Anda di halaman 1dari 7

Biografi Misbach Yusa Biran

Misbach Yusa Biran (lahir di Rangkasbitung, Lebak, Banten, 11 September 1933; umur
77 tahun) adalah sutradara film, penulis skenario film dan sastrawan Indonesia. Ia lahir
dari pasangan orang tua yang berasal dari Minangkabau (ayah) dan Banten (ibu).
Misbach adalah suami dari aktris Nani Widjaya dan ayah dari aktris Cahya Kamila dan
Sukma Ayu.
Misbach Yusa Biran, sosok yang melegenda dalam dunia perfilman Indonesia. Ia sudah
menghabiskan 3/4 usianya untuk aktivitas di dunia film. Misbach Yusa Biran memasuki
dunia perfilman ketika berusia 21 tahun di studio Perfini yang dipimpin oleh Usmar
Ismail. Di lembaga itu dia menjadi asisten sutradara dan anggota sidang pengarang.
Setahun kemudian skenario pertamanya muncul dan difilmkan dengan judul "Saodah".
Setelah itu kreativitasnya seakan tak terbendung. Selama tiga tahun (1957-1960) ia
membuat film pendek dan dokumenter. Pada kurun waktu 1960-1972, ia menyutradarai
beberapa film layar lebar. Salah satu filmnya yang berjudul "Di Balik Tjahaja
Gemerlapan" (1967) mendapat penghargaan untuk sutradara terbaik. Misbach
memutuskan berhenti menyutradarai pada 1971 karena tidak mau menulis untuk industri
film yang getol membuat film-film porno pada saat itu. Ia juga mendapat penghargaan
skenario terbaik, untuk film "Menyusuri Jejak Berdarah". Film lainnya yang ia tulis
skenarionya adalah "Ayahku" (1987). Film yang penyutradaraannya ditangani Agus Elias
ini pun meraih penghargaan yang sama.

Skenario karyanya dinilai memiliki kekuatan khas yang tidak dimiliki penulis skenario
lain. Yang bisa menandinginya barangkali hanya Asrul Sani, sejawatnya yang bersama-
sama dengannya menggagas dan membangun Sinematek. Kekuatan tersebut tentu tak
bisa dilepaskan dari kemampuannya yang lain, yakni menulis karya sastra. Memang
Misbach juga seorang sastrawan yang cukup diperhitungkan. Buku kumpulan cerpennya
"Keajaiban di Pasar Senen" merupakan bukti kesastrawanannya yang tidak terbantahkan.

Misbach Yusa Biran juga meluncurkan buku "Teknik Menulis Skenario Film Cerita"
yang diluncurkan pada 30 Januari 2007. [1]

edikasinya untuk kemajuan film Indonesia, memang patut dipuji. Misbach sempat
memimpin organisasi Karyawan Film dan Televisi (KFT) dari tahun 1978 hingga 1991.
Pada masa yang sama, juga tercatat sebagai anggota Dewan Film Nasional.

Kontribusinya yang paling besar untuk perfilman nasional adalah dengan pendirian
Sinematek Indonesia, lembaga yang secara independen mengusahakan pendokumentasian
film-film nasional. Bahkan sosok Misbach seolah identik dengan lembaga yang
didirikannya sejak tahun 1975 itu. Misbach memimpin Sinematek Indonesia hingga tahun
2001.

Kini, di usia tuanya, sosok yang mendapat penghargaan khusus dari Forum Film
Bandung atas dedikasi dan kontribusinya di dunia film ini, masih terus berkarya lewat
skenario yang ditulisnya. Baginya film adalah alat utama perjuangannya yang menjadi
media ekspresi kesenian dan intelektual. Dan yang paling penting, menurut ia, film
adalah alat dakwah dan alat peningkatan kualitas hidup manusia, khususnya kualitas
bangsa Indonesia.
Misbach Yusa Biran menikah dengan aktris Nani Widjaya pada tahun 1969. Pasangan ini
memiliki enam orang anak yaitu Nina Kartika, Tita Fitrah Soraya, Cahya Kamila,
Firdausi, Farry Hanief, dan Sukma Ayu. Hanya dua anaknya yang mengikuti jejaknya di
dunia film, yaitu Cahya Kamila dan Sukma Ayu.

Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo
Oleh: ensiklopedi tokoh Indonesia

Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943, ini seorang sejarawan


beridentitas paripurna. Dia menyandang sejumlah identitas dan julukan. Penulis lebih 50-
an buku ini seorang guru besar, sejarawan, budayawan, sastrawan, penulis-kolumnis,
intelektual muslim, aktivis, khatib dan sebagainya. Guru besar emeritus Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, ini seorang yang sangat menghargai
kearifan budaya Jawa, rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan. Dia seorang
intelektual muslim yang jujur dan berintegritas.

Kendati menjalani hidup dalam keadaan sakit, semenjak mengalami serangan virus
meningo enchepalitis pada 6 Januari 1992, dia terus berkarya sampai detik-detik akhir
hayatnya. Prof Dr Kuntowijoyo, yang akrab dipanggil Pak Kunto, ini meninggal dunia di
Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat
komplikasi penyakit sesak napas, diare dan ginjal.

Jenazahnya disemayamkan di rumah duka Jl Ampelgading 429, Perumahan


Condongcatur dan di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM). Dikebumikan Rabu 23
Februari 2005 di Makam Keluarga UGM di Sawitsari, Yogyakarta. Dia meninggalkan
seorang istri, Drs Susilaningsih MA yang dinikahi pada 8 November 1969, beserta dua
putra, yakni Ir Punang Amaripuja SE MSc (34) dan Alun Paradipta (22).

Tidaklah terlalu membesar-besarkan, jika doktor ilmu sejarah dari Columbia University,
Amerika Serikat, ini dijuluki seorang sejarawan beridentitas paripurna. Karena memang,
dia menjalani hidup di beragam habitat dan identitas itu. Dia guru besar sejarah di
Universitas Gadjah Mada. Pengarang berbagai judul novel, cerpen dan puisi. Pemikir dan
penulis beberapa buku tentang Islam. Kolomnis di berbagai media. Aktivis berintegritas
di Muhammadiyah. Sangat sering menjadi penceramah di masjid. Dan sebagainya, dan
sebagainya.

Bayangkan, kendati sebagaian hari-hari (puluhan tahun) dijalaninya dalam keadaan sakit,
dia telah menulis lebih 50 judul buku. Belum terhitung kolom-kolomnya di berbagai
media. Tak jarang pula bukunya mendapat acungan jempol dari berbagai kalangan
intelektual. Seperti buku, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas
Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997. Sebuah penuangan pemikiran yang
mampu menerjemahkan konsep perjuangan ke dalam langkah nyata.
Sebagai seorang sejarawan, dia sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa. Kedalaman
pengetahuan tentang sejarah, memang mengajarkannya kearifan itu. Baginya, belajar
sejarah adalah proses belajar kearifan. Dia mengimplementasikan dalam kesehariannya.
Dia rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan.

Selain sebagai sastrawan dan budayawan yang arif, dia juga pemikir (intelektual) Islam
yang cerdas, jujur dan berintegritas. Buku-bukunya, seperti Paradigma Islam dan Politik
Islam, Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Identitas Politik Umat
Islam, sungguh mencerminkan kecerdasan, kejujuran dan integritasnya sebagai seorang
intelektual muslim. Para mahasiswanya juga memandangnya seorang guru yang
bijaksana. Meski dalam kondisi sakit, ia tetap mau merelakan waktunya untuk
membimbing mahasiswanya.

Selain seorang sejarawan, Kunto juga seorang kiyai. Dia ikut membangun dan membina
Pondok Pesantren Budi Mulia tahun 1980 dan mendirikan Pusat Pengkajian Strategi dan
Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta tahun 1980. Dia menyatu dengan pondok pesantren
yang menempatkan dirinya sebagai seorang kiai.

Dia juga seorang aktivis Muhammadiyah. Dia sangat lekat dengan Muhammadiyah. Dia
pernah menjadi anggota PP Muhammadiyah. Bahkan dia melahirkan sebuah karya
Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru. Ketua PP Muhammadiyah
Prof Dr Syafii Maarif menyebut Kunto merupakan sosok pemikir Islam dan sangat
berjasa bagi perkembangan Muhammadiyah. Menurut, Syafii, kritiknya sangat pedas
tetapi merupakan pemikiran yang sangat mendasar.

