Oleh :
Khanabi Alwi
NIM. A02219020
A. Latar Belakang
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan indegenous yang ada
di Indonesia. Pesantren merupakan lembaga yang muncul pada abad ke-20
sebagai tempat pendidikan untuk masyarakat pribumi kala itu. Dalam buku
Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren dijelaskan bahwa awal mula
didirikannya pesantren membawa beberapa misi-misi tertentu pertama, sebagai
wadah untuk kaderisasi ulama yang nantinya diharapkan mampu menyebarkan
agama di tengah-tengah masyarakat. Kedua, membentuk jiwa santri yang
memiliki kualifikasi moral dan religius. Dan ketiga, menanamkan kesadaran
holistik bahwa belajar merupakan kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan,
bukan hanya meraih kehidupan dunia semata1.
Pondok Pesantren sendiri secara pengertian umum merupakan tempat
tinggal para santri. Kata pondok juga kemungkinan merupakan serapan dari
bahasa arab funduq yang berarti hotel atau asrama. Sedangkan peneliti lain
menafsirkan bahwa asal kata pesantren merupakan derivasi bahasa tamil santri
yang berarti guru mengaji. Sementara C.C Berg berangapan bahwa kata santri
merupakan serapan dari bahasa India shastri yang berarti orang yang memiliki
pengetahuan tentang buku-buku suci. Dan berbeda dengan keduanya Robson
berpendapat kata aslinya adalah Sattiri yang berasal dari bahasa Tamil yang
artinya orang yang tinggal di Gubuk2.
Rujukan lain yang sering digunakan adalah kisah dalam babad tanah jawa,
ketika Raden Rahmat yang merupakan suksesor dari Maulana Maghribi pada
abad ke-15 ditengarai sebagai orang pertama yang menyebarkan model
pendidikan pesantren hingga saat ini.
Terlepas dari berbagai pandangan berbeda mengenai asal-usul kata
pesantren ini tidaklah mengejutkan mengingat masuknya islam ke pulau Jawa
1
Dawam, Ainurrafiq dan Ahmad Ta’arifin. 2004. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. -: Listafariska
Putra. hal, 6.
2
Ibid., 5.
melalui tradisi yang bercorak sufistik dan mistik. Bahkan dalam perkembangan
pesantren banyak menyerap kultur masyarakat sekitar tempat berdirinya hingga
menyebabkan pesantren memiliki kultur sinkretis dan berbaur dengan
masyarakat sekitarnya.
Sebagai lembaga yang muncul pada masa-masa resistensi umat islam
melawan para penjajah. Tentunya pesantren menjadi objek kajian dan
pengawasan yang ketat dari pihak Belanda. Seorang orientalis terkenal
Christian Snouq Hurgronje menuliskan peran seorang Kiai dan kualitas
pendidikan di Pesantren.
Saya kerap ditanyai apakah tarekat-tarekat ini bisa bekerja sama untuk
membuat penduduk tidak menyukai pemerintah atau menimbulkan kebencian
terhadap orang-orang dengan orientasi berbeda. Jawaban saya seperti ini :
dalam semua kasus ini bergantung pada sang goeroe. Jika dia bodoh dan buruk,
dia pun mengajari si orang desa yang percaya takhayul bukan menjadi orang
baik dan taat beragama, melainkan agar melaksanakan setiap perintahnya.
Bahkan sebagaian ada yang mengajarkan maling ilmu menghilang dan
kekebalan untuk melakukan berbagai rencana mereka terhadap pihak-pihak
lain. Jika bodoh tetapi tidak memiliki niat jahat, dia akan mengajarkan ilmu
sihir palsu, atau hal yang tidak akan dimengerti oleh murid-muridnya, dan dia
sendiripun hanya sedikit memahaminya. Sementara itu, seorang guru tarekat
yang pandai dan baik, membimbing orang-orang berdasarkan apa yang ia
ketahui di jalan agama sehingga mereka akan memiliki pengaruh yang lebih
besar terhadap hati (orang-orang) ketimbang guru kita (yang biasa). Di jawa
sini, dia akan menjadi penuh curiga terhadap pemerintah hanya jika merasa
dirinya dicurigai. Para guru yang pintar dengan niat yang kurang baik adalah
berbahaya, meski penduduk memperlakukan ajaran-ajaran mereka seolah-olah
hampir bersifat ilahiah3.
