Anda di halaman 1dari 4

MENGENAL

LKAN PE
ESANTR
REN
EPADA KAUM BARAT
KE T
Radinall Mukhtar Harrahap
radinalmuukhtarhrp@gmaail.com
P
Pesantren Ar-R
Raudlatul Hasannah, Jl. Setia Buudi, Simp. Selay
yang, Medan

… bahwa pesantrren adalah bagia


ian yang tidak dapat
d terpisahkaan dari bangsa iini.
Menjaga peesantren artinyaa menjaga keutu
tuhan bangsa. Dan
D tidak mungkkin
bermimp
mpi tentang kema majuan bangsa inni, tanpa kemajuuan pesantrennynya.
Nailunni’aam

Identiitas Buku

Judul : Ret
ethinking Pesant
ntren
Penullis : Naasaruddin Umar

Penerrbit : PT. Elex Media Komputindo,


K Jakkarta

Tahunn : 20114

Teball : 1411 + xvi halamann

P
asca tragedi 9/11, hubungaan Negara Eroopa dan Amerika dengan Islaam
mengalami ketegangan.
k Islaamofobia (sikapp takut terhadaap Islam) menjaadi
salah satu pembicaraan
p yaang mengemukka. Bahkan, pesantren
p sebaggai
lembaaga pendidikann Islam terkenaa imbasnya. Issu pengecekan dan perombakkan
kurikuulum sempat mencuat
m waktuu itu. Buku Ret ethinking Pesanntren yang dituulis
Nasarruddin Umar berupaya
b untukk menjadi meddia informasi bagi masyarakkat
Amerrika dan Baraat lainnya agaar dapat meliihat kondisi pesantren p secaara
menyyeluruh, bukan semata-mata
s peesantren yang kata-katanya
k meenjadi basis unttuk
melahhirkan teroris, sikap radikal dan kekerasan dengan dalih satu dari jutaaan
alumnni yang telah diiluluskan lembaaga pendidikan khas Indonesiaa itu terlibat kassus
pengeeboman. Faktaa demikian teentu sulit unttuk diterima oleh masyarakkat
Indonnesia sendiri. Buku
B ini, tulis Nasaruddin Um mar dalam kaata pengantarnyya,
adalahh jawaban terrhadap ragam pertanyaan teentang pesantrren yang tertuuju
kepaddanya ketika berkali-kali
b ke Amerika mennghadiri semin nar atau menggisi
ceram
mah pengajian did mesjid sana. (hal.v-xiv)
(

Vol.11,
V No.2, Juli 20
015
Mengenalkan Pesantren Kepada Kaum Barat | 217

Membaca konten buku ini secara menyeluruh, pembaca akan disuguhkan


pandangan santri terhadap pesantrennya. Bahkan pesantren secara menyeluruh di
Indonesia. Sebelum kemerdekaan, saat kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.
Kontribusinya terhadap dunia pendidikan, sosial, politik maupun kemasyarakatan.
Bentuk, ragam, tipe dan sifatnya. Semua disuguhkan secara umum, yang itu
menjadi kelemahan buku karena keterbatasan penjelasan, sekaligus menjadi
kekuatan buku karena informasi yang padat dan tidak panjang lebar. Latar
belakang Nasaruddin Umar sebagai lulusan pesantren As‘adiyah, Sengkang,
Sulawesi Selatan sekaligus pengasuh Pesantren al-Ikhlas, Bone, menambah
kekuatan daya jual pembahasan buku ini. Ditambah lagi dengan posisi penulis
penulis buku itu sendiri yaitu sebagai Dirjen Bimas Depag (2006-2011) dan wakil
menteri agama (2011-2014).

Buku ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, menceritakan tentang


pesantren dalam konteks sejarah dan bagaimana perkembangannya dari waktu ke
waktu hingga saat ini. Kedua, berisi tentang bagaimana pesantren dapat bertahan
dengan ketokohan kyai yang mengawalnya. Ketiga, membahas tentang dampak
keberadaan pesantren itu sendiri dalam konteks politik, sosial, kemasyarakatan
dan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Hingga akhirnya, seperti
disimpulkan oleh editor buku Nailunni’am, buku ini seakan ingin berkata bahwa
pesantren adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari sejarah bangsa
Indonesia sehingga memajukan pesantren adalah satu di antara syarat untuk
memajukannya. (hal. 128-129)

Kesimpulan tersebut di atas dapat dilihat melalui penjabaran panjang


Nasaruddin di bagian pertama, terkhusus dalam sub bagian Pesantren dari Waktu
ke Waktu. Ia menceritakan bagaimana pesantren memiliki hubungan yang sangat
erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, dapat dikatakan pesantren
adalah salah satu penopang pilar utama pendidikan di bumi Nusantara ini karena
telah muncul sebagai basis penyebaran agama Islam di Indonesia selama berabad-
abad lamanya. Meskipun para sejarawan bersilang pendapat tentang kapan
tepatnya pesantren muncul di Indonesia, penulis mendasarkan pendapatnya pada
oral history yang berkembang dan dicatat oleh Abdurrahman Mas’ud dalam
Sejarah Pesantren dari Walisanga hingga Kini, yang memuat bahwa Pondok
Pesantren Nahdlatul Wathon di daerah Pancoran Lombok Timur adalah lembaga
pendidikan yang terinspirasi dari perjuangan Maulana Malik Ibrahim, sebagai
“Spiritual Father Walisanga” dan berjuang sekitar abad 15. (hal. 7-8)

Keberadaan pesantren sedemikian rupa bertahan bahkan berkembang


hingga saat ini. Dalam penelusuran Hanun Asrohah, pesantren dengan keberadaan
kyai, santri, pondok dan kitab kuning yang dikaji, berdiri pertama kali di Jawa
yaitu pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur, yang didirikan oleh Ki
Agung Muhammad Besari, kakeknya sastrawan Jawa, Ronggowarsito yang juga

Vol.11, No.2, Juli 2015


218 | Radinal Mukhtar Harahap

dikenal sebagai penyebar aliran Sattariyah. Kala itu, nama pesantren menjadi
berbobot, dikarenakan peranannya sebagai basis penyebaran agama Islam dengan
cerita yang diawali “perang nilai” masyarakat umum dengan filosofi pondok yang
selalu berakhir dengan kemenangan pesantren dalam mewarnai kehidupan
masyarakat sekitar. (hal. 8-9, 15)

Nasaruddin kemudian mengemukakan fakta sejarah tentang perjuangan


lanjutan kaum sarungan dalam usaha mencapai kemerdekaan RI. Hal ini, agar
cerita peran pesantren dalam keberadaan bangsa Indonesia tidak terputus dari
pembacaan kaum Barat dan Amerika, sebagaimana tujuan penulisan buku ini,
yang telah beliau tulis di awal. Dalam sub bagian Ketika Santri Berpolitik: Nalar
Politik Santri dalam Lintasan Sejarah, ia menulis sebuah fakta yang tak
terbantahkan bahwa pesantren ikut andil dalam perjuangan menyusir penjajah.
Baik pada zaman Belanda, Jepang, atau bahkan pasca kemerdekaan (revolusi fisik
1945-1048). Bahkan, tulisnya di halaman yang sama, tidak sedikit waktu itu
pesantren yang dijadikan markas perjuangan, tempat berunding dan menyusun
strategi, termasuk sebagai gudang rahasia untuk menyimpan senjata. (hal. 65)

Meski pada rezim Orde Baru keberadaan pesantren sebagai punggawa


dakwah Islam ikut terpinggirkan akibat rekayasa tujuan politik saat itu sehingga
kepentingan ummat Islam berada dalam posisi subordinat bahkan terpinggirkan,
pesantren tetap bertahan dengan sistem pendidikan yang dikelolanya hingga saat
ini. Menariknya, dalam hal ini Nasaruddin tidak berhenti dalam melihat kelebihan
pesantren yang terlepas dari pengaruh situasi dan kondisi pengelolaan pendidikan
oleh Negara, namun juga mengkritik pedas dengan menuliskan bahwa
perkembangan pesantren yang mulai melirik kurikulum umum menjadikan jam
baca Kitab Kuning yang menjadi tradisi pesantren berkurang. Walhasil,
kemampuan baca Kitab Kuning santri dan kemampuan menyerap pelajaran umum
di beberapa pondok pesantren yang melakukan itu “serba tanggung” dan belum
bisa bersaing secara nyata dengan sekolah umum di luar pesantren. Lebih-lebih
jika pondok pesantren hanya diartikan sebagai tempat bermukim santri-santri
yang mengecap pendidikan umum saja di pagi hari tetapi tidak ikut serta dalam
pengajian kyai setelah itu, akan terjadi disfungsionalisasi pondok pesantren
sehingga berubah menjadi “tempat kos” an sich. (hal.25-26)

Selain peranan pesantren yang begitu besar terhadap keberlangsungan


Indonesia sebagai bangsa merdeka, dan itu harus dikaji ulang (rethinking) agar
pembaca dapat mengetahui secara dalam mengenai pesantren, Nasaruddin Umar
juga menampilkan pembahasan mengenai sosok kyai sehingga, yang jika dipahami
melalui judul buku tersebut, harus juga dikaji lagi (rethinking). Hal itu tentu tidak
dapat terlepas dari kondisi kekinian, saat buku itu ditulis, yaitu pro-kontra tentang
politik kyai, antara setuju atau menolak, bahkan bagaimana pula peranan kyai
dalam masyarakat, yang terlanjur menganggap kyai sebagai sosok multitalent

Jurnal Al-‘Ibrah
Mengenalkan Pesantren Kepada Kaum Barat | 219

yang dapat menyelesaikan permasalahan ummat secara menyeluruh, pendidikan,


kesehatan, keluarga, perekonomian bahkan mistis. (hal. 43-52)

Kesimpulan Nasar tentang itu dapat dibaca dari ulasan Nailunni’am dalam
Catatan Editor Secercah Harapan dari Bilik Pesantren, yaitu (1) ketika seorang
kiai aktif di dunia politik, ia akan menghabiskan lebih banyak waktu di luar
pondok sehingga bisa membuat pondok itu terbengkalai. Padahal, kiai adalah
tokoh paling sentral dalam pesantren. (2) Keterlibatan kiai dalam politik praktis
rawan menjadi politisasi agama. Kekuatan seorang kiai terletak pada keilmuan
agamanya, sementara politisi mengharuskan menggunakan segala daya untuk
menarik massa. Pada titik inilah, kerawanan kiai menggunakan dalil-dalil agama
untuk menarik massa terjadi sehingga mengakibatkan politisasi agama. (3)
Berkurangnya independensi seorang kiai yang aktif dalam dunia politik sehingga
tidak lagi berpikir keummatan yang universal karena mengedepankan kepentingan
partainya dibanding kepentingan ummat. (4) Keterlibatan kiai dalam politik
praktis akan menyempitkan otoritas kiai sebagai lanjutan dari tercerabutnya
independensi kiai. Terakhir, (5) kepatuhan buta dari para pengikut kiai bisa
berimbas pada radikalisme politik. Lima alasan itulah yang melandasi penulis
untuk cenderung menyarankan kiai lebih baik tidak terjun ke dunia politik praktis.
(hal. 111-124)

Membaca halaman demi halaman buku ini benar-benar memperkenalkan


wajah pesantren sebagai lembaga pendidikan khas Indonesia yang memegang
peran besar dalam sejarah bangsa Indonesia. Lembaga pendidikan yang
mengajarkan nilai mental, moral dan keterampilan, disamping yang menjadi
tujuan utama adalah pengajaran ajaran-ajaran agama Islam. Namun, jika merujuk
kepada tujuan awal penulisan buku ini sebagaimana dijelaskan penulis sendiri,
sebagai jawaban bagi masyarakat Barat dan Amerika yang bertanya tentang
pesantren, 141 halaman ditambah dengan xvi halaman depan tentulah hanya dapat
sekedar menjadi penghantar diskusi. Ditambah lagi penyajian buku dengan
berbahasa Indonesia dan hanya memuat bahasa Inggris di bagian judul, hanya akan
memenuhi pasar pembaca yang paham bahasa Indonesia saja. Hal ini menjadi PR
besar bagi penulis untuk memikirkan ulang (rethinking) bagaimana buku ini dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hal itu sekaligus menjawab tantangan
Abdrurrahman mas’ud (2008) ketika membedah buku “Jihad ala Pesantren di
Mata Antropolog Amerika” karya Ronald Alan Lukers-Bull, seorang atropolog
Amerika Serikat, yang mengatakan karya semacam disertasi yang membahas
pesantren dalam bahasa Inggris sampai sekarang masih sangat minim karena baru
ada tiga buah, yang ditulis oleh Zamakhsyari Dhofier dengan judul The Pesantren
Tradition, disertasi yang ditulisnya sendiri, Abdurrahman Mas’ud, The Pesantren
Architects and Their Socio-Religious Teachings dan karya Ronald Alan Lukers-
Bull sendiri yang berjudul asli A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and
Religious Identity Construction.

Vol.11, No.2, Juli 2015

Anda mungkin juga menyukai