Anda di halaman 1dari 6

BAHASA TEMATIK KEMANUSIAAN

DALAM “POHON DURIAN KEK KOPRAL” MANGUNWIJAYA

Abstrak
Melalui sejumlah karya sastranya, Y.B. Mangunwijaya meletakkan impian-impiannya tentang
keindonesiaan. Impian-impian itu bermuara pada gagasan tentang peradaban Indonesia yang
dicita-rasai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Melalui tokoh-tokoh ciptaannya,
Mangunwijaya mengemas kisah-kisah kemanusiaan itu. Cerpen ‘Pohon Durian Kek Kopral’
merupakan sebuah karya cerpen tematik yang berangkat dari realitas keindonesiaan yang hendak
bergerak lebih selangkah dari peradaban yang syarat dengan perendahan harkat dan martabat
kemanusiaan. Baginya, Indonesia harus terus bergerak, berubah dan berbuah. Pergerakan dan
perubahan itu pada akhirnya bermuara pada kebaikan hidup bersama, sebagai cita-cita bersama
dan perjuangan bersama. Tulisan ini merupakan sebuah hasil pembacaan atas teks sastra Y.B.
Mangunwijaya yang berjudul ‘Pohon Durian Kek Kopral’. Pembacaan atas teks ini didukung
pula oleh sejumlah pustaka yang menjadi rujukan dalam tulisan ini. Karenanya, karya tulis ini
merupakan sebuah hasil studi pustaka. Pembacaan itu sendiri bermula dari proses ‘membaca
kenyataan’, ‘memandang tantangan’ keindonesiaan, dan ‘membaca kenyataan itu sekali lagi’
dalam terang sumber-sumber pustaka yang menjadi rujukan.