Kalimat yang digunakan Snouck menarik mengenai bagaimana dia
mengklasifikasi para goeroe atau Kiai dan model pembelajaran yang diberikan
3
Laffan, Michael. 2015. Sejarah Islam di Nusantara terj, Indi Aunulah & Riri Nurul Badariah.
Jakarta: Penerbit Bentang. Hal, 180.
pada masa itu, dapat ditafsirkan bahwa Snouck sendiri mencoba
mengklasifikasikan Kiai menjadi tiga macam bila ditinjau dari kurikulum yang
ia ajarkan. Pertama, Kiai bodoh yang hanya menjerumuskan dalam kesesatan,
kedua, Kiai jahat yang mengajarkan ilmu-ilmu sihir palsu yang bahkan sang
kiai sendiri tidak memahami apa yang sedang ia ajarakan dan terakhir, Kiai
Pintar yang menunjukkan jalan keagamaan sesuai syariat dan menurutnya
tipikal ini berbahaya karena dapat membuat bentuk-bentuk resistensi dan
perlawanan baru dari pihak pribumi.
Hal ini diperparah ketika semangat nasionalisme dan kebangsaan mulai
merambat ke ranah pesantren. Para Kiai mulai menambah kurikulum-
kurikulum baru dalam pengajarannya tidak hanya terfokus pada agama namun,
bedanya pelajaran-pelajaran yang dipelajari tidak diserap dari bibel atau ilmu-
ilmu umum dari Eropa sebagaimana sekolah-sekolah Eropa yang berkembang
pada masa tersebut. Sebagaimana yang dikutip Abdulloh Shodiq dari
Mulyanto. Segala sesuatu yang datang dari penjajah penjajah Belanda dianggap
sebagai sesuatu yang terlarang, bahkan belajar pelajaran umum atau tulisan dan
huruf latin pun dilarang apalagi belajar di sekolah Belanda sehingga semua
pelajaran di pesantren diberikan dalam bahasa Arab, sekalipun pengetahuan
umum seperti tarikh (sejarah), hisab (berhitung), mantiq (logika), jughrafiyah
(ilmu bumi), dan sebagainya. Sikap ini tidak disukai oleh Belanda sehingga
diadakan sertifikasi guru agama pada 1905, peraturan ini mewajibkan setiap
guru agama islam harus mendapat izin dan ada pengawasan yang ketat terkait
buku-buku yang masuk ke Indonesia.
Kejadian-kejadian tersebut menambah bagaimama kala itu orang-orang
kolonial melihat menggangap kehadiran para Kiai sebagai persona non grata
yang harus diasingkan dan disingkirkan dari pribumi. Alhasil apa yang
ditakutkan pihak kolonial terjadi para Kiai yang digolongkan Snouck sebagai
orang-orang pintar dan berbahaya ini pada akhirnya menanamkan semangat
kebangsaan dan bernegara pada para santrinya. Salah satu contoh dari kejadian
ini adalah seruan dari Kiai Hasyim Asy’ari tentang Revolusi Jihad 10
November 1945.
Setelah merdeka peran pesantren sudah bukan lagi sebagai benteng
pertahanan rakyat pribumi namun, kembali kepada tujuan awal dari sebuah
pesantren didirikan sebagai tempat kaderisasi dan pembentukan ulama. Tradisi
pesantren mulai dikenal secara global pada masa pemerintahan Abdurahman
Wahid pada 1999 sebagaimana yang diterjemahkan oleh Abdulloh Shodiq dari
Jurnal Zamakhsyari Dhofier. “tradisi pesantren telah menyebar di berbagai
aspek kehidupan modern sejak Presiden RI Abdurahman Wahid pada 1999,
baik di kehidupan beragama, sosial, ekonomi, pendidikan, politik, dan
masyakarat ilmiah pedesaan di Indonesia.4”
Dari kejadian diatas dapat dipahami bahwa peaantren mulai merombak ke
khalayak umum ketika masa pemerintahan Abdurahman Wahid maka, tak
heran bila permasalahan yang nantinya dihadapi pesantren menjadi semakin
kompleks. Dari yang awalnya hanya berkutat pada masalah keagamaan yang
selesai dengan pembuktian ijazah dari pesantren kini melebar apabila alumni
dari Pesantren hendak melanjutkan ke jenjang pendidikan formal seperti
universitas dan bila ingin melamar ke pekerjaan-pekerjaan formal karena,
pendidikan dan ijazah pesantren masih tidak diakui dan tidak dapat disetarakan
dengan ijazah dari pendidikan umum.
