebih dari satu sebab-sebab berikut ini:

1. Pihak-pihak yang bertanggung jawab tidak

mengetahui apa saja hak anak yang harus dipenuhinya demi masa
depan anak. Dalam ketidaktahuan, kondisi yang merugikan masa
depan anak dianggap kondisi yang umum terjadi sehingga tidak perlu
dipermasalahkan.

2. Adanya cara pandang yang salah terhadap anak, sehingga pihak-


pihak yang terkait tidak bersungguh-sungguh memperhatikan hak
anak. Misalnya memandang anak dari sudut keuntungan material
semata, tentu akan membuat seseorang mengabaikan masa depan
anak. Seorang ayah yang merasa terbantu oleh uang hasil kerja
anaknya bisa jadi membiarkan anaknya terus bekerja dan
meninggalkan sekolahnya.

3. Ketidakmampuan atau kelemahan keluarga, masyarakat, atau


negara memenuhi hak anak.

Untuk semua penyebab masalah di atas Islam punya solusi


pemecahannya.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Definisi Anak Menurut Islam

Berbicara tentang hak anak tentu terlebih dahulu harus memahami


siapa yang dimaksud dengan anak. Berdasarkan kedudukan
hukumnya, Islam mengkategorikan manusia menjadi dua: baligh
(dewasa) dan pra baligh (anak-anak). Usia baligh ditandai dengan
datangnya haid pada anak wanita atau datangnya mimpi pada anak
laki-laki, umumnya terjadi pada usia 13-14 tahun, namun bisa saja
terjadi sebelum atau setelah usia tersebut. Ketika mencapai usia
baligh, mereka yang tadinya anak-anak sudah mendapatkan taklif
(pembebanan) hukum syara’, sehingga tidak lagi dikatakan sebagai
anak-anak. Pada saat itu mereka sudah harus
mempertanggungjawabkan setiap ucapan, sikap, dan tindakan yang
mereka lakukan, baik di hadapan Allah maupun di hadapan aparat
hukum di dunia.

Hadist yang diriwayatkan Abu Dawud: "Pena diangkat dari tiga orang:
dari anak kecil sampai ia dewasa, dari orang tidur sampai dia bangun,
dan dari orang gila sampai ia berakal (kembali)."

Hak-hak Anak

Islam telah mengatur hak-hak anak dalam sekumpulan hukum yang


mengatur kewajiban kedua orang tuanya, masyarakat di sekitarnya
dan negara. Dengan demikian hak anak bukanlah hasil kesepakatan
manusia yang lemah dan serba terbatas, namun hak anak merupakan
kewajiban dari Allah kepada orang-orang yang harus memenuhinya.
Karenanya pemenuhan hak anak adalah bagian dari ibadah atau bukti
ketundukan mereka kepada Allah SWT, bukan sekedar aktivitas
berdasarkan logika manusia semata atau sekedar aktivitas yang
didorong oleh rasa kemanusiaan. Hak-hak anak yang harus dijamin
pemenuhannya dalam Islam diantaranya:

1. Hak untuk hidup

Ketika Islam mengharamkan aborsi dan pembunuhan anak serta


mengatur penangguhan pelaksanaan hukuman terhadap wanita hamil,
pada saat itulah kita temukan pengaturan adanya hak untuk hidup
bagi anak dalam Islam. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Isra’
ayat 31:
Artinya: " Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. Kamilah yang akan memberikan rezeki kepada mereka
dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu
dosa yang besar."

Aborsi hanya boleh dilakukan apabila kehamilan itu mengancam


keselamatan nyawa ibu, sebab syara’ menetapkan bahwa keselamatan
ibu harus diutamakan. Adapun alasan lain untuk aborsi tidak
diperbolehkan sama sekali. Apabila ada yang melakukan aborsi, maka
negara akan mengenakan sanksi berupa qishos atau diyat atas
pembunuhan jiwa yang dilakukan. Sebagaimana firman Allah dalam
QS Al-Baqarah ayat 178:

Artinya:"Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu qishosh


berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang dimaafkan) membayar (diyat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik…"

Demikian juga untuk menjaga keselamatan janin, Islam telah


mensyari’atkan agar pelaksanaan hukuman (had) terhadap wanita
hamil ditangguhkan sampai ia melahirkan. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw:

"Apabila ada seorang di antara wanita membunuh secara sengaja, ia


tidak boleh dijatuhi hukuman mati sampai ia melahirkan anaknya, jika
ia memang sedang hamil. Dan bilamana seorang wanita berzina, ia
tidak boleh dirajam sampai ia melahirkan anaknya jika ia sedang
hamil dan sampai ia selesai merawatnya." (HR Ibnu Majah).

Demi keselamatan janin Islam juga telah memberi keringanan bagi


wanita hamil dalam menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Ia
diperkenankan berbuka apabila ia tidak mampu atau apabila puasanya
mengganggu pertumbuhan janin. Ia dapat mengganti puasanya di hari
lain.

2. Hak mendapatkan nama yang baik

Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya


kepada Nabi Muhammad saw: "Ya Rasulullah, apakah hak anakkku
dariku?" Nabi menjawab:"Engkau baguskan nama dan pendidikannya,
kemudian engkau tempatkan ia di tampat yang baik."

Sabda Rasulullah saw yang lain: "Baguskanlah namamu, karena


dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti." (HR
Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

Nama anak adalah penting, karena nama dapat menunjukkan


identitas keluarga, bangsa, bahkan aqidah. Ngatinem sudah pasti
orang Jawa, Simorangkir jelas dari keluarga Batak, Cecep tentu dari
keluarga Sunda dan Alhabsyi menunjukkan keluarga Arab. Islam
menganjurkan agar orangtua memberikan nama anak yang
menunjukkan identitas Islam, suatu identitas yang melintasi batas-
batas rasial, geografis, etnis, dan kekerabatan. Selain itu nama juga
akan berpengaruh pada konsep diri seseorang. Secara tak sadar orang
akan didorong untuk memenuhi image (citra/gambaran) yang
terkandung dalam namanya. Teori labelling (penamaan) menjelaskan
kemungkinan seseorang menjadi jahat karena masyarakat
menamainya sebagai penjahat. Memang boleh jadi orang akan
berperilaku yang bertentangan dengan namanya. Seorang Fachry,
apabila ia mengerti arti namanya, mungkin saja menjadi penjahat.
Tetapi nama itu akan meresahkan batinnya, sehingga ia mengubah
namanya atau ia mengubah perilakunya.

3. Hak penyusuan dan pengasuhan (hadlonah)

Anak berhak mendapat penyusuan dari ibunya sebagaimana firman


Allah SWT:

Artinya:"Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua


tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS
Al Baqoroh 233)

Dari ayat ini jelaslah bahwa anak berhak untuk mendapatkan


penyususan selama dua tahun. Jika ibu tidak mampu memberi ASI
maka Islam mensyari’atkan penyusuan oleh wanita lain. Sebagaimana
firman Allah SWT:

Artinya:"Dan jika kamu menginginkan anak-anakmu disusukan oleh


orang lain maka tidak ada dosa bagimu untuk memberikan
pembayaran menurut yang patut."

Penelitian medis dan psikologis menyatakan bahwa masa dua tahun


pertama sangat penting bagi pertumbuhan anak agar tumbuh sehat
secara fisik dan psikis. Oleh karena itu penetapan kewajiban bagi ibu
menyusui bayinya sampai dua tahun merupakan jaminan bagi anak
agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Selama masa penyusuan
anak mendapatkan dua hal yang sangat berarti bagi pertumbuhan
fisik dan nalurinya. Yang pertama: anak mendapatkan makanan
berkualitas prima yang tiada bandingannya. ASI mengandung semua
zat gizi yang diperlukan anak untuk pertumbuhannya, sekaligus
mengandung antibodi yang membuat anak tahan terhadap serangan
penyakit. Yang kedua : anak mendapatkan dekapan kehangatan,
kasih sayang dan ketentraman yang kelak akan mempengaruhi
suasana kejiwaannya di masa mendatang. Perasaan mesra, hangat,
dan penuh cinta kasih yang dialami anak ketika menyusu pada ibunya
akan menumbuhkan rasa kasih sayang yang tinggi kepada ibunya.

Islam juga mengatur masalah pengasuhan anak. Anak berhak


mendapatkan pengasuhan yang baik sampai ia mampu mengurus dan
menjaga diri sendiri. Pengasuhan merupakan jaminan keselamatan
jiwa anak dari kehancuran. Seorang anak kecil tentunya bergantung
kepada orang lain ketika ia harus makan, mandi , mengganti
pakaiannya, dan lain-lain. Apabila pengasuhnya tidak bisa
memberinya makan dengan baik, atau tidak bisa menjaga kebersihan
dirinya, atau tidak bisa menjaga keselamatan fisiknya selama masa
pengasuhan, tentu jiwanya terancam. Selain itu pengasuhan yang
baik juga berpengaruh pada kondisi psikis anak. Pengasuhan yang
memberinya rasa tenang dan aman akan menjamin kesehatan
perkembangannya jiwanya .

Islam menetapkan bahwa persoalan pengasuhan merupakan


kewajiban dan sekaligus hak orang-orang tertentu. Islam pun telah
menetapkan bahwa orang yang lebih berhak terhadap pengasuhan ini
adalah orang yang paling dekat kekerabatannya dan paling terampil
(ahli) dalam pengasuhan.

Hadist yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari kakeknya bahwa
Rasulullah saw pernah ditemui seorang wanita, ia berkata:"Wahai
Rasulullah, sesungguhnya anakku dulu dikandung dalam perutku,
susuku sebagai pemberinya minum dan pangkuanku menjadi
buaiannya. Sementara ayahnya telah menceraikanku, tetapi ia hendak
mengambilnya dariku."Kemudian Rasulullah bersabda:"Engkau lebih
berhak kepadanya selama engkau belum menikah"

Islam menetapkan bahwa pihak wanita (ibu) lebih utama dalam


pengasuhan ini. Atas dasar ini fuqoha menetapkan urutan orang-orang
yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan adalah:

i. Ibu, nenek dari pihak ibu dan seterusnya jalur ke atas (jika masih
hidup). Dalam hal ini didahulukan yang paling dekat hubungannya
dengan anak.

i. Ayah, nenek dari ayah dan seterusnya jalur ke atas (jika masih
hidup), kakek, ibunya kakek dan seterusnya jalur ke atas, kakeknya
ayah dan para ibunya.

iii. Saudara perempuan, diutamakan yang seibu seayah, baru seayah,


kemudian anak-anak mereka.

iv. Saudara laki-laki, diutamakan yang seibu seayah, baru seayah,


kemudian anak-anak mereka.

v. Saudara perempuan ibu (kholah)

vi. Saudara perempuan ayah (‘ammah)

vii. Saudara laki-laki ayah (paman) yang seibu seayah, dan seayah
saja.

viii. Saudara perempuan nenek dari ibu

ix. Saudara perempuan nenek dari ayah

x. Saudara perempuan kakek dari ayah

Apabila semua pihak dari kalangan ini tidak mampu, maka negara
berkewajiban untuk memberikan pengasuhan anak ini ke pihak
lainnya yang mampu dan dapat di percaya.
4. Hak mendapatkan kasih sayang

Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk menyangi keluarga,


termasuk anak di dalamnya. Ini berarti Beliau saw mengajarkan
kepada kita untuk memenuhi hak anak terhadap kasih sayang. Sabda
Rasulullah saw:"Orang yang paling baik di antara kamu adalah yang
paling penyayang kepada keluarganya."