Muhammadiyah dan Seni


Kuntowijoyo lahir di Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, 18
September 1943. Pendidikan SD dan SMP ditempuhnya di Sekolah Rakyat Negeri Klaten
(1956) dan SMP Negeri Klaten (1959). Lalu melanjut ke SMA Negeri Solo (1962).
Kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta (1969).

Kunto meraih master di University of Connecticut, AS (1974) dan gelar doktor Ilmu
Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980) dengan disertasi Social Change in an
Agrarian Society: Madura 1850-1940.

Anak kedua dari sembilan bersaudara ini dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah dunia
seni. Ayahnya yang Muhammadiyah juga suka mendalang. Dia diasuh dalam kedalaman
relijius dan seni. Dua lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya semasa
kecil dan remaja.

Semasa kuliah, dia sudah akrab dengan dunia seni dan teater. Dia bahkan pernah
menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua Studi Grup Mantika,
hingga 1971. Pada kesempatan ini, dia berkesempatan bergaul dengan beberapa seniman
dan budayawan muda, seperti Arifin C. Noer, Syu’bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam
dan Salim Said.
Sementara minat belajar sejarah sudah terlihat sejak kecil. Konon, saat belajar di
madrasah ibtidaiyah di sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah (1950-1956), Kunto kecil
sangat kagum kepada guru mengajinya, Ustad Mustajab, yang piawai menerangkan
peristiwa tarikh (sejarah Islam) secara dramatik. Seolah dia dan murid-murid lainnya ikut
mengalami peristiwa yang dituturkan Sang Ustad itu. Sejak itu, dia tertarik dengan
sejarah.

Bakat menulisnya juga tumbuh sejak masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah itu.
Gurunya, Sariamsi Arifin, seorang penyair dan Yusmanam, seorang pengarang. Kedua
guru inilah yang membangkitkan gairah menulis Kunto.

Dia pun mengasah kemampuan menulis dengan terus menulis. Baginya, cara belajar
menulis adalah banyak membaca dan menulis. Kunto, kemudian melahirkan sebuah
novel berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari dimuat di Harian Jihad sebagai
cerita bersambung.

Karya dan Penghargaan


Karya-karyanya pun terus mengalir sampai menjelang akhir hayatnya. Lebih 50 buku
telah dirulisnya. Begitu juga cerpen dan kolom-kolomnya di berbagai media. Tak sedikit
di antaranya meraih hadiah dan pengharaan. Cerita pendeknya, Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga (1968), memenangkan penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra.

Kemudian kumpulan cerpennya yang diberi judul sama Dilarang Mencintai Bunga-
Bunga, mendapat Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Anjing-Anjing
Menyerbu Kuburan, mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi Harian Kompas
berturut-turut pada 1995, 1996 dan 1997.

Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972. Naskah dramanya berjudul Rumput-
Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) mendapatkan penghargaan dari
Dewan Kesenian Jakarta. Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995),
Satyalencana Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997),
Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek
(1999) dan FEA Right Award Thailand (1999).

Juga menerima penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia
(1999). Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas, berjudul
Mantra Pejinak Ular, ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah Sastra
Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada 2001.

Sementara, karya-karya intelektualnya antara lain Demokrasi dan Budaya (1994),


Pengantar Ilmu Sejarah (1995), Metodologi Sejarah (1994), dan Radikalisme Petani
(1993). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat
Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997.

Dukungan Susilaningsih
Pernikahannya dengan Susilaningsih, dikaruniai dua anak yakni Punang Amari Puja
(dosen UMY) dan Alun Paradipta (mahasiswi Fakultas Teknik UGM). Perempuan yang
akrab dengan baju muslimah ini dikenal sejak 1967. Saat itu mereka secara kebetulan
bersua di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, tempat Kunto sedang dirawat karena
penyakit batu ginjal. Ning, gadis asli Karanganyar, Jawa Tengah, sedang menjenguk
temannya yang sakit dan dirawat di rumah sakit itu.

Ketika itu, Ning, panggilan akrab Susilaningsih, masih kuliah tingkat II di IAIN Sunan
Kalijaga. Dua tahun kemudian, tepatnya 8 November 1969, mereka menikah.