Tentu ini menjadi sebuah permasalahan mengingat kuantitas pesantren yang
sangat banyak di Indonesia yang sama dengan ungkapan Ahwan Mukarom
dalam bukunya bahwa ada tiga pilar penting yang menyebabkan perkembangan
kuantitas pesantren sangat pesat di Indonesia adalah : pertama, putera Kiai
(gus) sebagai suksesor dan penerus dari perjuangan Kiai. Kedua, para menantu
Kiai dan Ketiga, Santri atau alumni5.
Tentunya pilar pertama dan kedua sangat berpengaruh dalam perkembangan
pesantren utama dan pilar ketiga biasanya berperan dalam perkembangan
pesantren-pesantren cabang atau baru yang masih satu pusat dengan pesantren
dimana sang Kiai dulu berguru. Maka tak jarang kalau pembaharuan dalam
4
Shodiq, Abdulloh.2019.Pengembangan Kurikulum Pesantren Muadalah.Malang : CV. Literasi
Nusantara Abadi. Hal, 34.
5
Mukarrom, Ahwan. -. Islam Indonesia 1. Surabaya: UinsaPress, hal, 95-96.
sistem pengajaran dalam pesantren berkaitan erat dengan para anak-anak Kiai
dan menantunya.
Salah satu sintesa yang ditawarkan oleh pemerintah untuk mengatasi
permasalah ini adalah dengan dibuatnya sebuah program kesetaraan pendidikan
pesantren atau yang disebut dengan istilah pesantren muadalah. Sistem ini
diterapkan setelah pihak departemen agama RI melakukan riset dan kajian di
Pesantren Sidogiri Pasuruan dan istilah Muadalah diberikan pada Pesantren
tersebut pada tahun 2006. Selain Sidogiri pesantren di Pasuruan yang memiliki
status muadalah adalah Pesantren Salafiyah status ini diberikan pada tahun
2009.
Pada perkembangan terakhir ketika melakukan wawancara dengan kepala
Yayasan Kiai Abdulloh Shodiq beliau mengatakan bahwa pada tahun 2009
sudah mendapatkan status muadalah untuk Madrasah Aliyah dan saat ini sudah
memiliki Madrasah Tsanawiyah dan dalam pengembangan untuk membangun
Ma’had Aly (setara S1)6.
Historis Pesantren salafiyah pada mulanya hanya berupa sebuah langgar
yang ada di wilayah kebonsari. Pendiri dari langgar ini adalah Hamdani bin
Haris. Pada tahun 1800an itu Mbah Hamdani hanya menyiapkan dua buah
kamar di kanan dan kiri langgar berukuran 3² meter sebagai tempat tinggal
untuk santri menginap.
Pesantren yang dihuni 5-7 santri ini disebut sebagi pesantren Kebonsari
sebagaimana pesantren lain yang umum dinisbatkan kepada tempat berdirinya.
Hingga pada 1970 nama pesantren berubah menjadi Al-ma’had wal Madrasah
As-salafiyah. Dan pada 1994 diubah lagi menjadi Ma’had As-salafiyah atau
Pesantren Salafiyah.
Pesantren salafiyah mengalami berbagai perkembangan dan perubahan
seiring dengan pergantian Kiai dan kepemimpinan. Salah satu bentuk
perubahan di bidang pendidikan adalah ketika pesantren ini dipimpin oleh Kiai
Aqib bin Yasin dan Kiai Hamid. Yaitu dengan ditambahkannya sistem
pendidikan klasikal, yaitu MI dan MTS peristiwa ini terjadi pada 1971. Dan
pada 1981 ditambah pula model pendidikan Madrasah Aliyah.
6
Wawancara dengan Kiai Abdulloh Shodiq pada 21 september 2022
Penelitian mengenai perkembangan pendidikan muadalah di pesantren
Salafiyah sangat menarik diteliti, mengingat perkembangan pesantren salafiyah
dari yang awalnya hanya berupa langgar kecil kini beranjak ke ranah
pengembangan sistem Ma’had Aly. Kejadian ini sangat menarik mengingat
banyak lembaga pendidikan yang pada akhirnya harus merubah sistem maupun
metode pembelajaran mereka setiap tahun tanpa peningkatan yang berati.
Ditambah lagi pandangan terhadap Pesantren yang pada masa ini yang tak
jarang dianggap sebagi sebuah lembaga pendidikan yang ketinggalan zaman
dan sudah tak relevan dengan globalisasi.
