Anda di halaman 1dari 18

TUGAS FILSAFAT ILMU

EMHA AINUN NADJIB

(FILSUF KONTEMPORER)

OLEH:
ERMIA HIDAYANTI
(17128251038)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia di zaman millennial ini dipenuhi dengan berbagai permasalahan seperti
permusuhan antar agama, permusuhan antar ormas, korupsi, seks bebas, kriminalitas yang
tidak manusiawi dan lain sebagainya. Lebih-lebih yang menjadi sorotan saat ini yakni
pelakunya beragama Islam. Hal ini sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang
terdapat pada Al-Qur’an dan al-Hadist. Kurangnya Pendidikan Islam di masyarakat menjadi
indikasi kuat penyebab degradasi moral masyarakat sekarang.
Berlandaskan atas keprihatinan terhadap nasib bangsa Indonesia, beberapa tokoh
Islam Indonesia bergerak untuk menyebarkan Pendidikan Islam. Salah satunya Emha Ainun
Nadjib yang dikenal dengan nama Cak Nun atau Emha, merupakan salah satu tokoh Islam
yang berpengaruh pada era millennial ini karena kedalaman ilmu, kesufian dan juga
akhlaknya. Emha tergerak untuk melakukan Pendidikan Islam melalui dibentuknya Jamaah
Maiyah, sebuah kelompok pemuda yang menjadi anggota komunitas suatu pengajian
mengkaji permasalahan yang sedang terjadi dengan berlandaskan pada Al-Qur’an dan al-
Hadist. Sejatinya, Pendidikan islam memiliki tugas pokok menggali, menganalisis, dan
mengembangkna serta mengamalkan ajaran Islam dalam menjalankan kehidupan yang
bersumberkan Al-Qur;an dan al-Hadist. Dari kedua sumber pokok tersebut, pada dasarnya
sudah cukup memperoleh bimbingan dan arahan kedepan dalam mencapai tujuan dari
Pendidikan Islam, mulai dari proses memahami hal-hal yang bersifat metafisik sampai ke
rasionalitik, analitik, sintetik dan logic.
Metafisika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat
fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya. Kajian mengenai
metafisika umumnya berporos pada pertanyaan mendasar mengenai keberadaan dan sifat-
sifat yang meliputi realitas yang dikaji. Metafisika merupakan sifat dari filsafat berakar pada
ontology. Ontologi sebagai bidang filsafat yang paling umum-universal melingkupi
penyelidikan tentang “ada” dan “yang mungkin ada”. Maka ontologi sering disamakan
dengan metafisika, dalam artian adalah metafisika umum (general metaphysics) sebagai
penyelidikan yang bersifat metafisik. Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang
paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang

2
bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal
seperti Thales, Plato, dan Aristoteles .
Pandangan ontologis Emha mengenai yang sungguh-sungguh “ada” (to ontoos
on) adalah pada hakikat kesejatian. Emha menegaskan bahwa, “Yang saya tulis bukanlah
mistik, melainkan realitas. Saya hanya melihat realitas dan kesejatian. Yang paling riil itu
kesejatian”. Pandangan seperti ini, menggambarkan bahwa Emha adalah seorang realis. Apa
yang dinamakan sebagai “yang sejati”, dalam perspektif ini sebenarnya adalah realitas.
Konsep metafisika Emha tersebut merupakan suatu realisme yang mengatasi materialisme.
Artinya benda-benda fisik atau materi sebagai realitas, ternyata bukanlah yang sejati. Hal ini
pernah dianalogikan oleh Emha bahwa realitas manusia bukanlah pada wajahnya atau
pakaiannya. Wajah dan badan (materi-fisik) hanyalah kamuflase dari realitas. Dan sebagai
abstraksi realitas yang sejati adalah pada hati manusia. Atas prinsip inilah Emha melakukan
Pendidikan Islam mealui Jamaah Maiyah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Emha Ainun Nadjib?
2. Bagaimana proses belajar Emha Ainun Nadjib?
3. Bagaiman pemikiran Emha Ainun Nadjib?
4. Apa saja karya-karya Emha Ainun Nadjib?