Sejak 1985, keluarga bersahaja ini menempati rumah bertipe 70 di Jalan Ampel Gading
429, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta. Pada waktu itu, rumah itu dibeli dengan harga
Rp 4,5 juta. Belakangan rumah itu diperluas menjadi sekitar 180 meter persegi dan
berlantai dua. Ruang tamunya yang berukuran sekitar 4 X 5 meter hanya diisi dengan
meja kursi tamu warna cokelat tua. Tak ada lukisan di dinding dan perabotan mahal.

Harta yang paling mahal di rumah itu hanyalah tumpukan buku dan piala-piala
penghargaan untuk karya-karya tulisnya. Ruang perpustakaan di lantai atas penuh sesak
dengan buku. Ruang keluarga, ruang tamu, lantai atas dan lantai bawah juga dijejali
buku. Meja dan tangga ke lantai atas pun berisi buku-buku.

Isterinya, Ning, yang kini menjadi dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogja,
juga telah menyelesaikan studi Psychology Department, Hunter College of The City
University of New York, tahun 1980.

Dukungan Susilaningsih Kuntowijoyo MA, sang istri yang dengan sabar dan tekun
menemani, telah menjadi kekuatan dan inspirasi tersendiri bagi Kunto. Ketika Kunto
jatuh sakit dan sulit melafalkan kalimat-kalimat dengan jelas, Ning, yang selalu setia
mendampingi menerima tamu, sekaligus menjadi penerjemah ucapan-ucapannya.

Begitu juga ketika wawancara dengan wartawan. Ning juga yang membacakan makalah
Kunto dalam berbagai forum seminar. Jika Ning berhalangan, putra sulungnya, Punang,
yang sedang menyelesaikan studinya di Jurusan Geologi UGM, menggantinya sebagai
penerjemah.

Adalah Ning juga yang selalu setia menadampinginya melakukan olah raga senam,
jogging atau jalan kaki. Sekali dua hari, dia berolah raga. Kunto biasanya sudah bangun
tidur sekitar pukul 03.30. Kemudian salat tahajud, salat fajar dan berzikir. Selepas itu, dia
menulis sampai beduk subuh. Setelah salat subuh, meneruskan menulis lagi. Kala jadual
jalan pagi, dua hari sekali, setelah salat subuh, ia berjalan-jalan untuk melemaskan otot
kakinya sampai sejauh 5 kilometer, kegiatan menulis juga dilanjutkan lagi setelah jalan
pagi. Siang hari, dia tidur siang. Sorenya, ia kembali menulis. Beristerahat sejenak dan
sehabis salat isya, menulis lagi sampai tengah malam, bahkan kadang-kadang hingga
pukul 02.00.

Namun, di tengah keasyikannya menulis, Kunto juga senang menonton acara


pertandingan tinju dan film koboi di televisi. Pada saat menonton dan ke mana pun
perginya, ia selalu mengantongi sebuah notes untuk mencatat ide-ide yang secara
kebetulan muncul. Novel Khotbah di Atas Bukit (1976) yang menjadi master piece-nya,
ternyata ditulisnya hanya sambil lalu di sela-sela waktu mengajar.

Menurut Ning, hingga menjelang akhir hayat, Kunto masih menulis. Minggu pagi mereka
setelah jalan-jalan ke rumah ibunya di Klitren, lalu putar-putar ke Nogotirto melihat
tanah milik anaknya. Setelah pulang masih sempat mengetik, melanjutkan menulis buku
Mengalami Sejarah. Bahkan, Kunto juga bercerita ingin menulis buku tentang
Muhammadiyah untuk menyambut muktamar.

Hampir tidak ada tanda-tanda dia akan pergi selamanya dalam waktu dekat. Aktivitas
kesehariannya hingga Minggu malam 20 Februari 2005 masih biasa-biasa. Bahkan pada
Sabtu, masih sempat ke kampus untuk menanyakan syarat kenaikan pangkat IV D-nya.
Minggu masih berkunjung ke adiknya yang hamil tua.

Pada Minggu itu, Kunto berangkat tidur pukul 22.30. Rasa sakit di pinggang baru
dirasakan pada pukul 24.00. Ning mencoba mengobati. Tapi, pukul 03.00 Senin 21
Februari 2005, dia menderita diare. Lalu dia dibawa ke Rumah Sakit Sardjito. Dirawat di
Paviliun Cendrawasih hingga sore. Sekitar pukul 20.00, kondisinya menurun dan harus
dirawat di intensive care unit (ICU). Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 dia
menghembuskan nafas terakhir.

Max Arifin
Max Arifin (lahir dengan nama Mohammad Arifin di Sumbawa Besar, 18 Agustus
1936, meninggal dunia di Rumah sakit Sido Waras, Bangsal, KabupatenMojokerto, 1
Maret 2007) adalah seorang tokoh teater Indonesia. Semasa hidupnya hingga akhir
hayatnya ia bekerja sebagai pegawai negeri di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi Nusa Tenggara Barat, di Mataram, Lombok.
Max menempuh pendidikan SD dan SMPnya di Sumbawa Besar, kemudian melanjutkan
ke SMA di Yogyakarta. Setamatnya dari SMA ia melanjutkan ke Jurusan Hubungan
Internasional di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lalu pindah ke IKIP Mataram
mengambil jurusan bahasa dan sastra Inggris
Sejak di bangku SMA ia sudah aktif dalam bidang seni sastra dan teater. Di Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Barat ia bekerja pada Bidang Kesenian,
diserahi seksi drama dan sastra (tradisional dan modern). Selama masa tugasnya itu ia
pernah tiga kali mengikuti penataran seni drama di Cisarua dan Cipayung yang
diselenggarakan oleh Depdikbud. Ia juga banyak menulis naskah drama, cerpen, dan
puisi dan memimpin serta menyutradarai kelompok Teater Gugus Depan Mataram. Pada
saat yang sama ia aktif membina seni drama/teater pada beberapa SMA dan fakultas di
Mataram.
Ia juga banyak mengikuti berbagai pertemuan dan seminar yang berkaitan dengan
kesenian dan teater. Ia merangkap pula sebagai redaktur budaya di harian Suara Nusa
[sekarang Lombok Post) dan koresponden majalah Tempo untuk Lombok 1975-1979. Ia
pernah menjadi juri pada beberapa festival teater di Jawa Timur dan di tingkat nasional
(2000) dan se-Jawa Timur (2004), dan Jember (2004). Ia pernah membawa berbagai
makalah dan menjadi nara sumber untuk teater dan kebudayaan umumnya di Jakarta,
Bandung, Surabaya, Mojokerto, Jember. Pada tahun 2004 dan 2005 ia menjadi kurator
bidang teater pada Festival Seni Surabaya.

REMY SYAILADO
Yapi Panda Abdiel Tambayong (ER: Japi Tambajong) atau lebih dikenal dengan nama
pena Remy Sylado (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945; umur 65 tahun)
adalah salah satu sastrawan Indonesia.
Masa kecil
Ia mengalami masa kecil dan remaja di Semarang dan Solo.

Nama samaran
Remy memiliki sejumlah nama samaran seperti "Dova Zila", "Alif Danya Munsyi",
"Juliana C. Panda", "Jubal Anak Perang Imanuel", dsb di balik kegiatannya di bidang
musik, seni rupa, teater, film, dsb dan juga menguasai sejumlah bahasa.
Karier
Ia memulai karier sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah
Aktuil Bandung (sejak 1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (sejak 1971),
ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Dia menulis kritik, puisi, cerpen,
novel (sejak usia 18), drama, kolom, esai, sajak, roman populer, juga buku-buku
musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Remy terkenal karena sikap beraninya
menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang
dipimpinnya. Ia juga salah satu pelopor penulisan puisi mbeling.
Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, drama, dan tahu banyak
akan film. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra
Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi.
Remy juga dikenal sebagai seorang Munsyi, ahli di bidang bahasa. Dalam karya fiksinya,
sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal
ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang tidak
diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung.
Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan menelusuri
pasar buku tua. Pengarang yang masih menulis karyanya dengan mesin ketik ini juga
banyak melahirkan karya berlatar budaya di luar budayanya. Di luar kegiatan penulisan
kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi.
Remy Sylado pernah dan masih mengajar di beberapa perguruan di Bandung dan Jakarta,
seperti Akademi Sinematografi, Institut Teater dan Film, Sekolah Tinggi Teologi.

Anda mungkin juga menyukai