Kata-Kata Kunci: Sejarah, Kemanusiaan, Identitas, Peradaban

1. Sekilas Ziarah Hidup Mangunwijaya


Mangunwijaya lahir pada tanggal 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah dari pasangan
Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdanijah. Mangunwijaya adalah anak sulung
dengan sebelas adik, tujuh di antaranya perempuan.
Mangunwijaya masuk Sekolah Dasar pada tahun 1943 di Muntilan, Magelang. Sejak di
Muntilan ini Mangunwijaya termasuk anak yang kreatif. Ia ikut pandu dan banyak menekuni
buku-buku di perpustakaan. Pada masa ini Mangunwijaya telah fasih berbahasa Belanda.
Kemudian Mangunwijaya masuk Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1947 di Yogyakarta.
Tahun 1951 Mangunwijaya tamat dari Sekolah Lanjutan Atas di Malang. Setelah tamat dari
Sekolah Lanjutan Atas ini, Mangunwijaya melanjutkan pendidikannya di Seminari Menengah di
Jalan Code, Yogyakarta pada tahun 1951 sampai 1952. Kemudian Mangunwijaya pindah ke
Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang pada tahun 1952 sampai 1953. Setelah tamat
Seminari Menengah Mertoyudan, Mangunwijaya melanjutkan pendidikan menuju imamat di
Institut Filsafat dan Teologi Sancti Pauli di Yogyakarta pada tahun 1959. Pada tahun 1959
Mangunwijaya ditahbiskan menjadi imam.
Setelah ditahbiskan menjadi imam, Mangunwijaya belajar ilmu arsitektur di Institut
Teknologi Bandung pada tahun 1959 sampai 1960. Kemudian Mangunwijaya melanjutkan
pendidikan arsitekturnya pada Sekolah Teknik Tinggi Rhein, Aachen, Westfalen, Republik
Federasi Jerman pada tahun 1960 sampai 1966. Setelah itu Mangunwijaya melanjutkan
pendidikannya di Fellow of Aspen Institute for Humanistic Studies, Aspen, Colorado, USA.
Dari tahun 1945 sampai 1946, Mangunwijaya mengabdikan diri sebagai prajurit BKR,
TKR Divisi III, Batalyon X, Kompi Zeni. Selanjutnya dari tahun 1947 sampai 1948
Mangunwijaya dipercayakan menjadi Komandan seksi TP Brigade XVII, Kompi Kedu.
Dari tahun 1967 sampai 1980 Mangunwijaya bekerja sebagai dosen luar biasa Jurusan
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dari tahun 1967 sampai tahun
1999 Magunwijaya juga bekerja sebagai arsitek independen berbagai bangunan antara lain
kompleks peziarahan Sendangsono, gedung Keuskupan Agung Semarang, gedung Bentara
Budaya Kompas-Gramedia Jakarta, Gereja Katolik Assumpta Klaten, Gereja Katolik Jetis,
Yogyakarta, Gereja Katolik Cilincing, Jakarta, Markas Kowilhan II, rumah kediaman Arief
Budiman, Pertapaan Bunda Pemersatu, Gedono, Boyolali, Jawa Tengah, rumah kediamannya
sendiri di gunung Kuwera, Mrican, Yogyakarta dan lain sebagainya. Dari tahun 1972 sampai
tahun 1999 Mangunwijaya juga menjadi seorang novelis dan kolumnis pada berbagai koran dan
majalah. Dari tahun 1980 sampai 1986 Mangunwijaya menjadi seorang pekerja sosial di tepian
Sungai Code, Yogyakarta. Dari tahun 1986 sampai 1994 Mangunwijaya mendampingi warga
korban pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah. Selain itu Mangunwijaya juga sering
tampil sebagai pembicara dalam berbagai seminar baik tentang kebudayaan, teknologi,
pendidikan atau pun bedah buku.
Mangunwijaya wafat “dalam tugas” dan dikelilingi oleh para sahabatnya dalam suatu
seminar di Jakarta pada tanggal 10 Pebruari 1999. Mangunwijaya dimakamkan di Seminari
Tinggi Kentungan, Yogyakarta.
Selama perjalanan hidupnya, Mangunwijaya telah melahirkan sejumlah karya sastra,
antara lain novel Romo Rahadi (1981), Burung-Burung Manyar (1981), Ikan-Ikan Hiu, Ido,
Homa (1983), Roro Mendut,Genduk Duku, Lusi Lindri (1983-1986), Balada Becak (1985),
Durga Umayi (1991), Burung-Burung Rantau (1992), dan Balada Dara-Dara Mendut (1993).
Romo Rahadi merupakan sebuah novel psikologi keragu-raguan; Burung-Burung Manyar
merupakan sebuah novel tentang revolusi Indonesia; Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa; Roro Mendut,
Genduk Duku, Lusi Lindri merupakan trilogi novel sejarah akhir zaman Sultan Agung dan
Susuhunan Mangkurat I, abad ke-17; Balada Becak merupakan sebuah fantasi humor; Durga
Umayi merupakan sebuah novel magis realis, perlambangan nasion Indonesia sejak zaman
Belanda sampai dengan Orde Baru; Burung-Burung Rantau merupakan sebuah novel epik yang
mengolah persoalan-persoalan nasion, pengaruh proses globalisasi dengan bermacam konflik
kultural dalam generasi muda dan Balada Dara-Dara Mendut merupakan sebuah novel sejarah
emansipasi gadis-gadis rakyat di Sekolah Guru di Mendut Magelang.
Beberapa cerpen yang mengekspresikan situasi Indonesia sejak tahun 1997 sampai 1998
dengan kejadian-kejadian politis sekitar tahun itu, misalnya tumbangnya rezim Soeharto pada
tanggal 21 Mei 1998 dikumpulkan juga dalam karyanya yang berjudul Menuju Indonesia Serba
Baru, Hikmah Sekitar 21 Mei 1998 (1998). Essei-essei tentang sastra yang dihubungkan dengan
religiositas manusia religius dideskripsikan Mangunwijaya dalam karyanya yang berjudul Sastra
dan Religiositas (1982). Kumpulan-kumpulan essei tentang sastra lainnya juga telah dieditkan
dalam buku yang berjudul Menjadi Generasi Pasca-Indonesia (1999), yang antara lain memuat
gagasannya tentang sastrawan hati nurani, pengakuannya sebagai seorang sastrawan amatir atau
juga tentang perkembangan, minat serta pengaruh sastra di kalangan masyarakat luas.