Rasulullah mengajarkan untuk mengungkapkan kasih sayang tidak


hanya secara verbal, tetapi juga dengan perbuatan. Pada suatu hari
Umar menemukan beliau saw merangkak di atas tanah, sementara
dua orang anak kecil berada di atas punggungnya. Umar berkata:"Hai
anak, alangkah baiknya rupa tungganganmu itu." Yang ditunggangi
menjawab:"Alangkah baiknya rupa para penunggangnya". Betapa
indah susasana penuh kasih sayang antara Rasul saw dengan cucu-
cucu beliau.

Seorang ahli (Dorothy Law Nolte) berujar:"Jika anak dibesarkan


dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta
dalam kehidupan." Bila orang tua gagal mengungkapkan rasa sayang
pada anak-anaknya, anak-anak tersebut tak akan mampu
menyatakan sayangnya kepada orang lain.

5. Hak mendapatkan perlindungan dan nafkah dalam keluarga

Ketika Islam memberikan kepemimpinan kepada seorang ayah di


dalam keluarga, saat itulah anggota keluarga yang lain, termasuk
anak di dalamnya, mendapatkan hak perlindungan dan nafkah dalam
keluarga. Firman Allah dalam surah An-Nissa’ ayat 34:

Artinya:"Laki-laki adalah pemimpin (qowwam) bagi wanita, oleh


karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
menafkahkan sebagian dari harta mereka".

Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 233:

Artinya;"… Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada


para ibu dangan cara yang ma’ruf…"

Kemudian firman Allah dalam surah Ath - Thalaq ayat 6:


Artinya:"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu…"

Sebagai pemimpin dalam keluarga, seorang ayah tentu


bertanggungjawab atas keselamatan anggota keluarganya, termasuk
anaknya. Ia akan melindungi anaknya dari hal-hal yang
membahayakan anaknya baik fisiknya maupun psikisnya. Demikian
juga ia berkewajiban memberi nafkah berupa pangan, sandang, dan
tempat tinggal kepada anaknya.

Apabila kepala keluarga tidak dapat mencukupi nafkah keluarganya,


atau ayah telah meninggal dunia, maka wali dari anak (diantaranya
paman dari ayah, saudara laki-laki, dan kakek) diberi kewajiban
mencukupi nafkah keluarga tersebut. Apabila jalur kerabat tidak ada
yang bisa mencukupi nafkah anak, maka negaralah yang
berkewajiban memberi nafkah kepada anak. Negara menyalurkan
zakat atau sumber keuangan lain yang hak kepada keluarga yang
tidak mampu. Bagaimanapun keadaannya, tidak pernah seorang anak
harus menafkahi dirinya sendiri.

6. Hak pendidikan dalam keluarga

Orang tua diberi kewajiban memenuhi hak anak akan pendidikan


sehingga ia menjadi seorang muslim yang berkualitas. Sebagaimana
firman Allah dalam QS At-Tahrim ayat 6:

Artinya:"Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan


keluargamu dari api neraka…"

Rasulullah juga mengajarkan betapa besarnya tanggung jawab orang


tua dalam pendidikan anak. Sabdanya saw:"Tidaklah seorang anak
yang lahir itu kecuali dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanya yang
menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi."(HR Muslim).

Anak pertama kali mendapatkan hak pendidikannya di keluarga,


sebelum ia mendapatkan pendidikan di sekolah. Mendidik anak adalah
tanggung jawab bersama antara ibu dan ayah, sehingga diperlukan
pasangan yang seaqidah, dan sepemahaman dalam pendidikan anak.
Jika tidak demikian tentunya sulit mencapai tujuan pendidikan anak
dalam keluarga.

Anak pertama kali mendapatkan pengajaran nilai-nilai tauhid dari


kedua orang tuanya, demikian juga mengenai ajaran-ajaran Islam
yang lain. Anak mendapatkan pendidikan yang lebih banyak berupa
contoh (teladan) dari kedua orang tuanya, di samping pendidikan
dalam bentuk lisan, pembiasaan dan pemberian sanksi.

7. Hak mendapatkan kebutuhan pokok sebagai warga negara

Sebagai warga negara, anak juga mendapatkan haknya akan


kebutuhan pokok yang disediakan secara massal oleh negara kepada
semua warga negara. Kebutuhan pokok yang disediakan secara
massal oleh negara meliputi: pendidikan di sekolah, pelayanan
kesehatan, dan keamanan.

Pelayanan massal ini merupakan pelaksanaan kewajiban negara


terhadap penguasa kepada rakyatnya, seperti sabda Rasulullah saw:

"Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan ia


akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya."(HR Ahmad,
Syaikhan, Tirmidzi, Abu Dawud, dari Ibnu Umar)

Apabila hak-hak anak seperti yang disebutkan di atas dipenuhi maka


anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang
berkualitas: menjadi orang bertaqwa yang mampu mengendalikan
hawa nafsunya sesuai perintah dan larangan Allah serta mampu
mengelola kehidupan dunia dengan ilmu dan ketrampilannya.
Kebutuhan fisiknya terpenuhi: kebutuhan gizinya terpenuhi,
kebutuhan sandang dan perumahan yang memenuhi syarat kesehatan
terpenuhi, dan apabila ia sakit tidak ada hambatan baginya untuk
mendapatkan pengobatan. Demikian pula ia tumbuh dalam suasana
penuh kasih sayang, tentram dan aman. Dalam kondisi fisik dan psikis
yang baik ia bisa melewati proses pendidikan sesuai fase
perkembangannya di dalam keluarga, juga pendidikannya di sekolah
secara optimal. Dengan demikian ia bisa menguasai dengan baik
tsaqofah Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan
yang diajarkan di sekolah untuk bekal kehidupannya kemudian hari.

Pandangan Terhadap Anak

Cara pandang yang benar terhadap anak merupakan langkah awal


menuju optimalnya usaha pemenuhan hak-hak anak. Islam
mengajarkan untuk memandang anak sebagai: perhiasan di dunia,
aset

pahala bagi orang tua di hari akhirat, dan aset generasi di masa
depan.

Anak sebagai perhiasan dunia

Anak-anak merupakan perhiasan kehidupan dunia yang akan


menyenangkan hati orang tua. Sebagaimana firmanNya:

Artinya:"Harta benda dan anak-anak itu sebagai perhiasan hidup di


dunia" (QS Al Kahfi ayat 46) Dan firmanNya:

Artinya:"Wahai Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami (agar) istri


kami dan anak cucu kami sebagai penyejuk pandangan mata"(QS Al-
Furqon ayat 74)

Orangtua dapat merasakan kepuasan dan kesenangan atas kehadiran


anak, bila pada dirinya masih eksis fitrah insaninya. Setiap manusia
mempunyai fitrah untuk mempertahankan keturunannya. Manifestasi
fitrah tersebut antara lain berupa rasa cinta kepada anak dan rasa
sayang kepada orang tua. Fitrah ini memang tidak akan pernah
hilang, tetapi bisa tertutupi oleh hal-hal lain yang bertentangan
dengan fitrah tersebut. Misalnya tertutupi oleh pemikiran-pemikiran
sesat yang bertolak belakang dengan fitrah kemanusiaan. Oleh karena
itu keberadaan fitrah ini harus dijaga agar senantiasa eksis.

Keberadaan fitrah inisani merupakan ‘modal dasar’ terjaminnya


perlindungan hak anak oleh keluarga. Eksisnya rasa sayang orangtua
kepada anak dan keberadaan anak yang membawa kesenangan bagi
orang tua akan membuat orang tua rela berkorban apa saja untuk
memenuhi semua hak anak.

Anak sebagai jaminan bagi orangtua di hari kiamat

Orangtua yang telah bersusah payah membesarkan, memelihara dan


mendidik anak-anaknya dengan sabar akan mendapat ganjaran yang
sangat besar dari Allah SWT, yakni surga. Sebagaimana riwayat dari
Auf bin Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa
memiliki tiga orang anak perempuan yang dinafkahinya dengan baik
sampai mereka menikah atau meninggal dunia, maka anak-anak itu
menjadi tabir baginya dari neraka." (HR Al-Baihaqi)

Juga riwayat dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw


bersabda:"Ada seorang hamba yang ditinggikan derajatnya. Lalu ia
bertanya: Wahai Rabbku, mengapa derajat ini diberikan kepadaku?
Allah berfirman: Sebab permohonan ampun anakmu untukmu
sesudah meninggalmu"(HR Ahmad, Ibnu majah, dan Al-Baihaqi)

Orangtua mana yang tidak termotivasi dengan janji Allah akan surga
dan derajat yang tinggi di hadapan Allah ? Pastilah orang tua yang
tidak mengharapkan keridloan Allah, atau yang lebih mengejar
kenikmatan dunia dibanding kekekalan kebahagiaan di akhirat.

Anak sebagai aset masa depan umat

I</span></i><span lang="EN-GB" style="font-size: 9pt; font-family:


Verdana; color: blue;">slam mensyariatkan pernikahan bagi
umatnya. Bahkan mencela orang-orang yang tidak mau menikah
(tabattul). Islam juga menganjurkan agar laki-laki memilih calon istri
dari kalangan yang wanita yang penyayang, subur, dan beragama.
Sebab salah satu tujuan pernikahan adalah lahirnya anak-anak
sebagai pewaris orangtuanya, baik pewaris harta maupun pewaris
tanggung jawab dalam mengemban risalah Islam. Sebagaimana
riwayat dari Anas ra, ia berkata:

"Rasulullah saw menganjurkan para pemuda untuk kawin dan


melarang keras untuk tabattul. Dan beliau bersabda:’Kawinlah kalian
dengan wanita-wanita yang penyayang dan subur. Sesungguhnya
dengan kalian saya ingin memperbanyak ummat di antara para nabi
pada hari kiamat nanti." (HR Imam Ahmad dan Abu Hakim)

"Perempuan itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya,


keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah
perempuan yang beragama, niscaya kamu akan beruntung"(HR
Bukhari)

Islam juga mensyariatkan untuk memperhatikan kualitas generasi


penerusnya. Sebagaimana QS An-Nissa’ ayat 9:

Artinya:"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang


seandainya meninggalkan di belakang mereka di belakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka…"

Dari hadist dan ayat di atas dapat dipahami bahwa ada tuntutan bagi
kaum muslimin untuk menjamin kelestarian generasi masa depan dan
mewujudkan generasi yang berkualitas baik. Generasi tersebut adalah
generasi yang diridhoi oleh Allah SWT dan mampu memimpin manusia
dengan risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Pihak-pihak Yang Bertanggung Jawab atas Pemenuhan Hak
Anak

Kesadaran bahwa anak adalah aset masa depan umat mengharuskan


semua pihak memberikan perhatian penuh kepada anak agar mereka
dapat tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang berkualitas
prima. Keluarga, masyarakat dan negara bahu-membahu untuk
memenuhi hak-hak anak.

Orangtua dan anggota keluarga yang lain berupaya bersungguh-


sungguh memenuhi hak anak. Apabila ada keluarga yang
mengabaikan kewajibannya memenuhi hak anak, masyarakat di
sekitarnya menasehatinya. Dengan kekuasannya negara dapat
memaksa seseorang untuk menjalankan kewajibannya. Apabila tetap
menolak dapat dijatuhkan sanksi pidana. Negara membuat kebijakan-
kebijakan dan peraturan-peraturan yang membuat keluarga mampu
memenuhi hak-hak anak dalam keluarga. Misalnya agar seorang
kepala keluarga mampu menafkahi anaknya, maka negara
menyediakan lapangan pekerjaan yang layak baginya. Dalam kondisi
sementara, bisa saja negara mengambil alih tanggung jawab keluarga
memnuhi hak anak apabila keluarga itu tidak mampu melakukannya.

Masyarakat ikut menciptakan lingkungan yang kondusif bagi


pemenuhan hak-hak anak, bukan malah menjadi pihak yang
merampas hak-hak anak. Dalam suasana amar ma’ruf nahi mungkar
masyarakat ikut mengawasi pemenuhan hak anak oleh keluarga dan
negara. Apabila ada yang tidak berjalan baik akan ada "tekanan dari
masyarakat" agar keluarga atau negara memperbaiki hal yang tidak
beres itu. Apabila ada bagian dari masyarakat yang membahayakan
anak, misalnya adanya televisi swasta yang menyiarkan acara-acara
yang merusak nilai-nilai yang didapatkan dari pendidikan dalam
keluarga atu di sekolah, maka negara berwenang menghentikan acara
tersebut, dan memberi sanksi pidana kepada pemimpin televisi
tersebut.

Negara, selain menjadi pelaksana pemenuhan hak-hak juga sebagai


pengontrol pemenuhan hak-hak anak oleh keluarga dan masyarakat.
Bagaimana jika negara yang lemah ? Jika negara lemah maka
keluarga atau masyarakatlah yang menasehati penguasa negara.
Selama penguasa dan rakyat berpegang pada ajaran Islam dalam
memecahkan masalah kehidupan maka pastilah masalah itu dapat
terselesaikan. Sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nahl ayat
89:

Artinya:"…Dan Kami turunkan kepadaMu Al Kitab (Al Qur’an) untuk


menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri."

Dengan catatan penguasa dan rakyat mau mengambil Islam secara


menyeluruh, bukan mengambil sebagian dan membuang sebagian
yang lain.
"Apa saja (semua) yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia.
Dan apa saja (semua) yang dilarangnya bagimua maka
tinggalkanlah." (QS Al Hasyr ayat 7)

Penutup

Islam memiliki rincian mengenai hak-hak anak dan bagaimana hak-


hak tersebut dapat dipenuhi. Menghadapi kondisi buruk anak pada
saat ini, seharusnyalah kita sebagai orang yang beraqidah Islam,
sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat, menyelesaikan masalah
anak yang ada berdasarkan ajaran Islam. Pada saat kita menyadari
begitu banyak hak anak yang tidak terpenuhi karena negara tidak
memenuhinya, pada saat itulah seharusnya kita mulai berjuang untuk
menegakkan kekuasaan Islam yang mengaplikasikan ajaran Islam
dalam bentuk perundang-undangan negara secara menyeluruh.
Wallahu a’lam bish-showab.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Abu Shafa Fadila

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

KLONING MANUSIA

DALAM KAJIAN HUKUM ISLAM

Istilah kloning atau klonasi berasal dari kata clone (bahasa Greek) atau klona, yang
secara harfiah berarti potongan/pangkasan tanaman. Dalam hal ini tanam-tanaman baru
yang persis sama dengan tanaman induk dihasilkan lewat penanaman potongan tanaman
yang diambil dari suatu pertemuan tanaman jantan dan betina. Melihat asal bahasa yang
digunakan, dapat dimengerti bahwa praktek perbanyakan tanaman lewat penampangan
potongan/pangkasan tanaman telah lama dikenal manusia. Karena tidak adanya
keterlibatan jenis kelamin, maka yang dimaksud dengan klonasi adalah suatu metode
atau cara perbanyakan makhluk hidup (atau reproduksi) secara aseksual. Hasil
perbanyakan lewat cara semacam ini disebut klonus/klona, yang dapat diartikan sebagai
individu atau organisme yang dimiliki genotipus yang identik.

Dalam perkembangannya, klonasi tidak hanya dikerjakan dengan memanfaatkan


potongan tanaman yang umumnya berbentuk batang yang mengandung titik-titik tumbuh
calon ranting dan daun, tetapi juga memanfaatkan hampir semua jaringan tanaman untuk
menghasilkan tanaman sempurna. Dengan teknologi biakan jaringan, potongan daun atau
sekeping jaringan dari batang tanaman lengkap. Dari sini terlihat bahwa klonasi pada
dasarnya memanfaatkan sel-sel tanaman yang masih memiliki kemampuan untuk
memilah-milah diri menghasilkan berbagai jenis tanaman, seperti akar, batang dan daun
dengan fungsinya masing-masing.

Kemampuan semacam ini ternyata semakin menurun seiring dengan meningkatnya status
organisme. Pada organisme tinggi, misalnya mamalia, sel-sel jaringan telah kehilangan
totipotensinya, sehingga apabila tanaman hanya mampu menghasilkan sel sejenis, tetapi
tidak mampu memilah diri lagi untuk menghasilkan organ atau sel dengan fungsi yang
lain. Berbeda dengan tanaman, klonasi mamalia tidak dapat dikerjakan, misalnya dengan
menanam sel atau jaringan dari bagian tubuh, seperti tangan, kaki, jantung, hati untuk
menghasilkan individu baru. Dengan demikian, klonasi pada organisme tingkat tinggi
hanya dapat dikerjakan lewat sel yang masih totipoten, yaitu sel pada aras embrio atau
mudghah.

Dari pemahaman tentang sifat sel organisme tadi, jika ditinjau secara umum sesuai
dengan aras kehidupan organisme, maka klonasi dapat dikerjakan pada berbagai aras,
yaitu klonasi pada aras sel, aras jaringan dan aras individu. Pada organisme sel tunggal
atau unisel seperti bakteri, perbanyakan diri untuk menghasilkan individu yang baru,
berlangsung lewat klonasi sel. Dalam hal ini klonasi sel sekaligus juga merupakan
klonasi individu pada hewan dan manusia dapat juga terjadi, misalnya pada kelahiran
kembar satu telur. Masing-masing anak di sini merupakan klonus yang memiliki susunan
genetis identik.

Dalam perkembangan biologi molekuler, sekarang dimungkinkan klonasi pada aras yang
lebih kecil daripada sel, yaitu aras gena. Kemampuan manusia melakukan klonasi gena
memunculkan bidang ilmu baru, yang disebut rekayasa genetika. Untuk pertama kalinya
suatu gena berhasil diklonasi dengan teknik DNA rekombinan pada tahun 1973. Hanya
dalam selang waktu tiga tahun, teknologi ini sudah dikomersialkan oleh suatu perusahaan
di California USA, yaitu Genentech. Sebetulnya klonasi gena juga terjadi secara alami
pada beberapa mikroorganisme. Misalnya beberapa mikroorganisme yang semula rentan
terhadap antibiotika berubah menjadi klon mikroorganisme yang kebal antibiotika. Klona
ini terjadi akibat perbanyakan diri lebih lanjut mikroorganisme induk yang telah
kemasukan gena kebal tadi.

Kloning terhadap manusia adalah merupakan bentuk intervensi hasil rekayasa manusia.
Kloning adalah teknik memproduksi duplikat yang identik secara genetis dari suatu
organisme. Klon adalah keturunan aseksual dari individu tunggal. Setelah keberhasilan
kloning domba bernama Dolly pada tahun 1996, para ilmuwan berpendapat bahwa tidak
lama lagi kloning manusia akan menjadi kenyataan. Kloning manusia hanya
membutuhkan pengambilan sel somatis (sel tubuh), bukan sel reproduktif (seperti sel
telur atau sperma) dari seseorang, kemudian DNA dari sel itu diambil dan ditransfer ke
dalam sel telur seseorang wanita yang belum dibuahi, yang sudah dihapus semua
karakteristik genetisnya dengan cara membuang inti sel (yakni DNA) yang ada dalam sel
telur itu. Kemudian, arus listrik dialirkan pada sel telur itu untuk mengelabuinya agar
merasa telah dibuahi, sehingga ia mulai membelah.

Sel yang sudah dibuahi ini kemudian ditanam ke dalam rahim seorang wanita yang
ditugaskan sebagai ibu pengandung. Bayi yang dilahirkan secara genetis akan sama
dengan genetika orang yang mendonorkan sel somatis tersebut.
Teknologi kloning diharapkan dapat memberi manfaat kepada manusia, khususnya di
bidang medis. Beberapa di antara keuntungan terapeutik dari teknologi kloning dapat
diringkas sebagai berikut:

 Kloning manusia memungkinkan banyak pasangan tidak subur untuk


mendapatkan anak.
 Organ manusia dapat dikloning secara selektif untuk dimanfaatkan sebagai organ
pengganti bagi pemilik sel organ itu sendiri, sehingga dapat meminimalisir risiko
penolakan.
 Sel-sel dapat dikloning dan diregenerasi untuk menggantikan jaringan-jaringan
tubuh yang rusak, misalnya urat syaraf dan jaringan otot. Ada kemungkinan
bahwa kelak manusia dapat mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit
dengan jaringan tubuh embrio hasil kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang
rusak dengan organ tubuh manusia hasil kloning. Di kemudian hari akan ada
kemungkinan tumbuh pasar jual-beli embrio dan sel-sel hasil kloning.
 Teknologi kloning memungkinkan para ilmuan medis untuk menghidupkan dan
mematikan sel-sel. Dengan demikian, teknologi ini dapat digunakan untuk
mengatasi kanker. Di samping itu, ada sebuah optimisme bahwa kelak kita dapat
menghambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari kloning.
 Teknologi kloning memungkinkan dilakukan pengujian dan penyembuhan
penyakit-penyakit keturunan. Dengan teknologi kloning, kelak dapat membantu
manusia dalam menemukan obat kanker, menghentikan serangan jantung, dan
membuat tulang, lemak, jaringan penyambung, atau tulang rawan yang cocok
dengan tubuh pasien untuk tujuan bedah penyembuhan dan bedah kecantikan.

Permasalahan kloning adalah merupakan kejadian kontemporer (kekinian). Dalam kajian


literatur klasik belum pernah persoalan kloning dibahas oleh para ulama. Oleh
karenanya, rujukan yang penulis kemukakan berkenaan dengan masalah kloning ini
adalah menurut beberapa pandangan ulama kontemporer.

Abul Fadl Mohsin Ebrahim berpendapat dengan mengutip ayat di atas, bahwa ayat
tersebut menampakkan paradigma al-Qur’an tentang penciptan manusia mencegah
tindakan-tindakan yang mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan hingga saat
kematian, semuanya adalah tindakan Tuhan. Segala bentuk peniruan atas tindakan-Nya
dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas.

Kendati Allah menciptakan sistem sebab-akibat di alam semesta ini, kita tidak boleh lupa
bahwa Dia juga telah menetapkan pengecualian-pengecualian bagi sistem umum
tersebut, seperti pada kasus penciptaan Adam As. dan ‘Isa As. Jika kloning manusia
benar-benar menjadi kenyataan, maka itu adalah atas kehendak Allah SWT. Semua itu,
jika manipulasi bioteknologi ini berhasil dilakukan, maka hal itu sama sekali tidak
mengurangi keimanan kita kepada Allah SWT sebagai Pencipta, karena bahan-bahan
utama yang digunakan, yakni sel somatis dan sel telur yang belum dibuahi adalah benda
ciptaan Allah SWT.

Islam mengakui hubungan suami isteri melalui perkawinan sebagai landasan bagi
pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntunan Tuhan. Anak-anak yang lahir
dalam ikatan perkawinan membawa komponen-komponen genetis dari kedua orang
tuanya, dan kombinasi genetis inilah yang memberi mereka identitas. Karena itu,
kegelisahan umat Islam dalam hal ini adalah bahwa replikasi genetis semacam ini akan
berakibat negatif pada hubungan suami-isteri dan hubungan anak-orang tua, dan akan
berujung pada kehancuran institusi keluarga Islam. Lebih jauh, kloning manusia akan
merenggut anak-anak dari akar (nenek moyang) mereka serta merusak aturan hukum
Islam tentang waris yang didasarkan pada pertalian darah.

Berikutnya, KH. Ali Yafie dan Dr. Armahaedi Mahzar (Indonesia), Abdul Aziz Sachedina
dan Imam Mohamad Mardani (AS) juga mengharamkan, dengan alasan mengandung
ancaman bagi kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau mengakibatkan
hancurnya lembaga keluarga, merosotnya nilai manusia, menantang Tuhan, dengan
bermain tuhan-tuhanan, kehancuran moral, budaya dan hukum.

M. Kuswandi, staf pengajar Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta juga berpendapat teknik
kloning diharamkan, dengan argumentasi: menghancurkan institusi pernikahan yang
mulia (misal: tumbuh suburnya lesbian, tidak perlu laki-laki untuk memproduksi anak),
juga akan menghancurkan manusia sendiri (dari sudut evolusi, makhluk yang sesuai
dengan environment-nya yang dapat hidup).

Dari sudut agama dapat dikaitkan dengan masalah nasab yang menyangkut masalah hak
waris dan pernikahan (muhrim atau bukan), bila diingat anak hasil kloning hanya
mempunyai DNA dari donor nukleus saja, sehingga walaupun nukleus berasal dari suami
(ayah si anak), maka DNA yang ada dalam tubuh anak tidak membawa DNA ibunya. Dia
seperti bukan anak ibunya (tak ada hubungan darah, hanya sebagai anak susuan) dan
persis bapaknya (haram menikah dengan saudara sepupunya, terlebih saudara sepupunya
hasil kloning juga). Selain itu, menyangkut masalah kejiwaan, bila melihat bahwa
beberapa kelakuan abnormal seperti kriminalitas, alkoholik dan homoseks disebabkan
kelainan kromosan. Demikian pula masalah kejiwaan bagi anak-anak yang diasuh oleh
single parent, barangkali akan lebih kompleks masalahnya bagi donor nukleus bukan dari
suami dan yang mengandung bukan ibunya.

Sedangkan ulama yang membolehkan melakukan kloning mengemukakan alasan sebagai


berikut:

1. Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami
agama.
2. Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu (dalam hadits dinyatakan bahkan
sampai ke negri Cina sekalipun).
3. Islam menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum ia
ketahui (lihat QS. 96/al-’Alaq).
4. Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin Allah
(lihat ayat Kursi pada QS. 2/al-Baqarah: 255).

Dengan landasan yang demikian itu, seharusnya kita menyadari bahwa penemuan
teknologi bayi tabung, rekayasa genetika, dan kemudian kloning adalah juga bagian dari
takdir (kehendak) Ilahi, dan dikuasai manusia dengan seizin-Nya. Penolakan terhadap
kemajuan teknologi itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam
Islam.

Ada juga di kalangan umat Islam yang tidak terburu-buru mengharamkan ataupun
membolehkan, namun dilihat dahulu sisi-sisi kemanfaatan dan kemudharatan di
dalamnya. Argumentasi yang dikemukakan sebagai berikut:

Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan sebenarnya masih bersifat
tentative, bahwa argumen para ulama/ilmuan yang menolak aplikasi kloning pada
manusia hanya melihatnya dari satu sisi, yakni sisi implikasi praktis atau sisi applied
science dari teknik kloning. Wilayah applied science yang mempunyai implikasi sosial
praktis sudah barang tentu mempunyai logika tersendiri. Mereka kurang menyentuh sisi
pure science (ilmu-ilmu dasar) dari teknik kloning, yang bisa berjalan terus di
laboratorium baik ada larangan maupun tidak. Wilayah pure science juga punya dasar
pemikiran dan logika tersendiri pula.

Dalam mencari batas “keseimbangan” antara kemajuan IPTEK dan Doktrin Agama,
pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejuh mana para ilmuan, budayawan dan
agamawan dapat berlaku adil dalam melihat kedua fenomena yang berbeda misi dan
orientasi tersebut? Menekankan satu sisi dengan melupakan atau menganggap tidak
adanya sisi yang lain, cepat atau lambat, akan membuat orang “tertipu” dan “kecewa”.
Dari situ barangkali perlu dipikirkan format kajian dan telaah yang lebih seimbang, arif,
hati-hati untuk menyikapi dan memahami kedua sisi tersebut sekaligus. Sudah tidak
zamannya sekarang, jika seseorang ingin menelaah persoalan kloning secara utuh, tetapi
tidak memperhatikan kedua sisi tersebut secara sekaligus.

Selanjutnya, ada pula agamawan sekaligus ilmuan menyatakan bahwa tujuan agama
menurut penuturan Imam al-Syatibi yang bersifat dharuri ada lima, yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itulah maka kloning itu kita uji dari
sesuai atau tidaknya dengan tujuan agama. Bila sesuai, maka tidak ada keberatannya
kloning itu kita restui, tetapi bila bertentangan dengan tujuan-tujuan syara’ tentulah kita
cegah agar tidak menimbulkan bencana. Kesimpulan yang diberikan klonasi ovum
manusia itu tidak sejalan dengan tujuan agama, memelihara jiwa, akal, keturunan
maupun harta, dan di beberapa aspek terlihat pertentangannya.

Untuk menentukan apakah syari’at membenarkan pengambilan manfaat terapeutik dari


kloning manusia, kita harus mengevaluasi manfaat vis a vis mudharat dari praktek ini.
Dengan berpijak pada kerangka pemikiran ini, maka manfaat dan mudharat terapeutik
dari kloning manusia dapat diuraikan sebagai berikut:

 Mengobati penyakit. Teknologi kloning kelak dapat membantu manusia dalam


menentukan obat kanker, menghentikan serangan jantung, dan membuat tulang,
lemak, jaringan penyambung atau tulang rawan yang cocok dengan tubuh pasien
untuk tujuan bedah penyembuhan dan bedah kecantikan. Sekedar melakukan riset
kloning manusia dalam rangka menemukan obat atau menyingkap misteri-misteri
penyakit yang hingga kini dianggap tidak dapat disembuhkan adalah boleh,
bahkan dapat dijustifikasikan pelaksanaan riset-riset seperti ini karena ada sebuah
hadits yang menyebutkan: “Untuk setiap penyakit ada obatnya”. Namun, perlu
ditegaskan bahwa pengujian tentang ada tidaknya penyakit keturunan pada janin-
janin hasil kloning guna menghancurkan janin yang terdeteksi mengandung
penyakit tesebut dapat melanggar hak hidup manusia.
 Infertilitas. Kloning manusia memang dapat memecahkan problem
ketidaksuburan, tetapi tidak boleh mengabaikan fakta bahwa Ian Wilmut, A.E.
Schieneke, J. Mc. Whir, A.J. Kind, dan K.H.S. Campbell harus melakukan 277
kali percobaan sebelum akhirnya berhasil mengkloning “Dolly”. Kloning
manusia tentu akan melewati prosedur yang jauh lebih rumit. Pada eksperimen
awal untuk menghasilkan sebuah klon yang mampu bertahan hidup akan terjadi
banyak sekali keguguran dan kematian. Lebih jauh, dari sekian banyak embrio
yang dihasilkan hanya satu embrio, yang akhirnya ditanam ke rahim wanita
pengandung sehingga embrio-embrio lainnya akan dibuang atau dihancurkan. Hal
ini tentu akan menimbulkan problem serius, karena nenurut syari’at pengancuran
embrio adalah sebuah kejahatan. Selain itu, teknologi kloning melanggar
sunnatullah dalam proses normal penciptaan manusia, yaitu bereproduksi tanpa
pasangan seks, dan hal ini akan meruntuhkan institusi perkawinan. Produksi
manusia-manusia kloning juga sebagaimana dikemukakan di atas, akan
berdampak negatif pada hukum waris Islam (al-mirâts).
 Organ-organ untuk transplantasi. Ada kemungkinan bahwa kelak manusia dapat
mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit dengan jaringan tubuh
embrio hasil kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang rusak dengan organ
tubuh manusia hasil kloning. Manipulasi teknologi untuk mengambil manfaat
dari manusia hasil kloning ini dipandang sebagai kejahatan oleh hukum Islam,
karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap hidup manusia. Namun, jika
penumbuhan kembali organ tubuh manusia benar-benar dapat dilakukan, maka
syari’at tidak dapat menolak pelaksanaan prosedur ini dalam rangka
menumbuhkan kembali organ yang hilang dari tubuh seseorang, misalnya pada
korban kecelakaan kerja di pertambangan atau kecelakaan-kecelakaan lainnya.
Tetapi, akan muncul pertanyaan mengenai kebolehan menumbuhkan kembali
organ tubuh seseorang yang dipotong akibat kejahatan yang pernah dilakukan.
 Menghambat Proses Penuaan. Ada sebuah optimisme bahwa kelak kita dapat
menghambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari kloning. Namun
hal ini bertentangan dengan hadits yang menceritakan peristiwa berikut:

Orang-orang Baduy datang kepada Nabi SAW, dan berkata: “Hai Rasulallah, haruskah
kita mengobati diri kita sendiri? Nabi SAW menjawab: “Ya, wahai hamba-hamba Allah,
kalian harus mengobati (diri kalian sendiri) karena sesungguhnya Allah tidak
menciptakan suatu penyakit tanpa menyediakan obatnya, kecuali satu macam penyakit”.
Mereka bertanya: “Apa itu?” Nabi SAW menjawab: “Penuaan”.

 Jual beli embrio dan sel. Sebuah riset bisa saja mucul untuk memperjual-belikan
embrio dan sel-sel tubuh hasil kloning. Transaksi-transaksi semacam ini dianggap
bâthil (tidak sah) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1. Seseorang tidak boleh memperdagangkan sesuatu yang bukan miliknya.


2. Sebuah hadits menyatakan: “Di antara orang-orang yang akan dimintai
pertanggungjawaban pada Hari Akhir adalah orang yang menjual manusia
merdeka dan memakan hasilnya”.

Dengan demikian, potensi keburukan yang terkandung dalam teknologi kloning manusia
jauh lebih besar daripada kebaikan yang bisa diperoleh darinya, dan karenanya umat
Islam tidak dibenarkan mengambil manfaat terapeutik dari kloning manusia.

Entry Filed under: Kloning - Clone. .

PERAN KELUARGA
DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN ANAK
PADA ABAD 21
O LE H
Dra. TRI WIDATI SETIYA ATMARNO, M.Pd
NIP. 132140797
Guru Bimbingan Konseling SMA Negeri 2 Sukoharjo

DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN SUKOHARJO


OKTOBER 2007
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini memasuki Era Globalisasi, di satu sisi manusia mengalami
perubahan-perubahan dan kemajuan-kemajuan yang mengagumkan, namun disisi
lain muncul kecemasan-kecemasan sebagai dampak dari perubahan dan kemajuan
tersebut. Di Era Globalisasi lebih-lebih memasuki Era Teknlogi Informasi dan
Komunikasi, banyak orang yang bingung dan ragu bagaimana ia harus
menghadapi tantangan-tatangan tersebut. Era ini berpengaruh dalam berbagai
bidang, baik materiil, moril maupun spirituil. Berbagai pandangan juga
mengalami perubahan, baik itu pandangan anak kecil, remaja, pemuda ataupun
dewasa. Saat ini bukanlah keadaan yang serba enak yang bisa dihadapi dengan
santai dan apatis, melainkan penuh tantangan dan masalah yang berkaitan dengan
diri manusia dan lingkungannya. Terkadang Era Globalisasi dituding sebagai
sumber terjadinya dekadensi moral dan etika, kenakalan remaja, dan sebagainya.
Meski tudingan itu tidak seluruhnya salah, dunia tidak dapat menutup mata
bahwa hal-hal tersebut menantang manusia untuk menghadapinya, terutama hal-
hal yang menyangkut kepribadian termasuk didalamnya moral dan etika. Menurut
Benny Harahap (dalam Citra, 1997: 11-13) tantangan yang akan muncul dalam
Era Globalisasi yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak, antara
lain:
1.Pengaruh Permisive Society
Permisive society adalah sikap hidup ang permisive, yang acuh tak acuh
terhadap lingkungan, masyarakat dan semua yang ada disekitarnya. Sikap ini
mendorong adanya perubahan sikap terhadap moral dan etika yang lama dan
yang mengindahkan norma, nilai serta praktek-praktek yang dahulu dianggap
melanggar moral dan etika.

2.Pengaruh Individualisme
Sikap hidup masyarakat yang permisive mendorong adanya sikap/gaya hidup
individualistis, yaitu pandangan hidup yang hanya mementingkan
kepentinngan pribadi dan mengabaikan kepentingan umum atau orang lain.
Sikap hidup ini mengakibatkan seseorang menjadi sombong, egoistis dan
serakah.
3.Pengaruh Humanisme
Apabila ditelusuri lebih jauh akar dari sikap permisive dan individualis,
banyak dipengaruhi oleh humanisme modern yang bergerak bebas dalam
dunia pendidikan. Humanisme kuno pada jaman Renaisance memang tidak
bertentangan dengan ajaran Tuhan, sebab disamping diakuinya peranan Tuhan
dalam hidup manusia, peranan manusia juga memiliki, arti penting. Namun
humanisme modern bertentangan dengan ajaran Tuhan, karena menganggap
manusia sebagai pusat dan menjadi ukuran segala-galanya, dan manusia
menjadi hakim tertinggi dalam memutuskan suatu kebenaran. Humanisme ini
tidak berbeda dengan sekularisme yang menolak kepercayaan rohani dan
menonjolkan soal duniawi. Dalam humanisme modern Tuhan disingkirkan
dan diganti dengan manusia, akibatnya manusia tidak mau peduli dengan
Penciptanya, tidak mau peduli alam dan sesama manusia itu sendiri.
4.Pengaruh Materialisme dan Konsumerisme
Materialisme memandang segala sesuatu diukur dari segi kebendaan, termasuk
manusia. Manusia dipandang sebagai benda belaka. Penganjur materialisme
ini adalah Feurbach, guru Karl Marx. Ia berkata “Manusia itu tidak lebih
daripada apa yang dimakan yaitu roti atau benda”.
Istilah konsumerisme berasal dari bahasa latin “consumere”, yang berarti
“memakai” atau “memakai sampai habis”. Bisa juga diartikan pemborosan.
Konsumerisme adalah gaya hidup konsumtif, yaitu gaya hidup yang dikuasai
oleh keinginan untuk mendapatkan, memiliki, memakai dan menikmati segala
sesuatu. Sikap dan gaya hidup ini dijiwai oleh gengsi atau harga diri.
Hubungan antara materialisme dan konsumerisme adalah pementingan akan
benda. Benda dianggap yang terpenting. Orang-orang seperti ini tidak pernah
4 puas terhadap segala sesuatu . Ia akan terus memiliki, memakai, menikmati
segala sesuatu apabila menguntungkan dan menyenangkan dirinya sendiri.
Saat ini adalah waktu yang ditandai dengan perubahan yang luar biasa,
terutama di bidang teknologi dan ekonomi. Perubahan itu mendorong manusia
bersikap materialistis dan konsumtif. Perubahan ini telah membawa manusia
ke puncak perkembangan yang terus berlangsung. Alat-alat penemuan baru
dengan iklan-iklannya, memancing gaya hidup konsumtif semakin meluas
dikalangan masyarakat. Tidak sedikit keluarga-keluarga sebagai unit terkecil
dalam masyarakat menjadi kehilangan orientasi hidup, terseret dalam gaya
hidup materialistis dan konsumtif. Ada banyak orang tua yang mengajarkan
anak-anaknya demikian “Nak, carilah uang dengan jujur, jika tidak bisa,
pokoknya carilah uang dengan cara apapun !”. Ketidakpuasan memang sudah
merajalela kemana-mana, manusia tak henti-hentinya mencari kepuasan.
5.Pengaruh Identitas Diri
Apabila kita amati situasi remaja saat ini, seringkali kita hanya melihat hal-hal
yang negatif. Itu bisa terjadi karena banyak hal negatif yang kita saksikan dari
remaja, misalnya: penyalahgunaan narkoba, tawuran, perilaku free sexs (seks
bebas), dsb. Dari segi usia, remaja adalah mereka yang berusia 12-17 tahun.
Dari segi psikologis, remaja adalah mereka yang sedang berada dalam
perkembangan / pembangunan kepribadian menuju ke awal kedewasaan.
Remaja itu bukan anak-anak lagi, tetapi juga belum dikatakan sebagai orang
dewasa. Dalam perkembangannya, remaja mudah sekali dipengaruhi oleh
jaman, pergaulan dan masyarakat tempat ia tumbuh dan berkembang. Ia
mengalami pergumulan batin masalah seks, pendidikan, keluarga, sosial, juga
masalah agama, moral dan identits diri. Dekadensi moral remaja
memunculkan kejahatan sosial seperti yang telah disebutkan di atas.
Ketertarikan remaja terhadap kebebasan yang terlepas dari aturan dan ikatan,
mengalahkan wibawa moral dan etika yang ditanamkan orang tua, agama,
sekolah, masyarakat maupun hukum.
Selain pengaruh-pengaruh yang di sebut atas, dalam era globalisasi, era
perdagangan bebas dan millennium ke tiga sekarang ini telah terjadi perubahan-
perubahan yang sangat cepat dan mendasar dalam setiap aspek kehidupan seperti
ekonomi, sosial, budaya, politik, pasar dan lingkungan sebagai akibat dari
kemajuan ilmu pengetahuan teknologi dan Teknplogi Teknplogi Informasi dan
Komunikasi dan Komunikasi yang merupakan kekuatan pendorong terciptanya
persaingan yang semakin tajam dan ketat. Hal ini mengharuskan kita semua untuk
dapat memiliki keunggulan kompetitif yang berkesinambungan.
Dalam menghadapi persaingan tersebut sumber daya yang ada harus dapat
dimanfaatkan dan diberdayakan secara optimal. Dari berbagai sumber daya yang
ada sumber daya manusia merupakan salah satu faktor kunci untuk membangun
suatu keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Dengan memiliki Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berkualitas akan dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan suatu usaha karena SDM yang unggul akan mampu mengelola
sumber daya lainnya secara efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan daya
saing. Contoh tentang hal ini dapat kita lihat di Negara-negara Jepang, Singapura,
Korea dan Taiwan.
Berdasarkan kenyataan dan tuntutan jaman yang telah diuraikan di atas,
peran keluarga sangat dibutuhkan dalam membentuk kepribadian anak dalam
rangka mencetak SDM yang handal menuju terwujudnya usaha penyiapan SDM
yang kompetitif. Apalagi telah kita ketahui bahwa keluarga adalah sebagai
pendidik yang pertama dan utama bagi anak. Dalam kerangka itulah, penulis
tertarik untuk melakukan analisa dan memberikan pokok-pokok pemikiran yang
berhubungan dengan Peran Keluarga Dalam Membentuk Kepribadian Anak Pada
Abad 21.

B.Rumusan Masalah
Masalah yang hendak dijawab dalam tulisan ini dirumuskan sebagai
berikut, “Bagaimanakah peran keluarga dalam membentuk kepribadian anak
pada abad 21 ?”.
C.Tujuan Penulisan
Tulisan ini disusun dengan tujuan untuk mendeskripsikan peran keluarga
dalam membentuk kepribadian anak pada abad 21.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

A.Pengertian Keluarga
Ada banyak pengertian tentang keluarga. Berikut ini beberapa pengertian
yang dijadikan dasar penulis dalam membahas masalah tulisan ini. Alex Thio
(1989: 316) mengutip pengertian keluarga demikian “the familiy…a group of
related individuals who live together and cooperate as a unit”. Keluarga 
merupakan kelompok individu yang ada hubungannya, hidup bersama dan
bekerjasama di dalam suatu unit. Kehidupan dalam kelompok tersebut bukan
secara kebetulan, tetapi diikat oleh hubungan darah atau perkawinan. Pendapat
tersebut dipertegas oleh pendapat Donald Light (1989: 454), “a family as a two or
more person living together and related by blood, marriage or adoption”. 
Keluarga adalah kehidupan dari dua orang atau lebih yang diikat hubungan
darah, perkawinan atau adopsi.
Senada dengan pendapat di atas Vembriarto (1993: 33) mengatakan bahwa
keluarga adalah kelompok sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang
mempunyai ikatan darah, perkawinan atau adopsi. Pendapat yang hampir sama
dikemukakan oleh Pujo Suwarno (1994: 11) bahwa keluarga adalah suatu ikatan
persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan
jenis, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak sendirian atau dengan
anak-anak baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah
tangga. Sementara menurut Tirtaraharja (1995: 50) keluarga diartikan sebagai
kelompok primer yang terdiri atas sejumlah orang, karena hubungan semenda dan
sedarah. Keluarga itu dapat berbentuk keluarga inti (nuclear family) yang terdiri
ayah, ibu dan anak-anak.
Dari beberapa pedapat di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah
suatu persekutuan hidup yang diikat oleh perkawinan, hubungan darah atau
adopsi. Didalamnya terdapat ayah, ibu dan beberapa anak (keluarga inti) serta
kakek-nenek atau yang lain (keluarga diperbesar).

B.Tanggung Jawab Keluarga Bagi Anak


Seiring dengan tuntutan perkembangan jaman, semakin banyak pasangan
suami-istri yang bekerja di luar rumah. Sebagai konsekuensinya waktu yang
dimiliki orang tua untuk anak semakin sedikit. Keluarga yang dahulu merupakan
satu-satunya institusi pendidikan kini fungsinya mengalami banyak perubahan.
Secara informal fungsi pendidikan keluarga masih penting, namun secara formal
fugsi pendidikan keluarga telah diambil alih oleh sekolah. Proses pendidikan di
sekolah menjadi makin bertambah rentang waktunya (mulai dari Taman Kanak-
Kanank sampai dengan Perguruan Tinggi) dan pengaruhnya menjadi makin
penting. Semula fungsi sekolah terbatas pada pendidikan intelek, tetapi sekarang
sekolah cenderung mengarahkan kepada anak didik sebagai pribadi. Guru dengan
bantuan konselor bersama-sama membantu anak agar mereka berhasil
menyesuaikan diri dalam masyarakat. (Vembiarto, 1993: 36).
Atas pernyataan Vembriarto di atas, penulis tidaklah menolaknya. Namun
satu hal yang perlu dipertegas adalah bagaimanapun juga orang tua adalah sebagai
pendidik yang pertama dan utama, yang tugasnya tidak boleh diambil alih oleh
sekolah. Pendapat tersebut penulis tekankan karena menurut Drost (2001: 33-35)
sekolah, yaitu para guru adalah pembantu orang tua pada bidang yang tidak dapat
ditangani oleh orang tua sendiri, yakni pengajaran. Tugas sekolah adalah
berfungsi sebagai lembaga pengajaran. Segala kegiatan di sekolah harus
menunjang pelaksanaan tugas pokok mengajar. Kegiatan ekstrakurikuler,
olahraga, kebudayaan, rohani dan lainnya harus sebagai penunjang proses belajar
mengajar, yang sifatnya membantu orang tua dalam mendidik anak. Disisi lain
pembentukan watak anak adalah justru bagian pendidikan orang tua yang tidak
boleh diserahkan kepada orang lain atau instansi lain.
Sebagai pembantu orang tua, sekolah sebaiknya menentukan kebijakan dan
bertindak setelah mendengar orang tua, peka dan terbuka terhadap keinginan
orang tua di dalam situasi tertentu. Untuk itu amatlah penting mengikutsertakan
orang tua ke dalam badan yang menentukan kebijakan sekolah. Adalah hal yang
sangat ganjil apabila sekolah menjadi pembantu orang tua, tetapi orang tua tidak
tahu atau bahkan tidak boleh tahu apa yang dilaksanakan sekolah.
Orang tua yang dikaruniai anak oleh Tuhan bukanlah suatu hal yang
kebetulan, tetapi harus diyakini bahwa itu terjadi karena Tuhan mempercayai
orang tua untuk melaksanakan tugas luhurnya yaitu bertanggung jawab terhadap
anak-anaknya. Menurut Verkuyl dan Rubino Rubiyanto (1999: 245) orang tua
memiliki tiga tugas dan tanggung jawab berikut ini.
1.Mengurus keperluan materiil anak-anak.
Mengurus keperluan materiil anak-anak adalah tugas pertama orang tua.
Dalam hal ini orang tua harus memberi makan, tempat perlindungan, dan
pakaian kepada anak-anak. Anak sepenuhnya masih tergantung kepada orang
tuanya, karena anak belum mampu mencukupi kebutuhan sendiri.
2.Menciptakan suatu “home” bagi anak-anak.
Home di sini berarti bahwa di dalam keluarganya anak dapat berkembang 
dengan subur, merasakan kemesraan, kasih sayang, keramah tamahan, aman,
dan rasa terlindungi. Dirumahlah anak merasa tentram, tidak pernah kesepian,
selalu gembira.
3.Tugas Pendidikan
Tugas pendidikan ialah mengajar, melatih orang-orang muda, sehingga
mereka dapat memenuhi tugas mereka terhadap Tuhan, sesama manusia, dan
sekelilling mereka. Titik tolak tugas pendidikan ini menurut Drost (2000: 41)
adalah seorang manusia yang masih muda. Artinya yang dilatih adalah
manusia muda, bukan manusia rekaan orang tua. Diisyaratkan oleh Drost
bahwa syarat awal bagi berhasilnya proses pendidikan adalah menerima anak
sebagaimana adanya, entah pandai atau lemah, entah lasak atau tenang, entah
alim atau nakal. Orang tua wajib mengakui nak lahir sebagai anak itu sendiri.
Oleh karena itu anak harus diterima dengan senang hati sebagai seorang anak
manusia yang diserahkan Tuhan kepada orang tua. Pemberian Tuhan tidak
boleh dibandingkan dengan anak-anak lain. Drost juga menjelaskan bahwa
masalah-masalah dalam pendidikan anak biasanya dimulai dengan kenyataan
bahwa orang tua pada umumnya tidak menerima kenyataan dari anaknya
sendiri. Segala yang dilakukan tidak demi kepentingan anak, tetapi demi
ambisi orang tua. Orang tua tidak menerima sebagaimana adanya, tetapi anak
dipaksa menjadi rekaan orang tua. Kalau anak tidak bisa belajar karena
tuntutan terlalu berat, kemudian anak dituduh sebagai anak yang malas
belajar.
C.Peran Pendidikan Keluarga Dalam Membentuk Kepribadian Anak
“Anak merupakan cermin keluarga / orang tua”. Demikianlah ungkapan
yang sering kita dengar sebagai satu pengakuan bahwa orang tua memiliki
andil yang sangat besar dalam membentuk kepribadian anak. Sebagaimana
telah dijelaskan di depan pendidikan keluarga merupakan bagian yang tidak
mungkin tergantikan oleh siapapun dalam proses pembentukan kepribadian
anak. Sebab keluarga adalah pendidik dan penyelenggara pendidikan yang
pertama dan utama bagi anak-anak dalam menanamkan nilai-nilai, sikap,
motivasi, minat, komitmen maupun konsep diri anak-anak. Sedemikian
pentingnya peran keluarga ini seorang ahli psikologi keluarga yang bernama
Sal Savere (2000 : xi) mengatakan bahwa jika kita memperbaiki keluarga
seorang anak, maka semua aspek lainnya akan terperbaiki juga. Pendapat
tersebut didukung oleh pendapat Sylvia Rimm (1997 : xx) yang mengatakan
bahwa anak-anak lebih berprestasi jika para orang tua mereka bekerja sama
dalam memberi pesan secara jelas, positif dan seragam tentang bagaimana
seharusnya mereka belajar serta apa harapan-harapan orang tuanya terhadap
mereka. Pernyataan Sylvia ini merupakan salah satu prinsip dasar cara
membesarkan anak dengan sukses. Berkaitan dengan pernyataan tersebut
Charles Cooley (Supriyadi, 1986: 476) mengungkapkan demikian “keluarga
disebut kelompok yang paling primer karena mempengaruhi pembentukan
kepribadian seseorang”.
Peran orang tua sebagai pendidik bagi anak-anaknya adalah suatu
keharusan dan mesti dilakukan orang tua kepada anak-anaknya, sebab
menurut Drost (1999: 22-29) anak-anak sangat membutuhkan beberapa hal
berikut ini.
1.Mencintai dan Dicintai
Mencintai dan dicintai adalah kebutuhan paling mendasar bagi manusia. Itu
berarti secara konkrit orang tua harus terbuka kepada anaknya agar dapat
mengenalinya. Yang tidak dikenal mustahil dicintai.
2.Perlindungan hingga merasa aman dan kerasan
Percaya mempercayai adalah syarat mutlak menciptakan suasana aman,
yaitu suasana keterbukaan yang memberikan kesempatan kepada anak
untuk ikut berbagi kebahagiaan, keberhasilan, juga kegagalan dan
keprihatinan dari keluarga.
3.Bimbingan
Bimbingan berarti orang tua harus menerima kemampuan anak apa adanya.
Supaya kemampuan anak berkembang, orang tua harus menciptakan ruang
lingkup yang menggairahkan dan merangsang. Kemudian yang perlu
dihindari adalah segala hal yang menekan. Kemampuan anak harus
dikembangkan, bukan cita-cita orang tua yang dipaksakan kepada anak.
Anak bukan manusia dewasa kecil yang perlu dibesarkan melainkan anak
yang harus didewasakan. Jadi bimbingan harus tegas, namun sabar dan
penuh pengertian. Bimbingan harus didasarkan atas kepercayaan kepada
anak, bukan kecurigaan. Bimbingan orang tua harus menyesuaikan diri
dengan keadaan nyata si anak yang dibimbingnya
4.Diakui
Artinya orang tua harus menghargai pribadi anak. Meskipun anak masih
tergantung pada orang tua, ia harus diperlakukan sebagi pribadi yang
dihargai hak-haknya.
5.Disiplin
Anak adalah manusia yang didewasakan. Sesuai dengan umurnya sedikit
demi sedikit ia harus diajari dan dibiasakan hidup sebagai makhluk sosial.
Ia harus bergul dengan orang lain/sesamanya. Ia harus belajar bahwa
pergaulan berarti ada aturan permainan. Ada batas-batas pada perilakunya.
Semau gue tidak mungkin menjadi pola hidupnya. Orang tua harus mampu 
menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam hal disiplin. Apabila anak
melihat ayah dan ibunya orang yang tahu disiplin, ia akan menerima bahwa
kepadanya dituntut disiplin juga.
Dengan kebutuhan-kebutuhan anak tersebut, Vembriarto (1993: 43)
menambahkan bahwa proses pembentukan kepribadian anak dipengarui oleh
corak pendidikan dan hubungan antara orang tua dengan anak. Corak pendidikan
yang dimaksud oleh Vembriarto dibagi menjadi tiga pola.
1.Pola menerima – menolak. Pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang
tua terhadap anak.
2.Pola memiliki – melepaskan. Pola ini didasarkan atas seberapa besar sikap
protektif orang tua terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap orang tua
over protektif dan memiliki anak, sampai kepada sikap mengabaikan anak
sama sekali.
3.Pola demokrasi – otokrasi. Pola ini didasarkan atas taraf partisipasi anak
dalam menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti
orang tua bertindak sebagai diktator terhadap anak, sedangkan dalam pola
demokrasi anak dapat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan keluarga,
walaupun masih dalam batas-batas tertentu.
Anak yang dididik dalam keluarga dengan pola otokrasi biasanya akan
bertumbuh
dan
berkembang
menjadi
anak
yang
tidak
dapat
mengembangkan diri. Hal ini dapat terjadi karena orang tua bertindak
diktator, selalu ingin mengatur anaknya, anak tidak diberi kesempatan
untuk mengemukakan pendapatnya. Akibatnya, anak dengan pola didikan
otokrasi biasanya akan memiliki kepribadian yang tidak stabil, cenderung
memiliki sifat curiga terhadap orang lain dan suka menentang kekuasaan.
Mereka tidak lagi terkesan dan takut terhadap hukuman, karena sudah
terlalu sering dihukum. (Dwi Nugrahawati, 2000: 26).
Anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan pola didikan demokratik
akan memiliki kepribadian yang lebih luwes dan dapat menerima
kekuasaan secara rasional, bersikap lebih positif, merasa dihargai dan
diakui keberadaannya oleh orang tua, sehingga akan lebih stabil dalam
bertindak dan betingkah laku. Dalam keluarga demokratik orang tua
mampu menjelaskan kepada anak tentang pola dan aturan-aturan tertentu
serta alasan mengapa aturan tersebut dibuat. Anak diberi kesempatan
untuk mengungkapkan perrmasalahan yang dihadapi, mengungkapkan
perasaan, dan diajak berdiskusi. Peran orang tua di sini adalah
mengarahkan dan membimbing anaknya agar anaknya tidak berperilaku
menyimpang dari aturan yang ada (Dwi Nugrahawati, 2000 : 29).
Orang tua sebaiknya juga bersikap adil kepada anak-anaknya. Orang tua
hendaknya memperlakukan anak-anaknya dengan adil dan sama, tidak
membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Perlakuan yang tidak adil
dapat membuat anak tidak betah tinggal di rumah, kurang akrab dengan
orang tua, sehingga hubungan antara anak dengan orang tua dapat
terganggu. Anak dalam keluarga yang kurang komunikasi dan sosialisasi
dengan orang tua akan mengalami kesulitan berhubungan dengan orang
lain. Akibatnya anak akan menjadi labil. Hubungan orang tua dan anak
yang mengarah keperhatian orang tua terhadap anak, penuh kasih sayang
dan keakraban akan memberikan keserasian dalam keluarga. Anak dalam
keluarga yang demikian tidak akan terganggu perkembangannya, sehingga
ia dapat melakukan tugas kewajibannya sebagai anak (Dwi Nugrahawati,
2000 : 29-30).
Dalam rangka membentuk kepribadian anak, pelaksanaan pendidikan
keluarga tidaklah sama dengan pendidikan di sekolah. Pendidikan di sekolah
dilaksanakan atas dasar kurikulum, materi pelajaran dan jumlah jam pelajarannya
berlaku secara nasional dan diatur sedemikian rupa. Pendidikan keluarga
merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam
keluarga untuk memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan
ketrampilan serta pelaksanaannya tidak berdasarkan kurikulum (UU RI No.2 Th.
1989, pasal 10, ayat 4). Pendidikan keluarga biasanya dilaksanakan pada saat ada
pertemuan antara orang tua dengan anak dan dalam suasana yang santai, misalnya
pada waktu makan bersama (biasanya makan malam), bepergian atau jalan-jalan
bersama dan menonton televisi. Khusus untuk menonton TV ini, orang tua
hendaknya mampu memberikan pendampingan dan bimbingan terhadap acara-
acara TV yang ditonton. Sebab banyak acara TV yang bersifat tidak mendidik dan
hanya memenuhi kepentingan bisnis. Sedangkan materinya sebagaimana tertuang
dalam UU RI No.2 Th. 1989, pasal 10, ayat 4 tersebut dapat berupa nilai-nilai,
norma-norma, aturan dalam keluarga, agama, pandangan hidup, masalah-masslah
yang aktual atau yang lain yang dianggap penting dalam keluarga tersebut.
Penyampaian materinya biasanya dalam bentuk nasihat, petuah atau diskusi
(Tambunan, 1982 : 121 -161).
Waktu dan materi pendidikan keluarga, menurut para psikolog (Tambunan,
1982 : 158) waktu makan sore adalah waktu / kesempatan terbaik bagi keluarga,
karena waktu makan sore biasanya seluruh anggota keluarga dapat berkumpul
bersama. Pada saat itu antara orang tua dan anak dapat saling membagi cinta,
mempererat ikatan, memberi petunjuk-petunjuk, nasihat, dan menceritakan
pengalaman-pengalaman. Sambil mendengarkan anak-anak menyampaikan
keluhan, orang tua dapat mengetahui kebutuhan-kebutuhan apa saja yang
diperlukan anak-anak, dan bersama-sama memperbincangkan serta mencari jalan
keluarnya. Tambunan menegaskan bahwa inilah waktu yang tepat bagi para orang
tua untuk mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang baik secara langsung, mengenal
tabiat dan keperluan anak, merangsang minat belajar anak dan menyampaikan
pujian atas tugas yang dilakukan dengan baik.
Hasil penelitian yang membuktikan tentang peran orang tua sebagai faktor
utama dalam belajar anak antara lain penelitian yang dilakukan oleh Benjamin
Bloom terhadap sejumlah profesional muda (usia 28 tahun – 35 tahun) yang
berhasil dalam kariernya dalam berbagai lapangan kerja seperti pakar matematika.
neurolog, pianis maupun olahragawan. Mereka yang menjadi sasaran penelitian
tersebut menunjukkan ciri-ciri yang sama yaitu adanya keterlibatan orang tua
mereka. Dorongan orang tua merupakan hal yang utama di dalam mengarahkan
goal atau cita-cita mereka (Reni Akbar dan Hawadi, 2001 : 96).
Daisy Imelda memberikan beberapa saran kepada para orang tua dalam
rangka meningkatkan perannya membentuk kepribadian anak ( http://www. 
bpkpenabur.or.id/kps­jkt/wydiaw/58/artikel1.htm)
yaitu, (1) kenali kemampuan
anak, jangan menuntut anak melebihi kemampuannya, (b) jangan membanding-
bandingkan anak dengan kakak atau adiknya, sebab setiap anak mempunyai
kemampuan yang berbeda, (c) menerima anak dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, (d) membantu anak mengatasi masalahnya, (e) tingkatkan
semangat belajar anak, misalnya memberi pujian, pelukan, belaian, atau ciuman,
(f) jangan mencela anak dengan kata-kata yang menyakitkan, misalnya mencela
dengan kata-kata “bodoh”, “tolol”, “otak udang”, anak yang sering mendapat cap
seperti itu pada akhirnya akan mempunyai pandangan bahwa dirinya memang
bodoh dan tolol, (g) mendidik adalah tanggung jawab bersama, maksudnya ayah
dan ibu mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mendidik anak, (h)
senantiasa berdoa agar anak mendapat hasil terbaik.