Berdasarkan pemaparan diatas penulis memutuskan untuk menulis
penelitian ini dengan judul “Sejarah Sistem Pendidikan Muadalah di Pesantren
Muadalah Salafiyah Pasuruan”
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan penelitian
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan bisa menambah pengetahuan mengenai
perkembangan pendidikan muadalah di Pesantren Salafiyah Pasuruan.
2. Secara praktis
a. Bagi Akademik
b. Bagi Masyarakat
c. Bagi lembaga
d. Bagi penulis
Sebagai tambahan wawasan di bidang pendidikan pesantren serta sebagai hal yang
meyakinkan penulis bahwa di era sekarang pesantren memang masih dapat
berkembang dan mengikuti perkembangan zaman. Dan penulis berharap
kedepannya dapat digunakan sebagai sumber untuk penelitian lebih lanjut.
F. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai pesantren sudah lama dilakukan oleh para peneliti. Terlebih
penelitian mengenai perkembangan pesantren baik dari segi tradisi, budaya,
bangunan maupun sistem. Namun, dalam kasus ini peneliti mencoba mengambil
objek dan sudut pandang lain seperti perkembangan sistem pendidikan di
pesantren salafiyah pasuruan. Sebagai alat bantu untuk menulis, penulis mencoba
mengumpulkan refrensi dan kajian dari penelitian terdahulu, diharapkan agar
dapat membantu penulis dalam mengaji tema yang akan diteliti serta
menunjukkan sudut pandang dan ciri khas untuk membedakan dengan penelitian
sebelumnya. Untuk itu peneliti menyertakan beberapa penelitian sebelumnya yang
relevan dengan penelitian ini sebagai berikut:
Kemudian perbedaan dengan penelitian kedua dan ketiga selain dari segi
objek penelitian dalam penelitian kedua terdapat perbedaan antara antara
Madrasah dan juga pesantren sedangkan dalam penelitian yang akan dikaji
pesantren dan Madrasah dianggap sebagai suatu kesatuan dan masih dalam
satu lembaga yang tidak berbeda tempat dan juga sistem. Sedangkan dengan
penelitian ketiga penelitian tersebut berfokus pada pengembangan
entrepreneur atau kewirausahaan dalam pesantren sedangkan dalam penelitian
yang akan dikaji berfokus pada perkembangan sistem pendidikan muadalah.
G. Metode Penelitian
Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah.
Dimana metode penelitian yang digunakan menggunakan sudut pandang
historis. Metode penelitian sejarah menurut Gilbert J. Garraghan dalam
Dundung Abdurrohman menjelaskan bahwa metode penelitian sejarah
merupakan seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara
kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil- hasil yang dicapai dalam bentuk
tertulis9. metode pengumpulan data dilakukan melalui empat tahapan
yakni heuristic, verifikasi, interpretasi dan historiografi.
9
Dundung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah Islam (Yogyakarta: Ombak,2011),103.
1. Heuristik
Kata Heuristik berasal dari bahasa Yunani heuristiken yang berarti
menemukan atau mengumpulkan data. Dalam kaitannya dengan
penelitian maka proposal ini menggunakan sumber serta data – data yang
ada kaitannya dengan judul yang di teliti. Dalam teknik heuristik
dilakukan pengumpulan data atau sumber yang relevan dengan topik
kajian yang diteliti, baik tertulis maupun tidak tertulis. Langkah-langkah
pengumpulan data yang dilakukan sebagai berikut
a. Observasi
Metode ini dilakukan secara langsung pada objek yang diteliti
berupa pengamatan langsung ke lokasi Pesantren Salafiyah dan kediaman
ketua Yayasan Pesantren Salafiyah. Observasi ini dilakukan terhadap
sumber data dengan melakukan perekaman data etnografis berupa
kegiatan sosial dan spiritual yang dilakukan ketika itu. Observasi ini
terjadi pada tanggal 21 September 2022 dan 28 September 2022
b. Wawancara
Pada tahap ini wawancara dilakukan dengan Kiai Abdulloh Shodiq
selaku ketua Yayasan Pesantren Salafiyah Pasuruan, Mas Aunil sebagai
pengurus pesantren dan Ustad Fahrudin selaku sekretaris pesantren.
Adapun data yang diperoleh dalam wawancara ini adalah sejarah lisan
tentang Pesantren Salafiyah, sekilas pandang tentang perkembangan
kurikulum, metode yang digunakan, perkembangan sistem pendidikan di
pesantren, dan rancangan pembentukan Ma’had Aly.
c. Studi Kepustakaan
Dalam tahap ini sumber literatur yang digunakan dibagi menjadi dua.