2. Impian Kemanusiaan Mangunwijaya dalam ‘Pohon Durian Kek Kopral’


a. Kisah Singkat ‘Pohon Durian Kek Kopral’
Y.B. Mangunwijaya yang empunya kisah ‘Pohon Durian Kek Kopral’ mengawali kisahnya
dengan menarasikan seekor anak domba yang menjadi korban tragedi durian. Anak domba mati
tertindih buah durian. Atas kejadian ini, Sang Kakek yang empunya pohon durian (pohon ini
sudah berumur 30 tahun) marah kepada Ari lantaran buah durian yang sudah matang itu tak
segera dipetiknya.
Tentang pohon durian ini, Sang Ibu pernah menganjurkan agar segera ditebang dan
kayunya bisa dijual daripada terus-terusan menyebabkan kecelakaan. Namun, dengan tegas Sang
Kakek menolaknya. Penolakan Sang Kakek tidak membuat Ibu berhenti berjuang untuk
‘meniadakan’ eksistensi pohon tersebut atau sekurang-kurangnya ‘menghilangkan’ efek buruk
yang ditimbulkan pohon durian itu. Sang Ibu mengajukan sebuah alternatif baru sekedar usaha
meminimalkan jumlah kecelakaan yang disebabkan oleh pohon durian itu. Jika tak mau ditebang,
beliau menganjurkan agar pohon durian itu diusahakan untuk tidak berbuah lagi. Dukun harus
segera dipanggil. Juga kalau boleh sekalian dengan paranormal.
Sang Kakek sendiri punya tawaran lain: pohon yang ditanam oleh teman seperjuangannya
itu tidak boleh dibuat tidak berbuah. Ia harus tetap berbuah sekalipun buah yang dihasilkan
adalah bukan buah durian. Sampai pada sebuah titian logis, Sang Kakek menyadari
ketidaklogisan tawarannya; mana mungkin pohon durian yang seharusnya berbuah durian
dipaksa untuk berbuah mangga, kelengkeng, pisang atau sawo. Pohon durian yang menciptakan
kecelakaan itu akhirnya ditebang juga.

b. Pohon Durian dan Evaluasi Kritis atas Nilai Kemanusiaan


Pohon durian adalah simbol ruang dan waktu dari perjalanan sejarah yang telah memberi
makna bagi manusia yang dilingkupinya. Tepatnya, pohon durian adalah sebuah pohon sejarah
yang penuh dengan cerita historis yang memberi latar belakang bagi jiwa-jiwa yang bernaung di
bawahnya. Jiwa-jiwa ini adalah mereka yang dalam keseharian hidupnya menikmati suapan buah
pohon sejarah. Pohon sejarah ini menghidupkan dan mengembangkan jiwa-jiwa dan pada
gilirannya jiwa-jiwa kembali memeliharanya. Pada tataran ini pohon sejarah ini membawa jiwa-
jiwa kepada pemahaman yang integral tentang sejarah hidupnya masing-masing.
Pada tataran lain pohon sejarah juga mengandung kontradiksi eksistensinya dalam
perjalanan hidup manusia. Di satu pihak, ia menghasilkan buah-buahan yang memberi
kenikmatan bagi manusia. Di pihak lain, aroma buruknya memuakkan rasa manusia yang
menciumnya. Lebih dari itu, pohon ini memiliki potensi mematikan kehidupan. Buah pohon
sejarah menjadi bumerang yang memerangi manusia yang dinaunginya. Inilah gambaran umum
seluruh model pohon sejarah dunia, baik itu pohon sejarah bangsa, agama, suku, ras, lapisan
sosial, maupun sejarah masing-masing pribadi yang memiliki dua makna yang berbeda tetapi
tetap melekat satu yakni menghidupkan dan mematikan (Bdk. Ashutosh Varshney, Rizal
Panggabean dan Mohammad Zulfan, 2004; Linell E. Cady dan Sheldon W. Simon,, 2007; Gerry
van Klinken, 2007; Asvi Warman Adam, 2008;
Sebagai yang menghidupkan dan mematikan sejarah adalah sebuah evaluasi kritis atas
kemanusiaan manusia. Dalam konteks ini Mangunwijaya menghadirkan sebuah misi
kemanusiaan untuk mengevaluasi dua sisi sejarah yang pernah, sedang dan akan terjadi dalam
derap langkah kemanusiaan dalam Pohon Durian Kek Kopral-nya (Bdk. Leo Kleden, 1997).
Sejarah yang ditanam, hidup dan berkembang pada masa lalu adalah buah-buah nilai,
norma dan orde-orde pada masa lalu. Manusia-manusia yang bernaung di bawahnya hidup dan
terbentuk oleh nilai, norma dan sistem zaman tersebut. Kebaikan dan kebenaran diparameter oleh
nilai, norma dan sistem tersebut. Semuanya dipercaya sebagai pembangun kemanusiaan dan
pendukung keberlangsungan sejarah itu sendiri.
Namun, ketika sejarah masa lalu yang menganut sistem nilai dan norma yang lama
berhadapan dengan perubahan zaman yang mempunyai sistem nilai dan norma yang baru
terjadilah konfrontasi yang dapat melahirkan apa yang disebut sebagai evolusi dan revolusi.
Dalam konfrontasi ini nilai-nilai lama bisa direlatifkan bahkan dinilai menyudutkan martabat
luhur manusia. Nilai-nilai lama yang dikarakteristik oleh semangat imperialisme, kolonialisme,
paternalisme-bapakisme dipinggirkan oleh nilai-nilai baru. Pada saat yang sama bersemi nilai
dan norma baru seperti demokratisasi, peradaban politik atau politik yang etis (A. Heuken, dkk,
1983; Franz Magnis-Suseno, 1987; Kartini Kartono, 1996).
Sejarah lama telah banyak menghancurkan dunia dan memposisikan manusia di bawah
horison martabatnya sendiri. Sebagai contoh bisa disebutkan peristiwa pembantaian etnis Yahudi
di Auschwitz oleh Hitler, pembantaian massal di Dili, perang di Timur Tengah, terorisme dan
peperangan-peperangan yang menyebabkan kerugian-kerugian besar baik jiwa maupun materi.
Sejarah internasional menyuguhkan banyak bukti tentang perang antar-bangsa yang berbeda
agama maupun perang antar-bangsa yang memeluk agama yang sama. Dengan memperhatikan
fenomena peperangan di abad ke-20, ada sementara orang menamakan abad ini dengan sebutan
“abad perang total”: Korban perang pesat jumlahnya; penggunaan teknologi (pembasmi
kehidupan, bukan saja sasaran perang melainkan juga ‘jiwa manusia lain_sipil dan juga
tumbuhan, hewan, lingkungan’); dan terorisme (Chaiwat Satha-Anand, 2015).
Nilai-nilai baru kini menggulirkan babak baru ziarah pemanusiaan manusia. Dalam babak
baru ini, nilai dan norma baru dihidupkan. Kebaikan dan kebenaran baru dimunculkan dengan
tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip universalnya yakni memandang luhur martabat
manusia dan berusaha memanusiakan manusia. Inilah tujuan dari sejarah kemanusiaan (Bdk.
Brett G. Scharffs, 2016).

c. Kek Kopral dan Sejarah Masa Lalu


Kek Kopral adalah pribadi yang hidup dalam sejarah masa lalu. Ia amat mengagung-
agungkan dan membangga-banggakan sejarah masa lalunya. Namun, ketika ia hidup dalam
sejarah masa kini, konsep pemikirannya masih amat terpaut dengan makna sejarah kolonialis
yang dalam sejarah terbukti memporak-porandakan kemanusiaan manusia. Mempertahankan
status quo dan kemapanan adalah ciri khas konsep kolonialis.
Namun, apa yang terjadi ketika fakta dan data membeberkan kepada Kek Kopral sebuah
sejarah status quo yang penuh stigma hitam yang memuakkan bahkan mematikan? Kek Kopral
tidak menerima fakta dan data ini. Ia berusaha membangun mekanisme bela diri berbekalkan
pengalaman sejarahnya. Ia tetap mempertahankan konsep sejarahnya dan mempersalahkan fakta
dan data sejarah kini yang nota bene kritis, transformatif dan reformis. Meskipun fakta dan data
membuat dia kalah, namun ia tetap mempertahankan konsep sejarahnya dengan argumen
barunya yang kelihatannya tidak rasional, yakni pohon sejarah lama harus tetap berdiri sebab
darinya akan lahir buah-buahan dari jenis lain, buah yang bukan merupakan hasil dari pohon
sejarah tersebut. Kek Kopral sepertinya mewakili gambaran pribadi yang mencintai budaya yang
mapan yakni mengagungkan sejarah lama yang telah melahirkan dan menyimpan semangat
destruktif, tetapi yang disinyalir oleh manusia zamannya sebagai yang telah membuahkan
buah-buah yang baik. Inilah pula sebuah ironi yang bertentangan dengan konsep umum kebaikan
dan kejahatan, bahwa sudah pasti kejahatan bersinggungan dengan keburukan dan hampir pasti
kejahatan tidak dapat melahirkan kebaikan (Bdk. Mudji Sutrisno, 2014).

d. Ari dan Ambiguitas Identitas


Tokoh Ari adalah lukisan tokoh ambigu yang kehilangan identitas yang hidup dalam gaya
tarik-menarik antara konsep sejarah lama dan konsep sejarah baru yang telah dan tengah ia
arungi. Tokoh Ari tidak kuat melawan penindasan konsep yang ditanam oleh sejarah lama
lantaran kesantunan dan kepatuhannya yang berlebihan pada adat lama. Tokoh Ari kelihatannya
tidak berani melepaskan diri dari stereotip dan konsep yang ditanamkan dalam dirinya, seperti
konsep materialisme yang merupakan penjara yang selalu mengekang kebebasan untuk berpikir
secara benar dan luhur.
Kepasrahan tokoh Ari tidak sebanding dengan predikat yang diembannya, yakni tulang
punggung sejarah baru. Sebagai tulang punggung sejarah baru ia seharusnya hidup dalam
sejarah euforia yang penuh dengan keterbukaan, kritik, wacana dan konfrontasi. Namun yang
terjadi adalah bahwa Ari begitu terhanyut dan terlena dalam jajahan konsep Sang Kakek, sampai-
sampai ia sulit melihat dan membangkitkan dirinya sendiri. Ia cuma berkubang dalam
kepasrahan yang pasif sambil terus menikmati korban-korban, tumbal dari sebuah pohon sejarah
yang lama. Ari mengalami semacam stagnasi keberadaan. Ia hanya ingin menikmati
keberadaannya sembari lupa atau alpa memberi makna pada keberadaannya. Ia lupa bahwa ia
adalah pribadi dinamis yang harus terus berproses untuk ‘menjadi’ (P.B. Kleden, 2002;
Muhammad Shahrur, 2015). Ia stagnat pada keberadaannya dan tak ‘menjadi’ pribadi merdeka
yang selalu memperbaharui diri menuju kesempurnaan dalam kebersamaan dengan yang lain.