C. Tujuan
1. Mengetahui biografi Emha Ainun Nadjib
2. Mengetahui proses belajar Emha Ainun Nadjib
3. Mengetahui pemikiran Emha Ainun Nadjib
4. Mengetahui karya-karya Emha Ainun Nadjib

3
BAB II

ISI

A. Biografi Emha Ainun Nadjib

Emha Ainun Nadjib atau yang dikenal


dengan Emha ini memiliki nama lengkap
Muhammad Ainun Nadjib. Muhammad
disingkat menjadi “M.H.” yang pada akhirnya
mejadi “Emha”. Ia lahir di Jombang, Jawa
Sumber: google.doc
Timur, 27 Mei 1953 dan merupakan anak ke-4
dari 15 bersaudara. Ia memperistri Novia Kolopaking, seorang seorang seniman film, panggung
serta penyanyi. Bersama istri dan empat orang anaknya (Sabrang Mowo Damar Panuluh, Aqiela
Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, Anayallah Rampak Mayesha), emha bertempat tinggal di
Yogyakarta Jl. Barokah 287 Kadipiro. Sebuah rumah yang berfungsi sebagai pusat
kesekretariatan Emha dan Kiai Kanjeng (group musik). Emha sendiri, yakni salah satu orang
yang juga bergelut dalam bidang seni dan budaya, meliputi musik, teater, monolog, puisi, cerpen,
serta banyak essainya yang khas dengan karakter kebudayaan Jawa, tokoh Jawa, filosofi Jawa,
serta sejarah peradaban Jawa.

Emha lahir sebagai rakyat jelata dari pasangan Muhammad Abdul Lathif dan Chalimah.
Ayahnya adalah seorang petani dan kyai terpandang di desanya, tempat bertanya dan mengadu
berbagai masalah dan sering menjadi merupakan pemimpin masyarakat. Begitu juga dengan
ibunya, yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi kepada tentangganya. Ia sering mengunjungi
tetangga untuk sekedar menanyakan apa yang dimasak, apa mereka menyekolahkan anaknya
atau tidak dan masalah lain. Tumbuh di lingkungan pendidikan agama yang kuat oleh kedua
orangtuanya, menyebabkan Emha menjadi tokoh intelektual dengan napas islami dengan
kepekaan social yang tinggi. Selain dari latarbelakang keluarga, pemikiran-pemikiran Emha
dipengaruhi oleh hasil interaksi dengan sastrawan, budayawan, dan sufi selama merantau di
Yogykarta selama seperempat hidupnya.

Emha menghabiskan masa kanak-kanaknya di desa Menturo, Jombang Jawa Timur. Ia


banyak belajar dari orang-orang desa yang berprofesi petani tentang bagaimana hidup dalam

4
kesederhanaan keluguan dan kebijakan hidup. Ia pun melaksanakan Pendidikan formal sekolah
dasar di desanya. Setelah lulus sekolah dasar ia melanjutkan pendidikan di Pondok Modern
Gontor Ponorogo. Namun pada pertengahan tahun ketiga di Gontor ia dikeluarkan dari pondok
karena melakukan demo melawan pimpinan pondok. Ia merasa sistem pondok kurang baik.
Selanjutnya ia merantau ke Yogyakarta dan melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah (tamat
tahun 1968) dan SMA Muhammadiyah (tamat tahun 1971). Setelah itu, ia melanjutkan studinya
ke jenjang yang lebih tinggi yakni di Fakultas Ekonomi UGM namun hanya bertahan satu
semester saja. Emha merasa tidak betah dan kemudian memilih bergabung dengan kelompok
penulis muda, Persada Studi Klub (PSK). Ia juga bergabung dalam komunitas dan sanggar seni.
Tahun 1980 sampai 1990, Emha tergabung dengan kelompok teater Salahudin dan menghasilkan
berbagai naskah drama dan dipentaskan di berbagai tempat. Bahkan sampai sekarang pun ia
masih aktif menulis naskah drama dan mengadakan pertunjukkan. Eksistensi Emha muda
merambah ke mancanegara. Emha juga berperanserta dalam teater multi-kulturan di Filipina
(1980), the international Writing Program, Universitas loaw, AS (1984), The International
Songwriters Fertival, Rotterdam (1984), dan festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman
(1985).

Selain teater, Emha juga adalah seorang penulis buku dan aktif di kelompok musik
arahannya, Musik Kiai Kanjeng, yang selalu membawakan lagu-lagu sholawat nabi dan syair-
syair religius yang bertema dakwah. Selain itu, Emha rutin menjadi narasumber pengajian
bulanan dengan komunitas Masyarakat Padang Bulan di berbagai daerah.

Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-


aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, Pendidikan, politik,
sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensi rakyat. Melalui kajian islami yang dilakukan dalam
kota dan luar kota, diantaranya Kenduri Cinta Jakarta, Mocopat Syafaat Yogyakarta,
Padhangmbulan Jombang, Gambang Syafaat Semarang, Bangbang Wetan Surabaya,
Paparandang Ate Mandar, Maiyah Baradah Sidoarjo, Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali,
Juguran Syafaat Banyumas Raya, Maneges Qudroh Magelang dan masih banyak lagi. Tiap
bulannya lebih dari 15 kegiatan kajian dilaksanakan oleh Emha dan diirngi oleh Gamelan Kiai
Kanjeng.

5
Bersama Kiai kanjeng, terhitung dari tahun ke 6 berdirinya (juni 1998) hingga Desember
2006, Emha mengunjungi lebih dari 22 peovinsi, 376 kabupaten, 1.430 kecamatan dan 1.850
desa di seluruh pelosok Indonesia. Selain itu ia juga diundang ke berbagai belahan dunia seperti
Malaysia, Inggris, jerman, Skotlandia, Italia, Finlandia dan terakhir September 2017 lalu di
Australia. Tahun 2011, menerima penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia

Pada zaman orde baru sendiri, Emha banyak melontarkan kritik dan protes terhadal gaya
pemerintahan yang ada dalam bentuk pentas seni kebudayaan yang dipanggungkan. Hal ini
terbaca oleh pihak pemerintahan sehingga pada akhir kekuasaan orde baru Emha berperan
menjadi salah satu orang dari beberapa orang yang di undang ke istana kepresidenan untuk
memberikan nasihat dan pertimbangan politik pada pemerintah. Peristiwa ini dapat dibuktikan
dengan slogan yang dipakai presiden Soeharto ketika lengser, ‘ra dadi presiden ora patheken’.
Slogan ini didapat Soeharto dari perkataan Emha sengaja dibuat sebagai formula peredaman dan
penenangan mental Soeharto yang akan lengser.

B. Proses Belajar Emha Ainun Nadjib

Proses belajar Emha dimulai sejak masa kanak-kanak dengan lingkungan Pendidikan
Islam dari kedua orangtuanya yang merupakan pengurus Muhammadiyah serta belajar dari
lingkungan dalam melatih kepekaan sosialnya. Namun yang manjadi batu loncatan sehingga
keeksistensiannya diperhitungkan ialah pada saat masa mudanya melalui bakat kepenyairan dan
kepenulisannya. Tulisan-tulisan hasil karya Emha banyak dimuat di media massa (contoh media
massa).

Kisah yang menarik dari Emha yakni masa kehidupan menggelandang selama lima tahun
(1970-1975) ia hidup menggelandang di jalan Malioboro, sambil mempelajari sastra dari seorang
guru yang dihormatinya, Umbu Landu Paringgi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat
berpengaruh terhadap Emha. Kehidupan menggelandangnya diungkapkan pada karya puisi
berjudul Antara Tiga Kota.

6
Sumber: http://www.jendelasastra.com

Pada saat itu ia belajar banyak hal mulai dari sastra kepada guru yang dikaguminya,
Umbu Landu Paranggi, seorang sosok misterius mewarnai wacana keilmuan Emha pada masa
proses pencarian hakikat hidupnya, terutama dalam bidang tasawwuf. Banyak kalangan
menyebut bahwa sosok Umbu adalah seorang sufi kelana, dimana masa-masa hidupnya hanya
digunakan untuk mencari dan berkreasi. Buah pemikiran Umbu banyak dituangkan dalam bentuk
puisi. Beliau hidup dalam dunia puisi yang direalisasikan pada penghayatan perjalanan hidupnya.
Banyak kisah menarik tentang dialektika ilmu antara seorang Emha dengan sosok Umbu. Namun
yang jelas, Emha begitu takjub dengan sosok Umbu dengan kebersahajaan hidupnya. Masa-masa
proses kreatifnya dijalani juga bersama Ebiet G Ade (penyanyi), Eko Tunas (cerpenis/penyair),
dan EH. Kartanegara (penulis).

7
Ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi,
metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah
masyarakat. Gaya berfikir abstrak Plotinus ini yang diadopsi oleh para kalangan sufistik
termasuk Emha sendiri. Kalangan sufi sendiri adalah sebuah istilah yang muncul dari tradisi
keagamaan dalam Islam yang menitik beratkan pada dimensi esoteris dalam agama. Jika
mengacu kepada istilah pemikiran dalam filsafat, dimensi esoteris masuk dalam kategori
aksiologi. Dimensi esoteris ini dalam Islam disebut sebagai Tasawwuf. Disiplin ini pula lah yang
menjadi ciri khas gaya berfikir seorang Emha sekaligus dirinya menjadi seorang praktisi dari
pada ilmu ini.

C. Pemikiran Emha Ainun Nadjib

Filsafat Pendidikan Islam menghendaki metode Pendidikan yang memadukan antara


pertimbangan pendidik dan peserta didik sekaligus. Metode Pendidikan Islam menekankan
kebebasan peserta didik untuk berdiskusi, berdebat, dan berdialog dengan cara yang sopan dan
saling menghormati. Tujuan diciptakan manusia hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT
denagna indikasi tugas berupa ibadah (‘abda Allah) dan tugas sebagai wakil-Nya di muka bumi
(khalifah Allah). Fiman Allah “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk
Allah Tuhan sekalian Alam” QS. Al-An’am:162. Oleh sebab itu tujuan Pendidikan islam
membentuk manusia yang sempurna (insan kamil) menurut Islam. Konsep dasar dan tujuan
Pendidikan Islam harus dilandaskan kepada pola pikir atau sudut pandang yang Islami yaitu
sudut pandang yang berprinsip pada al-Qur’an dengan pola yang dicontohkan oleh Rasulullah
saw.

1) Kesejatian pada substansi Manusia


Berdasar pada kesejatian sebagai konsep ontologis, yang digunakan Emha
pandangan Emha mengenai alam semesta adalah suatu realitas yang diberikan bahwa
alam semesta berada dalam mekanisme hukum Tuhan (sunnatullah), dan dalam
mekanisme sunnatullah tersebut — berbeda dengan hewan dan tumbuhan — manusia
sebenarnya memiliki kebebasan.
Maknanya, mekanisme alam semesta beserta keteraturannya merupakan realitas
ketundukan atau ketaatan pada hukum alam, Emha menyebutnya sebagai sunnatullah.

8
Emha mengatakan bahwa, “Pohon-pohon itu tunduk pada sunnatullah….”
Dicontohkannya bahwa hewan, tumbuhan, atau bahkan meja itu, semuanya bersujud dan
tunduk pada sunnatullah. Karena alam tidak punya hakikat untuk tidak tunduk atau
bersujud. “Dan hal ini bukan mistik. Ini realitas. “Ketundukan pada hewan dan alam
menurut Emha berbeda dengan ketundukan pada manusia, karena manusia memiliki
peluang untuk taat dan untuk tidak taat, berdasar atas potensi kebebasannya”. Peluang
manusia termanifestasikan pada suatu potensi yang terwujud dalam dua kodrat. Pertama
adalah kodrat alami (seratus persen milik Tuhan, mutlak). Kedua adalah kodrat budaya
(tidak mutlak, limapuluh persen milik manusia, sisanya milik Tuhan), artinya, manusia
yang mempunyai peluang usaha-usaha atau jalan. Usaha atau jalan itu disebut Emha
sebagai tirakat atau khalwat. Menurut Emha, khalwat itu relevan dan diperuntukkan bagi
kodrat budaya manusia yang memiliki peluang untuk berinisiatif. Istilah Emha adalah
“Tuhan berbagi”.
Pandangan kosmologis Emha secara tidak langsung telah menyentuh tentang
filsafat manusianya. Pembicaaan filsafat manusia itu sendiri telah lama mempersoalkan
mengenai dualitas manusia, ruh dan badan. Tentang ruh atau jiwa dan badan sebagai
substansi manusia, Emha mengatakan bahwa ruh itu tidak berbeda dengan badan, bahan
dasarnya adalah partikel yang sama, yang membedakannya adalah komposisi serta
arasemennya. Badan hanyalah “kulit ari” atau penampilan yang paling dangkal dari ruh;
dan sebenarnya secara keseluruhan adalah “dunia ruh”. Maka penjelasannya bukan “ini
ruh” dan yang “ini badan”, karena badan adalah formula sederhana dari aransir dan
komposisi ruh.
Pandangan filsafat manusia Emha mengenai substansi manusia tersebut
mengingatkan pada padangan yang dilontarkan oleh Thomas Aquinas, seorang filsuf dan
teolog Italia yang sangat berpengaruh di abad Pertengahan. Menurut Aquinas, manusia
sebagai satu substansi bukan hanya terdiri dari badannya saja atau jiwanya (ruh) saja,
tetapi merupakan kesatuan yang utuh antara badan dan jiwa. Aquinas juga berpandangan
bahwa forma dari setiap kehidupan adalah jiwa. Hal tersebut menandaskan bahwa,
pandangan Aquinas tidak jauh berbeda dengn pandangan Emha mengenai kesatuan-
keutuhan badan dan jiwa-ruh, bahwa yang esensial adalah jiwa (dunia ruh).

9
2) Eksistensialisme kaitan dengan Tauhid
Eksistensialisme Emha, adalah suatu perjalanan eksistensi manusia yang
digambarkan sebagai perjalanan ahad menuju wahid. Dimensi ahad adalah kesadaran
egosentrisme yang menjadikan manusia sadar akan dirinya atau “ego diri-kecil”,
sedangkan dimensi wahid adalah lawan dari kesadaran ahad. Dalam kesadaran wahid,
terjadi perjalanan peniadaan “ego diri-kecil” menuju “Ego Diri-Besar”. Eksitensialisme-
teistik Emha tersebut ada dalam konsep yang disebutnya konsep tauhid. Emha
menjelaskan konsep tauhidnya bahwa, “Tauhid bukanlah ‘men-satu-kan’ Tuhan, tauhid
ialah menggerakkan diri, menggabung, ke Allah yang Esa.” Jadi, mentauhid adalah
adalah meleburkan ego (kecil) kepada Maha-Ego (besar) yang dalam bahasa Emha
adalah “Maha-Ego yang tidak egoistik”.
Dari konsep tersebut, Emha sering mengkritik pemikiran manusia modern
(eksistensialisme modern) yang selalu bergumul dengan “peng-ada-an diri kecil”. Emha
tidak memfokuskan pada eksistensialisme statis, akan tetapi fokus pada “peniadaan diri-
kecil” atau yang disebutnya perjalanan ahad-wahid. Nampak jelas bahwa pandangan
eksistensial sebagai kebutuhan ontologis Emha, sebenarnya adalah suatu de-
eksistensialisme atau bahkan konsep esensialisme.
Eksistensi sebagai kebutuhan ontologis, dalam pemikiran Emha bermuara pada
“cinta”. Segala penciptaan merupakan manifestasi atas cinta. Puisi Emha “Tahajjud
Cintaku” menjelaskan posisi cinta sebagai esensi, seperti dalam penggalan berikut:
“Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta/Kebencian tak ada kecuali cinta
kau lukai hatinya.” Pandangan tersebut berdekatan dengan pandangan “cinta”-nya Kahlil
Gibran, serta pandangan para filsuf eksistensialis-teistik seperti
Kierkegaard, Marcel dan Jaspers, yang menganggap bahwa esensi dari “ada” adalah
cinta. Bagi Gibran, kebutuhan cinta dalam eksistensi memerlukan adanya “kreativitas,
bukan “generasi”. Jika Gibran memprasyaratkan apa yang dinamakan kreativitas sebagai
konsekuensi cinta, maka Emha memprasyaratkan pada kesadaran, yaitu “kesadaran
kealamsemestaan”.
Pada tulisannya yang berjudul sama dengan prinsip kesadaran sebagaimana yang
dimaksud di atas yaitu “Kesadaran Kealamsemestaan”, Emha menjelaskan bahwa
“Kesadaran Kealamsemestaan ialah kesadaran terhadap kodrat atau keniscayaan yang
tidak bisa ditawar. Kesadaran terhadap ketentuan yang mutlak”. Jelas dalam pandangan

10
Emha, puncak kesadaran adalah cinta. Salah satu bentuk kesadaran cinta tersebut
haruslah terwujud dalam suatu dialektika-hubungan cinta, yang menurut Emha
digambarkan dalam bentuk “cinta segitiga”.
Konsep “cinta segitiga” adalah sikap cinta yang selalu terhubung dengan
kesadaran akan Tuhan, jika seseorang mencintai sesuatu, maka kecintaannya itu mesti
terhubung dengan cinta Tuhan. Ada Tuhan, Muhammad, dan Manusia, yang kesemuanya
menjadi suatu kesadaran cinta. Bentuk cinta tersebut akan terkait dan berada di dalam
cinta religiusitas-ketuhanan. Emha mengingatkan bahwa, “Kesadaran kealamsemestaan
ialah kesadaran terhadap kodrat atau keniscayaan yang tidak dapat ditawar”. Kesadaran
tersebut adalah kesadaran pada sesuatu yang mutlak sebagai hukum alam, yang disebut
Emha sebagai hukum-sunnatullah, dan kemutlakan itu ada pada Tuhan.
Kesadaran kealamsemestaan dapat dijadikan dasar kesadaran kosmis yang oleh
Emha, kemudian distratifikasikan pada tiga tahap kesadaran. Pertama, adalah kesadaran
“aku manusia” atau ana insan sebagai kesadaran yang bersifat ego-eksistensial. Kedua,
adalah kesadaran “aku hamba Allah” atau ana’abdullah sebagai kesadaran dialektika
antara makhluk dengan Tuhan dalam bentuk kepatuhan. Kesadaran yang ketiga adalah
kesadaran yang paling tinggi, yaitu kesadaran khalifatullah. Menurut Emha, kesadaran
khalifatullah sebagai puncak kesadaran kosmis merupakan, “Komitmen sosial di dalam
perspektifkosmis, tak sekedar terbatas pada dunia kehidupan manusia, bagian-bagian
yang lain hanyalah instrumen bagi kesejahteraannya”.
Metafisika-teologis yang melekat dalam pemikiran Emha tentang Tuhan dapat
dikatakan bernafaskan tasawuf atau sufistik. Seperti terlihat dalam puisi-puisi Emha yang
banyak menjadi permenungan atau refleksi tentang ketuhanan dan kesejatian. Dimensi
religiusitas pemikiran Emha berdasar pada apa yang dikatakannya “Rasa rindu, rasa ingin
bersatu, rasa ingin berada bersama dengan sesuatu yang abstrak…. Ia abstrak tetapi ada
secara amat riil, sehingga justru terasa paling konkret…. Kita tidak mampu merumuskan-
Nya, kecuali bahwa Ia berada tak di mana-mana atau sekaligus berada di mana-mana….
Ia tidak terumuskan oleh bahasa, tak terucapkan oleh apa saja”.
Seperti halnya pandangan Gibran bahwa sumber adanya kesatuan Tuhan dan
makhluk, transendensi dan imanensi Tuhan terhadap makhluk/manusia juga menjadi
keutamaan refleksi Emha. Tergambar dalam bait puisi Emha yang
berjudul“Menderas” (1986) seperti dikutip berikut:“Menderas di darah/aku yang

11
lain/yang Allah/yang kalau aku capai, ia tak… kalau aku melain, ia mengaku/kami
berdenyut bagai satu/kami berganti mengganti/ kami dua/kami bercanda….”.
Bahasa puitik Emha tampak dipergunakan untuk merefleksikan religiusitasnya,
bahwa antara Tuhan dan makhluk itu dualitas dalam satu, “Satu tapi dua, dan seolah-oleh
satu.” “Tuhan yang mengalir dalam darah”, oleh Emha menjadi pertanyaan yang larut
dalam dialektika yang mesra antara Tuhan dan makhluk. Setelah menelusuri beberapa
pemikiran metafisik Emha seperti diuraikan sebelumnya, maka pada akhirnya telah
bermuara pada dasar ontologis dari filsafat Emha yang akan menunjuk beberapa kata
kunci seperti: kesejatian, cinta-segitiga, sunnatullah, ahad — wahid, tauhid, khalifatullah,
esensialisme, dan de-eksistensialisme. Dari sini, dapat dikatakan bahwa metafisika Emha
tak lain adalah ontologi-teistik. Suatu pemikiran metafisik ketuhanan yang terbangun dari
pandangan-pandangan sufistik.

Atas landasan ini Emha melakukan dakwahnya tentang pendidikan cara berfikir dengan
membangun kepekaan terhadap masalah sosial dan kekinian melalui komunitas atau jamaah
maiyah. Bahan dakwah dan diskusi yang diambil langsung dari pertanyaan-pertanyaan yang
disampaikan khalayak dan jamaah kajian. Yang bermuara pada tauhid, akhlak dan penyucian
rohani. Kajian yang dilakukan Emha bersifat open minded dan menyeluruh untuk berbagai
lapisan masyarakat seperti mulaai dari tokoh-tokoh lintas Agama, aliran, suku, bangsa, etnik,
LSM, mahasiswa dalam dan luar negeri, yang waras dan bahkan yang tidak. Penyampaian materi
tidak terkesan menggurui, namun lebih kepada diskusi dan brainstorming bersama. Komunikasi
sosial yang dilakukan berprinsip pada tidak ada sosok yang lebih diunggulkan dari yang lain.
Menurut Emha, sejatinya yang diskusi itu merupakan pertemuan antara pikiran dan pikiran,
bukan antar kyai dengan masyarakat, mahasiswa dengan dosen, ustad dengan doktor, laki-laki
dengan wanita dan lain sebagainya. Yang terpenting adalah pesan yang disampaikan seperti
yang diaktakan sayyidina Ali, “jangan lihat siapa yang mengatakan, tapi lihatlah yang
dikatakan”.

Pada setiap akhir diskusi, Emha selalu melakukan evaluasi menggunakan metode
sholawatan dan muhasabah. Dalam metode sholawatan, jama’ah akan diajak Bersama-sama
melantunkan sholawat kepada Rasulullah saw yang bermaksud untuk menanamkan kecintaan
kepada Rasulullah. Metode muhasabah, yakni perenungan berupa pennataan pikiran dan hati

12
untuk kembali menuju apa-apa yang diridhoi-Nya. Emha selalu melontarkan kalimat “Kita itu
harus ridho dulu dengan Allah baru Allah akan ridho dengan kita”. Maksudnya, kita harus ikhlas
menerima segala yang menjadi kekurangan atau kelebihan diri, kejadian baik dan buruk dan
segala hal yang menyangkut kehidupan di dunia ini. Emha menekankan kepada kita untuk
senantiasa bersyukur dengan apa yang kita miliki.

D. KARYA-KARYA EMHA

Sejak muda hingga paruh baya ia aktif menulis. Ia berprinsip bahwa menulis bukanlah
menempuh karier sebagai penulis, melainkan untuk keperluan-keperluan sosial. Oleh karena itu
ia menghasilkan sangat banyak tulisan mulai dari puisi esaim artikel, naskah drama, cerpen
hingga buku. Berikut beberapa puisi dan buku karya Emha.

1. Puisi :
“M” Frustasi (1976),

Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),

Sajak-Sajak Cinta (1978),

Nyanyian Gelandangan (1982),

99 Untuk Tuhanku (1983),

Suluk Pesisiran (1989),

Lautan Jilbab (1989),

Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990),

Cahaya Maha Cahaya (1991),

Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),

Abacadabra (1994),

Syair-syair Asmaul Husna (1994)

13
2. Essai/Buku :
Dari Pojok Sejarah (1985),

Sastra yang Membebaskan (1985)

Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),

Markesot Bertutur (1993),

Markesot Bertutur Lagi (1994),

Opini Plesetan (1996),

Gerakan Punakawan (1994),

Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),

Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),

Slilit Sang Kiai (1991),

Sudrun Gugat (1994),

Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),

Bola- Bola Kultural (1996),

Budaya Tanding (1995),

Titik Nadir Demokrasi (1995),

Tuhanpun Berpuasa (1996),

Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997),

Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997),

Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),

2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),

Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998),

Kiai Kocar Kacir (1998),

14
Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (Penerbit Zaituna, 1998),

Keranjang Sampah (1998),

Ikrar Husnul Khatimah (1999),

Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),

Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),

Menelusuri Titik Keimanan (2001),


3. Teater :
Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto),

Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),

Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),

Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Santri-Santri Khidhir dipentaskan bersama Teater Salahudin mementaskan (1990, di


lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di
alun-alun madiun),

Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),

Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).

Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi
konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di
samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.

Teater Tikungan Iblis adalah pementasan yang diadakan di Yogyakarta dan Jakarta
bersama Teater Dinasti

Teater Nabi Darurat Rasul (2012, bersama Teater Perdikan dan Letto yang
menggambarkan betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia
sekelas Nabi yang bisa membenahinya )

Emha juga pernah terlibat dalam produksi film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2011),

15
skenario film ditulis bersama Viva Westi.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Muhammad Abduh adalah seorang tokoh filsafat yang terkenal pada masanya, Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat
Nashr di Kabupaten al-Buhairah, beliau memulai pendidikannya dengan mempelajari Al-
Quran dan dengan kecerdasannya beliau bisa menghafal Al-Quran sejak usia 12 tahun. Dan
beliau melanjutkan pendidikan formalnya di Uneversitas Al-Azhar Kairo. Ide-ide yang
dibawa oleh Syeikh Muhammad Abduh telah mengubah pandangan umat Islam terhadap
Islam yang sering taqlid dengan sebagian sarjana Muslim yang jumud dan pasif.
Syeikh Muhammad Abduh berjasa dalam memberi gambaran yang jelas tentang
keperluan umat Islam kepada pembaharuan, khususnya dalam bidang pendidikan. Ide
pembaharuan Syeikh Muhammad Abduh dalam bidang pendidikan, khususnya di Universitas
Al-Azhar telah memberi kesan yang mendalam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
umat Islam. Antara ide tersebut ialah: mewujudkan mata pelajaran Matematik, Geometri,
Algebra, Geografi, dan Sejarah, mewujudkan farmasi khusus untuk pelajar Universitas Al-
Azhar, menyediakan gaji guru dari perbendaharaan negara dan waqaf negara, memperbaiki
asrama pelajar dengan menekankan aspek-aspek keselamatan dan kesehatan, mengganti
metode pengajaran yang bersifat hafalan kepada penalaran atau lebih dekat dengan diskusi.

B. Saran
Sebagai calon pendidik, kita perlu memiliki kesadaran tentang pentingnya
menyampaikan ilmu mengenai etika dan moral disamping ilmu pengetahuan. Karena, jika
kita hanya menyampaikan ilmu pengetahuan saja, maka yang terlahir hanyalah pendidikan
yang merosot moralnya. Kemudian, kita harus bisa memodifikasi pembelajaran supaya
pembelajaran menjadi lebih aktif dan menarik sehingga peserta didik tidak hanya menghafal
suatu materi.

17
DAFTAR PUSTAKA

Alawi, Bashori. 2016. http://lenterabiruupdate.com/2016/06/alam-pikir-dekonstruktif-emha-


ainun-nadjib/ diakses pada 25 Oktober 2017

Alim, Nour. 2012. https://alimprospect.wordpress.com/2012/11/14/pemikiran-emha-ainun-


nadjib-dalam-tujauan-filsafat-humanisme-kontribusinya-bagi-perkembangan-
kehidupan-sosial/ diakses pada 25 Oktober 2017

Hadi, Sumasona. 2012. https://www.caknun.com/2012/dari-kesadaran-kealamsemestaan-


menuju-cinta-percikan-filsafat-cak-nun/ diakses pada 25 Oktober 2017

Nadjib, Emha Ainun. 2012. Tuhan Pun Berpuasa. Jakarta: Kompas

Utomo, Bahtiar Fahmi. 2014. Skripsi: Pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang Pendidikan Islam.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah

Wikipedia. https://id.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib diakses pada 25 Oktober 2017

18

Anda mungkin juga menyukai