Yang pertama, sumber primer, sumber primer ini berupa wawancara,
studi lapangan dan buku yang ditulis oleh ketua yayasan dengan judul
“Perkembangan Kurikulum Pesantren Muadalah (Studi Multisitus
Madrasah Aliyah Pesantren Sidogiri dan Madrasah Aliyah Pesantren
Salafiyah Pasuruan)”. Yang kedua, sumber sekunder, yakni:
1. Laffan, Michael. 2015. Sejarah Islam di Nusantara terj, Indi
Aunulah & Riri Nurul Badariah. Jakarta: Penerbit Bentang.
2. Hendari, Amin dan Ishom El-Saha. 2004. Peningkatan Mutu
Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah. -: Diva Pustaka
3. Dawam, Ainurrafiq dan Ahmad Ta’arifin. 2004. Manajemen
Madrasah Berbasis Pesantren. -: Listafariska Putra
4. Nuryanto. 2019. Arsitektur Nusantara: Pengantar Pemahaman
Arsitektur Tradisional Indonesia. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
5. Mukarrom, Ahwan. -. Islam Indonesia 1. Surabaya: UinsaPress
2. Verifikasi
Tahap ini merupakan merupakan tahap pengujian mengenai
kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber- sumber yang sudah
terkumpul. Pada tahap ini sumber sejarah harus dinyatakan autentik dan
integral. Saksi mata atau penulis sumber sejarah harus diketahui sebagai
orang yang dapat di percaya (credible) dan kesaksiannya harus dipahami
dengan jelas. Sebuah sumber sejarah dikatakan autentik atau asli jika itu
benar-benar produk dari orang yang dipercaya sebagai pemiliknya dan
untuk mengetahui keautentikan sumber yang dilakukan adalah
mengidentifikasi penulis sumber.
Penelitian ini mencoba menelusuri hasil wawancara dengan
responden selaku keturunan dari keluarga pesantren dan para pelaku
sistem, bahwasanya status muadalah diberikan pada tahun 2009 setelah
Pesantren Sidogiri di Kabupaten Pasuruan. Adapun di Pasuruan Kota
Pesantren Salafiyah merupakan satu-satunya Pesantren yang memperoleh
status muadalah dan sedang dalam tahap pengembangan Ma’had Aly.
Maka, perkembangan sistem pendidikan muadalah di Pesantren Salafiyah
berpotensi untuk dijadikan rangka dan rujukan untuk pengembangan
sistem pendidikan muadalah di pesantren lainnya.
3. Interpretasi
Upaya penafsiran dalam tahap ini dilakukan dengan cara
menguaraikan. Tujuan dari analisis yaitu melakukan sintesis atau
menguraikan sejumlah fakta melalui data yang diperoleh melalui sumber-
sumber sejarah. Dalam proses interpretasi ini sumber-sumber yang ada
kemudian digabungkan satu dengan lainnya yang memiliki keterkaitan
mengenai perkembangan sistem pendidikan muadalah di Pesantren
Salafiyah. Fakta-fakta yang diperoleh setelah tahapan kritik sumber maka
penulis mendapatkan fakta tentang sejarah dan perkembangan sistem
pendidikan muadalah di Pesantren Salafiyah Pasuruan.
4. Historiografi
Historiografi merupakan tahapan akhir dalam metode penelitian
sejarah. Pada tahap ini penulisan sejarah dilakukan. Sejarah bukan
semata-mata rangkaian fakta belaka tetapi sejarah adalah sebuah cerita.
Cerita yang dimaksud ialah penghubung antara kenyataan yang sudah
menjadi peristiwa nyata dan suatu pengertian bulat dalam jiwa manusia
atau pemberian tafsiran kepada kejadian tersebut. Dengan kata lain
penulisan sejarah merupakan representasi kesadaran penulis sejarah
dalam masanya. Penulisan sejarah merupakan cara penulisan,
pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan
Setelah pemaparan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka
penulis mencoba menuangkan karya tulisan sejarah dalam bentuk skripsi.
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran serta wawasan
secara luas mengenai sejarah, perkembangan dan dampak dari sistem
pendidikan muadalah di Pesantren Salafiyah dalam “Sejarah
Perkembangan Sistem Pendidikan Muadalah di Pesantren Salafiyah
Pasuruan”.
H. Sistematika Penulisan
Sebagai upaya penulisan maka penelitian ini akan terbagi menjadi beberapa
bab pembahasan sistematika sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA