Makalah Pelatihan Kepemimpinan Putra Sunda yang diadakan oleh Gema Jabar
tanggal 21 Agustus 2006
Panitia meminta saya berbicara tentang “Kajian Sejarah dan Falsafah Sunda”. Sejarah
dan Falsafah adalah dua bidang kajian yang berlainan dan masing-masing memerlukan
keahlian sendiri, sedangkan saya bukan ahli dalam keduanya. Saya mau menerima
permintaan Panita, namun hanya mengenai salah satu bidang saja, ialah tentang Falsafah
Sunda. Bukan karena saya merasa tahu tentang falsafah Sunda, melainkan karena
belakangan ini saya dengar banyak sekali orang yang berbicara tentang “falsafah Sunda”
yang menimbulkan tandatanya pada diri saya. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan
“falsafah Sunda”? Yang saya tangkap kalau saya dengar orang berbicara atau menulis
tentang “fasafah Sunda” hanyalah pikiran-pikiran orang itu sendiri yang sering tidak
rasional, tidak sistimatis dan tidak jelas metodologinya. Biasanya merupakan campuran
mitos, mistik dan kirata basa saja. Ngawur!
Panitia sendiri menulis dalam Term of reference-nya, bahwa “Sunda dan kesundaan
sangat kaya akan pelajaran dan falsafah hidup.” Tidak tahu dari mana kesimpulan itu
diperolehnya. Saya sendiri sampai sekarang tidak berhasil menemukan “kekayaan” itu.
Banyak hal yang dibanggakan sebagai milik orang Sunda atau warisan dari karuhun
Sunda, setelah dikaji agak mendalam ketahuan bawa sebenarnya hanya cangkokan saja
dari India, dari Jawa, atau dari Islam. Pencangkokan yang sering tidak pula dilakukan
secara profesional.
Apakah orang Sunda mempunyai tradisi berpikir tentang berpikir? Pertanyaan sederhana
ini susah dijawab, karena dalam tradisi filsafah, berpikir itu tidak hanya yang dilakukan
dalam kepala seseorang, melainkan harus ditulis, sehingga bukan saja dapat diketahui
oleh orang yang tidak berkenalan langsung dengan orang itu, melainkan juga kebenaran
dan ketelitiannya dapat diukur dan diuji setiap saat. Harus diakui bahwa tradisi menulis
di kalangan orang Sunda, walaupun ada naskah bahasa Sunda yang berasal dari abad ke-
16 dan sejak abad ke-19 banyak sekolah didirikan di Tatar Sunda sehingga orang Sunda
termasuk yang pertama mendapat kesempatan untuk menuliskan bahasa ibunya dengan
huruf Latin dan menggunakannya dalam buku-buku yang tercetak, namun kebiasaan
menulis, apalagi menuliskan pikiran-pikiran secara kritis dan rasional mengenai
eksistensi kehidupan, dan mengenai teori ilmu pengetahuan tidak pernah berkembang.
Yang kita temui dalam naskah-naskah kuna Sunda terutama tentang etika. Hal itu
nampak dalam naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa dan huruf Sunda Kuna - yang
sekarang hanya bisa dibaca dan dimengerti oleh beberapa orang saja, tidak akan lebih
dari 10 orang! Begitu juga dalam naskah-naskah yang lebih kemudian yang ditulis dalam
bahasa Sunda dengan huruf Pegon, huruf Hanacaraka, maupun dengan huruf Latin. Sejak
abad ke-19, orang Sunda menuliskan bahasa Sunda yang diterbitkan berupa buku, tetapi
seperti juga naskah-naskah isi buku-buku itu kebanyakan berupa cerita atau uraian
tentang agama. Hampir tidak ada yang bersifat hasil pemikiran, apalagi yang kritis!
Bersikap kritis dalam masyarakat Sunda dianggap kurang ajar. Henteu Nyunda.
Satu-satunya kekecualian mungkin hanyalah H. Hasan Mustapa (1852-1930) yang
banyak menuliskan renungan dan pendapatnya yang kritis, terutama dalam bentuk puisi,
walaupun banyak juga yang berbentuk prosa. Tetapi karya-karyanya kebanyakan
disalurkan melalui cara pesantrén tradisional, yaitu beredar dengan disalin melalui tulisan
tangan dari seorang kepada yang lainnya. Hanya tiga buah karyanya yang dicetak selama
hidupnya yaitu Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Éta (1913) dan Buku
Leutik Pertélaan Adat Jalma-jalma di Pasundan (1916). Keduanya merupakan deskripsi
étnografis, bukan hasil renungan dan pemikirannya. Yang satu lagi, walaupun terbit
ketika HHM masih hidup, namun disusun oleh W.A. (Wangsaatmadja), berjudul Balé
Bandung (1924), yang merupakan kumpulan surat-menyurat antara HHM dengan Kiai
Kurdi dari pesantrén Sukawangi, Singaparna. Surat-menyurat itu terutama membahas
masalah ketuhanan (tauhid) dalam bentuk puisi rakyat.
Di samping itu masih dapat dipersoalkan apakah ada “falsafah” sesuatu bangsa atau suku
bangsa? Kalau kita berbicara tentang falsafah Yunani misalnya, yang muncul adalah
pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh banyak filosof: Sokrates, Plato, Aristoteles,
Anaxagoras, Aristippus, Protagoras dll. Di samping itu ada juga falsafah Yunani modern
yang berkembang pada zaman modern yang juga diwakili oleh banyak pemikir yang
tidak selalu sejalan seperti Peter Vrailas-Armenis, Konstantine Tsatsos, Panayotis
Kanellopoulos, Teophilos Voreas, Christos Androutsos dll. Keseluruhan pemikiran para
filosof itulah yang membangun apa yang disebut “falsafah Yunani”. Di antara mereka
pemikirannya bukan saja tidak selalu sejalan, melainkan sering juga bertentangan satu
sama lain. Jadi bukan hanya satu macam pemikiran yang bulat menjadi hasil pemikiran
orang Yunani. Hal yang sama terjadi juga kalau kita mau berbicara tentang “falsafah
Cina”, “falsafah India”, “falsafah Jepang”, dll. Yang dimaksud selalu berarti seluruh
pemikiran yang timbul di masing-masing negara itu dan tidak selalu merupakan kesatuan
yang bulat, karena terdapat perbedaan bahkan pertentangan paham satu sama lain.
Dengan demikian “falsafah orang Sunda” harusnya terdiri dari semua pemikiran yang
dikemukakan orang Sunda selama sejarahnya tentang hidup, tentang mati, tentang seni,
tentang agama dll. Masalahnya ialah karena orang Sunda tidak (banyak) meninggalkan
naskah tertulis mengenai hal itu, sehingga kita sulit menjejakinya.
Kalau kita hendak berbicara tentang “filsafah Sunda” atau “falsafah orang Sunda”, kita
tidak akan banyak menemukan hasil pemikiran orang Sunda yang tertulis. Memang
pemikiran manusia tidak hanya dalam bentuk tulisan saja. Yang lisan pun bukannya tidak
berharga. Tradisi lisan menurunkan pemikiran nenek moyang kepada anak cucunya
melalui berbagai cara. Niscaya orang Sunda terutama mempergunakan cara lisan dalam
menyampaikan kearifan hidupnya, karena tradisi tulisan belum melembaga dalam
masarakat. Tapi sejak beberapa dasawara lembaga-lembaga lisan yang dahulu menjadi
cara menurunkan kearifan hidup orang Sunda sudah tidak berfungsi lagi. Kearifan hidup
dari nenek moyang tidak lagi disampaikan kepada anak cucu, karena masarakat Sunda
mengalami perubahan yang sangat mendasar. Hanya sebagian kecil saja kearifan nenek
moyang orang Sunda yang sempat dicatat dan dengan demikian tersimpan. Itu pun tidak
dapat disalurkan untuk diketahui oleh anak-cucunya, karena lembaga-lembaga
pendidikan dan komunikasi yang sekarang dikenal tidak memberi tempat untuk hal-hal
demikian. Artinya kalaupun ada apa yang disebut “falsafah Sunda”, namun hampir tidak
dikenal lagi oleh komunitas manusia yang sekarang disebut orang Sunda. Karena
“falsafah” itu merupakan pandangan tentang hidup (dan juga tentang mati) yang dianut
seseorang atau sekelompok orang, maka kadang-kadang “falsafah” diartikan sama
dengan “pandangan hidup”. Istilah “pandangan hidup orang Sunda” pernah dijadikan
kajian satu tim peneliti yang dilaksanakan kl. 20 tahun yl.
Proyék Sundanologi ketika dipimpin oleh Prof. Dr. Édi Ékadjati pada paruh kedua tahun
1980-an mengadakan penelitian tentang “Pandangan hidup Orang Sunda” dan
menghasilkan tiga judul buku yang masing-masing dikerjakan oleh tim peneliti yang
berlain-lainan. Yang pertama Pandangan Hidup orang Sunda seperti tercermin dalam
Tradisi lisan dan Sastra Sunda (1987) yang ditulis oleh Tim yang dipimpin oleh Prof. Dr.
Suwarsih Warnaén dengan anggota Dr. Yus Rusyana, Drs. Wahyu Wibisana, Drs.
Yudistira K. Garna dan Dodong Djiwapradja SH. Yang kedua sama judulnya (1987),
hanya dengan keterangan tambahan “Konsistensi dan Dinamika” dan walaupun Ketua
Tim tetap, namun anggotanya berubah menjadi Dodong Djiwapradja SH, Drs. H. Wahyu
Wibisana, Drs. Kusnaka Adimihardja MA, Dra Nina Herlina Sukmana dan Dra Ottih
Rostoyati. Sedang yang ketiga judulnya berubah menjadi Pandangan Hidup Orang
Sunda seperti tercermin dalam kehidupan Masyarakat Dewasa Ini (1988/1989) dengan
Tim yang terdiri dari Dr. Yus Rusyana, Drs. Yugo Sariyun MA, Dr. Edi S. Ekadjati, dan
Drs. Undang Ahmad Darsa.
Ketiga buku itu sampai sekarang merupakan hasil kajian yang boleh dikatakan cukup
mendalam tentang pandangan hidup orang Sunda, baik yang tertulis dalam naskah-
naskah dan buku-buku, maupun yang terdapat dalam tradisi lisan dan berdasarkan hasil
wawancara terhadap orang-orang Sunda dewasa ini - yaitu pada masa penelitian itu
dilangsungkan kl. 20 tahun yl. Penelitian tahap I sampai pada kesimpulan yang ternyata
konsisten dengan hasil penelitian pada tahap II, namun kesimpulan pada tahap III
menunjukkan terjadi pergeseran-pergeseran dalam berbagai hal.
Dalam kesempatan ini saya ingin menjadikan hasil penelitian itu sebagai pegangan kita
dalam mencari jawaban atas pertanyaan apa dan bagaimana gerangan yang disebut
“falsafah Sunda” tanpa terjebak dalam persoalan apakah istilah “falsafah” yang
dimaksud oleh Panitia sama dengan istilah “pandangan hidup”, tidakkah “pandangan
hidup” lebih sempit dari “falsafah” dan sebagainya.
Penelitian tentang Pandangan hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam tradisi lisan
dan sastera Sunda, dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
Pada tahap pertama penelitian dilakukan terhadap tradisi lisan dan sastera Sunda, yaitu
yang berupa ungkapan tradisional, carita pantun Lutung Kasarung, naskah Sanghyang
Kanda ng Karesian, sawér pangantén, roman Pangéran Kornél (1930) dan Mantri Jero
(1928) karya R. Méméd Sastrahadiprawira. Pada tahap kedua penelitian dilakukan
terhadap uga, Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda lian ti éta (1913) karya H. Hasan
Mustapa, cerita-cerita si Kabayan, cerita rakyat (yang sudah dibukukan), roman Rusiah
nu Goréng Patut (1928, harusnya 1927) karya Yuhana, Lain Éta (1934) karya Moh.
Ambri, Maot dina Dahan Jéngkol (1986) karya Ahmad Bakri.
Menurut kesimpulan para peneliti, tidak banyak berbeda hasil penelitian tahap I dan
tahap II, kecuali bahwa penelitian tahap I memberikan gambaran tentang pandangan
hidup orang Sunda golongan élit, sedangkan penelitian tahap II memberikan gambaran
tentang pandangan hidup orang Sunda kebanyakan (balaréa).
Penelitian tahap III dilakukan dengan mengajukan kuesioner kepada sejumlah orang
Sunda kontemporer (yang hidup pada waktu penelitian dilangsungkan), sebagai sampel
diambil beberapa wilayah di Tatar Sunda, ialah Kotamadya Bandung, Sumedang Kota,
Cianjur Kota, Sumedang pedesaan, Garut pedesaan, Tasikmalaya pedesaan dan
Sukabumi pedesaan. Semua responden dari seluruh wilayah jumlahnya 7 X 48 orang =
336 orang, berusia antara 17 - 60 tahun, baik orang yang mampu maupun yang tidak
mampu, baik pegawai negeri atau pun bukan. Tim peneliti menganggap bahwa sampel
336 orang itu representatif mewakili orang Sunda masa penelitian dilakukan yang
jumlahnya pasti di atas 20 juta orang.
Ternyata pada umumnya pandangan hidup orang Sunda kontemporer itu umumnya masih
tetap sama dengan pandangan hidup orang Sunda hasil penelitian tahap I dan tahap II,
kecuali pada beberapa hal terjadi pergeseran bahkan perubahan.
Secara singkat, akan saya rumuskan isi hasil penelitian tersebut sebagai berikut:
Orang Sunda berpandangan bahwa manusia harus punya tujuan hidup yang baik, dan
senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari alam semesta. Sifat-sifat
yang dianggap baik al. harus sopan, sederhana, jujur, berani dan teguh pendirian dalam
kebenaran dan keadilan, baik hati, bisa dipercaya, menghormati dan menghargai orang
lain, waspada, dapat mengendalikan diri, adil dan berpikiran luas serta mencintai tanahair
dan bangsa. Untuk mempunyai tujuan hidup yang baik, harus punya guru yang akan
menuntunnya ke jalan yang benar. Guru dihormati dalam masyarakat Sunda. Bahkan
Tuhan Yang Maha Esa juga disebut Guru Hyang Tunggal. Dalam naskah Siksa Kandang
Karesian dikatakan bahwa orang dapat berguru kepada siapa saja. Dianjurkan agar
bertanya kepada orang yang ahli dalam bidangnya. Teladani orang yang berkelakuan
baik. Terimalah kritik dengan hati terbuka. Ambil manfaatnya dari teguran dan nasihat
orang lain.
Tujuan hidup yang dianggap baik oleh orang Sunda ialah hidup sejahtera, hati tenang dan
tenteram, mendapat kemuliaan, damai, merdeka dan mencapai kesempurnaan di akhirat.
Sejahtera berarti hidup berkecukupan. Tenang dan tenteram berarti merasa bahagia.
Mendapat kemuliaan berarti disegani dan dihormati orang banyak, terhindar dari hidup
hina, nista dan tersesat. Hidup damai artinya rukun, akrab dengan tetangga dan
lingkungan. Orang yang merdeka artinya terlepas dari ujian dan terbebas dari hidup tanpa
tujuan. Dan kesempurnaan akhirat ialah terhindar dari kema’siatan dunia dan ancaman
neraka di akhirat.
Untuk mencapai tujuan hidup itu orang harus taat kepada ajaran-ajaran karuhun, pesan
orangtua dan warisan ajaran yang tercantum dalam cerita-cerita pantun, dan yang
berbentuk naskah seperti Siksa Kandang Karesian. Ajaran-ajaran itu punya tiga fungsi:
(1) sebagai pedoman dalam menjalani hidup; (2) sebagai kontrol sosial terhadap
kehendak dan nafsu yang timbul pada diri seseorang dan (3) sebagai pembentuk suasana
dalam masyarakat tempat seseorang lahir, tumbuh dan dibesarkan yang secara tak sadar
meresap ke dalam diri semua anggota masyarakat.
Orang Sunda beranggapan bahwa lingkungan alam memberikan manfaat yang maksimal
kepada manusia apabila dijaga kelestariannya, dirawat serta dipelihara dengan baik dan
digunakan hanya secukupnya saja. Kalau alam digunakan secara berlebihan apalagi kalau
tidak dirawat dan tidak dijaga kelestariannya, maka akan timbul malapetaka dan
kesengsaraan.
Dalam Siksa Kandang Karesian misalnya terdapat ungkapan, “makan sekedar tidak
lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk makan, dll. ” yang
berarti tidak boleh berlebihan. Orang Sunda dianjurkan agar “siger tengah” atau “siniger
tengah”, yaitu tidak kekurangan tetapi tidak berlebihan. Samasekali bukan untuk
kemewahan, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian
tidak menguras atau memeras alam secara berlebihan, sehingga terjaga kelestariannya.
Sejak pra-Islam, orang Sunda percaya akan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu
Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa Hindu ditempatkan di
bawah Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau Batara Tunggal. Tuhan Maha Mengetahui,
mengetahui apa yang diperbuat mahlukNya, karena itu manusia wajib berbakti dan
mengabdi kepada Tuhan. Tuhan disebut juga Nu Murbéng Alam (Yang Menguasai
Alam), Nu Mahawisésa (Yang Mahakuasa), Nu Mahaasih (Maha Pengasih), Gusti Yang
Widi (Yang Maha Menentukan), Nu Mahasuci (Yang Maha Suci), dll. Tuhan menghidupi
mahlukNya, memberi kesehatan, memberi rizki dan mematikannya pada waktunya.
Dari hasil penelitian tahap III yang berupa kuesioner terhadap sejumlah sampel, di
sejumlah daerah, terlihat adanya nilai-nilai yang tetap dipertahankan, ada yang bergeser
dan ada pula yang berubah. Pada pandangan hidup manusia sebagai pribadi terdapat
pergeseran mengenai pantangan (harus ada alasan yang masuk akal), hidup berkumpul
dengan keluarga, membela kehormatan, hidup selamat dan hidup sederhana. Pandangan
semula tidak ditolak sama sekali, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman. Yang
mengalami perubahan adalah mengenai bicara arif, bertindak hati-hati, ramah kepada
pedatang, pengalihan kebiasaan dan tentang hidup yang dicita-citakan. Orang bicara tak
usah lagi malapah gedang, lebih baik blak-blakan, tak usah terlalu menenggang perasaan
orang lain. Terhadap para pedatang, sekarang menjadi harus waspada. Kebiasaan dirubah
sesuai dengan kebutuhan, misalnya kebiasaan menanam padi, kalau ternyata memelihara
ikan lebih menguntungkan, maka kebiasaan itu ditinggalkan.
Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat, cenderung terjadi
pergeseran dan perubahan dalam semua hal. Misalnya tentang membantu anggota
keluarga yang miskin, sewaktu-waktu dan seperlunya saja, jangan sampai yang ditolong
menggantungkan diri pada orang lain. Terhadap orang tua tidak lagi menuruti segala
keinginan dan nasihatnya, bergeser menjadi asal tidak melupakan dan menghargai jasa-
jasanya. Dalam menghadapi hal yang tidak disetujui, kalau semula diam, sekarang
menyatakan pendapat dan merundingkannya, bahkan memerotesnya. Yang berubah ialah
tentang perkawinan dengan orang daerah lain (menjadi terbuka), tentang tugas isteri
terhadap suami (menjadi setara sebagai teman hidup).
Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan, terjadi penguatan dan
pergeseran. Kepercayaan orang Sunda akan Tuhan dan akan keesaan Tuhan, sekarang
menjadi lebih kuat. Keyakinan akan Tuhan Mahakuasa kian kuat. Manusia harus
berusaha dan berdo’a tapi pasrah akan hasilnya. Pendidikan agama dianggap kian
penting baik di rumah, di sekolah, di madrasah, maupun di masjid. Yang bergeser adalah
yang bertalian dengan upacara adat seperti membuat sasajén, dan sikap terhadap uga.
Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan
batiniah mengalami sedikit pergeseran. Umumnya nilai-nilai lama dipertahankan. Hanya
kekayaan yang semula dipandang sebagai hal yang menimbulkan ketenteraman dan
kebahagiaan sekarang dipandang sebagai hal yang mendorong orang untuk menyegani
pemiliknya.
Dengan demikian Tim Peneliti berkesimpulan bahwa “pandangan hidup orang Sunda
dengan tetap berakar pada tradisinya telah dan sedang mengalami pergeseran dan
perubahan, setidak-tidaknya dialami oleh orang-orang yang menetap di kawasan sampel
penelitian. ……………. Nampak pergeseran dan perubahan ke arah pandangan yang
lebih waspada, yang lebih bertauhid dalam agama, yang lebih realistis dalam
bermasyarakat dan lebih memahami aturan alam.” (jilid III h. 259).
Pareumeun Obor
Melihat bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap I dan II, kita dapat
diyakinkan bahwa hasilnya dapat dikatakan representatif mewakili alam pikiran orang
Sunda seperti yang tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda - walaupun
menimbulkan tandatanya mengapa dari H. Hasan Mustapa yang dijadikan bahan adalah
Bab Adat Urang Priangan jeung urang Sunda Lian ti Éta saja yang merupakan deskripsi
etnografis, dan tidak satu pun karyanya yang merupakan hasil pemikiran baik yang
berbentuk prosa maupun yang berbentuk puisi dijadikan sumber. Tapi hal itu mungkin
disebabkan karena karya-karya HHM umumnya belum diterbitkan sebagai buku - yang
menimbulkan tandatanya pula karena banyak sumber lain yang berasal dari lisan malah
digunakan sebagai bahan. Yang penting ternyata dalam hasil penelitian tahap I dan tahap
II tidak tercermin adanya perubahan-perubahan dalam perjalanan masa, padahal bahan-
bahan yang digunakan itu berasal dari masa dan lingkungan yang tidak sama. Begitu pula
melihat bahwa dalam penelitian tahap III, yang dijadikan sampel hanya 336 orang, kita
bertanya-tanya apakah benar telah secara representatif mewakili alam pikiran orang
Sunda yang jumlahnya pasti lebih dari 20 juta, meskipun peneliti telah berusaha
mengajukan kuesioner kepada orang Sunda di kota maupun di pedesaan.
Keraguan itu diperkuat ketika kita membaca hasilnya yang menimbulkan tandatanya,
misalnya apakah betul hanya terjadi sedikit pergeseran dan perubahan pada pandangan
hidup orang Sunda yang dirumuskan dalam penelitian tahap I dan II dengan hasil
penelitian tahap III? Apakah betul pandangan hidup orang Sunda tetap berakar pada
tradisinya dengan hanya mengalami pergeseran dan perubahan sedikit pada hal-hal
tertentu saja?
Misalnya bertalian dengan pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi, hasil
penelitian tahap I dan II menyatakan bahwa a.l. “orang Sunda itu berani dan teguh
pendirian dalam kebenaran dan keadilan ……berpikiran luas serta mencintai tanahair
dan bangsa”. Padahal dalam kehidupan nyata di sekeliling kita sekarang, apakah kita
melihat nilai-nilai tersebut dilaksanakan oleh orang Sunda? Mungkin ada orang-orang
Sunda yang demikian, tetapi menurut pengamatan saya bukanlah merupakan nilai yang
secara umum diperlihatkan oleh orang Sunda sehari-hari. Memang ada Tétén Masduki,
ada Erry Riyana Hardjapamekas, dan beberapa orang atau beberapa puluh orang lagi,
tetapi secara umum orang Sunda tidak bersikap seperti mereka. Kebanyakan merasa
lebih baik memilih diam melihat kebenaran dan keadilan diperkosa. Umumnya
menganggap bersikap pura-pura tidak tahu sebagai sikap yang bijaksana - alias tidak
bersikap “berani dan teguh pendirian”. Nilai-nilai tersebut mungkin dijaring dari naskah
kuna seperti Siksa Kandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518, ketika kerajaan
Sunda masih berdiri dan manusia Sunda masih merdeka. Tetapi setelah Tatar Sunda
dijajah Mataram (sejak awal abad ke-16) dan kemudian oleh Belanda (sejak abad ke-18)
dan Jepang (1942-1945), manusia Sunda menjadi manusia yang paling lama dijajah di
Indonesia dan mentalnya sudah berubah menjadi mentalitas manusia jajahan, yang selalu
ketakutan dan tidak berani mengemukakan pikiran sendiri karena “heurin ku létah” dan
sebagai abdi dalem yang setia selalu melihat ka mana miringna bendo. Lebih
mengutamakan keselamatan dan kedudukan pribadi daripada memperlihatkan sikap
“berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan”.
Menurut Siksa Kandang Karesian orang harus menerima kritik dengan hati terbuka,
tetapi kita tahu kritik dianggap tabu dalam masyarakat Sunda bahkan juga sampai
sekarang. Orang yang berani mengeritik dianggap henteu Nyunda! Artinya telah terjadi
pergeseran dari sikap terbuka terhadap kritik yang terdapat pada masa Siksa Kandang
Karesian. Tetapi sejak kapan pergseran itu terjadi, tidak diketahui.
Peneliti agaknya tidak menangkap bahwa nilai-nilai yang dimuat dalam Siksa Kandang
Karesian sudah banyak yang tidak diikuti lagi dalam kehidupan nyata orang Sunda sejak
beberapa lama - mungkin beberapa abad. Hal yang dapat kita maklumi karena naskah
Siksa Kandang Karesian tidak dikenal lagi oleh orang Sunda umumnya sejak beberapa
abad.
Juga mengenai pandangan hidup orang Sunda tentang hubungan manusia dengan alam,
kita misalnya dapat mempertanyakan tentang kesadaran untuk melestarikan alam yang
harus “dirawat dan dipelihara dengan baik dan digunakan secukupnya saja”. Sudah lama
kita melihat - lama sebelum pada masa reformasi orang Sunda meranjah hutan Sancang
dan hutan lindung lain sehingga di Tatar Sunda sekarang hampir bisa dikatakan tidak ada
lagi hutan - para pejabat orang Sunda di Bappeda memperkosa tanah subur dan sungai-
sungai dengan menjadikannya sebagai kawasan industri. Suara yang mengingatkan akan
bahaya yang bisa ditimbulkannya tidak pernah didengar. Nasihat Siksa Kandang
Karesian tentang “makan sekedar tidak lapar, minum sekedar tidak haus, berladang
sekedar cukup untuk hidup” sudah lama tidak diperhatikan. Orang Sunda sekarang
kebanyakan sudah terpengaruh oleh faham kapitalistis yang serakah dan tidak pernah
merasa kenyang dengan apa yang sudah didapat.
Nilai-nilai dalam pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah
dan kepuasan batiniah juga sudah berubah. Mengutamakan mutu hasil kerja misalnya
sudah dikalahkan oleh keinginan menghasilkan sebanyak mungkin - dengan konsekuensi
mutunya menurun. Nilai tentang hidup sederhana sekarang hanya dilaksanakan karena
terpaksa. Dan kalau terpaksa semua orang juga bisa, walaupun hasratnya yang menonjol
adalah mencapai kehidupan duniawi yang penuh gemerlapan. Kalau perlu tanpa
memperhatikan larangan-larangan yang diturunkan dari leluhurnya. Juga nilai “tidak
buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah meninggalkan
warisan nenek moyang yang berharga” tidak kelihatan lagi. Sekarang semua orang
seperti berlomba-lomba menerima bahkan merebut yang baru walaupun belum tahu baik
buruknya dan tidak nampak usaha untuk mempertahankan warisan nenekmoyang yang
berharga.
Pertanyaan-pertanyaan itu timbul karena memang kita sebagai orang Sunda, sebagai
bangsa Indonesia, sedang mengalami perubahan sosial yang luar biasa. Perubahan yang
mengguncangkan dan mencabut nilai-nilai warisan nenekmoyang yang karena perjalanan
sejarah tidak dapat disampaikan secara baik dari generasi tua kepada generasi
selanjutnya, baik secara lisan maupun secara tulisan. Misalnya nilai-nilai yang
dikemukakan dalam Siksa Kandang Karesian, yang pada masanya menjadi pegangan
orang banyak selama berabad-abad hanya secara fragmentaris saja disampaikan oleh
generasi tua kepada generasi yang berikutnya. Sementara itu telah datang agama, budaya
dan nilai-nilai baru dari luar yang merasuk ke dalam masyarakat baik yang di kota
maupun yang di desa, baik yang termasuk golongan elit maupun yang termasuk golongan
balaréa, dibawa oleh para saudagar, para penjajah, dan lain-lain. Semuanya itu
mempengaruhi nilai-nilai yang dianut oleh orang Sunda dalam hidupnya dari masa ke
masa. Sementara pewarisan nilai-nilai asli peninggalan nenekmoyangnya tidak
berlangsung secara baik, sehingga orang Sunda sekarang seperti pareumeun obor.
Mengapa KIBS?
Kategori: Makalah » Dilihat: 972 kali » Diposting: 19-05-2008
Sejak masa pendudukan Jepang (1942-1945), masarakat Indonesia yang terdiri dari
komunitas-komunitas etnik yang masing-masing mempunyai kesenian, adat istiadat,
agama, bahasa dan bentuk budaya lainnya, meskipun terdapat juga kemiripan yang satu
dengan yang lain, mengalami disintegrasi luar biasa yang berlangsung terus-menerus.
Tentara pendudukan Jepang yang bersikap keras dan kejam, serta pengerahan segala
potensi, baik berupa tenaga manusia, bahan makanan, kekayaan berupa emas dan
perhiasan, dan logam-logam lain seperti besi dan baja, untuk kepentingan perang dan
kemenangan balatentara Jepang, menyebabkan masarakat Indonesia mengalami
kemiskinan yang belum pernah dialami sebelumnya. Orang meninggal bukan saja di
medan perang atau ketika dikerahkan untuk kerja paksa sebagai romusha, melainkan juga
karena kelaparan sehingga bangkai bergeletakan di pinggir jalan di kota-kota.
Pengalaman hidup yang keras itu memang mematangkan jiwa bangsa Indonesia untuk
merebut kemerdekaan, namun juga menyebabkan mereka mengenal berbagai nilai hidup
dan cara mempertahankan hidup yang sebelumnya tidak biasa seperti mencatut, korupsi,
kolusi, dan semacamnya. Pemiskinan yang luar biasa itu disambung dengan revolusi
kemerdekaan (1945-1950) sehingga sebagai bangsa dan negara yang baru
memproklamasikan kemerdekaan nasionalnya tak dapat segera membangun
perekonomian. Bahkan setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda (1950) juga
pembangunan ekonomi tidak segera dapat dimulai, karena adanya gebalau politik dan
terjadinya pemberontakan di berbagai daerah. Di pedesaan Tatar Sunda terus
terjadi gangguan keamanan sampai tahun 1962. Dengan kata lain, selama kira-kira 20
tahun (1942-1962) orang Sunda tidak hidup dalam keadaan normal. Para petani tidak
dapat menggarap tanahnya dengan baik, para pedagang tak dapat melakukan
perniagaannya dengan tenang. Orang-orang tak bisa hidup dengan tenteram, karena
selalu dalam ancaman ketakutan. Pertunjukan kesenian yang biasa dilaksanakan kalau
malam di perkampungan, tidak dapat dilaksanakan karena gangguan keamanan. Teror
yang terus menghantu siang dan malam, menyebabkan para ibu tidak dapat menimang
anaknya dengan ceria dan para nenek tidak lagi mendongeng kepada cucunya kalau
malam karena jika matahari terbenam mereka harus segera masuk bilik dengan
ketakutan, lampu dipadamkan dan percakapan dilakukan dengan bisik-bisik, atau
mengungsi ke tempat persembunyian yang dianggap aman.[1]
Dan teror yang berlangsung selama hampir satu generasi (kalau satu generasi itu
lamanya seperempat abad), telah menyebabkan hilangnya banyak tradisi, adat kebiasaan,
kepercayaan, jenis kesenian, keterampilan, kebijaksanaan (wisdom), dan entah apa lagi.
Tradisi bertani yang erat terkait dengan kepercayaan kepada Sanghyang Sri banyak yang
hilang. Bertani tidak lagi dikaitkan dengan kepercayaan akan tuah kesuburan bumi dan
kelestarian lingkungan. Dan dengan hilangnya kepercayaan itu, hilang pula berbagai
kekayaan tradisi lisan yang selama berabad-abad menjadi kekayaan ruhani orang Sunda.
Pertunjukan pantun yang merupakan bagian dari ritual kehidupan dan pertanian, jarang
dipertunjukkan karena sehabis panen orang tak dapat menanggapnya karena gangguan
keamanan. Dan ketika keadaan sudah aman, pertunjukan seperti pantun sudah kehilangan
hubungan dengan akar kepercayaannya. Dianggap semata-mata sebagai pertunjukan
hiburan dan sebagai hiburan dia kalah oleh jenis hiburan lain yang lebih menarik. Untuk
mempertahankan eksistensinya, banyak jurupantun yang mencoba menyesuaikan diri
dengan hiburan yang waktu itu sedang populer, misalnya dengan selingan gamelan
lengkap beserta pasindennya, sehingga lakon pantun yang seharusnya selesai dalam satu
malam, jadi berlarut-larut beberapa malam. Sesungguhnya orang tidak lagi
memperhatikan cerita yang disuguhkan oleh juru pantun, melainkan terlena oleh suara
gamelan dan nyanyian sang pasinden. Hal seperti itu terjadi juga dengan jenis-jenis
kesenian lainnya. Wayang golek misalnya tidak ditonton karena dalangnya piawai atau
karena lakonnya menarik, tetapi karena pasindennya terkenal. Orang tidak peduli siapa
dalang yang akan tampil, yang penting pasindennya Upit Sarimanah atau Titim
Patimah. Belakangan muncul dalang-dalang kreatif, seperti Asep Sunandar, tapi mungkin
orang lebih tertarik oleh trik-trik permainan golek yang dia lakukan daripada oleh
ketapisannya dalam antawacana yang banyak mengandung sindiran-sindiran yang
berlapis-lapis.
Ketika menjelang akhir 1960-an, masarakat Indonesia mulai dibenahi oleh rezim Orde
Baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto, maka Tim Ekonomi yang dipimpin oleh Prof.
Dr. Widjojo Nitisastro meletakkan dasar-dasar ekonomi yang kapitalistis dengan peranan
negara tetap penting seperti dalam ekonomi sosialistis. Sistim kapitalistis tanpa
liberalisme ekonomi yang sehat itu akhirnya berujung pada penumpukan modal dan
kekayaan pada keluarga Suharto dan konco-konconya dengan mengurbankan kehidupan
rakyat secara keseluruhan yang dijadikan jaminan untuk menghutang terus-menerus yang
jumahnya kian lama tiap tahunnya bukan kian mengecil malah kian membengkak, di
samping pengurasan kekayaan alam secara habis-habisan, baik yang tumbuh di atas
tanah, yang terpendam dalam bumi maupun yang terkandung dalam perut lautan.
Kemelaratan yang dialami rakyat dan tidak adanya peluang untuk mencari nafakah yang
wajar di negeri sendiri, juga digunakan oleh pemerintah untuk mengeduk devisa dengan
mengirimkan rakyat sebagai babu dan kuli di negeri-negeri lain tanpa mempedulikan
nasib mereka sebagai manusia yang sering mengalami perlakuan yang sangat
merendahkan HAM dari para majikannya yang menganggap mereka tak lebih dari budak
belian, bahkan banyak yang berakhir di tiang gantungan atau dijatuhi hukum pancung.
Semboyan yang dikibarkan oleh rezim Orde Baru ialah moderenisasi dan industrialisasi.
Moderenisasi sempat menjadi bahan polemik yang ramai, tapi berhenti dengan
kesimpulan yang dianggap kebenaran: Westerenisasi no, moderenisasi dan industrialisasi
yes. Tanpa perincian yang jelas dalam praktek apa beda moderenisasi dan werterenisasi,
karena yang berlangsung sebenarnya hanyalah westerenisasi. Nilai-nilai hidup yang
diperkenalkan dan dianut jelas ikut-ikutan orang bule yang dengan kebijaksanaan
pariwisata untuk menggaet dolar, membolehkan mereka masuk tanpa minta visa lebih
dahulu selama dua bulan, dan selama dua bulan itu mereka memberi contoh bagaimana
hidup kumpulkebo, mengisap ganja dan menjadi kecanduan obat terlarang yang
sebenarnya bukan obat sama sekali. Sedangkan nilai-nilai positif yang dikandung
kebudayaan Barat seperti etos kerjanya, disiplin pada waktu, kemauan belajar yang tak
kunjung jemu dan semacamnya, tidak diperkenalkan dan tidak diikuti sama sekali. Lihat
saja filem-filem yang diimpor dan banyak yang ditayangkan pada layar televisi
pemerintah sekalipun, bukanlah filem-filem bermutu, melainkan sampah yang memberi
conto yang gamblang untuk melakukan tindak kejahatan dan kekerasan, di samping
berseks-seks ria. Perbedaan istilah moderenisasi dan werterenisasi yang dipolemikkan
entah menghabiskan berapa banyak kertas dan tinta, hanyalah selesai secara verbal dan
karena dianggap sudah selesai tak ada yang merasa perlu untuk menelitinya dalam
praktek masyarakat.
Sejak pengakuan kedaulatan oleh Belanda (1950), penduduk dari berbagai daerah
berduyun berdatangan dan menetap di daerah Jawa Barat, antaranya disebabkan karena
di Jawa Barat kemungkinan mendapat pekerjaan dan pendidikan yang baik lebih banyak
terdapat, ditambah pula oleh kebijaksanaan pemerintah RI sendiri tentang kaum non dan
ko dalam pengangkatan pegawai pada tahun-tahun pertama setelah pengakuan
kedaulatan, sehingga bukan hanya di kota-kota yang penduduk setempatnya banyak
tergeser dan tergusur oleh kaum pedatang. Dengan kian banyaknya penduduk pedatang
di suatu daerah, maka kehidupan budaya dan keseniannya pun terpengaruh. Kesenian
tradisional setempat mendapat terjangan hebat dari segala penjuru berupa berbagai
bentuk kesenian dengan dukungan modal kuat yang ditawarkan dalam kemasan yang
apik dan menarik melalui jaringan media elektronik seperti radio, televisi, kaset rekaman,
video dan entah apa lagi, dipropagandakan pula melalui media cetak seperti surat kabar
dan majalah mewah yang dicetak dengan indah.
Memang ada juga perlawanan berupa bela diri seperti pantun yang menambahkan
gamelan dan pasinden, wayang yang menggunakan berbagai trik elektronik, tetapi ada
satu hal yang hilang tidak mendapat perhatian: apresiasi masyarakat terhadapnya yang
tidak terpupuk karena lembaga pemupukannya rusak akibat masarakat Sunda mengalami
disintegrasi. Perlawanan demikian hanyalah “menunda kekalahan”, karena disintegrasi
masarakat Sunda telah menyebabkan berubahnya bukan saja nilai-nilai yang menjadi
tumpuan hidup, melainkan juga lembaga adat kebiasaan yang selama ini menjadi tempat
pemupukan apresiasi terhadap berbagai bentuk kesenian. Misalnya lembaga hajat
kariaan baik untuk menyunat anak laki-laki ataupun menikahkan anak perempuan yang
biasanya dilaksanakan sambil menanggap kesenian tradisional Sunda di halaman atau
kebun rumah yang empunya hajat, mula-mula diganti pertunjukan kesenian yang
ditanggapnya dengan jenis kesenian baru seperti dangdut atau layar tancep, kemudian
pindah ke gedung-gedung pertemuan umum atau hotel-hotel tanpa menanggap kesenian
sama sekali, karena dianggap cukup dengan mengadakan upacara adat saja – yaitu
upacara bikin-bikinan yang sebenarnya tidak pernah menjadi adat ataupun tradisi dalam
masarakat Sunda. Adat bikin-bikinan itu banyak yang mencontoh atau menyontek adat
Jawa yang feodal. Padahal menurut Dr. Kuntowijoyo, di samping kebudayaan Jawa yang
feodal ada juga kebudayaan Jawa yang santri. Tetapi yang banyak dicontohkan dan
ditiru adalah Jawa yang feodal, karena rezim Orde Baru melanjutkan neo-feodalisme
yang telah ditanamkan akar-akarnya pada masa Orde Lama yang dipimpin oleh
Pemimpin Besar Revolusi Presiden Sukarno yang mengidentifikasikan dirinya dengan
raja Jawa yang segala kehendaknya harus dilaksanakan, meskipun untuk itu rakyat harus
makan batu.
Untuk menjaga jangan sampai punah, diperlukan adanya political will dari pemerintah
dan para pemimpin bangsa. Dan sampai sekarang political will itulah yang belum pernah
kelihatan. Bagaimana akan timbul suatu political will untuk membenahi kehidupan
budaya kalau pengertian dan kesadaran tentang pentingnya kebudayaan dalam
berbangsa juga tidak pernah timbul?
Kalau kita cermati kebijakan-kebijakan pemerintah sejak negara RI didirikan, kita akan
melihat bahwa tidak pernah ada yang secara serius menganggap kebudayaan itu penting.
Kalaupun ada diucapkan oleh pemimpin pemerintahan, itu hanyalah sebagai lip service
belaka, karena dalam program pemerintahannya hal itu tidak pernah tergambar.
Jangankan pula usaha nyata yang dilakukannya. Pada masa revolusi pemerintah RI yang
baru pernah menyelenggarakan pameran lukisan di ibukota revolusi Yogyakarta dan
mengadakan Kongres Kebudayaan di Magelang (1948), tetapi hal itu dilakukan hanyalah
untuk memberi kesan kepada dunia luar bahwa bangsa Indonesia itu bangsa yang
berkebudayaan tinggi dan karena itu pantas menjadi bangsa yang merdeka. Jadi kesenian
dan kebudayaan hanyalah digunakan untuk tujuan politik. Sama halnya dengan
pemerintah sekarang yang menyatukan kebudayaan di bawah satu atap dengan
pariwisata, karena melihat kebudayaan hanyalah sebagai komiditi yang dapat dijual
sehingga bisa memasukkan dolar. Kebudayaan sebagai bagian dari hidup bangsa yang
harus ditanamkan melalui pewarisan yang berencana dan teratur kepada generasi yang
lebih kemudian tidak pernah disadari - bahkan juga ketika kebudayaan masih satu atap
dengan pendidikan. Kebudayaan adalah jatidiri sesuatu bangsa, karena itu seharusnya
dilestarikan melalui pendidikan sebagai lembaga pewarisan secara terus-menerus. Ketika
bangsa Amerika pada abad ke-19 mulai mempertanyakan jati dirinya karena mereka
sadar bahwa sebagai bangsa mereka adalah bangsa baru yang tak jelas sumber
budayanya, maka didoronglah pencarian untuk menemukan sumber budayanya. Ketika
mereka akhirnya menemukan bahwa sumber budaya mereka adalah kebudayaan Eropa
klasik, jadi Yunani dan Latin, mereka pun memasukkan pengajaran tentang kebudayaan
Eropa klasik ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah sejak TK sampai perguruan tinggi.
Karya-karya klasik Yunani ditelaah, diterbitkan dan diajarkan. Buku-buku yang memuat
pelbagai segi budaya Yunani, baik filsafat, sejarah, kepercayaan, kesusasteraan, kesenian,
maupun mitologi dan folklornya diajarkan atau disediakan dalam perpustakaan sekolah
yang harus dibaca oleh para siswa. Penemuan kebudayaan Eropa klasik sebagai sumber
kebudayaan Amerika pernah dilukiskan oleh seorang penulis sebagai “anak yang hilang
menemukan ibunya kembali”. Pengembangan kebudayaan Amerika selanjutnya
bersumber pada budaya “ibunya” itu[4].
Tetapi karena para pemimpin kita tidak menyadari pentingnya kebudayaan, maka kita tak
pernah merasa perlu untuk mencari sumber budaya kita seperti bangsa Amerika pernah
mencarinya. Ataukah karena kita bangsa pemalas yang tak pernah menganggap berpikir
sebagai hal yang penting dalam hidup, walaupun sebagian besar kita memeluk agama
Islam yang dalam Kitab Sucinya, Allah berfirman berulang-ulang menyuruh umatnya
berpikir. Kita sudah terbiasa dicekoki orang lain yang memikirkan segala sesuatunya
untuk kita. Hakikat kemerdekaan menurut hemat saya - seperti pernah saya katakan pada
kesempatan lain — adalah merubah mentalitas sebagai obyek menjadi mentalitas
sebagai subjek. Tapi penjajahan yang beratus-ratus tahun nampaknya telah membuat
bangsa kita terlalu terbiasa menjadi obyek. Terbiasa sehingga telah merasa senang kalau
selalu ada orang lain yang mengerjakan berpikir itu untuk kita, walaupun pada akhirnya
kita akan kehilangan segala-galanya karena orang yang melakukan berpikir untuk kita itu
tentu tidak akan melakukannya dengan cuma-cuma. Keadaan kita sekarang sudah berada
dalam kondisi demikian: kita telah kehilangan kekayaan alam kita, sumber-sumber alam,
hutan-hutan kita, kandungan lautan kita, dan entah apa lagi sedangkan utang masih
bertimbun yang bunganya pun sudah tidak sanggup kita bayar kalau tidak mendapat
utang baru yang akan menambah jumlah beban anak cucu bahkan cicit dan anak cicit kita
kelak.
Memang masalahnya mungkin terbentur pada banyaknya sumber yang dapat kita jadikan
pijakan masa depan kita. Kita punya kebudayaan adiluhung Jawa, Bali, Sunda, Bugis,
Aceh dan suku-suku bangsa lain yang masing-masing mempunyai perbedaan yang cukup
besar, sehingga kita tidak tahu yang manakah yang hendak kita jadikan sumber. Yang
aneh ialah bahwa kita malah menghindarkan diri dari membicarakan hal-hal demikian,
sehingga kita membuat bebegig untuk menakut-nakuti diri kita sendiri, yaitu masalah
sukubangsa dijadikan yang pertama dalam SARA. Saya katakan aneh, karena seharusnya
kita membicarakan kekayaan kebudayan kesukuan kita secara terbuka, sehingga kita bisa
memilih mana yang cocok buat pegangan dan pupuk pengembangan kita sebagai bangsa,
dan mana yang tidak cocok yang harus kita tinggalkan. Kami dalam BPB Kiwari pada
tahun 1957 misalnya sudah merumuskan bahwa kebudayaan-kebudayaan daerah itu
merupakan kenyataan historis yang dapat menjadi modal kita membangun bangsa
Indonesia. Bagaimana kita akan memanfaatkan kekayaan kita yang merupakan
pemberian Tuhan yang tak terpermanai nilainya itu, kalau kita tidak bisa membahasnya
secara terbuka. Karena saya cerewet dan selalu meminta perhatian dan mengajak
membicarakan kebudayaan daerah sehubungan dengan pembinaan kebudayaan nasional,
malah saya dituduh “kesukuan”, “kesundaan”, “separatis”, “federalis” dan entah sebutan
apa lagi. Padahal saya ngotot mengajak membicarakannya itu karena saya melihat
bahwa dalam kebudayaan-kebudayaan daerah itu ada potensi yang positif untuk
pengembangan kebudayaan nasional, tetapi ada juga terkandung nilai-nilai yang tidak
cocok, bahkan bertentangan, dengan prinsip demokrasi yang telah dipilih dan ditetapkan
oleh para bapak pendiri bangsa Indonesia. Kalau kita dapat membicarakannya secara
terbuka dengan hati yang tenang dan kepala yang dingin, kita akan dapat menetapkan
nilai-nilai apa dari kebudayaan daerah yang dapat diambil sebagai penunjang
kebudayaan nasional, dan nilai-nilai apa yang harus dihindarkan karena bertentangan
dengan prinsip demokrasi yang sudah dipilih oleh para bapak pendiri bangsa dan negara
kita. Tanpa adanya kesempatan membicarakannya secara terbuka, maka banyak segi
kebudayaan daerah yang diperkembangkan adalah justru yang tak sesuai dengan prinsip
negara demokrasi seperti menghidup-hidupkan adat dan kebiasaan yang feodalistis,
bahkan juga pemakaian bahasa nasional yang bersumber dari bahasa Melayu yang
egaliter, hendak diJawakan atau diSundakan dengan memakai kata-kata yang dianggap
“halus” sebagai tanda penghormatan kepada status orang yang dibicarakan atau yang
diajak bicara. Kata “putera” menggantikan “anak”, “wanita” menggantikan
“perempuan”, “rawuh” menggantikan “datang”, “ndalem menggantikan “rumah” dll.
Kalau pembesar berbicara di muka umum, dikatakan “Bapak Anu berkenan memberikan
amanat……”
Kita semua tahu tentang adanya “debat besar” yang dikenal dengan judul buku susunan
Achdiat K. Mihardja yaitu Polemik Kebudayaan (1948) yang menghimpun debat-debat
itu. Meskipun tidak resmi, yang dianggap sebagai pemenang dalam polemik itu adalah
S. Takdir Alisjahbana yang tegas-tegasan mengatakan bahwa kalau ingin maju bangsa
Indonesia harus menghirup “roh Barat” artinya mengikuti dan menjadi Barat serta
menyatakan tak ada hubungan lagi dengan masa lalu yang disebutnya sebagai jaman
“pra Indonesia”. Tapi kalaupun memang pendapat Takdir ini yang dijadikan kata putus
dalam pembangunan kebudayaan nasional Indonesia, tak pernah ada usaha yang
berencana dan terus-menerus memasukkan pengajaran tentang “roh Barat” (yang niscaya
akan sampai kepada Yunani Kuno juga) agar dikuasai oleh generasi muda bangsa
Indonesia. Tak ada buku-buku yang ditulis atau diterjemahkan tentang hal itu kecuali
satu dua sebagai usaha perseorangan. Itu pun tak sampai masuk kurikulum, tak sampai
masuk ke perpustakaan sekolah - yang memang tidak dianggap penting dalam sistim
pendidikan sekolah di Indonesia. Takdir sendiri yang menyusun Pembimbing Ke Filsafat
tak sampai selesai melukiskan perkembangan pemikiran Barat - lepas dari mutunya.
Pengenalan Indonesia terhadap “Barat” adalah seperti yang pernah dilukiskan oleh Mh.
Rustandi Kartakusumah, yaitu sebenarnya hanya berupa pengenalan terhadap Belanda.
Belanda itulah yang kita anggap sebagai Barat, paling tidak sebagai wakil Barat yang
representatif, padahal kebudayaan Belanda bukanlah yang terpenting dalam lingkungan
kebudayaan Barat. Dan ternyata pula, kata Rustandi, pengenalan kita terhadap
kebudayaan Belanda pun sebenarnya terbatas kepada kebudayaan ……… Indo saja.[5]
Dan kebudayaan Indo ternyata pula tak sampai seperempat abad setelah Rustandi
menulis esainya itu, telah lenyap bersama para pendukungnya terakhir yang dipaksa
meninggalkan Indonesia pada bagian kedua tahun 1950-an yang meskipun mencoba
menghidup-hidupkannya di negeri Belanda namun tak berhasil - tinggal lagi para
tetironnya, yaitu bangsa Indonesia yang meniru-niru Indo yang sudah lenyap itu. Dengan
demikian kemenangan S. Takdir Alisjahbana dalam “polemik kebudayaan” itu tidaklah
dilanjutkan dengan munculnya bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan kebudayaan
nasional yang bersumber pada “roh Barat”.
Malangnya lawan polemik S. Takdir semuanya menderita gagap. Dr. Soetomo yang
menyatakan bahwa bentuk pendidikan Indonesia harus meniru kiai dan pondok, langsung
mundur setelah mendapat serangan dari S. Takdir yang menyatakan bahwa hasil
pendidikan kiai dan pondok itu ternyata tak bisa membendung penjajahan Belanda dan
bahkan dia bilang “……. semangat persatuan yang berpusat kiyai dan pesantrenlah yang
menyebabkan jatuhnya bangsa kita”. Sanusi Pane juga mengemukakan pendapat yang
tidak kukuh dipertahankannya, padahal pendapatnya itu juga merupakan kompromi
antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur yang menjadi salah satu tema polemik.
Bagi Sanusi Pane manusia moderen yang ideal itu ialah percampuran antara Arjuna
(representasi kebudayaan Timur) dengan Faust (representasi kebudayaan Barat). Kalau
Takdir tegas menuju ke Barat, Sanusi Pane tidaklah menuju ke Timur atau kukuh
memegang Timur.[6]
Kita pun pernah mendengar cerita bagaimana seorang Menteri Pendidikan dan
Pengajaran membujuk Rektor universitas negeri (yang tentu saja ada di bawah
wewenangnya) untuk mengangkatnya sebagai profesor, dan setelah mencoba membujuk
beberapa rektor yang menolak, akhirnya bertemu juga dengan rektor yang bersedia
memenuhi keinginan Sang Menteri yang agaknya tidak puas hanya sekedar menjadi
menteri.
Hal-hal itu merupakan contoh bagaimana lembaga pendidikan di Indonesia selama ini
tidak ditujukan kepada atau tidak berhasil memberi kesempatan kepada si anak didik
untuk mempersiapkan diri sebagai manusia yang punya wawasan budaya yang luas dan
menguasai bidang ilmunya dengan baik sehingga siap untuk menjadi tenaga profesional
yang kreatif. Maka yang tumbuh adalah sikap yang sangat mengagung-agungkan gelar,
seakan-akan gelar itu merupakan segala-galanya. Bahkan mereka yang menunjukkan
kesungguhan dan sikap keilmuan yang tinggi tatkala menyusun disertasi doktoralnya,
tidak pernah memperlihatkan karya ilmu lagi sampai ahir hayatnya, seakan-akan dengan
menjadi Dr. tujuan hidupnya sudah tercapai. Karena pengalaman dalam masyarakat
juga menunjukkan bahwa untuk menjadi sukses dalam masyarakat itu tidak perlu
kepandaian apapun kecuali mempunyai lidah yang panjang untuk membujuk dan
menjilat ditambah dengan koneksi, maka sikap yang tidak wajar terhadap gelar itu
menjadi umum.
Dengan kata lain pendidikan di Indonesia selama lebih setengah abad merupakan
kegagalan untuk membentuk manusia Indonesia yang mempunyai sumber budaya yang
jelas sehingga dapat menghadapi serba tantangan dengan sikap penuh percaya diri.
Meskipun ada kebijaksanaan yang sering diucapkan sebagai kebenaran umum dalam
menghadapi menghadapi kebudayaan tradisi daerah yang berbunyi “yang baik ambil,
yang buruk tinggalkan”, tetapi tak pernah jelas bagaimana ukuran baik dan buruk yang
harus dipakai, sehingga pada prakteknya yang banyak diambil justru yang feodalistis
yang sebenarnya bertentangan dengan dasar negara RI yang diletakkan oleh para pendiri
negara (founding fathers) kita. Begitu juga dalam menghadapi pengaruh kebudayaan
asing, ada pedoman umum yang bersifat klise seperti itu yang juga tidak jelas ukuran apa
yang dipakai tentang buruk dan baik yang dimaksudkannya. Apalagi dalam menghadapi
pengaruh asing yang didukung oleh modal kuat dan dihidangkan dalam kemasan yang
rapi dengan mempergunakan alat teknologi canggih, orang Indonesia tidaklah dalam
posisi bisa memilih. Dengan kian intensifnya arus globalisasi menyerbu masyarakat kita,
dengan sifatnya yang konsumeristis, bangsa kita kian tak berdaya menghadapinya. Jelas
sekali bahwa kesenian dan nilai-nilai tradisi yang lugu dan tidak mempunyai dukungan
modal - yang ada hanya beban utang belaka - tak dapat bersaing dengan arus globalisasi
itu dalam mempengaruhi anak-anak dan orang-orang dewasa bangsa Indonesia. Secara
terus-menerus dan secara tetap anak-anak kita kian diasingkan dari warisan kesenian dan
nilai-nilai budaya nenek moyangnya, dicekok dengan berbagai bentuk kesenian kemasan
yang dihidangkan selama 24 jam setiap hari, 365 hari dalam setahun melalui berbagai
kesempatan dan media, baik cetak maupun elektronik.
Ketika sedang menyusun Ensiklopedi Sunda, saya menjadi sadar bahwa masalah utama
yang dihadapi oleh kebudayaan Sunda dan demikian juga nampaknya oleh kebudayaan
etnis lain di Indonesia, adalah masalah pewarisan. Bukan saja pewarisan keterampilan
sang empu seniman kepada generasi yang lebih muda yang terputus, melainkan terutama
pewarisan apresiasi terhadap berbagai jenis kesenian tradisional yang sudah lama
terbengkalai sehinggga (hampir) terputus. Tanpa adanya masyarakat yang mempuyai
apresiasi terhadapnya kehidupan sesuatu jenis kesenian dengan sendirinya akan punah.
Maka masalah itu harus dibicarakan secara serius untuk dicarikan jalan keluarnya.
Pembicaraan tidak cukup hanya oleh para pakar dengan para birokrat saja, melainkan
juga harus mengikutsertakan berbagai komponen bangsa yang bertalian dengan itu,
terutama si seniman sendiri (yang dalam tradisi Orde Baru dianggap tak perlu ditanya
atau didengarkan keinginannya, cukup kalau mereka mau melaksanakan segala “pesan
sponsor” pemerintah, jadi hanya diperalat), tetapi juga para pemuka masyarakat, para
pendidik, para pemuda yang akan menjadi sasaran pembinaan nanti, para mahasiswa
terutama yang aktif dalam kegiatan kesenian dan lain-ain.
Menunggu political will dari pemerintah, jangankan pada masa serba krisis seperti
sekarang, pada masa yang “normal” sekalipun nampaknya jauh panggang dari api.
Karena itu kalau kita tidak menginginkan kekayaan seni dan budaya kita yang masih
tinggal pun akan dibiarkan punah, maka kita sendiri yang harus melakukan sesuatu.
Memang, pekerjaan besar ini tak mungkin dilakukan tanpa pemerintah turun tangan.
Karena itu mau tak mau kita harus mengajak birokrasi pemerintah - tanpa menunggu
adanya political will sebagai dasar kebijaksanaan pemerintah. Konferensi Internasional
Budaya Sunda (KIBS) diselenggarakan adalah realiasi dari pikiran demikian. Dalam
KIBS diharapkan hadir para pakar kebudayaan Sunda baik di dalam maupun di luar
negeri, para seniman, para birokrat terutama yang menangani kebudayaan dan kesenian,
para pendidik, para pemuka masarakat, para pemuda dan para mahasiswa, terutama
aktivis kesenian Sunda. Selama empat hari diharapkan semuanya akan membahas
berbagai masalah kebudayaan Sunda, terutama yang berhubungan dengan usaha
pewarisannya, yaitu pewarisan keterampilan berkesenian dan pewarisan apresiasi
terhadapnya kepada generasi muda.
Perlu dijelaskan di sini, bahwa ternyata tidak banyak para Indonesianis di luar negeri
yang menaruh perhatian kepada Sunda dan kebudayaannya. Kenyataan ini, perlu
dijelaskan di sini karena banyak ahli budaya Sunda atau yang menganggap dirinya
demikian yang suka membangga-banggakan diri karena katanya kebudayaan Sunda itu
begitu tinggi mutunya sehingga para ahli luar negeri pun berdatangan untuk
mempelajarinya. Yang sekarang menghadiri KIBS sekarang boleh dikatakan sudah
hampir semua Indonesianis yang menaruh perhatian terhadap Sunda dan kebudayaannya,
paling sedikit setengahnya dari yang ada. Kami sudah mencari informasi ke semua
penjuru dunia tentang pakar keSundaan, dan semua yang alamatnya kami peroleh, kami
hubungi untuk menghadiri KIBS. Sebagai informasi tambahan dapat saya sampaikan
bahwa awal bulan September yang akan datang di SOAS di London akan
diselenggarakan Seminar Euroseas yang mengumpulkan para pakar tentang negara-
negara ASEAN, termasuk Indonesia. Dari puluhan makalah yang dikemukakan tentang
Indonesia, tidak ada satu pun tentang Sunda atau kebudayaannya, sedangkan tentang
Mentawai ada tiga pembicara. Kenyataan ini perlu diketahui oleh para budayawan Sunda
agar jangan terlalu gampang berbangga diri hanya karena menjadi obyek perhatian orang
asing.
Bahkan Cina yang telah mempunyai hubungan yang ramai dan terus-menerus sejak Fa
Hien pada abad ke-4 berkunjung ke Tarumanagara, tidak ada seorang pun dari bangsa
yang penduduknya lebih dari satu milyar orang itu yang mempunyai minat untuk
mendalami tentang manusia Sunda dan kebudayaannya. Banyak sarjana Perancis yang
mempelajari dan menulis karya-karya penting tentang suku-suku bangsa Indonesia
dengan kebudayaannya seperti sukubangsa Jawa, Bugis, Melayu, Bali, dan entah apa
lagi, tapi tak ada yang secara sungguh-sungguh meneliti manusia Sunda dan
kebudayaannya dan menghasilkan karya yang serius.
Kenyataan itu hendaknya diketahui dan disadari oleh para ilmuwan dan calon ilmuwan
Sunda, bahwa mereka mempunyai peluang yang sangat luas untuk muncul sebagai pakar
tentang sukubangsa dan kebudayaannya sendiri. Contoh yang telah diberikan oleh
almarhum Atja yang berhasil menembus kebuntuan yang dihadapi oleh sarjana-sarjana
Belanda, Jawa dan lain-lain ketika membaca naskah-naskah dalam huruf Sunda Kuna
hendaknya merangsang para ilmuwan dan calon ilmuwan Sunda agar menulis karya-
karya perintis dalam berbagai bidang mengenai Sunda dan kesundaan. Orang Sunda
mendapat peluang untuk menjadi pakar perintis tentang budaya sukubangsanya sendiri.
Tujuan utama KIBS adalah mencari inti persoalan mengenai pewarisan budaya supaya
kita dapat membuat peta untuk dijadikan pegangan dalam melaksanakan berbagai
langkah yang disarankan oleh KIBS nanti. Dengan adanya peta permasalahan yang jelas
diharapkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebudayaan dalam kehidupan bangsa
yang selama ini diabaikan, akan meningkat. Hanya kalau masyarakat luas - termasuk
pemerintah dalam hal ini terutama para birokrat yang bertugas untuk menangani masalah
kebudayaan - menyadari hal itu saja, segala usaha pewarisan akan berhasil dengan baik.
Satu hal teknis yang ingin saya sampaikan sebelum mengakhiri pembicaraan ini, yaitu
bahwa dalam KIBS setiap orang akan mendapat kesempatan berbicara seluas-luasnya
asal saja memang masih relevan dengan masalah yang dibicarakan. Untuk itu setiap sessi
lamanya satu seperempat jam (75 menit), lebih lama daripada sessi-sessi seminar atau
konferensi di Indonesia yang biasa (umumnya hanya 45 menit). Sebaliknya kalau
pembicaraannya di luar masalah yang sedang dibahas, misalnya merupakan pameran
diri yang disembunyikan dalam euphemisme yang penuh kata-kata klise, akan segera
diketuk oleh pemandu-acara. Setiap pemandu-acara sudah diberi wewenang untuk
bertindak tegas dalam hal ini, justru karena kita ingin memperoleh masukan yang serius
dari setiap peserta.
1) Para sasterawan Sunda banyak merekam situasi tidak aman masa itu dalam
karya-karyanya seperti Kis. Ws., Ayatrohaedi, Iskandarwassid, Abdullah Mustappa, dll.
baik berupa sajak, cerita pendek maupun roman. Lihat buku saya Kesusasteraan Sunda
Dewasa Ini (Jatiwangi, 1967), kumpulan cerita pendek Iskandarwassid Halimun Peuting
(Bandung, 1989) dan roman pendek Abdullah Mustapa Lembur Singkur (Bandung,
1979).
2] Para sasterawan Sunda banyak merekam situasi tidak aman masa itu dalam karya-
karyanya seperti Kis. Ws., Ayatrohaedi, Iskandarwassid, Abdullah Mustappa, dll. baik
berupa sajak, cerita pendek maupun roman. Lihat buku saya Kesusasteraan Sunda
Dewasa Ini (Jatiwangi, 1967), kumpulan cerita pendek Iskandarwassid Halimun Peuting
(Bandung, 1989) dan roman pendek Abdullah Mustapa Lembur Singkur (Bandung,
1979).
[3] Dalam berita AP dari Washington tg. 21 Juni 2001 digambarkan bahwa sampai
akhir abad 21 kira-kira antara 3.400 sampai 6.120 macam bahasa dari sejumlah 6.800
bahasa yang sekarang dipergunakan di dunia akan mati. Dan sebagian (besar) niscaya
terjadi di Indonesia, karena menurut statistik World Institute di Indonesia terdapat 731
macam bahasa. Nomor dua terbanyak di dunia setelah Papua Nyugini yang mempunya
832 macam bahasa. Kematian sesuatu bahasa akan besar pengaruhnya terhadap
kegiatan dan kehidupan kesenian tradisinya.
[4] Lihat juga Filologi Nusantara oleh Achadiati Ikram (Dunia Pustaka Jaya, Jakarta,
1997, h.51)
[7] Di Indonesia masih kuat anggapan bahwa ilmu pasti lebih penting dari humaniora.
Pembagian sekolah menjadi jurusan A dan B dalam masa penjajahan Belanda sampai
sekarang masih dipertahankan dalam sistim persekolahan kita. A adalah yang
menitikberatkan pelajarannya pada ilmu-ilmu bahasa dan kesenian (humaniora),
sedangkan B adalah yang menitikberatkan pelajarannya pada ilmu pasti. Juga ada
jurusan C yang menitik beratkan pada pelajaran yang bersangkutan dengan
perekonomian. Anak yang bisa terpilih masuk ke jurusan B dianggap pandai, sedangkan
yang masuk jurusan A atau C dianggap otak kelas dua. Mungkin karena itu maka
humaniora tidak dianggap penting.
[8] Misalnya sebuah iklan dalam sebuah surat kabar berbunyi: “DR. (HC) untuk Senior
Indonesia: Yayasan Senior Indonesia mendapat kehormatan dari universitas luar negeri
untuk mengusulkan gelar Doktor Kehormatan dan Professorship bagi para senior
Indonesia. Jika Anda berminat, hubungi Yayasan Senior Indonesia, JDC Lantai Dasar, Jl.
Gatot Subroto 53, Slipi, Jakarta, 10260. Telp. (021)-5720544, 522, 514.”
——————
Dari makalah Ajip Rosidi pada Konferensi Internasional Budaya Sunda I di Bandung,
22-25 Agustus 2001.
1. Komentar dari:
hendrisman sukendar - 22-05-2008 pukul 06.46
Oleh
Abdul Gaffar Ruskhan
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
1. Pendahuluan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus bahasa negara
Indonesia. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah dikumandangkan dalam
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 oleh para pemuda Indonesia pada waktu itu yang
merupakan wakil berbagai daerah di Indonesia. Mereka bersepakat menjadikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia dengan mamasukkannya dalam salah satu
butir Sumpah Pemuda yang berisi (1) Kami putra dan putri Indonesia mengaku
bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; (2) Kami putra dan putri Indonesia
mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; (3) Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Mengapa disebut Sumpah
Pemuda? Jawabnya adalah karena para pemuda waktu itu berasal dari berbagai daerah
dan wilayah di Indonesia dengan latar belakang etnis dan budaya, termasuk bahasa,
yang berbeda-beda bersepakat menanggalkan identitas kedaerahan dan keetnikan yang
melebur dalam satu pengakuan bersama, yakni menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa kebangsaan Indonesia
dengan mengukuhkannya dalam Sumpah Pemuda.
Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi kenegaraan
yang berfungsi juga sebagai bahasa pendidikan, bahasa perencanaan dan
pembangaunan, sarana pengembangan ilmu, teknologi, dan budaya, serta bahasa
media massa. Hal itu dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945 (dalam amandemen tidak berubah) Bab XV, Pasal 36 yang mengatakan ”bahasa
negara adalah bahasa Indonesia”.
Dalam konteks pengembangan ilmu, teknologi, dan budaya, tampaknya bahasa
Indonesia sudah mengambil peran. Dalam pengembangan ilmu dan teknologi, bahasa
Indonesia telah mampu menjadi sarana pengembangan ilmu dan teknolosi yang
ditandai dengan pengindonesiaan istilah bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia.
Tidak kurang dari 350.000 istilah asing dalam berbagai bidang ilmu telah
diindonesiakan. Malah, Microsoft telah bekerja sama dengan Pusat Bahasa untuk
menerjemahkan istilah komputer ke dalam bahasa Indonesia, yang dikenal dengan
program komputer berbasis bahasa Indonesia. Dalam pengembangan budaya, bahasa
Indonesia pun telah melaksakanan peran itu karena keberagaman budaya Indonesia
1 Makalah yang disajikan dalam Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia Pertemuan
Asosiasi Jepang-
Indonesia di Nanzan Gakuen Training Center, Nagoya, Jepang, 10—11 November 2007
2 mengharuskan adanya sarana bahasa yang mencakup semua bahasa di Indonesia,
dalam hal ini dilakukan melalui bahasa Indonesia.
Dalam kaitannya dengan keberagaman budaya Indonsia, penulis akan mencoba
menawarkan pemanfaatan keberagaman budaya dalam pengajaran BIPA. Hal itu
penulis maksudkan agar dapat diperoleh beberapa kemanfaatan dalam pengajaran
BIPA. Seperti pepetah (ungkapan bijak dalam bahasa tradisional) mengatakan, ”sekali
merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui” (satu kali melakukan pekerjaan akan
diperoleh banyak manfaat dari pekerjaan yang kita lakukan itu).
Maha Esa (Shang Widhi) yang terlihat dalam upacara keagamaan (Bagus, 2002). Ada
hal yang menarik lagi di Bali, yakni sistem pertanian yang diatur dalam subak. Dalam
sistem itu setiap sawah mendapatkan jumlah air yang sama sehinga tidak ada sawah
yang tidak mendapatkan jatah air. Hal itu berlaku pada semua perkampungan yang
diatur dalam atruran masyarakatnya. Sistem pengairan seperti itu tidak ditemukan di
wilayah lain di Indonesia.
Agama pun berbeda-beda. Tidak dapat diingkari bahwa masih ada sistem religi
masyarakat Indonesia yang menganut kepercayaan kepada benda-benda alam
(animisme). Akan tetapi, pada umumnya masyarakat Indonesia menganut enam
agama resmi, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan yang terakhir diakui
Konghucu. Semuanya hidup berdampingan yang diatur dalam kerukunan hidup
beragama. Memang konsep kerukunan lahir pada masa Orde Baru yang sudah
tumbang, tetapi keberadaannya masih dipertahankan, yakni kerukunan intraumat dan
antarumat beragama. Apalagi sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998 yang
ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Soharto, mantan Presiden Kedua Republik
Indonesia, kehidupan masyarakat Indonesia lebih transparan. Setiap orang mempunyai
hak yang sama di negara Indonesia. Hal itu terbukti dengan tumbuh berkembangnya
budaya Cina, termasuk pengakuan terhadap agama Konghucu bagi masyarakat
keturunan Cina di Indonesia. Angin segar itu disambut bahagia oleh masyarakat
keturunan Cina, yang selama ini mereka agak dimarginalkan dalam sistem
pemerintahan Orde Baru.
Dari sudut keagamaan itu, Islam di Indonesia mencapai 87 persen. Dengan
jumlah itu tidaklah berarti bahwa kehidupan sosial politik tidak memperhatikan
keberagaman agama. Di Indonesia tradisi keberagaman agama dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa sangat menonjol. Sebagai warga dengan jumlah
mayoritas, umat Islam di Indonesia sangat memperhatikan kerukunan antarumat
beragama. Prinsip-prinsip agama sebagai pembawa rahmat dan kedamaian untuk
seluruh isi alam sangat mereka perhatikan Hal itu sudah menjadi dasar
kemasyarakatan yang tidak dapat diingkari. Malah, ada masyarakat yang begitu tinggi
toleransinya sehingga gesekan apa pun yang menerpanya tidak akan menggoyahkan
sendi-sendi kemasyarakat yang toleran. Memang tidak dapat disangkal bahwa situasi
politik kadangkala memengaruhi kehidupanan masyarakat yang rukun dan aman. Ada
upaya-upaya untuk memecah belah persatuan bangsa melalui goncangan terhadap
kerukunan umat beragama dengan mencuatkan sentimen keagamaan. Hal itu sengaja
diciptakan oleh orang-orang yang tidak senang dengan kondisi politik yang stabil.
Akibatnya, umat beragama terpengaruh ke dalam konflik tertentu. Kondisi itu kadang-
kadang disesalkan oleh masyarakat itu sendiri mengapa mereka terjerumus ke dalam
konflik yang tidak mereka inginkan. Walaupun begitu, kehidupan rukun yang telah
mereka warisi secara turun-temurun mengekalkan mereka dalam kebersamaan dan
kerukunan yang sejati.
3. Pengenalan Budaya Indonesia melalui Pengajaran Bahasa Indonesia
Dalam pengajaran BIPA memang ada buku yang telah memanfaatkan budaya
Indonesia, namun belum semua buku penbgajaran BIPA menyajikan materi yang
menyentuh kebudayaan Indonesia. Berdasarkan penelitian Mustakim (2003), dari 43
buku yang diteliti, terdapat 24 buku (56%) buku yang menyajikan materi sosial
budaya Indonesia. Hal itu berarti ada 19 buku (44%) yang belum menyajikan sosial
budaya Indonesia secara optimal. Walaupun begitu, dari 19 judul itu sebanyak 11
buku tidak menyajikan sama sekali aspek sosial budaya, sedangkan yang lain ada
menyinggungnya, tetapi porsinya sangat sedikit.
Dari gambaran itu, dapat dikatakan bahwa materi BIPA belum dapat dikatakan
menyentuh tujuan pengajaran BIPA. Pada dasarnya pengajaran bahasa asing, dalam
hal ini bahasa Indonesia, diharapkan agar pelajar dapat menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar. Karena bahasa Indonesia—berlaku juga bagi bahasa
lain—tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan sosial budaya masyarakat
Indonesia, penyajian aspek sosial budaya menjadi penting. Bagaimanapn juga,
pengajaran BIPA dapat juga berfungsi sebagai pemberian informasi budaya dan
masyarakat Indonesia kepada pelajar asing. Keberhasilan pengajaran BIPA tidak akan
optimal apabila pengajaran itu tidak melibatkan aspek-aspek sosial budaya yang
berlaku dalam masyarakat bahasa tersebut.
Ada beberapa aspek budaya yang dapat dimanfaatkan dalam penyajian materi
ajar BIPA. Ababila kita merujuk pada unsur budaya yang dikemukakan oleh
Koentajaraningrat (1991), maka ada tujuh unsur, yakni (1) sistem peralatan dan
perlengkapan hidup (alat produktif, alat distribusi dan transportasi, wadah dan tempat
untuk menaruh, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan
perumahan, serta senjata); (2) sistem mata pencarian hidup (berburu dan meramu,
pereikanan, bercocok tanam, peternakan, dan perdagangan); (3) sistem
kemasyarakatan (sistem kekerabatan, sistem kesatuan hidup setempat, asosiasi dan
perkumpulan, sistem kenegaraan); (4) bahasa (bahasa lisan dan bahasa tulis), (5)
kesenian (seni patung, seni relief, seni lukis dan gambar, seni rias, seni vokal, seni
instrumental, seni sastra, dan seni drama); (6) sistem pengetahuan (pengetahuan alam,
flora, fauna, zat dan bahan mentah, tubuh manusia, kelakuaan sesama manusia, ruang,
waktu, dan bialangan, dan (7) sistem religi (sistem kepercayaan, kesustraan suci,
sistem upacara keagamaan komunitas keagamaan, ilmu gaib, dan sistem nilai dan
pandangan hidup). Mustakim (2003) mengelompokkan materi yang perlu disajikan
dalam buku BIPA yakni (1) benda-benda budaya, (2) gerak-gerik anggota badan, (3)
jarak fisik ketika berkomunikasi, (4) kontak pandang mata dalam berkomunikasi, (5)
penyentuhan, (6) adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat, (7) sistem nilai yang
berlaku dalam masyarakat, (9) sistem religi yang dianut masyarakat, (10) mata
pencarian, (11) kesenian, (12) pemanfaatan waktu, (13) cara berdiri, duduk, dan
menghormati orang lain, (14) keramah-tamahan, tegur sapa, dan basa basi, (15) pujian,
(16) gotong-royong, (17) sopan santun, termasuk eufimisme. Namun, belum semua
unsur itu disajikan dan masih ada unsur yang belum mendapat perhatian dam buku
ajar BIPA.
Berdasarkan klasifikasi di atas, banyak hal yang dapat disajikan dalam materi
BIPA. Tampaknya unsur-unsur budaya itu sangat banyak dan beragam di Indonesia.
Keberagaman budaya itu terkristalisasi dalam beraneka macam etnis dengan
budayanya masing-masing. Penyusun bahan ajar BIPA dapat memilih unsur-unsur
budaya mana yang diperlukan disajikan sebagai materi pembelajaran. Jika kembali
kepada unsur budaya yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat tampaknya sistem
peralatan dan perlengkapan hidup, sistem mata pencarian hidup, sistem
kemasyarakatan, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi menjadi pilihan.
Suatu kenyataan dalam pengajaran bahasa asing, dalam hal ini bahasa
Indonesia bagi orang asing, bahwa ada realitas sosial masyarakat Indonesia yang
pluralisme yang menggunakan bahasa Indonesia dengan latar belakang budaya yang
berbeda. Dengan keberbedaan itu, pelajar asing akan dapat memahami karakteristik
masing-masing. Dengan demikian, pengetahuan yang menyeluruh tentang pluralisme
masyarakat Indonesia, di samping kemahiran berbahasa Indonesia, akan diperoleh
oleh pelajar secara bersama.
Memang selama ini terdapat gambaran yang tidak lengkap tentang masyarakat
Indonesia. Mungkin ada yang memandang Indonesia itu adalah Bali, atau sebaliknya.
Bahkan, ada citra seolah-oleh Indonesia tidak ada hubungannya dengan Bali. Memang
tidak diingkari bahwa promosi objek pariwisata tertentu yang gencar dapat saja
mengubah citra masyarakat dunia tentang Indonesia yang luas dan beragam. Namun,
apabila Indonesia yang luas dengan aneka ragam masyarakatnya dipahamkan melalui
pengajaran BIPA, pasti hal itu akan memberikan gambaran yang positif bagi pelajar
tentang Indonesia. Dengan demikian, gambaran yang keliru tentang Indonesia akan
dapat diluruskan akibat berkembangnya citra yang tidak sehat. Apalagi ada upaya-
upaya yang dapat menimbulkan citra yang tidak baik terhadap kelompok tertentu di
Indonesia. Akibatnya, hubungan yang sudah harmonis, baik di kalangan masyarakat
Indonesia sendiri mapun antarmasyarakat luar, akan terganggu. Hal itu tentu tidak
diinginkan. Salah satu sarana pemberian informasinya adalah pengajaran BIPA.
Pendekatan lintas budaya melalui pengajaran bahasa asing itu merupakan cara
pemahaman budaya sebagai suatu keseluruhan hasil respons kelompok manusia
terhadap lingkungan dalam rangka memenuhi kubutuhan dan pencapaian tujuan
setelah melalui rintangan proses interaksi. Ada hal-hal pokok yang perlu diperhatikan
yaitu kebutuhan dan tujuan mempelajari budaya, lingkungan target budaya, dan
integrasi sosial yang diinginkan. Dengan demikian, kecurigaan-kecurigaan dalam
berinteraksi akan dapat dihilangkan.
Dalam kaitan itu, penulis dan pengajar BIPA dapat memilih unsur-unsur
budaya Indonesia dalam buku ajar dan pengembangannya di kelas. Pemilihan itu
dilakukan sesuai dengan tujuan pengajaran BIPA, yang menurut saya adalah mahir
berbahasa Indonesia dan paham terhadap keberagaman budaya Indonesia.
Pusat Bahasa telah mencoba menyusun buku pengajaran BIPA dengan
memesukkan sosial budaya sebagai teks percakapan dan
memberikan catatan budaya
dalam setiap unit buku itu. Buku yang berjudul Lentera Indonesia:
Penerang untuk
Memahami Masyarakat dan Budaya Indonesia menekankan
pengenalan masyarakat
dan budaya Indonesia melalui pengajaran BIPA. Cara demikian dilakukan untuk dapat
menyelami kehidupan masyarakat Indonesia lebih jauh lagi. Dengan demikian, pelajar
BIPA lebih akrab dengan masyarakat bahasa Indonesia melalui pengajaran BIPA.
4. Penutup
Indonesia yang memiliki kebegaraman budaya penting dipahami oleh pelajar
BIPA. Masalahnya, pengajaran BIPA bukan hanya sekadar menghasilkan pelajar yang
mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar, melainkan juga menjadi wahana
untuk memahami keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia. Walaupun pelajar
BIPA belum berkunjung ke Indonesia, diharapkan melalui pengayaan materi BIPA
dengan keberagaman budaya Indonesia mereka akan mampu menyerapkan informasi
yang utuh tentang Indonesia, khususnya dari khazanah budayanya. Buku ajar yang
belum memuat materi keberagaman budaya Indonesia dapat dilengkapi dan
diupayakan menjadi sarana strategis untuk mengetahui masyarakat Indonesia.
Para penulis dan guru BIPA diharapkan mampu mengolah bahan ajar BIPA
menjadi sesuatu yang menarik melalui penyajian materi yang mengutamakan
informasi tentang keadaan masyarakat dan budaya Indonesia. Hal itu penting agar
gambaran yang jelas tentang Indonesia dapat dimiliki oleh pelajar BIPA. Kurangnya
pemahaman dan pengeahuan tentang Indonesia akan dapat menimbulkan
kesalahpahaman tentang masyarakat Indonesia yang kaya dengan berbagai budayanya.
Daftar Pustaka
"Sebab, materinya tidak akrab dengan kondisi zaman sekarang. Misalnya saja
tentang wawacan yang berisi pupuh. Itu kan tradisi menulis pada zaman
Mataram. Untuk sekadar tahu bisa saja, tapi sulit untuk dipahami anak SD," kata
Aditya, Kamis (12/10), sebelum peluncuran komik berjudul Kolor Totol-Totol.
Sejak akhir September, ia dan komikus, Agung Gumbira (27)-yang juga alumnus
Jurusan Seni Rupa, dan mengajar di SD yang sama- berkolaborasi
memproduksi komik Sunda agar bahasa Sunda diakrabi generasi muda.
"Saat ini banyak generasi muda Sunda tidak lagi menganggap bahasa Sunda
sebagai bahasa ibu, tetapi bahasa asing," kata Aditya.
Komik tersebut bertutur tentang tokoh superhero yang konyol dan lugu.
Munculnya tokoh tersebut merupakan sindiran terhadap budaya instan yang kini
ada di masyarakat.
Komik ini merupakan judul pertama dari sekitar 10 judul yang akan diterbitkan.
"Untuk saat ini kami menerbitkan sendiri. Setelah seluruh serial terwujud, kami
akan menerbitkannya menjadi buku yang lebih serius," kata Agung.
Dina naskah Kuna ieu teh aya palanggeran, tuduh laku tatakrama pikeun jadi pamingpin
di masarakat jaman harita. Sanajan kitu eta palanggeran teh tetep gede gunana pikeun
jadi palanggeran pamingpin Sunda jaman ayeuna. Eta palanggeran teh disebut
PARIGEUING.
A. PARIGEUING
Dina Basa Sunda jaman abad ka 15/16 masehi, disebutkeun yen Parigeuing teh nya eta :
“Parigeuing mah ngaranna : bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawangi, nya mana
hanteu surah nu dipiwarang”. Upama ku basa Sunda jaman ayeuna mah hartina : “Nu
disebut Parigeuing teh nyaeta bisa marentah bisa miwarang ku caritaan nu pikagenaheun
tepi ka teu matak jengkel nu diparentahna”.
B. DASA PASANTA
Pikeun bisa ngalaksanakeun Parigeuing teh carana kudu bisa ngalaksanakeun heula Dasa
Pasanta (hartina Sapuluh Panengtrem Hate). Maksudna kumaha carana pikeun
nengtremkeun hate jelema nu diparentah supaya dina digawena teh iklas tur sumangetna
ngagedur.
C. PANGIMBUHNING TWAH
Jaba ti Parigeung jeung Dasa Pasanta teh, dina naskah eta keneh aya nu disebut
Pangimbuhning Twah, nyaeta pituduh tatakrama hirup kumbuh sapopoe, sangkan
manusa hirupna teh boga pamor (B.Ind: bertuah). Upama disundakeun ayeuna mah
hartina teh Pangjangkep Pikeun Boga Pamor.
Tapi aya 4 pasipatan (tatakrama nu teu hade, anu non etis), nu dipahing ku para luluhur
Urang Sunda, diebutna PAHARAMAN nyaeta:
Hayu urang lenyepan ku sarerea eta rumus jetu karuhun urang teh, atuh sanggeus
kalenyepan urang usahakeun di prakeun kana kahirupan sapopoe
Sebentar lagi Bandung berulang tahun, tanggal 25 September yang ke-195. Bandung
identik dengan etnik Sunda, Priangan atau Parahyangan. Bagaimana ceritanya? Panjang!
Tadinya saya hanya mencari-cari asal-usul nama jalan di seputaran Dago, yaitu jalan
Purnawarman, Sawunggaling, Mundinglaya, Ciungwanara, Ranggagading,
Ranggamalela, Ranggagempol, Hariangbanga, Geusan Ulun, Adipati Kertabumi, Dipati
Ukur, Suryakancana, Wira Angunangun, Ariajipang, Prabu Dimuntur, Bahureksa,
Wastukancana, Gajah Lumantung, Sulanjana, Badaksinga, Bagusrangin, Panatayuda, dan
Singaperbangsa. Tidak banyak yang saya dapat dari pencarian Google, juga tidak punya
buku referensi untuk saya dongengkan kembali. Jadi hanya saya tulis asal-usul Sunda
saja, mungkin nanti saya temukan juga dongeng atau pun sejarah tentang nama-nama
jalan di atas.
Disadur, diringkas, dipotong dan didongengkan kembali oleh saya dari situs catatan
sejarah kota Bogor. Silakan baca langsung sumbernya jika anda berminat membaca lebih
detil.
Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M untuk
menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara. Tarusbawa, penguasa
Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan keharuman Tarumanagara yang semakin
menurun di purasaba (ibukota) Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya punya nama lain yang menunjukkan
wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh, Kawali, Pakuan atau Pajajaran).
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari
kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara,
Maharaja Tarusbawa menerima tuntutan Raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara
dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai
Citarum sebagai batas (Cianjur ke Barat wilayah Sunda, Bandung ke Timur wilayah
Galuh).
Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:
Tarusbawa bersahabat baik dengan raja Galuh Bratasenawa atau Sena. Purbasora –yang
termasuk cucu pendiri Galuh– melancarkan perebutan tahta Galuh di tahun 716M karena
merasa lebih berhak naik tahta daripada Sena. Sena melarikan diri ke Kalingga (istri
Sena; Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga).
Sanjaya, anak Sena, ingin menuntut balas kepada Purbasora. Sanjaya mendapat mandat
memimpin Kerajaan Sunda karena ia adalah menantu Tarusbawa. Galuh yang dipimpin
Purbasora diserang habis-habisan hingga yang selamat hanya satu senapati kerajaan,
yaitu Balangantrang.
Sanjaya yang hanya berniat balas dendam terpaksa harus naik tahta juga sebagai Raja
Galuh, sebagai Raja Sunda ia pun harus berada di Sundapura. Sunda-Galuh disatukan
kembali hingga akhirnya Galuh diserahkan kepada tangan kanannya yaitu Premana
Dikusuma yang beristri Naganingrum yang memiliki anak bernama Surotama alias
Manarah.
Premana Dikusuma adalah cucu Purbasora, harus tunduk kepada Sanjaya yang
membunuh kakeknya, tapi juga hormat karena Sanjaya disegani, bahkan disebut rajaresi
karena nilai keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat seperti Purnawarman. Premana
menikah dengan Dewi Pangreyep –keluarga kerajaan Sunda– sebagai ikatan politik.
Di tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia
meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara putranya,
Tamperan dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan,
sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan.
Premana akhirnya lebih sering bertapa dan urusan kerajaan dipegang oleh Tamperan
yang merupakan ‘mata dan telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan terlibat skandal dengan
Pangreyep hingga lahirlah Banga (dalam cerita rakyat disebut Hariangbanga).
Tamperan menyuruh pembunuh bayaran membunuh Premana yang bertapa yang
akhirnya pembunuh itu dibunuh juga, tapi semuanya tercium oleh Balangantrang.
Perang saudara tersebut terdengar oleh Sanjaya yang memimpin Medang atas titah
ayahnya. Sanjaya kemudian menyerang Manarah tapi Manarah sudah bersiap-siap,
perang terjadi lagi namun dilerai oleh Demunawan, dan akhirnya disepakati Galuh
diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.
Konflik terus terjadi, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu
belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan
Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang
baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat
pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke
timur dan sebaliknya. Antara tahun 895M sampai tahun 1311M kawasan Jawa Barat
diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di
kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air. Dari faktor inilah secara turun temurun
dongeng Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya disampaikan.
Kelak Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang besar, hingga jaman Hayam Wuruk dan
Gajah Mada mempersatukan seluruh nusantara, kecuali kerajaan Sunda yang saat itu
dipimpin Linggabuana, yang gugur bersama anak gadisnya Dyah Pitaloka Citraresmi
pada perang Bubat tahun 1357M. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali
ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.
Menurut Kidung Sundayana, inti kisah Perang Bubat adalah sebagai berikut (dikutip dari
JawaPalace):
Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh
rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga
bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar
Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca
dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana-mana. Namun sang raja
belum kawin rupanya. Mengapa demikian? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri.
Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan
kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar
khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana.
Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh
Nusantara sujud di hadapannya. Tetapi engkau satu, jiwanya yang senantiasa menjerit
meminta pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja
Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah
Pitaloka Citrasemi.
Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri
Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di
kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang
prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa
menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan
tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah
airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah
Jawa yang akan menjadi menantunya.
Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari
kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang
berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri
tersebut akan “dihadiahkan” kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda,
putri tersebut akan “di pinang” oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan
Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya
sesuatu peperangan besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah
Pitaloka oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam
Wuruk yang mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat
menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian
inti Kidung.
Selain tahun 1511 Portugis menguasai Malaka, VOC masuk Sunda Kalapa, Kerajaan
Islam Banten, Cirebon dan Demak semakin tumbuh membuat kerajaan besar Sunda-
Galuh Pajajaran semakin terpuruk hingga perlahan-lahan pudar, ditambah dengan
hubungan dagang Pajajaran-Portugis dicurigai kerajaan di sekeliling Pajajaran. Stop.
Lanjut!
Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di
bidang sosial, budaya, agama (terutama penyebaran Islam), militer dan politik
pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putranya, Pangeran Rangga Gempol
Kusumadinata/Rangga Gempol I atau yang dikenal dengan Raden Aria Suradiwangsa
naik tahta. Namun, pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun
1620M Sumedang Larang dijadikan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah
Sultan Agung, dan statusnya sebagai ‘kerajaan’ diubah menjadi ‘kabupaten’.
Sultan Agung memberi perintah kepada Rangga Gempol I beserta pasukannya untuk
memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan sementara
diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede. Hingga suatu ketika, pasukan Kerajan
Banten datang menyerbu dan karena setengah kekuatan militer kabupaten Sumedang
Larang diberangkatkan ke Madura atas titah Sultan Agung, Rangga Gede tidak mampu
menahan serangan pasukan Banten dan akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat
marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan
selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur. Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh
Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut
pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan.
Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung,
diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggungjawabannya dan akhirnya tertangkap dari
persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah
Priangan.
Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali
untuk memerintah di Sumedang, sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan
Galuh (Ciamis) dibagi kepada tiga bagian; Pertama, Kabupaten Bandung, yang dipimpin
oleh Tumenggung Wiraangunangun, kedua, Kabupaten Parakanmuncang oleh
Tanubaya dan ketiga, kabupaten Sukapura yang dipimpin oleh Tumenggung
Wiradegdaha atau R. Wirawangsa atau dikenal dengan “Dalem Sawidak” karena
memiliki anak yang sangat banyak.
Selanjutnya Sultan Agung mengutus Penembahan Galuh bernama R.A.A. Wirasuta yang
bergelar Adipati Panatayuda atau Adipati Kertabumi III (anak Prabu Dimuntur,
keturunan Geusan Ulun) untuk menduduki Rangkas Sumedang (Sebelah Timur Citarum).
Selain itu juga mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi dan
Kuta Tandingan. Setelah mendirikan benteng tersebut Adipati Kertabumi III kemudian
kembali ke Galuh dan wafat. Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah menjadi
Karawang karena kondisi daerahnya berawa-rawa, karawaan.
Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putra Adipati Kertabumi III, yakni Adipati
Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang, pada Tahun 1656M. Adipati
Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Panembahan Singaperbangsa atau Eyang
Manggung, dengan ibu kota di Udug-udug. Pada masa pemerintahan R. Anom Wirasuta
putra Panembahan Singaperbangsa yang bergelar R.A.A. Panatayuda I antara Tahun
1679M dan 1721M ibu kota Karawang dari Udug-udug pindah ke Karawang. Stop.
Sumber : http://yulian.firdaus.or.id/2005/09/23/sundapura/
Diposkan oleh Ahmad Kurnia El-Qorni di 18:11 0 komentar
Label: Asal-usul urang sunda
Mencari Akar Historis Krisis Kepemimpinan
Orang Sunda
Oleh Prof. Dr. H. NANAT FATAH NATSIR, M.S.
BAGI orang Sunda, mencari seorang pemimpin selalu terkesan sangat sulit. Hal
ini lebih disebabkan oleh kultur dan interpretasi yang keliru pada teks-teks
agama yang mereka anggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam nilai
budaya "urang Sunda", maka yang lahir kemudian adalah krisis kepemimpinan
yang berujung pada inferioritas orang Sunda dalam pergaulan di lingkup
nasional.
Apa sebenarnya akar historis krisis kepemimpinan orang Sunda? Pertanyaan ini
mutlak dikedepankan bukan untuk menghakimi masa lalu, mengingat sebagai
masyarakat Jawa Barat kita hidup dalam penggalan sejarah dan merupakan
bagian dari sejarah tersebut, melainkan untuk menggambarkan realitas yang
bergerak secara dinamis dalam kesadaran kita, mampu mengontrol laju sejarah
tersebut melalui stuktur kesadaran.
Sejujurnya, fenomena yang kita tampilkan dalam bentuk seperti itu bukan
merupakan interpretasi yang benar dari nash. Akhirnya yang tampak dari konsep
"mangga ka payun" itu adalah sikap ketidakikhlasan. Mendorong orang lain
untuk tampil itu sebenarnya mencari dukungan balik untuknya. Oleh karena itu,
kita saksikan di beberapa daerah terjadi pencopotan sekda dan pejabat-pejabat
teras lainnya karena wali kota atau bupati gerah terhadap bawahannya itu yang
ternyata lebih mendapat simpati masyarakat.
Yang dibutuhkan sekarang dari orang Sunda adalah jiwa ksatria. Ia harus berani
tampil agresif, menawarkan konsep, dan mengemukakan kemampuannya untuk
menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi termaju di Indonesia. Kita harus mulai
mengubah pemahaman teks agama dengan interpretasi modern. Berarti tampil
berdasarkan kemampuan dan bukan atas dasar mencari sesuatu. Al Quran
menggambarkan hal ini ketika Nabi Yusuf meminta jabatan kepada Raja Mesir,
"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya kau adalah
orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan" (QS.12:55).
Abu Zaid Abdul Rahman Ibnu Khaldun atau Ibn Khaldun merupakan sosiolog
Muslim kenamaan yang pemikirannya tentang masyarakat dan negara sangat
modern melampaui zamannya. Oleh karena itu, ketika kita membahas
kepemimpinan dalam perspektif Ibnu Khaldun, kita akan mendapat uraian-uraian
yang sangat signifikan dengan kondisi saat ini, terutama kepemimpinan Sunda
sebab teori-teori yang dihasilkan Ibnu Khaldun sangat asumtif terhadap berbagai
keadaan terutama bagi masyarakat muslim.
Menurut Ibnu Khaldun, asal-usul solidaritas sosial adalah ikatan darah yang
menyatukan masyarakat-masyarakat kecil. Namun, ia pun dengan hati-hati
mengatakan bahwa ikatan darah itu tidak berarti apa pun apabila tidak disertai
kedekatan dan cara hidup yang sama, tempat hidup bersama itu bisa
menumbuhkan solidaritas sosial yang sama kuatnya sebagaimana ikatan darah.
Lebih dari itu hubungan suku, antara orang yang dilindungi dan yang tidak
dilindungi, bisa membawa solidaritas yang lebih luas. Suatu kepemimpinan,
tambah Khaldun, hanyalah dapat dibangun atas dasar ashobiyyah ini.
Kedua, ia harus adil. Artinya bersikap jujur, berpegang pada keadilan, dan
memiliki sifat-sifat moral yang baik sehingga perkataan dan tindakannya dapat
dipercaya.
Keempat, secara fisik dan mental, ia harus bebas dari cacat yang tidak
memungkinkan ia dapat menjalankan tugas sebagai pemimpin yang baik.
Kelima, pemimpin sebuah pemerintahan harus berasal dan dipilih dari suku
sendiri.
Keenam, seorang pemimpin harus lemah lembut dan sopan santun terhadap
pengikutnya dan harus mengutamakan kepentingan rakyat dan wajib
membelanya dan juga tidak mencari-cari kesalahan rakyat.
Keenam teori Ibnu Khaldun ini merupakan bukti nyata dalam setiap pola
kepemimpinan manapun terlebih sebagai mantan aparatur pemerintahan pada
zamannya; Ibnu Khaldun pernah merasakan bahwa kepemimpinan yang
didukung masyarakat yang berdasarkan solidaritas sosial dan berasal dari suku
sendiri akan mampu menjadikan pemerintahannya menjadi kokoh.
Adapun persoalan Sunda dan non-Sunda dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat
merupakan hal yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan karena sudah jelas
bahwa untuk mengubah nasib diri dan kaum harus berasal dari kemampuan
kaum itu sendiri (QS.13:11). Yang perlu diingat untuk Jawa Barat adalah
pemimpin yang saleh, amanah, dan adil, sesuai dengan kondisi masyarakat
yang religius dan berbudaya. Seorang pemimpin harus mampu menjabarkan
nilai-nilai agama dalam membangun masyarakat Jawa Barat. Tentu hal itu tidak
sekadar saleh ritual.
Sudah saatnya calon pemimpin Sunda telah memiliki keenam kemampuan yang
disyaratkan Ibnu Khaldun tadi, maju untuk mencalonkan diri dengan kesatria. Ia
harus memiliki pandangan seperti Nabi Yusuf, memiliki kemampuan dan
diserhakan sepenuhnya untuk menyejahterakan masyarakat. Wallohu'alam.***
Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Agama dan Pembantu Rektor I IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung.***
Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis
kesenian yang disebut angklung dan calung, dimana calung dikenal sebagai alat
musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan
angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung
adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu)
yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis
bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam),
namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai angklung adalah awi wulung
(bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa
alat musik angklung dan calung mirip sama; tiap nada (laras) dihasilkan dari
bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu
dari ukuran kecil hingga besar.
Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung dan calung berdasarkan
pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan
dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos
kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi
kehidupan (hirup-hurip).
Si Oyong-oyong
Sawahe si waru doyong
Sawahe ujuring eler
Sawahe ujuring etan
Solasi suling dami
Menyan putih pengundang dewa
Dewa-dewa widadari
Panurunan si patang puluh
Alasan kesukuan sangat tidak relevan karena masalah bangsa ini besar. Jangan
mengandalkan emosional, tapi kalkulasi yang rasional, katanya.
Lebih lanjut Kusnaka menjelaskan, sebenarnya orang Sunda itu sangat rasional.
Karena rasional, maka orang Sunda melihat kultur sebagai sesuatu yang
dinamis.
Jadi, mungkin saja institusinya yang masih konservatif tidak melihat realitas dan
dinamika yang terjadi, tuturnya.
Sementara itu, mantan anggota DPR asal Jawa Barat, Tjetje Hidayat
Padmadinata, mengutarakan, ketika berbicara Kabinet Indonesia Bersatu, maka
asal- usul etnik dan daerah jangan dikedepankan. Kurang relevan lah, ujar
Tjetje.
Menurut dia, yang harus dipertimbangkan dari seorang menteri atau calon
menteri ialah rekam jejaknya, yang meliputi integritas pribadi dan
profesionalismenya.
Tjetje merasa bersyukur bahwa ternyata ada orang Sunda yang menjadi
menteri. Namun, sebelum diangkat menjadi menteri, presiden harus bertanya
terlebih dahulu kepada orang Sunda bagaimana reputasi orang tersebut. Jadi,
pemilihan pejabat negara tidak asal Sunda saja.
Meski kultur orang Sunda sendiri sebenarnya rasional, ujar Tjetje, pemikiran
setiap orang tetap akan berbeda.
Oleh karena itu, lanjut Tjetje, agar memiliki wawasan kebangsaan yang luas,
perlu adanya proses pencerahan berpikir di kalangan orang Sunda.
Menurut dia, selama ini orang Sunda merasa tersisihkan dalam percaturan
politik nasional, bahkan di kandang sendiri. Masalah keterwakilan dalam kabinet
sudah sering dikemukakan berbagai kalangan di Bandung secara terbuka dalam
berbagai kesempatan kepada para calon presiden sebelum pemilihan. (d11)
Lengser Pajajaran tak kehabisan akal. Kepada lengser Muaraberes ia berkata, "Tatkala
kakekku kawin dengan nenekku, kakekmu juga kawin dengan nenekmu; lalu sama-sama
punya anak: ayahku dan ayahmu. Bapakku kawin dengan ibu, bapakmu kawin dengan
ibumu. Lalu sama-sama punya anak lagi, yaitu aku dan kamu. Jadi, kita ini sama-sama
anak ayah dan ibu. (Kita) masih bersaudara, tetapi lain ayah lain ibu. Kamu harus
memanggilku kakak."
Jelas, di antara keduanya tidak ada hubungan kekerabatan (darah). Hanya saja,
pendekatan lengser Pajajaran demikian memikat hati sehingga lengser Muaraberes rela
memberikan sebagian honje-nya. Selamatlah lengser dan permaisuri kedua kerajaan itu.
Karena anak mereka berlainan jenis, yang pria dinamai Mundinglaya Dikusumah dari
Pajajaran sedang yang wanita dinamai Nyi Dewi Asri dari Muaraberes. Akhirnya kedua
keturunan raja itu menikah dan naik tahta menggantikan ayah mereka.
Apa yang dilakukan oleh lengser Pajajaran disebut pancakaki. Menurut Kamus Basa
Sunda karya R. Satjadibrata (1954; 2005: 278), pancakaki bermakna sebagai istilah-
istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara
yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut
(piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau
gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti
anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga,
saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan
anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya.
Dalam Kamus Umum Basa Sunda (KUBS) susunan Tim Lembaga Basa Sastra Sunda
(1985: 352) pancakaki mengandung dua makna. Pertama, hubungan seseorang dengan
orang lain yang sekeluarga atau yang masih bersaudara. Contohnya, ibu, ayah, nenek,
kakek, paman, bibi, anak, cucu, buyut, keponakan, dsb. Kedua, menyelusuri hubungan
kekerabatan. Makna pertama sama dengan makna yang dirumuskan oleh Satjadibrata,
sedangkan makna kedua merupakan makna tambahan dengan memasukkan perbuatan
menyelusuri hubungan kekerabatan, seperti dalam contoh kalimat, "Cing urang
pancakaki heula, perenah kumaha saenyana Ujang jeung Emang tih?" (Mari kita
menelusuri dulu hubungan kekerabatan, bagaimana sesungguhnya hubungan kekerabatan
Ananda dan Paman?).
Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang
maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa
Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan, seperti A berputra B, B
berputra C, dst. beserta cabang-cabangnya, biasa digambarkan dalam bentuk pohon.
Sarsilah bermakna daftar asal-usul, uraian keturunan (KUBS, 1985: 443, 447; lihat pula
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988: 794, 840).
Makna sajarah dan sarsilah tersebut sejajar dengan makna asal katanya sajarotun dari
perbendaharaan bahasa Arab, yaitu pohon. Maksudnya gambaran garis keturunan
seseorang yang sekilas berbentuk pohon dengan sejumlah cabang, ranting, dan daun. Di
lingkungan Keraton Yogyakarta masih terdapat contoh gambaran garis keturunan raja-
raja Jawa yang berbentuk pohon. Dalam kosa kata bahasa Indonesia masih ada istilah
lain untuk yang bermakna sama, yaitu genealogi. Istilah tersebut tentu berasal dari kosa
kata bahasa Belanda genealogie dan atau bahasa Inggris genealogy.
Dari rumusan-rumusan di atas tampak adanya persamaan dan perbedaan antara makna
pancakaki dengan makna sajarah dan sarsilah, juga genealogi. Pada satu pihak
persamaannya terletak pada semuanya bertalian dengan masalah hubungan kekerabatan
atau kekeluargaan. Pada pihak lain perbedaannya terletak pada penekanan hubungan
kekerabatan yang dilambangkan dengan istilah-istilah tertentu bagi makna pancakaki.
Sedangkan makna sajarah, sarsilah, dan genealogi terletak pada penekanan asal-usul (ke
atas) dan keturunan (ke bawah) serta gambaran hubungan kekerabatan atau tali
persaudaraan.
Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan kerabat atau keluarga dalam
masyarakat Sunda menempati kedudukan yang sangat penting. Hal itu bukan hanya
tercermin dari adanya istilah atau sebutan bagi setiap tingkat hubungan itu yang langsung
dan vertikal (bao, buyut, aki, bapa, anak, incu) maupun yang tidak langsung dan
horisontal (dulur, dulur misan, besan), melainkan juga berdampak kepada masalah
ketertiban dan kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao menempati
kedudukan lebih tinggi dalam struktur hubungan kekerabatan (pancakaki) daripada anak,
incu, alo, suan. Begitu pula lanceuk (kakak) lebih tinggi dari adi (adik), ua lebih tinggi
dari paman/bibi. Soalnya, hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan
menentukan kedudukan seseorang dalam struktur kekerabatan keluarga besarnya,
menentukan bentuk hormat menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan saling
menolong di antara sesamanya, serta menentukan kemungkinan terjadi-tidaknya
pernikahan di antara anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti baru.
Pancakaki dapat pula digunakan sebagai media pendekatan oleh seseorang untuk
mengatasi kesulitan yang sedang dihadapinya. Dalam hubungan ini yang lebih tinggi
derajat pancakaki-nya hendaknya dihormati oleh yang lebih rendah, melebihi dari yang
sama dan lebih rendah derajat pancakaki-nya.
Bahkan jika ternyata di antara mereka tidak memiliki hubungan kekerabatan (darah),
maka pembicaraan dilanjutkan dengan mencari pertalian hubungan lain, seperti melalui
kenalan, tetangga, teman sekolah, teman bekerja, dan lain-lain yang sama-sama dikenal
oleh mereka. Adapun tujuan pembicaraan tersebut adalah untuk saling mendekatkan
hubungan mereka. Tujuan selanjutnya, bergantung pada situasi dan kondisi pertalian
hubungan atau pertemuan mereka.
Tradisi lisan Sunda tertua yang mengemukakan keberadaan pancakaki kiranya adalah
cerita Sangkuriang. Cerita mitologi ini menggambarkan kehidupan zaman prasejarah
yang berlatarbelakang kejadian alam terbentuknya tiga gunung di sebelah utara Bandung,
yaitu Gunung Tangkuban Parahu, Bukittunggul, dan Burangrang serta sebuah Danau
Bandung Purba. Di dalam cerita ini sudah ada pancakaki, yaitu ada tokoh ayah (raja yang
sedang berburu dan si Tumang), ibu (Celeng Wayungyang dan Dayang Sumbi), dan anak
(Dayang Sumbi dan Sangkuriang). Di antara tokoh-tokoh tersebut terjalin hubungan
kekerabatan yang saling menghormati dan mengasihi sesuai dengan kedudukan
pancakaki</i>nya, kecuali dalam kondisi tanpa sadar dan tak tahu.
Adapun tradisi tulisan tertua adalah prasasti Tugu (ditemukan di Tugu, sekitar
perbatasan Bekasi-Jakarta) yang ditulis pada batu dengan menggunakan aksara Palawa
dan bahasa Sansekerta dari zaman Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 Masehi). Dalam
prasasti ini disebutkan tiga orang raja yang memiliki hubungan kekerabatan langsung
dan vertikal, yaitu Rajaresi, Rajadiraja Guru, dan Purnawarman. Pancakaki-nya adalah
Purnawarman putra Rajadiraja Guru dan Rajadiraja Guru putra Rajaresi. Jadi, ada
tiga generasi berupa kakek, ayah, dan anak yang secara bergantian memerintah
Kerajaan Tarumanagara.
Prasasti Batutulis pun yang ditulis pada batu dengan aksara Jawa Kuna dan bahasa
Sunda Kuna serta dikeluarkan oleh Prabu Surawisesa, raja Sunda (1521-1535), pada
tahun 1533 dan berada di kota Bogor sekarang mengungkapkan pancakaki raja-raja
Sunda. Bahwa Sri Baduga Maharaja, raja Sunda di Pakuan Pajajaran, adalah putra
Rahiyang Dewa Niskala, cucu Rahiyang Niskala Wastukancana. Di sini pun tertera tiga
generasi raja Sunda yang hubungan kekerabatannya langsung dan vertikal.
Daftar raja Sunda yang paling lengkap terdapat pada naskah Carita Parahiyangan. Di
dalam naskah ini dapat dikatakan semua raja Sunda baik yang berkedudukan di Galuh
maupun yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran didaftarkan secara kronologis sejak
raja pertama (sekitar abad ke-7-8) hingga raja terakhir (1579). Bahwa raja Sunda
pertama digantikan oleh raja Sunda kedua yang digantikan lagi oleh raja Sunda ketiga
dan seterusnya hingga raja terakhir. Pergantian raja-raja tersebut dilakukan oleh
sesama anggota kerabat keraton yang pancakaki-nya berdekatan dengan raja Sunda
yang digantikannya, seperti anak, adik, menantu.
Muncullah konsep kultus dewa raja dan sistem pergantian pemegang pemerintahan
berdasarkan hubungan kekerabatan (darah dan pernikahan). Mengemukanya hanya
daftar dan pancakaki raja-raja dalam tradisi lisan dan tradisi tulisan Sunda kiranya
berlatar belakang ajaran agama dan kebudayaan Hindu dari India yang menghantarkan
kepada periode sejarah di Tatar Sunda dan Nusantara pada umumnya serta
memperkenalkan stratifikasi sosial berdasarkan kasta (brahmana, ksatria, waisya,
sudra) yang berdampak pada profesi masing-masing.
Ada data baru yang memperlihatkan terjadinya masa peralihan sistem pancakaki antara
tradisi zaman kuna (Kerajaan Tarumanagara dan Sunda) dengan tradisi zaman baru
(kesultanan dan kabupaten). Data tersebut tertera pada naskah lontar dengan aksara
Sunda Kuna (unsur tradisi kuna), tetapi menggunakan bahasa Jawa, munculnya tokoh
Prabu Siliwangi sebagai awal pancakaki, berisi pancakaki yang sebagian besar
tokohnya tidak menduduki jabatan raja atau penguasa daerah, serta munculnya gelar
dan nama tokoh muslim dan Jawa (unsur tradisi baru). Data ini tertera pada naskah
lontar Sunda yang kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta dengan nomor
kode Kropak 421. Dalam naskah ini disebutkan 85 nama tokoh yang berasal dari 22
generasi hubungan kekerabatan (darah). Contoh gelar dan nama Islam dan Jawa antara
lain Sunan Parung, Ki Mas Yudamardawa, Nyi Mas Palembang, Ngabehi Mangunyuda,
Raden Abdul, Pangeran Demang, Dipati Darma, Ki Ariya Danupati, Kiyahi Wihataka.
Pancakaki para Sultan Cirebon dan Sultan Banten berpangkal pada dua leluhur. Pada
satu pihak (berdasarkan garis ibu) berpangkal pada Prabu Siliwangi yang disebutkan
sebagai raja Pajajaran terakhir; ada yang berlanjut sampai Prabu Seda (leluhur kelima
Prabu Siliwangi). Pada pihak lain (berdasarkan garis ayah) berpangkal pada Sultan
Mesir atau Sultan Banisrail di tanah Arab dan selanjutnya sampai Nabi Muhammad,
penerima dan pembawa agama Islam, bahkan ada yang sampai Nabi Adam, manusia
dan nabi pertama menurut ajaran Islam. Pancakaki demikian tertera pada naskah-
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, "Sajarah Banten". Munculnya
dua pangkal pancakaki tersebut kiranya dilatarbelakangi oleh maksud pengarangnya
untuk merangkul dua kelompok masyarakat yang hidup pada masyarakat Sunda masa
itu, yaitu kelompok masyarakat penganut atau yang berorientasi kepada raja-raja Sunda
dan kelompok masyarakat penganut atau yang berorientasi kepada agama Islam.
Dengan demikian, pancakaki tersebut memiliki fungsi politis.
Makin kemudian (sejak abad ke-19) pancakaki dalam naskah-naskah dari kabupaten-
kabupaten di wilayah Priangan makin lengkap. Sejak itu dalam pancakaki itu bukan
hanya dikemukakan identitas (nama) bupati beserta putranya yang menggantikan
jabatan ayahnya sebagai bupati, melainkan disebutkan pula identitas (nama) semua
putra bupati beserta ibunya masing-masing serta masalah ketika terjadi pergantian
pemegang pemerintahan. Sejauh pengetahuan penulis, pancakaki paling lengkap
terdapat pada keluarga besar bupati (menak) Sumedang dan Bandung. Di samping
didapatkan naskahnya sebanyak beberapa buah, juga ada bagan pancakaki-nya secara
keseluruhan dan tiap-tiap cabang keluarga seorang bupati atau tokoh tertentu. Hal ini
dimungkinkan karena pancakaki memainkan peranan penting dalam proses
pengangkatan/penggantian bupati dan pejabat-pejabat pemerintahan lainnya (sistem
feodal). Secara tersurat dikemukakan tujuan dan fungsi naskah pancakaki pada masa
lalu tertera dalam naskah Sajarah Sukapura karya tulis Raden Kanduruan Kartinagara.
Bahwa "...membuat pancakaki ini, untuk dipakai mengingatkan, para anak-cucu, agar
jangan putus hubungan kekeluargaan, karena biasanya yang muda tak peduli,
menghapalkan keturunan/leluhur. Tetapi kalau sudah ada dalam bentuk tertulis,
disimpan di dalam laci, kendatipun tidak hafal, pasti tak akan sia-sia, sebab sudah ada
dalam bentuk tertulis itu, asalkan mau membaca, pasti ketemu.
Penulis, GuruBesar Universitas Padjadjaran dan Ketua Pengurus Pusat Studi Sunda
Sumber: Pikiran rakyat, 13 Desember 2005
Diposkan oleh Ahmad Kurnia El-Qorni di 17:37 0 komentar
Label: Asal-usul urang sunda
Posting Lama
Langgan: Entri (Atom)
BAB I
PENDAHULUAN
Siapa yang tidak kenal dengan Pancasila dan Soekarno sebagai penggalinya?
Pada tanggal 1 Juni 1945 untuk pertama kalinya Bung Karno mengucapkan
pidatonya di depan sidang rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan.
Sejarah Pancasila adalah bagian dari sejarah inti negara Indonesia. Sehingga
tidak heran bagi sebagian rakyat Indonesia, Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang
sakral yang harus kita hafalkan dan mematuhi apa yang diatur di dalamnya. Ada pula
sebagian pihak yang sudah hampir tidak mempedulikan lagi semua aturan-aturan
yang dimiliki oleh Pancasila. Namun, di lain pihak muncul orang-orang yang tidak
sepihak atau menolak akan adanya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Mungkin kita masih ingat dengan kasus kudeta Partai Komunis Indonesia
yang menginginkan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis. Juga
kasus kudeta DI/TII yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan mendirikan
sebuah negara Islam. Atau kasus yang masih hangat di telinga kita masalah
pemberontakan tentara GAM.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apakah Pancasila masih cocok menjadi ideologi yang dianut oleh bangsa
Indonesia yang terdapat beragam kepercayaan (agama).
a. Bagi Penulis
Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas terstruktur
dari mata kuliah Pancasila.
D. Pembatasan Masalah
A. OBJEK PENULISAN
Kami sebagai penyusun makalah ini, memilih objek Pancasila dengan Agama
karena kedua hal ini adalah dua komponen negara Indonesia yang masing-masing
mempunyai pengaruh yang sangat kuat bagi para penganutnya. Jika terjadi
ketidakserasian antara dua komponen ini, maka akan terjadi suatu yang sulit untuk
diselesaikan.
D. METODE ANALISIS
BAB III
KEBERADAAN PANCASILA
Namun dua ormas Islam terbesar saat itu dan masih bertahan sampai sekarang
yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta
tersebut, karena dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan syariat
Islam diterapkan secara tidak langsung namun pasti akan menjadikan Indonesia
sebagai negara Islam dan secara “fair” hal tersebut dapat memojokkan umat
beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah dapat memicu disintegrasi bangsa
terutama bagi provinsi yang mayoritas beragama nonislam. Karena itulah sampai
detik ini bunyi sila pertama adalah “ketuhanan yang maha esa” yang berarti bahwa
Pancasila mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Islam namun
termasuk juga Kristen, Katolik, Budha dan Hindu sebagai agama resmi negara pada
saat itu.
Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa kepada orang lain.
Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib
memeluk satu agama yang diyakini. Tidak ada pemaksaan dan saling toleransi antara
agama yang satu dengan agama yang lain.
BAB IV
BENTUK KOLABORASI PANCASILA DENGAN AGAMA
Semua pemeluk agama memang harus mawas diri. Yang harus disadari adalah
bahwa mereka hidup dalam sebuah masyarakat dengan keyakinan agama yang
beragam. Dengan demikian, semestinya tak ada satu kelompok pemeluk agama yang
mau menang sendiri.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam
suku bangsa, adat istiadat hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan.
Dengan kondisi sosiokultur yang begitu heterogen dibutuhkan sebuah ideologi yang
netral namun dapat mengayomi berbagai keragaman yang ada di Indonesia.
Karena itu dipilihlah Pancasila sebagai dasar negara. Namun saat ini yang
menjadi permasalahan adalah bunyi dan butir pada sila pertama. Sedangkan sejauh
ini tidak ada pihak manapun yang secara terang-terangan menentang bunyi dan butir
pada sila kedua hingga ke lima. Namun ada ormas-ormas yang terang-terangan
menolak isi dari Pancasila tersebut.
Akibat maraknya parpol dan ormas Islam yang tidak mengakui keberadaan
Pancasila dengan menjual nama Syariat islam dapat mengakibatkan disintegrasi
bangsa. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang cinta atas keutuhan NKRI maka
banyak dari mereka yang mengatasnamakan diri mereka Islam Pancasilais, atau Islam
Nasionalis.
Pikirkan jika suatu kebenaran, kesalahan maupun etika moral ditentukan oleh
sebuah definisi sebuah agama dalam hal ini agama Islam. Sedangkan ketika anda
terlibat didalamnya anda adalah seseorang yang memeluk agama diluar Islam!
Apakah yang anda pikirkan dan bagai mana perasaan di hati anda ketika sebuah
kebenaran dan moralitas pada hati nurani anda ditentukan oleh agama lain yang
bukan anda anut?
Sekarang di beberapa provinsi telah terjadi, dengan alasan moral dan budaya
maka diterapkanlah aturan tersebut. Sebagai contoh, kini di sebuah provinsi semua
wanita harus menggunakan jilbab. Mungkin bagi sebagian kecil orang yang tinggal di
Indonesia merupakan keindahan namun bagai mana dengan budaya yang selama ini
telah ada? Jangankan di tanah Papua, pakaian Kebaya pun artinya dilarang dipakai
olah putri daerah. Bukankah ini merupakan pengkhianatan terhadap kebinekaan
bangsa Indonesia yang begitu heterogen. Jika anda masih ragu, silakan lihat apa yang
terjadi di Saudi Arabia dengan aliran Salafy Wahabinya. Tidak ada pemilu, tidak ada
kesetaraan gender dan lihat betapa tersisihnya kaum wanita dan penganut agama
minoritas di sana. Jika memang anda cinta dengan Adat, Budaya dan Toleransi umat
beragama di Indonesia dukung dan jagalah kesucian Pancasila sebagai ideologi
pemersatu bangsa.
· KONTROVERSI PANCASILA
Sebagai dasar negara RI, Pancasila juga bukanlah perahan murni dari nilai-
nilai yang berkembang di masyarakat Indonesia. Karena ternyata, sila-sila dalam
Pancasila, sama persis dengan asas Zionisme dan Freemasonry. Seperti Monoteisme
(Ketuhanan YME), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang
adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial).
Tegasnya, Bung Karno, Yamin, dan Soepomo mengadopsi (baca: memaksakan) asas
Zionis dan Freemasonry untuk diterapkan di Indonesia.
Pancasila, sudah kian terbukti, cuma sekadar alat politisi busuk yang anti
Islam, namun mengatasnamakan ke-Bhinekaan. Padahal, bukan hanya Indonesia
yang masyarakatnya multietnis, multi kultural, dan multi agama. Di Amerika Serikat,
untuk mempertahankan ke-Bhinekaannya mereka tidak perlu Pancasila, begitu pun
negara jiran Malaysia. Nyatanya, mereka justru lebih maju dari Indonesia.
Anehnya, peristiwa bencana gempa bumi yang menewaskan lebih dari 6000
jiwa di Jogjakata, 27 Mei 2006, malah yang disalahkan Islam dan umat Islam.
Seorang paranormal mengatakan,”Bencana gempa di Jogjakarta, terjadi akibat
pendukung RUU APP yang kian anarkis.” Lalu, pembakaran kantor Bupati Tuban,
cap jempol atau silang darah di Jatim, yang dilakukan anggota PKB dan PDIP, dan
menyatroni aktivis FPI, Majelis Mujahidin, dan Hizbut Tahrir. Apakah bukan
tindakan anarkis? Jangan lupa, Bupati Bantul, Idham Samawi, yang daerahnya paling
banyak korban gempa bumi berasal dari PDIP.
Tidak itu saja. Upaya penyeragaman budaya, maupun moral atas nama
agama, juga dikritik pedas. “Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa
Indonesia harus dipertahankan. Masyarakat Indonesia beraneka ragam, sehingga
tindakan menyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan,” kata Megawati.
Penyeragaman yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Akbar
Tanjung,”Keberagaman itu tidak dirusak dengan memaksakan kehendak. Pihak yang
merongrong Bhineka, adalah kekuatan-kekuatan yang ingin menyeragamkan.”
Padahal, justru Bung Karno pula orang pertama yang mengkhianati Pancasila.
Dengan memaksakan kehendak, ia berusaha menyeragamkan ideologi, budaya, dan
seni. Ideologi NASAKOM (Nasionalisme, agama, dan komunis) dipaksakan berlaku
secara despotis. Demikian pula, seni yang boleh dipertunjukkan hanya seni gaya
Lekra. Sementara yang berjiwa keagamaan dinyatakan sebagai musuh revolusi.
Begitu pun Soeharto, berusaha menyeragamkan ideologi melalui asas tunggal
Pancasila. Hasilnya, kehancuran.
Hanya karena merasa berasal dari agama mayoritas tidak seharusnya kita
merendahkan umat yang berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara
langsung dan tidak langsung memaksakan aturan agama yang dianut atau standar
agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih moralitas.
Agama yang diakui di Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha
dan Hindu.
Sebuah kesalahan fatal bila menjadikan salah satu agama sebagai standar
tolak ukur benar salah dan moralitas bangsa. Karena akan terjadi chaos dan timbul
gesekan antar agama. kalaupun penggunaan dasar agama haruslah mengakomodir
standar dari Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu bukan berdasarkan salah satu
agama entah agama mayoritas ataupun minoritas.
BAB V
· KESIMPULAN
Pancasila adalah ideologi yang sangat baik untuk diterapkan di negara Indonesia
yang terdiri dari berbagai macam agama, suku, ras dan bahasa. Sehingga jika
ideologi Pancasila diganti oleh ideologi yang berlatar belakang agama, akan
terjadi ketidaknyamanan bagi rakyat yang memeluk agama di luar agama yang
dijadikan ideologi negara tersebut.
· IMPLIKASI
Untuk menjadi sebuah negara Pancasila yang nyaman bagi rakyatnya, diperlukan
adanya jaminan keamanan dan kesejahteraan setiap masyarakat yang ada di
dalamnya. Khususnya jaminan keamanan dalam melaksanakan kegiatan
beribadah.
· SARAN
Pancoran Tujuh.
Sumber Lain :
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/filsafat/index.htm
http:// www.google.co.id
http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/artikel_148.htm
http:// www.teoma.com
http:// www.kumpulblogger.com
Education Link
o Geology.com
o Harun Yahya
o Karangsambung
o Wikipedia Indonesia
Group Link
o Group Banjar
o Milis Geo Unsoed 2007
o Seneby WS
o Seneby Zone Blog
o Tim Olimpiade Kota Banjar
Organization Link
o Badan Geologi ESDM
o ESDM
o IAGI
o IKAPPI SMAN SABAN
o Indonesian Institute of Sciences
o IRM-MU SMAN SABAN
Other Link
o Earthquake Hazards Program
o Google Indonesia
o Login for G-Mail
o Login for Yahoo Mail
Personal Link
o Astrophisycs man from UPI
o Dongeng Geologi
o Geosonearth Zone
o My Friendster
o Pay’s Blog
o Wong Jawa Unsoed
School Link
o Geology ITB
o SMAN 1 Banjar
o UNSOED University
1.Latar Belakang
1.1.Mengapa jender menjadi perhatian dalam proyek WATCH?
1.2.Analisis Jender
1.3.Analisis Situasi Jender di Jayawijaya
1.4.Identifikasi masalah
2.Intervensi Proyek
2.1.Strategi pengembangan: dari WID ke GAD
2.2.Intervensi:
2.2.1.Pendampingan kelompok pengembangan masyarakat
2.2.2.Pengembangan modul
2.2.3.Pelatihan
2.2.4.Pelembagaan
2.3.Monitoring & Evaluasi
3.Hasil Kegiatan
4.Kesimpulan dan diskusi
5.Lampiran:
5.1.Laporan konsultasi dengan Program Studi Pembangunan UKSW Salatiga
5.2.Program LEISA
5.3.Staff’s experience in the field
BAB I
LATAR BELAKANG
1.1.Mengapa Jender Menjadi Perhatian dalam proyek WATCH?
Badan Kesehatan Sedunia (WHO) telah lama mengkampanyekan perubahan strategi
dari upaya pemeliharaan kesehatan (health services) ke kampanye untuk memerangi
kemiskinan, sebagai strategi untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat miskin
sedunia. Upaya kesehatan selektif dinilai tidak dapat meningkatkan status kesehatan
masyarakat secara utuh. (Price, 1994).
Upaya peningkatan kesehatan di Indonesia termasuk di kabupaten Jayawijaya
dilakukan melalui kegiatan puskesmasposyandu dengan perhatian penuh pada Upaya
Kesehatan Pratama (UKP) yang selektif. Upaya ini memang berhasil menurunkan angka
kematian, namun di sisi lain angka kekurangan gizi pada ibu dan anak terus meningkat.
Sebagai contoh di Puskesmas Tiom, UKP selektif yang diterapkan selama lebih dari satu
dekade (19751990) berhasil menurunkan angka kematian balita dari 250/1000 kelahiran
hidup menjadi 90/1000 kelahiran hidup. Namun bersamaan dengan keberhasilan tersebut
angka kekurangan gizi pada ibu dan anak meningkat dari sekitar 40% menjadi 80%
untuk
ibu dan 60% untuk anakanak (Handali, 1989). Hal itu terjadi karena UKP selektif tidak
menyentuh akar persoalan di masyarakat yang menyebabkan ibu dan anak kurus, kurang
gizi dan rentan terhadap penyakit. Lebih lanjut Handali menyatakan bahwa pendekatan
UKP selektif berhasil mempertahankan anakanak yang harusnya meninggal, namun
pada
saat yang bersamaan pendekatan ini tidak mampu menawarkan alternatif bagaimana
memberikan makan mulut mulut yang dipertahankan tersebut. Artinya untuk
meningkatkan derajad kesehatan masyarakat tidaklah cukup hanya berbicara tentang
masalah kesehatan saja. Hal ini didukung oleh beberapa hasil studi yang menemukan
bahwa besarnya prosentase angka kesakitan di negaranegara berkembang dipengaruhi
oleh kondisi sosialekonomi. Faktor faktor yang mempengaruhi kesakitan seseorang
tersebut adalah (Zaidi, 1988) :
D = f ( W, S, H, E, N, S x , Hf )
D = disease of an individual or family
W = water
S = sanitation
H = housing
E = education
N = nutrition
Sx = sex difference
Hf = access to health facilities
Melihat hal hal di atas jelas bahwa status kesehatan sangat dipengaruhi oleh
banyak hal. Untuk itu proyek berusaha untuk menerapkan pendekatan yang lebih
komprehensif, dimana dalam upayaupaya kesehatan dicoba mengintegrasikan upaya
upaya pemberantasan kemiskinankesehatan dan jender.
Sex difference (sebagai salah satu implikasi dari jender) menjadi salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap status kesehatan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian pada
orangorang Wopkaimin di daerah pegunungan di perbatasan antara PNG dan Irian Jaya
(Hyndman, 1989) yang menyatakan bahwa gender patterns menyebabkan kekurangan
gizi yang sestematik di antara kaum prempuan dewasa sebab perempuan memakan lebih
sedikit, lebih jarang dan kualitas makanan yang lebih rendah dibanding dengan laki laki.
Penemuan ini juga didukung oleh hasil penelitian serupa pada Suku Dani di Kabupaten
Women and Their Children Health Project di Jayawijaya, cooperation program between
Government of
Indonesia C/q Health Departement – Government of Australia c/q AusAid – World
Vision Australia in
partnership with World Vision International Indonesia.
Jayawijaya bahwa sex difference telah menyebabkan terjadinya perbedaan dalam akses
terhadap kuantitas dan kualitas makanan (Lavelink, 1991).
Pembedaan jender berdampak terhadap pembedaan dalam distribusi kekuasaan
antara laki laki dan perempuan, hal ini selanjutnya berkaitan dengan distribusi
kekuasaan
dalam akses dan kontrol terhadap pendapatan. Hampir di banyak negara dan di berbagai
strata sosial, perempuan mengontrol lebih sedikit aset produktif dibanding dengan laki
laki, meskipun perempuan sebenarnya menghasilkan 40 hingga 100% kebutuhan dasar
keluarga. Kurangnya kontrol perempuan terhadap sumber daya sangat berpengaruh
terhadap kondisi kesehatan dan gizi keluarga terutama perempuan dan anaknya
(Jacobson, 1989). Di samping itu dalam mengatasi kondisi kritis, karena posisinya
perempuan mengatasinya dengan cara menempatkan kepentingannya pada urutan yang
terakhir. Bila dalam suatu komunitas masyarakat terjadi kelangkaan sumber daya, berarti
akan semakin banyak perempuan yang harus mengorbankan kesehatannya (Jacobson,
1989).
Kenyataankenyataan di atas memberi petunjuk bahwa kita perlu merubah
orientasi pendekatan kesehatan dari UKP selektif ke upaya upaya yang lebih
komprehensif dengan memperhatikan berbagai akar persoalan yang menyebabkan
rendahnya status kesehatan. Model pelayanan kesehatan yang komprehensif bekerja dari
akar masalah yang menyebabkan rendahnya status kesehatan. Dan model pelayanan
tersebut akan berhasil bila menggunakan pendekatan yang tidak hanya mengandalkan
pada penyediaan teknologi dan pelayanan tetapi juga mengupayakan proses pendidikan
dan penyadaran terhadap masyarakat agar dapat memiliki dan menggunakan demand
untuk mengakses pelayanan kesehatan (Handali, 1994).
Diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi dan pembagian kerja yang kurang
adil menjadi salah satu akar persoalan masalah kesehatan. Oleh karena itu upaya
peningkatan kapasitas perempuan harus menjadi salah satu bagian dalam upaya
pengembangan termasuk pengembangan dalam bidang kesehatan. Memperhatikan status
perempuan dalam proses pengembangan menjadi hal yang amat penting. Hal ini
didukung oleh rekomendasi dari UNDP dalam Regional Development Planning for Irian
Jaya: Antropology Sector Report pada tahun 1987 yang menyatakan: Peran perempuan
perlu menjadi perhatian khusus dalam proses pembangunan. Program pembangunan akan
berhasil bila berhasil meningkatkan posisi perempuan dalam masyarakat.
Tujuan utama dari proyek WATCH adalah untuk menemukan model pelayanan
kesehatan ibu dan anak yang tepat untuk daerah pegunungan. Dengan memperhatikan
kenyataankenyataan di atas maka proyek mencoba untuk memberikan perhatian pada
pemecahan issu jender dalam programprogram pengembangan yang akan dilakukannya.
1.2.Analisis Jender
Catatan: Sabagai dasar untuk memahami konsep dan analisis tentang jender maka
diadakan beberapa
telaah pustaka yang bisa diakses pada waktu itu. Konsepkonsep itulah yang akhirnya
mendasari kegiatan
analisis dan studi awal tentang situasi relasi jender di Jayawijaya dan penentuan
program pengembangan
yang akan dilakukan selanjutnya. Konsepkonsep atau pemahaman tentang situasi
jender tersebut dalam
perjalanan proyek direview melalui berbagai proses konsultasi dengan berbagai nara
sumber dan buku
buku atau referensi yang ada.
Apa itu Jender?
Jender adalah sekumpulan nilai atau ketentuan yang membedakan identitas sosial
laki laki dan perempuan, serta apa yang harus dilakukan oleh perempuan dan apa yang
harus dilaukan oleh laki laki dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya baik dalam
kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa ( Brett, 1991). Jender adalah suatu ciri yang
melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial
maupun
kultural (Faqih, 1996). Nilai nilai atau ketentuan jender di atas bisa berbedabeda pada
kelas atau kelompok sosial yang berbeda, misalnya ketentuan jender pada kelompok
etnis
tertentu akan berbeda dengan kelompok etnis yang lainnya, ketentuan jender pada
kelompok kaya bisa berbeda dengan ketentuan jender pada kelompok miskin dan
lainnya.
Selain berbeda menurut kelompok kelas dan etnis, ketentuan jender juga bisa berubah
ubah dari waktu ke waktu, tergantung pada perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat, dengan demikian jender bersifat relatif. Berbeda dengan pengertian jenis
kelamin (sex), yang adalah merupakan kategori biologis perempuan atau lakilaki, dan ini
menyangkut sejumlah kromosom, pola genetik dan struktur genital yang unik masing
masing jenis. Jenis kelamin merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir, sering dikatakan
sebagai ketentuan dari Tuhan atau kodrat, sehingga hal ini tidak bisa dirubah atau
dipertukarkan satu dengan yang lainnya (Ihromi, 1997).
Sejarah pembedaan jender antara laki laki dan perempuan terbentuk melalui
proses yang panjang, melalui proses sosialisasi, diperkuat dan dilembagakan baik secara
sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan dan bahkan melalui peraturanperaturan
negara. Sehingga sering dianggap bahwa ketentuan jender tersebut merupakan ketentuan
yang tidak dapat dirubah karena dianggap sebagai ketentuan yang sudah sewajarnya.
Implikasi Jender
Pembedaan secara jender sebenarnya tidak menjadi masalah selama tidak
menimbulkan persoalanpersoalan. Namun yang menjadi masalah ternyata pembedaan
jender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki laki dan (terutama)
bagi kaum perempuan. Bentuk ketidakadilan dan penindasan tersebut antara lain berupa
subordinasi, diskriminasi, marjinalisasi, kekerasan, pelebelan negatif serta beban kerja
yang berat sebelah (Faqih, 1996). Manifestasi dari ketidakadilan jender tersebut
membawa akibat terhadap timbulnya berbagai masalah dalam kehidupan, seperti:
kemiskinan, status kesehatan & gizi, angka kematian ibu dan anak yang tinggi (Jacobson,
1997).
Pesrsoalan jender adalah persoalan hubungan laki laki dan perempuan, suatu
hubungan dimana dalam banyak kasus perempuan secara sistematis disubordinasikan.
Jender menjadi persoalan ketika nilai nilai yang terkandung dalam ketentuan jender
tersebut menghambat seseorang untuk mempunyai akses dan kontrol terhadap sumber
daya dan hasil hasilnya. Dominasi ekonomi laki laki yang merupakan terjemahan dari
‘kekuasaan laki laki’, telah menggiring perempuan ke dalam kedudukannya sebagai
orang kedua yang kurang begitu penting dibandingkan dengan laki laki. Dalam sebagian
besar masyarakat anggapan lakilaki sebagai pencari nafkah utama atau lakilaki sebagai
pekerja produktif sangat dominan meskipun kenyataannya tidak demikian. Laki laki
senantiasa beranggapan bahwa dalam keluarga mereka memegang peran sebagai
penghasil pendapatan utama dan penentu segala keputusan. Hal ini tetap berlangsung
meskipun dalam keadaan dimana pengangguran laki laki tinggi dan kerja produktif
perempuan sesungguhnya memberikan penghasilan utama. Subordinasi terhadap
perempuan sering menempatkan perempuan pada situasi yang tidak menguntungkan,
seperti perempuan tidak mempunyai posisi untuk mengambil keputusan.
Pembagian tugas secara seksual juga merupakan salah satu implikasi ketentuan
jender dalam masyarakat. Ada pekerjaanpekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan
perempuan dan ada pekerjaanpekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan laki laki.
Perempuan sering dikaitkan dengan pekerjaanpekerjaan di dalam rumah tangga
(domestik), sedangkan laki laki lebih banyak dikaitkan dengan pekerjaanpekerjaan di
luar rumah (publik). Berdasarkan pembagian ruang yang berbeda dimana dunia laki laki
bersifat publik sedangkan dunia perempuan bersifat pribadi, maka dalam menjalankan
aktifitas kemasyarakatanpun berbeda. Lakilaki memiliki peran memimpin dan
menentukan kebijakankebijakan sedangkan peran perempuan dalam komunitas lebih
banyak merupakan perluasan dari kehidupan domestik mereka. Perempuan menjadi
tergantung dan ruang geraknya terbatas.
Ketentuan jender juga berkaitan dengan peran rangkap tiga perempuan (triple
role). Dalam kebanyakan rumah tangga berpenghasilan rendah, pekerjaan perempuan
tidak hanya terdiri dari kegiatan yang bersifat reproduksi, tetapi juga kegiatan produktif
yang sering menjadi sumber penghasilan. Kerja perempuan di daerah pedesaan biasanya
dalam bentuk kerja pertanian, sementara di kotakota sering bekerja dalam sektor
informal (buruh). Selain itu perempuan juga terlibat dalam pengelolaan kegiatan
komunitas atau kegiatan yang berlangsung di daerah pemukiman setempat. Di samping
itu juga dalam proses perencanaan pembangunan, peran rangkap tiga perempuan kurang
diperhatikan. Perempuan pedesaan menghasilkan 6080% produk pertanian tetapi bila
ada pelatihanpelatihan pertanian, laki lakilah yang dilibatkan dalam pelatihan tersebut.
Sebenarnya memang banyak pelatihan yang ditujukan untuk kum perempuan, tetapi
pelatihanpelatihan tersebut lebih banyak untuk menunjang peran domestik perempuan
(proses domestikasi) dan kadang malah semakin melembagakan idiologi jender.
Selain itu dalam proses pembangunan, perempuan sering dirugikan, sebagai
contoh dalam program pemantapan IMF (Dana Moneter Internasional) dan program
penyesuaian struktural World Bank yang katanya gender neutral ternyata merugikan
perempuan (dengan program penghapusan subsidi bagi sektor konsumtif seperti
kesehatan, pendidikan dan harga bahan pangan yang diatur oleh pasar) malah membuat
perempuan harus bekerja lebih keras, kehilangan waktu untuk diri dan anakanaknya
serta mengakibatkan kondisi kesehatan yang semakin menurun (Moser, 1989)
Ketentuanketentuan di atas secara turuntemurun diwariskan dan dihayati serta
menyatu dalam struktur kemasyarakatan. Keadaan tersebut semakin diperkuat karena
dalam perkembangan selanjutnya peran dan kedudukan laki laki dan perempuan tersebut
dilembagakan melalui proses sosialisasi baik melalui pendidikan formal, informal
maupun non formal.
Kerangka Analisis Jender
Untuk mempelajari situasi jender dalam suatu masyarakat dan merumuskan
programprogram pengembangan yang memperhatikan isuisu jender perlu diadakan
analisis jender. Analisis jender ini membantu kita untuk mensistematisasikan
pengalaman
hubungan/relasi laki laki dan perempuan dalam suatu masyarakat dan implikasinya bagi
kehidupan laki laki dan perempuan serta kehidupan masyarakat pada umumnya. Salah
satu model alat analisis yang biasa digunakan adalah Harvard Model.
Kerangka analisis ini dikembangkan oleh Harvard Institute of International
Development. Unsur unsur yang dianalisis dalam model atau kerangka analisis ini
meliputi: analisis profil peran laki laki dan perempuan, profil akses & kontrol terhadap
sumber daya, analisis faktor penyebab terjadinya situasi jender yang ada, analisis dampak
situasi jender dan analisis program pengembangan yang berwawasan jender.
Profil peran laki laki dan perempuan digunakan untuk melihat: siapa yang melakukan
peran produktif, reproduktif dan kemasyarakatan; kapan dan dimana kegiatan dilakukan,
alokasi waktu yang diperlukan untuk masing masing kegiatan dan pendapatan yang
dihasilkan melalui keiatan tersebut. Analisis pembagian kerja laki laki dan perempuan
diperlukan untuk mengidentifikasikan: (1). Kegiatan apa saja yang memiliki potensi
untuk dikaitkan dengan program pengembangan yang akan dilakukan. (2). Kapasitas
waktu yang dimiliki laki laki dan perempuan untuk dilibatkan dalam kegiatan
pengembangan. (3). Ketidakseimbangan beban kerja lakilaki dan perempuan. (4).
Ketidakseimbangan hak laki laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan.
Analisis
profil perempuan dan lakilaki dalam kegiatan sosial/kemasyarakatan digunakan untuk
melihat: hirarki wewenang yang ada di suatu desa/kelompok masyarakat,
ketidakseimbangan peran dalam lembagalembaga yang ada, alasan keterbatasan peran
salam satu pihak dalam lembagalembaga tersebut dan di lembaga mana peran
perempuan perlu diperkuat/ditingkatkan.
Analisis profil akses dan kontrol terhadap sumber daya yang ada dapat digunakan
untuk melihat siapa yang memiliki peluang dan penguasaan terhadap: (1). Sumber daya
fisik seperti: tanah, hutan, modal, peralatan, rumah dan lain lain, (2). Sumber daya non
fisik seperti: pendidikan, latihan, informasi, jasajasa pelayanan dan lain lain. Analisis
akses dan kontrol terhadap sumber daya membantu kita dalam mengidentifikasi:
ketidakseimbangan peluang dan penguasaan sumber daya yang ada, akses dan kontrol
pihak mana yang perlu ditingkatkan melalui kegiatan pengembangan dan potensi yang
dapat digunakan untuk meningkatkan akses dan kontrol bagi pihak yang masih perlu
ditingkatkan.
Analisis faktorfaktor penyebab (yang mempengaruhi) terbentuknya situasi jender
berguna untuk mengidentifikasi faktor faktor pengaruh/penyebab yang dapat
dipengaruhi secara langsung melalui kegiatan proyek dan berguna untuk menyusun
asumsi yang akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan proyek.
Analisis pengaruh situasi jender terhadap berbagai masalah yang timbul dalam
masyarakat berguna untuk mengidentifikasi sejauhmana situasi jender tersebut membawa
pengaruh terhadap masalah yang timbul dalam masyarakat dan akan berguna untuk
menyusun strategi kegiatan pengembangan yang akan dilakukan.
Ada referensi yang menyatakan bahwa model Harvard tidak menyediakan
framework yang analitik untuk melihat dimensi politik dan ideologi dari pengembangan
perempuan. Model tersebut lebih terbatas pada analisis inputoutput ekonomi yang
sederhana: The model has no theoretical capacity for analysing women’s development at
the level of inequality, discrimination and oppresion (Clarke, 1991). Untuk itu dalam
analisis program dan evaluasi akan dilengkapi dengan analisis WEEF (Women Equality
and Empowerment Framework ). Kerangka dasar model analisis WEEF adalah sebagai
berikut:
Level of Women’s Equality and Empowerment
Project
Objective
Welfare
Access
Conscientisation Participation
Control
Objective 1
Objective 2
Etc.
Level level pemberdayaan tersebut bersifat dynamic dan synergistic relationship
(Longwe, 1991). Welfare berkaitan dengan kesejahteraan material dari perempuan,
seperti distribusi makanan, status gizi dan income. Dalam hal ini Gender gap akan
tercermin antara lain dalam perbedaan kondisi status gizi dan keseha tan antara
perempuan dan lakilaki. Proyekproyek yang mengutamakan pencapaian welfare
menjadikan perempuan sebagai penerima manfaat yang pasif atau kurang melibatkan
perempuan dalam programprogramnya.
Akses: gender gap dalam level ini akan tercermin dari perbedaan akses antara
laki laki dan perempuan terhadap sumbersumber daya yang ada. Kurangnya akses
perempuan terhadap sumbersumber yang ada akan berpengaruh terhadap kesejahteraan
perempuan dan anakanaknya.
Level pemberdayaan berikutnya adalah kesadaran kritis. Hal ini berkaitan dengan
kesadaran bahwa gender adalah sosial construct yang telah menimbulkan berbagai
pembedaan dan ketidakadilan. Karena konstruksi sosial hal ini bisa dirunah bila dirasa
merugikan. Kesadaran tentang hal ini akan mengarahkan pada upaya upaya
pemberdayaan perempuan selanjutnya.
Level pemberdayaan selanjutnya adalah partisipasi. Haal ini berkaitan dengan
kenyataan bahwa dalam banyak kasus perempuan kurang mempunyai kesempatan untuk
berpartisipasi dalam kegiatankegiatan pemb angunan maupun dalam lembaga lembaga
penentu kebijakan. Upayaupaya jender diharapkan dapat mengantar perempuan untuk
dapat berpartisipasi dalam setiap kegiatan.
Kontrol merupakan level pemberdayaan tertinggi. Level ini bisa dicapai bila
keempat level di bawahnya telah tersentuh, karena tiaptiap level saling mendukung dan
memfasilitasi pada pencapaian level berikutnya. Kontrol adalah manifestasi dari
keseimbangan ralasi kekuasaan laki laki dan perempuan (Longwe, at al, 1991).
Kegiatan
praktis dan strategis jender diharapkan dapat memfasilitasi perempuan memiliki fungsi
‘kontrol’. Kontrol dapat dicerminkan dari hakhak perempuan untuk dapat mengambil
keputusan sendiri.
1.3. Identifikasi persoalan jender di Jayawijaya
Jender yang adalah konstruksi sosial telah menyebabkan timbulnya ketidakadilan
seperti diskriminasi, subordinasi, peminggiran dan pembagian peran jender yang
cenderung berat sebelah. Berdasarkan analisis jender dengan alat analisis di atas dapat
digambarkan persoalanpersoalan jender di Jayawijaya sebagai berikut:
1. Pembagian peran jender
Pada saat ini ditemukan bahwa pada masyarakat di wilayah ini terdapat pembagian
peran jender yang kurang seimbang. Dari berbagai sumber diketahui bahwa pada
jaman dulu (sebelum ada kontak dengan dunia luar) pembagian peran jender di
masyarakat relatif seimbang, walaupun hal yang berkaitan dengan hak dan kontrol,
perempuan berada pada posisi kedua dan hal ini juga terjadi di mana saja di dunia ini.
Perubahanperubahan dalam hal agama, politik, ekonomi dan teknologi di daerah
tersebut membawa perubahan terhadap peranperan laki laki dan perempuan terutama
berkaitan dengan pekerjaanpekerjaan. Perubahanperubahan tersebut di satu sisi
meningkatkan beban pekerjaan perempuan namun di sisi yang lain mengurangi peran
peran laki laki. Beban kerja perempuan bertambah karena dia harus bertanggung
jawab terhadap peranperan tradisionalnya (seperti mengurus kebun, makanan, ternak,
pemeliharaan keluarga) dan di tambah dengan peranperan baru akibat perubahan
tersebut seperti mencari uang untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang ditawarkan
oleh ekonomi pasar, mengikuti kegiatan posyandu, kegiatan PKK dan lain lainnya.
Belum lagi tenaga kerja juga berkurang kalau dulu ibu ibu dibantu oleh anak
anaknya, sekarang tidak karena anaknya pergi ke sekolah. Sementara itu laki laki
dikataakan kehilangan sebagian besar peran pentingnya seperti mengurus benda
benda adat, ‘politik’ dan beberpa pekerjaannya dibantu dipermudah dengan hadirnya
teknologi dari besi. Susanto (1989) menyatakan bahwa laki laki berada pada tahap
mempertanyakan keberadaan dirinya (mau melakukan apa karena pada saat
perubahan tersebut banyak hal yang dilarang/tidak boleh dilakukan). Dapat dikatakan
bahwa perempuan berbeban berat, sementara laki laki kehilangan beberapa peran
pentingnya. Dan pada saat yang bersamaan juga, ada nilai adat/budaya yang tidak
memungkin terjadinya sharing pekerjaan/peranan yang selama ini telah terlanjur
dianggap sebagai tanggung jawab perempuan.
2. Pola pengambilan keputusan
Pola pengambilan keputusan dapat digambarkan dalam tabel berikut:
Keputusan
Lak
ilaki
Perempuan
BIDANG EKONOMI (produktif):
Menentukan kebun yang mau dibuka
xx
Mengundang orang kerja
xx
x
Membeli alat-alat kerja
xx
x
Mencari bibit tanaman (ubi)
xx
Mencari tanaman cash crop
xx
x
Menanam
x
xx
Memelihara tanaman
x
xx
Panen tanaman pokok (ubi)
x
xx
Panen tanaman cash crop
xx
x
Pasca panen
xx
x
Menjual
xx
x
Menggunakan uang
xx
x
Memelihara ternak
xx
x
Menjual ternak
xx
x
Menyumbangkan ternak
xx
x
Membeli ternak
xx
x
Membeli alat dapur
x
xx
Membeli pakaian
xx
x
Membeli makanan
x
x
Membayar untuk berobat
xx
x
Membayar mas kawin
xx
x
Menyumbang gereja
xx
x
Membayar sekolah
xx
x
PEMELIHARAAN KELUARGA (Reproduktif):
Merawat kehamilan
xx
x
Meminta pertolongan pada saat kelahiran
xx
x
Merawat anak
x
xx
Membwa anak berobat
xx
x
Menyekolahkan anak
xx
x
Perkawinan anak
xx
x
Membantu keluarga
xx
x
Perawatan keluarga sakit
x
xx
KEMASYARAKATAN:
Mengikuti kegiatan di luar rumah
xx
x
Membina relasi dengan saudara
xx
x
Menyelenggarakan pesta (acara-acara adat, gereja)
xx
x
Kelompok tani
xx
x
Pelatihan
xx
x
Gotong royong
xx
x
Urus masalah
xx
x
Berhubungan dengan pemerintah atau lembaga-lembaga yang ada
xx
x
Catatan:
lakilaki dan perempuan dalam hal ini tidak terbatas pada suami dan istri tetapi juga
kaum kerabat
yang lain misalnya om, orang tua, dll.
XX= dominan X=hanya pengikut
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa dalam pola pengambilan keputusan, hampir
semua
keputusan penting didominasi oleh laki laki. Pola pengambilan keputusan ini
mempengaruhi akses dan kontrol terhadap sumbersumber daya yang ada. Dari pola
tersebut dapat diketahui bahwa akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya
masih
cukup rendah. Akses dan kontrol perempuan dibatasi pada halhal yang berkaitan dengan
pangan dan pemeliharaan. Hal ini sesuai dengan peran jender yang telah ditetapkan oleh
masyarakat dimana perempuan diberikan ruang pada hal hal yang bersifat domestik
sedangkan laki laki pada sektor publik.
3. Persoalanpersoalan di atas berdampak pada timbulnya berbagai persoalan lain dalam
masyarakat seperti status kesehatan & gizi ibu dan anak yang buruk, tingkat pendapatan,
akses perempuan terhadap pendidikan dan berbagai konflik yang terjadi dalam
masyarakat.
BAB II
INTERVENSI PROYEK
1. Strategi Pengembangan: dari WID ke GAD
Dalam Project Implementation Document (PID) yang pertama, dicanangkan bahwa
program pengembangan perempuan yang akan diterapkan adalah Women in
Development, dimana yang akan menjadi fokus perhatian dalam pendekatan
pengembangan ini adalah perempuan. Hal ini dilandasi oleh pemahaman dasar bahwa
peranan perempuan belum dipertimbangkan dalam proses pembangunan, perempuan
memiliki akses yang kurang terhadap sumber daya, masalah dan kebutuhan perempuan
adalah masalah yang khusus dan perempuan adalah kelompok yang sangat memerlukan.
Penerapan pendekatan ini juga dilandasi oleh rekomendasirekomendasi hasil penelitian
sebelumnya seperti rekomendasi dari UNDP dalam Regional Development Planning for
Irian Jaya: Antropology Sector Report pada tahun 1987 yang menyatakan:
Peran perempuan perlu menjadi perhatian khusus dalam proses pembangunan
karena ada dua alasan:
1. Posisi perempuan dalam masyarakat menjadi perhatian dunia luas dan hal ini
masih terabaikan dalam pembangunan di Irian Jaya. Perempuan adalah
‘pembina rumah tangga’ dengan tanggung jawab utama memelihara anak. Ini
adalah tugas yang amat penting.
2. Perempuan mewakili 50% kekuatan kerja yang potensial dan memiliki
kapasitas yang besar untuk berkontribusi dalam upayaupaya pemecahan issu
pembangunan pada level yang lebih tinggi.
Selanjutnya ditegaskan bahwa program pembangunan akan berhasil bila berhasil
meningkatkan posisi perempuan dalam masyarakat.
Hal tersebut juga didukung oleh rekomendasi serupa (Davidson, 1990) dalam
tulisannya yang berjudul Manusia Irian, menyatakan bahwa bila perhatian terhadap kaum
perempuan dimasukkan dalam pendekatan pengembangan masyarakat maka hasil
kegiatan akan membawa dampak terhadap meningkatnya status kesehatan dan gizi Ibu &
anak di Lembah Balim.
Setelah diadakan kajian tentang relasi jender, review konsultan
dan hasil konsultasi dengan beberapa lembaga seperti konsultasi dengan Program Study
Pengembangan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
3 OXFAM
4 dan kajian dari beberapa literatur yang tersedia maka dapat diperoleh pemahaman
bahwa persoalan
perempuan di Jayawijaya bukan sematamata merupakan persoalan perempuan
(persoalan perempuan secara terisolasi) tetapi lebih merupakan persoalan berkaitan
dengan relasi perempuan dan laki laki. Sehingga pendekatan pengembangan yang hanya
berfokus pada pengembangan perempuan akan kurang menunjang upaya upaya
peningkatan status kesehatan perempuan dan anakanaknya (status kesehatan
masyarakat), karena status kesehatan & gizi perempuan dan anak ada kaitannya dengan
persoalan relasi antara perempuan dan laki laki. Berkaitan dengan hal tersebut
dipandang
perlu untuk melakukan suatu perubahan strategi pengembangan yang lebih mengarah
pada upaya pendekatan kepada kedua belah pihak dan pendekatan pengembangan yang
tidak hanya berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan status ekonomi
tetapi lebih pada proses pemberdayaan dan penguatan (empowering). Perlunya
perubahan
strategi ini didukung oleh beberapa pendapat seperti (Clarke and Assosiates for UNICEF
staff training) yang menyatakan: Women in development is not and should not be
concerned with equality or even with equity issues. Pendekatan WID lebih dekat dengan
tipe pengembangan proyek yang memiliki tujuan untuk peningkatan kesejahteraan dan
Review proyek tahap 1 oleh Micael Deebly (1994)
Konsultasi dilakukan dengan Arief Budiman, George Adit jondro dan Ariel Heryanto,
1994 (lihat lampiran
hasil konsultasi)
Economoic selfreliance. Pendekatan ini lebih memiliki perhatian terhadap persoalan
persoalan perempuan seperti: kemiskinan perempuan, persoalan perempuan yang khusus,
status sosial ekonomi yang rendah karena perempuan kurang memiliki ketrampilan dan
akses terhadap teknologi, serta pekerjaan perempuan di sektor produktif kurang
mendapat
penghargaan. Programprogram yang dilakukan untuk mengatasi persoalanpersoalan
tersebut anatara lain program pelayanan kesehatan, gizi, pemeliharaan anak, peningkatan
ketrampilan perempuan, mendukung usahausaha perempuan dan lain lain. Kedua
pendekatan ini akan melahirkan proyek atau programprogram khusus untuk perempuan.
Bedanya dalam pendekatan proyek yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan
(welfare) perempuan sebagai penerima manfaat yang pasif, sedangkan dalam Economic
selfreliance perempuan sebagai penerima manfaat telah dilibatkan dalam kegiatan
kegiatan proyek untuk mengatasi persoalan mereka sendiri.
Mengingat kenyataan bahwa pengembangan perempuan tidak terlepas dari
perubahan individu laki laki (hasil konsultasi dengan Arief Budiman) dan kegiatan
kegiatan yang berfokus pada perempuan tak jarang malah menambah beban perempuan
dan terkadang malah memperkuat proses domestikasi ( Lokobal, 1993; Faqih, 1996
), maka diperlukan pendekatan pengembangan yang memperhatikan isu isu jender,
pendekatan pengembangan yang memperhatikan hubungan sosial antara laki laki dan
perempuan. Hal ini diperkuat oleh beberapa pendapat lain seperti (Lokobal, 1993) yang
menyatakan bahwa pada saat ini banyak lembaga baik dari peme rintah maupun non
pemerintah yang memandang bahwa perempuan Jayawijaya lemah sehingga berbagai
program pengembangan ditujukan pada kaum perempuan secara bertubitubi, hal ini
Konsultasi dilakukan dengan Galuh Wandita dari OXFAM pada tahun 1993.
dirasa kurang membantu karena selain malah menambah beban perempuan, juga laki
laki
akan merasa disingkirkan. Pendapat ini menjadi cukup critical untuk diperhatikan
mengingat apa yang ditemukan oleh seorang sosiolog bahwa salah satu akibat dari
perubahan jaman saat ini laki laki Dani berada pada kondisi mempertanyakan
keberadaan
dirinya (…’apa yang bisa kami lakukan saat ini kalau semua dilarang?) karena
perubahanperubahan tersebut laki laki kehilangan beberapa peran pentingnya (Susanto,
1989).
Pendekatan jender dan pembangunan (Gender and Development) adalah
pendekatan yang lebih me mperhatikan persoalan jender daripada persoalan perempuan
secara terisolasi. Pendekatan pengembangan yang sadar jender memperhatikan
bagaimana hubungan sosial lakilaki dan perempuan terbentuk, yaitu bagaimana laki
laki
dan perempuan memainkan peran yang berbeda, bagaimana perbedaan jender ini
terbentuk oleh faktor faktor sejarah, etnis, kebudayaan, politik dan sosial ekonomi. Dan
sejauh mana kondisi peran jender berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.
Dalam pendekatan jender dan pembangunan dibedakan antara kebutuhan
perempuan dan kebutuhan jender (dari perempuan atau juga dari lakilaki). Kebutuhan
perempuan adalah kebutuhan berdasarkan kepentingan biologis, sedangkan kebutuhan
jender adalah sesuatu hal yang memungkinkan perempuan (atau lakilaki) dapat
berkembang berdasarkan posisi sosial dalam masyarakat. Kebutuhan jender dapat
bersifat
praktis dan strategis (Moser,1991). Kebutuhan praktis jender adalah kebutuhan yang
diidentifikasikan berdasarkan kondisi konkrit pengalaman perempuan (atau laki laki),
merupakan kebutuhan untuk meningkatkan pekerjaanpekerjaan yang dilakukan sehari
hari agar lebih efesien dan berdaya guna, misalnya ketrampilan bercocok tanam, kayu
bakar dan air bersih yang mudah dijangkau dan lain lain. Kebutuhan strategis jender
adalah kebutuhan yang dirumuskan dari analisa subordinasi perempuan terhadap laki
laki. Dari analisa ini diidentifikasikan kepentingan strategis jender untuk mencapai suatu
alternatif kelembagaan yang lebih setara. Kebutuhan strategis jender yang diperlukan
untuk mengatasi subordinasi sangat beragam tergantung pada konteks budaya masing
masing. Yang termasuk dalam kebutuhan strategis jender antara lain: upaya
menghilangkan segala bentuk diskriminasi, peningkatan hakhak perempuan,
pengurangan pembagian tugas secara seksual, dll.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam pendekatan jender dan
pembangunan selain dilakukan upayaupaya untuk peningkatan kesejahteraan (welfare),
juga dilakukan upayaupaya yang bersifat pemberdayaan (empowerment). Selanjutnya
diperkuat oleh hasil konsultasi dengan G. Aditjondro bahwa proses pemberdayaan ini
sangat penting karena ketertindasan perempuan tidak terlepas dari konteks ketertindasan
laki laki oleh kekuatankekuatan luar. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberdayaan
perempuan Jayawijaya tidak bisa terlepas dengan pemberdayaan masyarakat secara
keseluruhan, termasuk di dalamnya adalah kaum laki laki.
Dalam pendekatan ini dituju keseimbangan fungsi dan peranan laki laki dan
perempuan sesuai dengan tuntutan jaman dewasa ini ya ng mau tidak mau memang akan
berubah. Pendekatan yang memperhatikan relasi kedua belah pihak memperhatikan
keseimbangan perhatian antara laki laki dan perempuan. Dalam kegiatankegiatan ada
waktu dimana kita perlu memberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat duduk
bersama, berdialog, saling mendengarkan dan didengarkan, bermusyawarah untuk
merencanakan kegiatan tanpa didesak oleh waktu dan keinginan untuk menikmati hasil
secepat mungkin.
Secara ringkas strategi pengembangan yang dilakukan oleh proyek dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka program Gender and Development WATCH:
Kerangka tersebut dikembangkan dengan adaptasi dari HARVARD MODEL dan MOSER
MODEL.
HEALTH &
NUTRITION STATUS
ON WOMEN AND THEIR
CHILDREN
IDENTIFICATION OF
GENDER ISSUES
Perempuan berbeban
berat
Perempuan tersubordinat
Lakilaki kehilangan
peran
PRACTICAL NEEDS:
Pemenuhan kebutuhan
praktis melalui kelompok:
LEISA
Appropriate
technology
Income generating
Posyandu
Pos obat desa
Nutrition
Water supplay
Bridges, etc.
STRATEGIC NEEDS:
Awareness program
on gender issues for
group, community
HAK-HAK ANAK:
ANTARA REALITA DAN HARAPAN
Apa yang bisa di dapatkan anak kalau belum apa-apa hak hidupnya
sudah dirampas oleh ibunya sendiri ? Aborsi sebagai jalan untuk
menghilangkan kehamilan semakin hari semakin cenderung
meningkat. Sekarang bukan suatu hal yang asing lagi apabila kita
mendengar banyak remaja putri melakukan aborsi karena hamil di
luar nikah. Atau banyak ibu-ibu yang menggugurkan kandungannya
karena kehamilannya itu tidak
Anak yang sudah dilahirkan juga tidak mendapatkan gizi yang cukup
buat mempertahankan hidupnya yang layak. Kasus-kasus bayi busung
lapar dan ancaman "lost generation" berupa anak-anak yang bakal
terbelakang kecerdasannya akibat gizi yang buruk muncul lagi saat
krisis ekonomi melanda Indonesia. Laporan Kompas (13/11/1999)
menyebutkan bahwa di Jakarta, menurut Kepala Sub Bagian Bina
Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta, terdapat
sebanyak 3000 anak usia balita yang bergizi buruk, 33.000 anak
menderita gizi kurang dan 58 anak menderita busung lapar atau
honger oedeem (HO). Sementara di seluruh Indonesia, menurut data
Susenas 1998, sekitar 33,3 % balita terancam tumbuh kembangnya
karena menderita gizi buruk. Bahkan diperkirakan akibat krisis
ekonomi yang berkepanjangan, prevalensi balita yang bergizi buruk
terus meningkat. Unicef memperkirakan anak penderita kurang energi
protein (KEP) di Indonesia akan mencapai 10 juta jiwa, sedangkan
KEP berat sekitar sejuta anak. Sejumlah penderita KEP berat
dilaporkan berakhir tragis, meninggal sebelum ditolong.
mengetahui apa saja hak anak yang harus dipenuhinya demi masa
depan anak. Dalam ketidaktahuan, kondisi yang merugikan masa
depan anak dianggap kondisi yang umum terjadi sehingga tidak perlu
dipermasalahkan.
Hadist yang diriwayatkan Abu Dawud: "Pena diangkat dari tiga orang:
dari anak kecil sampai ia dewasa, dari orang tidur sampai dia bangun,
dan dari orang gila sampai ia berakal (kembali)."
Hak-hak Anak
Hadist yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari kakeknya bahwa
Rasulullah saw pernah ditemui seorang wanita, ia berkata:"Wahai
Rasulullah, sesungguhnya anakku dulu dikandung dalam perutku,
susuku sebagai pemberinya minum dan pangkuanku menjadi
buaiannya. Sementara ayahnya telah menceraikanku, tetapi ia hendak
mengambilnya dariku."Kemudian Rasulullah bersabda:"Engkau lebih
berhak kepadanya selama engkau belum menikah"
i. Ibu, nenek dari pihak ibu dan seterusnya jalur ke atas (jika masih
hidup). Dalam hal ini didahulukan yang paling dekat hubungannya
dengan anak.
i. Ayah, nenek dari ayah dan seterusnya jalur ke atas (jika masih
hidup), kakek, ibunya kakek dan seterusnya jalur ke atas, kakeknya
ayah dan para ibunya.
vii. Saudara laki-laki ayah (paman) yang seibu seayah, dan seayah
saja.
Apabila semua pihak dari kalangan ini tidak mampu, maka negara
berkewajiban untuk memberikan pengasuhan anak ini ke pihak
lainnya yang mampu dan dapat di percaya.
4. Hak mendapatkan kasih sayang
pahala bagi orang tua di hari akhirat, dan aset generasi di masa
depan.
Orangtua mana yang tidak termotivasi dengan janji Allah akan surga
dan derajat yang tinggi di hadapan Allah ? Pastilah orang tua yang
tidak mengharapkan keridloan Allah, atau yang lebih mengejar
kenikmatan dunia dibanding kekekalan kebahagiaan di akhirat.
Dari hadist dan ayat di atas dapat dipahami bahwa ada tuntutan bagi
kaum muslimin untuk menjamin kelestarian generasi masa depan dan
mewujudkan generasi yang berkualitas baik. Generasi tersebut adalah
generasi yang diridhoi oleh Allah SWT dan mampu memimpin manusia
dengan risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Pihak-pihak Yang Bertanggung Jawab atas Pemenuhan Hak
Anak
Penutup
KLONING MANUSIA
Istilah kloning atau klonasi berasal dari kata clone (bahasa Greek) atau klona, yang
secara harfiah berarti potongan/pangkasan tanaman. Dalam hal ini tanam-tanaman baru
yang persis sama dengan tanaman induk dihasilkan lewat penanaman potongan tanaman
yang diambil dari suatu pertemuan tanaman jantan dan betina. Melihat asal bahasa yang
digunakan, dapat dimengerti bahwa praktek perbanyakan tanaman lewat penampangan
potongan/pangkasan tanaman telah lama dikenal manusia. Karena tidak adanya
keterlibatan jenis kelamin, maka yang dimaksud dengan klonasi adalah suatu metode
atau cara perbanyakan makhluk hidup (atau reproduksi) secara aseksual. Hasil
perbanyakan lewat cara semacam ini disebut klonus/klona, yang dapat diartikan sebagai
individu atau organisme yang dimiliki genotipus yang identik.
Kemampuan semacam ini ternyata semakin menurun seiring dengan meningkatnya status
organisme. Pada organisme tinggi, misalnya mamalia, sel-sel jaringan telah kehilangan
totipotensinya, sehingga apabila tanaman hanya mampu menghasilkan sel sejenis, tetapi
tidak mampu memilah diri lagi untuk menghasilkan organ atau sel dengan fungsi yang
lain. Berbeda dengan tanaman, klonasi mamalia tidak dapat dikerjakan, misalnya dengan
menanam sel atau jaringan dari bagian tubuh, seperti tangan, kaki, jantung, hati untuk
menghasilkan individu baru. Dengan demikian, klonasi pada organisme tingkat tinggi
hanya dapat dikerjakan lewat sel yang masih totipoten, yaitu sel pada aras embrio atau
mudghah.
Dari pemahaman tentang sifat sel organisme tadi, jika ditinjau secara umum sesuai
dengan aras kehidupan organisme, maka klonasi dapat dikerjakan pada berbagai aras,
yaitu klonasi pada aras sel, aras jaringan dan aras individu. Pada organisme sel tunggal
atau unisel seperti bakteri, perbanyakan diri untuk menghasilkan individu yang baru,
berlangsung lewat klonasi sel. Dalam hal ini klonasi sel sekaligus juga merupakan
klonasi individu pada hewan dan manusia dapat juga terjadi, misalnya pada kelahiran
kembar satu telur. Masing-masing anak di sini merupakan klonus yang memiliki susunan
genetis identik.
Dalam perkembangan biologi molekuler, sekarang dimungkinkan klonasi pada aras yang
lebih kecil daripada sel, yaitu aras gena. Kemampuan manusia melakukan klonasi gena
memunculkan bidang ilmu baru, yang disebut rekayasa genetika. Untuk pertama kalinya
suatu gena berhasil diklonasi dengan teknik DNA rekombinan pada tahun 1973. Hanya
dalam selang waktu tiga tahun, teknologi ini sudah dikomersialkan oleh suatu perusahaan
di California USA, yaitu Genentech. Sebetulnya klonasi gena juga terjadi secara alami
pada beberapa mikroorganisme. Misalnya beberapa mikroorganisme yang semula rentan
terhadap antibiotika berubah menjadi klon mikroorganisme yang kebal antibiotika. Klona
ini terjadi akibat perbanyakan diri lebih lanjut mikroorganisme induk yang telah
kemasukan gena kebal tadi.
Kloning terhadap manusia adalah merupakan bentuk intervensi hasil rekayasa manusia.
Kloning adalah teknik memproduksi duplikat yang identik secara genetis dari suatu
organisme. Klon adalah keturunan aseksual dari individu tunggal. Setelah keberhasilan
kloning domba bernama Dolly pada tahun 1996, para ilmuwan berpendapat bahwa tidak
lama lagi kloning manusia akan menjadi kenyataan. Kloning manusia hanya
membutuhkan pengambilan sel somatis (sel tubuh), bukan sel reproduktif (seperti sel
telur atau sperma) dari seseorang, kemudian DNA dari sel itu diambil dan ditransfer ke
dalam sel telur seseorang wanita yang belum dibuahi, yang sudah dihapus semua
karakteristik genetisnya dengan cara membuang inti sel (yakni DNA) yang ada dalam sel
telur itu. Kemudian, arus listrik dialirkan pada sel telur itu untuk mengelabuinya agar
merasa telah dibuahi, sehingga ia mulai membelah.
Sel yang sudah dibuahi ini kemudian ditanam ke dalam rahim seorang wanita yang
ditugaskan sebagai ibu pengandung. Bayi yang dilahirkan secara genetis akan sama
dengan genetika orang yang mendonorkan sel somatis tersebut.
Teknologi kloning diharapkan dapat memberi manfaat kepada manusia, khususnya di
bidang medis. Beberapa di antara keuntungan terapeutik dari teknologi kloning dapat
diringkas sebagai berikut:
Abul Fadl Mohsin Ebrahim berpendapat dengan mengutip ayat di atas, bahwa ayat
tersebut menampakkan paradigma al-Qur’an tentang penciptan manusia mencegah
tindakan-tindakan yang mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan hingga saat
kematian, semuanya adalah tindakan Tuhan. Segala bentuk peniruan atas tindakan-Nya
dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas.
Kendati Allah menciptakan sistem sebab-akibat di alam semesta ini, kita tidak boleh lupa
bahwa Dia juga telah menetapkan pengecualian-pengecualian bagi sistem umum
tersebut, seperti pada kasus penciptaan Adam As. dan ‘Isa As. Jika kloning manusia
benar-benar menjadi kenyataan, maka itu adalah atas kehendak Allah SWT. Semua itu,
jika manipulasi bioteknologi ini berhasil dilakukan, maka hal itu sama sekali tidak
mengurangi keimanan kita kepada Allah SWT sebagai Pencipta, karena bahan-bahan
utama yang digunakan, yakni sel somatis dan sel telur yang belum dibuahi adalah benda
ciptaan Allah SWT.
Islam mengakui hubungan suami isteri melalui perkawinan sebagai landasan bagi
pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntunan Tuhan. Anak-anak yang lahir
dalam ikatan perkawinan membawa komponen-komponen genetis dari kedua orang
tuanya, dan kombinasi genetis inilah yang memberi mereka identitas. Karena itu,
kegelisahan umat Islam dalam hal ini adalah bahwa replikasi genetis semacam ini akan
berakibat negatif pada hubungan suami-isteri dan hubungan anak-orang tua, dan akan
berujung pada kehancuran institusi keluarga Islam. Lebih jauh, kloning manusia akan
merenggut anak-anak dari akar (nenek moyang) mereka serta merusak aturan hukum
Islam tentang waris yang didasarkan pada pertalian darah.
Berikutnya, KH. Ali Yafie dan Dr. Armahaedi Mahzar (Indonesia), Abdul Aziz Sachedina
dan Imam Mohamad Mardani (AS) juga mengharamkan, dengan alasan mengandung
ancaman bagi kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau mengakibatkan
hancurnya lembaga keluarga, merosotnya nilai manusia, menantang Tuhan, dengan
bermain tuhan-tuhanan, kehancuran moral, budaya dan hukum.
M. Kuswandi, staf pengajar Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta juga berpendapat teknik
kloning diharamkan, dengan argumentasi: menghancurkan institusi pernikahan yang
mulia (misal: tumbuh suburnya lesbian, tidak perlu laki-laki untuk memproduksi anak),
juga akan menghancurkan manusia sendiri (dari sudut evolusi, makhluk yang sesuai
dengan environment-nya yang dapat hidup).
Dari sudut agama dapat dikaitkan dengan masalah nasab yang menyangkut masalah hak
waris dan pernikahan (muhrim atau bukan), bila diingat anak hasil kloning hanya
mempunyai DNA dari donor nukleus saja, sehingga walaupun nukleus berasal dari suami
(ayah si anak), maka DNA yang ada dalam tubuh anak tidak membawa DNA ibunya. Dia
seperti bukan anak ibunya (tak ada hubungan darah, hanya sebagai anak susuan) dan
persis bapaknya (haram menikah dengan saudara sepupunya, terlebih saudara sepupunya
hasil kloning juga). Selain itu, menyangkut masalah kejiwaan, bila melihat bahwa
beberapa kelakuan abnormal seperti kriminalitas, alkoholik dan homoseks disebabkan
kelainan kromosan. Demikian pula masalah kejiwaan bagi anak-anak yang diasuh oleh
single parent, barangkali akan lebih kompleks masalahnya bagi donor nukleus bukan dari
suami dan yang mengandung bukan ibunya.
1. Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami
agama.
2. Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu (dalam hadits dinyatakan bahkan
sampai ke negri Cina sekalipun).
3. Islam menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum ia
ketahui (lihat QS. 96/al-’Alaq).
4. Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin Allah
(lihat ayat Kursi pada QS. 2/al-Baqarah: 255).
Dengan landasan yang demikian itu, seharusnya kita menyadari bahwa penemuan
teknologi bayi tabung, rekayasa genetika, dan kemudian kloning adalah juga bagian dari
takdir (kehendak) Ilahi, dan dikuasai manusia dengan seizin-Nya. Penolakan terhadap
kemajuan teknologi itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam
Islam.
Ada juga di kalangan umat Islam yang tidak terburu-buru mengharamkan ataupun
membolehkan, namun dilihat dahulu sisi-sisi kemanfaatan dan kemudharatan di
dalamnya. Argumentasi yang dikemukakan sebagai berikut:
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan sebenarnya masih bersifat
tentative, bahwa argumen para ulama/ilmuan yang menolak aplikasi kloning pada
manusia hanya melihatnya dari satu sisi, yakni sisi implikasi praktis atau sisi applied
science dari teknik kloning. Wilayah applied science yang mempunyai implikasi sosial
praktis sudah barang tentu mempunyai logika tersendiri. Mereka kurang menyentuh sisi
pure science (ilmu-ilmu dasar) dari teknik kloning, yang bisa berjalan terus di
laboratorium baik ada larangan maupun tidak. Wilayah pure science juga punya dasar
pemikiran dan logika tersendiri pula.
Dalam mencari batas “keseimbangan” antara kemajuan IPTEK dan Doktrin Agama,
pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejuh mana para ilmuan, budayawan dan
agamawan dapat berlaku adil dalam melihat kedua fenomena yang berbeda misi dan
orientasi tersebut? Menekankan satu sisi dengan melupakan atau menganggap tidak
adanya sisi yang lain, cepat atau lambat, akan membuat orang “tertipu” dan “kecewa”.
Dari situ barangkali perlu dipikirkan format kajian dan telaah yang lebih seimbang, arif,
hati-hati untuk menyikapi dan memahami kedua sisi tersebut sekaligus. Sudah tidak
zamannya sekarang, jika seseorang ingin menelaah persoalan kloning secara utuh, tetapi
tidak memperhatikan kedua sisi tersebut secara sekaligus.
Selanjutnya, ada pula agamawan sekaligus ilmuan menyatakan bahwa tujuan agama
menurut penuturan Imam al-Syatibi yang bersifat dharuri ada lima, yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itulah maka kloning itu kita uji dari
sesuai atau tidaknya dengan tujuan agama. Bila sesuai, maka tidak ada keberatannya
kloning itu kita restui, tetapi bila bertentangan dengan tujuan-tujuan syara’ tentulah kita
cegah agar tidak menimbulkan bencana. Kesimpulan yang diberikan klonasi ovum
manusia itu tidak sejalan dengan tujuan agama, memelihara jiwa, akal, keturunan
maupun harta, dan di beberapa aspek terlihat pertentangannya.
Orang-orang Baduy datang kepada Nabi SAW, dan berkata: “Hai Rasulallah, haruskah
kita mengobati diri kita sendiri? Nabi SAW menjawab: “Ya, wahai hamba-hamba Allah,
kalian harus mengobati (diri kalian sendiri) karena sesungguhnya Allah tidak
menciptakan suatu penyakit tanpa menyediakan obatnya, kecuali satu macam penyakit”.
Mereka bertanya: “Apa itu?” Nabi SAW menjawab: “Penuaan”.
Jual beli embrio dan sel. Sebuah riset bisa saja mucul untuk memperjual-belikan
embrio dan sel-sel tubuh hasil kloning. Transaksi-transaksi semacam ini dianggap
bâthil (tidak sah) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
Dengan demikian, potensi keburukan yang terkandung dalam teknologi kloning manusia
jauh lebih besar daripada kebaikan yang bisa diperoleh darinya, dan karenanya umat
Islam tidak dibenarkan mengambil manfaat terapeutik dari kloning manusia.
PERAN KELUARGA
DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN ANAK
PADA ABAD 21
O LE H
Dra. TRI WIDATI SETIYA ATMARNO, M.Pd
NIP. 132140797
Guru Bimbingan Konseling SMA Negeri 2 Sukoharjo
2.Pengaruh Individualisme
Sikap hidup masyarakat yang permisive mendorong adanya sikap/gaya hidup
individualistis, yaitu pandangan hidup yang hanya mementingkan
kepentinngan pribadi dan mengabaikan kepentingan umum atau orang lain.
Sikap hidup ini mengakibatkan seseorang menjadi sombong, egoistis dan
serakah.
3.Pengaruh Humanisme
Apabila ditelusuri lebih jauh akar dari sikap permisive dan individualis,
banyak dipengaruhi oleh humanisme modern yang bergerak bebas dalam
dunia pendidikan. Humanisme kuno pada jaman Renaisance memang tidak
bertentangan dengan ajaran Tuhan, sebab disamping diakuinya peranan Tuhan
dalam hidup manusia, peranan manusia juga memiliki, arti penting. Namun
humanisme modern bertentangan dengan ajaran Tuhan, karena menganggap
manusia sebagai pusat dan menjadi ukuran segala-galanya, dan manusia
menjadi hakim tertinggi dalam memutuskan suatu kebenaran. Humanisme ini
tidak berbeda dengan sekularisme yang menolak kepercayaan rohani dan
menonjolkan soal duniawi. Dalam humanisme modern Tuhan disingkirkan
dan diganti dengan manusia, akibatnya manusia tidak mau peduli dengan
Penciptanya, tidak mau peduli alam dan sesama manusia itu sendiri.
4.Pengaruh Materialisme dan Konsumerisme
Materialisme memandang segala sesuatu diukur dari segi kebendaan, termasuk
manusia. Manusia dipandang sebagai benda belaka. Penganjur materialisme
ini adalah Feurbach, guru Karl Marx. Ia berkata “Manusia itu tidak lebih
daripada apa yang dimakan yaitu roti atau benda”.
Istilah konsumerisme berasal dari bahasa latin “consumere”, yang berarti
“memakai” atau “memakai sampai habis”. Bisa juga diartikan pemborosan.
Konsumerisme adalah gaya hidup konsumtif, yaitu gaya hidup yang dikuasai
oleh keinginan untuk mendapatkan, memiliki, memakai dan menikmati segala
sesuatu. Sikap dan gaya hidup ini dijiwai oleh gengsi atau harga diri.
Hubungan antara materialisme dan konsumerisme adalah pementingan akan
benda. Benda dianggap yang terpenting. Orang-orang seperti ini tidak pernah
4 puas terhadap segala sesuatu . Ia akan terus memiliki, memakai, menikmati
segala sesuatu apabila menguntungkan dan menyenangkan dirinya sendiri.
Saat ini adalah waktu yang ditandai dengan perubahan yang luar biasa,
terutama di bidang teknologi dan ekonomi. Perubahan itu mendorong manusia
bersikap materialistis dan konsumtif. Perubahan ini telah membawa manusia
ke puncak perkembangan yang terus berlangsung. Alat-alat penemuan baru
dengan iklan-iklannya, memancing gaya hidup konsumtif semakin meluas
dikalangan masyarakat. Tidak sedikit keluarga-keluarga sebagai unit terkecil
dalam masyarakat menjadi kehilangan orientasi hidup, terseret dalam gaya
hidup materialistis dan konsumtif. Ada banyak orang tua yang mengajarkan
anak-anaknya demikian “Nak, carilah uang dengan jujur, jika tidak bisa,
pokoknya carilah uang dengan cara apapun !”. Ketidakpuasan memang sudah
merajalela kemana-mana, manusia tak henti-hentinya mencari kepuasan.
5.Pengaruh Identitas Diri
Apabila kita amati situasi remaja saat ini, seringkali kita hanya melihat hal-hal
yang negatif. Itu bisa terjadi karena banyak hal negatif yang kita saksikan dari
remaja, misalnya: penyalahgunaan narkoba, tawuran, perilaku free sexs (seks
bebas), dsb. Dari segi usia, remaja adalah mereka yang berusia 12-17 tahun.
Dari segi psikologis, remaja adalah mereka yang sedang berada dalam
perkembangan / pembangunan kepribadian menuju ke awal kedewasaan.
Remaja itu bukan anak-anak lagi, tetapi juga belum dikatakan sebagai orang
dewasa. Dalam perkembangannya, remaja mudah sekali dipengaruhi oleh
jaman, pergaulan dan masyarakat tempat ia tumbuh dan berkembang. Ia
mengalami pergumulan batin masalah seks, pendidikan, keluarga, sosial, juga
masalah agama, moral dan identits diri. Dekadensi moral remaja
memunculkan kejahatan sosial seperti yang telah disebutkan di atas.
Ketertarikan remaja terhadap kebebasan yang terlepas dari aturan dan ikatan,
mengalahkan wibawa moral dan etika yang ditanamkan orang tua, agama,
sekolah, masyarakat maupun hukum.
Selain pengaruh-pengaruh yang di sebut atas, dalam era globalisasi, era
perdagangan bebas dan millennium ke tiga sekarang ini telah terjadi perubahan-
perubahan yang sangat cepat dan mendasar dalam setiap aspek kehidupan seperti
ekonomi, sosial, budaya, politik, pasar dan lingkungan sebagai akibat dari
kemajuan ilmu pengetahuan teknologi dan Teknplogi Teknplogi Informasi dan
Komunikasi dan Komunikasi yang merupakan kekuatan pendorong terciptanya
persaingan yang semakin tajam dan ketat. Hal ini mengharuskan kita semua untuk
dapat memiliki keunggulan kompetitif yang berkesinambungan.
Dalam menghadapi persaingan tersebut sumber daya yang ada harus dapat
dimanfaatkan dan diberdayakan secara optimal. Dari berbagai sumber daya yang
ada sumber daya manusia merupakan salah satu faktor kunci untuk membangun
suatu keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Dengan memiliki Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berkualitas akan dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan suatu usaha karena SDM yang unggul akan mampu mengelola
sumber daya lainnya secara efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan daya
saing. Contoh tentang hal ini dapat kita lihat di Negara-negara Jepang, Singapura,
Korea dan Taiwan.
Berdasarkan kenyataan dan tuntutan jaman yang telah diuraikan di atas,
peran keluarga sangat dibutuhkan dalam membentuk kepribadian anak dalam
rangka mencetak SDM yang handal menuju terwujudnya usaha penyiapan SDM
yang kompetitif. Apalagi telah kita ketahui bahwa keluarga adalah sebagai
pendidik yang pertama dan utama bagi anak. Dalam kerangka itulah, penulis
tertarik untuk melakukan analisa dan memberikan pokok-pokok pemikiran yang
berhubungan dengan Peran Keluarga Dalam Membentuk Kepribadian Anak Pada
Abad 21.
B.Rumusan Masalah
Masalah yang hendak dijawab dalam tulisan ini dirumuskan sebagai
berikut, “Bagaimanakah peran keluarga dalam membentuk kepribadian anak
pada abad 21 ?”.
C.Tujuan Penulisan
Tulisan ini disusun dengan tujuan untuk mendeskripsikan peran keluarga
dalam membentuk kepribadian anak pada abad 21.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
A.Pengertian Keluarga
Ada banyak pengertian tentang keluarga. Berikut ini beberapa pengertian
yang dijadikan dasar penulis dalam membahas masalah tulisan ini. Alex Thio
(1989: 316) mengutip pengertian keluarga demikian “the familiy…a group of
related individuals who live together and cooperate as a unit”. Keluarga
merupakan kelompok individu yang ada hubungannya, hidup bersama dan
bekerjasama di dalam suatu unit. Kehidupan dalam kelompok tersebut bukan
secara kebetulan, tetapi diikat oleh hubungan darah atau perkawinan. Pendapat
tersebut dipertegas oleh pendapat Donald Light (1989: 454), “a family as a two or
more person living together and related by blood, marriage or adoption”.
Keluarga adalah kehidupan dari dua orang atau lebih yang diikat hubungan
darah, perkawinan atau adopsi.
Senada dengan pendapat di atas Vembriarto (1993: 33) mengatakan bahwa
keluarga adalah kelompok sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang
mempunyai ikatan darah, perkawinan atau adopsi. Pendapat yang hampir sama
dikemukakan oleh Pujo Suwarno (1994: 11) bahwa keluarga adalah suatu ikatan
persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan
jenis, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak sendirian atau dengan
anak-anak baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah
tangga. Sementara menurut Tirtaraharja (1995: 50) keluarga diartikan sebagai
kelompok primer yang terdiri atas sejumlah orang, karena hubungan semenda dan
sedarah. Keluarga itu dapat berbentuk keluarga inti (nuclear family) yang terdiri
ayah, ibu dan anak-anak.
Dari beberapa pedapat di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah
suatu persekutuan hidup yang diikat oleh perkawinan, hubungan darah atau
adopsi. Didalamnya terdapat ayah, ibu dan beberapa anak (keluarga inti) serta
kakek-nenek atau yang lain (keluarga diperbesar).
BAB III
KESIMPULAN
PENUTUP
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis hendak mengutip ungkapan nila-nilai
dan didikan orang tua menurut Dorothy L. Nolte dengan judul
ANAK BELAJAR DARI NILAINILAI
YANG MELINGKUPINYA
Jika anakanak hidup dengan kecaman,mereka belajar untuk mengutuk,
Jika anakanak hidup dengan permusuhan, mereka belajar untuk berkelahi,
Jika anakanak hidup dengan ketakutan,
mereka belajar untuk tercekam kekhawatiran
Jika anakanak hidup dengan belas kasihan,
mereka belajar untuk mengasihani diri sendiri
Jika anakanak hidup dengan cemoohan, mereka belajar untuk menjadi pemalu
Jika anakanak hidup dengan kecemburuan, mereka belajar untuk merasa iri
hati
Jika anakanak hidup dengan rasa malu,
mereka belajar untuk menyalahkan diri sendiri
Jika anakanak hidup dengan toleransi, mereka belajar untuk bersikap sabar
Jika anakanak hidup dengan dorongan semangat,
mereka belajar untuk menjadi percaya diri
Jika anakanak hidup dengan pujian,
mereka belajar untuk memberikan penghargaan
Jika anakanak hidup dengan persetujuan,
mereka belajar untuk menyukai diri sendiri
Jika anakanak hidup dengan pernerimaan,
mereka belajar untuk menemukan cinta di dunia ini
Jika anakanak hidup dengan pengakuan, mereka belajar untuk memiliki tujuan
Jika anakanak hidup dengan kebiasaan saling berbagi,
mereka belajar untuk bermurah hati
Jika anakanak hidup dengan kejujuran dan keadilan,
mereka belajar memahami apa kebenaran dan keadilan itu
Jika anakanak hidup dengan keamanan, mereka belajar untuk percaya terhadap
diri sendiri dan terhadap orangorang di sekitar mereka
Jika anakanak hidup dengan persahabatan, mereka belajar bahwa dunia adalah
tempat yang menyenangkan untuk dihuni,
Jika anakanak hidup dengan ketentraman,
mereka belajar untuk memiliki ketenangan pikiran.
Dengan apa anak-anak kita menjalani kehidupannya?
Demikian uraian dalam tulisan ini, semoga bermanfaat bagi para pembaca
khususnya para orang tua dalam mendidik anak-anak guna menyongsong
kehidupan dalam abad 21 sebagai zaman yang telah memasuki era globalisasi dan
era informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1992. UndangUndang Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI
No.2 Tahun 1989) Dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar
Grafika.
Aryatmi S. 1983. Komunikasi Antara Orang Tua dengan Remaja adalah Kunci
Keberhasilan Pendidikan. Gema Bimbingan Th. XI 1983, No. 3. Salatiga
: Pusat Bimbingan Universitas Kristen Satya Wacana.
Benny Harahap. 1997. Peran Pendidikan Agama Dalam Membentuk Moral Anak
Menghadapi Era Globalisasi (Citra, Buletin Jemaat GKI Sangkrah
Surakarta. No. 01/Mei/1997). Surakarta
Depdiknas. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke3. Jakarta. Balai
Pustaka
Donald Lihgt. 1989. Sosiology. New York: Alfred A. Knopf.
Dwi Nugrahawati. 2000. Hubungan Antara Intensitas Interaksi Antar Anggota
Keluarga. Peranan Teman Sebaya Dan Kenakalan Pelajar Di SMU
Negeri 1 Pakem, Sleman, Yogyakarta (Skripsi). Surakarta: Fisipol
Universitas Sebelas Maret.
J. Drost, SJ. 1999. Proses Pembelajaran Sebagai Proses Pendidikan. Jakarta:
Grasindo.
__________. 2000. Reformasi Pengajaran, Salah Asuhan Orang tua ?. Jakarta:
Grasindo.
__________. 2001. Sekolah: Mengajar Atau Mendidik. Yogyakarta: Kanisius &
Universitas Sanata Dharma.
Mardiatmadja, BS. 1986. Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Pujo Suwarno, Sayekti. 1994. Bimbingan Konseling Keluarga. Yogyakarta:
Menara Mas Offset.
Reni Akbar & Hawadi. 2000. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Grasindo.
Rubino Rubiyanto. 1999. Pendidikan Anak Dalam Keluarga Miskin (Studi
Tentang Manifestasi Kasih Sayang Orang tua Kepada Anak Dalam
Keluarga Miskin di Desa Gathak Banyurejo Tempel Sleman) (Tesis).
Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
20
S.T Vembriarto. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia.
Sal Severe. 2000. Bagaimana Bersikap Pada Anak Agar Anak Bersikap Baik,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sunaryo. 2000. Kualifikasi Sumber Daya Masa Depan (Makalah Pada Seminar
Dies Natalis Universitas Sebelas Maret Surakarta Ke XXIV Tanggal 27
Maret 2000). Surakarta.
Supriyadi, 1996, Pengantar Sosiologi. Surakarta: UNS Press.
S. Daisy Imelda, Peran Orang Tua Dalam Membantu Anak Belajar.
( http://www.bpkpenabur.or.id/kpsjkt/wydiaw/58/artikel1.htm ).
Sylvia Rimm. 1997. Mengapa Anak Pintar Memperoleh Nilai Buruk. Jakarta:
Grasindo.
Tambunan, Emil H. 1982. Mencegah Kenakalan Remaja. Bandung: Indonesia
Publishing House.
Thio, Alex. 1989. Sosiology an Introduction. New York Cambridge: Herper &
Row Publisher.
Tirtaraharja, Umar & La Sulo. 1994. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Proyek
Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan, Depdikbud
Dirjen Dikti