BAB III
KESIMPULAN

Dalam menghadapi era globalisasi dan era informasi, terutama dalam


menghadapi tuntutan pasar bebas bangsa Indonesia sebagai bagian dari bangsa-
bangsa di dunia, mau tidak mau kalau tidak ingin tertinggal dari bangsa-bangsa
lain harus mengambil langkah-langkah / terobosan-terobosan menuju tercapainya
Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompetitif.
Kepribadian anak yang merupakan inti dari SDM harus dipersiapkan
sedemikian rupa, sehinga mampu menjadi SDM yang kompetitif. Pendidikan
keluarga sebagai pendidikan pertama dan utama dalam membentuk kepribadian
anak perannnya harus dioptimalkan. Berdasarkan pembahasan masalah pada bab
II, maka dapat disimpulkan bahwa peran pendidikan keluarga dalam membentuk
kepribadian anak pada abad 21 adalah sebagai berikut:
1.Mencintai Anak Tanpa Syarat (Cinta “walaupun”, bukan Cinta “karena)
Artinya “walaupun” anak mempunyai banyak kelemahan orang tua tetap
dituntut memberikan cinta dan kasih sayangnya. “Walaupun kamu….., aku
orang tua tetap mencintaimu Nak”. Bukan “karena kamu……, maka aku
orang tuamu mencintai kamu”. Atau “Bapak/Ibu akan sayang kamu, kalau
kamu …..”. Dalam hal ini cinta orang tua tersebut bersyarat (cinta bersyarat).
2.Mengenali Kemampuan Anak dan Membimbingnya Sesuai Kemampuannya
Orang tua harus mengenal dan menerima kemampuan anak apa adanya.
Tugas orang tua adalah menciptakan ruang lingkup yang menggairahkan,
merangsang, serta mengembangkan kemampuan anak.
3.
Menghargai Dan Mengakui Anak Sebagai Pribadi
Meskipun anak masih tergantung dengan orang tua ia harus diperlakukan
sebagai pribadi yang dihargai hak-haknya. Misalnya, memberikan pujian,
pelukan, atau ciuman ketika ia berhasil.
4.Menciptakan Dan Menyediakan Waktu Untuk Berkumpul & Berbagi
Pengalaman Bersama dengan Anak
Waktu yang tepat untuk berkumpul dan berbagi pengalaman bersama dengan
anak misalnya waktu makan bersama (biasanya makan malam), bepergi/jalan-
jalan bersama dan menonton televisi. Khusus menonton TV ini, orang tua
hendaknya mampu memberikan pendampingan dam bimbingan terhadap
acara-acara TV yang ditonton, terutama acara TV yang bersifat tidak
mendidik. Waktu-waktu tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang tua untuk
berdiskusi atau sharing sambil mendengarkan keluhan anak. Dengan demikian
orang tua dapat mengetahui kebutuhan yang diperlukan anak-anak, dan
bersama-sama memperbincangkan serta mencari jalan keluarnya.
5.Mengajarkan Dan Menanamkan Disiplin
Sejak dini disiplin harus ditanamkan pada diri anak. Dalam setiap pergaulan
pasti diberlakukan role of the game (aturan permainan) dengan tujuan ada
batas-batas perilaku bagi anggota masyarakat yang ada didalamnya. Orang tua
harus mampu menjadi teladan bagi anak-anak dalam hal disiplin.
6.Menerapkan Pola Didikan Demokrasi
Dalam pola pendidikan ini anak diberi kesempatan untuk mengungkapkan
permasalahan yang dihadapi, mengungkapkan perasaan, dan diajak berdiskusi.
Peran orang tua di sini adalah mengarahkan dan membimbing anaknya agar
anaknya tidak berperilaku menyimpang dari aturan yang ada.
7.Bersikap Adil Terhadap Anak-Anaknya
Orang tua harus bersikap adil kepada anak-anaknya. Dalam hal ini orang tua
harus memperlakukan anak-anaknya sama, tidak pilih kasih, dan tidak
membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Perlakuan yang tidak adil
dapat membuat anak tidak betah tinggal di rumah, kurang akrab dengan orang
tua, sehingga hubungan antara anak dengan orang tua dapat terganggu.

PENUTUP

Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis hendak mengutip ungkapan nila-nilai
dan didikan orang tua menurut Dorothy L. Nolte dengan judul
ANAK BELAJAR DARI NILAI­­­­NILAI
YANG MELINGKUPINYA

Jika anak­anak hidup dengan kecaman,mereka belajar untuk mengutuk, 
Jika anak­anak hidup dengan permusuhan, mereka belajar untuk berkelahi, 
Jika anak­anak hidup dengan ketakutan, 
mereka belajar untuk tercekam kekhawatiran 
Jika anak­anak hidup dengan belas kasihan, 
mereka belajar untuk mengasihani diri sendiri 
Jika anak­anak hidup dengan cemoohan, mereka belajar untuk menjadi pemalu 
Jika anak­anak hidup dengan kecemburuan, mereka belajar untuk merasa iri 
hati 
Jika anak­anak hidup dengan rasa malu, 
mereka belajar untuk menyalahkan diri sendiri 
Jika anak­anak hidup dengan toleransi, mereka belajar untuk bersikap sabar 
Jika anak­anak hidup dengan dorongan semangat, 
mereka belajar untuk menjadi percaya diri 
Jika anak­anak hidup dengan pujian, 
mereka belajar untuk memberikan penghargaan 
Jika anak­anak hidup dengan persetujuan, 
mereka belajar untuk menyukai diri sendiri 
Jika anak­anak hidup dengan pernerimaan, 
mereka belajar untuk menemukan cinta di dunia ini 
Jika anak­anak hidup dengan pengakuan, mereka belajar untuk memiliki tujuan 
Jika anak­anak hidup dengan kebiasaan saling berbagi, 
mereka belajar untuk bermurah hati 
Jika anak­anak hidup dengan kejujuran dan keadilan, 
mereka belajar memahami apa kebenaran dan keadilan itu 
Jika anak­anak hidup dengan keamanan, mereka belajar untuk percaya terhadap 
diri sendiri dan terhadap orang­orang di sekitar mereka 
Jika anak­anak hidup dengan persahabatan, mereka belajar bahwa dunia adalah 
tempat yang menyenangkan untuk dihuni, 
Jika anak­anak hidup dengan ketentraman, 
mereka belajar untuk memiliki ketenangan pikiran. 
Dengan apa anak-anak kita menjalani kehidupannya?
Demikian uraian dalam tulisan ini, semoga bermanfaat bagi para pembaca
khususnya para orang tua dalam mendidik anak-anak guna menyongsong
kehidupan dalam abad 21 sebagai zaman yang telah memasuki era globalisasi dan
era informasi.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1992. Undang­Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI 
No.2 Tahun 1989) Dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar 
Grafika. 

Aryatmi S. 1983. Komunikasi Antara Orang Tua dengan Remaja adalah Kunci 
Keberhasilan Pendidikan. Gema Bimbingan Th. XI 1983, No. 3. Salatiga 
: Pusat Bimbingan Universitas Kristen Satya Wacana. 

Benny Harahap. 1997. Peran Pendidikan Agama Dalam Membentuk Moral Anak 
Menghadapi Era Globalisasi (Citra, Buletin Jemaat GKI Sangkrah 
Surakarta. No. 01/Mei/1997). Surakarta 

Depdiknas. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke­3. Jakarta. Balai 
Pustaka

Donald Lihgt. 1989. Sosiology. New York: Alfred A. Knopf. 

Dwi Nugrahawati. 2000. Hubungan Antara Intensitas Interaksi Antar Anggota 
Keluarga. Peranan Teman Sebaya Dan Kenakalan Pelajar Di SMU 
Negeri 1 Pakem, Sleman, Yogyakarta (Skripsi). Surakarta: Fisipol 
Universitas Sebelas Maret. 

J. Drost, SJ. 1999. Proses Pembelajaran Sebagai Proses Pendidikan. Jakarta: 
Grasindo.

__________. 2000. Reformasi Pengajaran, Salah Asuhan Orang tua ?. Jakarta: 
Grasindo.

__________. 2001. Sekolah: Mengajar Atau Mendidik. Yogyakarta: Kanisius & 
Universitas Sanata Dharma.
Mardiatmadja, BS. 1986. Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. 

Pujo Suwarno, Sayekti. 1994. Bimbingan Konseling Keluarga. Yogyakarta: 
Menara Mas Offset.

Reni Akbar & Hawadi. 2000. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Grasindo. 

Rubino Rubiyanto. 1999. Pendidikan Anak Dalam Keluarga Miskin (Studi 
Tentang Manifestasi Kasih Sayang Orang tua Kepada Anak Dalam 
Keluarga Miskin di Desa Gathak Banyurejo Tempel Sleman) (Tesis). 
Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. 
20
S.T Vembriarto. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia. 
Sal Severe. 2000. Bagaimana Bersikap Pada Anak Agar Anak Bersikap Baik,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sunaryo. 2000. Kualifikasi Sumber Daya Masa Depan (Makalah Pada Seminar
Dies Natalis Universitas Sebelas Maret Surakarta Ke XXIV Tanggal 27 
Maret 2000). Surakarta. 
Supriyadi, 1996, Pengantar Sosiologi. Surakarta: UNS Press.

S. Daisy Imelda, Peran Orang Tua Dalam Membantu Anak Belajar. 
( http://www.bpkpenabur.or.id/kps­jkt/wydiaw/58/artikel1.htm ).
Sylvia Rimm. 1997. Mengapa Anak Pintar Memperoleh Nilai Buruk. Jakarta:
Grasindo.

Tambunan, Emil H. 1982. Mencegah Kenakalan Remaja. Bandung: Indonesia 
Publishing House.

Thio, Alex. 1989. Sosiology an Introduction. New York Cambridge: Herper & 
Row Publisher.

Tirtaraharja, Umar & La Sulo. 1994. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Proyek 
Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan, Depdikbud 
Dirjen Dikti 

Anda mungkin juga menyukai