e. Ibu dan Dua Titian Sejarah


Dalam Pohon Durian Kek Kopral, tokoh Ibu adalah tokoh penengah, pelerai sekaligus
tokoh pemberi kartasis bagi Ari, Kek Kopral dan juga bagi pembaca. Dalam perjalanan dan
pergulatan sejarah, manusia perempuan seperti tokoh Ibu ini hadir sebagai sosok manusia lemah,
yang kelemahannya sering dieksploitasi. Kelemahan-kelemahannya selalu merupakan objek
yang diincar untuk memenuhi kepentingan-kepentingan maksiat tertentu.
Pada titik ini, nampaknya Mangunwijaya meletakkan perspektif feminismenya. Gagasan
feminismenya bukanlah feminisme berhaluan ideologis melainkan sebuah feminisme
pembebasan kemanusiaan. Manguwijaya bergerak ‘lebih dalam’ perihal feminisme (J.B.
Metz,1994). Ia menghadirkan Sang Ibu sebagai ‘jembatan’ yang membebaskan kaumnya dari
ekspolitasi sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat tertentu atas nama paradigma
patriarkhis (Karen Offen, 1988).
Dalam Pohon Durian Kek Kopral, Mangunwijaya memposisikan kelemah-lembutan
manusia perempuan sebagai penghancur kemapanan sebuah sejarah. Lebih dari itu, kelemah-
lembutan ini berperan juga sebagai penawar hati manusia yang penuh kekerasan dan kekejaman.
Tokoh Ibu hadir sebagai penghubung dua titian sejarah yang saling berhadapan pada sebuah
jurang yang dalam. Ibu hadir memberikan nuansa rekonsiliasi bagi dua sejarah yang karena
benturan-benturannya telah membawa korban-korban (Bdk. Rosemarie Tong, 2009).

3. Penutup
Hemat saya, sastra adalah cermin kemanusian. Membaca sastra berarti membaca
kehidupan kemanusiaan. Karena itu, manusia yang akrab sastra adalah manusia yang tahu
kemanusiaannya dan mengenali jati dirinya. Sastra memuat juga ideal-ideal pengarang tentang
sebuah tatanan kehidupan. Mengarungi sastra berarti mencari ideal-ideal kehidupan yang selaras
dengan cita-cita kemanusiaan. Karena itu, membaca sastra berarti bergulat dengan tatanan-
tatanan kehidupan yang ditawarkan pengarang demi integritas sebuah kehidupan.
‘Pohon Durian Kek Kopral’, sebagai sebuah karya sastra, juga mengemban misi
kemanusiaan itu. Melalui cerpen singkat ini, Mangunwijaya menggagaskan cita-cita peradaban
kemanusiaan Indonesia. Mengarungi dan masuk ke kedalaman ‘Pohon Durian Kek Kopral’
pembaca akan menjumpai idealisme kemanusiaan itu sembari membangun mimpi tentang
peradaban kemanusiaan Indonesia yang lebih baik dari sekarang.
DAFTAR PUSTAKA

Adam, Asvi Warman. The History of Violence and the State in Indonesia, CRISE Working Paper
No. 54 Juni 2008.
Cady, Linell E. dan Sheldon W. Simon (eds.). Reflections on the nexus of religion and violence,
(Routledge: New York, 2007).
Kleden, Paul Budi. Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead
(Ledalero: Maumere, 2002).
Metz, J.B. Diagnosen zur Zeit, (Düsseldorf: Patmos 1994).
Offen, Karen. “Defining Feminism: A Comparative Historical Approach” (The University of
Chicago Press: Jurnal Signs, Vol. 14, No. 1, 1988).
Satha-Anand, Chaiwat. “Barangsiapa Memelihara Kehidupan...”Esai-esai tentang Nirkekerasan
dan Kewajiban Islam, disunting oleh Ihsan Ali-Fauzi, Rizal Panggabean dan Irsyad
Rafsadi (PUSAD: Jakarta, 2015).
Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar, (Kanisius, Yogyakarta:1987).
Sutrisno, Mudji. Membaca Rupa Wajah Kebudayaan (Kanisius: Yogyakarta, 2014)
Shahrur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Kalimedia: Yogyakarta, 2015).
Tong, Rosemarie. Feminist Thought-A More Comprehensive Introduction (United States of
America: Westview Press, 2009).
Varshney, Ashutosh, Rizal Panggabean dan Mohammad Zulfan, Patterns of Collective Violence
in Indonesia (1990-2003), (Jakarta, UNSFIR, 2004).
van Klinken, Gerry. Communal Violence and Democratization. Small Town Wars (Routledge:
New York, 2007).

Anda mungkin juga menyukai